Kita melanjutkan khotbah doktrinal mengenai siapa Allah kita. Minggu lalu kta bicara mengenai Allah Sang Pencipta; hari ini kita melanjutkan dengan Allah Sang Pemelihara. Ada 2 poin besar yang ingin kita perhatikan: pertama, apa maksudnya ketika kita melihat Allah sebagai pemelihara juga dan bukan hanya pencipta; kedua, mengapa hal ini penting, signifikansinya apa, dan implikasinya apa bagi hidup kita.
Yang pertama, Allah adalah pemelihara dan bukan hanya pencipta.
- Kolose 1:1, “Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia”.
- Ibrani 1:3a, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan”.
- Matius 6:26, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”
Dari ayat-ayat ini Alkitab memberitahu bahwa Allah kita bukan cuma pencipta, tapi Dia juga Seorang pemelihara. Ini bisa lebih kita mengerti kalau dikontraskan dengan penciptaan: Allah sebagai pencipta, artinya Dialah alasan kenapa alam semesta ini ada, dan bukan tidak ada; Allah sebagai pemelihara, berarti Dialah juga alasan kenapa alam semesta yang ada ini bisa tetap terus ada, dan bukan kembali runtuh jadi ketiadaan. Dengan demikian, doktrin “Allah sebagai Pemelihara” –meskipun kadang kurang ditekankan atau kalah pamor dibandingkan doktrin “Allah sebagai Pencipta”– bukanlah doktrin yang inferior, ini adalah pemahaman yang amat sangat penting, karena tanpa Allah memelihara, maka tidak ada gunanya penciptaan; jika penciptaan ini tidak dipelihara, maka ciptaan akan runtuh kembali, tergerus menjadi ketiadaan. Dalam hal ini, kalau pun kita melihat keduanya sebagai kontras, kita perlu menyadari bahwa doktrin “Allah sebagai Pemelihara” adalah sesuatu yang sangat erat hubungannya dengan peran-Nya sebagai pencipta, yang satu mendukung yang lain. Allah yang pencipta haruslah Allah yang pemelihara, jika tidak, maka tidak ada gunanya mencipta; dan Allah yang memelihara adalah Allah yang pencipta, karena jika tidak, apa yang mau dipelihara?? Jadi, dua doktrin ini adalah dua doktrin yang tidak dapat dipisahkan, satu kesatuan yang sangat penting satu dengan yang lain.
Di bagian ini, mungkin ada yang mengatakan, “Saya pikir Allah kita menciptanya secara lebih keren, dalam arti Dia mencipta, lalu ciptaan-Nya itu independen, otonom, bisa jalan sendiri; bukankah lebih keren kalau Allah menciptanya seperti itu?” Saudara, itu adalah pemikiran yang kita sebut dengan paham Deisme, konsep yang memikirkan bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya sebagai semacam jam, yang begitu diputar, akan jalan sendiri, lalu penciptanya boleh pergi mengerjakan hal-hal yang lain –dan itu sesungguhnya bukan Alkitab. Kalau pun Saudara tidak secara eksplisit mengatakan atau mempunyai konsep yang demikian, Saudara sering kali mendengar orang Kristen mengatakan istilah-istilah seperti “campur tangan Allah”; dan kalimat ini sedikit banyak berbau paham Deisme, bukan sesuatu yang alkitabiah. Kenapa kalimat seperti ini salah/tidak alkitabiah? Karena waktu Saudara mengatakan bahwa Allah campur tangan, Allah ikutan, Allah melakukan intervensi, dsb., pada dasarnya berarti asumsinya adalah selama ini Dia tidak terlibat, selama ini Dia di luar sana, selama ini Dia tidak benar-benar connected dengan alam semesta, lalu baru sekaranglah Dia campur tangan, masuk, mengintervensi. Ini paham yang tidak sesuai dengan Alkitab. Itu sebabnya tadi kita membaca dalam Kolose, dikatakan ‘segala sesuatu di dalam Dia’; dan Ibrani mengatakan ‘segala sesuatu ditopang oleh-Nya’, artinya terus-menerus (present continuous), bukan cuma di depan lalu setelah itu jalan sendiri. Kita perlu melihat beberapa bagian Alkitab di mana paham seperti ini lebih dijelaskan, bahwa Allah kita adalah Allah yang terus-menerus menopang ciptaan ini, karena jika tidak, maka ciptaan ini akan tergerus balik ke ketiadaan/kehancuran. Kita akan melihatnya melalui dua narasi besar.
Narasi pertama, narasi “Air Bah”.
Ini narasi yang tentu kita sudah tahu ceritanya, jadi tidak akan diulang; yang saya ingin ajak soroti adalah bahwa bahasa deskripsi bencana air bah ini bukan mengindikasikan Allah yang membawa masuk sebuah kutuk. Kita sering kali pikir Air Bah terjadi karena Allah menimpakan suatu kutuk, membawa masuk suatu bencana, tapi bahasa Alkitab sebenarnya mendes-kripsikan Air Bah bukan sebagai tindakan aktif Allah yang membawa masuk sebuah bencana, melainkan tindakan Allah yang menarik sementara kuasa topangan-Nya, kuasa pemeliharaan-Nya.
Kita membaca dari Kejadian 7:11-12, dan coba perhatikan ada motif apa di situ: ‘Pada waktu umur Nuh enam ratus tahun, pada bulan yang kedua, pada hari yang ketujuh belas bulan itu, pada hari itulah terbelah segala mata air samudra raya yang dahsyat dan terbukalah tingkap-tingkap di langit. Dan turunlah hujan lebat meliputi bumi empat puluh hari empat puluh malam lamanya’. Saudara tentu tahu ceritanya, tapi lihat, ini bukan cuma hujan dari atas tapi juga mata air samudra raya terbelah, jadi keluar air dari bawah dan dari atas. Kalau melihat konsep bahwa airnya datang dari atas dan dari bawah, ini mengingatkan pada apa yang terjadi di Kejadian 1. Di Kejadian 1, salah satu pekerjaan Allah waktu menciptakan dunia ini adalah Dia memisahkan air sehingga ada air yang di atas dan air yang di bawah. Ini keteraturan yang Tuhan bawakan. Tadinya semua air, lalu Tuhan memisahkan air yang di atas dan air yang di bawah, sehingga ada ruang untuk hidup bagi manusia. Ini pekerjaan penciptaan Tuhan. Dengan demikian, waktu di Kejadian 7 dikatakan air yang di bawah keluar dan air yang di atas turun, yang terjadi bukanlah Tuhan membawa masuk sesuatu yang tadinya tidak ada, melainkan Tuhan hanya sedang menarik topangan tangan-Nya, Tuhan sedang menyatukan kembali apa yang Dia telah pisahkan. Bencana Air Bah terjadi bukan karena Tuhan menambah kuasa destruktif, bukan karena Tuhan campur tangan dari luar, tapi justru karena Tuhan sementara menarik pemeliharaan-Nya, menarik kuasa penciptaan-Nya. Tuhan menarik tangan-Nya yang selama ini menopang ciptaan, maka yang tadinya terpisah, kini runtuh menjadi satu kembali.
Saudara akan semakin jelas kalau melihat bukan cuma deskripsi Alkitab mengenai bencananya sendiri, tapi juga melihat yang dilakukan Allah ketika Dia menghentikan air bah, seperti apa bahasanya, pakai istilah-istilah apa deskripsinya (Kejadian 8).Kalau Saudara peka dengan bahasa Alkitab, Saudara akan tahu bahwa deskripsi surutnya air bah ini sarat dengan bahasa penciptaan juga.
Misalnya dalam Kejadian 8:1, ‘Maka Allah mengingat Nuh dan segala binatang liar dan segala ternak, yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu, dan Allah membuat angin menghembus melalui bumi, sehingga air itu turun’. Ini satu kalimat yang sepertinya tidak aneh buat kita, bahwa Allah membuat angin menghembus melalui bumi sehingga air tersebut turun. Itu saja. Tapi, jangan lupa bahwa dalam bahasa Ibrani, istilah “angin”, “nafas”, “roh”, semuanya memakai istilah yang sama yaitu “ruah”. Jadi, kalau Saudara baca kembali kalimat tadi dengan pengertian Ibrani, bahwa Allah mendatangkan angin dari Allah, ruah Allah, menghembus melalui bumi sehingga airnya turun, ini mengingatkan pada Kejadian 1, yaitu kalimat pertamanya: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah (ruah Allah) melayang-layang di atas permukaan air”. Saudara jadi mulai menangkap adanya semacam gema (echo) dari Kejadian 1 di sini.
Selanjutnya ayat 2: ‘Ditutuplah mata-mata air samudera raya serta tingkap-tingkap di langit dan berhentilah hujan lebat dari langit’. Di sini Saudara melihat tadinya di Kejadian 1 Allah memisahkan air jadi di atas dan di bawah, lalu di Kejadian 7 Allah membiarkan air-air itu bercampur kembali, dan sekarang Allah kembali memisahkannya, Allah menutup mata air di bawah dan tingkap-tingkap langit di atas –dan ini adalah apa yang terjadi di penciptaan hari ke-2.
Ayat 3: ‘… dan makin surutlah air itu dari muka bumi. Demikianlah berkurang air itu sesudah seratus lima puluh hari’, lalu lompat ke ayat 5: ‘Sampai bulan yang kesepuluh makin berkuranglah air itu; dalam bulan yang kesepuluh, pada tanggal satu bulan itu, tampaklah puncak-puncak gunung’. Saudara lihat, air surut, makin surut, makin surut, lalu tampaklah puncak-puncak gunung. Sekali lagi ini gema dari yang kita baca di Kejadian 1, yaitu pada hari ke-3 penciptaan Allah menyuruh air berkumpul di satu tempat sehingga muncul daratan kering.
Ayat 4: ‘Dalam bulan yang ketujuh, pada hari yang ketujuh belas bulan itu, terkandaslah bahtera itu pada pegunungan Ararat’. Di sini ada satu motif yang kita tidak bisa lihat dalam bahasa Indonesia, namun dalam bahasa Ibraninya sangat jelas, karena yang dikatakan sebenarnya bukan soal bahtera itu kandas di pengunungan Ararat, di sini bahasa Ibraninya pakai satu istilah yang aneh yaitu bahtera itu nuah pada pegunungan Ararat. Mendengar istilah nuah, Saudara akan langsung terpikir nama Nuh, tokoh sentral Air Bah; dan tahukah apa arti kata nuah? Nuah bukan berarti kandas, nuah sebenarnya berarti beristirahat; jadi bahtera itu dikatakan beristirahat pada pengunungan Ararat dalam bulan yang ke-7 pada hari yang ke-17. Sekali lagi ini sangat masuk akal ada gema Kejadian1, karena dalam Kejadian 1 Allah beristirahat pada hari ke-7; bahkan angka 17 juga ada koneksinya karena pada dasarnya 17 adalah 7+10, 7 adalah hari-nya, 10 adalah keseluruhan kalimat Tuhan dalam penciptaan yang ada 10 kali. Jadi angka-angka ini tidak sembarangan.
Saudara lihat bahwa di dalam pemulihan bumi dari bencana Air Bah, barulah itu merupakan pekerjaan aktif Allah. Pekerjaan aktif Allah adalah mencipta, bukan mengadakan kutuk atau mendatangkan bencana. Bencana Air Bah datang karena Dia menarik pengaturan tadi; dan ketika Dia mengembalikan pengaturan penciptaan ini, kuasa penciptaan Dia lakukan kembali, maka ciptaan kembali beres. Jadi kita melihat konsep Alkitab mengenai Allah Pencipta dan Allah Pemelihara sesungguhnya sangat berhubungan erat. Allah menopang/memelihara dunia ini dengan cara Allah terus-menerus menjalankan kuasa penciptaan-Nya. Jika Allah hanya mencipta dan tidak memelihara, maka dunia bukan akan berjalan terus seprti jam, melainkan akan runtuh dan mundur kembali menjadi tohu wa-bohu (tidak berbentuk dan kosong). Ini satu hal yang kita perlu ingat, bahwa gambaran Tuhan di Alkitab adalah seperti ini. Ini sinkron dengan gambaran yang Paulus berikan di Roma 1, Perjanjian Baru, waktu Paulus mengatakan kalau Allah sampai bohwat terhadap orang-orang fasik, maka yang Allah akan lakukan/berikan sebagai hukuman terhadap mereka, bukanlah dengan Allah secara aktif menghukum mereka, mengutuk, mendatangkan hukuman, dsb., melainkan Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsunya. Ini bukan Allah secara aktif menambah sesuatu, tapi menarik tangan pemeliharaan-Nya, menarik pembatasan yang selama ini Dia berikan, diserahkan kepada hawa nafsu. Itu sebabnya kalau kita sering kali mendapatkan keinginan hati kita –keinginan hati manusia berdosa– menurut Alkitab, itu mungkin merupakan salah satu hal yang paling parah yang bisa terjadi dalam hidup manusia.
Kembali ke pembahasan kita, dalam Alkitab konsep Allah Pemelihara sangat penting. Allah Pemelihara bukanlah seperti tukang kebun yang pagi-pagi datang menyiram lalu pulang ke rumah sendiri; Allah Pemelihara di dalam Alkitab adalah Allah yang senantiasa meneruskan menopang ciptaan ini dengan kuasa-Nya, karena jika tidak, maka ciptaan ini akan runtuh, tergerus balik ke dalam ketiadaan. Demikian narasi yang pertama, Air Bah.
Narasi yang kedua, narasi “Sepuluh Tulah Mesir”.
Sebelum kita masuk ke tulahnya sendiri, Saudara perlu mengerti dulu, sebenarnya apa sih problemnya Mesir sampai mereka dihajar oleh tulah-tulah itu. Kenapa Tuhan tidak pernah pakai cara sepuluh tulah ini kepada bangsa-bangsa lain, seperti Babilonia dan Asyur; kenapa Mesir yang diperlakukan dengan tulah-tulah ini? Ini adalah karena Mesir sesungguhnya punya satu dosa yang sangat spesifik. Kalau kita ditanya, apa dosanya Firaun di awal kitab Keluaran, mungkin banyak dari kita yang mengatakan, “Dia itu raja yang kejam, memperbudak dan menyiksa Israel”. Di sini Saudara boleh menggali lebih dalam, apa yang menyebabkan Firaun memperbudak dan menyiksa orang-orang Israel? Dikatakan bahwa karena orang-orang Israel ini beranak cucu dan bertambah banyak, sehingga jumlah mereka yang besar ini mengancam bagi Firaun –maka Firaun memperbudak mereka. Dalam hal ini, kalau Saudara melihatnya dalam kacamata Alkitab, ada satu hal yang menarik, karena Alkitab tidak tertarik untuk mencatat sekadar fakta sejarah, Alkitab tidak tertarik untuk mencatat sekadar informasi. Catatan bahwa orang-orang Israel itu beranak cucu dan bertambah banyak, bukanlah sekadar mengatakan, “O, orang Israel pada waktu itu tidak KB”, bukan itu poinnya. Saudara ingat, mandat budaya di Kejadian 1:28 yaitu: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi”; jadi waktu Saudara membaca di kitab Keluaran orang Israel beranak cucu dan bertambah banyak, ini bukan soal mereka itu subur-subur, ini soal mereka menjalankan kodrat penciptaan sesuai yang Tuhan mau. Dan sekarang, muncul tokoh Firaun yang tidak senang dengan hal tersebut. Dengan demikian dalam kacamata kitab Keluaran, figur Firaun bukanlah sekadar raja jahat yang kejam, tapi seorang figur yang dihadirkan sebagai tokoh anti-penciptaan. Ketegangan dalam kitab Keluaran bukanlah antara tokoh Firaun versus Musa, bukan antara Mesir versus Israel, melainkan antara Firaun dengan Allah Sang Pencipta. Jadi, cerita Sepuluh Tulah bukan maksudnya Tuhan mendatangkan sebuah kutuk yang baru, bukan Tuhan sedang menambah sebuah kuasa destruktif, tapi Tuhan sedang menarik pengaturan-Nya dari alam ciptaan.
Pada dasarnya dalam Sepuluh Tulah itu Tuhan sedang mengatakan kepada Firaun, “Hai Firaun! Kamu tidak suka dengan kodrat penciptaan yang Aku bikin?? Kamu mau melawan kodrat penciptaan?? Nih, sekalian, jangan setengah-setengah; Aku beritahu rasa full taste-nya kalau kamu mau membuang semua kodrat ciptaan!” Inilah Sepuluh Tulah. Misalnya, tulah yang pertama berhubungan langsung dengan Sungai Nil (air Sungai Nil), yang adalah bagian dari ciptaan. Tapi ini bukan sekadar bagian dari ciptaan, ini adalah bagian dari ciptaan yang selama ini jadi sumber utaman kehidupan dan kuasa orang Mesir. Semua kegiatan ekonomi mereka, semua kuasa mereka, secara langsung berhubungan dan berdasarkan pada Sungai Nil; kalau tidak ada Sungai Nil, maka tidak ada Mesir. Lalu sekarang sumber kuasa, sumber ekonomi, sumber kehidupan bagi orang Mesir ini –yang adalah hasil ciptaan Tuhan– ditarik Tuhan, air Sungai Nil menjadi darah, dan mereka tidak bisa lagi menggunakannya. Ini seakan-akan mengatakan, “Firaun, kamu mau melawan kodrat ciptaan? Jangan pikir kodrat ciptaan cuma soal beranak cucu, bahwa Aku menciptakan sungai yang bisa mendukung kehidupan manusia pun adalah kodrat ciptaan, Jadi, kalau kamu tidak suka dengan kodrat yang tadi, sekalian saja tidak suka dengan yang ini”. Saudara lihat, tulah pertama bukanlah tembakan peringatan, tulah pertama adalah serangan yang langsung menusuk jantung hati kekuasaan orang Mesir.
Lihat juga tulah kedua; dari sungai Nil sekarang menyebar ke pinggiran-pinggirannya. Kalau Saudara pakai kacamata penciptaan untuk membaca hal ini, Saudara akan melihatnya dengan sedikit lebih dalam. Pengaturan yang Tuhan bawa dalam penciptaan, bukan cuma soal air ada tempatnya sendiri dan daratan ada tempatnya sendiri, tapi juga bahwa binatang-binatang ada tempatnya masing-masing. Di dalam hari-hari penciptaan, Tuhan menciptakan burung-burung di udara, binatang-binatang darat di bumi, binatang-binatang air di air; setiap tempat tersebut ada kodratnya, ada pengaturannya. Tapi dalam tulah kedua, Allah menarik pengaturan ini; katak yang adalah binatang air Sungai Nil, sekarang tidak lagi berada di tempat yang seharusnya, yaitu air, mereka pindah ke tempat yang tidak seharusnya, dikatakan bahwa katak-katak ini sampai menutupi tanah Mesir. Saudara kembali melihat dalam tulah yang kedua ini Tuhan bukan sedang menciptakan makhluk baru, seperti bikin monster yang kemudian memporak-porandakan Mesir, tapi Tuhan simply menarik pengaturan yang Dia telah bawa ke dalam ciptaan, Dia menarik pemeliharaan-Nya.
Selanjutnya, tulah ketiga, yang dalam bahasa Indonesia dikatakan “tulah nyamuk”. Persisnya ini spesies apa, itu tidak terlalu penting, karena poin sesungguhnya dalam tulah ketiga adalah bahwa tulah ini binatang dari debu tanah. Saudara mungkin pikir nyamuk binatang udara, tapi sebenarnya dalam Keluaran 8:16 nyamuk adalah binatang dari debu tanah; dikatakan demikian: ‘Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ”Katakanlah kepada Harun: Ulurkanlah tongkatmu dan pukulkanlah itu ke debu tanah, maka debu itu akan menjadi nyamuk di seluruh tanah Mesir.”’
Jadi, kalau Saudara melihat tulah kedua adalah binatang air, tulah ketiga binatang dari debu tanah, dan tulah keempat (lalat pikat) adalah binatang dari udara, maka lewat tulah kedua, ketiga, dan keempat ini, Saudara mendapatkan kelengkapan tulah binatang dari semua jenis ekosistem yang Tuhan ciptakan. Binatang-binatang dari setiap bagian ini, dalam penciptaan diatur Allah berada di bawah kuasa manusia, tapi sekarang mereka diberikan kuasa atas manusia. Sekali lagi, ini pembalikan aturan penciptaan; ada penarikan kuasa ciptaan di sini. Kenapa Allah menghantam Mesir dan Firaun dengan Sepuluh Tulah? Karena Firaun adalah tokoh anti-penciptaan, maka menghajarnya tepat sekali dengan tulah, yang pada dasarnya kuasa alam ciptaan, atau lebih tepatnya, kuasa yang menarik keteraturan alam ciptaan.
Ada satu hal lagi yang menarik dalam cerita Sepuluh Tulah. Dalam tulah pertama dan kedua, dan juga mujizat yang sebelumnya terjadi (tongkat Harun jadi ular), Firaun memanggil para ahli sihir Mesir, dan ternyata mereka bisa melakukan hal yang sama, me-replikasi apa yang Tuhan lakukan. Pertama, tongkat Harun menjadi ular, maka ahli-ahli sihir Mesir bikin tongkat mereka jadi ular juga, meskipun ular mereka dimakan oleh ularnya Harun. Lalu waktu Sungai Nil menjadi darah, mereka juga bisa membuat Sungai Nil tambah menjadi darah. Waktu katak-katak keluar dari sungai Nil merubungi Tanah Mesir, dikatakan bahwa mereka juga bisa membuat hal yang sama. Banyak orang Kristen waktu membaca ini, ada kecenderungan mau skip bagian tersebut, jadi jarang dibahas, karena apa? Karena kita bingung kenapa bagian ini dicatat, kesannya seperti Alkitab mengakui ada kuasa lain di luar kuasa Tuhan, seakan-akan kuasa Tuhan ada tandingannya, sehingga akhirnya kita skip saja bagian ini karena tidak tahu harus diapakan. Tapi kalau Saudara membacanya dengan tepat, bagian ini punya poin yang sangat signifikan, yaitu dua hal.
Pertama, dari keseluruhan 10 tulah, yang bisa diulang oleh para ahli sihir Mesir hanya urusan tulah ke-1 dan ke-2, plus tongkat Harun, lalu begitu terjadi tulah ke-3 (tulah nyamuk) mereka sudah tidak sanggup lagi, maka mereka mengatakan, “Ini sungguh adalah tangan Tuhan”. Kenapa tulah 1 dan 2, dan juga urusan tongkat Harun, mereka bisa bikin yang sama tapi setelah itu tidak bisa lagi? Ada poinnya. Dalam hal tongkat jadi ular, ular adalah simbol kuasa dalam Mesir (itu sebabnya hiasan kepala Firaun di depannya ada ukiran berbentuk ular). Tulah ke-1 berurusan dengan Sungai Nil –dan Sungai Nil ini dilihat sebagai sumber kuasanya orang Mesir; lalu tulah ke-2 adalah katak dari Sungai Nil, jadi pada dasarnya masih termasuk area kekuasaan mereka. Dengan demikian begitu tulah ke-3 mulai merambah keluar dari Sungai Nil, yaitu ke debu tanah, dan juga tulah-tulah berikutnya (udara, belalang, penyakit hewan, penyakit manusia, kegelapan, halilintar dari langit, badai salju, dsb.), mereka tidak sanggup lagi karena semua itu di luar area kuasa mereka. Jadi, poin pertama yang Saudara lihat dari penggambaran Alkitab, yaitu Alkitab dalam arti tertentu mengakui mereka punya kuasa, tapi pada saat yang sama kuasa mereka dihadirkan sebagai kuasa yang amat sangat kecil, amat sangat lokal, dibandingkan kuasa Allah yang amat sangat bersifat total.
Poin yang kedua –yang lebih penting– yaitu ahli-ahli sihir Mesir membuat tulah yang sama. Ketika Sungai Nil menjadi darah maka mereka bikin air-air Sungai Nil bagian yang lain jadi darah juga, waktu Tuhan membuat katak-katak Sungai Nil migrasi ke darat maka mereka juga membuat hal yang sama. Mereka membuat tulah yang sama, bukan meredakan tulah dari Tuhan. Ini sebenarnya dodol banget, karena ini berarti mereka sudah dapat bencana, lalu kuasa mereka malah bikin bencananya tambah parah! Bayangkan misalnya bencana tsunami Aceh, lalu ada orang datang, katanya berkuasa, tapi berkuasanya adalah mendatangkan tsunami lagi, itu ‘kan konyol, pamer kuasa tapi tidak benar-benar membantu. Ini menunjukkan bahwa memang mereka punya kuasa, tapi kuasa mereka adalah kuasa yang menghancurkan, kuasa yang merusak, kuasa yang tidak bisa membangun, kuasa yang tidak bisa membawa keteraturan. Itu sebabnya dalam setiap tulah, Tuhanlah yang dikatakan menghentikan tulah-tulah tersebut, baik yang dikirim oleh Tuhan, ataupun yang gara-gara tambahan dari ahli-ahli sihir Mesir. Ahli-ahli sihir itu hanya bisa menambah bencana tapi tidak bisa meredakan bencana. Jadi, Saudara melihat bahwa kuasa ahli-ahli sihir ini seperti diakui, tapi hanya untuk kemudian dibongkar dan dipermalukan, bahwa mereka hanya bisa membawa kerusakan, menghancurkan keteraturan; sebaliknya diperlihatkan hanya Tuhanlah yang sanggup membawa kembali keteraturan ke dalam alam ciptaan. Dengan demikian Saudara tahu bahwa kuasa untuk merusak sebenar-benarnya bukanlah kuasa. Ini membuat kita berpikir ulang, apa sebenarnya kuasa yang sejati. Hanya Tuhan yang bisa membawa order ke dalam chaos; ahli-ahl sihir bisa ikut-ikutan, tapi ikut-ikutannya hanya membawa chaos ke dalam order, mereka tidak bisa membawa order ke dalam chaos. Ini gambaran yang sangat penting, kita tidak boleh skip bagian ini.
Kembali ke poin awal kita, Allah tidak hanya cuma pencipta, Dia juga adalah Allah yang pemelihara, karena tanpa Dia menopang dunia ini dengan kuasa penciptaan-Nya terus-menerus, begitu Dia tarik kuasa ini, maka dunia akan kembali runtuh ke dalam kekacauan. Ini satu poin yang sangat penting, gambaran Alkitab mengenai diri Allah kita. Allah kita bukan cuma creator, Dia adalah juga provider, sustainer; dan keduanya ini sangat erat berkaitan dan sama pentingnya.
Yang kedua, signifikansi dan implikasi “Allah sebagai pemelihara” bagi hidup kita.
Kita sudah belajar bahwa Allah kita pemelihara, lalu apa implikasinya bagi hidup kita? Seperti sudah kita bicarakan dalam khotbah yang lalu, doktrinal harusnya bersifat devosional. Kalau Saudara pikir belajar doktrin membuat Saudara jadi semakin mengerti secara kognitif, semakin rasional, tapi semakin tidak ada cinta pada Tuhan, maka itu bukan doktrin yang sejati. Waktu Saudara mempelajari doktrin, seharusnya itu berujung pada devosi, Saudara semakin mengenal diri Tuhan, Saudara semakin mencintai Tuhan yang seperti ini, Saudara semakin mengerti bagaimana hidup di hadapan Tuhan yang seperti ini. Itulah tujuannya kita mengenal seseorang, itulah tujuannya kita tahu banyak mengenai dia ‘kan. Jadi, apa implikasi dari “Allah bukan hanya sebagai pencipta tapi juga pemelihara”?
Implikasinya banyak, tapi hari ini kita akan bahas satu saja, yaitu: kalau Dia adalah Allah pemelihara dan bukan hanya pencipta, ini harusnya menegur dan membuat kita sadar, bahwa selama ini kita cenderung hanya melihat Dia dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat kreasional, yang bersifat kreatif, yang sesekali, yang spektakuler —seperti penciptaan— sebaliknya, kita sering kali gagal melihat pekerjaan Tuhan dalam hal-hal yang bersifat perawatan/pemeliharaan (maintenance), yang bersifat jangka panjang (long term), yang bersifat tersembunyi (hidden). Kita sering kali pikir Tuhan baru campur tangan kalau pekerjaannya itu kelihatan spektakuler, ajaib, sedangkan pekerjaan yang normal/biasa, yang berjalan rutin, yang ciptaan ini terus ada, kita anggap itu hukum alam, natural/alamiah, bukan tangan Tuhan –jadi Tuhan bekerjanya sesekali saja. Inilah penyakit orang Kristen; dan kita perlu bereskan.
Hal ini akan lebih jelas kalau kita ingat diskusi kita mengenai mukjizat. Apa itu mukjizat? Tentu ada banyak variasi pengertian dalam hal mukjizat, tapi salah satu pengertian yang paling umum salah kaprah dalam Kekristenan hari ini adalah: orang melihat mukjizat sebagai sesuatu yang terjadi ketika Allah melanggar hukum alam. Saudara, ini pengertian yang problematik sekali menurut kacamata Alkitab, sama sekali tidak alkitabiah, karena Alkitab berkali-kali menggambarkan Allah bukan hanya di balik dalam kejadian-kejadian yang bersifat ajaib, tapi juga dalam hal-hal yang rutin dan biasa, yang sehari-hari itu, yang penopangan itu. Mazmur 104 adalah mazmur pujian, mazmur yang mengajak orang Israel untuk memuji Tuhan, tapi lihat, mazmur ini mengajak Israel memuji Tuhan karena apa? Bukan karena Dia telah membawa Israel keluar dari Mesir, bukan karena Dia telah menurunkan tanda-tanda ajaib, bukan karena Dia menyertai Israel di padang gurun dengan tiang awan dan tiang api, bukan semua itu. Mazmur 104 mengajak Israel memuji Tuhan, karena Dia adalah Allah yang kerjanya menurunkan hujan, yang kerjanya memberi makan binatang di padang –yang kalau Saudara cek National Geographic kayaknya binatang-binatang itu cari makan sendiri sih; itu semua oleh Mazmur 104 di-atributkan kepada Tuhan, Allah yang menopang segala yang ada dengan firman-Nya. Itulah konsep Alkitab. Alkitab tidak pernah melihat mukjizat atau pekerjaan Tuhan baru terjadi ketika Tuhan melanggar hukum alam; sebaliknya, justru Alkitab memperlihatkan bahwa yang namanya hukum alam, itu adalah pekerjaan pekerjaan Tuhan!
Dengan pengertian ini, dalam Teologi Reformed yang disebut mukjizat tidak pernah merupakan pelanggaran hukum alam, karena jika demikian jadinya Allah melanggar hukum-Nya sendiri, dan itu tidak mungkin. Kita tidak percaya bahwa Allah membuat alam semesta seperti jam yang diputar kemudian dibiarkan jalan sendiri, lalu sewaktu-waktu Tuhan matikan dulu karena Dia mau kerja secara khusus dan langsung, dsb. Hal yang kita sebut “hukum alam”, itu adalah kuasa Tuhan, yang Dia kerjakan sehari-hari, yang Dia kerjakan terus-menerus, yang Dia kerjakan dengan sangat setianya sampai-sampai kita pikir itu jalan sendiri –saking Tuhan setia, saking Tuhan rutin memberikan kuasa-Nya.
Kembali ke pembahasan kita mengenai apa itu mukjizat. Mukjizat tidak pernah melanggar hukum alam, karena Alkitab mengatakan bahwa yang kita sebut hukum alam, sebenarnya adalah Allah yang menopang ciptaan-Nya terus-menerus dengan setia. Dan, ini berarti istilah “campur tangan Tuhan” tidak tepat. Saya harap Saudara berhenti menggunakan kaliimat-kalimat “Tuhan campur tangan” dalam doa-doamu ataupun perkataan-perkataanmu, karena Allahmu tidak campur tangan seakan-akan sebelumnya Dia tidak mencampur tangan-Nya. Allah kita adalah Allah yang tangan-Nya selalu bercampur dengan dunia ini, Allah yang tangan-Nya selalu ada di dalam dunia dan menopang ciptaan-Nya. Saudara mungkin mengatakan, “Kalau begitu, jadi apa artinya mukjizat? Tadi Bapak katakan hukum alam adalah pekerjaan Tuhan, oke, setuju, tapi mukjizat ‘kan kelihatan beda dari pekerjaan Tuhan yang rutin itu, jadi bagaimana kita mengerti apa itu mukjizat??” Berdasarkan pengertian Alkitab, Saudara bisa menyimpulkan bahwa yang namanya mukjizat, hanyalah berarti pekerjaan Tuhan –sama seperti hukum alam– tapi menggunakan cara yang tidak umum. Itu saja. Yang kita sebut dengan hukum alam/alamiah/natural adalah pekerjaan Tuhan mendatangkan berkat bagi ciptaan-Nya lewat cara yang umum; yang kita sebut dengan mujizat adalah sama juga, pekerjaan Tuhan yang sama, lewat kuasa Tuhan yang sama, memberikan berkat-berkat yang sama juga, hanya saja lewat cara-cara yang tidak umum, lewat cara-cara yang Dia lebih jarang gunakan.
Kita coba pikirkan, misalnya mukjizat yang pertama, Tuhan Yesus mengubah air menjadi anggur. Saudara pikir air jadi anggur itu mukjizat, luar biasa, melanggar hukum alam. Tunggu dulu. Coba pikirkan, anggur (wine) selama ini secara normal asalnya dari mana? Kalau dipikir-pikir, ya, dari air. Tanaman anggur, lewat proses pengolahan anggur, lalu menjadi wine, artinya ada tangan orang –yang adalah gambar dan rupa Allah– yang mengolah anggur sehingga bisa mendatangkan wine; tapi ujungnya, ya tanaman anggur memang perlu air ‘kan. Dengan demikian, dalam arti tertentu tanaman anggur biasa, akan mengubah air menjadi anggur (wine); tanpa air, anggur tidak akan menghasilkan anggur (wine). Sadarkan Saudara akan hal ini? Jadi waktu Yesus mengubah air jadi anggur, tentu saja ini mukjizat, tentu saja ini ajaib, tapi ajaibnya bukan karena anggur yang biasanya itu bukan pekerjaan Tuhan –anggur yang biasanya pun adalah pekerjaan Tuhan– tetapi dalam pesta perkawinan di Kana itu Allah mendatangkan anggur lewat cara yang tidak umum. Namun demikian, ini berkat yang sama, ini kuasa yang sama, ini pekerjaan dari Tuhan yang sama juga. Jadi, mukjizat adalah cara Tuhan bekerja lewat cara yang tidak umum; sedangkan yang alamiah/natural adalah cara Tuhan bekerja juga tapi pakai cara yang lebih umum. Itu saja. Bisa dibilang, sebenarnya yang natural dan alamiah pun tidak kalah ajaib.
Sampai di sini saya harap Saudara bisa mulai mengerti kenapa di satu sisi Teologi Reformed percaya mukjizat. Ada gereja-gereja yang hari ini sering kali mengutamakan mukjizat. Teologi Reformed bukan sebaliknya membuang mukjizat, menentang mukjiat, dan tidak percaya mukjizat sama sekali; tetapi, walau kita percaya dan mengakui mukjizat, Teologi Reformed tidak akan pernah menempatkan mukjizat sebagai sesuatu yang penting-penting banget. Ini bedanya.
Itu sebabnya mukjizat dalam Alkitab sendiri, salah satu istilahnya dalam Perjanjian Baru adalah semeion (tanda). Saudara tentu tahu, tanda itu penting, perlu ada dalam hidup kita, tapi pentingnya suatu tanda tidak pernah lebih penting dari apa yang dirujuk tanda tersebut. Benar bahwa tanda penting, tetapi kepentingan dan fungsi tanda ini selalu merujuk/mengacu pada sesuatu yang lebih penting, karena kalau tidak, namanya bukan tanda. Tanda selalu mengacu kepada sesuatu yang lebih tinggi, lebih berharga, lebih bermakna. Peta London bukanlah London; peta London mengacu kepada kota London, yang lebih penting daripada petanya. Adalah sangat bodoh kalau Saudara memperlakukan peta London seperti kota London, lalu Saudara taruh petanya di lantai, Saudara berdiri di atasnya, dan mengatakan, “Saya di London!” Misalnya juga gambar cowok atau cewek di pintu WC (atau di gereja kita tulisan “Adam” dan “Hawa”), itu adalah tanda; dan itu penting, kalau tidak ada maka kita bisa salah masuk. Tapi tanda itu tidak pernah lebih penting daripada pispot dan kakus ‘kan. Bahaya sekali kalau Saudara sebegitu mementingkan tanda “Adam” dan “Hawa”, sampai-sampai Saudara kencing di tanda “Adam” dan “Hawa”. Konyol. Bodoh sekali. Jadi, mujizat itu penting, tapi mujizat itu tanda (sign) bagi sesuatu yang lebih penting daripada tanda tersebut, yaitu apa? Kalau Saudara lihat dalam hidup Yesus, setiap kali Dia membuat mukjizat, mukjizat ini selalu menunjuk pada kehadiran Kerajaan Allah melalui diri Yesus. Itu yang lebih penting. Tapi celaka orang-orang yang terlalu fokus dengan tandanya, sehingga melupakan yang ditunjuknya. Dalam hal ini Teologi Reformed harusnya punya kekuatan untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, karena kita menyadari Allah bukan cuma pencipta, Dia adalah pemelihara, dan itu berarti mukijzat penting tapi tidak pernah yang terpenting. Mukjizat hanyalah cara Tuhan bekerja secara tidak umum. Itu saja. Sedangkan berkat-berkat yang Saudara terima melalui mukjizat adalah berkat-berkat yang Tuhan sudah berikan lewat cara-cara yang lain. Sederhana saja.
Sekali lagi, ada satu ilustrasi yang saya sudah pernah sampaikan. Sekarang anak saya lagi dalam usia-usia main “cilukba”, jadi saya mulai main cilukba dengan mereka dan mereka ngerti, beda dengan waktu baru lahir, karena sekarang mereka sudah bisa mengenali wajah, mengenali orang. Jadi, saya tutup wajah di balik tembok, lalu, “Ciluk…ba…!”, setiap kali saya tutup, “Ciluk…”, mereka bungung, mana papa?? Lalu begitu saya, “Ba…!” mereka tertawa. Itulah anak-anak. Kenapa anak-anak dilatih seperti ini? Di sini anak-anak sedang dilatih satu hal, dibiasakan untuk tahu bahwa ketika dia tidak bisa lihat papanya, tidak berarti papanya tidak ada. Dia perlu belajar ini. Anak kecil, begitu papanya hilang dari pandangannya, dia pikir papanya hilang, tidak eksis, lalu begitu muncul, baru papanya ada. Tapi Saudara lihat, salah satu ciri khas kedewasaan seseorang adalah dia mulai mengenali kehadiran seseorang tanpa harus melihat. Jadi misalnya anak pergi kuliah ke luar negeri, dia peka akan kehadiran orangtuanya meskipun dia di luar negeri; dia peka bahwa mama dan papanya menyertai dia, meskipun mereka tidak bertemu secara langsung. Kenapa demikian? Karena ini anak yang sudah dewasa, orang dewasa. Demikian juga sama dengan kerohanian kita; salah satu indikator kedewasaan rohani seseorang adalah seberapa dia peka akan kehadiran Allah dalam hidupnya. Sama seperti seorang anak belajar untuk menyadari kehadiran mamanya bukan hanya dari mukanya tapi juga dari cara-cara yang lain, demikian juga dalam hal kerohanian kita harus dilatih untuk peka akan pekerjaan Tuhan, bukan hanya ketika Dia kelihatan “campur tangan”, ketika ada mukjizat, ketika melihat Tuhan bekerja lewat cara-cara yang sekali-sekali, spektakuler, ajaib –bukan cuma hal-hal itu– tetapi juga peka akan kehadiran Tuhan lewat hal-hal yang biasa, hal-hal yang long term, hal-hal yang rutin, hal-hal yang bukan cuma kreasional tapi juga providensial. Itulah namanya kedewasaan rohani.
Kalau Saudara menyadari hal ini, maka ini jadi satu hal yang menegur dan sekaligus menghibur. Menegur, karena ketika Saudara merasa ‘aduh, hidupku ini kayaknya kurang berkat Tuhan’, ‘aduh, kenapa saya tinggal di kota Jakarta yang polusinya seperti ini, sakit leher’, dsb., dsb. –kurang berkat– maka tegurannya adalah untuk Saudara menyadari bahwa problem manusia di Alkitab tidak pernah “kurang berkat”. Allah sendiri mengatakan, “Kasih karunia-Ku cukup bagimu.” Lalu apa problem kita? Problem kita adalah: kita sudah terlalu sering dan kebanyakan diberi berkat, sudah terlalu rutin diberi berkat, sehingga berkat itu tidak lagi kita lihat sebagai berkat. Itulah problemnya. Israel diberi manna, roti, yang akhirnya sudah terlalu biasa, terlalu rutin, lalu mereka akhirnya ngomel, mereka maunya yang spektakuler, mereka maunya burung puyuh. “Aduuuhh.. ini manna lagi, manna lagi; pagi ini manna, besok manna, minggu depan manna, tahun depan manna. Tuhan! Mau muntah gua lihat manna! Kalau besok Lu masih beri gua manna, makasih deh, Tuhan. Saya maunya yang lain, Tuhan; saya maunya daging, burung puyuh!” Lalu ketika burung puyuh datang, “Nah, ini berkat Tuhan!” Padahal yang Saudara baca di Alkitab terbalik, burung puyuh itu kutuk, manna itu berkat. Saudara lihat, apa yang terjadi di sini?
Kita ini senantiasa seperti seorang suami yang pulang rumah, melihat jam dinding di rumahnya, lalu bilang, “Wah! Luar biasa jam dinding ini; istriku, lihatlah jam dinding ini, kita beli waktu menikah ‘kan, sekarang kita sudah 20 tahun menikah, sebentar lagi tahun perak, dan jam dinding ini tidak pernah mati. Luar biasa!” Lalu si suami diketok oleh istrinya, plaaakk, “Lu saja yang ‘gak pernah lihat gua ganti baterainya!” Saudara, inilah pekerjaan Tuhan, sesuatu yang tidak kelihatan, sesuatu yang begitu rutin, sesuatu yang begitu biasa, sesuatu yang dikerjakan dengan amat sangat setia sampai-sampai kita tidak lagi peka akan berkat yang datang lewat cara-cara seperti itu. Itulah orang yang tidak dewasa rohani. Dan, itulah sebabnya hidup kita tidak penuh dengan sukacita. Luther mengatakan, “Tuhan itu senantiasa memberikan kepadaku miracle demi miracle. Susu yang kuminum pagi ini, adalah miracle, susu yang diberikan Tuhan melalui tangan gadis pemerah susu.” Kita sering kali gagal menyadari hal-hal yang sudah terlalu sering diberi Tuhan sebagai berkat; itulah problemnya manusia. Manusia tidak pernah kekurangan berkat. Problemnya adalah kita gagal untuk menyadari hal yang adalah berkat, sebagai berkat; dan biasanya kita baru menyadari itu sebagai berkat, kalau sudah hilang.
Mukijizat adalah tanda, itu menunjuk kepada Allah, itu harusnya membuat kita lebih sadar mengenai Allah kita. Tapi ketika kita malah terobsesi dengan mukjizat, pada akhirnya mukjizat justru membuat kita buta terhadap karya Allah yang sehari-hari. Problem tersebut bukan cuma problem gereja lain; ini adalah kecenderungan hati manusia, Saudara dan saya. Kita tidak gembar-gembor soal mukjizat, kita tidak mengatakan ‘Pendeta A atau Pendeta B tidak ada Roh Kudus karena mereka tidak ada mukjizat’, tapi kita selalu mau yang luar biasa! Kita selalu mau yang instan, kita selalu mau yang spesial, kita selalu mau khotbah yang mendarat, kita selalu mau yang lebih gampang kelihatan, karena itu yang lebih riil bagi kita! Dan, apa yang terjadi ketika kita melakukan itu? Yang terjadi adalah: kita sedang memutlakkan perspektif manusia yang terbatas ini!
Saudara, pekerjaan Tuhan itu hadir ketika apa? Misalkan ada anak kecil ikut KKR Regional, dari kecil sudah bisa khotbah, lalu bisa membuat siswa-siswa yang lebih besar dari dia semuanya angkat tangan waktu calling, itu pasti menarik, kalau ada videonya bakal viral disebar orang, karena itu spektakuler! Tapi kalau orang sudah bertahun-tahun belajar bagaimana cara berkhotbah, dan hasil khotbahnya normal-normal saja, ya, tidak ada yang peduli, tidak ada yang melihat itu sebagai berkat dari Tuhan. Sedihnya, ini bukan problem orang-orang gereja lain saja, kita tidak lebih baik, kita punya iman yang kekanak-kanakan; kita adalah orang-orang Kristen yang sering kali waktu kita tidak bisa lihat muka mama, kita pikir tidak ada mama. Kita meng-absolutkan perspektif manusia yang terbatas. Itu sebabnya Saudara lihat kenapa doktrinal itu devosional, kenapa mengenal Allah akan punya impact yang besar dalam kehidupan kita, yaitu karena mengenal Allah, yang adalah pemelihara, berarti kita mulai menjadi manusia yang sanggup dan rela melihat apa yang tidak kelihatan.
Saudara, Alkitab memberitahu kita, bahwa Allah bahkan sering kali bekerja bukan melalui cara-cara yang kita anggap biasa-biasa dan rutin tapi melalui cara-cara yang kita anggap salah. Gideon membawa jumlah tentara yang salah. Daud bawa senjata yang salah dalam menghadapi Goliat. Musa adalah orang yang salah untuk menghadap Firaun, wong dia buronnya Firaun. Dan tentu saja Saudara tahu satu hal, Yesus Kristus, orang katakan “tidak ada nabi dari Galilea”, tapi Dialah yang Tuhan pakai untuk mendatangkan keselamatan. Waktu Dia di atas kayu salib, murid-murid-Nya melarikan diri karena mereka tidak pernah terpikir sama sekali bahwa Allah bisa bekerja melalui hal yang tidak kelihatan ini; mereka tidak bisa melihatnya, maka bagi mereka itu tidak ada. Kenapa Allah sering kali memilih untuk bekerja seperti ini? Karena dunia dan kita selalu terfokus pada apa yang kelihatan; itu sebabnya Tuhan sering kali memilih untuk bekerja lewat hal-hal yang tidak kelihatan, karena dalam hal-hal seperti inilah Dia justru lebih dinyatakan.
Saudara, ini sebabnya pengertian “Allah sebagai pemelihara” sangat penting, karena ini membuat kita menyadari Dia senantiasa bekerja, bukan cuma ketika kita melihat Dia, tapi khususnya setiap kali kita tidak melihat Dia, dan bahkan di kala kita melihat pekerjaan dan langkah-Nya sebagai langkah yang salah. Itu pun Tuhan sedang bekerja. Ini di satu sisi, menegur; di sisi lain, ini begitu menghibur.
Saudara mau tahu kenapa hidupmu kurang sukacita; apa yang harus engkau lakukan dalam hal seperti itu? Waktu engkau tidak terlalu ada niat doa, waktu engkau tidak terlalu ada iman dalam penderitaan, apa yang Saudara minta? Apakah Saudara meminta Tuhan untuk bekerja?? Jangan. Karena problemnya mungkin bukan Tuhan, bukan bahwa Tuhan tidak bekerja, tapi bahwa kita tidak siap dan tidak mau dan tidak sudi melihat Dia bekerja. Hal praktisnya, pada kali berikutnya kita mengalami yang seperti ini, mari kita minta bukan supaya Dia bekerja, tapi untuk kita bisa mulai membaca, melihat, mengagumi pekerjaan-Nya, di dalam hal-hal yang tidak kelihatan dalam hidup kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading