Kita sudah membahas tentang pengakuan Petrus –satu gambaran yang positif—tapi sebelumnya kita juga melihat gambaran yang negatif, yaitu murid-murid yang mengundurkan diri di Galilea. Dan kita membaca pasal 7 ini di dalam latar belakang tersebut, khususnya gambaran murid-murid yang mengundurkan diri di Galilea. Kita percaya, kejadian tersebut juga diketahui saudara-saudara Yesus, dan menjadi latar belakang usul yang mereka katakan kepada Tuhan Yesus.
Ayat 1 Sesudah itu Yesus berjalan keliling Galilea, sebab Ia tidak mau tetap tinggal di Yudea, karena di sana orang-orang Yahudi berusaha untuk membunuh-Nya. Istilah ‘orang-orang Yahudi’ dalam penggunaan Injil Yohanes boleh disebut technical term/ terminus technicus (satu kata yang dipakai dengan arti yang sangat khusus). Jadi waktu dikatakan ‘orang Yahudi’ bukan dalam pengertian semua orang Yahudi; apalagi dalam konteks sensitifitas berlebihan lalu menafsir Injil Yohanes ini anti Semit sangat mendiskreditkan orang-orang Yahudi, karena setiap kali yang dianggap musuh Tuhan Yesus disebut ‘orang-orang Yahudi’. Memang Tuhan Yesus berada di sana, maka tidak mungkin yang disebut musuh-Nya itu orang Perancis atau Jerman atau apapun, pastinya tentu saja orang Yahudi –seperti kalau kita di Jakarta punya musuh, ya, wajar kalau musuhnya adalah orang Jakarta, bukan orang Bangkalan di Madura, dsb. Isu ini, setidaknya dalam beberapa puluh tahun belakangan, menjadi satu gambaran yang dikembangkan seolah-olah Injil ini anti Semit mendiskreditkan orang Yahudi. Padahal sebenarnya tidak ada persoalan sama sekali, karena yang disebut ‘orang-orang Yahudi’ di sini adalah pemimpin-pemimpin Yahudi yang membenci Yesus dan berusaha membunuhnya, yaitu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat; bukan semua orang Yahudi (murid-murid Yesus pun orang Yahudi). Jadi ini bukan satu kedengkian Yohanes yang anti terhadap orang-orang Yahudi (dia sendiri juga orang Yahudi), tapi dalam pengertian ada sekelompok orang yang memang punya kuasa, dan orang-orang itu berusaha untuk membunuh Yesus.
Di bagian ini, ada tarik ulur dalam pelayanan. Ini satu hal yang penting. Dalam pelayanan kita sering mendengar penekanan untuk terus mengasihi tanpa batas, tanpa menyerah, pokoknya terus mencintai. Tapi jangan lupa, dalam Alkitab ada juga ayat-ayat yang lain seperti “jangan membuang mutiara kepada babi”, yang juga tidak berbenturan dengan ayat 1 ini –“Yesus tidak mau tetap tinggal di Yudea, karena orang-orang Yahudi berusaha untuk membunuh-Nya”. Ini penarikan diri. Kita tidak bisa mengatakan bahwa ini berarti Yesus kurang berkorban, menyerah, tidak punya preseverance of the saints, dsb., karena ini tidak ada urusannya dengan hal-hal itu. Tarik ulur ini bicara tentang bijaksana dalam pelayanan; waktu orang tidak mau menerima bahkan mau membunuh-Nya, Dia tidak mau tetap tinggal di Yudea. Itu bukan karena Dia tidak mau mati –Dia tahu Dia akan mati—tapi karena waktu-Nya/ kairos-Nya belum tiba. Kalau kairosnya belum tiba, kita berkorban pun –yang tidak tentu harus mati– itu jadi satu pengorbanan yang konyol. Oleh sebab itu penakaran waktu menjadi sesuatu yang penting, apalagi dalam Injil Yohanes kairos/ waktu merupakan satu konsep yang penting.
Ini termasuk juga waktu kita membaca ayat berikutnya, tentang hari raya orang Yahudi “Pondok Daun”. Hari raya Pondok Daun ini satu pesta tahunan yang boleh dibilang paling penting bagi orang Yahudi, yang berlangsung beberapa hari sampai hari ke-8. Perayaan seperti ini tentunya satu kairos. Yesus melihat ini sebagai kairos, saudara-saudara-Nya pun melihat sebagai kairos. Tapi meski sama-sama melihat, tidak tentu dalam perspektif yang sama. Waktu orang pergi ke satu tempat yang ada orang banyak di sana, orang bisa melihat ‘ini kairos, saya bisa menjangkau orang di sini’, sementara yang lain melihat ‘ini kairos, saya bisa jualan di sini’; sama-sama melihat kairos tapi dengan perspektif yang berbeda (saya bukan mengatakan yang kedua itu pasti salah).
Saudara-saudara Yesus melihat ini sebagai satu kairos, dan melihatnya dengan ‘lumayan altruis’ karena bukan demi mereka sendiri tapi untuk Yesus. Di ayat 3, mereka mengatakan kepada Yesus: "Berangkatlah dari sini dan pergi ke Yudea, supaya murid-murid-Mu juga melihat perbuatan-perbuatan yang Engkau lakukan”. Saudara-saudara-Nya berpikir untuk Yesus. Tapi kalau Saudara baca kalimat-kalimat berikutnya, tawaran seperti ini agaknya bukan hal yang baru, sudah pernah ditawarkan kepada Yesus. Perhatikan, usulan apa yang diberikan?
Pada waktu itu, Yesus sudah ditinggalkan oleh banyak murid di Galilea, hanya sekelompok kecil yang mau mengikut Dia –kemungkinan 12 murid (pasal 6). Dalam kegagalan seperti itu, usul saudara-saudara-Nya sepertinya lumayan, ada semacam kepedulian juga dari saudara-saudara-Nya, mereka tidak jahat-jahat amat, mereka tidak percaya tapi masih memberikan usulan-usulan. Saya bukan mau menyoroti dari perspektif “kebaikan” mereka, tapi perhatikan bahwa usulannya pun bisa menjadi usulan yang menyesatkan karena memang dasarnya mereka adalah orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus; di ayat 5 dikatakan: Sebab saudara-saudara-Nya sendiripun tidak percaya kepada-Nya. Usulannya yang kelihatan seperti peduli kepada Yesus, tapi sebetulnya satu usulan yang mencelakakan. Dalam hal apa mencelakakan?
Kembali ke ayat 3, kata mereka: "Berangkatlah dari sini dan pergi ke Yudea, supaya murid-murid-Mu juga melihat perbuatan-perbuatan yang Engkau lakukan”. Dalam bahasa Yohanes, melihat karya Kristus = melihat Kristus = melihat Bapa = percaya. Yesus sendiri pernah mengatakan “kalau kamu tidak percaya kepada-Ku, setidaknya percayalah pada perbuatan-perbuatan yang Kulakukan”; dan saudara-saudara-Nya di sini mengusulkan Yesus pergi supaya orang-orang “melihat perbuatan-perbuatan yang Kau lakukan”. Tetapi, melihat dalam pengertian apa, melihat dengan perspektif bagaimana? Dari ayat 4 Saudara dapat mengetahui yang dimaksud saudara-saudara-Nya: “Sebab tidak seorangpun berbuat sesuatu di tempat tersembunyi, jika ia mau diakui di muka umum. Jikalau Engkau berbuat hal-hal yang demikian, tampakkanlah diri-Mu kepada dunia" –“show off! tunjukan diri-Mu kepada dunia, pamerkanlah!” Ini bukan hal baru, ini pernah didengar Yesus. Kapan? Waktu pencobaan oleh Iblis ‘Lu lompat saja dari Bait Allah, lalu Lu ditopang oleh malaikat-malaikat; show off dong!’
Sampai sekarang, Kekristenan masih ada pencobaan ini –showing off di muka umum– dan banyak orang Kristen masih juga tidak belajar. Mereka pikir dengan cara-cara seperti ini akan mengesankan orang, sehingga orang lebih datang kepada Kristus. Tapi ini jalan setan. Kalau kita baca Alkitab, ini bukan jalan salib melainkan jalan setan. Yesus bisa saja melakukan itu supaya Dia lebih populer, lebih disegani, lebih dihormati, lebih dikagumi, tapi Dia tahu bukan itu jalan-Nya. Waktu saudara-saudara-Nya menyebut kalimat-kalimat ini, itu bukan sesuatu yang baru; dan benar saja di ayat 5 dikatakan bahwa mereka tidak percaya kepada-Nya. Ini mirip sekali dengan tawaran yang pernah dilakukan oleh ‘yang paling tidak percaya’, yaitu setan. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang mengikuti usulan dari dunia, mengikuti jalan dunia, dengan mengumumkan diri, membuktikan diri, dsb. Di dalam agama apapun –juga banyak Kekristenan— ada persoalan ini: bicara terlalu banyak soal merit (jasa). Orang-orang Reformed bersama dengan orang-orang Lutheran, sangat peka akan hal ini; waktu bicara soal merits (jasa), virtue (kebajikan), teologi Reformed mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa melakukan itu dari kekuatan sendiri. Ada orang dalam filosofi pelayanan bicara tentang jasa, dalam hal keselamatan juga bicara tentang jasa, dst. dst., intinya sama: membuktikan diri di hadapan dunia –jikalau berbuat hal-hal yang demikian, tampakkanlah dirimu kepada dunia.
Saudara perhatikan, dikatakan di ayat 5 bahwa saudara-saudara-Nya sendiri pun tidak percaya kepada-Nya. Tapi mereka ini bukan tidak percaya sama sekali bahwa Yesus bisa melakukan mujizat, mereka mengatakan supaya Yesus menunjukkannya di sana, “supaya murid-murid-Mu juga melihat perbuatan-perbuatan yang Engkau lakukan” (kecuali kalau Saudara membaca perkataan mereka ini suatu sindiran — ‘sebetulnya Kamu kan tidak bisa buat apa-apa’—tapi ini pembacaan yang terlalu rumit). Saudara-saudara-Nya tidak ada kesulitan menerima fakta bahwa Yesus memang melakukan perbuatan-perbuatan mujizat. Bukan cuma saudara-saudara-Nya, waktu Yesus membuat mujizat mengenyangkan 5000 orang, di sana ada mungkin 10.000-12.000 orang yang melihat perbuatan-Nya, mujizat itu nyata, tapi mereka tidak percaya. Mereka tidak percaya, tapi mereka tidak ada kesulitan mempercayai bahwa Yesus bisa melakukan mujizat.
Sekarang dibalik; orang mengatakan kalau orang tidak percaya mujizat pasti dia tidak percaya Yesus, kalau orang percaya mujizat pasti dia percaya Yesus. Lalu waktu kita baca Alkitab, ceritanya lain; ada orang percaya mujizat, dan –Yohanes mengatakan—orang ini tidak percaya. Saudara-saudara Yesus ini percaya mujizat, dan justru karena mereka percaya bahwa Yesus bisa membuat mujizat, dan mujizat-Nya mengagumkan banyak orang, maka mereka usul supaya Yesus tunjukkan itu kepada dunia. Di sini tidak ada perdebatan apakah Yesus betul-betul bisa melakukan perbuatan-perbuatan mujizat itu, saudara-saudara-Nya percaya. Tapi mengapa ayat 5 mengatakan ‘saudara-saudara-Nya sendiri pun tidak percaya kepada-Nya’? Karena “kepercayaan” mereka terhadap mujizat itu tidak membawa mereka kepada Pribadi Yesus. Mereka tidak pernah percaya kepada Pribadi Yesus; tapi tidak ada persoalan bagi mereka bahwa Yesus bisa membuat mujizat, dan bahwa mujizat itu betul-betul asli dari Yesus. Yohanes menyebut saudara-saudara Yesus tidak percaya; dan dari ketidak-percayaannya mereka mengusulkan pencobaan seperti yang pernah diajukan Iblis waktu mencobai Yesus. Lalu persoalannya di mana? Yaitu karena ini menggunakan cara dunia di dalam ketidak-percayaan mereka, “tampakkanlah diri-Mu kepada dunia”. Kita tidak dipanggil untuk menampakkan diri kepada dunia; kalimat tersebut saja sudah keliru.
Kalau Saudara melihat Injil Yohanes, strukturnya dibagi dua; pertama pelayanan kepada publik, lalu mulai pasal 13 “Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya” masuk ke pelayanan kepada kelompok yang kecil ini. Jadi mulai dari public ministry kemudian pelayanan kepada 12 murid; dari pelayanan kepada banyak orang, masuk ke pelayanan kepada orang-orang yang khusus. Biasanya kita berpikir terbalik; kita mulai pelayanan dengan KTB 2-3 orang, makin lama makin besar, lalu sampai ke KKR umum yang besar. Tapi Yesus terbalik; Dia mulai dari pelayanan besar, baru kemudian pelayanan kelompok yang kecil. Ini struktur di dalam Alkitab, dan seringkali merupakan suatu message. Di sini meng-konfirmasikan ayat yang terkenal itu “banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih”, bahwa pertama-tama sudah pernah dinyatakan kepada orang-orang banyak itu, tapi akhirnya hanya orang-orang tertentu yang mengerti. Yesus tidak ada ambisi memulai dari sesuatu yang kecil untuk kemudian menjadi besar. Itu terbalik. Yesus sudah besar lebih dahulu, sebelum turun ke dunia pun Dia sudah mahabesar, Dia dari atas, Dia Allah. Lalu Dia masuk ke dalam dunia ini, berarti Dia mempersempit diri-Nya dalam inkarnasi dengan tubuh yang terbatas, dsb.
“Tampakkanlah dirimu kepada dunia”, apa maksudnya? Kita bisa pakai berbagai macam alasan teologis, termasuk juga dengan kalimat-kalimat Alkitab –kita musti menerangi dunia, menggarami dunia, memberi kesaksian bagi dunia—tapi di dalam hati kita sebenarnya cuma mau pamer, jadi tidak jujur. Saudara-saudara-Nya mengusulkan supaya Yesus menyatakan diri-Nya di depan umum, ‘tidak seorangpun berbuat sesuatu di tempat tersembunyi, di sini terlalu kecil makanya Kamu banyak penolakan; sekalian saja di kota besar bikin demonstrasi seperti itu, lebih strategis di situ’.
Saya tidak terlau mengerti sejarah budaya China; konon kegagalan partai Kuo Min Tang yang didirikan Sun Yat-sen yang akhirnya terasing di pulau Formosa (Taiwan yang sekarang), yaitu karena mereka mementingkan kota-kota besar padahal komunisme masuknya di desa-desa yang kecil, gerilya masuk dari kota-kota kecil, sampai akhirnya kota besar pun jatuh satu per satu. Kita pikir bahwa kita tangkap yang paling penting, paling pintar, paling ini dan itu; lalu yang kecil-kecil dimenangkan orang lain dan akhirnya kita kaget tapi sudah tidak bisa bersaing lagi. Ini sejarah, bukan Alkitab. Ini bijaksana dari sejarah, kemutlakannya bukan kemutlakan Alkitab, tapi ada bijaksana tertentu yang bisa kita pelajari. Kadang kita menyepelekan orang-orang yang sederhana, lalu kita pikir sudah memenangkan kelompok yang paling penting; ini sedikit mirip usulan saudara-saudara Yesus –jangan cuma di Galilea sini, ke Yudea dong, Yerusalem dong, itu yang penting; kalau bisa memenangkan di sana, selesailah.
Pada tahun 1518 Heidelberg Disputation oleh Martin Luther, mengangkat Theology of The Cross, yaitu hiddeness. Tapi di bagian Alkitab yang kita baca ini, hiddeness malah diserang –‘tidak seorangpun berbuat sesuatu di tempat tersembunyi’. Kematian Kristus di atas kayu salib itu juga tersembunyi. Tersembunyi dalam pengertian bukan suatu kemenangan di tempat umum seperti kemenangannya Kaisar yang meneriakkan “aku melihat, aku datang, aku menang”. Sedangkan versi setan adalah sebisa mungkin diketahui, diumumkan, supaya seluruh dunia mengetahui. Lalu setelah seluruh dunia mengetahui, selanjutnya apa? Jangan-jangan Tuhan sendiri yang tidak mau melihat. Kalau Tuhan sudah tidak tertarik untuk melihat, sudah memalingkan wajah-Nya, selesailah kita.
Saudara-saudara-Nya tidak percaya kepada Yesus Kristus; maka kemudian Yesus menjawab mereka: "Waktu-Ku belum tiba, tetapi bagi kamu selalu ada waktu“ (ayat 6). Kalimat sangat pendek yang menarik sekali. “Waktu-Ku belum tiba”, di sini Yesus menunjuk pada kematian-Nya.
Hari raya Pondok Daun dalam perspektif Yesus bukan sekedar perayaan; kalau cuma sekedar perayaan, meski itu kairos, tapi setiap tahun ada, jadi ‘gak kairos-kairos banget, kalau kali ini luput, masih bisa tahun depannya. Tapi Yesus melihat hari raya Pondok Daun tidak cuma itu. Hari raya Pondok Daun ada kaitan dengan mengingat teologi Tabernakel dalam peristiwa Keluaran (Exodus), yaitu Allah yang berdiam di tengah-tengah umat-Nya lalu mereka mendirikan kemah dari daun (pondok daun). Dan dalam hari raya Pondok Daun mereka juga mendirikan kemah untuk mengenang waktu Israel dulu mengembara di padang gurun, Tuhan berkemah bersama dengan mereka. Yesus sedang berkemah di antara manusia; maka waktu Yesus nantinya pergi ke Yerusalem, Yesus akan mengumumkan diri-Nya dalam kaitan teologi Tabernakel (mulai ayat 14). Itu kairos yang Yesus maksud, dan ini berkait dengan kematian-Nya, bukan sekedar melihat kairos hari raya Pondok Daun. Maka waktu Yesus mengatakan “waktu-Ku belum tiba”, itu bukan sekedar berbicara bahwa waktu untuk pergi ke hari raya Pondok Daun belum tiba, tapi berbicara bahwa waktu untuk mengaitkan kematian Kristus dengan hari raya Pondok Daun, yang digenapi dalam kehidupan Kristus, itu belum tiba; Yesus belum mati ketika mengatakan itu.
Jangan coba mempercepat pekerjaan Tuhan, semua ada kairosnya, tidak ada gunanya kita mempercepat. Ada peribahasa Italia yang mengatakan, “olive itu kalau kamu tarik, tidak akan membuat dia lebih cepat berbuah” –kalau memang belum waktunya berbuah, tidak akan berbuah, kalau ditarik malah mati bukannya berbuah. Ini bijaksana dunia. Di dalam ketidak-sabaran kita, seringkali kita mau mepercepat waktu Tuhan, tapi Yesus bilang: “Waktu-Ku belum tiba”. Saat-Nya ada sendiri, dan bukan bisa dipercepat oleh manusia; Petrus yang percaya saja tidak bisa mempercepat, apalagi oleh saudara-saudara-Nya yang tidak percaya.
Yang menarik yaitu kalimat sesudahnya: “… tetapi bagi kamu selalu ada waktu” (ayat 6b). Maksudnya apa? Dalam bahasa Indonesia semuanya pakai kata ‘waktu’, sepertinya sama –waktu-Ku belum tiba, bagi kamu selalu ada waktu– apakah maksudnya bagimu selalu ada kesempatan, ada kairos, ada waktu? Tidak begitu. Waktu dikatakan ‘bagi kamu selalu ada waktu’, maksudnya adalah: inilah cara pikir orang di dalam dunia, merasa selalu ada waktu. Itu bohong, itu tidak ada, waktu adalah kesempatan. Orang yang melihat ‘selalu ada waktu’, dia tidak mengerti adanya kekhususan di dalam yang disebut ‘saatnya Tuhan’. Cara pikir orang yang hidup di dalam dunia yaitu tidak pernah berkait dengan visi kekekalan, selalu melihat dirinya bisa menentukan kapan waktunya, dirinya berdaulat, punya otoritas untuk mengendalikan kapan waktunya. Itu cara pikir orang dunia, tapi bahkan di Yunani pun ada mitologi “Dewa Kesempatan” yang harus ditangkap dari depan, kalau sudah lewat, dia tidak bisa lagi ditangkap dari belakang karena tidak ada rambutnya. Ini pagan phylosophy, bijaksana Yunani, bukan Akitab, tapi inipun banyak orang dunia tidak mengerti. Mereka selalu berpikir ‘selalu ada waktu’. Yesus mengatakan, “bagimu selalu ada waktu”, sebetulnya ini kalimat peringatan.
Yesus menghidupi kairos-kairos Bapa dalam kehidupan-Nya, yaitu saat yang diberikan Bapa (God’s appointed time). Tapi bagi orang yang tidak percaya, seperti ‘selalu ada waktu’, waktu selalu tersedia, kapan pun juga bisa. Waktu mengatakan “kapan pun juga bisa”, di situlah manusia seringkali terlambat. Orang yang tinggal di satu kota tertentu, dia yang paling tidak tahu tempat wisata di kotanya, tapi turis yang datang ke kota tersebut lebih tahu tempat ini dan itu. Mengapa? Karena bagi mereka yang tinggal di situ, selalu ada waktu, sampai akhirnya mereka ketinggalan. Banyak orang tertinggal karena merasa ada waktu.
Yesus mengatakan: “Waktu-Ku belum tiba, tapi bagi kamu selalu berpikir selalu ada kesempatan, selalu ada waktu. Kamu tidak percaya, sekarang pun masih tidak percaya, karena kamu pikir suatu saat pasti bisa percaya atau mungkin tidak perlu percaya juga tidak apa-apa”. Itulah cara pikir orang dunia. Maka di ayat 7 Yesus mengatakan: “Dunia tidak dapat membenci kamu… ”. Mengapa dunia tidak dapat membenci? Karena kamu sudah berpikir seperti orang dunia, maka dunia tidak akan membenci kamu. Orang dunia berpikir ‘selalu ada waktu’; dan dalam hal ini orang yang berpikir sama seperti dunia, sudah menjadi milik dunia.
Selanjutnya (ayat 7) “… tetapi ia membenci Aku, sebab Aku bersaksi tentang dia, bahwa pekerjaan-pekerjaannya jahat.” Saudara lihat di sini, ada konsep waktu/ kairos dan pekerjaan-pekerjaan jahat. Saya meminjam konsep yang ada di Surat Efesus, kaitan antara kepekaan ‘waktu/ kairos dengan menebus, karena hari-hari ini adalah jahat’. Orang yang tidak melihat kairos, dia cenderung tenggelam di dalam pekerjaan-pekerjaan dunia yang jahat, masuk di dalam putaran rutinitas. Tidak memahami kairos, sekedar masuk di dalam rutinitas karena toh hidup ini running, menurut Alkitab adalah kejahatan. Jadi kalau Saudara melihat hidup Saudara cuma sekedar putar-putar –makan, tidur, bangun, besoknya begitu lagi, putar-putar terus– itu adalah kejahatan, karena selalu ada waktu untuk itu, tidak ada kaitannya dengan saat-saat tertentu, tidak menangkap poin-poin di dalam kehidupannya. Kehidupan yang berkualitas, menurut Alkitab, salah satunya adalah seberapa banyak kairos di dalam kehidupan kita.
“Dunia tidak dapat membenci kamu” –orang-orang yang selalu ada waktu– dunia mengasihi orang-orang seperti itu. “Tetapi ia membenci Aku”, mengapa? Karena Yesus menebus waktu; ini merusak rutinitas yang terjadi di dalam waktu yang sudah tenggelam di dalam kejahatan. Waktu Yesus inkarnasi, Dia merusak tatanan dunia yang sudah di dalam rutinitasnya. Saya bukan mengatakan bahwa rutinitas itu pada dirinya adalah jahat. Kita tidak bisa keluar dari rutinitas, misalnya keramas jadi cuma 3 bulan sekali supaya ada kairos, gosok gigi jadi jangan cuma biasa tapi dibikin lebih keras gosoknya sampai tiap kali satu gigi copot supaya jadi kairos. Bukan itu yang dimaksud, tetapi dalam pengertian kita tidak sadar masuk di dalam rutinitas waktu, tidak ada kairos di dalam kehidupan kita, tidak ada kesempatan yang ditangkap, semuanya seperti berjalan secara kronologis biasa saja; itulah yang dunia cintai. Sebaliknya, waktu Yesus masuk ke dalam dunia, Dia membongkar gambaran dunia yang masuk dalam rutinitas, dunia yang pekerjaannya jahat, yang selalu melihat ‘selalu ada kesempatan’.
Ayat 8, Yesus mengatakan: “Pergilah kamu ke pesta itu. Aku belum pergi ke situ, karena waktu-Ku belum genap" –waktu kamu pergi ke pesta itu, tetap saja jadi rutinitas hari raya Pondok Daun biasa, padahal ada sesuatu di situ, mengenang masa lampau, Tuhan yang hadir di tengah umat-Nya. Ini sebetulnya momen penggenapan yaitu Yesus menjadi tabernakel, tapi mereka tidak melihat itu. Mereka melihat hari raya Pondok Daun sebagai hari yang setiap tahun berulang. Dalam bahasa Jerman ada lagu Natal, judulnya “Alle Jahre Wieder” (“Setiap Tahun Lagi”), lalu saya kadang-kadang bercanda dengan mereka, “Bukan alle jahre wieder, tapi alle jahre schon wieder (setiap tahun lagi-lagi datang)”, maksudnya muak dengan Natal yang setiap tahun datang jadi klise. Hari Raya Pondok Daun juga bisa seperti itu, seperti dalam kehidupan kita yang mengatakan: “saya tahun lalu sudah datang, sekarang gantian”, seakan memberi kesempatan kepada orang lain, berhati luas, dsb. tapi mungkin berpikir seperti mereka –tidak menarik kesempatan.
“Pergilah kamu ke pesta itu. Aku belum pergi ke situ, karena waktu-Ku belum genap." Demikianlah kata-Nya kepada mereka, dan Iapun tinggal di Galilea (ayat 9). Ada perbedaan antara Yesus dengan saudara-saudara-Nya yang tidak percaya. Yesus tidak pergi (sampai dengan ayat ini), dan saudara-saudara-Nya pergi, tapi dalam kepergiannya mereka tetap tidak menangkap kairos. Bagi mereka hari raya Pondok Daun hanyalah sesuatu yang setiap tahun berulang dan berulang lagi.
Tetapi sesudah saudara-saudara Yesus berangkat ke pesta itu, Iapun pergi juga ke situ, tidak terang-terangan tetapi diam-diam (ayat 10). Kita tidak bisa membaca ayat ini dari perspektif bahwa Yesus ini gengsi, tidak mau didikte saudara-saudara-Nya, mentang-mentang Dia Tuhan yang berdaulat sendiri dan tidak boleh dikasih tahu orang lain, harus selalu Dia yang ngomong dan orang lain yang taat, dsb.; pembacaan seperti ini kacau-balau. Kata kuncinya bukan di situ; bukan soal gengsi, pride, dignitas, sovereignty, dsb. –Yesus pasti ada sovereignty—tapi kata kuncinya ada di dalam kalimat “tidak terang-terangan tetapi diam-diam”. Inilah yang menciptakan kontras dengan usulan tadi. Saudara-saudara-Nya mengatakan: “tidak seorangpun berbuat sesuatu di tempat tersembunyi, jika ia mau diakui di muka umum”; dan tulisan Yohanes tentang kepergian Yesus: ‘Yesus pergi juga ke situ, tidak terang-terangan –alias tersembunyi—tetapi diam-diam’, bukan show off di depan umum. Inilah kontrasnya. Di sini bukan soal Yesus pergi atau tidak pergi; bukan bahwa Yesus bilang “tidak pergi” lalu akhirnya pergi juga, jadi artinya sama saja. Tetap tidak sama. Di mana ketidak-samaan-nya? Tidak sama, karena saudara-saudaranya bilang “silakan mengumumkan diri di sana, tunjukkan diri di depan umum”, tetapi Yesus tidak terang-terangan melainkan diam-diam, hiddenness; ini theology of the cross –ketersembunyian.
Yesus bukan datang ke sana mempopulerkan diri-Nya sendiri, karena sudah gagal di tempat yang lama lalu mencoba lagi supaya di tempat yang ini terjadi penerimaan; Yesus datang tidak terang-terangan tetapi diam-diam. Bagaimana kita menghayati ayat ini untuk Gereja/ Kekristenan? Apa artinya ‘tidak terang-terangan tetapi diam-diam’? Bagaimana kita sebagai Gereja, sebagai orang Kristen, bersaksi tidak terang-terangan tapi diam-diam? Kalimat ini rentan disalah-mengerti. Kalau Saudara salah baca, Saudara bisa betul-betul diam. Ditanya: “Kamu Kristen?” Diam.
‘Diam’ itu berbeda dengan ‘diam-diam’; diam itu lebih parah daripada diam-diam. Yang dimaksud ‘diam-diam’ adalah: bukan dengan spirit membanggakan diri. Ini bukan berarti kita harus selalu di tempat yang kecil, yang terisolir, tapi ini lebih ke spirit hati. Ada orang ditaruh Tuhan di tempat yang tinggi sekali seperti di atas gunung, ada orang yang ditaruh di lembah, bahkan ada orang yang mungkin ditaruh di selokan yang orang lain tidak bisa lihat. Setiap orang bersaksi di tempatnya masing-masing. Soal di atas gunung atau di lereng, di lembah, di selokan, itu semua bukan masalah; tetapi yang penting adalah bagaimana di tempat itu kita bersaksi akan Tuhan, dan bukan dengan spirit meneriakkan diri, bukan dengan spirit membangga-banggakan kebesaran sendiri.
Hati-hati memperkenalkan kemuliaan Kristen dari cerita kesuksesan-kesuksesan, termasuk kesuksesan moralitas –“lihat tuh, pejabat-pejabat negara yang paling ‘gak korupsi siapa, orang Kristen ‘kan”. Kita bukan dipanggil untuk memperkenalkan Kekristenan dari cerita kesuksesan seperti itu, nanti akan mengecewakan. Yesus tidak pakai cara itu. Kita mengatakan: “Lihatlah orang-orang yang paling berhasil, orang Kristen ‘kan, Calvnis ‘kan”, itu sama saja balik lagi ke cerita sukses.
Kita memang bukan penganut prosperity theology, tapi kita bisa jadi masuk ke dalam prosperity theology dengan cara yang lain; bukan dengan mengatakan “percayalah Yesus, nanti dapat kekayaan”, tapi waktu memperlihatkan cerita-cerita kesuksesan “lihatlah orang yang paling sukses, paling berhasil, paling tidak korupsi, integritasnya paling tinggi, itu orang Kristen ‘kan”. Lalu waktu menghadapi cerita yang berbeda, kita jadi goncang, tidak bisa terima, mengatakan “ini pasti hoax, cerita ini ‘gak fit dengan gambaran orang Kristen; orang Kristen itu harus suci, harus integritas”, dsb. Saudara jangan lupa, Yesus mati untuk orang berdosa! Saudara dan saya ini orang berdosa, bukan orang berintegritas, oleh sebab itu Yesus mati untuk kita. Yang kita katakan tadi itu cerita ngawur, bukan cerita Injil.
Saya bukan mengatakan “kalau begitu marilah merayakan our sinfullness”, tetapi “mari kita merayakan kemuliaan Kristus”. Ketidak-berdosaan Kristus, bukan ketidak-berdosaan orang Kristen; karena itu tidak ada. Bukan integritasnya orang Kristen, bukan integritasnya pejabat Kristen, bukan integritasnya bussinessman Kristen, bukan integritasnya hamba-hamba Tuhan Kristen, tapi mari kita merayakan integritasnya Yesus; solus Christus. Solus Christus berarti cuma Kristus, jangan tambahkan dengan yang lain-lain, itu tidak ada; siapapun tidak berhak untuk dijejer bersama dengan Kristus.
Dikatakan di bagian ini “tidak terang-terangan, tapi diam-diam”; kita tidak menonjolkan cerita keberhasilan –Yesus tidak datang ke hari raya Pondok Daun lalu berkata: “Siapa yang di sini pernah melihat Saya melakukan mujizat, 5000 orang kenyang? Coba angkat tangan; kamu tahu ya, siapa Saya”. Yang seperti itu, anak-anak. Kalau Gereja seperti itu, kita jadi Gereja Anak-anak, Gereja yang sangat tidak dewasa, yang tidak mengerti jalan salib.
Yesus tidak terang-terangan, tapi diam-diam; lalu kuasa kesaksian itu keluar juga, Bapa yang mengumumkan. Seperti waktu Yesus dibaptis, Bapa mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi”; kalimat itu diperdengarkan –setidaknya menurut versi Matius. Waktu itu diumumkan, bukan Yesus mengumumkan diri-Nya sendiri, Yesus pasif, tapi Dia juga tidak mencegah. Kalau Bapa yang mengumumkan, itu urusan-Nya Bapa, tapi Dia sendiri tidak mengumumkan secara showing off; Yesus tidak terang-terangan, tapi diam-diam.
Di ayat 11, Saudara melihat kesaksian itu ada, meskipun kontroversial; Orang-orang Yahudi mencari Dia di pesta itu dan berkata: "Di manakah Ia?" Pertanyaan ini intonasinya di sini bisa macam-macam; dan di sini seperti ada perasaan insecure/ terancam waktu mereka menanyakan kalimat itu. Dan banyak terdengar bisikan di antara orang banyak tentang Dia. Ada yang berkata: "Ia orang baik." Ada pula yang berkata: "Tidak, Ia menyesatkan rakyat (ayat 12). Kontroversial; ada yang mendapat berkat, ada yang kesal, ada yang menganggap Yesus penyesat, dsb. Lalu ditutup dengan ayat 13: Tetapi tidak seorangpun yang berani berkata terang-terangan tentang Dia karena takut terhadap orang-orang Yahudi.
Saya suka dengan terjemahan Bahasa Indonesia karena banyak permainan kata di bagian ini, yaitu kata ‘terang-terangan’. Yesus tidak dengan terang-terangan pergi ke pesta itu (ayat 10), maksudnya Yesus tidak show off; ini positif. Tapi di ayat 13 kata ‘terang-terangan’ menjadi negatif, dikatakan bahwa mereka tidak berani berkata terang-terangan. Saudara bisa menangkap di sini paradoksnya; waktu kita diam, tidak berkata terang-terangan, di dalamnya sebenarnya apa? Ada orang yang tersembunyi, tidak dengan terang-terangan tapi diam-diam karena rendah hati; ada juga orang yang tersembunyi, tidak terang-terangan, diam-diam karena takut.
Memang iman perlu bertumbuh; salah satu pengudusan yang Tuhan kerjakan yaitu orang yang tadinya penakut, kemudian menjadi berani. Keberanian (courage) di dalam Greco Roman culture, termasuk satu di antara 4 kebajikan yang besar (four cardnial virtue). Tapi kalau kita baca sebagai keberanian menurut dunia, tidak tentu sinkron dengan gambaran Alkitab tentang keberanian. Lawan kata courage, yang paling gampang tinggal ditambah ‘dis’ jadi discourage; tapi ini justru sering dilupakan, orang seringkali menganggap lawan kata courage adalah ketakutan. Yang saya mau katakan, bahwa discourage itu salah satu bentuk ketakutan; orang yang dikuasai ketakutan, dia dis-courage, patah semangat sebagai bentuk ketakutan. Orang yang memiliki keberanian, dia punya preserverance, fighting spirit, punya ketekunan, ketabahan meskipun sulit.
Melayani itu bisa jenuh juga, bisa discourage. Tapi jangan begitu, karena waktu membaca Alkitab, kita belajar prinsip courage ini, yaitu courage to witness (keberanian untuk bersaksi), courage to love (keberanian untuk mencintai), courage to embrace (keberanian untuk merangkul) –merangkul yang penuh duri sehingga waktu merangkul, kita sendiri luka. Ibarat durian, manusia berdosa waktu dipeluk ada duri-durinya; perlu courage untuk melakukan itu. Ada orang yang discourage/ ketakutan melakukan itu karena tidak cukup dikuasai oleh kasih.
Hari ini kita merayakan Perjamuan Kudus. Keberanian Kristus untuk mati di atas kayu salib, keberanian Kristus untuk menebus kita, konsistensi-Nya dan keberanian-Nya untuk memeluk kita sampai saat terakhir, keberanian-Nya untuk menghadapi penolakan, itu terus maju. Dan ini yang di-share kepada kita. Waktu kita makan roti dan anggur, kita mengakui dalam hati, kita bersekutu dengann tubuh dan darah Kristus; darah Kristus mengalir di dalam kita –dalam pengertian rohani—memberikan keberanian yang sama. Kalau Saudara tidak siap dengan ini, cuma mau terima berkat keselamatan tapi tidak mau dipersatukan dengan Kristus, Saudara tidak usah mengambil Perjamuan Kudus, karena ini satu persekutuan.
Kristus itu, The Courageous Christ yang tidak dikuasai ketakutan tapi yang humble, tidak terang-terangan, tidak mengumumkan diri-Nya sendiri, and yet courageous, Dia mengundang Saudara untuk bersekutu dengan diri-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading