Hari ini kita akan khotbah doktrinal. Sesekali kita memang perlu melakukan khotbah seperti ini, di mana kita me-refresh pengertian kita mengenai hal-hal tertentu dalam Kekristenan; dan hari ini kita mau me-refresh mengenai doktrin “Allah sebagai Pencipta” (doktrin “Allah” paling tidak ada 4 topik: Allah Tritunggal, Kedaulatan Allah, Allah Pencipta, dan Allah Pemelihara). Dalam hal ini Saudara jangan takut dengan istilah “doktrin”, karena bagi saya –dan sejak semula juga– doktrin sebenarnya adalah hasil dari devosi, hasil dari orang yang merenungkan akan Tuhan dan ingin mengenal Tuhannya dengan lebih baik. Doktrin yang sejati tidak akan berakhir dengan pengetahuan belaka harusnya, melainkan membakar hati seseorang untuk mencintai Tuhannya lebih lagi, karena dengan kita mengenal barulah kita bisa saya, tidak kenal tidak sayang.
Wahyu 4:11, “Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.”
Saudara-saudara, mengenal Allah sebagai pencipta, maksudnya bukan mau membicarakan mengenai penciptaannya sendiri, meskipun nanti kita bisa bahas sedikit (kalau Saudara tertarik dengan urusan penciptaan dan apa sebenarnya yang kitab Kejadian bicarakan mengenai hal itu, Saudara bisa melihat ringkot di website kita mengenai bagaimana membaca kitab Kejadian, bagaimana membaca kisah penciptaan); yang hari ini kita mau lakukan bukan membicarakan penciptaannya sendiri, tapi kita mau tarik 3 hal, mengenai apa maknanya kita mengenal Allah kita sebagai Allah Pencipta.
Yang pertama, mengatakan Allah sebagai pencipta, berarti mengatakan bahwa Allah bukanlah ciptaan, bahwa Allah melampaui ciptaan, bahwa Allah mendahului ciptaan, bahwa Allah adalah dasar dan akhir/tujuan bagi ciptaan.
Saudara mungkin berpikir, ‘ya, namanya Allah, pasti pencipta; memangnya siapa yang mikir Allah itu bukan pencipta, bahwa Allah diciptakan??’ Tapi sebenarnya ada yang berpikir seperti itu, dan kita perlu mempelajari hal tersebut. Seorang filsuf Jerman abad 19, Ludwig Feuerbach, orang yang bergerak dalam bidang kritik religius/agama, dikenal sebagai seorang yang mengeluarkan “projection theory”. Dia mengatakan, pada dasarnya bukan Tuhan yang mencipta manusia, tapi manusialah yang mencipta Tuhan; bukan Tuhan yang mencipta manusia menurut gambar dan rupa Tuhan, tapi manusialah yang menciptakan konsep keilahian menurut gambar dan rupa manusia. Misalnya manusia ingin bijaksana, maka manusia memproyeksikan tokoh yang luar biasa bijaksana, yang paling bijaksana, dan itulah tuhan, figur ilahi. Misalnya manusia ingin kuasa, maka proyeksi tokoh yang paling berkuasa secara ultimat itulah figur ilahi. Misalnya manusia ingin dikasihi, maka manusia menciptakan satu konsep ‘ada allah di atas sana yang mengasihi saya secara luar biasa’. Itulah kira-kira konsepnya Feuerbach. Dengan demikian bagi Feuerbach, kalau Saudara mempelajari konsep “tuhan” seseorang, sebenarnya Saudara sedang mempelajari orangnya, keinginan-keinginan hatinya yang terdalam yang diproyeksikan keluar menjadi figur “tuhan” tersebut, karena orang tersebutlah yang menginginkan/butuh.
Kalau kita pakai ilustrasi lain, menurut Feuerbach dalam arti tertentu keagamaan tidak terlalu beda dengan pacaran –ini tentunya bukan dari Feuerbach tapi ilustrasi saya. Misaalnya Saudara punya teman, dan teman Saudara itu punya pacar, lalu dia putus dengan pacarnya, ganti pacar lain, putus lagi, ganti lagi, dst., katakanlah dia jadi pernah berhubungan denngan 5 orang pacar. Di sini Saudara sebagai temannya, mulai menyadari bahwa teman ini punya tipe-tipe tertentu urusan pacar, 5 orang bekas pacarnya itu ada miripnya satu dengan yang lain; “O, dulu lu mau si A karena itu ya, buktinya si B, si C, si D, si E, juga ada sifat yang sama” –ada sesuatu yang saya lihat di dalam diri pacar tersebut, yang membuat saya mengenal siapa teman saya. Itulah proyeksi. Dan, ini bukan suatu hal yang muluk-muluk, karena semua dari kita melakukan hal ini. Saudara bisa mengenal siapa seseorang, saya bisa mengenal siapa engkau, engkau bisa mengenal siapa saya, antara lain lewat apa yang kita pilih jadi hobi kita, orang macam apa yang kita cari jadi pasangan kita, TV series apa yang kita suka, makanan apa yang kita berselera, dan seterusnya. Ini adalah hal-hal yang merupakan proyeksi dari diri kita, apa yang kita inginkan, apa yang kita hasrati; dan mengenal semua ini, akhirnya membuat orang mengenal kita. Dalam arti tertentu, bagi Feuerbach, diri Allah hanyalah salah satu lagi dari proyeksi seperti ini.
Saudara, banyak orang Kristen mendengar hal ini marah terhadap Feuerbach; dan mungkin Saudara mendengar ini juga langsung mengatakan, “Tapi itu ‘kan bohong, Pak; kita ‘gak percaya itu ‘kan,ya”. Namun kita bisa coba lebih simpatik dulu terhadap Feuerbach, kita jangan cepat-cepat mengatakan teori dia tidak masuk akal, dsb. Tentu saja kita tidak setuju dengan kesimpulan akhir Feuerbach, yang jadinya berarti “tidak ada Allah, Allah cuma bentukan hasil manusia”; tetapi walaupun kita menolak kesimpulan akhir tersebut, tidak berarti kita harus menolak analisa dari Feuerbach. Yaitu apa? Untuk mengungkapkan ini dengan lebih jelas, saya ingat dulu ada satu serial TV di Amerika, namanya “American Gods”, yang menarik premis-nya. Serial TV ini mengisahkan drama pertempuran, konflik, ketegangan, antara dewa-dewi zaman dulu versus dewa-dewi zaman sekarang, old gods versus new gods. Dewa-dewi yang lama tentu saja tokoh-tokoh yang mungkin Saudara tahu namanya, seperti, Odin, Zeus –dewa-dewa jadul– yang di zaman modern ceritanya masih eksis, tapi sudah sangat berkurang kuasanya, karena penyembah-penyembahnya sudah sisa sedikit, dan gantinya mereka adalah the new gods, ilah-ilah zaman sekarang. Siapa ilah-ilah zaman baru ini? Yaitu seks, media, teknologi. Menarik ya. Kalau kita menyadari hal ini, memang tepat juga, memang benar itulah dewa-dewi zaman sekarang. Dengan demikian Saudara bisa menyadari bahwa manusia memang sering kali menyembah sesuatu yang adalah buah pikirannya, menyembah sesuatu yang adalah bentukan tangannya sendiri. Dalam arti tertentu, berarti Feuerbach benar, karena apa yang Feuerbach lihat bukanlah baru muncul di abad 19, ini adalah sesuatu–yang Feuerbach lihat– yang sebenarnya Alkitab sudah katakan dari awal, bahwa manusia senantiasa membuat dan menyembah berhala-berhala buatan tangan mereka sendiri.
Saudara ingat, dalam Sepuluh Perintah Allah bukan cuma ada perintah pertama, tapi ada juga perintah kedua –dan tentu saja perintah-perintah yang lain. Perintah pertama yaitu “Jangan ada allah lain di hadapan-Ku”, perintah untuk tidak menyembah allah selain Allah Yahweh. Tapi perhatikan perintah kedua, itu bukan urusan menyembah Allah Yahweh atau menyembah alah-allah lain; Saudara bisa melanggar perintah kedua walaupun Saudara sedang menyembah Allah Yahweh, yaitu dengan cara apa? Dengan Saudara mengunci Allah Yahweh, mengotakkan Allah Yahweh, dalam bentuk sebuah patung atau sebuah gambar apapun yang menyerupai apapun di atas bumi atau di atas langit atau di bawah bumi. Maksudnya, Saudara bisa secara “nama” menyembah Allah Alkitab, menyembah Allah Yahweh, tapi sesungguhnya Saudara sedang menyembah allah bikinan tanganmu sendiri. Misalnya, Saudara orang yang butuh kasih sayang, maka kemudian dalam bayanganmu, image yang Saudara bikin mengenai diri Allah adalah Allah yang sangat mengasihi, tapi akhirnya kurang dalam hal keadilan atau kekudusan; atau misalnya Saudara adalah orang yang sering dirundung perasaan bersalah, maka Saudara membayangkan diri Allah adalah Allah yang seperti polisi. Calvin memang mengatakan “hati manusia itu pabrik berhala”, koq, jadi kalau Saudara menyadari hal ini, berarti premis dasar pemikiran Feuerbach sebenarnya tidak sebegitu bertentangannya dengan Alkitab, bahwa memang manusia senantiasa menyembah apa yang jadi bikinan tangannya sendiri, sehingga dalam arti tertentu, Feuerbach benar ketika diaplikasikan kepada ilah-ilah yang manusia sembah.
Tapi di sinilah menariknya teori Feuerbach ini, yaitu bahwa teori ini pada dasarnya membuat kita menyadari kenapa kita menyembah Allah Alkitab, kenapa kita percaya Allah Alkitab bukan buatan tangan kita dan bukan hasil pikiran kita, kenapa kita percaya Allah Alkitab adalah Allah yang sejati, Allah yang adalah pencipta dan bukan diciptakan. Tahukah Saudara, kenapa? Karena pada dasarnya Allah yang Saudara temukan di dalam Alkitab, adalah Allah yang manusia tidak inginkan dan tidak cari. Sadarkah Saudara akan hal itu? Seorang dosen Westminster yang pernah datang mengajar kami ketika dulu di STT, merespons pemikiran Feuerbach dengan mengatakan beberapa kalimat sarkastis, dan kalimatnya sangat baik untuk membuat kita menyadari hal itu. Dia mengatakan, “O, jadi manusia menciptakan allah yang dia kepingin, ya, kata Feurbach; jadi manusia kepingin punya Allah yang tritunggal?? Yang tiga-satu, satu-tiga, ‘gak jelas dan ‘gak bisa dimengerti, itu manusia kepingin??” –ini kalimat sarkastis. Dia melanjutkan, “Lalu manusia kepingin kita memberontak di hadapan Allah ini, jatuh dalam dosa, dan saking berdosanya sampai bukan saja kita tidak sanggup menyelamatkan diri sendiri, tapi kita bahkan tidak sadar diri kita ini seberdosa apa; jadi manusia kepingin itu, ya??” “Dan, kita lalu kepingin Tuhan ini menyelamatkan kita karena anugerah, yang berarti dalam keselamatan tersebut kita tidak ada jasa sama sekali, tidak ada andil sama sekali, dan itu berarti kita tidak ada keren-kerennya sama sekali; manusia kepingin itu ya??” Saudara mengerti maksudnya dosen ini mengatakan kalimat-kalimat sarkastis seperti itu? Yaitu karena kalau kita mau bandingkan, berapa banyak sih cerita dalam hidup manusia yang seperti dia katakan itu.
Kalau Saudara melihat film-film dan cerita-cerita, biasanya tokoh utamanya mengalami sesuatu akibat kesalahan orang lain, ataupun kesalahan dia sendiri, lalu dia rusak, jatuh, atau mendapat perkara, tapi akhirnya dia berhasil bangkit dan selamat. Itu pola dasar hampir semua certa. Tapi perhatikan, selamatnya dia sering kali karena apa? Biasanya Saudara akan menemukan bahwa selamatnya adalah karena usaha si manusia itu sendiri. Itulah yang membuat kita senang dengan kisah-kisah seperti ini. Kalau pun dalam cerita tersebut ada figur “allah”-nya, biasanya figur allah tersebut hanya berupa semacam tokoh mentor yang pada dasarnya memberitahu “pintu mana yang harus dibuka”, sedangkan yang membuka tetap harus si tokoh utama sendiri. Seperti itulah film yang sukses, cerita yang menyenangkan. Banyak orang mau cerita yang seperti ini, di mana tokoh utamanya pernah jatuh, pernah rusak, tapi kemudian berhasil bangkit karena dia punya andil, karena dia berjuang, karena dia berkorban.
Lalu berapa banyak cerita, yang tokoh utamanya brengsek, bodoh, rusak karena ulah sendiri, suatu hari dia mau bunuh orang lalu kejar orang itu sampai di tebing, eh, malah dia sendiri yang jatuh saking bodohnya; dia sempat berpegangan pada tepi tebing, dan tangannya mulai slipping, lalu ketika orang yang mau dia bunuh itu melongok dari atas, dia masih saja memaki-maki dan ingin membunuhnya, tapi orang yang di atas itu mengulurkan tangannya, menarik si tokoh utama naik; sampai di atas, mungkin si tokoh utama minta maaf, tapi toh berikutnya kembali si tokoh utama ini berpikir untuk membunuh orang tersebut. Berapa banyak Saudara menemukan cerita kayak begini? Laku atau tidak sih cerita kayak begini dijual?? Tapi itulah cerita Alkitab. Allah yang menciptakan manusia sebegitu indahnya, sebegitu tingginya, debu tanah yang diangkat hampir sama seperti Allah, tapi manusia ini memberontak karena merasa tidak cukup; sudah memberontak pun, tidak tahu seberapa berdosa dirinya, tidak mampu menyelamatkan dirinya, dan sering kali menolak keselamatan yang Tuhan berikan kepadanya; ujungnya, yang manusia ini ingin lakukan adalah membunuh Allah-nya sendiri –dan sesungguhnya dalam cerita Alkitab, manusia berhasil. Hanya dengan cara itulah, Allah ternyata menyelamatkan manusia. Setelah manusia-manusia ini diselamatkan, apa yang terjadi? Mereka kadang bisa minta maaf, mereka kadang bisa minta ampun, tapi ujungnya, banyak dari mereka yang juga tetap tidak bersyukur, tetap melakukan hidup mereka seakan-akan hidup itu milik mereka sendiri. Bukankah ini “cerita Gereja” yang kita lihat? Saudara lihat, cerita seperti ini adalah cerita Alkitab, tapi apakah manusia menginginkan yang seperti ini??
Saudara, waktu kita bicara mengenai anugerah, jangan pernah pikir manusia menginginkan anugerah. Anugerah sesungguhnya bukan sesuatu yang fit dengan arah hati manusia berdosa. Setiap kali Saudara melihat anugerah yang begitu besar di Alkitab, semakin besar anugerahnya maka semakin juga Saudara lihat sisi gelapnya. Daud pernah mau bikin bait Allah bagi Tuhan, tapi ditolak oleh Tuhan. Saudara ingat alasannya kenapa? Kalau Saudara ingatnya “karena tangan Daud berdarah”, berarti Saudara masih pakai pola pemikiran duniawai, urusannya mengenai andilnya Daud –Daud tidak cukup baik atau Daud cukup baik– yang menyebabkan dia bisa melakukan ini dan itu, dsb. Tapi cerita aslinya tidak demikian. Dalam 2 Samuel 7, waktu Daud mengatakan, “Tuhan, aku mau membuat bagi-Mu rumah”, apa yang Tuhan katakan? Tuhan mengatakan, “Kamu, Daud, mau bikin rumah buat-Ku?? Kamu itu siapa?? Tahu tidak dirimu siapa? Kamu dulu digiring domba, sekarang kamu memimpin manusia, itu karena siapa?? Itu anugerah dari Aku; lalu kamu sekarang mau bikin buat Aku rumah, siapa kamu??” Daud dulunya gembala domba –dan gembala domba tidak menyetir domba tapi disetir domba, domba mau makan maka gembala ikut ke padang rumput, domba mau minum maka gembala ikut ke sungai– Daud dulunya digiring domba, tapi sekarang dia memimpin manusia; itu karya siapa? Tuhan mengatakan. “Kamu tidak bisa melakukan apa-apa buat-Ku, Daud; justru Aku mengerjakan sesuatu melalui kamu, barulah kamu bisa melakukan sesuatu. Jadi, Daud, kamu tidak akan membuatkan Aku rumah, Aku yang akan membuat rumah bagimu, the house of David”; dalam istilah Ibrani, ‘house’ bukan cuma berarti rumah tapi keturunan/dinasti, dan inilah yang Tuhan mau berikan bagi Daud. Ini cerita apa? Ini cerita anugerah. Saudara mau atau tidak dapat anugerah yang seperti ini? Tapi inilah anugerah, tidak enak. Anugerah, jangan Saudara pikir selalu balon-balon, happy, mawar-mawar, terang-terang, putih-putih. Tidak demikian. Ketika Saudara menyadari apa itu anugerah, Saudara harusnya menyadari anugerah itu sebetulnya mengerikan, karena anugerah membuat kita lepas kontrol.
Jadi, di satu sisi teori “projection” Feuerbach ada benarnya. Memang benar manusia sering kali menciptakan allah; dan kita sebagai orang Kristen juga harus mengakui bahwa terkadang dalam Kekristenan pun kita bukan benar-benar menyembah Allah, tapi menyembah allah yang kita ciptakan sendiri, karena kita kepinginnya kayak begini, kayak begitu, dsb. Satu hal yang pasti, teori Feuerbach tidak berlaku bagi Allah Alkitab. Kenapa? Karena Allah Alkitab, sesungguhnya bukan Allah yang manusia cari, bukan Allah yang sesuai dengan keinginan hati manusia, bukan Allah yang kita inginkan –dan justru itu salah satu hal yang membuat kita sadar bahwa inilah Allah yang sejati.
Kalau kita mau tarik aplikasi singkat, inilah sebabnya di dalam Kekristenan, Saudara jangan pernah berpikir bahwa semakin Saudara jadi orang Kristen, semakin Saudara tidak bersitegang dengan Tuhan. Justru semakin Saudara intim dengan Tuhan, kalau ini Tuhan yang sejati, maka Saudara akan semakin bersitegang dengan Dia. Kenapa? Karena Dia Tuhan yang asli, Tuhan yang sejati, Tuhan yang bukan hasil buah pikiranmu atau bentukan tanganmu. Kalau Dia adalah tuhan yang sesuai dengan hatimu, sesuai dengan pikiranmu, yang adalah proyeksi keinginanmu, maka mau konflik di mana?? Tidak ada yang bisa dikonflikin, karena semakin Saudara mengenal dia, semakin Saudara membentuk dia, dia akan semakin sinkron dengan keinginan keinginan hatimu ‘kan. Tapi waktu Saudara menyadari Tuhan ini adalah Tuhan yang sejati, maka tidak heran cepat atau lambat Saudara akan bersitegang dengan Allah seperti ini. Kehendakmu akan bertabrakan dengan kehendak-Nya. Cara Dia mengatur hidupmu akan bertabrakan dengan bagaimana engkau ingin mengatur hidupmu. Tapi justru dalam keadaan seperti itulah kita bersyukur, karena itu berarti kita benar-benar berurusan dengan Tuhan yang sejati, bukan dengan tuhan hasil ciptaan sendiri. Sayangnya, banyak orang Kristen tidak bersyukur akan hal ini.
Demikianlah poin yang pertama, merenungkan Allah kita sebagai Allah yang pencipta. Dia melampaui ciptaan, Dia bukan ciptaan, Dia yang adalah pencipta; dan itu berarti ini adalah Allah yang akan melanggar kehendakmu, ini adalah Allah yang akan berbeda dengan konsepmu, ini adalah Allah yang akan membuatmu bingung –karena ini adalah Allah yang sejati.
Yang kedua, dalam merenungkan Allah kita sebagai Allah Pencipta, kita bisa merenungkan bahwa Allah ini mencipta secara tritunggal; Allah ini adalah Allah yang tritunggal, dan itu sebabnya Dia mencipta sebagai Allah Tritunggal. Jadi Saudara jangan pikir Allah Tritunggal itu seperti 3 dewa Hindu, Brahma adalah pencipta, Krisna menghidupkan, dan Syiwa menghancurkan, masing-masing ada peranya sendiri-sendiri, terlepas satu dengan yang lain. Saudara tidak melihat yang demikian dalam Alkitab. Di dalam Alkitab, Allah mencipta sebagai Allah Tritunggal.
Dalam Injil Markus, waktu Markus menceritakan kisah baptisan, di situ Bapa membaptis Anak, dan ada Roh Kudus melayang-layang di atas permukaan air dalam rupa burung merpati. Ini bukan satu hal yang sembarangan; ini satu hal yang sangat disengaja oleh Markus karena Markus ingin menarik satu motif yang Saudara temukan di Kejadian 1. Dalam Kejadian 1, Bapa mencipta melalui Firman, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Jadi Markus di sini sedang mau mengatakan, bahwa sebagaimana penciptaan adalah hasil karya Allah Tritunggal, demikian pula keselamatan juga hasil karya Allah Tritunggal. Ini berarti baik dalam proyek penciptaan maupun keselamatan, Allah bekerja sebagai Allah Tritunggal. Kenapa ini satu hal yang penting untuk kita renungkan? Karena pada dasarnya ini berarti Saudara tidak bisa mengerti/memahami ciptaan dengan baik kalau Saudara tidak belajar melihat warna ketritunggalan di dalam ciptaan. Maksudnya apa? Maksudnya, ciptaan ini diciptakan dengan warna tritunggal; dan warna tritunggal berarti bukan terutama individualis dan juga bukan terutama tribalistis, bukan terutama mengutamakan “yang satu” dan bukan terutama mengutamakan “yang banyak”.
Dalam dunia ini budaya pada dasarnya terbagi dua, budaya Barat sangat mengutamakan sifat individualis, budaya Timur lebih mengutamakan secara kelompok. Itu sebabnya dalam hukum perceraian di negara Barat adalah sangat mudah untuk bercerai, sedangkan dalam hukum negara-negara Timur pada umumnya lebih sulit untuk bercerai, karena ada penekanan yang berbeda. Dalam hal ini, Saudara melihat bahwa tritunggal bukan dua-duanya, tritunggal bukan “satu, di atas yang banyak”, dan bukan “yang banyak, di atas yang satu”, melainkan bahwa “yang satu adalah bagi yang banyak”, dan “yang banyak adalah bagi yang satu”; tritunggal tidak main pihak-pihakan antara satu dan yang banyak. Itulah pada dasarnya ketritunggalan. Satu hal yang kita bisa mengerti juga mengenai tritunggal, bahwa tritunggal adalah di mana perbedaan tidak mengancam persatuan. Lebih daripada itu, perbedaan dalam ketritunggalan bukan saja tidak mengancam persatuan, tapi justru menjadi dasar dari persatuan. Kalimat filosofis seperti ini mungkin sulit mengertinya, lebih baik kita pakai contoh; dan contoh yang paling bagus untuk mengungkapkan ini selalu contoh dalam hal musik, sementara contoh-contoh lain seperti air-uap/cairan-gas, kurang bagus karena air dan uap tidak eksis dalam waktu yang sama, sehingga ujungnya mereka tetap terpisah.
Waktu Saudara mendengar musik, Saudara mendengarnya dalam ruang pendengaran yang sama, misalnya Saudara tekan do dan mi di piano sekaligus bersama-sama, jadi chord, Saudara ‘kan bukan mendengar do di kuping kiri lalu mi di kuping kanan, Saudara mendengar mereka dalam satu ruang yang sama, dan keberadaan si mi tidaklah menendang keluar si do, keberadaan si do tidaklah menendang keluar si mi, dua-duanya ada pada ruang yang sama. Di sisi lain, waktu mereka ada dalam ruang yang sama, mereka tidak bercampur menjadi satu kesatuan yang lain, misalnya do dan mi digabung tentu tidak menjadi sol, Saudara tetap mendengar do dan mi, dan bukan sol. Dalam musik, paradigmanya seperti itu, mereka berbeda tapi mereka tidak saling mengancam, keberadaan yang satu tidak membuat yang lain jadi hilang; sebaliknya, lebih kerennya adalah bahwa waktu Saudara mendengar do dan mi bunyi bersama-sama, itu lebih indah ketika mereka berbarengan dibandingkan mereka masing-masing sendirian. Inilah musik. Contoh lainnya, Saudara mendengar piano dan biola. Biola karakter suaranya berbeda dari piano, biola single melody dan panjang, sedangkan piano waktu Saudara tekan, dia tidak bunyi terus. Piano, sekali Saudara tekan maka bunyinya “teng..ng..g..” lama-lama hilang, sementara biola bisa bunyi terus, panjang, “ngeeeekkkkk…” seperti itu. Selain itu, biola biasanya dimainkan single melody (meski bisa saja jadi dua atau tiga melodi sekaligus tapi sulit), sedangkan kalau di piano Saudara main satu melodi, itu aneh, karena dengan piano Saudara bisa sekaligus main banyak melodi, mainnya chord, mainnya banyak, mainnya lebar. Biola dan piano punya dua karakter suara yang sangat berbeda, tapi mendengar piano doang yang main, dan mendengar biola doang yang main, itu tidak bisa mengalahkan keindahan ketika piano dan biola main bareng. Saudara mendengarkan 17 gitar main bareng not yang sama, itu ‘gak seru ‘kan; tapi mendengarkan orkestra yang ada violin 1, violin 2, viola, cello, tuba, trombone, piccolo, harp, flute, timpani, dsb., yang semuanya ini main bareng, itu luar biasa keren.
Dalam musik, keberadaan perbedaan tidaklah mengancam persatuan; dalam musik, adanya perbedaan ini malah membuat jadi bisa ada persatuan yang lebih indah. Keberadaan sesuatu yang berbeda dari saya, malah mendukung keindahanku; bersama-sama, malah bisa menciptakan keindahan yang lebih lagi. Dalam arti tertentu, inilah Allah Tritunggal; inilah warna ketritunggalan yang muncul dalam ciptaan, karena Allah penciptanya seperti itu, Allah yang keberadaan satu Pribadi dengan yang lainnya, tidak saling mengancam. Allah Bapa bukan Allah Anak, Allah Anak bukan Allah Roh Kudus, Mereka tidak saling bercampur, tapi keberadaan Mereka bersama bukan saling mengancam malah saling mendukung persatuan. Ini satu hal yang aneh, mungkin, tapi sesungguhnya ketika Saudara mengamini ini sebagai satu realitas dasar penciptaan, maka banyak hal dalam ciptaan barulah masuk akal.
Hari ini kalau Saudara mau jual barang di Tokopedia, apa petunjuk dari Tokped waktu Saudara mau foto barangnya? Mereka minta foto barang Saudara di atas background putih; kenapa? Supaya kelihatan. Misalnya, saya mau jual HP, maka saya foto HP ini di atas background putih. Kenapa jadi lebih kelihatan, jadi lebih bisa dikenali sebagai HP? Karena ada background yang berbeda! Saya justru baru bisa mengenali ini sebagai HP, ketika saya taruh di atas background yang berbeda (HP saya hitam); sedangkan kalau saya jual HP putih maka jangan pakai background putih, nanti tidak kelihatan HP-nya. Lucu ya, ternyata bukan cuma dalam musik tapi dalam dunia ciptaan kita sehari-hari pun ada warna ketritunggalan di mana-mana, bahwa perbedaan harusnya mengancam persatuan tapi bahkan bisa mendukung persatuan dan menciptakan kesatuan yang lebih indah. Kenapa bisa ada seperti ini? Karena Allah yang mencipta, adalah Allah yang bersifat tritunggal.
Ini sebabnya kita mengatakan doktrin Allah Tritunggal adalah dasar bagi kehidupan masyarakat yang sehat. Mengapa demikian? Karena waktu Saudara menyadari bahwa Allah pada mulanya mencipta dengan ketritunggalan-Nya, maka Saudara jadi akan melihat segala sesuatu dalam dunia secara berbeda. Sebagai contoh, biasanya pria dan wanita konflik karena apa? Apa yang jadi sumber percekcokan suami istri? Karena berbeda ‘kan. Cowok maunya begini, cewek maunya begitu, lalu karena tidak bisa ketemu akhirnya perbedaan itu mengancam persatuan –lalu jadinya cari “yang sama”. Dalam satu artikel dari orang LGBT yang menulis tentang gay marriage, dia mengatakan, “Kenapa saya sukanya menikah dengan sesama jenis? Karena pernikahan beda jenis itu berantakan, susah cari konsesus, soalnya cowok dan cewek berbeda. Sedangkan kalau cowok dengan cowok, in some sense lebih enak, lebih gampang mengerti satu dengan yang lain” –perbedaan jadi mengancam. Tapi kalau Saudara punya “kacamata ketritunggalan” dalam melihat ciptaan ini, Saudara akan sadar satu hal, bahwa justru hal-hal yang membedakan inilah sebenarnya poin di mana persatuan harusnya terjadi.
Ambil contoh, mengenai temperamen (temperamen dasar), yaitu sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis. Empat temperamen ini sebenarnya cuma hasil matriks dari 2 pertanyaan dasar, yaitu: 1) Saudara merasa dunia aman atau berbahaya? 2) Saudara menghadapi dunia dengan jemput bola atau tunggu? Kalau Saudara menjawab “dunia ini aman, maka saya jemput bola”, artinya Saudara orang sanguinis. Kalau Saudara menjawab “dunia ini berbahaya, maka kita harus jemput bola”, artinya Saudara orang koleris. Kalau Saudara menjawab “dunia ini berbahaya, jadi saya tunggu saja”, artinya Saudara orang melankolis. Kalau Saudara menjawab “dunia ini aman, jadi gua tunggu saja”, artinya Saudara orang plegmatis. Jadi 4 temperamen ini sebenarnya hanya variasi dari 2 pertanyaan dasar tadi. Sekarang saya mau tanya, jawaban yang benar yang mana? Dunia aman atau berbahaya; jawaban yang benar apa? Saudara harus jemput bola atau tunggu, terhadap dunia; jawaban yang benar apa? Saudara tentu tahu ini jebakan. Jawaban yang benar adalah: kadang dunia aman, kadang dunia berbahaya, kadang Saudara harus jemput bola, kadang Saudara harus menunggu. Itulah sebabnya pernikahan punya dua personality yang berbeda, dan justru ini dasar persatuannya. Bayangkan seorang anak yang di dalam keluarga, ayah dan ibunya sama personality-nya, susah ‘kan, itu anak jadi sempit. Kita bersyukur bahwa entah bagaimana suatu personality memang tertarik dengan personality lain yang berbeda; justru itulah yang menjadikan orang tertarik satu dengan yang lain. Itu sebabnya dalam satu keluarga memang butuh perbedaan ini, supaya apa? Supaya ada keseimbangan, supaya ada persatuan yang menghidupkan, supaya tidak sempiit. Bahaya sekali kalau sebuah keluarga senantiasa pokoknya jemput bola, jadi akhirnya gampang diperangkap; atau kalau sebuah keluarga senantiasa menunggu, jadi akhirnya selalu ketinggalan. Justru perbedaan itulah yang diperlukan. Itu sebabnya ada pria dan wanita disatukan bersama-sama. Waktu Saudara menyadari warna ketritunggalan seperti ini, baru Saudara bisa mengarungi dunia ini dengan lebih baik. Menarik ya.
Ada seorang yang bicara mengenai “sebenarnya apa sih perbedaan pria dan wanita secara dasar” –karena kita di zaman modern sulit untuk menerima sekadar “pokoknya pria kerja cari duit, wanita asuh anak”, gender roles yang sudah dianggap ketinggalan zaman –jadi hari ini bagaimana bedanya? Tentu tetap ada bedanya; dan orang tadi mengatakan: “Mungkin bedanya ini, bahwa pria senantiasa mencari independence, pria kepingin menciptakan sesuatu yang adalah hasil tangannya sendiri, yang lain dari orang lain; sedangkan wanita cenderung mengejar interdependence, maka wanita biasanya ingin bikin nettwork, wanita lebih gampang membuat channel-channel dengan orang lain, lebih gampang menggantungkan dirinya pada orang lain dan membuat satu kondisi di mana orang saling bergantung satu dengan yang lain” (ini secara umum, dan tentu saja ada perkecualian). Jadi yang satu independence, satunya lagi interdependence. Yang mana jalan yang benar? Saudara tentu tahu jawabannya adalah: dua-duanya perlu ada. Itu sebabnya dalam sebuah keluarga perlu dua suara yang berbeda seperti ini. Kalau Saudara mulai memakai “kacamata ketritunggalan” seperti ini, Saudara menyadari bahwa ketika Saudara menikah dengan orang yang berbeda dari Saudara, maka waktu dia melihat hal yang berbeda, waktu dia mengerjakan sesuatu dengan cara yang berbeda, Saudara tidak akan mengatakan, “Aduuhhh, koq lu kayak gitu sih!!” Sebaliknya, Saudara akan mengatakan, “Puji Tuhan, sekarang gua tahu lu benar-benar pasangan yang cocok. Puji Tuhan, sekarang kita bisa ada alternatif”.
Saya kalau menyetir mobil, boleh dibilang ugal-ugalan, saya tidak tahan berada di belakang mobil orang, inginnya mendahului secepat mungkin; intinya, saya sangat benci berada di jalanan, jadi saya ingin secepat mungkin pulang atau pergi. Sedangkan istri saya lain; istri saya menyetir dengan hati-hati. Jadi, waktu saya menyetir mobil dan ada dia, kalau saya menyetir dengan cara saya, yang terjadi adalah saya bakal dimarahi, “Kenapa sih, musti kayak begini?? Tunggu saja, ‘gak perlu kayak begitu”. Lalu bagaimana? Saudara punya dua piilihan. Saudara bisa mengatakan, “Sudah, diam! Pokoknya gua nyetir kayak begini, kalau lu ‘gak mau, lu keluar saja” –bubar. Tapi ketika Saudara punya warna ketritunggalan, Saudara jadi menyadari satu hal, bahwa cara saya menyetir, itu bukan satu-satunya cara menyetir; saya punya dia, dia ditempatkan Tuhan di samping saya, maka sekarang saya dapat alternatif cara menyetir. Ini bukan jadinya melanggar diri saya, tapi membuat diri saya lebih luas sekarang, saya jadi tahu sekarang, bahwa kalau menghadapi suatu keadaan/kejadian, saya tidak cuma bisa meresponsnya dengan cara yang jadi ciri khas saya. Relasi dengan istri saya yang berjalan sekian lama, membuat saya lama-kelamaan jadi tahu apa yang istri saya akan lakukan ketika dia menghadapi situasi yang sama. Ini menguntungkan. Ini membuat saya jadi lebih banyak pilihan. Ini membuat saya jadi tahu, “O, kadang-kadang pakai cara saya lebih tepat, kadang-kadang pakai cara dia lebih tepat”. Ini membuat kita hidup jadi lebih baik, bukan lebih kurang baik. Saudara lihat, kenapa semua ini bisa terjadi? Ujungnya adalah karena ciptaan ini memang diciptakan oleh Allah yang tritunggal.
Allah yang tritunggal itu, bukan mencipta hanya karena Dia Allah Tritunggal, tapi cara menciptanya pun secara tritunggal. Allah menciptakan dunia dengan cara apa? Saudara biasanya pikir ‘dengan cara ngomong’; dengan cara berfirman, “Jadilah terang”, maka terang itu jadi. Tapi Saudara harus tahu, Tuhan tidak hanya menciptakan dunia lewat satu cara. Memang benar ada yang dengan cara pakai firman, misalnya terang, cakrawala; tapi Tuhan juga menciptakan dengan tangan-Nya, dan juga dengan tindakan-Nya; dikatakan bahwa Dia memisahkan terang dan gelap, memisahkan air yang di atas dengan yang di bawah. Mungkin Saudara mengatakan itu metafora, tapi ada dikatakan bahwa Dia membentuk manusia dari debu tanah. Ini satu hal yang menarik. Dia bukan cuma mencipta dengan firman, Dia juga mencipta dengan tangan-Nya (tindakan-Nya); namun yang pasti, satu kategori yang Saudara bisa lihat, bahwa Tuhan juga mencipta menggunakan/melibatkan ciptaan itu sendiri. Tuhan mengatakan, “Hai tanah! tumbuhkanlah tunas-tunas muda”, maka tanah menumbuhkan tunas-tunas muda; Allah mengatakan, “Hai bumi! keluarkanlah binatang-binatang darat”, maka bumi mengeluarkan binatang-binatang darat. Jadi, Saudara melihat Tuhan mencipta bukan hanya dengan firman, bukan hanya dengan tindakan, tapi juga dengan melibatkan ciptaan-Nya. Ini satu hal yang menarik, bahwa Allah kita, dari awal memang adalah Allah yang mencintai, mengasihi, menginginkan pluralitas. Ini bukan Allah yang monolitik, bukan Allah yang ‘pokoknya cuma ada satu cara yang benar’; yang seperti itu, bukan Allah kita. Sadarkah Saudara akan hal itu? Namun juga, keberagaman dalam diri Allah ini bukan keberagaman yang anarkis, bukan keberagaman yang masing-masing jalan sendiri sak karepe dewe tapi keberagaman yang somehow bekerja sama satu dengan yang lain, perbedaan yang bukan mengancam persatuan tapi justru menghasilkan persatuan. Ini bukan waktu Allah mencipta dengan firman, jadi; Allah mencipta dengan tangan, jadi; lalu Allah mencipta dengan ciptaan, eh, ciptaan mengeluarkan yang lain, dikatakan “jadikanlah binatang darat” lalu yang keluar komputer. Tidak demikian. Semuanya berjalan sesuai dengan apa yang Tuhan mau, tidak anarkis.
Saudara lihat, ini satu hal yang begitu praktis. Waktu Saudara memikirkan mengenai doktrin “Allah Tritunggal”, Saudara jangan pikir ini doktrin yang cuma bikin mumet tok, yang cuma ada di alam rasio tok. Sesungguhnya, ini satu perenungan yang harusnya bisa membuat kita melihat dunia ini dengan begitu berbeda. Yang tadinya kita lihat sebagai poin untuk terjadinya konflik, justru adalah poin di mana persatuan boleh terjadi. Perbedaan saya dengan dia, sebagai seorang pria dan wanita, justru harusnya adalah poin di mana kami saling melengkapi. Saudara bayangkan keluarga yang menghidupi relasinya dengan pandangan seperti ini, akan lain sekali.
Itu sebabnya mengerti Allah sebagai pencipta, artinya bukan cuma melihat ‘Dia melampaui ciptaan, Dia bukan dicipta, dan itu berarti Dia tidak selalu sesuai dengan keinginan dan kehendakmu’ (ini poin pertama), tapi juga melihat ‘Allah yang mencipta dengan warna ketritunggalan, dan itu sebabnya Allah ini membuat Saudara jadi bisa mengerti ciptaan dengan lebih baik, hidup dengan lebih baik di alam ciptaan ini –ketika Saudara menyadari bahwa yang mencipta adalah Allah yang tritunggal’ (ini poin kedua).
Yang ketiga (terakhir), Allah yang mencipta adalah Allah yang memberikan penghiburan. Maksudnya apa? Allah yang mencipta, itu berarti karena Dia yang mencipta maka Dia in control, karena Dia mencipta segala sesuatu maka Dia berdaulat. Itu salah satu implikasi dari yang kita baca tadi di kitab Wahyu –karena Dia mencipta segala sesuatu, maka Dia adalah Raja atas segala sesuatu. Ini satu hal yang perlu kita sadari sebagai suatu doktrin yang sangat menghibur. Doktrin “Kedaulatan Allah” di dalam Alkitab, bukanlah doktrin yang mencekik; ini doktrin yang jusru menghibur. Kenapa? Yaitu justru karena Allah kita Allah yang berdaulat, maka Dia mengontrol segala sesuatu bagi kita.
Saudara ingat, kitab Kejadian ditutup dengan cerita tentang Yusuf di pasal 50, pasal terakhir kitab Kejadian. Klimaks kisah Yususf ada di akhir kitab Kejadian, di pasal 50, pasal yang terakhir, yaitu kalimat dia yang sangat terkenal itu: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup satu bangsa yang besar”. Yusuf begitu banyak kena sial, dia dijual oleh saudara-saudaranya sendiri, jadi budak, difitnah oleh istri majikannya, masuk ke penjara, di penjara dia menolong orang tapi dilupakan –bertubi-tubi; tapi pada ujungnya Yususf mengatakan, “Memang kamu mereka-rekakan yang jahat, tapi Tuhan mereka-rekakan-nya –kejahatan ini—demi tujuan baik”. Ini klimaks dari kisah Yusuf. Tapi ini bukan cuma klimaks dari kisah Yusuf, ini adalah klimaks dan poin besar dari seluruh kitab Kejadian, karena ini adalah pasal terakhir dari kitab Kejadian juga. Saudara harus mengerti apa poin dari kitab Kejadian.
Kita sering kali pikir, poin dari kitab Kejadian adalah: Tuhan mencipta segala sesuatu baik adanya (pasal 1 dan 2), tetapi manusia bikin ulah, dosa masuk ke dalam dunia, maka setelah itu hancur; Kain bunuh 1 orang, Lamekh bunuh 2 orang; Kain semacam menyesal atau apalah karena dia bunuh orang, sedangkan Lamekh malah menyombong. Setelah itu ada air bah, ada Menara Babel, dst., dst., makin lama makin hancur, sampai ujungnya dalam kisah Yusuf yang terjadi adalah saudara-saudara Yusuf pada dasarnya mau membunuh Yusuf. Jadi ujungnya cerita Kain dan Habel tidak berubah, dari awal sampai akhir, itulah cerita hidup manusia; dengan demikian inilah poin kitab Kejadian: Allah baik, manusia hancur. Maaf, Saudara, itu bukan poin dari kitab Kejadian; paling tidak, bukan cuma itu, karena poin dari kitab Kejadian adalah bahwa Allah itu berdaulat, baik dalam keadaan sempurna (Kejadian 1 dan 2), maupun juga dalam keadaan penuh dosa (Kejadian 3 sampai 50). Itulah poinnya; bahwa Tuhan ternyata di balik semua kerusakan dan kejahatan manusia, berdaulat. Dia bukan cuma berdaulat ketika dunia diciptakan tanpa dosa, Dia tetap berdaulat meskipun ada dosa di dunia. Kenapa? Karena rencana jahat manusia ternyata dipakai/diolah oleh Tuhan ini, untuk mendatangkan rencana-Nya. Itulah poin kitab Kejadian. Poin dari kitab Kejadian adalah: lihat, seperti inilah kedaulatan Allahmu, yaitu kedaulatan Allah yang bukan cuma bisa mendatangkan kebaikan dari kebaikan, tapi sanggup untuk mendatangkan kebaikan bahkan dari, dan melalui, kejahatan. Itulah yang kita baca dalam kitab Kejadian.
Lebih lagi, ini bukan cuma muncul di kitab Kejadian, ini juga muncul di kitab Ayub. Ayub itu, apa problemnya? Iblis cari gara-gara. Iblis ingin mencemarkan nama baik Ayub, dengan cara menarik hartanya, menarik anak-anaknya, menarik bahkan kesehatannya. Iblis mengatkan, “Tuhan, Lu jangan cepat-cepat ngomong Ayub itu hamba-Mu yang sejati, deh. Lihat saja, dia hidupnya sukses kayak begitu, siapa yang ‘gak bakal menyembah Engkau kalau dikasih hidup enak kayak begitu?? Jadi, biar kutarik semua itu, maka akan terbongkar isi hati Ayub yang sesungguhnya, dia akan berbalik dan akan mengutuki Engkau.” Lalu Allah mengatakn, “Oke, silakan.” Selanjutnya apa yang terjadi? Ending-nya apa? Ending-nya adalah: nama baik Ayub bukan cuma dijaga, nama baik Ayub masyhur berkali-kali lipat. Pertanyaannya: kenapa pada akhirnya nama baik Ayub masyhur berkali-kali lipat, kenapa pada akhirnya Ayub bukan cuma dikenal orang-orang sezamannya, tapi bahkan dikenal sampai ribuan tahun mendatang, hingga sekitar beberapa ratus orang di Kelapa Gading mendengar namanya berulang kali, tiap tahun, dan di tahun 2023? Kenapa? Karena pada dasarnya melalui kejahatan yang dirancangkan oleh Iblis, Tuhan mengolah itu semua, Tuhan memakai itu semua, Tuhan berdaulat di atas semua itu. Inilah kedaulatan Allah kita.
Kedaulatan Allah kita adalah kedaulatan yang tidak main-main. Ini kedaulatan yang sangat menghibur, karena kedaulatan ini adalah kedaulatan yang tidak pupus ketika hidup kita dirundung malapetaka. Ketika hidup kita dirundung oleh dosa, kedaulatan ini tidak sirna, kita masih bisa berharap akan kedaulatan ini, karena ini kedaulatan yang bahkan bisa memakai kejahatan dan kehancuran, untuk mendatangkan rencana Tuhan yang agung. Mungkin Saudara mengatakan, “Saya ‘gak mau yang kayak begitu, Pak, itu bukan penghiburan buat saya; penghiburan buat saya adalah begitu saya terima Tuhan Yesus, saya dilepaskan dari semua penderitaan, saya dilepaskan dari semua kerusakan, dan semua dosa, semua kehancuran, hilang dari hidup saya. Itu yang saya mau!” Tidak, Saudara, itu bukan yang Saudara mau. Saudara tidak tahu apa yang Saudara minta, sebab kalau itu beneran terjadi, maka yang hilang bukan cuma kerusakan, bukan cuma dosa, bukan cuma kejahatan, tapi hidupmu juga akan hilang, karena siapa dari kita yang tidak berdosa?? Semua dari kita berdosa, semua dari kita rusak. Itu sebabnya waktu Tuhan mengizinkan adanya kejahatan dalam dunia ini, waktu Tuhan memberi ruang bagi kejahatan di atas dunia ini, itu justru bukti dari belas kasihan Tuhan; karena jikalau Dia tidak mengizinkan sama sekali kejahatan dalam dunia ini, maka yang hilang bukan cuma orang-orang jahat, tapi Saudara dan saya pun akan hilang.
Saudara jangan lupa poin dari perayaan Paskah dalam zaman orang Israel di Mesir; kenapa orang Israel juga harus menoreh darah pada ambang pintu rumah mereka? Karena kalau mereka tidak menoreh darah itu, mereka juga akan mati sama seperti orang Mesir. Poinnya apa? Poinnya, jangan pikir bahwa menjadi orang pilihan Tuhan, menjadi orang yang diselamatkan Tuhan, berarti Saudara bebas dari semua cemar itu; Saudara sama jeleknya, itu sebabnya namanya anugerah. Saudara sama berdosanya; dan jikalau bukan karena anugerah Tuhan yang menutupi engkau, maka Saudara akan lenyap bersama- sama dengan semua kejahatan. Itu sebabnya Tuhan tidak pakai cara itu, itu sebabnya Tuhan tidak pakai cara langsung melenyapkan semua kejahatan begitu saja, karena jika demikian, itu berarti Dia harus melenyapkan engkau. Dengan demikian yang jadi penghiburan kita di dalam realitas dunia yang tetap masih rusak, yang Tuhan pakai cara pelan-pelan untuk mengubah kita, adalah bahwa kejahatan yang Tuhan izinkan itu tetap bisa Tuhan pakai untuk kebaikan. Itu penghiburannya.
Tetapi penghiburan yang paling ultimat adalah bahwa Tuhan yang ini, bukan cuma Tuhan yang berdaulat secara di atas; Tuhan yang ini adalah Tuhan yang pernah mengalami sendiri kedaulatan seperti itu. Tuhan yang ini adalah Tuhan yang mengalami sendiri apa artinya digunakan kejahatan Yudas, digunakan kebencian orang Farisi, diigunakan penindasan orang Romawi, digunakan semua itu, untuk malah mendatangkan kebaikan, rencana keselamatan Tuhan, di atas kayu salib. Dia bukan cuma Allah yang menyuruh kita menjalani pola ini, Dia adalah Allah yang sendirinya telan menjalani pola tersebut bagi kita, lebih dari yang pernah kita rasakan. Dengan demikian satu hal yang jadi penghiburan kita juga adalah, bahwa bukan cuma dalam kemalangan, dalam malapetaka, dalam keberdosaan kita, Tuhan bisa berkarya, tapi bahwa Dia tahu rasanya seperti apa. Dia bukan Allah yang memberikan malapetaka, kemalangan, keberdosaan dalam hidup kita secara sengaja, secara sembarangan. Allah kita tahu rasanya seperti apa menghidupi hidup di mana evil, kejahatan dan kebencian, dipakai untuk mendatangkan kebaikan. Bahkan juga kematian. Jadi Saudara bisa percaya satu hal: ketika Tuhan mengizinkan hal-hal seperti itu terjadi dalam hidupmu, Tuhan punya rencana, Tuhan tidak sembarangan memberikan, karena Dia bukan Tuhan yang ongkang-ongkang kaki di atas, cuma bisa memberi perintah yang tidak tahu rasanya seperti apa jadi orang yang di bawah. Dia adalah Allah yang pernah menjelama. Dia adalah Allah yang pencipta, tetapi pernah menjadi sama dengan ciptaan. Di mana Saudara pernah menemukan Allah yang seperti ini?? Oleh karena itu, kita bisa menyembah Dia, kita bisa percaya dan beriman kepada Dia.
Kiranya renungan pada hari ini boleh kembali mengingatkan dan menyegarkan kita, akan siapa Allah kita. Allah kita adalah Allah Pencipta.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading