Kita melihat penempatan dari Lukas, setelah kita selesai membaca tentang Zakeus kemudian segera disusul dengan perumpamaan tentang uang mina ini, paling sedikit ada dua alasan, yang pertama karena setting-nya sendiri dari Yeriko lalu ke Yerusalem, yang kedua ada kaitan motif tentang uang mina, tetapi sebelumnya juga membicarakan tentang Zakeus sebagai satu gambaran cerita seseorang yang menjalankan uang mina-nya dengan setia. Menarik, di dalam kaitan seperti ini kalau kita melihat flow dalam bagian ini Lukas mencatat kejadiannya terlebih dahulu, seorang Zakeus menjalankan uang mina-nya dengan setia, karena dia bersedia untuk memberikan setengah dari miliknya dan kalau ada orang yang dia peras, akan dia kembalikan empat kali lipat (kita sudah bahas, ini melampaui dari tuntutan Torah). Lalu setelah kejadian historis tentang Zakeus, Yesus membicarakan tentang perumpamaan untuk meneguhkan cerita tentang Zakeus ini, yang mengatur flow-nya adalah Lukas. Jadi di dalam perumpamaan uang mina ini ada satu ajakan tetapi juga sekaligus ada satu konfirmasi penghiburan bahwa ini bukan merupakan sesuatu yang tidak bisa dijalankan oleh manusia, bukan ini sesuatu yang betul-betul terjadi, sesuatu yang liveable, yang betul-betul bisa dialami oleh semua orang yang percaya kepada pengajaran Tuhan Yesus Kristus.
	Ayat 11 ini adalah satu pengharapan yang terus-menerus diulang dari kesalahmengertian orang-orang yang mengikut Yesus dan kesalahmengertiannya itu begitu laten, bahkan sampai waktu kita membaca Kisah Para Rasul, Yesus sudah mau terangkat ke sorga, orang masih bertanya dengan kalimat seperti ayat 11 ini juga. Dalam bagian ini banyak orang menyangka Yesus masuk ke Yerusalem dan mereka berpikir di situ Kerajaan Allah akan segera kelihatan (kasat mata, bagian ini sudah pernah kita bahas), mereka mencari tanda-tanda lahiriah, segera kelihatan, yang bisa dilihat mata jasmani. Tetapi yang jadi persoalan adalah Kerajaan Allah itu tidak kelihatan dengan kasat mata, tapi dilihat dengan mata rohani, seperti kita merenungkan firman Tuhan, mendengar khotbah dsb., kita juga melihat dan mendengarkan dengan mata hati, bukan dengan mata jasmani. Dan berbahagialah orang yang bisa melihat dengan mata rohani bukan dengan mata jasmani. Lalu persoalan connectedness antara Kerajaan Allah dan Yerusalem, yang dikatakan Yesus berulang-ulang adalah di Yerusalem Dia akan mati dan menggenapi rencana kehendak Allah, tetapi mereka somehow ada semacam selubung yang menutupi mata mereka sehingga mereka tidak bisa melihat apa yang sudah berkali-kali dikatakan oleh Yesus Kristus, mereka terus mengharapkan apa yang menjadi keinginan mereka.
	Ada kebahayaan kalau ada kekristenan atau keagamaan yang seperti ini. Tuhan sudah memberitahu apa tetapi kita tidak peka dan tidak mau peka sama sekali untuk mendengar, kita terus berdoa dan berharap sesuai dengan apa yang kita inginkan, orang seperti ini totally autis. Orang beragama yang sangat autis, dia tidak peduli Tuhan bicara apa, yang dikehendaki Tuhan itu seperti apa, dia tidak peduli, yang penting dia terus berdoa dan berharap apa yang menurut dia seperti itu, saya terus berusaha sampai Tuhan menyerah dan mengabulkan apa yang saya minta. Kalau kita membahas prinsip Kerajaan Allah di dalam alkitab, kita banyak mendapati di dalam firman Tuhan dan dikonfrmasi di dalam sejarah gereja bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang berdaulat, sovereign, dan Dia adalah Tuhan yang terus-menerus bergerak. Hati-hati dengan kecongkakan manusia yang berusaha untuk melokalisasi kehadiran Tuhan, sepertinya kalau Tuhan sudah di situ, Dia tidak boleh keluar lagi, seolah-olah Tuhan itu bisa di trap, bisa dijebak seperti tikus, apakah Tuhan bisa dijebak seperti tikus itu? Apakah Tuhan bisa dilokalisasi seperti itu? Saya kuatir pengharapan seperti ini akan mengecewakan karena kita berusaha membatasi Tuhan yang sebetulnya tidak bisa dibatasi, tapi bukan berarti kita tidak usah bergumul untuk kehadiran Tuhan, bukan itu maksudnya. Seharusnya kita yang mengikuti pergerakan Tuhan, bukan Tuhan yang mengikuti pergerakan kita, itu namanya membelenggu pekerjaan Tuhan.
	Di dalam sejarah gereja kita membaca gereja Efesus yang sangat diberkati Tuhan karena gereja itu pernah dilayani oleh Paulus, Timotius dan Yohanes, tapi kalau kita pergi ke Turki, kota Efesus itu sudah tidak ada penghuninya, gerejanya juga pasti sudah menjadi puing-puing, kota itu sendiri sudah menjadi kota yang mati, ditinggalkan oleh Tuhan, Tuhan tidak bisa dibelenggu di sana. Memang Tuhan pernah hadir di sana, tetapi bukan berarti ketika Tuhan pernah hadir di situ, lalu sampai selama-lamanya sampai Yesus datang harus stay di situ terus, tidak. Ada pergerakan yang Tuhan lakukan dan berbahagia kalau kita mengikuti pergerakan itu. Sayang sekali buku-buku di dalam dunia sekuler banyak sekali mengajarkan bagaimana kalau kita ingin menjadi orang yang sukses di dalam usaha dagang,  kerja kantor dsb., salah satu yang terus-menerus dituliskan itu adalah bagaiman kita cepat beradaptasi. Dunia sudah berubah, tapi ada orang yang sangat konservatif, tidak bisa berubah, tetap memakai cara konvensional, akhirnya ketinggalan sendiri, karena tidak peka membaca kemajuan perubahan zaman, orang yang bisa seperti naik selancar mengikuti arus air, dia hanya menunggangi saja, airnya kan bergerak terus, itu adalah orang yang berhasil (itu kata buku-buku sekuler).
	Tetapi di dalam agama seperti prinsip sederhana inipun orang juga tidak mengerti, tentu saja kita bukan menunggangi Tuhan, bukan, tetapi bagaimana seseorang peka terhadap gerakan Tuhan, ada orang yang terlalu konvensional, tidak melihat lagi pekerjaan Tuhan, pokoknya caranya adalah cara seperti ini, ya sudah harus seperti itu, selama-lamanya harus seperti ini, Tuhan suka atau tidak suka ya seperti ini, kan susah untuk berubah, sudah bertahun-tahun memakai cara seperti ini, konvensional, konservatifisme yang keliru. Waktu Kerajaan Allah yang coba untuk dilekatkan dengan Yerusalem, kita tahu, setelah itu Tuhan terus bergerak ke seluruh bangsa, Paulus sendiri ke Korintus, ke Efesus dsb., berarti bukan hanya di Yerusalem, tidak bisa dibatasi hanya Yerusalem, ada pergerakan keluar. Perumpamaan yang sudah kita baca ini ada kemiripan yang tidak sedikit dengan Matius, tetapi sebenarnya perbedaannya juga cukup signifikan untuk pesan masing-masing, baik Lukas maupun Matius. Yang pasti perkataan dalam Lukas sangat kontekstual pada saat itu, waktu dikatakan cerita seorang bangsawan kesebuah negeri yang  jauh untuk dinobatan menjadi raja disitu dan setelah itu ia baru kembali.
	Di dalam konteks waktu Yesus menceritakan perumpamaan ini ada peristiwa historis, satu raja namanya Akilaus ditaruh disitu, ini seorang raja yang sama sekali tidak disenangi oleh orang-orang Yahudi, karena dia pernah membantai ribuan orang Yahudi, sehingga waktu dia dinobatkan kemudian orang Israel mengirim utusan datang kesana (semacam demonstrasi kalau zaman sekarang), untuk minta rajanya diganti. Waktu Yesus mengatakan kalimat ini, mereka langsung klik, karena ini satu peristiwa yang masih segar dihadapan mata mereka dan mereka emotionally involve karena mereka sangat tidak suka dengan si Akilaus itu. Tentu saja di dalam perumpamaan ini yang dimaksudkan Yesus, Dia mau mengajar untuk melihat gambaran tentang Allah yang mengutus AnakNya sendiri untuk menjadi raja atas mereka . Menjadi satu pembacaan salah kalau kita kemudian mengerti oh ini Yesus di dalam perumpamaan ingin mencoba untuk meyakinkan mereka supaya mereka submit saja kepada Akilaus, itu bukan agenda Yesus. Tetapi Yesus menunggangi berita tersebut untuk menyampaikan pesan yang lebih penting, yang membawa mereka pada pengertian bahwa Yesus sedang datang kepada mereka juga sebagai raja yang diutus oleh BapaNya, yang juga mereka tolak, dan resikonya apa setelah menolak Raja seperti ini? Di sini ada gambaran the Kingship of Christ, sementara di dalam Matius kita membaca gambaran relasi tuan dan hamba, seorang entrepreneur yang menyerahkan kepada hamba-hambanya (kita harus membiarkan kedua perumpamaan ini berbicara dari perspektifnya masing-masing).
	Salah satu perbedaan lainnya yang cukup signifikan adalah tentang distribusi kepercayaan yang diberikan oleh tuan atau raja di situ, distribusi uangnya. Di dalam Matius disitu ada dipercayakan 5, 2 dan 1 talenta, kalau kita perhatikan dalam Lukas masing-masing menerima 1 mina, 10 orang hamba dan diberikan 10 mina, tetapi di Matius, 5 talenta untuk hamba pertama, 2 taenta untuk hamba kedua dan 1 talenta untuk hamba yang ketiga. Dalam variasi ini di dalam Matius lebih ditekankan tentang kedaulatan Tuhan (ada yang diberi 5, 2 dan 1) dan itu ada di dalam urusannya Tuhan, kita tidak perlu mempersoalkan bagian itu, mungkin ini juga bisa menjadi pencobaan dalam kehidupan kita, karena kita gagal menghayati kedaulatan Tuhan, kita mulai banding-banding. Selalu yang menjadi persoalan di dalam gambaran ini adalah hamba yang paling sedikit mempunyai talenta, kemungkinan, lalu ada pencobaan untuk banding-banding dengan orang lain, kenapa yang lain dapat 5 dan 2 talenta, kenapa saya hanya 1 dst. Pasti yang 1 iri hati kepada yang 5 dan 2, bukan 5 iri kepada 1, itu jarang sekali, kenapa saya terlalu kaya, Tuhan tidak adil? Kenapa orang lain lebih miskin daripada saya dan karena itu lebih bahagia? Wah jarang sekali orang yang seperti ini, gerakan yang ada adalah yang sedikit itu menjadi resah, gelisah, menjadi insecure waktu dia melihat kepada yang 5 talenta, kita tidak tahu pasti, tetapi ini cukup masuk akal dan menurut saya bukan merupakan satu interpretasi yang super kreatif untuk mengatakan kalimat ini.
	Tetapi di dalam Lukas isu ini tidak ada sama sekali, Tuhan betul-betul membagi secara fair, setiap orang 1, saya bukan mau mengatakan Tuhan jadi tidak fair dalam versi Matius, tidak, itu urusan kedaulatan Tuhan, istilah fair dan tidak fair juga tidak applicable di situ karena ada di dalam kedaulatan Tuhan. Tuhan berhak untuk memberikan kepada setiap orang itu berapa, karena tidak ada urusan hutang piutang, kalau memang ada jasa yang pernah di deliver oleh hamba itu, nah itu bisa menjadi urusan adil dan tidak adil. Sedikit perbandingan, kalau kita mau memberi uang kepada pengemis kan tidak ada urusan keadilan, kita tidak memberi pun itu urusan kita dan kita tidak bisa disebut tidak adil, waktu kita memberi jumlahnya berapa, itu juga urusan kita, itu tidak bisa disebut tidak adil karena kita memberi sedikit, tidak, karena kita tidak berhutang apa-apa, dan si pengemis itu juga tidak pernah deliver jasa kepada kita, jadi di situ tidak ada urusan keadilan, tetapi lebih berkaitan dengan kedaulatan. Demikian juga waktu Matius mencatat perspektif ini, kadaulatan Tuhan untuk membagi-bagi, tetapi di dalam Lukas tidak ada penekanan itu, bukan penekanan di dalam kadulatan Tuhan yang membagi-bagi, tetapi di sini bicara tentang equality, sehingga semua orang tidak bisa berdalih dengan mengatakan oh iya dia dapat lebih banyak sih, makanya dia bisa untung lebih banyak.
	Tapi kalau kita kembali kepada Matius, Tuhan juga tidak menuntut yang 1 dapat 5, karena yang 5 dapat 5, yang 2 dapat 2, kita bisa lanjutkan secara matematika sederhana, yang 1 harusnya dapat 1, begitu kan? 5 jadi 10, 2 jadi 4, 1 jadi 2, begitu kan? Tuhan tentu saja tidak akan minta untuk yang 1 itu kemudian menjadi 10 karena di sini tidak sesuai dengan hitungannya, tetapi menarik, kalau kita melihat di dalam bagian Lukas ini, semuanya diberikan 1, seperti seolah-olah semuanya diberikan kepada tangan manusia, ini tipikal Lukas, bukan Lukas tidak percaya kedaulatan Tuhan, tetapi ada begitu banyak zoom di dalam Iinjil Lukas yang menekankan tanggungjawab manusia. Kita tahu waktu manusia itu bertanggungjawab, itu juga ada di dalam anugerah Tuhan, itu jelas, saya pikir Lukas juga bukan tidak mengerti kalimat seperti itu. Penekanannya adalah bagaimana manusia meresponi, itu tanggungjawab manusia, ada yang mengelola dari 1 bisa jadi untung 10, ada satu komentri yang menuliskan, di dalam zaman Yahudi saat itu ini bukan hal yang tidak masuk akal, itu bisa diselidiki secara historis, kemungkinan seperti itu betul-betul bisa terjadi. Di sini kita mendapati, Lukas memiliki kecenderungan untuk menekankan di dalam perspektif tanggungjawab manusia, sama seperti waktu kita membaca tentang cerita perumpamaan domba yang hilang, uang yang hilang dan anak yang hilang (kita sudah pernah membahas bagian ini).
	Kita melihat dalam bagian ini ketika masing-masing hamba itu memberitahukan kepada tuannya, kepada raja itu, ada perbedaan yang satu menghasilkan 10, yang kedua menghasilkan 5, kalau kita membaca jawabannya ada kaitan cukup erat dengan Matius, dalam Matius dikatakan, baik sekali perbuatanmu itu hai hambaku yang baik dan setia dst., tapi kalau kita melihat dalam Lukas, jawaban tuannya pada hamba yang pertama dan kedua itu berbeda. Yang satu dikatakan dalam ayat 17, lalu hamba kedua dikatakan dalam ayat 18. Penekanan Lukas terhadap apa yang dilakukan yang menjadi bagian manusia itu sangat ditekankan di dalam cerita ini, bahkan di sini Tuhan sendiri waktu memberikan kepercayaan (ini bukan di dalam pengertian reward and punishment system), yang untung 10 dipercayakan 10, yang untung 5 dipercayakan 5, sesuai dengan laba. Tuhan betul-betul respek, tanggungjawab manusia itu diberikan ruang yang begitu besar, yang untung 10 diberikan 10, yang untung 5 diberikan 5, itu adalah apa yang mereka tuai berdasarkan apa yang mereka sudah tabur. Di dalam variasi Matius ada perbedaan kedaulatan Tuhan waktu memberikan pertama-tama, setelah itu tidak dibicarakan lagi perbedaannya, tetapi di sini Lukas membedakan berdasarkan respon setiap orang dihadapan Tuhan.
	Ada perdebatan bahkan di dalam internal teologi reformed yang membicarakan tentang keadaan manusia di sorga itu sebetulnya bagaimana? Ada tingkat kemuliaan atau tidak ada tingkat kemuliaan? Ada yang berpendapat sebetulnya akan equal, kalaupun ada tingkat kemuliaan, tingkat kemuliaan itu hanya ada di dalam dunia. Saya sendiri percaya ada perbedaan tingkat kemuliaan di sorga, tapi untuk orang yang percaya adanya kasta, ketika mereka jadi kristen, akan sulit untuk memahami bahwa di sorga bisa ada tingkat perbedaan kemuliaan. Memang kita tidak tahu secara pasti, karena alkitab juga tidak terlalu jelas bicara tentang itu, meskipun ada bagian-bagian tertentu yang sepertinya memang lebih mendukung kepada adanya tingkat kemuliaan, tetapi toh kalau ada perbedaan tingkat kemuliaan, kan tidak apa-apa juga, kan sudah di sorga? Karena orang juga tidak akan care memikirkan bagian itu. Tapi kalau kita membaca di sini ada dipercayakan 10 kota dan 5 kota, nah itu sesuai dengan apa yang sudah mereka jalankan, mereka hasilkan selama mereka masih berada di dalam dunia.
	Hal yang menarik dari Lukas ini yaitu perenungan tentang kedatangan Kerajaan Allah, ini isu eskatologi, banyak orang yang percaya Kerajaan Allah yang segera akan kelihatan, dalam bahasa modern, kedatangan Yesus yang kedua kalinya kapan? Lalu orang terobsesi dengan pencarian itu, tentang kapannya, bagaimana dan dimana? Tetapi sebenarnya yang lebih penting adalah Lukas mengalihkan seluruh obsesi ini dari berfokus dengan yang segera akan kelihatan di Yerusalem, lalu diarahkan oleh Lukas kepada apa inti dari eskatologi itu, yaitu kamu setia menjalankan uang mina yang Tuhan percayakan kepadamu, bukan kemudian sibuk menghitung kapan, dimana Tuhan akan datang dan dengan cara apa Tuhan akan menyatakan kedatanganNya? Itu menjadi satu pertanyaan yang tidak terlalu penting dibandingkan dengan kesetiaan menjalankan uang mina di dalam keseharian kita, itu urusan Kerajaan Allah. Salah satu keindahan dari doa Bapa kami, meskipun sering direlatifisasi di dalam interpretasi orang-orang yang hyper injili, yang berusaha untuk menggeser, tidak mementingkan tentang urusan makanan, tetapi bagi saya justru indah adalah di dalam doa Bapa kami itu ada permohonan tentang berikanlah pada hari ini makanan kami yang secukupnya, menurut Yesus itu urusan Kerajaan Allah. Kita bukan penganut neoplatonistik yang tidak mementingkan urusan fisik dan Yesus jelas bukan seperti itu, menurut Yesus pergumulan tentang makanan, itu termasuk urusan Kerajaan Allah. Meskipun betul juga Yesus mengatakan, hati-hati dengan bahaya ketamakan, dengan keserakahan, ini juga akan mengacaukan Kerajaan Allah kalau kita terlalu banyak menimbun di dalam dunia ini dan bukan di dalam dunia yang akan datang.
	Tetapi di sini bicara tentang urusan uang, menjalankan uang, seperti Zakeus juga berurusan dengan uang, ini juga adalah urusan Kerajaan Allah yang sudah ada di tengah-tengah kita. Jadi ada tension, satu sisi Kerajaan Allah yang sudah hadir, tapi juga belum hadir, karena Yesus kan belum ke sorga dan belum datang kembali, tetapi sudah hadir, karena Yesus sudah datang pertama kalinya. Sudah tapi sekaligus juga belum, already and not yet, di dalam tension dua titik ini lalu kita diminta untuk menjadi hamba yang baik dan setia, karena kalau kita melihat dalam bagian ini ada kemiripan, baik Matius maupun Lukas menyebut hamba yang baik dan setia. Hamba yang ketiga kalau kita melihat kontrasnya, hamba yang baik lawan katanya adalah hamba yang jahat, hamba yang setia, lawan katanya adalah hamba yang tidak setia, yang mau saya katakan, inti daripada kejahatan itu adalah ketidaksetiaan, ketidaksetiaan dan kejahatan ini satu paket, dan kebaikan itu adalah kesetiaan, dua hal yang tidak bisa dipisahkan, kebaikan dan kesetiaan.
	Kita agak jarang memikirkan kategori kebaikan dan kejahatan di dalam relasi covenantal seperti ini, ikatan perjanjian, setia tidak setia itu kan bahasa covenantal dan itu yang menilai seseorang baik atau jahat. Kita bisa tidak  menilai seseorang itu jahat atau baik dengan seperti ini? Tidak, orang yang baik itu siapa? Orang yang baik kepada saya, orang yang jahat itu siapa? Orang yang melukai perasaan saya, hanya berputar disitu, standarnya berdasarkan perasaan saya, tetapi bukan berdasarkan kategori covenantal seperti di sini, kesetiaan. Seseorang yang setia dan seseorang yang mengingkari kesetiaannya, seseorang yang tidak setia, seperti tidak ada relasi dengan tuannya, memang ada sih relasi, tapi relasi jahat juga. Hamba yang ketiga ini hamba yang tidak setia, hamba yang jahat, kalau kita melihat akar dari kejahatannya itu dimulai daripada bayangan dia tentang tuannya, dimulai dari pikiran jahat, kita harus hati-hati dengan pikiran jahat. Pikiran jahat itu adalah sumber kejahatan, kita seringkali bicara kejahatan di dalam aspek tindakan, ooh tindakannya jahat, dalam bagian ini apa sih tindakannya? “Hanya sekedar menyimpan”, tapi Tuhan me-label dia sebagai hamba yang jahat, ini hanya ada dua kemungkinan, either orang ini betul-betul jahat seperti dikatakan tuannya atau tuannya yang terlalu jahat, orang tidak jahat dibilang jahat. Dia jahat apa sih, apakah dia merampok, berzinah, ambil uang gereja atau apa?
	Dia hanya sekedar menyimpan uang yang dipercayakan oleh tuannya, tetapi itu enough untuk tuannya mengatakan bahwa dia adalah seorang yang jahat. Kejahatan, mengapa? Karena seharusnya dia mengembalikan beserta dengan labanya, tapi dia tidak mengembalikan itu. Kerusakan dan kejatuhannya itu dimulai dari waktu dia berpikir jahat tentang tuannya yaitu dia katakan, tuan adalah manusia yang keras, tuan mengambil apa yang tidak pernah tuan taruh dan tuan menuai apa yang tidak tuan tabur, jelas gambaran ini adalah gambaran yang salah, termasuk juga dibagian selanjutnya waktu dikatakan, tuannya seperti mengkonfirmasikan perkataannya (ini perkataan yang penting sekali), aku akan menghakimi engkau menurut perkataanmu sendiri. Tidak dikatakan perkataannya benar atau tidak, pastinya tidak benar, tapi tuan itu mengatakan saya akan menghakimi kamu menurut perkataanmu sendiri. Itu tuhan yang kamu ciptakan, your projected image, itu bukan Tuhan yang asli, hati-hati dengan kekecewaan kepada Tuhan, ketidakpercayaan, distrust, lalu sikap sinis dsb., karena memang kita di dalam dunia banyak bergumul dengan penderitaan, penderitaan bisa membawa kita bersikap sinis, sarkastik kepada Tuhan dsb.
	Saya sudah pernah share, kesulitan Ayub ada di situ, dia bisa sinis terhadap orang Kasdim dan terhadap yang lainnya secara horisontal, tetapi dia tidak, dia naik sampai ke atas, ini urusannya adalah urusan dia dengan kedaulatan Tuhan, mengapa Tuhan membiarkan ini terjadi dalam kehidupan saya? Kita harus hati-hati dengan sikap pikiran jahat tentang orang lain, kita menciptakan image kita sendiri, lalu kita hidupi sebagai the reality, setelah itu naik, Tuhan sendiri jadi seperti itu dan itu kejahatan menurut Tuhan. Sikap inilah yang membuat orang ini akhirnya tidak bisa berbuah, akhirnya dia membatasi dirinya sendiri dengan ketakutan yang tidak perlu, ini jelas bukan ketakutan dalam pengertian fear of God, takut akan Allah seperti yang dibicarakan dalam Amsal, pasti bukan. Ini ketakutan lebih mirip seperti yang dikatakan Yohanes, dimana ada ketakutan di situ ada kasih tidak sempurna, tidak ada relasi kasih antara dia dan tuannya, relasinya adalah relasi soal hamba yang paranoia, seperti yang sedang diperas, dicekik oleh tuannya, dimanipulasi, di abuse, dan karena itu dia merasa tidak rela kalau di abuse seperti ini, saya hidup bukan untuk di abuse. Saya sudah berkali-kali mengatakan, hati-hati menghidupi peran victim, peran victim itu bisa membawa banyak sekali simpati dan pertama yang paling bersimpati adalah diri saya sendiri. Sebelum menggerakkan orang lain bersimpati kepada saya, yang pertama adalah diri saya, itu namanya self pity, menjalankan peran sebagai victim.
	Kita tidak ada panggilan untuk menjadi victim dan orang yang mengikut Yesus, menyerahkan dirinya jadi sacrifice, itu bukan langsung menonjolkan pengorbanannya, itu bukan seseorang yang mempersembahkan dirinya sebagai sacrifice, tetapi lebih mirip orang yang melihat dirinya sebagai victim. Yesus tidak pernah melihat diriNya sebagai victim, Dia tidak mau terjebak dengan paranoia seperti itu. Tetapi hamba yang ketiga ini berpikir seperti itu, berpikir jahat tentang tuannya, lalu kemudian menciptakan ketakutan yang terlalu besar dan ketakutan itu menghalangi dia untuk bisa berbuah di dalam Kerajaan Allah. Yang menghalangi adalah dirinya sendiri, pikiran jahatnya, bukan orang lain, sampai takut mengelola uangnya, no faith, tidak ada iman, tidak ada relasi kasih dan akhirnya juga pasti tidak ada kesetiaan. Di dalam perspektif kristen kesetiaan tanpa kasih totally impossible, ini bahasa covenantal (setia tidak setia), lalu kalau kita tidak mempunyai kasih bagaimana orang masih bisa setia? Orang ini tidak ada kasih yang ada adalah ketakutan, kesetiaannya adalah yang paling minimum uangnya tidak hilang, dia ada certain kejujuran waktu mengembalikan uang itu, 1 kembali 1, semuanya utuh tidak ada yang dia curi, tetapi itu perspektif lain dalam Kerajaan Allah. Orang kristen yang tidak berbuah, itu kejahatan menurut Tuhan, tapi kita berpikir, yang penting saya tidak mencuri uang orang, saya tidak menjahati orang, tidak mengurusi urusan orang lain, tapi juga tidak setia dan tidak berbuah, menurut Tuhan itu adalah kejahatan. Bagaimana tidak, kita diberikan anugerah kok tidak ada baliknya itu bagaimana? Anugerah itu masih dipegang kok, nah justru persoalannya ada di situ, baik dalam perspektif Matius maupun Lukas. Dalam dua perspektif ini ada kemiripan, dua-duanya adalah orang yang berpikir jahat, karena itu di dalam pikiran kejahatannya akhirnya dia tidak bisa menjalankan dengan setia, lalu uangnya tetap kembali seperti itu, tidak ada buah, tidak ada tambahan.
	Waktu kita membaca dalam bagian ini perkataan daripada tuan, mina yang 1 itu ambil daripadanya lalu berikan kepada yang 10 mina, cukup memberikan reaksi yang shocking terhadap orang-orang yang ada di situ. Ini kan isunya tentang justice, keadilan dsb., ini seperti kategori tidak adil, ini dia hanya punya 1, yang ini punya 10, sekarang kamu ambil dan memberikan kepada yang 10, ini keadilannya dimana? Tetapi bagi Tuhan, ini justru yang adil, ini bukan berbicara tentang kedaulatan Tuhan, ini betul-betul berbicara kategori keadilan, kenapa? Karena keadilan itu adalah mempercayakan kepada orang yang setia, lebih, itu keadilan, bukan memberikan kepada orang yang kurang lalu diberikan, kurang lalu diberikan, begitu kan ya? Hal ini bisa dihayati di dalam keseharian kita. Orang-orang yang kurang itu selalu menimbulkan simpati, yang tidak fair di dalam kehidupan ini ada banyak orang yang kurang karena malas, karena dia tidak setia, tetapi terus-menerus diberi, semakin diberi, semakin lumpuh, semakin tidak bisa bekerja. Tetapi orang yang bekerjanya bagus, setia dan menghasilkan uang, lalu kita bilang, ooh dia sudah cukuplah, kita tidak usah kasih dia, Tuhan tidak berpikir seperti ini, tidak, Tuhan berpikir terbalik, kamu miskin karena kesalahanmu, ya semakin miskin saja, kalau perlu tidak usah punya apa-apa. Ini sepertinya kejam sekali, tetapi sebetulnya dunia kita yang tidak punya prinsip keadilan, prinsip ini sangat masuk akal, kenapa? Karena ini adalah orang yang berhak untuk mendapatkan, karena begitu diserahkan kepada dia, akan diolah lagi, tetapi kepada orang yang satu diberi untuk apa? Setiap kali diberi, ya disimpan lagi dst.
	Para orang tua tidak terkecuali, melihat anak yang malas, tidak bertanggungjawab, tidak setia, itu yang terus diberi, yang ini kasihan, kalau yang itu bisa bekerja, tidak usah diberi. Kalau terus kasihan dengan orang yang malas, semakin lama akhirnya semakin hancur, Tuhan bilang, sudah ambil saja, yang 1 mina berikan kepada yang 10, karena yang 10 ini yang memang bisa menjalankan. Sulit untuk menerima fenomena ini, juga di dalam gereja Tuhan, waktu kita melihat ada acara, kita mungkin seringkali complaining, yang kerja selalu itu-itu lagi, nanti kalau ada pelayanan apa lagi, yang nongol itu-itu lagi, yang lain tidak pernah terlibat. Sepertinya ada ketidakadilan, yang sudah sibuk semakin diperas, yang kurang bukankah seharusnya lebih di encourage? Pasti ada poinnya mengatakan kalimat itu, tetapi di sisi yang lain, paradoksikal kita mendapati prinsip ini, memang yang tidak setia semakin dibuang oleh Tuhan dan yang kelihatan secara fenomena sibuk terus, yang dipercaya Tuhan malah semakin dipercaya Tuhan, yang tidak setia, ya semakin lama mundur, mundur, kehilangan kesempatan dan tidak sadar, lama-lama tidak ada untuk dia, ini menakutkan gambaran Kerajaan Allah seperti ini.
	Selama Tuhan memberikan kita kesempatan untuk melayani, mari kita dengan hati yang takut dan gentar, dengan bersyukur kepada Tuhan menerima kesempatan itu, bukan menyia-nyiakan, karena Tuhan tidak perlu kita, Tuhan bisa pakai satu hamba yang setia ini, 10 mau jadi 20, 200 dst., Tuhan tetap punya kemampuan untuk memberikan kemampuan seperti itu, kapasitas seperti tu selalu ada pada Tuhan. Karena kekuatannya adalah kekuatan Tuhan bukan kekuatan hamba yang pertama atau kedua ini, bukan, Tuhan pernah bilang, kalau Israel tidak mau memuji Tuhan, batu pun bisa dibangkitkan Tuhan menjadi anak-anak Abraham, iya kan? Memuji Tuhan tidak perlu pakai Israel, kalau semuanya tidak mau terima Yesus, batu-batu akan dibangkitkan Tuhan, batu itu kemampuannya apa dibandingkan dengan manusia? Tetapi Tuhan bilang kalau kamu tidak mau dipakai, Saya pakai batu-batu, tidak ada orang yang terlalu penting sampai Tuhan sangat bergantung kepada dia. Kita harus hati-hati dengan pikiran negatif, pikiran-pikiran jahat yang akhirnya kemudian membuat kita sendiri tergeser, bukan pekerjaan Tuhan yang tegeser, tetapi kita sendiri yang tergeser. Ini parable yang berisi tentang warning, tetapi sekaligus juga dorongan dan undangan untuk kita semua menjalankan uang mina yang Tuhan percayakan di dalam hidup kita masing-masing. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading

