Ini pertemuan ketujuh seri “mengenal diri Allah”. Kita sudah membahas mengenai Allah pencipta, Allah pemelihara, Allah yang mahakuasa, Allah kovenan, Allah yang adalah gembala, juga keindahan Allah kita, dan hari ini mengenai Allah yang tidak berubah (immutability of God). Kita akan membahas mengenai apa sesungguhnya artinya sebagaimana Alkitab hadirkan; dan kenapa ini satu hal yang penting.
Mazmur 102 secara partikular bicara mengenai Allah yang tidak berubah. Saudara bisa melihat di sini, misalnya di ayat terakhir ada dikatakan, “Engkau tetap sama, tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan”. Tapi satu hal yang menarik, mazmur ini sendiri tidak memulai dengan langsung membicarakan urusan tentang Allah yang tidak berubah, melainkan dengan membicarakan sesuatu yang lain. Apakah itu? Saudara lihat dalam 11 ayat pertama, kalimat-kalimat pembukaannya begitu miris sehingga kita perlu membacanya pelan-pelan, karena ini ayat-ayat yang mengungkapkan kesusahan hati seseorang. Dia ayat 3, dia mengatakan dirinya tersesak. Di ayat 5, dia mengatakan kesusahannya itu sampai membuat dia lupa makan. Di ayat ini dia juga mengatakan hatinya sampai layu. Ini bukanlah satu perkataan yang simpel, karena kalau orang Israel zaman itu mengatakan “hati”, itu bukan cuma urusan perasaan tapi hati sebagai center of being, hati sebagai sumber dari segala kehidupan –demikian kata Amsal. Jadi, kalau seseorang sampai mengatakan “hatiku layu”, berarti dia begitu hopeless, tidak ada harapan, madesu (masa depan suram). Di ayat 8 dia mengatakan bahwa dia sampai insomnia, tidak bisa tidur; dan masih banyak lagi. Pertanyaannya, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah dia ini seorang yang sedang depresi. Penyebabnya apa?
Kalau Saudara perhatikan secara detail, maka akan tahu penyebabnya. Di ayat 4 dikatakan, “… hari-hariku habis seperti asap”. Asap itu gambaran apa? Asap adalah gambaran sesuatu yang ada tapi tidak ada, sesuatu yang ada tapi waktu dipegang langsung hilang, hari ini ada lalu langsung hilang begitu saja. Di ayat 12 dikatakan, “Hari-hariku seperti bayang-bayang memanjang”; maksudnya apa? Kalau matahari mulai terbenam, ketika itulah bayangan mulai memanjang; dan setelah bayangan memanjang, maka begitu matahari terbenam dan hilang, bayangannya pun hilang. Tadinya ada, lalu tidak ada. Dia juga mengatakan di ayat 12, “…aku sendiri layu seperti rumput”. Ini kedua kalinya dia mengatakan urusan “layu”, dan bahwa layunya seperti rumput –seperti dikatakan di ayat 5 tadi. Saudara tahu, “rumput” di dalam Alkitab adalah suatu gambaran mengenai apa yang hari ini ada lalu besok sudah tidak ada, sesuatu yang sementara, fana, segera berlalu. Jadi di sini Saudara melihat bukan cuma pemazmur ini sedang depresi, tapi juga penyebab dia depresi. Dia depresi, madesu, hopeless karena dia menyadari kesementaraannya –karena ada sesuatu terjadi yang membuat dia menyadari kefanaannya, keberlaluannya. Dia menyadari bahwa tidak ada yang kekal, tidak ada yang bertahan dalam hidupnya. Semua yang dia inginkan, rindukan, kejar, nikmati, itu lepas dari genggamannya, tidak peduli betapa erat dia memegang hal-hal tersebut. Saudara, inilah hidup manusia. Kita sering kali tidak depresi seperti sang pemazmur, hanya karena kita sering kali hidup tanpa menyadari hal tersebut. Tapi coba ajak diri kita mencicipi depresi pemazmur, misalnya dengan coba menyadari betapa hidup kita ini sementara. Dalam hal ini banyak orang mengatakan, “Manusia menghidupi hidupnya seakan-akan kita ini imortal, tidak bakal mati”; maksudnya apa? Yaitu kita tidak senantiasa menyadari kefanaan hidup. Kalau Saudara dan saya menyadari kefanaan hidup, kita akan se-depresi pemazmur.
Di dalam bagian ini, menyadari kefanaan hidup bukanlah sekadar menyadari semua orang akan mati –karena semua orang juga tahu itu– melainkan ngeh betapa sementaranya hidup manusia, betapa pendek-nya hidup ini. Kita akan lihat beberapa contoh. Waktu kita anak-anak –misalnya waktu TK– Saudara perhatikan tidak, bahwa 1 hari di TK rasanya kayak tidak habis-habis, kayaknya luaammaaa… banget 1 hari di sekolah, kita kepingin cepat-cepat pulang, kita bosan rasanya. Lalu waktu masuk SD, 1 tahun pelajaran rasanya begitu lama, tidak habis-habis, kapan sih masa liburan koq tidak datang-datang. Kita tersiksa rasanya sekolah. Lama banget. Tapi, waktu kita sudah dewasa, kita kaget, kita baru sadar koq tahun-tahun berlalu begitu cepat. Saudara masih ingat, kapan pandemi COVID-19 mulai? Di akhir tahun 2019; dan itu adalah 5 tahun lalu! Cepat sekali ya, rasanya baru kemarin kita pakai masker, dan sekarang kita sudah bisa bebas bersalaman. Sesuatu yang rasanya seperti baru kemarin, begitu cepat berlalunya. Dan, kita sadar waktu kita kecil rasanya tidak seperti ini, rasanya kita ingin hidup terus injak gas, kalau bisa terus maju, terus berubah, dsb., kita capek nungguinnya, “kapan selesainya ini??”; tapi sekarang waktu kita dewasa, kita baru sadar kita tidak punya rem. Ini realitas hidup manusia.
Satu ilustrasi dari pengalaman mempunyai anak. Anak-anak saya sekarang umur 11 bulan; dan saya baru sadar ternyata manusia tidak sejak lahir tahu caranya bermalas-malasan, Saudara harus belajar dulu untuk tahu caranya bermalas-malasan. Anak-anak saya –dan saya rasa anak semua orang juga–tidak tahu artinya malas-malasan, leyeh-leyeh. Mereka cuma punya 2 mode dalam hidupnya, yaitu tidur seperti mayat, atau bangun –dan ketika mereka bangun, mereka penuh dengan energi. Tujuan mereka penuh dengan energi adalah untuk menghabiskan energinya, lalu begitu habis, mereka tidur lagi. Begitu bangun, mereka tidak bisa diam, harus bergerak. Lucu ya, anak-anak itu selalu harus gerak; dan kalau saya mau mereka diam, saya harus gerakin mereka. Itu sebabnya banyak anak yang baru bisa tidur kalau dibawa naik mobil, begitu mobil bergerak, mereka tidur karena tidak perlu bergerak. Begitu mobil berhenti lama, langsung bangun, langsung ingin bergerak lagi. Itulah anak-anak. Anak-anak selalu terus ingin injak gas, anak-anak saya tidak ada yang namanya siang-siang nongkrong ongkang-ongkang kaki menikmati free time. Mereka selalu gerak dan selalu gerak, ke sana kemari, dan kita yang mampus mengejar mereka.
Saudara lihat, waktu kita kecil, kita mendambakan perubahan. Kita ingin segala sesuatu berubah. Kita ingin bergerak. Kita ingin cepat gede. Kalau semuanya diam, maka “saya yang bergerak”. Waktu saya beri anak saya botol, pegang botol minum sendiri, tangannya diam, badannya diam; lalu apa yang gerak? Kaki. Pokoknya semua harus ada yang gerak. Waktu kita dewasa, kita baru sadar ternyata perubahan bukanlah dambaan, perubahan adalah kutukan, nasib. Sikap kita terhadap “berubah” dan “bergerak”, sekarang berubah. Kita sekarang meratapi perubahan. Anak-anak selalu excited dengan hal-hal yang baru, sedangkan orang dewasa capek dengan segala sesuatu yang baru. Kita ingin sebisa mungkin jangan berubah terus, sebisa mungkin hal-hal dunia ini stay the same saja. Kenapa? Karena sesungguhnya kita masuk dalam poin di mana kita mulai menyadari kefanaan hidup. Kita mulai menyadari tahun-tahun yang sedemikian cepat berlalu. Kita mulai notice sedikit demi sedikit berita apa yang ada di seputar lingkaran pertemanan kita; awalnya “O, teman kita sudah dapat kerja”, “O, teman kita sudah dapat pasangan”, “O, teman kita sudah dapat anak”, lalu “teman kita sudah sakit-sakitan”, “teman kita sudah tidak bisa jalan”, dan “teman kita sudah ada yang meninggal”. Waktu kita sampai pada level seperti ini, waktu kita merenungkan dan menyadarinya, itu membuat hati kita merasa seperti apa? Itulah artinya mencicipi perasaan dan suasana hati si pemazmur, yaitu menyadari kesementaraan, menyadari kefanaan hidup manusia.
Apa yang memicu hal tersebut dalam hidup si pemazmur? Ada banyak hal. Kemungkinan adanya suatu penyakit; maka di ayat 1 dikatakan “doa seorang sengsara, pada waktu ia lemah lesu”. Istilah “sengsara” ini sebenarnya lebih tepat diterjemahkan “afflicted”; dan kata afflicted ini biasanya afflicted by something, ada sesuatu yang menjangkiti dia –dan biasanya adalah penyakit. Waktu dikatakan “lemah lesu”, kata yang lebih tepat sebenarnya adalah dia mulai pingsan. Juga di ayat 4 dia mengatakan “tulang-tulangku membara seperti perapian”, mungkin ini sakit yang sampai membuat dia demam tinggi, dst. Di samping itu, secara keseluruhan yang namanya mazmur memang bisa dibaca dalam beberapa level, misalnya bahwa mazmur ini kemungkinan bukan cuma urusan doa pribadi seseorang yang menderita sakit, tapi bisa juga bisa doa kolektif seluruh umat Israel yang sedang dalam pembuangan (maka ada perkataan soal Tuhan membangun kembali Sion, dst.). Tetapi hari ini kita mau coba membaca mazmur ini sebagai sesuatu yang personal saja –dan memang oke juga. Jadi, yang pemazmur sedang alami adalah suatu penyakit, tapi ini bukan cuma masalah penyakitnya doang, karena di ayat 24-25 ada satu detail yang penting: “Ia (Allah) telah mematahkan kekuatanku di jalan (di tengah jalan), dan memperpendek umurku. Aku berkata: “Ya Allahku, janganlah mengambil aku pada pertengahan umurku! Tahun-tahun-Mu tetap turun-temurun!” Di sini Saudara bisa lihat, ini orang yang bukan cuma sakit, tapi dia sakit ketika masih setengah baya, masih di pertengahan umur, masih punya banyak kehidupan harusnya, tapi umurnya seperti diperpendek, kekuatannya dipatahkan di tengah jalan yang seharusnya masih ada perjalanan selanjutnya, belum sampai tujuan, masih banyak unfinished business. Mungkin kalau orang sakitnya ketika sudah tua, renta, dia akan lebih bisa menerima; tetapi orang ini sakit berat, barangkali hampir mati, dalam umur dia sedang pada puncak-puncaknya hidup. Dengan demikian, penyakit ini bukanlah penyebab dari kesadaran akan kesementaraannya; penyakit ini hanya membuat dia menyadari kondisi yang sudah ada dari dulu ini. Dia kaget karena mungkin dia justru mengira hidupnya sedang dalam periode di mana dia mekar-mekarnya, namun dalam tahun-tahun inilah dia tiba-tiba layu. Tidak sangka. Ini seperti Saudara sedang nonton film yang seru, lalu di tengah-tengah film, tiba-tiba mati lampu! Saudara kaget, ‘gak nyangka! Saudara tahu, selalu ada kemungkinan mati lampu, tetapi di tengah-tengah nonton film lalu mati lampu, Saudara akan mengatakan, “Aduh! Kenapa sekarang??” –itulah perasaan pemazmur. Dan, kalau Saudara lihat mazmur berikutnya, Mazmur 103, sepertinya sengaja dikelompokkan dengan Mazmur 102 ini, karena Mazmur 103 punya ayat yang terkenal, yang senada, yaitu ayat 15-16: “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.” Itulah hidup manusia.
Ini sebabnya dalam arti tertentu, kita bisa mengerti –meski tidak sepenuhnya setuju–kenapa ada orang-orang yang berumur tua dan punya banyak power, hidup seperti orang kebakaran jenggot, hidup seperti orang yang merasa harus meninggalkan warisan, meninggalkan legacy, bikin gedung besar di sana-sini dan inginnya diisi banyak orang; yaitu kenapa? Karena cepat atau lambat setiap manusia harus bergumul dengan kefanaan hidup. Konglomerat-konglomerat yang besar, makin mereka tua, mereka seperti semakin mengejar hal ini; kenapa? Karena kita sadar kefanaan hidup ini, bukan cuma bahwa kita akan mati, tapi betapa hidup manusia tidaklah signifikan, betapa seperti kata Alkitab bahwa kita tidak akan diingat! Itu sebabnya banyak orang mengejarnya. Kalau kita orang besar, mungkin kita masih akan diingat sampai 100 tahun, maka kita bikin proyek ini dan itu. Atau, kalau kita benar-benar orang besar yang berpengaruh sekali, mungkin kita masih bisa diingat dan dirasakan pengaruhnya 1000 tahun dari sekarang. Tapi, berapa banyak sih dari kita yang seperti itu?? Kita yang di ruangan ini mungkin tidak ada yang seperti itu. Kalaupun ada, tetap saja cepat atau lambat ujungnya tidak akan ada yang mengingat kita, karena yang mengingat kita itu tidak sebesar kita, dan mereka akan mati juga.
C.S.Lewis pernah menulis satu hal di kala ancaman perang dingin sedang puncak-puncaknya. Saudara bisa bayangkan orang yang hidup di masa perang dingin, mereka sangat mengira perang dunia ketiga bisa muncul dalam hitungan detik. Masih segar dalam ingatan mereka pengalaman PD I dan PD II yang begitu mengerikan, yang diakhiri dengan bom atom, sehingga mereka menduga kalau suatu hari PD III meletus, itu akan meletus dengan senjata yang bukan lagi tank atau pesawat udara tapi bom nuklir! Dan, ini satu hal yang mengerikan, sebagaimana kalimat Albert Einstein yang terkenal, “Saya tidak tahu PD III bakal pakai senjata apa, tapi yang pasti saya tahu PD IV senjatanya apa, yaitu batu dan tongkat”. Saudara mengerti maksudnya? Yaitu karena PD III sudah pasti akan menghabiskan segala sesuatu. Saudara, di dalam zaman seperti itu, zaman di mana ancaman perang nuklir begitu riil dan begitu menakutkan, Lewis menulis satu artikel yang pada dasarnya coba merespons hal ini; dan di sini dia menempatkan diri seakan-akan sebagai orang yang ditanya, “Kamu tidak takut perang nuklir?” Lewis pakai kesempatan ini untuk mengajak orang berpikir (dalam hal ini maksudnya orang Barat/orang Eropa, yang pada zaman itu sudah tidak percaya ada Tuhan, sudah merasa dunia materi adalah satu-satunya realita); Lewis mengatakan, “Takut perang nuklir?? Kenapa kamu takut perang nuklir? Apa gunanya takut perang nuklir? Bukankah kalau kamu percaya dunia materi ini satu-satunya realitas, tidak ada Tuhan, tidak ada yang melampaui dunia materi, maka perang nuklir terjadi atau tidak terjadi, memang bedanya apa, sih?? Kalau dunia ini yang riil hanya realitas materi ini, ya, semua cerita di alam semesta ini ujungnya sama, entah itu cerita kebaikan ataupun kejahatan, entah itu cerita bom nuklir ataupun damai-damai, bukankah semuanya akan berakhiir dengan hal yang sama, yaitu tidak akan ada seseorang pun yang mengingatnya??” Demikian Lewis mengatakan. “Bom nuklir bisa jadi memperpendek kehidupan manusia, tapi kalaupun manusia bisa eksis di alam semesta sampai jutaan tahun, apa sih artinya dibandingkan dengan seluruh alam semesta yang biliunan tahun itu?? Apa sih manusia di hadapan alam semesta yang sudah begitu lama dan panjang dan suatu hari akan hilang, apa artinya?? Tidak penting ‘kan ya”. Jadi, buat apa kamu takut perang nuklir kalau kamu percaya tidak ada Tuhan –demikian dia ajak orang berpikir.
Menarik bahwa Ibrani 11 mengatakan, Abraham mencari sebuah kota yang fondasinya diletakkan oleh Allah. Kenapa? Karena Abraham tahu satu hal, di atas dunia ini tidak ada fondasi yang bertahan, tidak ada yang kekal, tidak ada sesuatupun yang bisa Saudara pijak dan bertahan, bahkan gunung-gunung dan bintang-bintang pun suatu hari akan lenyap. Tidak ada dasar fondasi bagi alam semesta ini, apalagi bagi manusia. Kalau gunung-gunung dan bintang-bintang suatu hari akan lenyap, bagaimana dengan manusia?? Saudara bisa saja melihat gambaran suatu keluarga yang harmonis, makan bersama mengelilingi meja –tanpa HP dan gadget— dan Saudara merasa betapa manisnya. Atau, Saudara adalah bagian dari keluarga seperti itu, lebih manis lagi. Tapi Saudara tahu cepat atau lambat setiap orang di meja itu akan kehilangan satu dengan yang lain, entah karena berantem, atau pindah, atau sekadar karena umur mengklaim mereka masuk kuburan.
Alam materi, tidak ada fondasinya. Relasi manusia, juga tidak ada fondasinya. Lalu di mana kita bisa menempatkan fondasi? Orang mengatakan, “Di pengetahuan; pengetahuan manusia bisa diwariskan turun-temurun kepada generasi berikutnya.” Seorang penulis science fiction yang sangat terkenal, Issac Asimov, punya satu ide yang dituliskan dalam sebuah novel dan sekarang sedang dibikin serial TV-nya berjudul “Foundation”. Premisnya adalah sbb.: ada suatu galactic empire, kekaisaran yang melampaui bintang-bintang, yang daerah kekuasannya begitu luas dan begitu makmur, lalu dinubuatkan bahwa kekaisaran ini suatu hari akan runtuh, dan yang terjadi adalah masa kegelapan sampai ribuan tahun. Bagaimana caranya menghindari masa kegelapan ini? Lalu ada seseorang yang punya ide, “Kita harus bikin sesuatu yang namanya ‘foundation’, tempat para scientist kita kumpulkan jadi satu komunitas yang isinya para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, untuk mereka mempertahankan dan menjaga (preserve) pengetahuan manusia, sehingga ketika suatu hari sudah masuk ke masa kegelapan, manusia bisa bangkit lebih cepat karena ada pengetahuan yang dipertahankan.”
Inilah mimpi banyak orang, bahwa pengetahuan kita bisa bertahan. Tapi Saudara tahu ‘kan, waktu hari ini kita belajar bagaimana orang zaman dulu berpikir, respons kita adalah tertawa, kita mengatakan, “Ya ampun, orang zaman dulu benar-benar mikir kayak begitu ya?? Kacau.” Mungkin Saudara bilang, “Enggak ah, banyak pemikir zaman dulu yang pemikirannya bertahan sampai hari ini dan kita hargai, misalnya filsuf-filsuf seperti Aristoteles yang sering dikutip pendeta GRII.” Ya, benar, Aristoteles memang banyak pemikirannya yang bertahan sampai hari ini dan juga dikagumi, tapi tahukah Saudara yang bertahan sampai hari ini berapa persen dari seluruh pemikiran Aristoteles? Sedikit. Saudara tidak tahu seberapa banyak sebenarnya Aristoteles berpikir, yang pemikiran tersebut tidak bertahan sampai hari ini. Kenapa tidak bertahan? Karena ditinggalkan oleh zaman. Kenapa ditinggalkan oleh zaman? Karena ditertawakan. Misalnya apa? Satu hal –minta maaf ya– bagi Aristoteles, fungsi buah zakar lelaki adalah pemberat. Saya tidak bohong, ini asli dari Aristoteles; kenapa dia bisa berpikir begitu, itu urusan dia, tapi itulah pemikirannya –dan itu sebabnya kita menertawakan. Saudara juga tidak harus tunggu sampai gap-nya sejauh antara Saudara dengan Aristoteles, bahkan hari ini pun waktu Saudara punya cucu, cucumu akan memperlakukanmu sama. Cucumu akan menertawakan pengetahuanmu, cucumu akan mengatakan, “Ya ampun, kakek, zaman dulu mikirnya kayak begitu?? Aduuuhh, ketinggalan zaman”. Itu baru beberapa generasi, Saudara. Gunung dan bintang tidak ada fondasinya, relasi manusia juga tidak ada fondasinya, pengetahuan manusia pun tidak ada fondasinya. Segala sesuatu yang kita tahu pada hari ini, yang kita pegang erat dan banggakan, akan ditertawakan oleh generasi yang akan datang. Tidak ada fondasi. Segala sesuatu seperti pasir hisap. Inilah hal yang disadari oleh sang pemazmur sebagai kefanaan, kesementaraan manusia.
Tapi di sinilah Saudara jadi melihat kenapa Mazmur ini menarik, yaitu bahwa waktu Alkitab membahas mengenai Allah yang tidak berubah, Allah yang immutable, Alkitab tidak meberikannya kepada kita di dalam semacam buku akademis teologi. Alkitab tidak menuliskannya dalam sebuah buku teori tok mengenai Allah. Bahkan kalau Saudara buka Alkitab, saya cukup yakin Saudara tidak akan pernah bisa menemukan ada bagian seperti itu, bagian yang orang sekadar menulis secara abstrak teori mengenai diri Tuhan. Teologi skolastik yang ujungnya cuma urusan memusingkan diri dengan abstraksi belaka, itu tidak ada di Alkitab, itu bukan bikinan Alkitab. Alkitab menghadirkan di hadapan kita, menuliskan, melukiskan, gambaran Allah yang tidak berubah justru di tengah-tengah Mazmur ini, di tengah-tengah kesadaran akan kesementaraan manusia yang begitu mengancam. Itulah tempat Alkitab menuliskannya. Itu sebabnya Saudara lihat di dalam Alkitab, teologi sama sekali bukan abstrak mengawang-awang, teologi dalam Alkitab bisa dibilang sangat praktis, sangat mendarat. Ini mirip waktu kita membahas keindahan Tuhan, bahwa itu bukanlah keindahan ala eskapisme yang hanya bisa ditemukan di alam fantasi, yang adanya di dalam museum atau di tempat-tempat yang segala sesuatu dijaga humidity-nya sedemikian rupa serta temperaturnya sedemikian tetap, dsb.; tidak demikian. Keindahan Tuhan yang Saudara temukan dalam Alkitab justru keindahan yang direnungkan dan memberi kekuatan di masa-masa Daud dikelilingi musuh. Inilah Alkitab. Dan, inilah sebabnya Mazmur ini mulai dengan doa seorang sengsara yang ada di tengah-tengah kesakitan pada saat dia mulai pingsan. Inilah tempat kita merenungkan mengenai Allah yang tidak berubah. Lalu apa ujungnya?
Sedikit demi sedikit ketika Saudara membaca ke belakang, Saudara lihat orang ini somehow mulai bangkit. Di dalam tulisannya mulai ada kepastian, keyakinan, confidence, bahkan di bagian belakang ada puji-pujian. Kenapa bisa kayak begini, apa yang terjadi? Orang ini bukan bisa bangkit karena dia mengambil cara diet gaya baru atau pergi ke spa, dia juga tidak seperti saya pergi gowes ketika depresi –meski saya gowes bukan ketika depresi saja– atau seperti Pendeta Heru pergi maraton sampai ke Bali (disclaimer: tidak ada yang salah dengan semua itu). Ini semua bukan yang pemazmur lakukan. Pemazmur ini bangkit karena dia berteologi, dia menyadari sesuatu mengenai diri Allah —itu artinya teologi— dan dia mengaplikasikannya dan menghidupinya.
Ada 2 hal yang dia sadari mengenai Allah, ada dua teologi yang kita perlu lihat di sini. Hal yang pertama, dia melihat bukan cuma kesementaraan manusia, tapi bahwa di tengah-tengah itu ada Allah yang tidak berubah. Ayat 27 dan 28: “Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian, seperti jubah Engkau akan mengubah mereka, dan mereka berubah; tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan.”
Saudara, adalah penting bagaimana kita mengerti secara tepat Allah yang tidak berubah ini. Kita bisa menggunakan analogi –meski tentunya analogi yang kita pakai untuk coba mengerti Tuhan, tidak mungkin komprehensif– dan putar otak sedikit, kita coba dengan membayangkan “waktu” sebagai sebuah aliran sungai. Anggaplah di daerah pegunungan, di tengah-tengah gunung-gunung yang tinggi, ada lembah; dan lembah ini biasanya jadi tempat air mengalir secara natural, dan sungai ini mengalirnya berkelok-kelok mengikuti alur lembahnya. Di sini coba Saudara bayangkan kita sebagai manusia, hidup di tengah-tengah aliran waktu seperti perahu-perahu yang berada di sepanjang sungai yang berkelok-kelok itu. Kita hanya bisa melihat ke depan sedikit, dan melihat ke belakang sedikit; kenapa? Karena tertutupi gunung-gunung. Di lembah yang berkelok-kelok seperti itu, Saudara tidak bisa melihat jauh ke depan ataupun jauh ke belakang. Saudara hanya bisa melihat sedikit ke belakang –ke masa lalu– ada perahu-perahu yang lain, dan melihat sedikit ke depan, ada perahu-perahu yang lain, tapi Saudara tidak bisa mengetahui di mana sumber mata airnya dan Saudara tidak bisa menebak di mana muara sungainya. Saudara hanya bisa melihat sedikit –begitulah perspektif kita sebagai orang yang hidup di dalam waktu. Namun, katakanlah dalam gambaran tadi ada gunung yang menjulang tinggi, puncaknya mengatasi semua gunung yang lain; dan gunung ini juga merupakan sumber air yang jadi aliran sungai tadi. Dalam hal ini, di satu sisi orang-orang yang berada dalam perahu-perahu di sungai tidak terlalu bisa melihat satu dengan yang lain, tapi mereka semua bisa melihat puncak gunung yang paling tinggi itu. Inilah kira-kira gambaran yang pemazmur berikan mengenai Tuhan. Kalau Saudara baca ayat 20, dikatakan, “Allah memandang dari ketinggian-Nya yang kudus”. Allah itu di luar waktu. Kita tidak sanggup memandang jauh ke belakang sungai atau ke depan sungai, tapi Allah ada di atas sungai, Dia bisa melihat semuanya dengan jelas, baik yang di belakang maupun yang di depan pada saat yang sama. Bagi Tuhan, semua masa lalu dan masa sekarang dan masa depan, hadir bersamaan. Dalam sudut pandang Tuhan, tidak ada yang lama ataupun yang baru.Hal yang telah terjadi dari sudut pandang kita, itu ada di hadapan Tuhan sama, seperti hal yang belum terjadi menurut sudut pandang kita. Dalam hal inilah gambaran Allah yang tidak berubah, Allah yang tetap sama.
Saudara perhatikan, apa sih yang mengubah Saudara dan saya? Kenapa kita berubah? Kita berubah karena ada pengaruh dari luar yang baru. Misalnya, adakalanya di dalam hidup kita mengatakan, “Aduh, ternyata saya tidak tahu hal ini”, lalu karena sekarang kita tahu, maka kita berubah pikiran. Tetapi bagi Allah yang hidup di luar waktu, tidak ada yang baru bagi-Nya, tidak ada yang lama juga bagi-Nya, semuanya hadir sama accessible-nya bagi Tuhan. Ini berarti yang mau digambarkan adalah bahwa Allah kita adalah Allah yang sempurna. Allah kita tidak akan lebih berkembang dari yang sekarang, Allah kita juga tidak akan menurun dari yang sekarang, karena tidak ada pengaruh baru buat Dia, tidak ada informasi baru yang Dia belum punya, karena semua ujungnya bersumber dari Dia. Jadi, waktu saudara membaca Alkitab mengatakan “Allah tidak berubah”, Saudara jangan terjebak dengan perdebatan skolastik. Ini bukan sesuatu yang ujungnya membicarakan urusan Tuhan tidak berubah bahwa Tuhan itu freezed frame, statis, seperti foto yang diam tok; lagipula susah juga, karena misalnya dikatakan “Tuhan menurunkan tulah”, bukankah jadi berarti ada masa Tuhan yang tidak menurunkan tulah lalu Dia berubah jadi Tuhan yang menurunkan tulah?? Jadi bingung sendiri, ini Tuhan berubah atau tidak?? Saudara, jangan ambil ke sana. Waktu Alkitab bicara mengenai ketidakberubahan Allah, ini bukan teologi negatif –Allah tidak begini, Allah tidak begitu– bukan demikian. Tujuan Alkitab mengatakan Allah tidak berubah, adalah untuk menyatakan sesuatu yang positif dalam diri Allah, bahwa Allah itu sempurna, bahwa Allah kita ini mengetahui masa lampau atau masa depan, sebagaimana Dia mengetahui masa sekarang. Dalam arti tertentu, ketika Alkitab mengatakan Allah tidak berubah, itu sebenarnya sedang mau mengatakan bahwa Allah kita tidak perlu berubah –bukan tidak sanggup, itu urusan lain. Allah kita tidak perlu berubah, Allah kita sempurna dalam segala sesuatu, karena semuanya accessible bagi-Nya.
Saudara, jika demikian yang dimaksudkan Alkitab, maka hal ini sangat implikatif buat hidup kita. Saya sebagai seorang pendeta melihat waktu orang datang konseling, salah satu polanya adalah mengatakan, “Pak, saya merasa saya sudah percaya Tuhan selama ini, saya pikir saya punya relasi dengan Tuhan. Lalu saya melakukan sesuatu yang saya rasa begitu fatal, yang merusak relasi ini, yang saya bahkan kaget ‘koq, bisa saya melakukannya’. Sekarang saya tidak bisa berdamai dengan tindakan saya itu. Saya tidak mengerti bagaimana bisa saya melakukan hal sekeji itu”. Lalu selanjutnya dia mengatakan, “Saya rasa Tuhan tidak bisa lagi mengasihi saya. Saya rasa saya bukan lagi anak Tuhan. Tidak mungkin saya dapat pengampunan Tuhan”. Orang ini tahu dia anak Tuhan, dia tahu Tuhan punya kasih yang tidak terbatas, dsb., tapi dia tidak bisa menyangkali perasaan ‘saya sudah melakukan hal yang fatal, saya baru sadar diri saya sebejat itu, dan saya rasanya tidak bisa lagi menempatkan diri sebagai anak Tuhan yang Tuhan kasihi, saya terlalu hancur, saya terlalu sampah di hadapan Tuhan’. Saudara, apa respons terhadap orang seperti ini? Kita akan mengatakan ini: kalau Allahmu Allah yang tidak berubah –maksudnya bukan cuma soal ‘Allah-nya’ tidak berubah– itu berarti ketika Allah menaruh kasih-Nya kepadamu, Dia tidak hanya melihat dirimu versi yang sekarang, Dia tidak hanya melihat dirimu versi waktu kamu bertobat dulu itu, yang penuh dengan perasaan kerohanian dan ingin melayani Tuhan seumur hidup, dsb.; karena bagi Dia, masa lalu, masa sekarang, masa depan, semuanya satu, semuanya accessible bagi Dia. Jadi ketika Dia menaruh kasih-Nya kepada kita, Dia melihat keutuhan dari diri kita seluruhnya, baik yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi.
Saudara lihat, ketidakberubahan Allah bukanlah cuma urusan bahwa Dia kekal, tapi bahwa Dia sempurna. Dengan demikian, kefanaan manusia juga bukan cuma urusan bahwa kita akan mati, tapi bahwa kita terbatas. Hari ini Saudara hanya mengalami dan mengetahui sepotong kecil dari hidupmu dan dirimu. Sadarkan Saudara akan hal ini? Bahwa waktu Saudara mengatakan “saya kenal diri saya”, itu cuma kenal 1 versi dari entah sekian banyak versi dirimu yang akan muncul sepanjang hidupmu. Ini sebabnya kita bisa kaget. Ini sebabnya kita bisa mengatakan, “Aduh, koq, ternyata diriku sekarang versinya beda dengan yang dulu. Aku ‘gak nyangka lho, aku bisa melakukan hal ini. Gua pikir, gua ‘gak sampai segitunya, ternyata hancur banget, ternyata beda!” –baru sadar, kaget dengan diri sendiri. Itulah manusia. Kenapa? Karena manusia terbatas, sementara, fana. Tapi Tuhan yang tidak terbatas, Tuhan yang ada dari dulu sampai sekarang, Tuhan yang tidak berubah, itu berarti ketika Dia menaruh kasih-Nya kepada kita, Dia tidak akan pernah dikagetkan dengan semua tadi itu. Tuhanmu sudah tahu semua keutuhan dirimu, Tuhan lebih mengenal dibandingkan engkau mengenal dirimu sendiri. Kalau engkau melakukan sesuatu yang fatal, yang engkau rasa engkau tidak bisa mengampuni dirimu sendiri, engkau dikagetkan seberapa bejat dirimu, Tuhan tidak pernah kaget. Tuhan, waktu menaruh kasih-Nya kepadamu, Dia sudah tahu hal yang engkau baru tahu ini, dan Dia tetap mengasihimu. Ini penghiburan. Saudara lihat, teologi Alkitab itu praktis. Mengetahui Allah kita tidak berubah, itu bukan urusan soal tangan-Nya bisa gerak atau tidak, dsb., melainkan menyadari bahwa ini adalah gambaran Allah yang sempurna; dan ini jadi satu penghiburan pastoral bagi kita, menyadari bahwa Tuhan lebih mengenal seluk-beluk diriku dan jiwaku dan seluruh tubuhku dan seluruh hidupku, lebih dibandingkan aku sendiri –dan karena itu Dia lebih mengasihi aku dibandingkan aku mengasihi diriku sendiri. Ketika aku kaget oleh keberdosaan dan kejahatanku, Tuhan tidak pernah dikagetkan, kasih-Nya sudah melampaui dan menutupi semua itu.
Demikian hal yang pertama; dan ini penting, tapi tidak cukup, karena kalau cuma mengetahui bahwa ada Allah yang tidak berubah, yang sempurna, sebenarnya banyak filsuf sekuler yang juga menyadari. Seorang filsuf, Heraclitos, mengatakan kita ini tidak bisa memijakkan kaki di sungai yang sama dua kali, karena sungai selalu berubah, airnya selalu mengalir. Bagi Heraclitos, seluruh realitas adalah seperti itu, segala sesuatu flux, segala sesuatu senantiasa berubah. Beberapa filsuf lain tidak setuju dengan hal ini. Plato menantang Heraclitos, “Tidak bisa begitu, Heraclitos, kalau kamu mengatakan segala sesuatu senantiasa berubah, maka kita tidak bisa berfilsafat, kita tidak bisa bicara apa-apa tentang si sungai, kita tidak bsisa ngapa-ngapain, kita tidak bisa punya pengetahuan!” Saudara bayangkan, misalnya Saudara melihat seekor kucing, lalu Saudara mendekat dua langkah dan dia berubah jadi seekor anjing, lalui Saudara mendekat lagi 3 langkah dan dia menjadi sepotong duren. Saudara akan bingung, ini benda apa sebenarnya?? Tidak bisa tahu. Jika tidak ada yang konsisten dan konstan, maka kita tidak bisa ada dasar pengetahuan. Bayangkan kalau segala sesuatu berubah seperti itu, maka akibatnya Saudara tidak bisa ada dasar untuk mengatakan, “Saya tahu sesuatu”; Saudara pada dasarnya tidak bisa hidup, karena segala sesuatu flux dan berubah. Bahkan kalau kita mau tambahkan lebih jauh, seandainya segala sesuatu berubah, maka dari mana Saudara tahu ada yang berubah? Tidak bisa ‘kan. Saudara mengetahui sesuatu berubah, itu karena Saudara membandingkannya dengan hal yang lain yang tidak berubah; maka untuk mengetahui sesuatu itu berubah, perlu barang yang tidak berubah.
Dalam hal ini, supaya Saudara tidak bingung, saya pakai ilustrasi satu film animasi, “The Incredibles”, cerita mengenai keluarga superhero. Dalam dunia superhero, ada yang punya power dan ada yang tidak punya –selalu seperti itu. Lalu di film ini, tokoh penjahatnya punya suatu rencana yang unik. Dia bukan mengatakan, “Hai para superhero! Kamu yang punya power, aku punya rencana jahat, aku mau menghilangkan kekuatanmu!” –biasanya seperti itu– tapi penjahatnya mengatakan, “Aku bukan mau menghilangkan power-mu, aku mau bikin semua orang punya power”, lalu dia bikin mesin untuk melakukan semua itu, dan mesinnya ternyata bisa membunuh orang. Yang menarik, kenapa dia melakukannya? Dia mengatakan, “Saya sebenarnya tidak punya power, saya benci dengan orang-orang yang punya power. Kenapa mereka spesial, dan saya tidak?? Kenapa mereka berhak punya power, sedangkan kami tidak?? Ini tidak adil! Maka caranya mebuat keadilan, saya mau bikin mesin yang bisa bikin semua orang punya power, bisa bikin semua orang menjadi spesial, karena –ini kalimat pentingnya– ketika semua orang spesial maka tidak ada lagi yang spesial”. Benar juga ‘kan, kalau semua orang spesial, jadi apa artinya spesial?? Tidak ada lagi. Jadi, kalau segala sesuatu berubah, maka tidak ada yang namanya perubahan. Dari mana Saudara tahu kalau sesuatu berubah? Yaitu karena membandingkan dengan yang tidak berubah. Di sini Plato mengatakan, “Itulah tuhan; harus ada hal ini, kalau tidak, Saudara tidak bisa mengatakan ada yang berubah; kalau tidak, Saudara tidak bisa punya pengetahuan”. Aristoteles melanjutkan, “Inilah yang saya sebuat sebagai ‘the unmoved mover’, penggerak yang sendirinya tidak digerakkan, pengubah yang sendirinya tidak berubah”, yang bagi dia adalah diri Allah.
Sekarang saya mau tanya Saudara, mengetahui ini, membantumu tidak? “Tidak , Pak, saya jadi pusing”. Oke, tapi katakanlah Saudara mengerti, lalu mengetahui ini, membantumu tidak? Tidak ‘kan. Tujuan saya memang itu, untuk Saudara menyadari bahwa sekadar tahu ada Allah yang tidak berubah, itu penting, tapi itu tidak cukup. Para filsuf sekuler pun percaya hal itu. Bahkan paling jelas pemazmur sendiri bukan orang kafir, dia percaya Tuhan, waktu sengsara dia berdoa, tetapi hidupnya lalu menjadi hidup yang begitu kesepian, dan kosong, dan madesu. Sekadar tahu bahwa ada Tuhan yang tidak berubah saja, itu sesungguhnya bahkan bisa membuat kita merasa tertindas. Contohnya ayat 26 dan 27 dikatakan, “Dahulu sudah Kauletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu. Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian, seperti jubah Engkau akan mengubah mereka, dan mereka berubah; tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan.” Jadi, gunung-gunung dan bintang-bintang akan usang seperti pakaian, dan Tuhan tetap ada, maka apa signifikansinya kita, manusia yang begitu sementara ini di hadapan Tuhan yang demikian??
Kalau misalnya Saudara mau memberikan binatang peliharaan ke anakmu, binatang apa? Dulu saya bingung kenapa orang memberikan kura-kura untuk jadi binatang peliharaan, tapi sekarang saya mulai mengerti, yaitu karena kura-kura umurnya puanjaaang banget. Kenapa ini penting? Karena ada sesuatu yang Saudara mau ajarkan buat anak-anak, yaitu taking care something. Saudara ingin anak-anak belajar mengurus sesuatu, dan untuk itu dia perlu ada rasa sayang terhadap barang tersebut. Rasa sayang ini cuma bisa muncul ketika Saudara attach, nyantol terhadapnya, dan itu perlu waktu yang lama. Itu sebabnya kita cari binatang peliharaan yang umurnya cukup lama. Apa yang terjadi kalau saya memberikan anak saya binatang peliharaan seeokor capung? Hari ini dipelihara, besoknya si anak nangis-nangis, “Papa, capungnya mati…”, lalu kita bilang, “Oke, memang Papa mau mengajarkan kamu kehidupan”. Itu tidak bakal terjadi, karena kalau besoknya mati, si anak akan sekadar mengatakan, “Pa, capungnya mati”. Dia juga tidak peduli, karena belum kenal, baru satu hari. Saudara lihat, kalau sesuatu itu umurnya begitu pendek, kita susah untuk attach, mengasihi, peduli, dengan barang itu. Sekarang pikirkan, gunung-gunung dan bintang-bintang saja akan usang di hadapan Tuhan, lalu bagaimana dengan Saudara dan saya?? Mana mungkin Tuhan attach dengan kita, mana mungkin Tuhan mau pada kita?? Itu sebabnya kita tidak cuma butuh tahu ada Allah yang tidak berubah, karena kalau cuma tahu itu, justru malah mengerikan. Kita perlu tahu bahwa Allah yang tidak berubah ini, Allah yang kekal dari zaman ke zaman ini, somehow mengasihi kita yang fana ini. Inilah hal yang kedua; dan inilah yang pemazmur sadari.
Kalau Saudara baca sekali lagi ayat 26-27 dan lanjutkan ke ayat 28-29, dikatakan di ayat 29: “Anak hamba-hamba-Mu akan diam dengan tenteram, dan anak cucu mereka akan tetap ada di hadapan-Mu.” Sadarkah Saudara betapa ayat 29 ini tidak masuk akal? Tidak nyambung dengan yang sebelumnya; orang mengatakan ini non sequitur. Ini seperti geledek di siang bolong. Kita pikir harusnya seperti cerita Ayub; waktu Ayub dihadapkan dengan kebesaran Tuhan, Ayub berhenti tanya, “Sudahlah Tuhan, saya tidak perlu tahu kenapa saya menderita, hidup saya insgnificant di hadapan Tuhan yang luar biasa. Saya menutup mulutku karena saya sadar kepada Siapa saya sedang bicara.” Tetapi di sini malah dikatakan “anak cucu hamba-hamba Tuhan”, artinya semua dari umat Tuhan, ada di hadapan Tuhan, dipandang oleh wajah Allah (panim), dan mereka diam dengan tenteram. Kata ‘tenteram’ di sini lebih tepat diterjemahkan dengan establish, kokoh, permanen. Koq, bisa?? Tuhan kita —kata pemazmur— tidak berkomitmen penuh terhadap gunung-gunung dan bintang-bintang karena mereka akan usang seperti jubah, tetapi kepada kita, hamba-hamba Tuhan dan anak-anaknya, Dia berkomitmen selama-lamanya. Koq, bisa? Inilah hal yang kedua. Bagaimana caranya? Sayangnya pemazmur tidak menjelaskan, dia hanya mengatakannya. Ini satu hal yang dia percaya. Tapi kenapa dia bisa mengatakan begini?
Kita baru tahu dasarnya belakangan. Dalam Perjanjian Baru, Ibrani 1:1-11, penulis kitab Ibrani ini –siapapun dia– mengutip 7 bagian dari Perjanjian lama; dan dia mengatakan bahwa ketika ayat tersebut dulu muncul, Allah sedang mengatakan hal itu kepada Anak-Nya, atau bahwa bagian tersebut sedang berbicara mengenai Anak Allah, Yesus Kristus. Salah satu dari 7 bagian yang dikutip adalah Mazmur 102. Ibrani 1:8 dikatakan, “Tetapi tentang Anak Ia berkata: … “, dilanjutkan dengan a, b, c, d, e, tentang Anak; lalu ayat 10 dst., “Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu. Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian; seperti jubah akan Engkau gulungkan mereka, dan seperti persalinan mereka akan diubah, tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan” —persis dengan bagian dalam Mazmur 102 tadi. Menariknya, ketika penulis Perjanjian Baru mengutip Perjanjian Lama, mereka biasanya bukan cuma mengutip ayatnya tok, tapi sesungguhnya keseluruhan perikopnya, yang diwakili oleh ayat yang mereka kutip. Jadi ketika seseorang mengutip 1-2 ayat Perjanjian Lama, Saudara bisa menduga bahwa dalam bayangan mereka sebenarnya adalah keseluruhan perikopnya (karena pada waktu itu juga belum ada ayat-ayatan); dalam hal penulis Ibrani mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama tadi, yang mau dikatakan adalah bahwa keseluruhan perikopnya bicara mengenai Anak Allah. Jika demikian, maka bagian dari Mazmur 102 yang mengacu pada Yesus Kristus bukanlah cuma urusan bahwa Dia adalah Anak Allah yang kekal, yang tetap ada, yang tidak berubah, dsb., tapi juga cerita si pemazmur yang sengsara, yang sementara. Pemazmur yang tersiksa, yang sebentar lagi mati, dan dalam masa terakhirnya berteriak kepada Tuhan, “Tuhan, jangan potong hidupku di tengah-tengah puncaknya”, itu juga melambangkan Anak Allah. Itu adalah bayang-bayang dari Anak Allah yang sengsara, yang akan mati di puncak-puncak hidup-Nya, dan sesaat sebelum mati Dia juga berteriak kepada TUHAN. Dan ini juga berarti ketika dalam Mazmur 102 dikatakan “anak-anak dari para hamba Tuhan akan hidup di hadapan wajah Tuhan selama-lamanya”, maka anak-anak dari Anak Allah juga akan hidup di hadapan wajah Tuhan selama-lamanya; yaitu siapa? Saudara dan saya. Koq, bisa? Kenapa? Karena Anak Allah –meskipun Dia tidak berubah dalam arti Dia tidak perlu berubah dan Dia sempurna adanya– telah menjelma jadi manusia. Ia yang kekal telah menjadi fana, Ia yang adalah kekal, telah mengambil kesementaraan. Ia yang sempurna, telah mengambil keterbatasan. Ia menjadi yang berlalu. Ia menjadi fana. Ia mati di atas kayu salib. Dan, kenapa Dia melakukan ini, lucunya justru karena Allah itu tidak berubah. Maksudnya apa?
Allah tidak berubah, berarti karakternya tidak berubah. Allah adil, dulu sampai sekarang, sampai selama-lamanya. Allah juga adalah Allah yang mengasihi, dulu sampai sekarang, sampai selama-lamanya. Lalu bagaimana waktu kita berdosa, bagaimana Allah merespons kita? Kalau Allah merespons dengan, “Aku Allah yang adil; kamu berdosa maka kamu patut mati. Aku habiskan kamu”, maka Dia adil, dan kita yang berdosa patut mendapatkannya. Tapi ini berarti Dia berubah kasih. Sedangkan kalau Dia mengatakan, “Ya, okelah, Aku mengasihimu, jadi Aku menoleran-simu saja, Aku tidak mendatangkan keadilan atasmu”, maka Dia Allah yang mengasihi, tapi Dia berubah adil. Bagaimana caranya supaya Allah ini secara sempurna tidak berubah, tetapi setia dan juga adil, tetap mengasihi namun juga adil? Dengan mengambil perubahan, dengan cara Yesus mati di kayu salib, dengan cara Yesus memperoleh kesementaraan, supaya kita bisa memperoleh hidup kekal. Dengan demikian Tuhan bisa mengatakan kepada kita “meskipun kita tidak setia, Dia tetap setia”. Dengan demikian Dia bisa mengatakan, “Meskipun bintang-bintang jatuh dan gunung-gunung runtuh, meskipun alam semesta menjadi usang, engkau dan anak-anakmu akan tetap hidup di hadapan-Ku”. Itulah fondasi bagi hidup manusia yang senantiasa berubah, yaitu Allah yang tidak berubah.
Saudara renungkan, di hadapan Allah yang seperti ini, apa responsmu? Apa reaksimu, apa yang engkau akan lakukan ketika Allah seperti ini mulai menggoyang hidupmu? Dalam perubahan-perubahan hidup, bagaimanapun juga kita tahu ini datang atas kehendak Tuhan, atas ketentuan Tuhan; tapi dengan Saudara mengerti Allah yang tidak berubah ini, sekarang apa yang jadi reaksimu? Saudara jadi mengerti satu hal, bahwa pun ketika Allahku menggoyang hidupku, itu bukan demi membuat aku sengsara dan tersiksa; Allahku menggoyang hidupku supaya justru Dia bisa menempatkanku di atas batu karang yang teguh, yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Saudara-saudara, hiduplah seperti itu; dan jangan simpan berita mengenai Allah seperti ini hanya bagi dirimu sendiri, karena yang diombang-ambing dengan hidup yang senantiasa berubah bukan cuma Saudara dan saya, tapi semua manusia. Bawa ini, ceritakan ini lewat hidupmu, hidup yang mengamini adanya Allah yang tidak berubah ini dan somehow bisa tetap mengasihi kita yang fana.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading