Kita melanjutkan pembahasan dari kitab Ayub, perikop yang terakhir, dari pasal 42:7-17. Kita memberi judul khotbah ini “Hidup yang Dipulihkan”, suatu kosa kata yang agaknya tidak terlalu asing untuk aliran teologi tertentu. Ada orang yang bicara kepada saya, dalam KKR, dari kalimat tantangannya bisa dibedakan kira-kira denominasinya apa; kalau denominasi kita, kalimatnya “siapa mau bertobat, terima Tuhan” –bagi kita sepertinya memang begitu. Tapi ternyata ada juga yang tantangannya, “siapa yang mau dipulihkan”; dan mungkin semua orang angkat tangan, karena siapa sih, yang tidak mau dipulihkan. Persoalannya bukanlah kosa kata ‘pemulihan’ itu salah –bahkan kata tersebut memang ada di bagian yang kita baca ini, “Tuhan memulihkan keadaan Ayub” (ayat 10)– tapi apa yang kita pikirkan tentang pemulihan tersebut? Jangan-jangan kita salah fokus di sini, jangan-jangan kita salah mengerti, jangan-jangan kita tidak mengerti Firman Tuhan, dan jangan-jangan Kekristenan cuma sekedar tambal sulam untuk mengukuhkan berhala yang kita sembah dalam kehidupan kita. Itu sebabnya kita perlu membicarakan bagian ini.
Bagiaan ini adalah satu bagian yang penting, meski ini bagian epilog; dan mungkin ada pakar yang berargumentasi bahwa klimaks kitab Ayub adalah ayat 1-6 pasal 42 ini, sementara ayat 7-17 hanyalah seperti coda dalam musik. Bagaimanapun juga, bagian ini adalah bagian yang perlu, bukan sekedar suatu coda yang boleh ada dan boleh tidak ada. Fakta bahwa Roh Kudus menggerakkan penulis kitab Ayub untuk mencatat bagian ini, berarti Tuhan mau kita mempelajarinya.
Di sini ada kalimat yang sulit, yang menimbulkan banyak perdebatan, yaitu waktu Tuhan mengatakan “… kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub” (ayat 7); apa maksudnya? Ayub berkata benar tentang Tuhan, sedangkan sahabat-sahabatnya tidka berkata benar tentang Tuhan seperti Ayub; apa artinya? Saudara tentunya bukan tidak tahu sama sekali cerita tentang Ayub ini; setelah pembicaraan-pembicaraan yang panjang lebar, termasuk perkataan-perkataan Ayub yang tidak ortodoks itu –kalimat-kalimat ratapannya yang seringkali teologinya ngawur—bagaimana Tuhan bisa mengatakan bahwa perkataan Ayub ini benar, sementara perkataan sahabat-sahabatnya tidak benar? Kalau mau bicara tentang ortodoksi teologi, bukankah perkataan-perkataan sahabat-sahabatnya sepertinya secara teologis lebih benar, lebih ortodoks? Perkataan Ayub sepertinya yang ngawur –mengutuki hari kelahiran, menjungkirbalikkan teologi ciptaan, mengaburkan the design of God, dst.– bagaimana Tuhan bisa mengatakan ini adalah perkataan yang benar? Di dalam hal apa benarnya? Atau Tuhan sebetulnya cuma merujuk pada perkataan Ayub di pasal 42:1-6? Memang bisa juga ditafsir ke situ, bahwa yang benar bukanlah perkataan-perkataan Ayub yang berpasal-pasal itu, tapi cuma ayat 2-6 pasal terakhir; tapi kalau demikian, masalahnya, di bagian ini cuma ada perkataannya Ayub.
Waktu saya studi di Heidelberg, ada profesor Perjanjian Baru yang spesialisasinya kitab Ayub, Manfred Oeming; dia punya tafsirannya sendiri tentang bagian ini, dan cukup menarik tafsirannya, meski mungkin bukan tidak ada kelemahannya. Sebagaimana biasa, ketika pertama kali seseorang diberikan jabatan profesor di univeritas tertentu, dia musti memberikan semacam opening lecture yang bisa didengar seluruh universitas; dan dalam inauguration lecture tersebut, dia memakai kitab Ayub, tepatnya ayat ini. Dia menerjemahkan bahwa dalam bagian ini, waktu dikatakan “tentang Aku”, sebetulnya dalam bahasa aslinya, istilah ‘el ini bisa diterjemahkan ‘tentang’, bisa juga diterjemahkan ‘kepada’. Tafsiran ini menarik, karena memang di sepanjang kitab ini, agaknya yang berbicara kepada Tuhan cuma Ayub. Teman-teman Ayub berusaha memosisikan diri mereka sebagai penghibur-penghibur, atau juga penasehat, tapi penghibur yang sialan (atau dalam bahasa Inggris: torturer comforter) dengan khotbah-khotbah yang sebetulnya tidak menghibur malah sebaliknya makin menusuk, dan tidak memberikan jalan keluar juga, cuma menyerang Ayub. “Kamu pasti salah, kamu musti mengaku dosamu; kalau kamu tidak ada dosa, tidak mungkin menderita seperti ini”, itulah yang dikatakan teman-teman Ayub. Tapi kita tidak membaca mereka berkata-kata kepada Tuhan; bukankah ini keterlaluan juga. Kalau kita mengunjungi orang sakit, paling sedikit yang bisa kita lakukan adalah: on their behalf, kita berdoa kepada Tuhan untuk mereka, tapi bagian itu di sini tidak ada, hanya ada khotbah. Itu sebabnya kita sebal dengan orang yang datang-datang bukannya mendoakan, tapi cuma khotbah. Orang seperti saya ini bahaya, karena kita berkhotbah tapi sebetulnya mendoakan atau tidak? Dalam hal ini hamba Tuhan harus introspeksi, kalau kita cuma khotbah saja tapi tidak pernah mendoakan jemaat, itu jadi seperti teman-temannya Ayub.
Teman-teman Ayub itu khotbah doang, dan khotbahnya lumayan okelah, teologinya mungkin ortodoks, sementara Ayub justru yang lebih banyak bermasalah dalam perkataannya, tetapi Tuhan membenarkan Ayub; dan kalau menurut tafsiran Manfred Oeming tadi, itu karena Ayub itu berkata-kata kepada El, kepada Allah/Tuhan. Yang lainya, teman-teman Ayub itu, tidak berkata-kata kepada Tuhan; jadi ini teologi yang tidak membawa kepada doa, teologi yang cuma dipakai untuk mengkhotbahi orang lain, teologi yang dipakai untuk menasehati orang lain sementara sendirinya tidak ada relasi dengan Tuhan. Tentu saja ini model teologi seperti ini sangat bermasalah. Gereja, yang teologinya cuma dikhotbahkan saja tapi bukan teologi yang membawa kepada doa, Gereja itu pasti bermasalah. Gereja yang tidak ada relasi dengan Tuhan, Gereja yang perkataan-perkataannya ortodoks, kalimat-kalimatnya konservatif, kalimat-kalimat Alkitan, tapi sebetulnya tidak membawa orang untuk berdoa kepada Tuhan –dan sendirinya pun tidak berdoa kepada Tuhan—itulah gambaran teman-temannya Ayub.
Tafsiran Oeming ini mungkin ada poinnya, tapi saya pikir tafsiran seperti ini juga perlu dilengkapi, karena sulit kalau sekdar membicarakan urusan relasi tapi tidak melihat konten-nya. Apakah Tuhan memuji atau membenarkan Ayub, sekedar karena dia berkata-kata kepada Allah, apapun konten/isi perkataannya? Tentu agak sulit kita menerimanya. Katakanlah konten bukan everything, tapi konten juga bukan nothing. Kita tidak bisa mengatakan, “pokoknya yang penting ngomong kepada Tuhan, ngomong apa terserah, yang penting ngomong”. Saya pikir bukan begitu. Betul bahwa berelasi dengan Tuhan itu penting, tapi apa yang kita katakan, tentu juga penting. Dalam hal ini, kesulitannya ketika kita membaca pasal 38:2, di situ Tuhan menegur Ayub: “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?” Ini adalah teguran untuk Ayub; dan orang seperti ini koq pada akhirnya dikatakan perkataannya benar, kalau begitu, jadi Tuhan ini berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri atau bagaimana?
Saudara, kita membaca bahwa bagian ini tetap adalah bagian yang Ayub musti dikoreksi. Memang Ayub sudah mengoreksi dirinya (ayat 2-6), dia mencabut perkataannya, dan dengan menyesal dia duduk dalam debu dan abu. Tapi di ayat 7 kemudian Tuhan mengatakan, bahwa Ayub berkata benar tentang Allah. Apakah sebetulnya yang dikatakan Ayub, yang benar, dan tidak dikatakan oleh sahabat-sahabatnya? Dalam hal ini kita musti mengerti bahwa kitab Ayub termasuk kitab puisi dan kitab bijaksana; dan kitab seperti ini banyak berpolemik dengan yang namanya Deuteronomistic theology, hukum retribusi/hukum tabur-tuai. Baik itu kitab Ayub, Ester, Rut, Pengkhotbah, ataupun Amsal, dsb., ada semacam polemik dengan Deuteronomistic theology, dengan hukum yang mengatakan bahwa Tuhan memimpin dunia ini, dan menyatakan barangsiapa salah/berdosa akan dihukum, barangsiapa benar akan diberkati. Kesulitannya, Ayub ini tidak merasa dirinya salah, tapi kenapa dia menderita; itu sebabnya teman-temannya mengatakan ‘kalau menurut Deuteronomistic theology, kamu pasti salah; hidupmu malang begini, pasti kamu ada dosa’ –sesederhana itu. Alasanya, karena orang yang taat, tidak menderita; orang yang fasik, menderita. Orang fasik kena hukuman Tuhan, menuai perbuatan kejahatannya, maka dia menderita; sedangkan orang benar, dia mendapatkan pahala, upah pemeliharaan Tuhan, kelepasan dari Tuhan. Dengan demikian, kenyataan bahwa kamu menderita, tinggal ditarik saja penyebabnya, dan akan jelas bahwa kamu orang fasik; dan kalau kamu orang fasik, ya, mengaku dosa saja. Itulah perkataan teman-teman Ayub. Mereka berpendapat bahwa Tuhan memimpin dunia berdasarkan prinsip retributive justice (keadilan yang dibalaskan).
Minggu lalu kita sudah membicarakan, bahwa Ayub sebetulnya juga mempertanyakan hal ini. Ayub juga mengangkat isu keadilan ini, tapi tidak ada jawaban dari Tuhan. Pertanyaan itu diabaikan begitu saja oleh Tuhan; dan Ayub musti memberhentikan perkataannya, tidak bisa diteruskan lagi, maka dia berkata, “Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (ayat 6). Dalam bagian itu, isu tentang keadilan tidak dibereskan oleh Tuhan. Tapi kemudian di dalam bagian ini Tuhan mengatakan “Ayub berkata benar”. Berkata benar dalam hal apa? Tidak lain tidak bukan adalah: Ayub menyadari bahwa Tuhan itu tidak bisa didesak, Tuhan itu tidak bisa diperkarakan dalam isu ‘keadilan’ ini. Itulah yang benar dalam diri Ayub. Orang yang terus-menerus mempertanyakan keadilan Tuhan, itu lebih mirip teman-temannya Ayub daripada Ayub yang bertobat. Memang Ayub sendiri tadinya juga seperti itu, ikut-ikut mempertanyakan; di dalam hal ini teman-teman Ayub maupun Ayub bertanya akan hal yang sama, “mana keadilan Tuhan”. Teman-teman Ayub sendiri merasa tidak perlu bertanya lagi karena sudah tahu jawabannya; menurut mereka Tuhan selalu adil, dan kenyataan bahwa Ayub menderita adalah karena Ayub fasik, dan itu sebabnya Ayub harus mengaku dosa. Tetapi Ayub merasa tidak begitu, ‘saya bukan orang fasik yang seperti kamu gambarkan; kalian ini penghibur-penghibur sialan’; lalu dia menuntut Allah menyatakan keadilan, dia yakin sekali Allah akan membenarkan dan membela perkaranya. Kenyataannya, waktu Tuhan muncul, Tuhan tidak menjadi pembela Ayub, sebaliknya Dia mengajak berkeliling melihat ciptaan dsb. Di dalam hal ini, yang dimengerti oleh Ayub dan tidak dimengerti sahabat-sahabatnya adalah: bahwa Allah yang dinyatakan di dalam Kitab Suci, tidak bisa dipaksa dan tidak bisa dikotakkan di dalam laci yang sempit ‘hukum tabur-tuai’ itu. Teman-teman Ayub mengurung Allah di sana, “kalau sakit, miskin, pasti berdosa; kalau sehat, kaya, pasti berkenan kepada Tuhan”. Bahaya sekali kalimat seperti ini.
Saya bukan mengatakan, orang yang sakit dan miskin, pasti tidak berdosa; kita hanya mengatakan itu tidak mutlak karena berdosa. Mungkinkah orang miskin karena kesalahannya? Mungkin saja. Saudara jangan pikir ‘kalau saya miskin, saya mirip Ayub, bahkan mirip Yesus Kristus’ –ngawur kalimat seperti itu. Itu self-righteous yang tinggi sekali. Saudara jangan pikir, kalau Saudara menderita maka otomatis Saudara lebih benar, itu mental ‘korban’, merasa benar kalau lebih menderita. Kitab Ayub tidak mengajarkan itu. Tetapi, kitab Ayub memang mempersoalkan bahwa orang yang menderita, sakit, bangkrut, itu pasti karena ada dosa.
Apa bedanya pikiran sahabat-sahabat Ayub dibandingkan dengan Ayub? Ayub percaya, bahwa Tuhan tidak bisa ditebak dan tidak bisa dikurung dalam hukum tabur-tuai seperti itu, bahwa Tuhan bukan seperti itu. Kita bisa kecewa kalau kita “mengenal” Tuhan sebagai tuhan yang ketika orang fasik berbuat jahat maka langsung dalam hitungan detik dia kesambar petir dsb., karena kenyataannya di dalam kehidupan tidaklah seperti itu. Kalau Saudara berpegang pada teologi yang demikian, hidup ini jadi kelihatannya sangat irasional. Pengkhotbah mengatakan, bahkan hidup ini kelihatan seperti terbalik-balik, dan itu betul-betul bikin orang putus asa. Pengkhotbah mengatakan, “orang fasik menerima upah orang benar, orang benar menerima upah orang fasik, ini semua sia-sia; koq bisa ketuker-tuker kayak begini, ya??” Jadi memang ada kesulitan, bukan tidak ada. Sama seperti itu, Ayub pun ada kesulitan, sedangkan teman-teman Ayub sih merasa tidak ada kesulitan –mungkin juga karena bukan mereka yang menderita.
Teologi berkaitan juga dengan aspek ‘siapa yang membicarakan’. Teologi yang dibicarakan oleh orang yang menderita, dan teologi yang dibicarakan oleh orang yang menasehati, itu berbeda. Saudara berteologi ketika sedang menderita, atau ketika Saudara berusaha menghibur orang yang menderita, itu berbeda. Saudara di posisi yang mana? Kita menggunakan kalimat-kalimat teologis ini untuk siapa? Siapa yang berbicara, siapa yang dituju? Bicara seperti teman-temannya Ayub itu gampang sekali. Teologi dingin seperti ini, teologi yang tidak relasional, teologi yang asal ngomong saja tanpa ada konteksnya, itu gampang dikatakan –dan khotbah seperti itu juga gampang– tapi di dalam kehidupan, kenyataannya lebih rumit.
Ayub benar, dan teman-teman Ayub tidak benar karena mereka menggambarkan Tuhan seperti ‘universal policeman’ –demikian istilah yang dipakai Clines– seperti polisi universal, yang begitu orang salah lalu langsung digebuk, langsung dipotong tangannya, langsung dipotong lidahnya, langsung dicungkil matanya, dsb. Gambaran seperti inilah yang diperkenalkan teman-teman Ayub: ‘kenyataan bahwa kamu menderita demikian dahsyat, berarti itulah penghukuman Tuhan’, bahwa Tuhan berlaku seperti polisi universal, bahwa Tuhan bekerja berdasarkan prinsip retribusi.
Tentu kita tidak mengatakan bahwa Ayub tidak ada salahnya sama sekali dan tidak perlu ditegur. Kita sudah membahas Ayub 42:1-6, kita tahu dia mencabut perkataannya dan menyesal, dia duduk di dalam debu dan abu. Tuhan memang menegur Ayub. Menegur dalam hal apa? Menegur karena Ayub di dalam penderitaanya, seperti lebih fokus ke pertanyaan tentang keadilan Allah daripada melihat atau berusaha mengapresiasi the grand design, pekerjaan Allah dalam lingkup yang luas itu. Saya pikir, kita juga musti belajar seperti itu.
Saya hari ini terakhir kali khotbah di sini secara fisik; dan ada jemaat yang seperti bersikeras mengatakan “sudahlah jangan pergi, itu pasti bukan kehendak Tuhan”. Berani sekali ya, bicara seperti ini, bahwa itu pasti bukan kehendak Tuhan –dengan kata lain, kehendak Tuhan pasti di Kelapa Gading– Saudara ini nabi asli atau nabi palsu atau apa sebetulnya? Saya tidak mau ge-er, saya menghargai perkataan itu sebagai perkataan orang yang peduli dan mencintai. Tapi ada persoalan di dalam kalimat tersebut, karena pekerjaan Tuhan bukanlah cuma di Kelapa Gading. Inilah the pain of self-knowledge –sebagaimana pembicaraan kita minggu lalu. Satu hal yang dipelajari Ayub dalam pembicaraan kita minggu lalu, adalah bahwa dirinya bukan siapa-siapa –the pain of self-knowledge; dan saya pakai kalimat ini: ‘Kelapa Gading itu bukan apa-apa’. Sakit, mendengar kalimat ini; ini the pain of Church-knowledge. ‘GRII itu bukan apa-apa’. Tidak enak mendengar kalimat ini; kita maunya kita ini signifikan, penting –dan inilah namanya narsisistik, orang yang narsisistik, Gereja yang narsisistik. The pain of self-knowledge akan mengatakan, “Saudara dan saya ini boleh diganti kapan saja, disposable, kita ‘gak penting-penting banget”. Sakitkah Saudara mendengar kalimat ini? Bersyukur kalau Saudara bebas. Tapi kalau Saudara sakit terus dengar kalimat ini, seperti sariawan seumur hidup, saya pikir spiritualitasmu bermasalah. Tidak ada orang yang terlalu penting sampai Tuhan mati-matian bergantung pada dia; benar-benar tidak ada, siapapun itu.
Tadi pagi saya khotbah “Alfa dan Omega”. Waktu kita bilang “Kristus adalah Alfa dan Omega, Allah adalah Alfa dan Omega”, maka sederhana saja, penghayatan pertama adalah: Saudara dan saya bukan alfa dan omega. Ada orang yang merasa dirinya adalah pendiri, pemula, yang awal, yang mula-mula di Kelapa Gading, dsb.; coba baca lagi tentang “Alfa dan Omega”, alfa-nya bukan kamu, ‘kan? Atau Saudara mau menggantikan posisi Kristus?? Tapi Saudara juga bukan omega; Saudara bukan alfa dan bukan omega. Yang memulai adalah Kristus. Bisa saja Kristus memulai melalui Saudara, tapi Saudara tidak pernah menduduki posisi alfa, itu posisinya Tuhan; dan omega juga posisinya Tuhan. Sekali lagi, semua orang datang dan pergi. Tidak peduli orang itu datang pertama, atau datang di tengah-tengah, atau datang terakhir, bahkan misalnya yang paling akhir dari terakhir waktu Yesus datang kembali, tetap dia bukan yang omega. Yang alfa dan omega adalah Kristus. Inilah the pain of self-knowledge. Yang tidak bisa terima kalimat ini, dia perlu bertobat; yang tidak bisa terima kalimat ini, dia sedang menyembah berhala. Dia menghidupi false Christianity, bukan Kekristenan yang asli, dalam kehidupannya. Kekristenan yang asli mengakui Tuhan itu alfa dan omega (bukan Saudara dan saya).
Kembali ke pembicaraan kita. Ayub bukan tidak ada kekurangan. Ayub musti belajar bahwa dirinya cuma satu titik yang kecil saja di dalam alam semesta yang diciptakan Allah, yang begitu luas itu, dan bahwa Tuhan itu urusannya banyak. Urusan Tuhan itu bukan cuma di GRII Kelapa Gading, tapi juga di tempat-tempat lain. Urusan Tuhan juga bukan dengan hamba Tuhan tertentu saja, tapi dengan banyak sekali hamba Tuhan. Tidak usah ge-er, tidak usah merasa diri terlalu penting. Inilah yang dipelajari oleh Ayub. Dan, itu memang menyakitkan, karena Ayub pikir, dirinya dan penderitaannya sangat penting, harus dijawab oleh Tuhan, sedangkan di sini seolah-olah Tuhan mengatakan, “Lu itu siapa, kenapa Saya musti jawab kamu? ‘Gak penting-penting banget urusanmu” –tentu sakit dijawab seperti ini. Sebaliknya, Tuhan mengatakan kepada Ayub, ‘coba lihat alam semesta, ada matahari, bulan, bintang, kuda nil, buaya’, dsb. Di sini Ayub sadar, Tuhan berdaulat bukan hanya atas dirinya saja, tapi atas alam semesta.
Saudara jangan cuma pikir pekerjaan Tuhan di Kelapa Gading, itu sempit sekali. Saudara jangan cuma pikir pekerjaan Tuhan di GRII, itu juga sempit sekali. Kita musti belajar dari Allahnya Ayub, yang ngurusin alam semesta, baru kita bisa mengerti apa artinya Kerajaan Allah. Jadi, menghargai the grand design dari Tuhan, inilah artinya melihat Kerajaan Allah. Hidup bukanlah cuma tentang kamu dan pergumulanmu, hidup bukanlah cuma tentang kamu dan persoalanmu, hidup bukanlah cuma tentang kamu dan penderitaanmu. Itu kecil sekali; memangnya kamu mau membuat kerajaanmu sendiri?? Saya kuatir sekali dengan orang yang terusa saja tidak bertumbuh, yang segala sesuatu cuma putar-putar urusan dirinya, tidak maju-maju.
Pernah ada salah seorang pendeta kita diminta jemaat untuk konseling; konseling tentang apa? Konseling untuk mendamaikan dia yang sedang ribut dengan pembantunya! Bayangkan! Bukan kita tidak mau mengerjakan hal seperti itu –boleh juga mengerjakan itu—tapi coba kita lihat dari perspektif ini: pertama, dia ribut dengan pembantunya; koq sama pembantu saja bisa ribut?? Dengan pembantu ribut, lalu panggil pendeta untuk menengahi, bukankah aneh?? Orang yang seperti ini, bagaimana bisa mengerti the grand design pekerjaan Tuhan?? Tidak mungkin. Yang ada adalah melihat piring pecah lalu sibuk ‘bagaimana piring bisa pecah begini? ini musti dilem lagi, di mana lem-nya? siapa yang tanggung jawab untuk me-lem? beli lem yang paling murah dan bagus kualitasnya, di mana?’, dst., dst., Saudara teruskan sendiri, tidak menarik, kita mendengarnya juga malas. Sudah begitu lalu panggil pendeta, ‘apa jawaban teologi Reformed tentang ini, siapa yang harusnya beli lem?’ Bayangkan, bagaimana bisa membicarakan Kerajaan Allah kalau begini, pantas saja tidak tertarik! Ada orang yang datang ke kebaktian, mendengar Firman Tuhan, tapi pikirannya cuma satu: ‘apa jawaban Firman Tuhan atas hidup saya’ –putar-putar di situ terus. Dia tidak tertarik sama sekali untuk melihat visi Kerajaan Allah. Alkitab mengatakan, “orang yang tidak lahir baru, dia tidak melihat Kerajaan Allah”, jadi jangan-jangan itu orang yang belum lahir baru, maka dia tidak bisa melihat Kerajaan Allah, yang dilihat cuma dirinya dan persoalannya, dirinya dan persoalannya, dirinya dan persoalannya –terus-menerus putar-putar di situ. Bersyukur Ayub ditarik dari perspektif narsisistik seperti itu, yang memang adalah kesulitannya Ayub.
Di dalam perikop yang kita baca, dikatakan bahwa Ayub berkata benar tentang Tuhan, tidak seperti sahabat-sahabatnya. Kalau kita mau bicara tentang vindication, inilah vindication-nya. Tapi menariknya, vindication ini diberikan justru setelah Ayub menerima bahwa tidak ada vindication. Pembenaran dari Tuhan ini diberikan justru setelah Ayub melepasnya, “Oke, saya tidak perlu lagi vindication”. Semakin kita kejar hal itu, semakin kita tidak mendapatkannya. Semakin Saudara mengejar itu, semakin membuktikan berhala hatimu ada di sana. Bukan masalah Tuhan mampu atau tidak mampu –Tuhan pasti mampu– tapi Tuhan tidak mau, karena Dia mencintai kita, karena semakin kita mengejar itu, semakin membuktikan bahwa itu adalah berhala di dalam kehidupan kita. Tetapi waktu Ayub melepas kasusnya, ‘sudahlah, sudah selesai urusan ini, saya tidak mau lagi berdebat dengan Tuhan, saya mencabut perkataanku, dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu’; atau dalam terjemahan lain: ‘aku sekarang mau memberi diriku dihibur dan duduk di dalam debu dan abu’ –dihibur atas segala lamentasinya. Justru setelah kalimat ini, Tuhan membenarkan (vindicate) dia. Bukankah ini menarik?
Tapi Saudara jangan pikir, ‘Nah! Sekarang saya tahu rahasianya, jadi saya musti melepas dulu, karena setelah itu saya akan dapat vindication’ –kalau seperti ini, berarti Saudara masih ada berhalanya. Sama seperti waktu Saudara baca bagian ini waktu pada akhirnya Tuhan memulihkan Ayub, lalu Saudara pikir, ‘untuk dipulihkan seperti itu, saya musti melalui sarana –atau stepping stone—yaitu tidak merasa perlu dipulihkan; karena saya tahu, kalau saya merasa tidak perlu dipulihkan, akhirnya nanti Tuhan akan memulihkan saya!’ Kalau demikian, berarti Saudara tidak jujur, Saudara sebenarnya masih kejar pemulihannya, lalu pura-pura tidak perlu dipulihkan –supaya Tuhan memulihkan. Ini berarti hatinya masih saja di sana. Pengenalan akan Allah, tidak pernah jadi sarana, tidak pernah jadi batu loncatan, di dalam Kekristenan. Pengenalan akan Allah adalah the end, the telos. Pemulihan boleh ada, boleh tidak ada, karena hidangan utamanya (main course) sudah beres, dan pemulihan ini cuma hidangan penutup (dessert) saja yang boleh ada boleh tidak ada.
Pemulihan yang sesungguhnya adalah relasi Ayub dengan Allah, yang di situ Ayub belajar untuk tunduk dan tidak tanya lagi, yang dia tidak terus memaksa minta jawaban, ‘ayo, mana keadilan-Mu, jawabannya apa, pemuluihannya bagaimana, mana??’ dst. Kalau seperti itu, berarti belum beres. Saudara mau tunggu bertahun-tahun begitu terus? Alkitab mengatakan, ‘barangsiapa mengejar nyawanya sendiri, dia justru kehilangan, barangsiapa melepasnya ke dalam tangan Tuhan, dia justru mendapatkannya’. Saudara jangan menghayati ayat ini demikian: ‘O, kalau begitu saya tahu “trik”-nya, saya lepas dulu supaya mendapatkan kembali’. Ini berarti Saudara belum melepas, belum menyerahkan, karena Saudara melihat ‘melepaskan’ cuma sebagai sarana bukan tujuannya, cuma batu loncatan supaya kemudian Tuhan kembalikan lagi. “O, Tuhan, saya kasih kepada-Mu hartaku, nanti Tuhan akan balas ‘kan 2x lipat, atau bahkan 10x lipat” –persembahan jadi batu loncatan, sebagai sarana, untuk mendapatkan yang lebih daripada itu, yang sebetulnya bukan Tuhan.
Waktu dalam bagian ini Ayub dibenarkan oleh Tuhan, setelah Ayub mengatakan, ‘oke, perkara ini sudah selesai, saya tidak perlu lagi’, justru dalam saat seperti itu, Tuhan mulai memulihkan Ayub. Mungkin tidak ada yang lebih indah di bagian ini, ketika Ayub, orang yang disalah-salahin terus, dianggap orang fasik yang berdosa dan harus mengaku dosanya oleh orang-orang yang merasa dirinya benar karena diri mereka tidak menderita/sakit lalu menyalahkan orang yang sakit/menderita sebagai orang berdosa, tapi kenyataan pada akhirnya: mereka sendiri perlu pengampunan dosa dari Tuhan, dan melalui doa syafaatnya Ayub.
Ayat 8, Tuhan mengatakan: “ambillah tujuh ekor lembu jantan dan tujuh ekor domba jantan”. Kalau Saudara membaca Perjanjian Lama, ini bukan korban main-main. Di dalam Yehezkiel 45, korban seperti ini diberikan untuk seluruh umat Israel, sedangkan di kitab Ayub ini, cuma untuk 2-3 orang. Dalam 1 Tawarikh 15, korban seperti ini dipersembahkan waktu tabut perjanjian di-install pada zamannya Daud. Dalam peristiwa penyucian Bait Suci di zamannya Hizkia, yang Saudara bisa baca dalam 2 Tawarikh 29, korbannya juga ini. Jadi maksudnya, kesalahan teman-teman Ayub ini adalah kesalahan serius, sampai perlu korban seperti ini. Ini bukan kesalahan biasa; Clines mengatakan, ini adalah kesalahan yang fundamental/mendasar (fundamental wrong), yang betul-betul perlu pengampunan yang besar, bukan korban yang sedikit. Hal ini jangan dibaca seolah-olah membeli perkenanan Tuhan dengan korban yang banyak; tentu bukan itu poinnya, melainkan untuk menyatakan bahwa ini bukan kesalahan kecil/sedikit. Apa kesalahannya? Yaitu berpikir bahwa Allah memerintah dunia ini berdasarkan prinsip keadilan retributif (retributive justice) –itu ngawur sekali. Sangat perlu pengampunan, teologi yang seperti itu. Orang yang menghidupi gambaran seperti ini, akan masuk ke dalam kecelakaan kehidupannya yang tidak kalah bahaya daripada orang yang dipojokkan waktu menderita/sakit bahwa dia pasti berdosa.
Orang yang tidak sakit, yang hidupnya lancar, dan merasa hidupnya pasti berkenan kepada Tuhan, itu alangkah bahaya. Kalau Saudara kaya, Saudara diberkati, lalu Saudara berpikir ‘saya pasti diperkenan Tuhan’, itu bahaya sekali, luar biasa bahaya! Di dalam Alkitab, banyak orang kaya yang ke neraka. Yesus mengatakan, “Orang kaya sulit untuk masuk Kerajaan Allah”; tapi dalam prinsip retributive justice: ‘orang kaya, ya, sudah pasti masuk surga; ‘kan orang kaya diberkati Tuhan, bagaimana mungkin bisa tidak masuk surga?? Orang kaya berarti Tuhan ‘kan berkenan dalam kehidupannya, berarti ‘kan dia tidak ada dosa, buktinya Tuhan berkenan kepada dia. Apa buktinya Tuhan berkenan? Ya, bahwa Tuhan memberkati dia’. Ini bahaya sekali. Kalau Saudara tidak sakit, tidak kena Covid, lalu Saudara rasa hidup Saudara lebih berkenan kepada Tuhan, itu bahaya sekali. Mungkin lebih bahaya daripada orang sakit yang merasa dirinya berdosa, yang memang bisa sangat discouraging. Tapi yang lebih bahaya adalah orang yang sehat, tidak sakit, lancar hidupnya, lalu merasa Tuhan pasti berkenan dalam kehidupannya. Teologi seperti itu, perlu 7 ekor domba jantan dan 7 ekor lembu jantan, perlu pengampunan Tuhan. Kalau orang terus saja meyakini teologi yang seperti ini, ya, sudah, mungkin yang akan dijumpai pada akhirnya bukan Tuhan melainkan kegelapan.
Ayub, di dalam keadaan seperti itu akhirnya dipanggil Tuhan menjadi pendoa syafaat, sebagaimana kita baca di ayat 8 ini: “pergilah kepada hamba-Ku Ayub, lalu persembahkanlah semuanya itu sebagai korban bakaran untuk dirimu, dan baiklah hamba-Ku Ayub meminta doa untuk kamu, karena hanya permintaannyalah yang akan Kuterima, supaya Aku tidak melakukan aniaya terhadap kamu, sebab kamu tidak berkata benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.” Di dalam pasal 38:2 dikatakan bahwa Ayub menggelapkan/mengaburkan (darkening, obscuring) keputusan-keputusan Yang Mahakuasa –ini tentu dosa– tetapi teman-teman Ayub bukan cuma menggelapkan, mereka actively assaulting (meminjam istilahnya Clines). Ayub yang menggelapkan atau mengaburkan, itu pasti persoalan, dan Ayub ditegur; sedangkan teman-teman Ayub bukan saja menggelapkan, tapi menghina. Tuhan yang disempitkan seperti itu, adalah suatu penghinaan. Itu sebabnya Ayub diminta menjadi pendoa syafaat; dan ini adalah bagian dari pemulihannya. Ayub ini orang yang menderita dan disudutkan sedemikian rupa oleh orang-orang yang memfitnah dia, karena sebetulnya Ayub bukan bersalah seperti yang digambarkan, tapi sekarang Ayub musti mendoakan mereka. Melakukan ini, tentu tidak mungkin tanpa penyangkalan diri, tidak mungkin tanpa keluasan hati.
Kadang-kadang di dalam kesulitan, waktu fitnah datang dari orang lain, mungkin doa kita seperti doa dalam Mazmur, “kiranya orang fasik turun hidup-hidup ke dunia orang mati”, kalimat-kalimat kutukan; kita berdoa sebagaimana imprecatory Psalms, “biarlah orang-orang fasik itu menemui kebinasaannya”. Memang kita tidak membalas sendiri, kita minta Tuhan mengutuki mereka. Bayangkan bagaimana dengan Ayub! Seandainya Ayub mendoakan imprecatory Psalms, itu bisa saja, karena di dalam Mazmur ada yang seperti itu. Kalau membalas dendam sendiri, memang tidak boleh; tapi meminta Tuhan yang menghukum, itu spiritualitas yang memang ada di dalam Mazmur. Namun Ayub tidak demikian. Ayub diminta untuk menjadi pendoa syafaat. Betapa membebaskan kehidupan seperti ini. Kehidupan yang bukan saja tidak sakit hati, bukan saja bebas dari rasa terluka, tapi betul-betul menyatakan keluasan hati Kristus. Di sini kita tidak bisa tidak melihat rujukan kepada Kristus, yang berdoa bagi musuh-musuh-Nya, di atas kayu salib. Saudara dan saya, orang-orang yang mengaku percaya kepada Yesus Kristus, diundang di dalam cerita Kerajaan Allah seperti ini, keluasan hati yang seperti ini, bukan kesempitan hati. Waktu kita mendoakan orang yang baik kepada kita, itu gampang sekali dan sangat lumrah, orang yang tidak mengenal Tuhan pun melakukan ini. Waktu ada orang berbuat jahat kepada kita, setidaknya kita tidak membalas, itu sedikit lebih baik lagi. tapi sebetulnya yang lebih baik lagi adalah: orang berbuat jahat, dan kita balas dengan kebaikan. Kita sudah pernah merenungkan ini dalam pambicaraan Khotbah di Bukit, “kasihilah musuhmu”; dan ini sesuatu yang riil, sudah ada di Perjanjian Lama.
Mungkin tidak keliru juga waktu di pasal 1 Tuhan mengatakan tidak ada orang yang kesalehannya melampaui Ayub. Bahkan Abraham, Ishak, Yakub, Musa pun tidak pernah digambarkan dengan 4 atribut positif, cuma Ayub yang digambarkan demikian: “orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Kalimat ini tidak salah, tapi ini sepertinya kalimat eskatologis, kalimat pengharapannya Allah akan diri Ayub yang akan dibentuk oleh Tuhan.
Kita ini melihatnya di sini dan sekarang; mungkin bukan cuma di sini dan sekarang, tapi kita melihat masa lampau sampai-sampai tidak bisa move on. Kejahatannya orang di masa lampau kita lihat terus, sudah kita stempel ‘saya sudah tahu orang ini siapa, kejadian 15 tahun lalu saya masih ingat, dan kayaknya dia bakal begitu terus’. Betapa jahat manusia, terus melihat masa lampau padahal sudah berada di 15 tahun berikutnya. Ada juga orang yang melihatnya di sini dan sekarang, ‘lihat saja dia tidak berubah, masih sama seperti 15 tahun lalu, hari ini pun sama’ –melihat hari ini. Tuhan tidak melihat hari ini, Tuhan melihatnya eskatologis. Tuhan melihat orang ini adalah orang yang saleh dan jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan –dan terbukti di pasal 42 ini, di bagian terakhir. Mungkin belum terbukti di pasal 3 ketika Ayub mengutuki hari kelahirannya; dan di situ kita heran, apa seperti ini yang namanya orang saleh dan jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan? koq, begini kalimatnya? apa tidak salah kalau Tuhan bilang dia orang yang saleh dan jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan? atau maksudnya kalimat sindiran? Tapi itu bukan kalimat sindiran; hal itu terbukti di pasal 42, bahwa memang Ayub seperti itu. Ayub ini menggambarkan Yesus Kristus, yang tidak mungkin bisa dilampaui Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Yeremia, Yesaya, atau bahkan Ayub sendiri –karena Yesus tidak pernah mengutuki hari kelahiran-Nya dan tidak pernah menggelapkan keputusan Bapa-Nya sebagaimana Ayub lakukan. Ayub membawa kita kepada Yesus Kristus; dan Yesus Kristus mengundang kita untuk menghidupi cerita ini –mengasihi musuh-musuh kita, mendoakan mereka yang menganiaya dan memfitnah, mereka yang membuat kehidupan Saudara betul-betul susah secara realitas.
Ayub mendoakan mereka, dia punya keluasan hati untuk berdoa bagi mereka. Padahal, kalau kita baca kembali, Ayub sebenarnya sangat terganggu sampai-sampai dia menyebut mereka ‘penghibur sialan’ (torturer comforter); pasal 16:2, “Hal seperti itu telah acap kali kudengar. Penghibur sialan kamu semua!” –kamu ngomong hal yang klise, hal yang saya sudah sering dengar, siapa yang ‘gak tahu?? kamu berusaha menghibur, tapi kamu sebetulnya menyiksa, bukan menghibur; kamu cuma datang untuk menyalah-nyalahkan saja. Sangat melelahkan kehidupan seperti ini. Saudara, harap Gereja bukan seperti temannya Ayub, menjadi penghibur sialan, yang keluar cuma kalimat-kalimat klise yang semua orang sudah tahu, tapi tidak tertarik untuk mendoakan, tidak tertarik untuk empati, untuk solidaritas dengan kesulitannya orang lain. Tahunya cuma khotbah doang, tahunya cuma kasih tahu “begini, begini, begini, ya, begitu, ya, jalan, terus, terus, stop” –itukah Gereja?? Itu bukan Gereja, itu penghibur sialan namanya. Gereja bukanlah penghibur sialan, Gereja harusnya seperti Ayub, yang mendoakan penghibur-penghibur sialan ini, yang membawa mereka dalam pemulihan relasi dengan Tuhan.
Saudara perhatikan, sampai di sini kalau kita mau bicara “pemulihan” seperti di dalam ayat 10 dst., Ayub belum dipulihkan, karena ceritanya belum sampai ke ayat 10 dst. itu. Tetapi Ayub belajar untuk mendoakan orang-orang yang menyakiti dia, yang menyiksa dia, penghibur-penghibur sialan itu, selagi dia sendiri “belum” dipulihkan. Inilah Kekristenan. Kekristenan bukanlah terutama yang ayat 10-17 itu, yang tentang diberikan 2 kali lipat dsb.; utamanya bukan itu, utamanya adalah di dalam pasal 42:2-6, 7, 8, 9. Saudara tidak tertarik dengan narasi ini? Saudara lebih tertarik dengan narasi terakhir yang tentang diberikan 2 kali lipat? Bagaimanapun, cerita ayat 10-17 juga riil, tapi kita jangan cepat-cepat ke sana. Bagian tersebut mungkin posisinya cuma dessert saja, sedangkan main course-nya adalah yang kita bahas.
Di sini ada penjungkirbalikan (reversal motif) atas teman-temannya Ayub yang arogan, yang memosisikan diri sebagai pemberitahu (advisor), tapi kemudian di bagian ini musti dengan rendah hati minta Ayub mendoakan mereka. Hati-hati, Gereja jangan punya superior attitude seperti ini. Kita sebal dengan orang yang selalu memosisikan diri sebagai penasehat, sedangkan kalau dirinya sendiri dinasehati langsung marah; ini superior attitude, pride, yang mungkin dia sendiri tidak sadar. Suka memberitahu orang lain, suka mengajar orang lain –dan mungkin saja pengajarannya memang bagus dan benar, bahkan bisa memberkati—tapi dia sendiri sama sekali menutup diri dari masukan orang lain. Paling celaka, kalau yang seperti ini adalah hamba Tuhan. Hamba Tuhan itu paling celaka kalau cuma bisa menasehati, tapi dia sendiri tidak pernah bisa menerima nasehat. Hamba Tuhan seperti ini, membawa Gereja ke dalam kecelakaan juga, karena Gerejanya juga akan jadi Gereja yang tidak bisa dinasehati, Gereja yang bawaannya SELALU menasehati, komunitasnya juga akan jadi komunitas yang SELALU menasehati, tidak pernah bisa menerima nasehat orang lain. Setiap kali mendengar nasehat orang lain, langsung defensif argumentatif, pakai jurus-jurus teologi untuk membenarkan diri. Benar-benar hopeless Gereja yang kayak begini. Tidak seperti Kristus. Tidak seperti Ayub yang digambarkan di sini.
Ayub tahan waktu dia dinasehati, tapi kemudian Tuhan memulihkan keadaannya, Tuhan menjungkirbalikkan posisi yang tadinya seperti dikasihani, dan sekarang menjadi pendoa syafaat. Dan setidaknya di bagian ini, Ayub sepertinya tidak sampai ada pergumulan yang sampai bagaimana, dia betul-betul orang yang saleh dan jujur, takut akan Allah, dan menjauhi kejahatan, dia sepertinya gampang-gampang saja menerima perkataan Tuhan untuk mendoakan teman-temannya. Saudara tidak membaca di sini kalimat misalnya ‘tetapi kemudian Ayub minta waktu 7 hari untuk menggumulkan lebih dulu apakah dirinya mau mendoakan penghibur-penghibur sialan itu’. Ayat seperti itu tidak ada; Ayub seperti gampang sekali melakukannya. Fakta bahwa gampang sekali, ini menunjukkan karakter Ayub, bahwa memang dia agaknya adalah orang yang seperti itu. Kalau kita musti berubah, yang namanya orang berubah itu perlu waktu, bukan? Saudara yang tadinya tidak bisa masak, lalu kemudian jadi jago masak, tentu perlu waktu; itu bukan sesuatu yang semudah membalik telapak tangan, mendadak Saudara masakannya enak. Kenapa ya, Ayub bisa langsung saja mau mendoakan? Tentu karena dia memang hatinya luas. Dia bukan orang yang hatinya sempit, sehingga waktu Tuhan minta mendoakan, dia rasa sakit sekali lalu minta waktu 7 tahun, ‘kayaknya saya perlu 7 tahun untuk menganpuni orang ini, nanti setelah 7 tahun dulu baru saya akan mendoakan mereka’; Ayub sama sekali tidak demikian. Ayub adalah orang yang hatinya luas, dan dia mendoakan mereka. Tidak ada pertanyaan, tidak ada perdebatan di sini. Ayub juga tidak menjawab, “Tuhan, kenapa musti saya?? Kenapa mereka tidak mengaku dosa sendiri? Saya ini sakit, luka saya belum pulih, bagaimana saya musti dibebani lagi untuk mendoakan mereka, mengasihi musuh?? Persoalan saya sendiri belum beres! Kenapa saya musti mendoakan orang-orang yang merasa dirinya beres??” –inilah theological excuse, justification, argumentatif, defensif, yang bukan Ayub. Kita tidak membaca itu dalam diri Ayub.
Saudara jangan lupa, Ayub di bagian ini belum dipulihkan dalam pengertian ayat 10-17 (kalau dipulihkan kehidupannya, memang sudah, dan itu adalah main course pemulihannya); dan bukankah justru keindahannya ada di sini, bahwa hidup yang belum dipulihkan tapi sudah bisa menjadi pendoa syafaat. Inilah orang yang melihat Kerajaan Allah. Gereja yang melihat Kerajaan Allah, adalah Gereja yang bisa memberkati Gereja lain meski di dalam masih ada persoalan yang belum beres. Gereja yang putar-putar cuma melihat persoalannya sendiri dan urusannya sendiri, yang selalu bilang, “Tunggu sampai kita kuat dulu, sampai kita mapan dulu, baru kita akan menjadi berkat untuk gereja-gereja yang lain, untuk komunitas-komunitas yang lain”, itu tidak cocok dengan narasinya Ayub. Cerita Ayub adalah: sementara dia belum dipulihkan, masih miskin, masih bangkrut (belum diberikan yang 2 kali lipat itu), dia sudah mendoakan mereka.Tentu bagi teman-teman Ayub sulit untuk mengakui keputusan Ilahi yang dijungkir balik seperti ini, ‘ternyata kita yang salah’ –malu sekali. Tadinya sudah menggurui, menasehati, lalu ternyata mereka sendiri yang perlu dinasehati, yang perlu ditegur, bahkan sampai perlu 7 ekor domba jantan dan 7 ekor lembu jantan sebagai korban bakaran untuk mereka. Pasti sangat sulit menerima ini, bagi teman-teman Ayub; tapi Saudara juga jangan menganggap enteng kesulitannya Ayub untuk menerima perintah Allah mendoakan teman-temannya yang self-righteous ini.
Kadang-kadang kita baik terhadap orang yang rendah hati, yang sengsara, dan dia merasa susah, itu lebih gampang daripada baik kepada orang-orang kaya yang self-righteous; namun dalam cerita Injil, Yesus bukan cuma mengundang pemungut cukai dan pelacur, tapi juga Simon, orang Farisi yang self-righteous itu. Di dalam cerita Prodigal Son, sang bapa keluar menjemput anak sulung yang ada di ladang itu, dibawa untuk masuk, untuk ikut serta dalam perjamuan. Anak sulung ini diajak untuk menikmati table fellowship, bukan cuma anak yang bungsu. Dalam cerita tersebut seringkali konsentrasi kita pada si anak bungsu –dan itu memang penting, karena kita adalah orang-orang berdosa seperti itu yang masih diterima oleh Tuhan, dan itu sangat mengharukan—tapi mungkin juga kita adalah anak-anak sulung yang Tuhan sudah panggil suruh masuk ikut perjamuan, namun masih saja self-righteous. Tentu saja kita bukan self-righteous terhadap Tuhan –kalau orang sampai self-righteous terhadap Tuhan, itu kebangetan—tapi self-righteous-nya kita adalah: “Tuhan, saya tidak ada masalah dengan Engkau, tapi kenapa Engkau mengundang orang itu??” Kenapa orang itu ada di meja ini, itulah yang saya kesulitan; saya bukan kesulitan dengan undangan-Mu, saya kesulitan atas undangan-Mu terhadap dia, yang seharusnya ‘gak level dengan saya. Orang ini harusnya kena kutukan, lalu saya musti doa syafaat buat dia, yang benar saja?! Saya musti makan semeja dengan dia, yang memboroskan uang dengan pelacur-pelacur, bagaimana bisa?!
Sekali lagi, kita self-righteous bukan terhadap Tuhan tapi terhadap orang berdosa yang diundang Tuhan. Kita tidak rela, kita merasa diri lebih qualified. Tapi kita melihat dalam kehidupan Ayub, dia bukan seperti itu. Tidak ada catatan Ayub merasa ‘sukurin lu, lu bilang gua yang berdosa, sekarang jelas ‘kan siapa yang berdosa sebetulnya’. Dan, lebih sulit lagi kalau Saudara membayangkan bahwa Ayub sendiri suka mempersembahkan korban bagi anak-anaknya, bahkan dalam kesalehan yang melampaui Taurat, yang sebelum terjadi pun sudah dilakukan lebih dulu korbannya. Kita membaca dalam pasal 1:5, ‘Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: “Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.” Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa.’ Jadi dalam hal ini kesulitannya di mana? Yaitu bahwa Ayub melakukan yang sama untuk anak-anaknya, dan DITOLAK oleh Tuhan, buktinya anak-anaknya mati. ‘Saya sendiri doa syafaat untuk anak-anak saya, dan anak saya mati; sekarang saya disuruh doa syafaat untuk penghibur-penghibur sialan ini??’ –inilah kesulitannya. “Tuhan, ini anak-anak saya, saya doakan untuk mereka dan Engkau tidak jawab, mereka mati; sekarang orang-orang ini, mereka harusnya mati dari kapan-kapan!”–tapi kalimat ini tidak pernah keluar dari mulut Ayub. Namun, seandainya keluar kalimat itu pun, bukankah itu wajar, karena ‘anak-anak saya ini bukan penghibur-penghibur sialan, mereka orang baik-baik, tapi doa syafaat saya tidak didengar oleh Tuhan; sekarang orang yang kayak begini, saya musti doa syafaat untuk mereka??’
Inilah penjungkirbalikan sampai habis-habisan. Kalau Saudara mengerti ini, Saudara mengerti Kekristenan. Kalau Saudara pikir ini tidak masuk akal sama sekali, betul-betul melukai perasaan, pertanyaannya: Saudara mau terluka di dalam tangan Tuhan, atau Saudara mau utuh, tidak luka, tapi masuk neraka? Yang mana? Ada orang yang utuh, matanya tidak dicungkil, tangannya tidak copot, kakinya sehat walafiat, tapi masuk neraka; lebih baik mana daripada terluka di dalam tangan Tuhan, dibentuk oleh Tuhan, dikuduskan oleh Tuhan?
Pergumulan Ayub sebetulnya kalau kita mau bayangkan, bukanlah sedikit. Belum dipulihkan, itu satu hal; mendoakan penghibur-penghibur sialan, itu hal yang lain lagi; tambahan lagi kalau mengingat ‘saya sudah pernah doa syafaat untuk anak-anak saya, dan anak-anak saya akhirnya mati, doa saya tidak didengar oleh Tuhan’. Apa tidak susah berdoa syafaat dalam keadaan ini? Tetapi Ayub sebagaimana kita baca di bagian ini, betul-betul dipulihkan. Dia sekarang tidak berani lagi mengurung Tuhan di dalam tuduhan “Tuhan tidak adil”. ‘Bagaimana bisa doa syafaat untuk orang-orang itu? Anak-anakku yang aku doa syafaat untuk mereka, Engkau malah bikin mereka mati; tapi orang-orang jahat seperti ini, yang tidak mengerti aku, yang memfitnah aku, sekarang Engkau mau aku mendoakan mereka dan Engkau malah mengampuni, dan bukan bikin mereka mati?? Yang Engkau bikin mati anak-anakku; ini bagaimana??’ –Ayub tidak berani tanya itu lagi. Ayub sudah selesai dengan itu, dia tidak tanya-tanya lagi, dia sudah tunduk kepada Tuhan, dan life’s go on, ada hal-hal berikutnya yang dia kerjakan. Itulah Kekristenan. Kekristenan bukanlah diluputkan dari ketidakadilan. Kekristenan juga bukan kalau Saudara tanya tentang ketidakadilan maka Tuhan akan segera menjawab. Kekristenan bukanlah Tuhan akan mengabulkan doa saudara kalau Saudara mendoakan orang yang benar, yang dicintai Tuhan, dan yang Saudara cintai. Model pengharapan seperti ini bukanlah Kekristenan. Saudara bisa betul-betul kecewa kalau mengharapkan Kekristenan seperti ini. Kitab Ayub ini memang sulit, bahkan salah satu yang paling sulit, karena Tuhan tidak bisa didikte, Tuhan tidak bisa diproyeksikan sesuai yang kita mau, sebaliknya kitalah yang musti dikuduskan sikap hati dan pikirannya.
Dalam batas tertentu, bahkan kita bisa mengatakan bahwa restorasi/pemulihan Ayub ini “tergantung” pada keluasan hatinya Ayub, “tergantung” pada doa syafaatnya Ayub –seperti dikatakan Clines. Sekali lagi, Saudara jangan melihatnya ‘O, jadi Ayub musti luas hati SUPAYA dia dipulihkan, SUPAYA dia diberikan kekayaan 2 kali lipat’; kalau Saudara masih berpikir seperti itu, kayaknya Saudara masih memberhalakan kekayaan. Yang dimaksud di sini adalah di dalam pengertian bahwa Tuhan memulihkan, termasuk menambahkan jumlah kekayaan dan anak-anaknya digantikan, dsb., itu bukan tanpa keluasan hati Ayub. Kalau Tuhan memberikan kepada Saudara kekayaan, tapi hati Saudara sempit, untuk apa? Bukankah kekayaan itu malah jadi mengirim Saudara ke neraka? Kalau Saudara minta diberi kesehatan, tapi kemudian dipakai untuk melacur, untuk apa? Bukankah itu malah mengirim Saudara ke neraka? Mungkin lebih baik Saudara bedridden supaya tidak bisa melacur. Betapa absurd pikiran manusia; manusia mau kekayaan, kesehatan, dsb. Tetapi Tuhan bukan demikian.
Sekali lagi, pemulihan yang diberikan ini bukan tanpa doa syafaat Ayub, bukan tanpa keluasan hatinya, bukan tanpa sikap hatinya yang mengasihi musuh. Itu semua diberikan setelah Ayub mendoakan. Bahkan sebetulnya kita bisa mengatakan tanda bahwa Ayub sudah betul-betul meninggalkan periode mengasihani diri sendiri (self-pity), ratapan, berpusat pada diri (self-centered), selfish, dsb., yaitu dia siap menerima penghiburan Tuhan; dan buktinya: dia bisa mendoakan musuh-musuhnya. Ini berarti Ayub sudah dihibur oleh Tuhan, sakit hatinya sudah selesai; sudah dihibur oleh Tuhan, maka bisa mendoakan musuh-musuhnya. Saya bukan mengatakan ini semudah membalik telapak tangan, bagi orang-orang tertentu ini perlu proses, bagi saya juga perlu proses, Saudara mungkin juga perlu proses; tapi selama kita masih susah mendoakan orang-orang yang melukai kita, kita tidak suka bicara pada mereka, kita lebih memilih tetap dalam comfort zone saja dan cuma mau bicara dengan orang-orang yang cocok dengan saya, daripada dengan orang-orang yang sulit itu yang nanti bikin saya tertusuk-tusuk terus –selama kita masih dalam keadaan seperti ini—maka berarti kita belum menerima penghiburan Tuhan.
Saya tanya kalimat sederhana: penghiburan dari TUHAN itu lebih besar daripada kesakitan yang ditimbulkan manusia, atau kesakitan yang ditimbulkan manusia lebih besar daripada Tuhan dan penghiburan-Nya? Yang mana? Secara teori, gampang menjawabnya, pastilah Tuhan yang lebih besar; kenyataannya tidak demikian dalam kehidupan manusia. Kenyataannya, Tuhan dan penghiburan-Nya itu somehow lebih kecil daripada manusia yang menimbulkan sakit hati, yang kelihataannya lebih besar –itu sebabnya saya belum bisa mendoakan mereka. Jadi, Tuhan dan penghiburan-Nya tidak cukup?? Jawab secara teoritis sih, gampang, tapi Gereja kalau cuma main dalam level teoritis, itu Gereja tidak ada masa depannya. Kekristenan bukanlah Firman yang tidak menjadi daging. Kekristenan bukanlah platonic ideal yang mengawang-awang, yang tidak pernah ada konkretisasinya. Kekristenan adalah Natal, Firman menjadi daging. Firman yang kita dengar, juga menjadi daging di dalam kehidupan kita.
Fakta bahwa Ayub bisa mendoakan teman-temannya, menyatakan bahwa dia dengan rendah hati memberi diri dihibur oleh Tuhan. Dikatakan di ayat 10: ‘Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya’; di sini ada kata ‘setelah’, tapi sebetulnya dalam bahasa aslinya lebih tepat diterjemahkan bukan dengan ‘when he had prayed for his friends’ (Tuhan memulihkan Ayub setelah dia mendoakan teman-temannya), melainkan ‘while he was praying for his friends’ (Tuhan memulihkan Ayub selagi dia mendoakan teman-temannya). Jadi, pemulihan itu dikerjakan oleh Tuhan selagi Ayub mendoakan teman-temannya. Memang kita bisa menafsir ‘setelah dia mendoakan’ dalam arti bukan tanpa keluasan hati dan doa syafaat Ayub, dsb., sebagaimana kita bicarakan tadi; tapi di dalam terjemahan ‘while he was praying’, terkandung pengertian bahwa ada pekerjaan yang Tuhan sedang kerjakan, dan pemulihan itu terjadi waktu Saudara mulai bisa mengasihi musuh. Waktu Saudara berdoa untuk musuh-musuh, di situ pemulihan terjadi, Tuhan mengerjakan pemulihan di sana.
Terakhir, pemulihan yang dialami Ayub, bagaimanapun bukan terjadi dalam satu malam. Di ayat 10 dan seterusnya dikatakan: TUHAN memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya lebih dari pada dalam hidupnya yang dahulu; ia mendapat empat belas ribu ekor kambing domba, dan enam ribu unta, seribu pasang lembu, dan seribu ekor keledai betina. Dalam hal ini, cukup aman untuk menafsir bahwa ini bukan terjadi ketika Ayub selesai berdoa lalu buka mata, dan tiba-tiba ada 14.000 ekor binatang di depan matanya. Kayaknya bukan itu ceritanya. Ini adalah pemulihan yang ada on going process-nya. Pemulihan bukanlah sesuatu yang langsung sekejap mata. Kadang-kadang kita mengharapkan pemulihan seperti ini, tapi kita sendiri tidak menjalankan bagian kita. Empat belas ribu ekor kambing domba ini datang dari mana? Ya, pasti datang dari Ayub berdagang juga, memangnya turun dari surga?? Seperti Mr. Bean yang tiba-tiba jatuh itu? Ya, sudah tentu tidak. Apalagi di sini juga ada tentang 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, memangnya mereka terlahir seperti Adam dan Hawa, tiba-tiba sudah dewasa?? Ya, tentu saja lahir sebagai bayi; dan untuk itu musti ada yang hamil dulu. Siapa yang hamil? Ya, istrinya Ayub pasti. Istrinya Ayub hamil, lalu melahirkan sampai 10 kali. Apa poin yang mau kita katakan di sini? Yaitu bahwa pemulihan perlu waktu. Saudara jangan mimpi, mengharapkan pemulihan dari Tuhan dalam semalam, dalam sekejap mata, miraculously langsung ada di depan mata kita. Tidak wajar berpikir seperti itu. Tuhan membentuk kita melalui proses. Pemulihan yang Tuhan kerjakan, itu termasuk juga proses alamiah yang kita jalani. Itulah pemulihan. Tapi kita maunya yang secara ajaib, tiba-tiba langsung diundang untuk menjadi CEO, tiba-tiba dipercaya untuk jadi rektor universitas tertentu, dsb. Saudara mimpi kayaknya kalau seperti itu, mimpi di siang hari bolong.
Ayub bahkan tidak dipulihkan dengan cara seperti itu, tapi dengan ada orang-orang yang datang, yang menghibur dia, memberi kepada dia uang, cincin emas; lagipula dia sendiri juga bekerja dengan modal talenta yang ada padanya. Cincin emas tadi bukan otomatis jadi 14.000 ekor kambing domba. Saudara hitung sendiri, mereka yang datang masing-masing cuma memberi satu kesita dan satu cincin emas, memangnya bisa langsung jadi 14.000 ekor domba?? Poin yang mau kita katakan adalah: modal ini dikelola dan dikembangkan oleh Ayub sampai jadi 14.000 ekor kambing domba dst. itu. Siapa yang mengelola? Tentu saja Ayub. Ini bukan tanpa kesetiaannya mengelola talenta yang Tuhan percayakan.Dia pasti bukan hamba yang jahat dan malas, karena hamba yang jahat dan malas tidak mungkin bisa seperti ini. Talentanya dari Tuhan? Ya, dari Tuhan. Tanggung jawabnya siapa? Tentu saja Ayub yang bertanggung jawab. Ayub dipulihkan, bukan tanpa tanggung jawab dalam kehidupannya.
Jangan lupa, bahkan dalam momen ini Ayub pun bahkan tidak tahu bahwa Tuhan sedang memulihkan, katakanlah kekayaannya. Semua ini berjalan begitu saja. Tuhan tidak bilang, “Hai, Ayub, nanti ya, kira-kira 3 tahun lagi kamu akan punya 14.000 ekor kambing domba dan 6000 unta … sabar saja, cuma beberapa tahun lagi”. Tuhan tidak beritahu itu. Bahwa Ayub dipulihkan oleh Tuhan, hal itu tidak diberitahu kepada Ayub. Pemulihan itu terjadi, dan Tuhan memang sedang memulihkan; tapi dari sisi Ayub, dia tahunya bahwa dia melepas kasusnya, saya sudah bersedia untuk dihibur oleh Tuhan, saya tidak mau menhidupi sakit hati ini berkepanjangan, saya menerima penghiburan dari Tuhan, saya siap mendoakan musuh-musuh saya –orang-orang sialan itu; dan saya menerima pertolongan juga dari orang-orang yang mencintai saya. Sesederhana itu. Tuhan memulihkan dengan cara seperti itu, bukan dengan cara membelah laut lalu ada ribuan keping emas jatuh ke dalam rumahnya Ayub. Bukan itu ceritanya, melainkan termasuk dengan proses alamiah yang terjadi dalam kehidupannya.
Berharap dalam kehidupan kita, kita juga bisa mengalami kehidupan yang seperti Ayub, seperti Kristus. Karena, Kekristenan bukanlah terutama tentang pemulihan seperti di bagian akhir ini, tapi tentang bagaimana kita mendapatkan kepenuhan Kristus, bagaimana kita berelasi dengan Tuhan, bagaimana kita berkata-kata/berbicara kepada Allah, lebih dari tentang Tuhan memberikan apa dalam kehidupan kita. Kalau kita siap, maka kita siap. Kalau hati kita luas, waktu Tuhan memberkati kita, kita tetap bisa menyalurkan itu. Tapi kalau hati kita sempit, kalau kita tidak bisa mengampuni yang bersalah kepada kita, untuk apa Tuhan memberkati kita.
Kiranya Tuhan menolong kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading