Karena bulan ini adalah bulan “kasih” (the month of love), saya memberikan judul khotbah ini “God’s Perfect Love” (“Kasih Tuhan yang Sempurna”) Tetapi pengertian “kasih” dunia dengan pengertian “kasih” Kristen adalah 2 hal yang berbeda. Dunia mengerti “kasih” sebagai kasih yang berasal dari dunia ini, sedangkan “kasih” dalam pengertian Kristen tidak lepas dari salib; untuk mengerti “kasih” yang sempurna, harus di dalam salib. Kasih Tuhan yang sempurna, kasih Tuhan yang suci, kasih yang dari surga, adalah kasih yang tidak bisa dimengerti oleh dunia ini.
Sering kita mendengar, dosa Adam dan Hawa adalah dosa dalam pengertian “hamartia” (miss the target); Tuhan sudah memberikan standar tapi manusia tidak memenuhinya, inilah artinya hamartia. Itu memang betul. Namun, sehubungan dengan judul kotbah ini, saya menafsir berdasarkan firman Tuhan –dan saya bertanggung jawab di hadapan Tuhan—bahwa Adam dan Hawa berbuat dosa karena mereka sudah kehilangan kasih kepada Tuhan, mereka lebih mencintai dirinya. Adam dan Hawa makan buah yang dilarang Tuhan, itu karena mereka sudah tidak lagi mencintai Tuhan dengan sepenuhnya. Manusia lebih mencintai dirinya, dan manusia jatuh ke dalam dosa.
Indonesia adalah salah satu negara yang Tuhan berkati. Secara kekayaan, Indonesia sangat kaya; secara kepintaran, banyak orang Indonesia yang pintar. Indonesia tidak kekurangan kekayaan, tidak kekurangan orang pintar, tetapi Indonesia kekurangan orang-orang yang mencintai Tuhan. Jadi yang paling masalah di Indonesia bukan soal kekayaan atau kepintaran, tapi masalah umat manusia yang tidak lagi mencintai Tuhan. Inilah masalah yang sesungguhnya. Itu sebabnya Tuhan memberikan perintah di dalam Alkitab, untuk memulihkan manusia yang sesungguhnya, yaitu “Kasihilah Allahmu, dan kasihilah sesamamu; dengan demikian engkau sudah menggenapi seluruh hukum Taurat –seluruh Alkitab”. Jadi, yang paling masalah dalam kehidupan manusia adalah kehilangan kasih itu sendiri. Tuhan mengatakan “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap pikiranmu, dengan segenap kekuatanmu; dan demikian juga kasihilah sesamamu manusia”.
Topik khotbah yang saya sampaikan adalah “God’s Perfect Love”; untuk memahami ini, haruslah berpusat kepada salib. Kita bisa mengatakan banyak definisi mengenai kasih, kita juga bisa menyebutkan berbagai jenis kasih (kinds of love). Ada kasih yang dari manusia, namanya phileo (brotherly love), yaitu mengenai bagaimana kita saling mengasihi. Inilah asal nama kota Philadelphia. Dalam sebuah museum di kota Philadelphia ini dicatat, bahwa yang membangun kota tersebut adalah seorang Kristen, dan dia mengatakan, “kita sudah di dalam Tuhan, tidak boleh melihat manusia sebagai kulit putih, hitam, atau warna apapun; karena kita sudah di dalam Tuhan, kita harus saling mencintai”. Itu sebabnya dia menamakan kota tersebut Philadelphia, dari kata phileo.
Kita juga tahu mengenai kasih yang disebut eros (sexual love). Ini bukan sesuatu pengertian yang kotor, karena seks diberikan Tuhan untuk manusia nikmati; yang mengotori pengertian ini adalah manusia, dan dari situ keluar istilah “erotik”. Eros/sexual love sebenarnya suci di hadapan Tuhan, yaitu kasih sesama manusia di dalam pasangan.
Kasih yang ketiga adalah storge (natural love), yaitu cinta orangtua kepada anak, dan cinta anak kepada orangtua.
Baik phileo, eros, maupun storge adalah kasih sesama manusia. Kasih sesama manusia, kalau tidak ditopang oleh yang vertikal, hanyalah kasih sesama manusia secara horisontal(horizontal love). Tetapi yang paling penting dalam kasih adalah kasih secara vertikal (vertical love). Kasih vertikal ini bukan dari bawah ke atas melainkan dari atas ke bawah. Ketika kasih dimengerti sebagai kasih yang dari atas ke bawah, maka tidak ada kasih sesama manusia (horizontal love) yang sesungguhnya, kalau tidak ditopang oleh kasih Allah –kita akan selalu jatuh di dalam hal kasih ini. Tanpa kasih Tuhan di dalam eros, tanpa kasih Tuhan di dalam phileo, tanpa kasih Tuhan di dalam storge, segala kasih manusia pasti jatuh. Sesuatu yang horisontal jika tidak ditopang oleh yang vertikal, pasti jatuh; sebaliknya sesuatu yang vertikal, tanpa yang horisontal, akan tetap tegak berdiri. Ini berarti, kasih Allah adalah kasih yang sempurna; dan kasih manusia selalu gagal kalau tidak ditopang oleh kasih Tuhan itu sendiri.
Pagi ini kita bicara mengenai kasih yang sempurna. Kasih yang sempurna bukanlah dari bawah ke atas, tetapi dari atas ke bawah. Itulah Tuhan yang turun dari surga ke bawah. Untuk mengerti kasih yang sempurna, bukanlah dari dunia, melainkan dari surga. Kita akan bicara mengenai 3 hal dari Yohanes 3:16. Para pakar Alkitab mengatakan Yohanes 3:16 adalah the heart of the Bible; ini adalah pusat atau jantung dari Alkitab, tanpa ayat ini Alkitab tidak lagi menjadi Alkitab.
Saya, sebagai orang Filipina, lahir dari keluarga Katolik tapi dibesarkan dalam keluarga Kristen. Waktu saya SD, mama saya ikut KKR lalu menjadi Kristen, sehingga di situlah seluruh keluarga menjadi Kristen. Ayat pertama yang saya hafal waktu menjadi orang Kristen adalah Yohanes 3:16 ini, di dalam bahasa Inggris dan Tagalog, selanjutnya dalam bahasa Indonesia ketika saya tiba di Indonesia tahun 1994. Yohanes 3:16: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Ayat itu mengatakan “karena begitu besar kasih Allah”, menyatakan betapa itu adalah kasih yang amat sangat besar, dan otak kita yang kecil ini tidak bisa memahami; begitu dalam, begitu luas, begitu lebar, yang manusia tidak mungkin bisa memahami. Itulah kasih Allah yang amat sangat sempurna. Jadi, apa yang membawa Saudara dan saya berbakti kepada Tuhan pada hari ini? Di luar kasih, tidak ada yang bisa menyenangkan hati Tuhan. Ibadah kita memperkenankan hati Tuhan ketika ibadah itu isinya betul-betul mencintai Tuhan.
Saya akan membagi pembahasan tema ini dalam 3 hal: pertama, the object of God’s love (objek dari kasih Allah); kedua, the gift of God’s love (kado/hadiah dari kasih Tuhan); ketiga, the purpose of God’s love (tujuan Tuhan mengasihi manusia yang berdosa).
Poin yang pertama, “The Object of God’s Love”.
Ciptaan yang paling berharga di mata Tuhan adalah manusia. Saya sangat tergugah dengan lagu yang diciptakan Pendeta Caleb Tong (kakak dari Pendeta Stephen Tong), “Kasih yang Ajaib”, lagu yang sangat teologis dan begitu indah. Keajaiban yang dimaksud adalah bahwa kasih itulah yang membawa Tuhan dari surga turun ke bumi. Betapa besar kasih Allah itu, sampai Allah sendiri turun dari tempat-Nya yang paling mulia untuk mencari Saudara dan saya.
Waktu dikatakan “the object of God’s love”, kita harus melihat dalam kitab Kejadian, pada hari pertama sampai hari kelima Tuhan mengatakan “jadilah ini … jadilah itu …” lalu segala sesuatu jadi, tetapi waktu Dia mencipta manusia, Dia tidak mengatakan “jadilah manusia” lalu langsung manusia itu ada. Di dalam cara yang sangat khusus dalam penciptaan, Tuhan mengambil debu dan menghembuskan nafas-Nya kepada debu itu, lalu menjadi makhluk yang hidup (manusia).
Dalam hal ini, saya akan mengutip bagian dari perkataan Pendeta Stephen Tong. Kita dilahirkan di dua dunia, berbeda dari ciptaan lainnya; ada yang dicipta sebagai makhluk yang di atas, ada yang dicipta sebagai makhluk yang di bawah, tetapi kita berbeda. Kita diambil dari debu tanah –yang dari dunia– tetapi kemudian dihembuskan –dari surga. Itulah sebabnya kita makhluk yang sangat istimewa, kita bukan milik dunia, kita milik Tuhan. Dunia di atas adalah dunia kekal (eternal world); segala sesuatu yang ada di sana adalah baik, kudus, suci. Dunia di bawah adalah sementara (temporal wolrd). Manusia berada di tengah-tengahnya. Dunia di atas, adalah Allah; dan ketika kita mengucapkan “Allah” pasti mulut kita terbuka. Dunia di bawah adalah alam; dan ketika kita mengucapkan “alam”, pasti mulut kita tertutup. Ini ilustrasi yang sangat indah; Pendeta Stephen Tong mengatakan, segala sesuatu yang di surga adalah kekal –seperti waktu kita mengucapkan “Allah” mulut kita terbuka– tetapi segala sesuatu yang ada di bumi akan berhenti –seperti waktu kita mengucapkan “alam” mulut kita tertutup. Umur kita, kesehatan kita, dan segala sesuatu di dunia ini adalah sementara. Ada satu titik ketika segala sesuatu di dunia ini akan berhenti. Itulah sebabnya Saudara-saudara sangat berharga sebagai objek dari kasih Allah.
Sebagai orang Reformed, kita mengerti yang namanya “anugerah khusus” (common grace) dan “anugerah umum” (special grace). Waktu kita mengatakan tentang anugerah umum, itu adalah the love of God in quantity; waktu kita mengatakan tentang anugerah khusus, itu adalah the love of God in quality. Jadi, tidak ada orang yang tidak dicintai Tuhan. Setiap orang yang dilahirkan di dunia ini dicintai Tuhan secara kuantitas, karena Tuhan mencintai segala alam ciptaan, dan dari-Nya manusia menerima segala berkat duniawi. Itulah yang dimaksud the love of God in quantity. Tetapi manusia kalau tidak di dalam Tuhan, mereka hanya dikasihi dan diberkati Tuhan secara waktu sementara; sedangkan orang Kristen, yang sungguh-sungguh di dalam Tuhan, menerima the love of God in quality, artinya kita diberkati secara duniawi, dan lebih lagi diberkati secara surgawi. Orang Kristen yang sejati mendapatkan satu privilege yang tidak dimiliki malaikat dan juga tidak dimiliki ciptaan yang lain –karena manusia dicipta dengan Tuhan di atas dan bumi di bawah—yaitu the love of God in quality, dari sekarang sampai selama-lamanya. Inilah pengertian yang dimaksud bahwa tidak ada orang yang tidak dicintai Tuhan, tapi sayangnya mereka dicintai Tuhan dan mendapatkan berkat secara jasmani hanya di dunia ini dan akan berhenti. Alkitab mengatakan secara jelas: “Apa gunanya engkau memperoleh seluruh dunia –kekayaan seluruh dunia—tapi kehilangan nyawamu; apa artinya hidupmu”. Jadi, arti hidup tidak diukur dari dunia, arti hidup diukur oleh yang dari surga.
Saudara-saudara, engkau dan saya tidak dimiliki dunia; kita dimiliki oleh Tuhan namun sementara tinggal di dunia ini. Inilah pengertian bagian pertama, “the object of God’s love”. Kalau kita memahami dan mengerti ayat ini sungguh-sungguh, kita melihat betapa begitu besar kasih Allah, amat sangat besar, tidak terpahami, dan Tuhan itu begitu mengasihi saya.
Poin yang kedua, “The Gift of God’s Love”.
Apakah hadiah yang paling berharga di surga? Bukankah Anak-Nya yang tunggal? Kalau yang berulang tahun seorang teman kita yang biasa, kita memberikan kado yang sederhana. Tapi kalau yang ulang tahun seorang yang sangat spesial, kita pasti memberikan kado yang sangat spesial juga, bukan? Kasih itu ada buktinya; kalau sekedar kata-kata tanpa bukti, itu bukan kasih yang sesungguhnya. Kalau orang mengatakan “saya mengasihimu” tapi tidak ada perbuatannya, itu cuma sekedar kata-kata. Ayat tadi mengatakan “karena begitu besar kasih Allah … sehingga Dia memberikan … “ –ada buktinya; itulah baru betul-betul kasih.
Secara ilustrasi saya sering mengatakan “kasih orangtua tidak bisa dibandingkan dengan kasih anak; seberapa pun besar kasih anak kepada orangtuanya, kasih orangtua tidak bisa terbandingkan”. Sudah beberapa kali saya membesuk ke rumah sakit, dan ketika yang sakit adalah seorang anak, orangtuanya selalu mengatakan, “Pak Romy, kalau Tuhan berkenan, segala penyakit anak saya biar saya yang tanggung supaya anak saya tidak sakit.” Saya ulangi kembali di sini, secinta-cintanya anak kepada orangtua, tidak mungkin bisa dibandingkan dengan cinta orangtua kepada anak, karena orangtua rela memberikan segala sesuatu, bahkan hidupnya, kepada anaknya. Ini satu hal yang kita sangat pahami.
Tadi saya menanyakan kepada seorang anak, “Kamu yakin dicintai orangtuamu? Apa buktinya, yang diberikan orangtua kepadamu supaya kamu bisa hidup?”, dan anak itu jawab, “Orangtua kasih saya makan”. Saya bertanya kepada anak itu supaya mereka sadar, mereka tidak bisa hidup tanpa orangtuanya; dan kita sebagai orang Kristen, tanpa Tuhan kita tidak bisa hidup di dunia ini. Segala sesuatu Tuhan menciptanya, ada yang sementara dan ada yang kekal, tetapi yang kekal itu lebih berarti daripada segala sesuatu. Kita diberikan segala macam makanan, dari yang di darat, laut, dsb., tapi yang paling berharga adalah kasih Tuhan yang rela turun ke bumi ini untuk mencari Saudara dan saya. Jadi apa yang mau saya katakan? Yaitu bahwa cinta seseorang dinilai dari bagaimana dia rela membayar harga yang paling mahal untuk orang yang dia cintai.
Itu juga sebabnya saya juga mengatakan, supaya kita sebagai orang Kristen melihat manusia bukan manusianya, tapi melihat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Kita tidak membeda-bedakan orang kalau kita melihat orang ini adalah orang yang dicintai Tuhan, orang ciptaan Tuhan. Suatu waktu kakak ipar saya mengatakan supaya kami memiliki pembantu rumah tangga, sehingga pelayanan bisa lebih lancar, lebih banyak hal yang bisa dikerjakan. Saya mengiyakan. Suatu hari ketika pulang ke rumah, saya hampir pingsan melihat di rumah ada seorang pembantu yang umurnya sudah seperti nenek-nenek. Bagaimana mungkin saya menyuruh-nyuruh ibu ini?? Kalau saya menyuruh dia “sapu ini, sapu itu”, saya jadi teringat ibu saya, saya tidak tega. Akhirnya saya minta tolong ipar saya memulangkan pembantu tadi. Maksud saya Saudara-saudara, kita sebagai orang Kristen yang mempunyai kelebihan dalam keuangan dan kemudian punya pembantu, kita harus melihat pembantu itu sebagai manusia, bukan sebagai “pembantu”. Kita harus melihat bahwa orang ini adalah orang yang berharga di mata Tuhan. Kembali mengenai pembantu saya, setelah itu kami mendapatkan orang yang lebih muda; dan selalu saya katakan kepada pembantu kami: “Apa yang kami makan, yang ada di rumah ini, kamu makan juga; segala sesuatu saya tidak membedakan karena saya majikan kamu dan kamu pembantu saya, karena kamu adalah orang yang diciptakan Tuhan”.
Sebagaimana Tuhan menghargai kita, kita juga harus menghargai orang lain. Itu adalah suatu kenyataan dalam hidup kita. Kadangkala terhadap orang yang lebih rendah, kita melihatnya lebih rendah. Coba Saudara-saudara pikirkan, siapakah kita ini, yang bisa dicintai Tuhan?? Betapa kita melihat Allah mengirimkan Anak-Nya yang tunggal, yang paling berharga di surga! Kadang-kadang ada momen dalam hidup saya, saya meneteskan air mata, saya mengatakan di dalam diri saya, “Tuhan, siapakah saya ini, sampai Anak-Mu yang tunggal itu Engkau kirim buat saya? Siapakah saya yang sesungguhnya ini? Sebenarnya saya tidak layak, Tuhan”. Kalau kita memahami cinta Tuhan yang begitu menghargai kita, itu adalah sesuatu yang tidak terbayangkan.
Berkat terbesar yang kita miliki di dunia ini adalah bahwa kita mengenal siapakah Allah yang sesungguhnya. Sudah berapa banyak orang yang berbakti pada momen yang sama, tapi mereka berbakti kepada allah yang palsu, kepada allah yang salah, bukan? Maka, kalau Saudara berbakti kepada Allah yang sesungguh-sungguhnya, itu adalah berkat yang paling besar! Bukan uang, bukan apapun yang lain, melainkan bahwa kita menyembah kepada Allah yang hidup, kepada Allah Sang penyelamat, itulah betul-betul anugerah yang paling besar!
Saya kadang-kadang melihat banyak orang berbakti memanggil “tuhan”, tapi tuhan yang palsu. Kalau kita pada hari ini bisa menyembah kepada Allah, itu adalah anugerah yang paling besar, yaitu mengenal siapakah Tuhan. Itulah anugerah khusus. Tadi saya mengatakan, semua orang dicintai Tuhan, Tuhan memberikan berkat secara jasmaniah, tetapi secara khusus hanya umat pilihan yang dicintai Tuhan secara kualitas. Saya kembali mengulangi perbedaannya: the love of God in quantity adalah untuk setiap orang, sedangkan the love of God in quality hanya untuk umat pilihan. Kelahiran Yesus Kristus tidak untuk setiap orang; kelahiran Yesus Kristus hanya untuk umat Tuhan –banyak orang menolak Yesus Kristus. Inilah the love of God in quality. Kalau kelahiran Kristus hanya untuk umat pilihan, berarti kematian-Nya juga hanya untuk umat pilihan, bukan? Ini baru klop. Saudara perhatikan secara teologis, kelahiran Kristus hanya untuk umat pilihan, maka berarti kematian-Nya juga hanya untuk umat pilihan.
Matius 1:21, “Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka”; ada kalimat ‘menyelamatkan umat-Nya’, berarti tidak setiap orang. Banyak orang berpikir, yang memperluas pengertian mengenai predestinasi adalah rasul Paulus; tetapi tidak, yang betul-betul mengawali pengertian predestinasi adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri, atau Allah di Perjanjian Lama. Dalam Matius 22:14 Yesus Kristus mengatakan: “Banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih”, ini kalimat Yesus Kristus; berarti memang tidak setiap orang mendapatkan keselamatan. Dengan demikian, kelahiran Kristus hanya untuk umat-Nya.
Sekarang kita melihat, kematian-Nya juga hanya untuk domba-domba-Nya (umat-Nya). Yohanes 10:11, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”; ini berarti kematian-Nya tidak untuk setiap orang, kematian-Nya hanya untuk umat pilihan. Saya mau bertanya, apakah berarti ada orang yang bukan domba-Nya? Jawabannya: ya. Di ayat 24-26 pasal ini dikatakan, mereka tidak mau percaya karena mereka bukan domba-domba-Nya. Ayat 24, “Maka orang-orang Yahudi mengelilingi Dia dan berkata kepada-Nya: “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami.” Ayat 25-26, Yesus menjawab mereka: “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.”
Injil tidak identik dengan keselamatan. Tidak setiap orang yang mendengar Injil, pasti percaya kepada Tuhan. Dan saya tekankan, jangan ragu-ragu, keselamatan Kristen tidak mungkin hilang. Tapi istilah ini harus diperjelas: orang Kristen yang sejati tidak mungkin kehilangan keselamatan; jangan mengatakan Kristen, tapi tidak sungguh-sungguh di dalam Tuhan. Saya mengatakan, orang Kristen yang sejati tidak mungkin kehilangan keselamatan; itulah yang Tuhan janjikan. Saudara bayangkan, kalau Tuhan berjanji menyelamatkan lalu tiba-tiba Tuhan berubah pikiran, tuhan macam apa itu yang tidak bisa dipercaya? Kalau Tuhan berjanji, pasti ditepati. Jadi kalau Tuhan mengatakan “engkau selamat”, pasti engkau selamat –ini perkataan kepada orang Kristen yang sejati.
Ada Allah yang asli, ada allah yang palsu. Ada nabi yang asli, ada nabi palsu. Ada pendeta asli, ada pendeta palsu. Ada jemaat asli, ada jemaat palsu. Tiga ayat yang mengatakan bahwa orang Kristen sejati tidak mungkin kehilangan keselamatan ini adalah perkataan Yesus: “dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa. Aku dan Bapa adalah satu” (Yohanes 10: 28-30). Kalau Tuhan berjanji kita tidak akan kehilangan keselamatan, kita pasti tidak akan kehilangan keselamatan, karena itu adalah janji Tuhan. Mengapa kita tidak akan kehilangan keselamatan? Karena yang Yesus lakukan di atas kayu salib itu sangat efektif.
Poin ketiga, “The Purpose of God’s Love”.
Yohanes 3:16 mengatakan: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Kalau Tuhan tidak mengasihi manusia, maka semua manusia masuk neraka. Berarti, tujuan Tuhan mengasihi kita adalah supaya keselamatan itu terjadi.
Saya akan tutup kotbah ini dengan beberapa paradoks di atas kayu salib. Yang pertama, Allah yang paling mulia di surga, turun ke bumi, mengalami penghinaan. Ini paradoks. Allah yang paling mulia, dihina-hina oleh manusia. Bagaimana mungkin tidak dihina, karena bukankah Dia lahir di palungan? Secara manusia apa yang bisa dibanggakan? Mungkin Dia bisa lebih diterima kalau Dia lahir di istana, bukan?
Dalam hal ini kita tidak memusuhi orang Kharismatik, tapi kita melawan ajarannya yang salah/tidak sesuai dengan Alkitab –sebagaimana Martin Luther mencintai orang Katolik tapi melawan ajarannya—karena Kharismatik mengatakan “kita harus hidup sebagai raja karena Tuhan Yesus itu Raja”. Saudara-saudara, kalimat itu tidak 100% betul. Kalau kita jujur menafsir, sesungguhnya Yesus Kristus paling mulia tapi lahir di palungan, bukan? Coba kita bayangkan, seumpama anak dari Presidan Jokowi sedang hamil lalu datang ke satu hotel, akan melahirkan, maka sepenuh-penuhnya hotel itu, pasti ada yang mau memberikan tempat kepadanya karena dia anak presiden. Tetapi Yesus ini pemilik surga! Dia datang ke satu tempat, dan tidak ada satu tempat pun, sampai Dia dilahirkan di palungan. Kalau kita mau jujur, Yesus dilahirkan di keluarga yang miskin. Itu sangat paradoks, karena Allah yang paling mulia, dengan cinta-Nya Dia rela menderita sampai dihina-hina manusia.
Walaupun saya pendeta, waktu ada jemaat yang menjengkelkan bicara ini-itu padahal kami sudah melayani sebaik-baiknya, kadang-kadang saya sudah sangat marah dan bilang “hai jemaat, saya ini guru karate lho, saya tidak takut siapapun kalau ada yang marah, justru saya takut kalau saya tidak bisa mengontrol kemarahan saya; saya sudah simpan lama karate itu, jangan sampai muncul”. Kita sudah melayani lalu masih dibicarakan, itu sangat membuat marah, tetapi betapa luar biasa waktu kita melihat Tuhan; Allah itu sempurna tidak ada salahnya tapi manusia menghina-hina Dia. Kadang-kadang saya sampai berpikir, kalau saya jadi Tuhan, mungkin saya turun dulu dari salib lalu saya karate dulu orang-orang yang kurang ajar itu. Tetapi sangat luar biasa Allah yang paling mulia, dari surga turun menghadapi segala penghinaan manusia.
Saudara-saudara, yang dihina semestinya Saudara dan saya karena dosa kita. Haruslah kita sadar, kalau Dia dihina, itu adalah penghinaan bagi diri kita, karena semua penghinaan di salib itu adalah penghinaan karena perbuatan dosa. Allah yang paling mulia, mengalami suatu penghinaan karena dosa manusia.
Paradoks yang kedua,Yesus Kristus adalah terang, tetapi pada waktu di atas kayu salib, bukankah kegelapan terjadi? Yesus Kristus di atas kayu salib 6 jam; Dia dipaku jam 9 pagi dan mati jam 3 sore. Yesus mengatakan “Akulah terang”, tetapi pada waktu Yesus di atas kayu salib, jam 12 siang yang seharusnya paling terang, terjadi kegelapan. Ini paradoks. Allah yang adalah terang, di atas kayu salib Dia mengalami kegelapan.
Perkataan kelima waktu Yesus di atas kayu salib adalah “Aku haus”. Yesus pernah mengatakan kepada perempuan Samaria, “kalau engkau minum air yang dari pada-Ku, engkau tidak akan haus lagi”, tetapi pada waktu Yesus Kristus di atas kayu salib, Dia mengatakan “Aku haus”. Ini paradoks.
Perkataan keempat waktu Yesus di atas kayu salib adalah “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Saudara-saudara, Allah yang kita percaya adalah Allah Tritunggal yang tidak pernah berpisah, bukan? Tetapi di atas kayu salib, Allah Tritunggal itu berpisah, itu sebabnya teriakan Yesus Kristus “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Ini paradoks.
Jadi, yang pertama, Allah yang paling mulia, dihina di atas kayu salib. Tetapi kita harus memahami, penghinaan itu membawa kemuliaan. Ini sangat dipahami Fanny Crosby, dalam lagunya dikatakan: “salib-Nya, salib-Nya, sangatlah mulia”, karena menyelamatkan Saudara adalah suatu kemuliaan. Ini paradoks. Kedua, Yesus yang adalah terang, Dia mengalami kegelapan karena kita manusia yang hidup di dalam kegelapan akibat dosa. Kegelapan dikalahkan Yesus, dan memberikan terang dalam hati kita supaya kita bisa diterangi hatinya. Ketiga, Tuhan mengatakan “Aku haus”; dan tidak ada tempat yang paling haus yang akan didatangi manusia selain neraka, seperti dalam cerita “Lazarus dan Orang Kaya”. Pada waktu Yesus Kristus di atas kayu salib, itu seperti neraka yang sudah Dia alami sehingga kehausan itu tidak lagi engkau alami, karena kita sudah di dalam Kristus. Kristus sudah mengalami kehausan itu, Kristus sudah mengalami artinya neraka, maka kita tidak takut neraka lagi. Terakhir, Tuhan mengatakan “Eli, Eli, lama sabakhtani?”(“Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”). Karena pada waktu manusia –Adam dan Hawa—berdosa, mereka terpisah dari Tuhan, maka di atas kayu salib keterpisahan terjadi, namun keterpisahan itu justru yang menyatukan. Ini paradoks. Allah yang tidak pernah terpisahkan, tapi terpisah di atas kayu salib, supaya kita yang terpisah karena dosa, akan disatukan oleh kematian Kristus.
Saya menutup kotbah hari ini dengan satu kalimat: “Kasihilah Allahmu, dan kasihilah sesamamu; dan kita sudah menggenapi seluruh Alkitab/hukum Tuhan”.
Kadang-kadang kita juga mengatakan, “Kasihilah musuhmu”, tapi saya mau tanya, kalau Saudara tidak bisa mengasihi sesama orang Kristen, bagaimana bisa mengasihi musuh atau orang lain? Waktu dikatakan “Teladanilah Yesus, karena Yesus pun mengasihi musuh”, banyak jemaat berespons, “Karena Dia Tuhan, maka Dia mampu mengasihi musuh”. Kalau itu alasan kita, bukankah berarti Alkitab tidak lagi berkuasa untuk mengubah kita? Saya memberikan 2 ilustrasi yang menyatakan bahwa kita pun bisa melakukannya. Pertama, Stefanus; pada waktu dilempari batu, dia mengatakan “Tuhan, ampunilah mereka”, sedangkan kita kadang-kadang dilempari kata-kata yang kita tidak senang, kita sudah marah, bukan? Kedua, Yusuf; saudara-saudara kandungnya sendiri yang melakukan kejahatan terhadap dia, tapi Yusuf mengatakan, “Ini bukan rencana kamu, segala sesuatu ini rencana Tuhan, jangan takut”. Betapa dia bisa mengampuni. Jadi, kalau kita mengatakan mencintai Tuhan, kita harus hidup dalam pengampunan. Mencintai Tuhan, mencintai sesama. Mencintai sesama, mencintai Tuhan.
Kiranya GRII Kelapa Gading tambah diberkati Tuhan, kalau kita hidup di dalam kasih.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading