SELAMAT PASKAH.
Dalam Kebaktian Kamis Kudus kita membahas ‘kenapa SALIB merupakan sesuatu yang begitu sentral dalam Kekristenan’; dan jawabannya adalah karena kita tidak bisa mengenal Yesus Kristus terlepas dari salib. Orang-orang yang mengenal Kristus hanya melalui kuasa-Nya, mujizat-Nya, power-Nya, mereka tidak benar-benar mengenal Dia. Hanya mereka yang mengenal Yesus di dalam kelemahan-Nya, melalui kekalahan-Nya, dan bahkan melalui kematian-Nya, itulah justru pengenalan yang sejati. Dalam pembahasan tersebut kita melihat bagaimana Markus mengungkapkan hal ini, dengan menuliskan pengakuan pertama akan identitas Yesus sebagai Anak Allah bukan keluar dari mulut para ahli Taurat di Bait Suci Yerusalem, bahkan juga bukan keluar dari para murid –orang-orang nelayan di Galilea itu– tapi keluar dari mulut orang luar, dari mulut seorang perwira Romawi, di tempat yang paling tidak masuk akal, bukan di tempat Yesus melakukan salah satu mujizaat-Nya, bukan di bukit tempat Yesus memberikan salah satu khotbah-Nya, tapi di tempat Yesus menghembuskan nafas-Nya yang terakhir, di kaki salib. Ini satu keunikan dalam Kekristenan yang kita jarang sadari. Biasanya kalau Saudara ditanya mengenai apa keunikan Kekristenan, Saudara akan jawab mengenai konsep-konsep abstrak seperti Tritunggal, predestinasi, dsb., tapi sesungguhnya inilah keunikan Kekristenan yang kita sering kali lupakan, yaitu bahwa Kekristenan, dan inti jantungnya yaitu Injil, sangat erat kaitannya dengan sesuatu yang pernah terjadi dalam sejarah, di waktu tertentu, di lokasi tertentu. Itulah sebabnya kita bisa bilang Kekristenan adalah iman yang historis; Kekristenan dimulai dengan satu laporan akan sesuatu yang perrnah terjadi dalam sejarah, dan mendasarkan segala sesuatunya dalam peristiwa tersebut, bahwa Yesus sungguh-sungguh disalib, dan Ia sungguh-sungguh bangkit dari kematian. Kita sering kali bepikir bahwa menerima Kekristenan berarti urusan lahir baru, urusan perubahan hidup –pusatnya pada diri kita– namun sesungguhnya Kekristenan bukan demikian; Kekristenan memang akan mengubah hidup Saudara, tapi hanya jika engkau menerima sebagai fakta, bahwa salib dan kubur kosong sungguh-sungguh terjadi dalam sejarah manusia.
Saudara, mengapa ini unik? Kalau Saudara melihat agama-agama lain, mereka bukan tidak ada kisah-kisah mengenai pendiri agamanya melakukan ini dan itu dalam sejarah, tapi secara umum kisah-kisah itu diberikan sebagai contoh untuk diteladani, yang jadi poin utama adalah ‘hiduplah seperti ini dan jangan hidup seperti itu, maka kamu akan menemukan Tuhan’. Kekristenan berbeda, karena Kekristenan bukan dimulai dengan apa yang kita perlu lakukan, apa yang kita perlu teladani, tapi Kekristenan dimulai dengan ‘inilah kehidupan Yesus Kristus; inilah apa yang Tuhan lakukan untuk menemukanmu: Ia turun ke dunia, Ia mati disalib dan dikuburkan, pada hari ketiga Ia bangkit dan menampakkan diri-Nya kepada banyak orang’. Saudara lihat beda fokus yang sangat mendasar di sini.
Saudara tentu sering mendengar bahwa kita ini bukan aliran Kekristenan yang liberal; tapi apa yang menyebabkan kita bukan aliran Kekristenan yang liberal? Kalau Saudara ditanya apa artinya liberalisme dalam Kekristenan, Saudara mungkin ingat bahwa itu adalah usaha orang untuk me-modernisasi Kekristenan, dengan membaca peristiwa-peristiwanya hanya sebagai prinsip-prinsip. Mereka berusaha membuat apa yang terjadi dalam sejarah hanya sebagai suatu prinsip-prinsip umum yang abstrak. Mereka mengatakan, Yesus tidak benar-benar dibangkitkan; kita sebagai orang modern tentu tahu orang mati tidak bangkit, kita tidak seperti orang-oang zaman dulu itu yang percaya takhayul. Kebangkitan bukanlah sesuatu yang benar-benar terjadi menurut mereka, tapi prinsip kebangkitan ada, alasannya karena alam memperlihatkan kepada kita bahwa setelah musim dingin, toh muncul musim semi; prinsip kebangkitan seperti inilah prinsip Paskah yang kita perlu pelajari dan hidupi. Saudara lihat, problem utamanya di mana? Problem utamanya apa? Saudara bisa mengenali hal apa yang sedang bergeser di sini? Apa yang menjadikan berita unik Kekristenan hilang dalam liberalisme? Ini bukanlah urusan mengenai pernah terjadi mujizat atau tidak terjadi mujizat, ada supernatural atau tidak ada supernatual –bukan itu yang jadi masalah; ketika iman Kristen menghilangkan apa yang Yesus pernah lakukan dalam sejarah, lalu membuatnya hanya jadi semacam prinsip-prinsip umum yang saya hari ini perlu lakukan, maka akhirnya kita diselamatkan oleh apa yang kita lakukan, dan bukan oleh apa yang Tuhan telah lakukan. Dalam liberalisme seperti ini, yang terjadi adalah menggeser bobot ‘keselamatan dari Tuhan’, dipindahkan, dan kembali dibebankan di atas pundak kita; sementara Injil yang sejati, Injil yang historis, telah mengangkat beban tersebut, karena beban itu ditaruh hanya di atas satu pundak yaitu pundak Yesus Kristus –itu sebabnya Kekristenan berdasarkan apa yang terjadi dalam sejarah.
Saudara, tentu tidak berarti menjadi Kristen kita tidak ada tanggung jawab sama sekali, tapi sebagaimana Paulus katakan dalam 1 Korintus 15, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami” –sia-sialah khotbah kami. Istilah ‘sia-sia’ di sini yaitu kenos, artinya tidak ada kuasanya, powerless; ini bukan ‘sia-sia’ seperti yang kita baca dalam kitab Pengkhotbah yang ternyata tidak terlalu negatif itu, tapi ini ‘sia-sia’ yang benar-benar sia-sia, yang powerless. Di sini Paulus mengatakan, kalau pun prinsip-prinsip yang kami ajarkan itu benar, logis –seperti misalnya bahwa kita musti melawan ketidakadilan, bahwa kita perlu punya pengharapan dalam kesulitan– seberapa pun semua itu benar, tapi jika Yesus tidak dibangkitkan maka pemberitaan-pemberitaan seperti itu sesungguhnya impoten bagi Kekristenan. Dalam Kekristenan, hal yang menjadi turning point sejarah dunia, yang sesungguhnya mengubah keadaan dunia ini, bukanlah tentang seberapa Saudara dan saya rajin melakukan keagamaan kita –dan tidak pernah ke arah sana– yang menjadi turning point sejarah dunia adalah apa yang Yesus lakukan, bagaimana Dia mati dan bangkit. Itulah yang mengubah sejarah, itulah yang menjadi kuasa untuk kita bisa melakukan panggilan kita hari ini. Kekristenan runtuh dan timbul atas dasar apa yang terjadi dalam sejarah.
Supaya lebih jelas akan hal ini, saya memberikan satu contoh, yaitu soal pandemi. Kita bersyukur hari ini pandemi sudah bisa dibilang akhirnya berlalu. Dalam masa-masa pandemi, orang Kristen seluruh dunia secara umum terbagi dua, ada yang merasa ‘sebagai orang Kristen tidak boleh takut dengan pandemi dsb.’ sehingga menolak dan enggan menjalankan segala jenis proteksi –baik itu vaksin, masker, isolasi, dsb.– dan di sisi sebaliknya ada yang melindungi diri mati-matian tanpa memikirkan orang lain sama sekali. Kalau Saudara lihat ke masa lalu, pada tahun 1527 di Eropa juga pernah terjadi pandemi bubonic plague –dan salah satu orang yang hidup pada zaman itu adalah Martin Luther. Martin Luther ketika itu, oleh rajanya, Elector John, disuruh melarikan diri dari kotanya, meninggalkan jabatannya, meninggalkan gerejanya, supaya nyawanya selamat. Tapi Luther tetap tinggal untuk melayani orang-orang di kota itu yang sakit dan sekarat, dia membuka rumahnya jadi samacam puskesmas darurat. Di tengah-tengah pandemi tersebut, Luther menulis satu surat terbuka, mengenai apakah sebagai seorang Kristen kita patut atau tidak patut melarikan diri dari sebuah pandemi. Luther mulai dengan mengatakan orang-orang Kristen di zamannya pun terbagi dua, beberapa percaya bahwa mereka harus kabur, lainnya percaya untuk tetap tinggal; tapi menariknya, Luther mengatakan, dua-duanya bisa betul, dua-duanya bisa jadi opsi. Luther mengatakan kalau Saudara merasa perlu melarikan diri dari kematian, itu satu insting yang wajar, self-preservation sense yang memang Tuhan berikan kepada kita untuk menjaga nyawa kita; dan melarikan diri dari kematian adalah satu hal yang tidak dilarang. Bagi Luther, adalah oke menjaga kehidupan dan menghindari kematian, jika tindakan ini bisa dilakukan tanpa merugikan orang; sengaja meresikokan diri karena ingin menunjukkan ‘saya orang Kristen, saya tidak takut dengan semua itu’ adalah tindakan yang bodoh, karena hidupmu bukan milikmu sendiri, hidupmu adalah milik Tuhan, dan hidup semua orang berharga. Luther menunjukkan di Imamat 13-14 ada dasar mengenai hal ini, yaitu orang-orang Israel pada zaman Musa dikarantina jika mereka mengidap penyakit. Menolak proteksi dan precaution yang dilakukan demi menghentikan penyebaran penyakit, adalah tidak benar, karena meresikokan hidup orang lain yang berharga di mata Tuhan; adalah oke menjaga jarak, melakukan pencegahan ini dan itu, untuk menjaga nyawa kita dan orang lain. Tapi di sisi lain, ketika orang Kristen menemukan satu situasi yang jika mereka pergi dan menjaga jarak justru akan meresikokan nyawa orang lain, membawa harm bagi orang lain, maka atas dasar alasan yang sama –yaitu hidup manusia berharga– dalam situasi tersebut orang Kristen harus tinggal. Khususnya para pelayan gereja, para gubernur, para orang-orang pemerintahan, para hakim, para pemadam kebakaran, polisi, dst harus tinggal dan bertahan teguh di hadapan kematian, karena jika orang-orang seperti ini meninggalkan garis depan, betapa cepatnya sebuah komunitas temakan kepanikan dan hancur dalam kekacauan, karena tidak ada lagi hukum, dan orang bebas melakukan segala macam. Kesimpulan Luther: melarikan diri bisa benar dan bisa juga salah, tinggal bertahan bisa merupakan langkah yang tepat dan bisa juga bodoh, setiap orang harus mengkaji siatuasi mereka masing-masing dan tidak ada seorang pun boleh menghakimi keputusan orang lain.
Saudara, dalam situasi tenang sekarang, kita bisa melihat bahwa Luther benar juga, tidak ada satu jawaban yang paling benar, dua-duanya bisa benar dan dua-duanya bisa salah; tapi di masa-masa awal pandemi kita begitu ribut dengan berbagai kubu masing-masing, kita semua condong ke salah satu arah dan mengatakan ‘harusnya begini, harusnya seperti ini’. Pertanyaannya, apa yang menjadi kekuatan, apa yang menjadi dasar, dari sikap Luther yang begitu tenang dalam menulis surat seperti itu? Kenapa di antara kita hampir tidak ada yang setenang dia, tapi juga se-realisitis dia, dan se-balance dia, dalam menghadapi pandemi? Apa yang membuat Luther bisa seperti itu? Kenapa kita tidak seperti itu? Saya rasa jawaban yang paling bagus adalah: karena Luther punya pengharapan dan kekuatan dalam menghadapi kematian. Dari mana ia dapatkan itu? Saudara jangan pikir orang yang takut mati, ekspresinya selalu kabur dari bahaya; tidak tentu demikian. Banyak orang pada masa pandemi berteriak, “Tidak boleh takut! Tidak usah pakai masker, tidak usah vaksin!”, dsb., tapi bisa dibilang itu sebenarnya adalah orang yang takut mati, karena cara bonek seperti itu sering kali merupakan cara untuk menaklukkan rasa cemas, setidaknya mereka melihat ada sesuatu yang terancam dan mereka takut kehilangan itu –entah itu apa– sehingga mereka merasa harus menerjang, harus menghadapi, dst. Pada dasarrnya, karena masing-masing pihak melakukan tindakannya atas dasar ketakutan, akhirnya membuat banyak orang tidak rasional dalam membuat keputusan, baik yang menolak masker sama sekali maupun yang ramai-ramai borong obat cacing. Hanya ketika kita dilepaskan dari rasa takut, baru kita bisa berpikir dengan lurus, dengan lebih objektif.
Saya pernah cerita ada seorang teman yang menghadapi kasus mamanya sekarat di rumah sakit, dan dia begitu bingung apakah harus cabut mesin nafas atau tidak. Ini keputusan yang selalu membingungkan; kenapa? Karena kalau Saudara melihat dari luar, Saudara bisa memutuskan dengan objektif; tapi ketika Saudara menghadapinya sendiri, Saudara dipenuhi dengan berbagai ketakutan. Dalam hal teman saya tadi, opsi yang pertama: berikan lebih banyak obat tapi tidak tentu sembuh, dan mungkin akan bikin mamanya lebih menderita; opsi yang kedua: tarik obat, tarik mesin, dan hampir pasti akan lewat, tapi mungkin lebih damai juga. Pilih yang mana? Kalau dipikir secara objektif, ini penyakitnya sudah parah sekali, ngapain diperpanjang, relakan saja, dsb. Tapi waktu Saudara menghadapi sendiri keadaan tersebut, Saudara tidak bisa memilih, Saudara lumpuh oleh ketakutan –karena Saudara takut. Takut kalau tarik mesin padahal mamanya sendiri masih mau berjuang, ‘jadi saya merampas hak mama saya berjuang untuk kembali ke anak-anaknya, karena mama belum sempat say good bye sama kami’. Tapi kalau dikasih obat lebih banyak lagi takut juga, ‘bagaimana kalau mama justru menderita dan meninggal lebih cepat gara-gara dikasih obat??’ Takut. Dalam ketakutan seperti ini, Saudara lumpuh, Saudara tidak bisa membuat keputusan; dan kalau Saudara membuat keputusan, keputusan yang dibuat biasanya keputusan yang keluiar dari emosi. Lalu apa jalan keluarnya? Waktu itu saya mengatakan seperti ini: pilihan ini pilihanmu, keputusan ini keputusanmu, kamu harus memilih sebaik mungkin, ini tanggung jawabmu sebagai seorang anak; tetapi di sisi lain, apapun yang kamu pilih, kamu harus tahu satu hal bahwa Tuhan yang engkau sembah, Tuhanmu dan Tuhan mamamu, Tuhan kita tidak segoblok itu meninggalkan nasib mamamu di tanganmu. Di satu sisi dia harus bertanggung jawab atas pilihannya, tapi di sisi lain itu bukan berarti ujungnya nasib mama ada di tangannya, karena kita percaya Tuhan kita berdaulat, Tuhan kita mengasihi kita, dan tidak akan membiarkan sehelai rambut jatuh dari kepala kita jika bukan oleh rencana-Nya yang agung. Itu lebih penting, saya rasa, daripada memberi jawaban harus pilih A atau B, karena itu jawaban yang pada akhirnya mengangkat rasa takutnya dan membuangnya. Saya harus memutuskan sebaik mungkin, tapi apapun yang saya putuskan, Tuhan ada di atas semua itu, Tuhan berkuasa di atas semua itu, Tuhan tidak mungkin menyerahkan mama saya yang saya cintai itu mutlak ke tangan saya yang bodoh ini. Dari sinilah dia pada akhirnya bisa berpikir lurus harus berbuat apa.
Saudara, saya rasa hal yang sama terjadi pada Luther. Kenapa Luther dalam keadaan bubonic plague –keadaan yang super kacau dengan angka kematian 30-90%, jauh lebih parah daripada pandemi zaman kita yang angka kematiannya tidak sampai 5%– dia bisa berpikir lurus, yaitu karena dia telah dibebaskan dari pandemi yang paling ganas, pandemi spiritual, melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, melalui salib dan kubur kosong. Sesederhana itu. Bukan karena apa yang Luther lakukan, bukan karena DNA Luther lebih bagus daripada kita, bukan karena spiritualitas Luther levelnya lebih tinggi daripada kita, tapi oleh karena apa yang Yesus telah lakukan dalam sejarah, mati dan bangkit, salib dan kubur kosong. Ini sebabnya Paulus mengatakan, tanpa kematian dan kebangkitan Kristus, sia-sialah pemberitaan kami, sia-sialah iman kamu sekalian. Boleh ngomong prinsip sebagus apapun, boleh ngomong prinsip selogis apapun, tapi semua itu impoten, tidak ada kuasanya. Satu-satunya alasan kita hari ini bisa berpikir lurus dalam situasi yang genting, adalah semata karena Yesus pernah mati dan Yesus pernah bangkit. Ketika Yesus bangkit, Dia tidak cuma bangkit bagi diri-Nya sendiri, Dia memberi kemenangan-Nya bagi Saudara dan saya. Dia adalah buah sulung dari orang-orang yang akan dibangkitkan.
Saudara mungkin lalu mengatkan, “Kalau begitu, yakinkan saya akan kesejarahan dari kebangkitan Kristus!” Ini satu hal yang lucu, karena ada banyak orang yang meragukan Kekristenan, tapi saya sesungguhnya jarang mendengar orang protes mengenai apakah kebangkitan Yesus sebagai satu hal yang diterima sejarah atau tidak. Biasanya ada banyak orang yang keberatan dalam hal Tritunggal, predestinasi, dsb., tapi agak jarang dengar orang –di Indonesia– mengatakan, “Saya tidak bisa pecaya Kekristenan karena saya tidak percaya orang bisa bangkit dari kematian”; di Indonesia sepertinya orang lebih terbuka akan hal ini. Tapi ini satu hal yang tetap kita perlu coba review dasar-dasarnya, alasannya kita percaya akan kesejarahan dari kebangkitan Kristus, karena kalau pun hari ini Saudara tidak mengalami isu tersebut, mungkin generasi yang akan datang mengalaminya. Itu sebabnya saya ingin kembali mengulas hal ini supaya kita boleh ditopang oleh kebenaran Firman Tuhan.
Kenapa kita begitu yakin akan kesejarahan kebangkitan Kristus? Kenapa mempercayai peristiwa kebangkitan Kristus bukanlah iman buta? Ada alasan rasional dan historisnya kita percaya bahwa Yesus Kistus mati dan bangkit. Di dalam Kisah Para Rasul 26, ketika Paulus disidang di hadapan Raja Agripa dan Festus, dia bicara mengenai kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Di tengah-tengah sidang itu, Festus berteriak, “Engkau gila, Paulus! Pembelajaranmu yang banyak itu membuat engkau gila.” Saudara perhatikan bagaimana Paulus kemudian bereaksi, dia bereaksi dengan hormat tapi tegas. Kis. 26:25-26, Tetapi Paulus menjawab: “Aku tidak gila, Festus yang mulia! Aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang sehat! Raja juga tahu tentang segala perkara ini, sebab itu aku berani berbicara terus terang kepadanya. Aku yakin, bahwa tidak ada sesuatu pun dari semuanya ini yang belum didengarnya, karena perkara ini tidak terjadi di tempat yang terpencil” –bahasa Inggrisnya: it was not done in a corner, ini tidak dilakukan di pojokan. Paulus mengatakan dengan confident bahwa bahkan Raja Agripa pun tahu koq, mengenai kematian Yesus, dan tahu mengenai kubur kosong, dia juga pasti tahu tentang saksi-saksi mata yang begitu banyak mengenai kebangkitan-Nya, karena semua ini tidak dilakukan di pojokan!
Dalam 1 Korintus 15, Saudara lihat pernyataan mengenai kebangkitan Yesus cuma 1 ayat, sementara ayat 4,5, 6, 7, dst. –begitu banyak ayat–Paulus pakai untuk mendaftar orang-orang yang melihat sendiri Yesus yang telah bangkit. Di situ Paulus memberikan dua dasar dari keyakinan ini, yang pertama: kubur kosong; Yesus bukan cuma mati (ayat 3), tapi telah dikuburkan (ayat 4). Para sarjana Alkitab, termasuk yang tidak percaya akan kebangkitan, menerima bahwa memang kubur Yesus kosong.
Adalah sangat penting bagi orang Yahudi zaman itu mengubur orang yang mati, dan tidak membiarkan mayatnya membusuk di luar. Pada waktu itu, misalkan seorang yang besar mati, apalagi mati martir seperti Yesus, biasanya yang akan orang lakukan –atau pengikut-pengikutnya lakukan– adalah mengunjungi kuburnya; mereka akan menghormati dan mengenang kubur tersebut, lalu tidak berapa kama kemudian kubur tersebut akan jadi tempat keramat. Jangankan Tuhan Yesus, seandainya Pendeta Dr. Stephen Tong meninggal dipanggil Tuhan (minta maaf, mengatakan ini), Saudara bayangkan kuburannya bakal jadi kayak apa. Kembali ke pembahasan kita, Saudara lihat yang melakukan ini bahkan bukan cuma orang Yahudi, orang Kristen pun melakukannya. Polycarpus, seorang gembala gereja di Smirna, murid langsung dari Yohanes, juga mati martir; dan kita melihat dalam sejarah bahwa kuburan Polycarpus dijaga, bahkan jemaat Smirna melakukan Perjamuan Kudus di kuburannya setiap tahun. Namun anehnya, kubur Yesus Kristus tidak ada yang tahu ada di mana, seakan-akan orang tidak peduli. Kalau Saudara tur ke Holyland Palestina dan Israel, Saudara memang bakal diperlihatkan kuburan Yesus, “Ini kuburan Yesus, ini Gereja Holy Sepulchre, tempat Yesus pernah dikuburkan”. Tapi itu sebenarnya cuma katanya doang, karena kalau Saudara ikut tur yang lain, mereka bisa bawa Saudara ke situs yang lain lagi dan mengatakan itu kuburan Yesus. Lalu kalau Saudara ikut tur yang lain lagi mereka akan mengatakan, “O, bukan dua tempat itu, tapi di sinilah tempat aslinya Yesus dikuburkan.” Sampai hari ini paling tidak ada 3 situs yang orang perdebatkan tidak habis-habis sebagai tempat kuburan Yesus yang asli.
Saudara, kenapa kubur Yesus malah hilang, kalau memang Dia tidak dibangkitkan?? Kenapa bisa kuburan Polycarpus sampai hari ini orang tahu letaknya tapi kuburan Yesus bisa hilang? Kenapa tempat sepenting itu bisa hilang? Kalau kita punya anggota kelurga yang kita kasihi dan meninggal, apalagi meninggalnya tidak natural, misalnya sebuah keluarga anaknya meninggal, maka kamar anak itu bakal keramat, peninggalan-peninggalan anak itu bakal keramat; sepatunya, bajunya, oleh sang orangtua akan dianggap keramat, tetap dicuci, tetap dibersihkan, seakan-akan anaknya masih hidup, karena itu semua kenangan –dalam zaman kita saja seperti itu. Tapi yang menarik, kalau anaknya tidak mati, masih ada, apa yang akan terjadi dengan barang-barangnya itu? Kalau berantakan, ya, kita bakal suruh dia bereskan. Kalau masih berantakan terus, kita bakal buang, kita tidak peduli, kita tidak anggap keramat sama sekali. Begitulah kalau anaknya masih hidup, barang-barangnya kita buang saja, tidak masalah, karena orangnya masih ada. Tapi ketika orangnya sudah tidak ada, barang-barangnya menjadi penting; kalau orangnya ada, barang-barangnya ‘gak penting. Jadi kenapa kuburan Yesus itu ‘gak penting? Kenapa kuburan Yesus sampai hari ini tidak dijaga? Kenapa tidak ada yang tahu di mana tempatnya? Di mana kuilnya yang bisa untuk menyembah tubuh Yesus ini?? Tidak ada. Kenapa bisa begitu? Karena mereka, murid-murid-Nya, memiliki Orangnya; mereka memiliki Dia secara langsung, mereka melihat Dia sebagai orang yang masih hidup –karena Dia memang hidup. Kubur yang kosong, argumen yang pertama.
Argumen yang kedua yang Paulus berikan adalah bahwa ada begitu banyak orang dalam momen dan situasi-situasi berbeda, yang bersaksi bahwa mereka telah menyaksikan Yesus telah bangkit. Dalam hal ini bukan satu kesaksian tok, bukan ratusan orang bersaksi di satu tempat yang sama. Peter Williams memberikan daftar penampakan Yesus yang telah bangkit di berbagai tempat (ada ayat-ayatnya); Dia menampakkan diri di Yudea dan di Galilea, di kota dan di daerah, di dalam ruangan tertutup dan di luar, di pagi hari dan di malam hari, dengan janjian dulu (Matius 28:16) dan tanpa janjian sama sekali (Matius 28:9, Lukas 24:15, 34:36, Yohanes 21:1-23, dst.), dari dekat dan dari jauh, di bukit dan di sampung danau, kepada beberapa pria dan kepada beberapa wanita di tempat yang berlainan, kepada orang-orang secara individual dan kepada grup-grup orang banyak sampai yang paling banyak jumlahnya 500 orang; Yesus duduk, berdiri, berjalan, makan, bicara (Matius 28:18-20, Lukas 24:17-30,36, 49; Yohanes 20:15-17,19-29; 21:6-22). Banyak orang berusaha mendiskreditkan kesaksian saksi-saksi mata ini, dengan mengatakan, “Ya, okelah, begitu banyak yang mengatakan bahwa mereka melihat Dia dalam berbagai situasi yang berbeda, dsb., tapi ‘kan kita tahu itu hanya dari para penulis kitab Injil, bukan?? Jadi bagaimana kita tahu ini bukan bualan penulis-penulis kitab Injilnya??” Jawabannya sederhana, kitab-kitab Injil itu dokumen publik, dokumen umun yang tersebar pada zaman itu, pada saat di mana banyak saksi-saksi mata masih hidup dan bisa ditanya. Itu sebabnya Paulus mendaftarkan dengan mengatakan, “Dia menampakkan diri kepada si ini dan si itu, dan si ini dan si itu, dan si ini dan si itu …”, orang-orang yang orang lain kenal, yang masih hidup, yang Paulus sendiri katakan, “Beberapa dari mereka sudah mati tapi ada banyak yang masih hidup”, artinya ini satu undangan, jika mau silakan verifikasi kepada orang-orang tersebut.
Saudara perhatikan, hari ini kita sangsi karena kita tahu ada banyak hoax; memang benar ada banyak hoax, tapi itu sebabnya ada banyak usaha untuk memberantas hoax. Saudara jangan cuma lihat adanya banyak hoax, tapi lihat juga bahwa ada begitu banyak website dari orang-orang yang berdedikasi untuk memberantas hoax. Kalau Saudara mau tahu suatu berita hoax atau bukan, Saudara tinggal cek di internet, ada banyak website-nya, misalnya Snopes.com. Di zaman kita, secepat suatu hoax menyebar, secepat itu juga hoax tersebut di-takedown. Misalnya di grup-grup WA, kalau orang posting suatu kabar yang bombastis, tidak sampai besoknya sudah ada orang yang mengecek dan membeitahu, “Hoax, Pak.” Mengapa bisa sepeti itu? Karena banyak saksi mata. Kalau ada banyak hoax, Saudara jangan langsung pikir itu berarti manusia bisa menipu diri, dsb.; kalau ada banyak hoax, ada banyak orang yang berusaha untuk menyanggah hoax-hoax tersebut, apalagi di zaman ketika kebenarannya masih sangat mudah di-verifikasi karena masih ada saksi matanya. Kalau Saudara ingin bikin hoax yang bertahan lebih dari sehari, Saudara harus bikin hoax mengenai kejadian yang bukan baru terjadi beberapa hari lalu; kalau Saudara bikin hoax suatu kejadian yang baru beberapa hari lalu, memang bisa viral, tapi akan dengan sangat cepat di-takedown juga karena banyak saksi mata yang bisa memberikan kesaksian. Kalau Saudara mau bikin hoax yang bertahan, Saudara harus tunggu sampai semua saksi matanya mati, baru aman –tapi orang sudah tidak tertarik dengan berita hoax-nya.
Dalam hal Injil, Injil-injil tersebut ditulis tidak lama setelah kejadiannya, ketika banyak saksi mata masih hidup; jikalau Injil-injil ini hoax, mereka tidak akan bertahan sampai hari ini karena siapa yang mau mempertahankan, malah akan dengan sangat cepat orang-orang yang bisa mem-verifikasi mengatakan, “Itu hoax!” Terlebih lagi, dalam kitab-kitab Injil, saksi-saksi pertama kebangkitan Yesus adalah para wanita. Di zaman tersebut yang adalah budaya patriarkhal, para wanita bisa saja diminta bersaksi di pengadilan tapi kesaksiannya tidak akan dianggap berbobot. Jadi, kalau Saudara mau bikin hoax mengenai kebangkitan Yesus, apakah Saudara akan bikin hoax dengan dasar yang mudah goyah seperti ini, dengan saksi-saksi pertama yang adalah para wanita?? Suatu hoax jadi viral kaena hoax tersebut meyakinkan; bahkan salah satu cara untuk mengenali hoax adalah ketika hal tersebut to good to be true. Jadi, seandainya orang mau bikin hoax, untuk apa mereka membuatnya dengan cara memberikan saksi-saksi pertama dari kategori orang yang justru sering kali tidak dianggap oleh pengadilan?? Itu sebabnya sangat aneh kalau berita ini hanya bualan orang, karena kalau mau membual, Saudara harus bikin cerita yang meyakinkan.
Dua hal ini, kubur kosong dan banyaknya saksi mata, bersama-sama membentuk satu dasar yang sangat kuat. Jika Saudara hanya punya kubur kosong, orang bisa mengatakan mayat-Nya dicuri; tapi dengan adanya kesaksian orang banyak, maka tidak mungkin demikian. Di sisi lain, jika hanya ada kesaksian belaka, orang bisa mengatakan itu sekadar fantasi orang-orang; tapi dengan adanya kubur kosong, maka tidak mungkin demikian. Kedua dasar ini, bersama-sama memberikan rekam jejak dalam sejarah, bahwa ada sesuatu yang luar biasa pernah terjadi. Kalau Saudara mau membantah hal ini, Saudara harus memberikan penjelasan yang lebih masuk akal; dan sama sekali tidak mudah menemukan alasannya, selain bahwa Yesus Kristus memang sungguh bangkit.
Satu hal yang saya belum sebutkan yaitu bahwa orang-orang yang percaya Yesus bangkit, mereka bukan cuma percaya Yesus bangkit lalu kembali menghidupi hidup masing-masing, mereka percaya Yesus bangkit dan oleh karena itu, entah bagaimana mereka tidak takut mati. Mereka yang percaya Yesus bangkit, seperti Luther, kita lihat mereka bisa melakukan hal-hal yang bagi kita hampir tidak mungkin bisa dijelaskan. Kenapa Luther bisa berpikir setenag dan serealistis itu?? Bagaimana mungkin pada saat pandemi dia malah mau tinggal dan membuka rumahnya sebagai rumah sakit bagi orang lain, kalau Yesus yang dia sembah tidak benar-benar bangkit.
Terakhir, dasar dari keyakinan kita akan kebangkitan Yesus tidaklah cuma secara rasional dan historis, karena semua hal ini –dan masih banyak hal-hal lain yang kita bisa bicarakan tapi tidak cukup waktu– pada dasarnya tidak bisa membuktikan Yesus bangkit tanpa ada kemungkinan disanggah sama sekali. Tidak ada cara untuk membuktikan Yesus bangkit sampai 100% yakin tanpa bisa disanggah sama sekali. Di sini saya ingin mengajak Saudara untuk tidak menjadi orang yang naif. Tidak ada cara untuk membuktikan 100% Yesus bangkit, karena memang tidak ada cara untuk membuktikan 100% pasti kejadian apapun dalam sejarah. Itu alasannya. Saudara tidak bisa mengetes kesejarahan suatu peristiwa seperti mengetes darah di laboratorium. Orang pernah mengatakan, urusan lab dan sains adalah berurusan dengan sesuatu yang bisa diulang, yang bisa direproduksi; sedangkan sejarah adalah mengenai sesuatu yang tidak terulang lagi, yang tidak bisa direproduksi –makanya jadi sejarah. Jadi, Saudara bukan cuma tidak bisa membuktikan 100% kedap air akan kebangkitan Yesus, Saudara juga tidak bisa membuktikan 100% kedap air bahwa Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 –setidaknya Saudara tidak bisa membuktikannya sebagaimana Saudara menunjukkan di laboratorium bahwa air mendidih pada suhu tertentu dan membeku pada suhu tertentu. Bahkan ada begitu banyak hal dalam hidup kita, yang kita pegang meskipun kita tidak bisa membuktikannya ataupun mendemonstrasi-kannya di laboratorium. Yang menarik, biasanya hal-hal yang kita pegang seperrti itu justru hal-hal yang paling penting. Misalnya, apakah Saudara bisa membuktikan bahwa semua manusia punya derajat yang sama; apakah Saudara bisa membuktikan bahwa semua manusia punya hak asasi? Saudara tidak bisa membuktikan hal-hal seperti ini, bagaimana caranya?? Saudara tentu bisa menunjukkan alasannya Saudara percaya demikian, tapi Saudara tidak bisa membuktikan secara laboratorium sedemikian rupa sehingga semua orang skeptis di manapun mau tidak mau terpaksa harus menerima bahwa semua manusia punya hak asasi. Jadi, apakah kebangkitan Yesus bisa dibuktikan 100%? Tidak. Saudara jangan naif! Tetapi, di sisi lain jangan lalu Saudara beralih ke kenaifan satunya lagi, “O, kalau begitu berarti kita tidak ada dasar untuk percaya kebangkitan Yesus”. Tidak demikian; jangan naif dari ekstrim ke ekstrim seperti itu, karena bukan cuma urusan kebangkitan Yesus yang tidak bisa dibuktikan 100%, tapi ada begitu banyak hal yang kita terima meskipun kita tidak bisa membuktikannya 100%.
Saudara bisa lihat, memang ada ruang untuk meragukan semua peristiwa sejarah. Di sisi lain, kepercayaan kita akan kebangkitan Yesus bukanlah sebuah iman buta, ada dasar rasionalnya, ada dasar kesejarahannya. Ini bukan sebuah lompatan iman. Kebangkitan Yesus telah meninggalkan jejak kaki sangat besar dalam sejarah yang menantang semua orang yang menyangkalnya untuk memberikan penjelasan lain yang lebih mungkin. Apa penjelasannya? Sampai hari ini saya belum menemukan. Bahwa kebangkitan Yesus tidak bisa dibuktikan 100% di laboratorium pun tidak harus Saudara menerimanya secara negatif, karena ini hanya berarti bahwa rasio otak manusia belaka tidak bisa memaksa kita untuk percaya pada kebangkitan atau percaya kepada Yesus Kristus. Memang otak tok tidak cukup, Saudara tetap harus diberikan iman oleh Bapa di surga. Itu tetap salah satu dasarnya, tapi itu bukan topik kita hari ini; hari ini tujuan saya adalah menunjukkan kepada kita bahwa keyakinanmu bukanlah keyakinan yang tanpa dasar, bukanlah keyakinan yang sekadar angan-angan belaka dari manusia yang kehilangan dan ditinggalkan orang yang mereka cintai. Bukan demikian; ada dasar rasional dan sejarahnya –meskipun memang kita bukan percaya karena itu saja.
Kiranya keyakinan ini mengokohkan iman kita, membuat kita semakin sadar bahwa Injil yang kita pegang memang pada akhirnya bukanlah sesuatu yang adalah hasil karya-mu, tapi adalah hasil karya Tuhan bagimu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading