Hari ini kita akan mempelajari salah satu kisah yang sangat terkenal di Perjanjian Lama, yaitu kisah mengenai bijaksana Salomo.
Banyak orang mengatakan –dan katanya juga ada riset yang mendukung hal ini– bahwa semakin seseorang berumur, semakin banyak kekuatiran dalam hidupnya, dan alasannya bisa bermacam-macam. Ada orang yang memang banyak kekuatiran karena dia tidak bergantung kepada Tuhan; tapi mungkin ada juga penyebab yang lebih positif, yaitu karena semakin berumur, mereka semakin menyadari betapa mereka membutuhkan hikmat dalam hidup ini. Saya rasa, semua orang cepat atau lambat akan menyadari bahwa mereka butuh hikmat. Kalau Saudara hari ini merasa tidak butuh hikmat, Saudara akan merasakannya nanti, mungkin ketika Saudara mengambil pekerjaan yang salah, mungkin ketika Saudara pacaran dengan orang yang tidak tepat, atau ketika Saudara ambil keputusan-keputusan investasi yang belakangan gagal total. Ketika momen-momen seperti ini semakin banyak dalam hidupmu, Saudara semakin banyak merasakan butuh hikmat. Tidak heran, semakin kita berumur, semakin kita menyadari pentingnya hikmat, semakin kita menyadari betapa sulitnya mendapatkan hikmat, dan semakin kita menyadari betapa celakanya hidup tidak berhikmat. Itu sebabnya hari ini kita mau membuka kisah Salomo, karena kisah ini bukan hanya bicara tentang hikmatnya Salomo saja, tapi sebenarnya juga membukakan kepada kita kenapa kita butuh hikmat, seperti apa hikmat itu dan sumbernya dari mana, dan yang terakhir membukakan kepada kita apa esensi dari hikmat.
Yang pertama, “kenapa kita butuh hikmat”. Mengenai hal ini, saya akan memberikan dua jawaban; jawaban yang pertama adalah sesuatu yang Saudara mungkin sudah tahu, jawaban yang kedua adalah sesuatu yang mungkin Saudara masih sering belum menyadarinya.
Jawaban yang pertama, alasannya kita butuh hikmat. Lewat kisah ini Saudara menyadari kebutuhan akan hikmat karena kisah ini merupakan satu momen persimpangan dalam hidup. Salomo di sini sedang dihadapkan pada satu persimpangan, satu pilihan, dan dia harus ambil yang kiri atau yang kanan atau yang mana. Inilah momen-momen kita paling menyadari akan kebutuhan hikmat, momen-momen ketika hidup kita mulai ada persimpangan, ada pertigaan, ada perempatan, dst. Kita ini harus menikah atau tidak? Kita ini harus menikah dengan si A atau si B? Kita harus mengambil sekolah yang mana? Kita harus kerja di yang mana? Kita harus pergi atau harus bertahan? Dan seterusnya –persimpangan-persimpangan dalam hidup.
Omong-omong, bagi kita di zaman modern, mungkin ini zaman yang paling bikin pusing, paling membuat kita menyadari kebutuhan akan hikmat, karena problem di zaman modern sering kali bukanlah soal kita tidak punya pilihan tapi justru terlalu banyak pilihan. Bahkan zaman modern ini mungkin satu zaman sepanjang sejarah manusia di mana manusia paling banyak pilihan –dan itu pada akhirnya malah membuat problem. Kalau di masyarakat tradisional, Saudara tidak akan merasa seperti ini. Di dalam budaya dan masyarakat tradisional, hidup itu tidak terlalu banyak pilihan. Saudara kerja apa, itu sudah dipilihkan/ditentukan oleh komunitas Saudara. Saudara tinggal di mana, itu juga seringkali sudah dipilihkan/ditentukan oleh komunitas Saudara. Saudara bisa berteman dengan siapa, itu juga tidak banyak pilihan. Bahkan, Saudara menikah dengan siapa, itu pun dalam budaya tradisional sering kali sudah dijodohkan, ditentukan oleh komunitas. Dalam budaya tradisional, kalau Saudara mau pindah ke kota lain, maka orang di tempat asal Saudara akan mengatakan, “Lu mau ngapain di sana, keluarga lu semua di sini, balik saja ke sini”; dan orang di kota lain tersebut pun bisa jadi mengatakan hal yang sama, “Lu ngapain di sini, keluarga lu semua di sana, jangan ke sini, kita tidak ada tempat, tidak ada pekerjaan untuk lu di sini.” Begitulah masyarakat kuno/tradisional; Saudara tidak ada pilihan –atau paling tidak, tidak sebegitu banyaknya persimpangan-persimpangan dalam jalan hidup Saudara. Sedangkan masyarakat modern/urban sebaliknya; kita ini punya problem bukan soal kekurangan tapi kelebihan. Problem orang modern bukanlah kekurangan informasi tapi overload informasi. Demikian juga dalam urusan pilihan, problem kita adalah: setiap hari kita diperhadapkan dengan ratusan pilihan, mulai dari urusan mau sekolah apa, sampai urusan mau sabun merek apa. Itu sebabnya, dibanding seluruh sejarah manusia, zaman kita mungkin adalah zaman di mana manusia paling butuh hikmat, dan juga mungkin paling menyadari kebutuhan akan hikmat. Inilah alasan yang pertama mengenai kenapa kita butuh hikmat, yang mungkin sedikit banyak Saudara sudah tahu dan sudah sadar.
Jawaban yang kedua, alasannya kita butuh hikmat. Inialasan yang mungkin lebih penting yang sering kali kita belum menyadari, yaitu bahwa hikmat (wisdom) itu dibutuhkan bukan cuma karena Saudara dan saya kebanyakan pilihan; hikmat itu dibutuhkan karena seringkali dalam urusan persimpangan-persimpangan hidup ternyata tidak ada aturan bakunya. Inilah aspek kedua yang banyak orang ‘gak ngeh. Mereka pikir, ‘O, hidup modern kebanyakan pilihan, it’s OK, kalau saja saya punya seperangkat peraturan, seperangkat guidelines harus ngapain dalam situasi apa, maka itu semua bisa dihadapi.’ Itu sebabnya orang-orang modern berlomba-lomba mencari misalnya “sepuluh langkah untuk hidup sukses”, “cara untuk mendapatkan ini dan itu”, dan banyak lagi bestseller kayak begitu, karena kita pikir semuanya bisa selesai kalau kita punya seperangkat peraturan, guidelines harus ngapain, dsb. Tetapi ternyata tidak demikian. Inilah alasannya kita butuh wisdom.
Wisdom dibutuhkan tepat sekali justru karena hidup ini banyak persimpangan yang tidak bisa diselesaikan dengan peraturan-peraturan, yang tidak bisa diselesaikan oleh teknik-teknik tertentu. Hal ini pun diperlihatkan dalam kisah Salomo. Saudara perhatikan, menarik bahwa yang dijadikan contoh kebijaksanaan Salomo di sini justru kasus hukum/legal. Kasus hukum adalah situasi hidup yang seharusnya paling jelas aturannya, paling jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh –karena memang urusan legal; dan inilah tepatnya mengapa kebijaksanaan Salomo mau diperlihatkan lewat kasus ini, karena inilah satu contoh kasus hukum di mana buku hukum –buku aturan– tidak membantu sama sekali. Di sini urusannya adalah urusan perebutan hak asuh anak (child custody); dan Saudara tentu tahu, dalam hukum legal ada banyak sekali aturan mengenai hal ini, jelas peraturannya, ‘kalau begini maka begini, kalau begitu, maka begitu’, dan sebagainya. Contohnya, kalau dua orang bercerai memperebutkan anak, maka siapa yang diberikan hak untuk membesarkan anak, itu ada aturannya. Misalnya dengan melihat orangtua mana yang mampu dibandingkan dengan orangtua mana yang kerjanya minum-minum dan mengemis; dan sudah pasti Saudara akan pilih orangtua yang mampu. Atau misalnya kedua-duanya sama-sama mampu, maka biasanya sang ibu lebih dipilih oleh hukum, karena sang ibu secara natural dilihat lebih bisa membesarkan anak sebagai single parent daripada sang ayah. Saya tidak tahu persis aturannya, tapi intinya Saudara mengerti bahwa kasus-kasus seperti soal hak asuh anak adalah kasus yang biasanya banyak sekali aturannya; dan waktu Saudara lihat kisah ini, kasusnya lain. Ini bukan antara pria dan wanita; ini antara wanita dan wanita, lalu Saudara mau pilih yang mana?? Ini juga bukan antara orangtua yang mampu, misalnya seorang wanita middle class dengan income yang stabil, versus seorang wanita pelacur; ini dua-duanya pelacur. Dua-duanya adalah orang-orang yang berada di bottom of the table, dua-duanya strata masyarakat yang paling rendah, lalu Saudara mau pilih yang mana?? Aturannya apa??
Kasus ini membuat kita melihat bahwa peraturan tok tidak cukup untuk hidup ini, kita perlu bijaksana, kita perlu hikmat. Pertanyaannya: kita menyadari atau tidak? Saya minta maaf, sering kali saya merasa banyak dari kita tidak menyadari hal ini. Persimpangan-persimpangan yang paling problematik dalam hidup kita itu bukanlah persimpangan-persimpangan yang ada aturannya, yang dengan mudah kita tahu musti belok ke kiri atau belok ke kanan, yang ada aturannya, dsb. Persimpangan yang kita tahu kalau ke kiri pasti salah, kalau ke kanan pasti benar, itu bukanlah persimpangan yang bikin problem. Persimpangan yang bikin problem adalah justru ketika kita menemukan dalam hidup kita ada dua jalan, ke kiri dan ke kanan, dan dua-duanya oke sejauh yang kita bisa lihat, dua-duanya lulus ujian dari prinsip-prinsip kita tahu, dari aturan-aturan yang ada, lalu pertanyaannya: harus pilih yang mana.
Sekali lagi, ini bukan cuma urusan pilih sabun, sabun yang ini oke dan yang itu juga oke lalu harus pilih yang mana –meski itu juga bikin bingung– tapi contoh yang riil misalnya ketika seorang suami atau istri datang ke pendeta, cerita bahwa pasangannya berzinah, lalu mereka tanya, “Pak Pendeta, saya harus cerai atau bertahan? Alkitab bilang apa mengenai hal ini? Haruskah saya menceraikan dia, atau mengampuni dia? Saya harus kasih dia kesempatan, atau cukup kesempatannya? Saya harus bilang apa sama dia?”, dst. Di sini kalau Saudara sebagai pendeta, Saudara mau jawab apa? Seorang pendeta yang baik, yang mengenal Alkitab, akan mengatakan begini: “Pak/Bu, Saudara bisa menceraikan dia, Saudara juga bisa bertahan. Alkitab tidak mengatakan Saudara harus bertahan, Alkitab juga tidak mengatakan Saudara harus bercerai. Saudara harus menentukan sendiri baik-baik, bergumul di hadapan Tuhan apakah masih mau memberi kesempatan atau sudah saatnya meninggalkan pernikahan tersebut.” Ini jawaban yang menyebalkan; Saudara tentu tidak senang mendapat jawaban yang kayak begini. Dan, itu bukan cuma bagi yang mendengar, tapi kadang-kadang termasuk juga bagi yang bicara; menyebalkan bicara kayak begini karena lanjutannya adalah setelah itu pihak sana akan tanya lagi, “Jadi bagaimana?? Menurut Bapak, tidak ada pilihan yang salah dan pilihan yang benar??” Lalu kita sebagai pendeta harus mengatakan apa? Kita akan mengatakan, jelas ada pilihan yang salah, tapi ini bukan urusan benar atau salah lagi, yang ada adalah ini urusan pilihan yang bodoh versus pilihan yang bijak; dan urusan pilihan yang bodoh atau pilihan yang bijak ini, Saudara menentukannya tidak bisa bersandarkan semacam aturan baku harus ke kanan atau ke kiri. Omong-omong, Alkitab mengizinkan perceraian atas dasar perzinahan, itu perkataan Tuhan Yesus, Saudara silakan selidiki lagi. Kembali kepada pembahasan kita; jadi apakah pilihan yang salah itu ada? Ada. Tapi sekali lagi, ini bukan urusan salah dan benar tok, ini urusan bodoh dan bijak, Saudara harus tanya banyak hal waktu mau menentukan hal ini. Saudara harus tanya, apa yang ada dalam hatimu. Saudara harus tanya, apa yang ada dalam hati pasanganmu. Saudara harus tanya, momennya tepat atau tidak, saatnya sudah tiba atau belum. Itu semua musti dipertanyakan.
Suatu pilihan ada yang salah, ada yang bodoh, tapi celakanya tidak ada aturan baku untuk menentukannya; dan, celakanya lagi kita baru akan tahu mungkin 5 tahun dari sekarang. Inilah alasannya kita butuh wisdom, yaitu karena hidup ini terlalu kompleks dan terlalu luas untuk didasarkan hanya pada seperangkat peraturan. Dan Saudara harus tahu, wisdom bukanlah peraturan. Itu sebabnya sering kali banyak orang Kristen membaca kitab Amsal awalnya mungkin tertarik tapi lama-lama frustrasi, karena Amsal itu kitab bijaksana, dan bukan kitab aturan baku. Kelihatannya saja seperti kitab aturan, tapi semakin dalam Saudara membaca kitab Amsal, Saudara akan tahu itu sebenarnya jebakan. Contoh yang paling sederhana, Amsal 26:4-5 –mungkin ayat yang paling terkenal dari seluruh kitab Amsal; ayat 4 mengatakan: “Jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya”, lalu ayat 5 mengatakan: “Jawablah orang bebal menurut kebodohannya”. Jadi yang mana?? Kalau berhadapan dengan orang yang kagak ada otak, yang unreasonable, kita harus antepin dia atau kita lebih baik tinggalkan dia saja, jangan sampai masuk lubang?? Yang mana?? Tidak ada aturannya; dan itulah sebenarnya poin dari dua ayat kitab Amsal tersebut.
Tidak ada aturannya. Saudara tidak bisa bersandar pada suatu peraturan baku untuk situasi-situasi seperti ini. Saudara butuh bijaksana. Pertanyaannya: Saudara sadar akan hal ini atau tidak? Dalam hidup ini kita ada banyak penyesalan; kita sering kali bisa menyesal. Banyak hal yang kemudian kita mengatakan, “Aduh, harusnya gua ‘gak ngomong begitu ke dia, kalau bisa gua pengen tarik itu kalimat.”Tapi masalahnya, kalau Saudara telusuri hal-hal yang jadi penyesalan ini, banyak kalimat-kalimat yang kita lalu menyesal telah mengatakannya, itu sebenarnya tidak melanggar peraturan apa-apa. Meski tentu saja ada kalimat yang salah, tapi dalam kasus seperti tadi, waktu kita melihat balik ke belakang, kita tidak menemukan peraturan apa pun yang melarang kita mengatakan kalimat seperti itu; yang kita katakan memang benar, namun juga kita tetap bisa merasa itu kalimat yang tidak tepat, yang harusnya tidak keluar dari mulut kita. Saudara pernah mengalami seperti ini? Kenapa bisa seperti ini? Yaitu karena kalimat-kalimat tersebut bukan salah, tapi tidak bijak.
Saudara pernahkah ketemu dengan orang yang dalam hidupnya terlalu mengandalkan peraturan, yang kaku, pokoknya apa-apa harus ini atau itu, dsb.? Bukankah Saudara merasa orang seperti ini justru tidak bijaksana? Kalau demikian, kenapa sering kali Saudara datang kepada Alkitab, kepada pendeta, dengan mengharapkan peraturan simpel, jawaban simpel, prinsip simpel? Dan ketika Alkitab dikatakan sebagai kitab bijaksana, bukan kitab jawaban, Saudara lalu protes? Mungkin justru itu sebabnya Alkitab memang bukan buku aturan tapi buku hikmat, karena kita memang butuh yang ini, karena tidak bisa semua problem diselesaikan dengan peraturan. Peraturan tok, tidak bisa membantumu mengarungi kehidupan yang demikian luas dan kompleks. Grow up, Saudara; sadarilah kebutuhan akan wisdom ini. Inilah jawaban yang kedua, yang mungkin kita sering kali tidak menyadari.
Kita sudah melihat alasannya kita butuh wisdom, yaitu karena dalam hidup ini ada banyak persimpangan. Kita butuh wisdom, juga karena persimpangan-persimpangan dalam hidup ini tidak bisa diselesaikan dengan peraturan tok, Saudara perlu something more daripada peraturan, Saudara perlu wisdom.
Yang kedua, “seperti apa wisdom itu, datangnya dari mana, cara kerjanya kayak apa” –dan hal ini juga diberitahukan lewat kisah Salomo tadi.
Pertama, kita akan melihat sumbernya lebih dulu. Ayat terakhir dari perikop ini menarik, ayat 28 sebagai kesimpulan dari seluruh perikop ini mengatakan demikian: ‘Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan raja, maka takutlah mereka kepada raja, sebab mereka melihat, bahwa hikmat dari pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan.’ Istilah ‘takutlah kepada raja’ ini mungkin bisa kurang jelas maksudnya, jadi sementara lebih baik kita menerjemahkan istilah ini ke arah ‘segan’ atau ‘respek’. Rakyat itu segan/respek terhadap raja, in awe terhadap raja; orang Israel melihat bahwa raja mereka berhikmat. Ini satu hal yang menarik karena di dalam Alkitab yang paling diharapkan punya wisdom memang adalah raja; orang datang kepada raja karena mereka berharap di situlah mereka akan menemukan hikmat. Ini sesuatu yang natural. Bahkan sampai sekarang pun adalah natural kalau Saudara mengharapkan seorang pemimpin itu berhikmat, entah dia pemimpin negara, pemimpin gereja, pemimpin keluarga, atau apapun lainnya. Jadi, dalam masyarakat Israel kuno, sumber hikmat sebuah bangsa mengalir dari rajanya.
Jika Saudara punya raja yang berhikmat sejati, maka hikmat rakyat pun akan sejati. Jika Saudara punya raja yang palsu, maka hikmat rakyat juga hikmat yang palsu. Jika Saudara punya raja yang masih hijau, maka hikmat rakyat pun hikmat jenis hijau. Ini sebabnya banyak anak remaja yang bodoh –tentu tidak semua– karena raja dalam hidup mereka adalah BTS atau Black Pink. Ini sebabnya banyak para pria yang bodoh –tentu tidak semua–karena raja dalam hidup mereka adalah uang dan karier dan pencapaian. Ini sebabnya banyak para wanita yang bodoh –tentu tidak semua– karena raja dalam hidup mereka adalah drama Korea. Saudara, saya tertarik banget dengan sebuah papan iklan di suatu tempat, yang mengiklankan semacam acara TV atau motivational speaking atau entah apa, lalu salah satunya yang muncul di layar adalah kalimat seperti ini: “Pernikahan itu tidak seperti drama Korea”. Saya bingung melihat itu, menurut saya itu ‘kan sudah jelas, semua orang juga tahu; dan baru belakangan saya sadar ternyata tidak semua orang tahu. Kenapa bisa ada orang berpikir pernikahan itu kayak drama Korea, tepat sekali karena raja dalam hidup mereka adalah drama Korea.
Saudara mengerti sekarang, kenapa Alkitab mengatakan “takut akan Tuhan adalah permulaan dari hikmat” (dan inilah sebabnya LAI menggunakan di perikop ini istilah ‘takut kepada Salomo’, dan ini pemilihan kata yang tepat, mungkin merujuk kepada Amsal). Intinya, apa yang Saudara paling takuti dalam hidupmu, yang paling Saudara segani, yang paling Saudara respek, yang paling punya otoritas dalam hidupmu, itulah sumber bijaksanamu juga. Inilah yang kita baca di sini. Lewat hal ini, Saudara juga makin mengerti kenapa Yesus Kristus diberikan gelar oleh Alkitab sebagai Raja yang sejati, Tuan yang sejati, Master, Lord; dan bahwa istilah inilah yang sering kali ditekankan di Perjanjian Baru, bukan cuma Kristus adalah Allah. Tentu ‘Kristus adalah Allah’ itu benar, tapi perhatikan, sangat berat tekanannya bahwa Kristus dihadirkan sebagai Tuan/Raja. Jika bukan Dia yang menjadi Raja dalam hidupmu, maka engkau sesungguhnya sedang menjalankan suatu hikmat yang lain, hikmat yang palsu, hikmat yang sebenarnya adalah kebodohan, karena hikmatmu itu berasal dari siapa raja atas hidupmu.
Kita coba melihat hal ini lebih lanjut. Seperti sudah kita bahas, dalam Perjanjian Lama istilah ‘hikmat’ bukanlah berarti pengetahuan; Saudara tentu tahu, hikmat seringkali dikontraskan dengan peraturan, hikmat dikontraskan dengan pengetahuan, hikmat bukanlah sekedar data atau informasi. Kalau begitu, hikmat itu apa? Inilah yang sering kali orang tidak menjawabnya. Dalam Perjanjian Lama, hikmat adalah istilah yang berkenaan dengan skill; dan yang namanya skill (know how), itu bukan Saudara dapatkan lewat men-download, tapi lewat disiplin. Skill, selalu butuh yang namanya latihan (training); dan training berarti Saudara menempatkan diri di bawah suatu otoritas.
Contohnya, hari ini semua orang yang suka gowes pasti tahu yang namanya Garmin (sebuah komputer kecil yang ditaruh di sepeda). Garmin itu berguna karena dalam beberapa cara Garmin ini melayani Saudara; Garmin bisa memperlihatkan peta, bisa memperlihatkan speed Saudara, bisa memperlihatkan berapa cepat Saudara memutar engkol, dsb. Tapi, alasannya Garmin sangat disenangi orang bukanlah cuma karena dia memberi kita informasi, Garmin itu berharga bagi para pelaku gowes karena Garmin adalah pelatih/trainer. Garmin bisa membuat program latihan yang sesuai dengan fitness Saudara; kalau Saudara mau bertumbuh dalam fitness, Saudara harus rela menaruh diri di bawah otoritas Garmin. Kadang-kadang waktu kami gowes, kami ingin santai karena tempatnya lagi bagus, kami ingin lihat pemandangan, tapi pagi-pagi Garmin sudah memberitahu, ‘hari ini kamu musti nge-push gowesnya’, dan kami harus menurut –kalau mau bertumbuh. Sebaliknya, misalnya habis naik gunung, yang memang berat tapi nikmat banget, besoknya kami jadi kepingin lagi, tapi setelah selesai hari itu Garmin justru bilang ‘istirahat 4 hari, ‘gak boleh gowes’. Lalu kita bilang di grup, “Aduhhh… , disuruh istirahat 4 hari sama si Mimin” –Garmin sudah jadi posisi otoritas.
Saudara, inilah sebenarnya sumber dari bijaksana —believe it or not. Jikalau bijaksana menurut Alkitab adalah skill, dan bukan sekadar info, maka tidak ada bijaksana tanpa Saudara menaruh diri untuk dilatih, tidak ada bijaksana tanpa disiplin, tidak ada bijaksana tanpa Saudara menaruh diri di bawah suatu otoritas. Itu sebabnya tidak heran Yesus mengatakan, “Pikullah kuk yang Kupasang, belajarlah dari pada-Ku”. Omong-omong, belajar pada zaman itu bukan sekadar terima informasi; pada zaman itu kalau Saudara belajar pada seorang guru, artinya Saudara hidup bersama guru tersebut, Saudara tinggal di tempat dia tinggal, makan apa yang dia makan, dst. Pada zaman Bach pun, kalau Saudara mau belajar piano pada Bach, artinya Saudara pindah tempat tinggal, Saudara tinggal di rumahnya Bach. Rumah Bach besar sekali, ada 50 kamar, bukan karena anaknya banyak tapi untuk murid-muridnya tinggal bersama dia. Muridnya harus masuk di bawah otoritas guru tersebut, karena orang pada zaman itu mengerti Alkitab, dan mereka lebih mirip dengan Alkitab dibandingkan zaman kita. Mereka mengerti yang namanya wisdom itu datang dari training, dari disiplin. Kalau Saudara tidak mau kuk, Saudara tidak akan bijaksana; tidak ada hikmat tanpa kuk.
Lalu kalau kita mendalami lebih lagi, kita menyadari ada sesuatu yang lebih dari itu. Tadi kita mengatakan ‘tidak ada hikmat tanpa kuk’, namun sekarang Saudara harus menyadari bahwa tidak ada orang yang tidak sedang berada di bawah suatu kuk; semua orang punya kuk. Pertanyaannya: kuk siapa, dan kuk yang mana? Sekali lagi, kuk berarti kontrol/otoritas; pertanyaannya: kepada siapakah Saudara menyerahkan kuk atas hidupmu?
Saudara mengatakan, “Saya orang Kristen, saya menyerahkan diri saya kepada Kristus”, atau, “Saya atheis, saya tidak punya kuk apapun”. Tapi tidak demikian, Saudara. Di sini saya tidak tanya agama atau ideologi apa yang Saudara subscribe; yang saya tanya, apakah hal dalam hidupmu yang terpenting, apakah hal dalam hidupmu yang Saudara berada di bawah kuknya, apakah hal yang kamu merasa harus memiliki –dan tidak bisa tidak– harus mendapatkan? Kalau Saudara mengerti definisi ‘kuk’ seperti ini, maka Saudara tahu satu hal, bahwa benar-benar tidak ada orang yang tanpa kuk. Mungkin Saudara mengatakan, “Saya benar tidak ada kuk, Pak; saya free thinker, saya bebas!” Namun itu berarti Saudara berada di bawah kuk kebebasan –karena Saudara mengejar kebebasan. Kebebasan itu hal yang paling penting dalam hidupmu. “Saya harus bebas dari segala sesuatu, saya mati-matian tidak mau komit kepada apapun dan siapapun!” –ini kedengarannya seperti orang yang sungguh-sungguh bebas atau tidak?? Tentu tidak. Orang seperti ini akan sulit sekali menjalin relasi, orang seperti ini akan sulit sekali percaya kepada orang lain –karena dia menyerahkan dirinya di bawah kuk kebebasan. Orang seperti ini tidak bebas. Tidak ada seorang pun di antara Saudara dan saya yang bebas. Tidak ada seorang pun di antara Saudara dan saya yang tidak punya kuk di pundak kita masing-masing. Pertanyaannya adalah: kuknya itu apa atau siapa?
Kita akan melihat beberapa contoh. Contoh sederhana, katakanlah yang terpenting dalam hidupmu adalah duit, maka Saudara tahu akan ada “hikmat” yang mengalir dari raja ini, dari kuk ini. Ada “hikmat” khas duit, ada “hikmat” warna duit yang akan mengalir dari situ.Sekarang misalnya Saudara menghadapi persimpangan, yang secara peraturan dua-duanya oke, yaitu Saudara hanya harus memilih pekerjaan. Pekerjaan A sangat cocok dengan talentamu, Saudara merasa sukacita mengerjakan itu, tapi bayarannya cuma 100 juta setahun. Pekerjaan B tidak terlalu cocok dengan talentamu, tapi bukan tidak mampu sama sekali, Saudara kompetenlah mengerjakan itu, tapi setiap kali pulang kantor Saudara merasa terkuras –hanya saja bayarannya 500 juta setahun. Di sini, “hikmat” warna duit akan mengatakan pilih yang mana? Saudara tentu mengerti maksudnya. Hikmat itu mengalir dari apa yang Saudara taruh jadi raja. Yang Saudara pilih adalah berdasarkan apa yang paling prioritas bagimu, apa yang Saudara rasa paling berharga, apa yang Saudara paling segani dan respek dan takuti.
Apa rajamu, di bawah apa/siapa engkau menaruh otoritas hidupmu, itulah yang akan menjadi bijaksanamu juga. Inilah problemnya dengan hikmat, karena tidak ada orang yang benar-benar tidak berhikmat; semua orang punya “hikmat” mereka masing-masing, hanya saja, ada hikmat-hikmat yang sebenarnya merupakan kebodohan. Jika uang adalah hal yang paling penting dalam hidupmu, maka Saudara akan pilih pekerjaan yang mendapatkan uang banyak tapi tidak fulfilling, tidak sesuai dengan talenta; dan Saudara bisa tebak apa yang akan terjadi. Saudara justru akan jadi orang yang tidak produktif, Saudara burn out lebih cepat, dan ujungnya mungkin total jumlah uang yang Saudara hasilkan malah lebih sedikit. Uang yang Saudara punya pun, mungkin akhirnya malah jadi masalah; karena uang yang terpenting, mungkin Saudara mulai cari cara-cara menghindari pajak, Saudara mungkin ambil jalan-jalan pintas yang akhirnya malah menghancurkan keuangan Saudara. Saudara mungkin mulai gambling, bukan di meja judi tapi gambling dalam persimpangan hidup lalu yang mana yang Saudara pilih; ‘ini resiko besar tapi reward financial-nya juga besar, saya pilih yang ini’ –dan cepat atau lambat hancur.
Lalu Saudara sekarang berkata, “O, begitu ya, Pak Jethro, jadi yang penting jangan uang, yang penting cari pekerjaan yang cocok dengan kita ya, tidak masalah bayarannya berapa?” –masih saja Saudara cari peraturan, bukan cari bijaksana. Apa yang terjadi sekarang, jika pekerjaan yang paling penting dalam hidupmu? Saudara bilang, “Ya, tadi ‘kan pilihannya itu, pekerjaan A fulfilling, sukacita, tapi bayarannya sedikit. Pekerjaan B bayarannya besar, tapi ‘gak fulfilling, jadi berarti kita musti pilih yang A dong, ya? Simpel sajalah, yang penting pekerjaannya”. Jadi bagi Saudara yang lebih penting pekerjaannya, bukan uang atau bayarannya; yang lebih penting pekerjaannya, pencapaiannya, karirnya, mengejar excellence-nya. Ini kedengarannya seperti lebih agung dibandingkan mengejar uang tok, tapi ujungnya yang terjadi sama saja. Dalam hal ini, ketika Saudara kembali bertemu dengan persimpangan, tapi persimpangan yang lain, yaitu antara bekerja dan istirahat, maka Saudara akan pilih yang mana? Ketika pekerjaan jadi yang terutama, lalu ada persimpangan antara karir dan keluarga, Saudara pilih yang mana? Saudara mementingkan pekerjaan, lalu Saudara bertemu persimpangan yang lain, antara bisnis dan menjalin relasi, Saudara pilih yang mana? Pada akhirnya, Saudara work yourself to death; and guess what? Orang mati tidak bisa kerja. Lalu, karena yang namanya excellence dalam karir sangat erat dengan pengakuan orang, maka Saudara mengejar proyek-proyek yang lebih ada pengakuan orang dibandingkan manfaat bagi masyarakat, dst., dst. –dan ini berjalan terus.
Contoh lain lagi, jika yang terpenting dalam hidpmu bukan uang, bukan pekerjaan, tapi anak-anak Saudara, dalam arti kalau anak-anakmu “jadi”, Saudara baru merasa dirimu “jadi”; Saudara menghidupi hidupmu lewat hidup anak-anakmu. Ini jenis orangtua yang paling bahaya. Orangtua seperti in akan push anak-anaknya untuk jadi ini atau itu yang tidak sesuai dengan diri mereka, tapi semata-mata karena hal tersebut sesuai dengan diri si orangtua, sesuai dengan konsep si orangtua mengenai apa artinya “jadi orang”. Dan akhirnya, anak-anak Saudara memendam kepahitan yang suatu hari meledak, lalu ujungnya Saudara malah kehilangan mereka. Saudara, apa yang mirip dari semua contoh-contoh “hikmat” ini? Yaitu bahwa semuanya sangat ironis; mengutamakan uang malah akhirnya kehilangan uang, mengutamakan karir malah akhirnya pensiun dini, mengutamakan anak malah akhirnya dibenci oleh anak.
Saudara lihat, di hadapan Salomo ada persimpangan –ada dua Wanita– dan yang brilian dari Salomo adalah dia melakukan sesuatu yang membongkar ‘apa yang terutama’ dalam hati dua wanita ini. Apa yang menjadi kuk dua wanita ini, dia bongkar. Itulah briliannya Salomo. Salomo bukan bikin observasi lalu bikin tebakan yang tepat; briliannya Salomo adalah dia menemukan satu cara untuk membuat kedua wanita ini dengan rela –dengan tidak sadar—membongkar diri mereka akan apa yang jadi kuk mereka, yang jadi pondasi hidup mereka, yang jadi hikmat mereka. Waktu Salomo menyuruh mengeluarkan pedang, kita tahu dia tidak benar-benar berniat membunuh anak itu; waktu kedua ibu itu berespons yang berbeda, Salomo tidak tiba-tiba bilang, “Eh, ‘gak jadi deh”, karena pedang memang bukan solusi Salomo sejak semula, pedang hanyalah sarana Salomo untuk mengorek sesuatu.
Sekarang kita akan perhatikan respons kedua wanita ini, yang akan membuat kita lebih menyadari lagi apa artinya wisdom. Wanita yang kedua, yang suruh untuk penggal saja anak itu, responsnya menunjukkan bahwa bagi dia, jadi seorang mama adalah lebih penting daripada anak itu sendiri, dia lebih mau jadi mama daripada dapat anak; yang terpenting dalam hidup wanita ini adalah ke-mama-an, bukan anak. Ini lucu. Ternyata bisa seperti itu. Dan, karena ke-mama-an ini yang terutama, anak jadi tidak terlalu penting; yang penting ke-mama-an ini, maka kalau saya tidak bisa dapat hal ini, orang lain tidak boleh dapat, apalagi sainganku itu, jadi silakan bunuh anak itu. Inilah logikanya. Kenapa bisa ada logika seperti ini, kenapa bisa ada “hikmat” seperti ini, di sini Saudara melihat apa yang jadi kuk-nya itu. Jika menjadi seorang mama, menjadi orangtua, adalah hal yang terpenting dalam hidup kita, maka sebenarnya Saudara tidak benar-benar peduli dengan si anak. Itu sebabnya hikmat macam ini hanya akan membawa kita ke dalam kebodohan. Ketika wanita ini mengatakan, ‘biar saja anak itu mati, supaya kamu berdua tidak ada yang dapat’, itu bodoh sekali. Bukan hanya bodoh di mata Kekristenan, ini bodoh di mata semua orang; semua orang yang mendengar perkataan itu, langsung tahu dia bukan ibunya. Kenapa dia bisa sampai sebodoh itu? karena ke-mama-an itulah kuk-nya, itulah otoritas atas hidupnya.
Sekali lagi Saudara, cara kerja hikmat adalah seperti ini: apa yang menjadi rajamu, yang menjadi kuk-mu, yang menjadi otoritasmu, itulah juga sumber hikmatmu; dan jikalau yang menjadi rajamu itu bukan Raja yang sejati, maka ini berujung kepada hikmat yang adalah kebodohan, hikmat yang palsu. Cari uang malah habis uang, cari karier malah pensiun dini, ingin jadi mama tapi tidak peduli nyawa anak; ini ‘kan bodoh di mata semua orang. Kenapa? Karena tidak ada Raja yang sejati kecuali Yesus Kristus, tidak ada kuk yang enak selain kuk dari Kristus. Ketika Saudara menyerahkan kuk-mu kepada sesuatu apapun selain Yesus Kristus, yang akan terjadi adalah: hikmatmu jadi kebodohan –karena siapa rajamu, akan menentukan kuk-mu seperti apa; kukmu seperti apa, menentukan hikmatmu seperti apa.
Omong-omong, satu hal kecil sebelum kita masuk bagian berikutnya; mungkin ada orang bilang, “Pak,‘gak tentu lho Salomo itu benar, tetap bisa jadi ‘kan wanita kedua ini adalah mama yang asli, kita tidak tahu secara pasti”. Lalu jawabannya apa? Katakanlah mereka berdua benar-benar pikir itu anaknya karena mereka tidurnya bareng, dsb. –ini bisa banyak spekulasi– anggaplah ada kemungkinan wanita kedua tersebut benar-benar mama biologis si anak, Saudara perhatikan inilah justru briliannya Salomo, karena jikalau pun benar wanita kedua tersebut ibu biologis yang asli, maka keputusan Salomo tetap keputusan yang tepat. Mengapa? Karena Salomo bisa melihat bahwa seorang ibu yang bisa-bisanya merelakan anaknya dibunuh hanya karena tidak mau kalah, itu ibu yang tidak cocok jadi ibu, tidak kompeten jadi mama, dan tidak akan mampu membesarkan anak tersebut. Jadi kalau pun dia benar-benar mamanya, jangan biarkan dia jadi mama. Bagaimana pun, inilah briliannya Salomo. Ini satu hal kecil saja sebelum kita masuk ke hal berikutnya.
Kita sudah melihat kenapa kita butuh wisdom. Kita juga sudah melihat apa sumber dan cara kerja wisdom itu; sumbernya adalah dari “sang raja”. Raja itu akan menentukan hikmatmu seperti apa; rajanya sejati maka hikmatnya sejati, rajanya palsu maka hikmatnya palsu, dst. Kalau kita sudah tahu sumbernya dari mana, seperti apa yang bodoh dan sepertui apa hikmat yang sejati, maka sekarang kita bertanya apa sebetulnya esensi dari wisdom.
Yang ketiga, “apa esensi dari hikmat/wisdom”. Dalam kisah ini esensi dari wisdom bukan cuma Saudara temukan dalam diri Salomo, tapi juga dalam diri wanita yang pertama. Wanita yang kedua tadi berusaha menggapai sesuatu tapi akhirnya malah kehilangan hal tersebut –ini wisdom/hikmat duniawi– dan Saudara lihat kontrasnya dengan wanita yang pertama, bahwa inilah gambaran bijaksana Ilahi: dengan menyerahkan sesuatu, dia malah mendapatkannya kembali.
Inilah bijaksana Ilahi: jalan ke atas adalah dengan ke bawah. Jalan mendapatkan hidup adalah dengan menyerahkannya. Jalan untuk mendapatkan kuasa adalah dengan menaklukkan diri. Jalan untuk mendapatkan kebebasan yang sejati adalah justru dengan melayani. Jalan mendapatkan kelimpahan sejati yang tidak bisa hilang, adalah justru dengan menyerahkan apa yang bisa hilang. Yang kita lihat dalam wanita pertama ini, dia rela untuk menyerahkan ke-mama-annya demi anaknya bisa hidup, dia menyerahkan sukacitanya demi anaknya bisa punya sukacita, dia menyerahkan harapannya supaya anaknya ada harapan. Dan, ternyata bukan cuma bijaksana duniawi yang ironis, bijaksana Ilahi pun ironis, hanya saja ironinya ironi yang positif, yaitu dengan menyerahkan haknya menjadi seorang ibu, dia mendapatkan anaknya kembali. Ironis. Bukan cuma itu, dia mendapatkan ke-mama-an yang sekarang pure, murni, aman, karena lewat kejadian ini kita hampir bisa yakin bahwa si wanita pertama ini benar-benar akan jadi ibu yang sejati bagi anak tersebut. Saudara perhatikan, jikalau wanita kedua yang mendapatkan anak itu, dia hanya akan jadi tiran/penindas atas hidup anaknya, dan anak itu pun mungkin juga akan jadi tiran atas hidup dia.
Satu hal yang kita ingat dalam cerita Abraham, kenapa waktu Abraham mendapatkan Ishak lalu Allah meminta balik Ishak? Dalam hidup Abraham, apa yang jadi kuk-nya sampai pada cerita tersebut? Kenapa Abraham jatuh dalam cerita sebelumnya, sampai bisa meng-abuse Hagar secara seksual –istrinya pun demikian– dan akhirnya mereka berdua mengusir Hagar bersama anaknya untuk kemudian mati di padang belantara? Pada zaman itu, kalau orang diusir, itu tidak main-main, itu hukuman mati. Kenapa mereka bisa sampai melakukannya? Karena kuk ini: bahwa yang paling penting dalam hidup Abraham adalah keturunan, lebih penting daripada apapun. Orang seperti ini akhirnya menghasilkan hikamt yang tidak beres. Itulah yang menyebabkan dia melakukan semua kesalahan yang akan dilakukan ketika orang menjadikan sesuatu sebagai ilah. Inilah satu hal yang jadi kunci seluruh problematika hidup kita. Jadi, ketika Abraham menaruh Ishak di mezbah itu, dia benar-benar harus sampai poin yang terakhir, mengangkat pisau itu dan sesaat lagi menusukkannya, baru Allah menyetop, karena sampai dengan Abraham rela menyerahkan Ishak, Ishak sesungguhnya berbahaya bagi Abraham –dan Abraham berbahaya bagi Ishak. Itu sebabnya ketika wanita pertama tersebut menyerahkan anak ini, dia bukan cuma mendapatkan si anak kembali, tapi juga mendapatkan ke-mama-an yang pure itu –karena dalam keibuan yang sejati, keibuan tersebut tidak pernah jadi prioritasnya. Inilah esensi wisdom. Esensi wisdom adalah Saudara menyerahkan, barulah bisa mendapatkan; Saudara ke bawah, barulah Saudara aman untuk ke atas. Inilah namanya bijaksana Ilahi.
Saudara perhatikan, kalau wanita ini benar-benar fokusnya pada si anak, maka dia tidak panik. Waktu dia berhadapan dengan kalimat Salomo, dia tidak panik, dia tidak bilang, “No… noooo… “ –yang seperti itu sama sekali tidak ada. Dia hanya mengatakan, “Tolong jangan bunuh dia.” Yang kedua Saudara juga lihat, tidak ada fokus pada kekesalan atau kepahitan terhadap si saingan; wanita ini sama sekali tidak fokus ke saingannya, tidak ada dia mengatakan, “Kurang ajar lu, ya! anak koq disuruh penggal ya …”;tidak ada yang seperti itu. Dan yang menarik, si wanita ini bahkan tidak ada kepahitan atau protes terhadap sang raja yang memberi perintah begitu kejam; yang jadi fokusnya hanya anaknya –pengorbanannya. Ini satu hal yang kita perlu coba lakukan kalau kita mau belajar mendapatkan inti dari wisdom dalam hidup kita.
Ambil contoh mengenai pernikahan. Apa kuncinya untuk Saudara bisa punya ketenangan dalam urusan menikah, Saudara tidak ‘aduh, aduh, saya belum nikah-nikah, gimana ini, jomblo terus…’, atau Saudara pahit terhadap orang-orang yang menikah, ‘kenapa sih dia dapat si ini, kurang ajar, aku sudah sama-sama dia, kita lahirnya tahun yang sama, dari sekolah yang sama, tapi kenapa dia dikelilingi wanita dan aku enggak’. Bahkan mungkin Saudara bukan cuma sebel sama orangnya tapi juga pahit terhadap pihak Sang Raja, “Tuhan, kenapa Engkau bikin aku hidupnya kayak begini”. Yang seperti ini tidak menghasilkan pengorbanan sama sekali. Lalu bagaimana caranya untuk Saudara bisa berespons sebagaimana si wanita berespons? Jawabannya, Saudara harus seperti wanita ini, wanita ini sedang menunjukkan bagaimana kita harusnya berespons. Dalam hal ini, waktu Saudara menginginkan pernikahan, Saudara harus menyerahkan hak untuk menikah; Saudara harus mengatakan ‘aku melihat pedang Tuhan di atas pernikahan’. Kalau Saudara tidak pernah mengatakan ini sebelum Saudara menikah, Saudara harus tahu satu hal: ketika pada akhirnya Saudara menikah, Saudara akan membunuh orang yang Saudara nikahi, dan pada dasarnya Saudara bunuh diri bersama-sama orang itu, walaupun bukan bunuh tubuh tapi bunuh jiwa. Karena Saudara telah menjadikan pernikahan sebagai yang terutama, Saudara akan bersikeras ‘keluarga saya harus happy dong! saya sudah dapat pernikahan ini, kenapa pernikahan tidak seperti yang saya bayangkan? kenapa suami tidak berlaku seperti yang saya bayangkan, kenapa istri tidak berlaku seperti yang saya bayangkan? ini pernikahan yang saya kepingin banget dari dulu, kenapa kayak begini realitasnya??’ Selanjutnya apa yang akan terjadi? Kepahitan demi kepahitan.
Saudara lihat, inilah jalan duniawi. Orang dunia –seperti si wanita kedua– merasa jalan Tuhan itu seperti bodoh; ‘cara ke atas itu ya ke atas, kalau saya mau dapat pernikahan maka saya harus bekerja bagi pernikahan; bagaimana mungkin orang mau menikah lalu harus menyerahkan hak untuk menikah?? lalu orang mau menikah harus menbayangkan ada pedang atas pernikahan, bagaimana mungkin?? ‘gak masuk akal sama sekali!’, ‘saya mau punya karier yang baik, maka saya harus insist punya karier yang baik!’. Tapi tidak bisa, Saudara; tidak demikian. Itu bukan jalan bagi kebijaksanaan; Saudara lihat dalam kisah ini, kebijaksanaan tidak datang lewat cara itu.
Hal ini bukan cuma kita lihat pada diri wanita yang pertama tapi juga pada Salomo. Saudara lihat bagaimana Salomo menemukan bijaksana, dia juga ada aspek ini. Saudara perhatikan, dia ini mendengarkan kasus di antara dua pelacur. Memang pada zaman itu seorang raja diharapkan untuk bisa menjadi seorang hakim; pada zaman itu badan eksekutif dan legislatif tidak dipisah, bahkan badan religius pun termasuk bersama-sama. Tetapi, bagi raja-raja zaman itu, kalau pun mereka jadi hakim, mereka tidak menangani semua kasus; kasus-kasus yang paling prinsipil, kasus-kasus yang menyangkut hajat hidup orang banyak, barulah akan disampaikan ke mereka. Mereka akan pakai posisinya untuk menutup diri, ‘saya ini orang penting, ya; saya tidak bisa dengarkan kasus-kasus dari jalanan, itu tidak mungkin, bisa habis waktu saya untuk yang kayak begituan doang’ –apalagi mendengarkan kasus di antara dua orang pelacur, dua orang yang tidak ada harganya, tidak ada artinya sama sekali, mereka mau ngapain juga tidak apa-apa, mau mati pun tidak peduli. Namun Salomo turun ke bawah, Salomo mengambil dua orang yang tidak ada apa-apanya ini dan memperlakukan mereka sebagai dua orang. Bisa dibilang Salomo ini, sebagai seorang raja, dia rela di-asosiasikan dengan pelacur. Bisa dibilang Salomo ini menyerahkan kehormatan. Tapi kemudian apa yang terjadi pada akhirnya? Seluruh rakyat menjadi takut, segan, in awe, kagum, respek terhadap raja ini –justru karena dia menyerahkan kehormatannya. Bahkan kita saja yang disebut hamba Tuhan, kalau disuruh penginjilan ke pelacur bisa pikir 12 kali, dan mungkin jawabannya tetap ‘tidak’ –namun Salomo melakukan hal itu.
Saudara lihat, esensi dari wisdom, bijaksana yang Ilahi, adalah ini: Saudara turun ke bawah untuk mendapatkan ke atas; Saudara menyerahkan apa yang Saudara mau, justru baru Saudara aman untuk mendapatkannya kembali. Tentu tidak selalu dapat juga, tapi paling tidak itu aman.
Pertanyaan yang terakhir: bagaimana kita bisa punya wisdom kayak begini, bagaimana kita bisa rela untuk melakukan hal seperti ini? Kita bisa, Saudara, karena Salomo dan wanita yang pertama ini bisa padahal mereka tidak tahu sesuatu yang kita hari ini tahu. Mereka tidak punya kuasa yang kita hari ini punya, yaitu: kita pada hari ini mengenal Raja yang sejati jauh lebih dalam dibandingkan Salomo ataupun wanita tersebut. Kita tahu sesuatu yang mereka tidak tahu, kita tahu Raja yang sejati ini siapa, dan kita tahu apa yang telah Dia lakukan buat kita. Dan, apa yang telah Dia lakukan buat kita, itu ditunjukkan bukan cuma lewat diri Salomo, tapi lewat diri wanita pertama itu juga. Wanita ini mengatakan apa? ‘Jangan hancurkan hidup anakku, hancurkan hidupku; jangan belah dia jadi dua, belah aku jadi dua’. Saudara mungkin bilang, “Dia tidak ngomong itu, Pak.” Dia tentu ngomong itu, karena seorang ibu yang menyerahkan anak, sakitnya lebih daripada sakit apapun yang bisa dibawa oleh pedang. Itu sebabnya Paulus mengatakan, salib itu kebodohan bagi dunia, tapi adalah bijaksana Ilahi. Mengapa? Karena salib adalah tempat di mana orang bisa menang kewat kalah; di mana lagi ada yang kayak begini?
Saudara sadar tidak, betapa anehnya dalam momen klimaks kitab salah seorang pendiri agama, kalimat terakhirnya adalah “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku” ? Saudara pernah perhatikan tidak betapa anehnya kalimat seperti itu, yang kemudian bisa menghasilkan satu movement begitu besar di mana orang-orang menyembah Dia sebagai Allah? Inilah bijaksana Ilahi, yang memang kebodohan di mata dunia. Kunci untuk Saudara bisa punya bijaksana Ilahi seperti ini adalah: menempatkan Raja ini di tengah-tengah hidupmu.
Saya pernah ada pengalaman dengan seorang teman ketika kami masih di STT; mama teman saya itu sakit, dalam keadaan on life support, dan pada dasarnya mungkin sudah vegetatif. Intinya, saat itu mereka harus memutuskan –mereka ada dalam persimpangan– apakah harus mencabut atau mempertahankan. Mereka bingung, karena ini persimpangan yang ke kiri maupun ke kanan bisa jadi benar. Di satu sisi, mereka tahu sepertinya tidak ada gunanya dilanjutkan; dan kalau pun dilanjutkan, resiko dari obat yang diberikan juga cukup besar, bisa memperparah. Di sisi lain, mereka tidak bisa berdamai dengan pikiran bahwa mama mereka mungkin masih ingin hidup, dan ingin supaya mereka mengusahakan sebisa mungkin supaya mamanya bisa balik. Mereka juga berpikir, ‘seandainya saya dalam posisi mama, maka mama pasti akan mengusahakan sebisa mungkin supaya saya bisa hidup; lalu kenapa saya tidak mengusahakan yang sama bagi dia?? saya masih ada uang, saya masih bisa kerja, kenapa saya tidak mau meneruskan??’ Inilah dua jalan yang dua-duanya oke, masing-masing ada argumennya. Bagaimana Saudara bisa menentukan pilihan untuk hal seperti ini? Mau pakai buku peraturan? Tidak bisa. Saya juga bingung waktu dia curhat, saya tidak tahu harus ngomong apa. Tuhan lalu beri bijaksana, bukan dari saya tapi dari Tuhan. Entah bagaimana saya bisa mengatakan kepada dia begini: “Kamu kuatir dengan mama kamu karena kamu merasa hidup mamamu bergantung di tanganmu, benarkah? “ Dia jawab, “Benar.” Lalu saya bilang, “Saya mau beritahu kamu, itu tidak benar; hidup mamamu ada di tangan Tuhan, dan Tuhanmu tidak sebodoh itu untuk menyerahkan nasib mamamu ke tanganmu, apapun keputusan yang engkau harus ambil.” Saudara, tentu tetap saja kita musti memutuskan dengan pikir baik-baik. “Keputusan yang kita ambil tetap ada tanggung jawab kita”, itu yang saya katakan kepada dia, “Tapi satu hal yang pasti, kamu musti tahu apa yang ada di atas semua ini; Tuhan itulah yang in-charge, yang mengontrol nasib mamamu, bukan kamu. Kalau pun kamu bikin kesalahan, apa kamu pkkir Tuhan sebegitu bodohnya, meninggalkan nasib mamamu kepada tanganmu?” Omong-omong, mama teman saya ini mama yang sangat rohani, dua dari tiga anaknya msuk STT. Teman saya kemudian bergumul, bicara dengan keluarga lagi, dan akhirnya mengatakan, “Ya, sudah, kami cabut; bukan karena kami tidak sayang mama, tapi karena kami tahu Tuhan lebih sayang mama daripada kami bisa menyayangi mama.”
Ketika Saudara menjadikan Tuhan sebagai yang terutama, hikmat itu mengalir. Saudara menyerahkan, untuk mendapatkan. Inilah hikmat Ilahi yang sering kali mungkin kebodohan bagi dunia, tapi Saudara lihat inilah yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan bukanlah peraturan-peraturan lagi, yang kita butuhkan adalah Raja yang Sejati, The True King. Bagaimana Saudara mendapatkan The True King? Saudara harus rela menanggung kuk-Nya. Dia harus menjadi yang terutama dari semua keputusanmu. Dia harus menjadi yang paling utama, Dia harus menjadi alasan kenapa engkau bangun dari tempat tidurmu pada pagi hari. Dia harus menjadi satu titik di mana semua keputusanmu engkau putuskan berdasarkan Dia, dengan keberadaan Dia dan kehadiran Dia. Dan, jika engkau tidak melakukan ini, Dia tidak akan menjadi wisdom-mu.
Saudara mungkin mengatakan, “Pak, beri saya yang praktis, jangan abstrak kayak begitu.” Saudara mau yang praktis? Praktisnya adalah: jikalau engkau mau menjadikan Allah, Yesus Kristus, sebagai pusat hidupmu, Saudara harus mempelajari firman-Nya. Tidak bisa tidak. Tidak ada jalan lain selain itu. Saudara harus mengambil sebanyak mungkin yang bisa diambil, Saudara harus merendam hatimu di tengah-tengah firman Tuhan. Tidak ada jalan lain, karena hidup Saudara dan saya terlalu kompleks. Tapi kita bersyukur bahwa Allah kita adalah Allah yang rela menyerahkan semua hidup-Nya, semua kemuliaan-Nya, bagi hidup yang kompleks ini, bagi hidup yang menyebalkan ini, bagi hidup di tengah-tengah Saudara dan saya. Itulah sebabnya kalau Saudara menjadikan Dia sebagai Rajamu, waktu Saudara menghadapi persimpangan, Saudara bisa damai, Saudara tidak teriak-teriak, Saudara bisa mengambil keputusan tanpa harus pahit terhadap orang yang mempunyai apa yang Saudara tidak punya. Dan Saudara punya kekuatan untuk berkorban, menyerahkan apa yang Saudara punya, karena Saudara melihat Allah yang telah menyerahkan semua itu terlebih dahulu sebelum Saudara.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading