Orang di zaman postmodern sangat peka dengan yang disebut language flux (perubahan di dalam bahasa); khususnya waktu kita membaca dalam literatur-literatur tertentu, bisa menggunakan kosa kata yang sama tapi karena adanya language flux tersebut maka bisa berubah artinya. Oleh sebab itu pemikir-pemikir postmodern mengusulkan dekonstruksi, supaya kita tidak dengan begitu saja waktu baca satu kosakata tertentu lalu menganggap pengertiannya pasti seperti yang sudah kita mengerti. Bagi saya, ini bijaksana yang diberikan Tuhan di dalam zaman kita, karena waktu kita membaca dalam Alkitab misalnya, bahwa Yesus datang menjanjikan hidup di dalam segala berkelimpahan, kita pikir kata ‘berkelimpahan’ itu artinya seperti yang Saudara dan saya mengerti, tapi ternyata waktu Yesus mengatakan ini, Dia punya pengertian-Nya sendiri.
Dan ketika kita baca Alkitab, jangan-jangan kita baca dengan pengertian kita sendiri, di dalam pengertian yang tidak ada dekonstruksi itu, sehingga akhirnya kita tersesat. Kita bukan baca Alkitab sesuai dengan yang dikatakan di situ, melainkan kita membacanya sesuai dengan bayangan diri sendiri. Orang seperti ini adalah orang yang sebenarnya tidak pernah baca apa-apa, karena apapun yang dia baca, dia selalu membaca imajinasinya sendiri. Sangat kasihan. Dia seperti mengenal Tuhan, padahal itu bukan Tuhan yang asli, hanya bayangannya sendiri yang dia proyeksikan ke atas, lalu dia pikir itu Tuhan yang sejati –seperti yang dikatakan oleh Feuerbach “orang-orang Kristen itu sangat kasihan”. Feuerbach ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Ada benarnya waktu dia mengatakan orang-orang Kristen itu mengembangkan imajinasi tentang Allah, lalu diproyeksikan ke atas, namanya “Allah”, dan dia sembah-sembah sendiri. Dan saya sangat percaya, sebagian orang yang mengaku Kristen, memang seperti itu. Mereka pikir dirinya beribadah kepada Allah yang sejati, tapi sebetulnya mereka tidak mengenal Allah itu siapa. Mereka mungkin juga baca Alkitab, bahkan mungkin juga datang ke Pemahaman Alkitab, tapi mereka tidak pernah kenal Allah yang sejati sesungguhnya siapa.
Kita sudah pernah bicara, bahwa dalam kehidupan yang terus bertumbuh, adakalanya Saudara mengalami semacam surprise, melihat ‘Allah koq seperti ini ya??’, dan itu justru positif. Kalau semuanya Saudara sudah bisa prediksi nanti Tuhan akan begini, keadilan Tuhan akan dinyatakan seperti ini, kalau saya doa maka lamanya menunggu adalah sekian waktunya, lalu Tuhan akan menjawab seperti ini, dst. –semuanya ketebak—maka boleh dipastikan itu allah yang palsu. Di dalam Alkitab, bahkan nabi-nabi yang terbaik pun mengalami surprise. Habakuk bergumul, Ayub bergumul, Yeremia bergumul, Yehezkiel bergumul, semuanya bergumul. Bahkan Yohanes Pembaptis juga bergumul, “Engkaukah Mesias itu, atau kami harus menantikan yang lain?” Tapi kemudian dengan kerendahan hati, dengan sikap hati seorang murid, orang-orang ini terus-menerus dalam koreksi Tuhan untuk masuk ke dalam pengenalan Allah yang sejati.
Allah yang sejati Pribadi kedua, Yesus Kristus, menjanjikan ‘hidup di dalam segala kelimpahan’ –ini perkataan Alkitab. Tapi apa artinya hidup dalam segala kelimpahan itu? Satu metode sederhana dalam pembelajaran Alkitab, kalau Saudara mau mengerti satu ayat, maka setidaknya Saudara mengerti ayat sebelum dan sesudahnya, bahkan kalau bisa mengerti perikop di atas dan di bawahnya; kalau mau lebih luas lagi, Saudara mengerti seluruh Alkitab untuk bisa mengerti satu ayat tersebut. Ini bukan satu ayat yang berdiri sendiri, yang kita bisa tafsir seenaknya sesuai yang kita mau. Dan ayat 10b di sini dekat sekali dengan ayat 11, tidak bisa dipisahkan, bahwa hidup di dalam segala kelimpahan, menurut Kristus adalah hidup seperti Kristus sendiri, gembala yang baik.
Hidup dalam segala kelimpahan ini Yesus yang menjanjikan, maka kita percaya Yesus sendiri adalah yang hidup dalam segala kelimpahan. Contoh sederhana, saya buka kursus badminton tapi ternyata saya sendiri tidak bisa badminton. Caranya saya mengajar orang, dengan saya melakukan serve begini, yang ngawur, lalu bilang “ini contoh serve yang salah”; saya smash begitu, lalu bilang “jangan ikutin saya ya, itu smash yang salah’ –jadi kamu bayar saya supaya kamu jangan jatuh kepada kesalahan seperti yang saya contohkan; belajarlah pada saya pelatih badiminton, yang tidak tahu bagaimana main badminton, tapi paling tidak kamu bisa belajar dari kesalahan saya. Apa ada orang yang mau daftar kursus seperti itu?? Pasti tidak ada. Orang mau belajar badminton pada seseorang yang bisa badminton. Maka alangkah lucunya seandainya Yesus mengatakan “Aku datang untuk memberikan hidup, dan hidup di dalam segala kelimpahan”, tapi ternyata Dia sendiri tidak hidup dalam segala kelimpahan, apa bukannya itu jadi banyolan? Menjanjikan segala kelimpahan tapi sendirinya tidak hidup dalam segala kelimpahan?? Kita tidak percaya itu, Yesus pasti hidup di dalam segala kelimpahan, Dia adalah kehidupan itu sendiri; “I am The Life” –Dia pernah mengatakan kalimat itu.
Yesus adalah kehidupan, Dia adalah kebangkitan, Dia adalah roti hidup, Dia adalah pintu, Dia adalah gembala yang baik. Dia adalah kehidupan dan kehidupan-Nya pasti dalam segala kelimpahan. Dan Yesus yang di dalam segala kelimpahan, sekarang menawarkan hidup yang di dalam segala kelimpahan. Maka waktu kita mau mengerti artinya hidup di dalam segala kelimpahan, kita harus mengerti kehidupan Yesus yang di dalam segala kelimpahan itu, karena Dialah sumber hidup di dalam segala kelimpahan.
Hidup di dalam segala kelimpahan ini dijanjikan kepada Gereja –Saudara dan saya. Apa artinya? Yesus mengatakan di ayat 11: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”. Hidup di dalam segala kelimpahan yaitu hidup sebagai gembala yang baik, yang memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Apakah ini kabar baik untuk Saudara, atau Saudara kecewa? Waktu Yesus bicara kepada murid-murid yang disuruh Yohanes Pembaptis menanyakan diri-Nya, Dia mengatakan: “katakan kepada Yohanes, orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, yang kusta ditahirkan, …”, dan diakhiri dengan kalimat “berbahagialah mereka yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku”. Berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Kristus sebagai gambaran hidup yang di dalam segala kelimpahan. Kalau Saudara menolak pemberitaan ini, berarti Saudara tidak mau tahu Kristus yang asli di dalam Alkitab itu seperti apa.
Hidup yang di dalam segala kelimpahan bukanlah hidup yang terus-menerus punya harta yang semakin lama makin banyak. Kehidupan orang yang terus mengeruk bagi dirinya sendiri, menurut kategori Yohanes 10 lebih mirip pencuri dan perampok; di mana dia ada, di situ kekayaan terus dikuras bagi dirinya sendiri. Itu bukan hidup yang di dalam segala kelimpahan, dan sudah pasti bukan hidup gembala yang baik. Kehidupan gembala yang baik, dikatakan “dia memberikan, membagikan”, bukan hidup yang menyedot dan mengambil. Hidup yang di dalam segala kelimpahan tidak ada kaitannya dengan berapa banyak harta yang dimiliki seseorang. Ada orang yang miskin secara dunia, tapi dia bisa memberi –itu orang yang hidup yang di dalam segala kelimpahan. Ada orang yang hartanya banyak, tapi dia masih tetap mau mengambil, tidak pernah bisa membagi –itu orang yang hidup dalam segala kemiskinan.
Yesus yang turun, itu menyatakan bahwa Dia dari atas, karena orang yang turun selalu dari atas, tidak ada orang turun dari bawah. Tapi manusia berdosa seperti Saudara dan saya seringkali ingin naik, naik, dan naik, terus-menerus naik memperbaiki derajat; dan semakin kepingin naik semakin membuktikan kita ini dari bawah, memang mentalitas orang bawah. Mentalitas orang atas adalah turun, sedangkan mentalitas orang bawah mau terus naik. Dan ini tidak ada kaitan dengan posisinya sekarang seberapa tinggi atau seberapa rendah. Ada orang yang sudah di atas, tapi tetap kepingin naik, itu berarti tetap mentalitas orang bawah. Sebaliknya ada orang yang di dunia mungkin dianggap rendah, tapi dia masih mau turun, itu orang yang mentalitasnya dari atas. Kembali ke bagian ini, waktu kita bicara hidup dalam segala kelimpahan, ini juga sedikit kaitannya dengan seberapa banyak harta yang ada pada Saudara dan saya, termasuk juga waktu, perasaan, muka, talenta, potensi –semuanya. Bukan tergantung berapa banyak yang ada pada kita, tapi apakah yang ada pada kita kemudian kita bisa memberi, membagi, ataukah kita terus-menerus mengeruk, menarik, dsb.
Saya baru saja pelayanan di beberapa kota di Eropa. Di situ saya sering mengingatkan mereka, orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, untuk pertama-tama jangan mempermalukan nama Tuhan, dan kedua, jangan mempermalukan nama bangsa Indonesia. Maksudnya, tinggal di negara asing itu bukan untuk mengeruk social welfare, “saya bisa dapat tunjangan sosial apa dari negara Eropa ini” –itu mental pengemis, mental benalu, bukan orang yang hidup dalam segala kelimpahan. Waktu Yusuf berada di Mesir, dia bukan mengeruk keuntungan, dia memeras dirinya, jadi berkat untuk Mesir. Yusuf tidak perlu Mesir, Mesir yang perlu Yusuf. Yusuf yang memberkati Mesir, bukan Mesir yang memberkati Yusuf. Kalau tidak ada Yusuf, Mesir celaka, sedangkan kalau Yusuf tidak ada Mesir, dia masih bisa ke tempat yang lain. Inilah dignitas kemuliaan pada orang Kristen. Memang Saudara tidak tinggal di luar negeri tapi tetap saja kita bisa punya mentalitas “keuntungan apa yang saya bisa keruk dari negara ini” atau “saya hadir di Jakarta, di Inonesia, saya memberi apa”.
Saudara datang ke gereja, bisa juga dengan mentalitas “pelayanan apa yang bisa saya nikmati, PA-nya bagaimana, kotbahnya bagaimana” lalu giliran soal Persekutuan Doa, Saudara rasa tidak ada manfaat dan tidak datang. Yang Saudara konsumsi, Saudara datang; yang Saudara berbagian, Saudara tidak mau datang. Kalau Saudara punya anak badannya bertambah besar dan bertambah besar tapi mentalitasnya umur 2 tahun terus, bagaimana? Ini cuma urusan fisik, dan ini tidak oke; bagaimana kalau ini terjadi dalam urusan rohani, gereja tambah besar dan tambah besar tapi mentalitasnya segitu terus? Saya kuatir, kalau kita tidak dipersiapkan Tuhan secara spiritual, lalu kita tambah besardan tambah besar, itu menakutkan, cacat, tidak bertumbuh. Saya tidak mau mereduksi berita Alkitab sehingga aplikasinya disempitkan cuma soal “datanglah ke persekutuan doa”, tetapi hal sederhana seperti ini kalau Saudara tidak memberi, tidak mau terlibat, tahunya cuma mengkonsumsi –meskipun yang kita konsumsi itu hal-hal rohaniah—tetap saja kita tidak mengerti artinya hidup di dalam segala kelimpahan, cuma tahu mengeruk dan mengambil, menikmati, dilayani, digembalakan, dsb. terus-menerus. Bertahun-tahun tidak ada pertumbuhan. Bertahun-tahun tidak menjadi gembala yang baik. Bertahun-tahun tetap lebih mirip orang upahan, sebagaimana kata Yesus.
Gembala yang baik itu memberi nyawanya. Di sini bahasa Indonesia memakai istilah ‘nyawanya’, di dalam bahasa Inggris kalimatnya: “lay down his life” –kata ‘nyawa’ pakai istilah ‘life’. Memang terjemahan dengan ‘memberikan nyawanya’ tidak salah, tetapi dalam hal ini poin saya bahwa Yesus tidak cuma memberikan mati-Nya saja bagi kita, melainkan memberikan hidup-Nya (His life). Mempersembahkan hidup bagi Tuhan dan mati bagi Tuhan, mana lebih gampang? Mungkin Saudara jawab, “Tergantung; kalau mati bagi Tuhan sebagai martir, ya, repot”. Memang tidak setiap orang ada hak istimewa untuk mati martir, mempersembahkan kematian yang mulia seperti itu di hadapan Tuhan, tapi tanpa jadi martir pun suatu saat kita semua akan mati bagi Tuhan. Waktu kita sudah lemah sekali di ranjang, lalu ada yang membacakan Mazmur, ada pendeta yang mendoakan, lalu sejam kemudian kita mati bagi Tuhan, itu gampang; sedangkan hidup bagi Tuhan bertahun-tahun dari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dst. terus-menerus, itu lebih repot.
Yesus memberikan seluruh hidup-Nya bagi domba-domba-Nya, bukan cuma kematian-Nya saja. Bukan cuma detik-detik terakhir Dia berikan kepada domba-domba-Nya, sementara sebelumnya 32 tahun Dia hidup untuk diri-Nya sendiri. Tidak seperti itu. Seluruh hidup-Nya Dia berikan untuk domba-domba-Nya. Salah satu berita Natal yang Saudara boleh renungkan, waktu Yesus lahir ke dalam dunia, dunia ini tidak menerima Dia, tidak memberikan kamar, tidak memberikan ruang. Yesus mati di atas kayu salib supaya Saudara dan saya tidak perlu mati kekal dan binasa, melainkan memperoleh kehidupan yang kekal. Dengan kematian-Nya, Saudara mendapatkan kehidupan yang kekal. Sejak dari lahir, Dia sudah menggantikan kita, sudah menerima dunia yang tidak hospitable, supaya Saudara dan saya bisa disediakan tumpangan, dan bukan sekedar tumpangan tetapi rumah di dalam Yesus. Yesus mengalami penolakan itu, tidak disediakan tempat, supaya Saudara dan saya ada tempat di dalam Allah, supaya kita bisa di dalam Allah dan Allah di dalam kita. Tetapi waktu Yesus ke dunia, Dia tidak bisa bilang “Aku dalam dunia” karena dunia tidak sedia tempat untuk Dia. Bahkan setelah Dia dewasa, Dia bilang, “Serigala punya liang, Anak Manusia tidak ada tempat untuk meletakkan kepala-Nya”; betapa tidak hospitable dunia kita untuk Tuhan yang mencintai Saudara dan saya. Seumur hidup-Nya, Dia seperti pengembara yang tidak ada tempat pijakan, tidak ada resting point, supaya Saudara dan saya mendapatkan rest di dalam Dia. Dalam semuanya, Dia menggantikan bagi kita.
Tetapi, Saudara dan saya bertumbuh, suatu saat kita musti menjadi seperti Kristus. Bukan cuma terus-menerus ‘Yesus bagi saya’, seperti lagu Sekolah Minggu “Jesus loves me, this I know”, tetapi kapan Saudara menyanyi “O, how I love Jesus”? Bertahun-tahun tahunya cuma ‘Yesus mencintai aku’, tapi kapan ‘aku mencintai Yesus’? Kapan terjadi pertumbuhan ini? Waktu bicara tentang gembala yang baik, Saudara bilang ‘iya, saya mau jadi domba yang baik, ‘gak neko-neko, saya mau digembalakan, saya cuma suka tersinggung, itu saja sih persoalan saya, jadi tolong dibereskan ketersinggungan saya, tolong digembalakan’, tapi kapan Saudara menggembalakan orang lain? Kapan Saudara take care orang lain yang tersinggung? Kapan domba itu jadi gembala? Ini bukan panggilan Hamba Tuhan saja. Kalau ini cuma panggilan Hamba Tuhan, Saudara tidak disebut “Christian”. Christian itu “Christ-ian”, panggilan semua orang Kristen; nama “Kristen” adalah dari kata “Kristus”. Dan kita semua dipanggil untuk menjadi gembala, itulah hidup di dalam segala kelimpahan –meskipun kita tidak sempurna—hidup yang memberikan hidupnya, memberikan nyawanya bagi domba-dombanya, bagi orang lain.
Sebaliknya, ayat 12 Yesus bicara tentang orang upahan: “Seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu.” Istilah ‘orang upahan’ memang tidak senegatif istilah ‘pencuri dan perampok’ dalam bagian sebelumnya, tapi gambaran orang upahan di sini tetap negatif. Kata kunci yang membedakan yaitu ‘pemilik’. Gembala punya rasa kepemilikan sedangkan orang upahan tidak, dia datang profesional. Saya datang memberikan jasa, dan sekarang saya berhak untuk mendapatkan reward –itu namanya mentalitas orang upahan.
Kalau kita bekerja perusahaan, di situ ada karyawan dan ada pemilik. Tapi ini bukan cuma bicara secara jabatan, karena hal tersebut fenomenal. Reformed lebih tertarik bicara soal hati daripada fenomena. Ada karyawan yang mentalitasnya memang orang upahan, mentalitas pegawai, ‘kan saya cuma pegawai yang memberikan jasa, ini ‘kan bukan pabriknya saya, terserah perusahaan mau jungkir balik atau bagaimana pokoknya gaji bulanan masuk terus. Tapi saya percaya ada juga orang yang mempunyai hati memiliki, inilah orang yang punya loyalitas. Dia datang bukan sebagai karyawan, dia datang sebagai pemilik. Ini bukan bicara soal hartanya, sebagai share holder, dsb. –itu cuma fenomena—melainkan bahwa dia punya hati yang ikut memiliki, meski secara status dia karyawan. Jadi ada 2 macam karyawan; karyawan yang punya rasa memiliki, yang betul-betul mengabdikan dirinya, dan ada karyawan yang tidak peduli sama sekali, toh bukan punya saya ‘kan.
Hal ini kalau diterapkan di dalam gereja, juga sama. Ada orang yang datang ke gereja sebagai penonton, atau bahkan konsumen. Konsumen seperti ini bisa sampai ikut PA, bukan cuma kebaktian Minggu, tapi tetap sekedar konsumen. Dia tidak terlibat di dalam kehidupan bergereja. Dia datang “menonton”, setelah itu segala urusan kursi atau urusan apapun lainnya itu urusan pengurus, urusannya pendeta, memang bagiannya, dsb. Waktu awal-awal pelayanan di Eropa, baru perintisan, yang mengatur kursi adalah kita, para hamba Tuhan. Begitu juga setelah jemaat pulang, hamba Tuhan yang mengepel lantainya. Memang tidak ada orang, memang semuanya baru datang sebagai penonton, jadi itu hal yang wajar. Tapi setelah beberapa lama, saya sangat terharu melihat orang yang tadinya datang cuma menyaksikan hamba Tuhan mengepel dan dia tetap pulang, pelan-pelan jadi lebih dewasa, akhirnya dia yang mengepel, atur bangku, dsb. Di sini saya bukan bicara soal mengatur kursi, saya bicara soal kepemilikan, keterlibatan. Meskipun ini gereja sudah berapa tahun, kalau kita tidak bertumbuh, maka bertahun-tahun datang tetap tidak ada sense of belonging, masih tetap datang sebagai penonton, sebagai konsumen, –ayo tolong saya dilayani dong, ayo kotbah yang bagus dong, yang menarik, jangan bikin saya tidur, ayo PA yang bagus dong, sampai saya bisa dapat berkat—tidak ada jiwa pemilik.
Waktu Saudara menikah, jadi suami istri, lalu misalnya istri tanya, “Pa, job desc saya apa, ya?” Saudara akan langsung kaget, ini istri atau pembantu?? Bicara job desc tidak cocok di situ; job desc itu pembicaraan untuk karyawan yang mentalitasnya upahan/ pegawai. Kalau kita sama-sama pemilik, kita tidak bicara job desc. Saudara lihat gereja ini persoalannya di mana, dan Saudara berbagian di mana. Saudara lihat di dalam fungsi tubuh Kristus, Saudara sebagai apa, apakah mata, telinga, mulut, tangan, atau kaki. Saudara musti tahu, jangan tanya ke saya sebagai pendeta, “Pak, saya sebetulnya siapa/ apa?” Waktu Saudara di masyarakat, apa pernah Saudara datang ke Camat lalu tanya, “Pak, menurut Bapak fungsi saya di RT 5 ini apa?” Aneh kalau seperti itu. Saudara yang harusnya tahu, di situ fungsi Saudara seharusnya apa, berperan apa dalam masyarakat, bukan tanya ke Camat, Lurah, dsb. Kalau orang berfungsi, dia tahu tempatnya di mana.
Yesus bilang, “seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari”. Ini tipikal; seorang yang tidak ada rasa memiliki, waktu kesulitan datang dia akan lari. Kalau ada keuntungan, ada yang bisa di-consume, dia ada; tapi begitu kesulitan datang, dia lari. Kesulitan itu bukan urusan saya, saya di sini cuma mau cari berkat, cuma mau cari pelayanan baik-baik, bukan untuk dapat kesulitan, saya datang mau dikonseling bukannya disuruh mengkonseling orang bermasalah –Yesus bilang, inilah orang upahan. Tidak bertumbuh. Saya mengatakan ini bukan supaya Saudara jadi sungkan kalau mau konseling dengan saya, tidak. Silakan konseling, tapi Saudara meng-konseling orang lain juga atau tidak? Saudara mau dihibur, dikuatkan, tapi Saudara menguatkan orang lain juga atau cuma terus dihibur, dikuatkan, dimengerti persoalannya? Kalau terus-menerus begitu, badannya tambah lama tambah besar, mentalitasnya tetap anak umur 2 tahun. Gereja yang seperti ini, menakutkan, dan lebih menakutkan lagi kalau gedungnya makin lama makin besar. Itu sebabnya salah satu aplikasi sederhana, saya mengajak Saudara datang ke persekutuan doa, karena persekutuan doa membuat kita hatinya lebih luas, meski bukan cuma persekutuan doa saja. Kalau Tuhan gerakkan lebih banyak orang yang bergantung kepada Tuhan, gereja ini diberkati Tuhan. Bukan karena fenomena persekutuan doanya, tapi perhatikan: Yesus itu punya fungsi keimaman, Dia itu Imam, dan salah satu tugas imam adalah intercesor (pengantara), berdoa syafaat; maka gereja yang mirip Yesus adalah gereja yang berdoa syafaat, gereja yang ada jabatan keimaman. Gereja yang tidak diberkati Tuhan, tidak ada priestly office, tidak ada doa syafaatnya, terus berdoa untuk diri sendiri.
Saya pernah pelayanan di satu gereja, ada orang datang ke persekutuan doa, dia tidak ada pekerjaan tapi terus datang ke persekutuan doa. Akhirnya dia dapat pekerjaan, tapi setelah itu tidak datang lagi. Ini bukan visi Kerajaan Allah, ini urusan pribadiku. Pak Agus Marjanto sempat sharing, ada jemaat datang berdua mau konseling; orang itu bilang, “Saya sama pembantu ini ribut terus, sekarang Bapak tolong selesaikan urusan saya” –berarti seluruh gereja dibawa untuk urusan pertengkaran majikan dan pembantu. Kapan orang seperti ini bisa mengerti urusan Kerajaan Allah?
Waktu orang datang ke gereja, harusnya dari urusan pribadi dia, lalu jadi bertambah luas, O, Kerajaan Allah ternyata ini isinya. Bukan berarti tidak ada tempat untuk urusan-urusan pribadi, Gereja harus mendampingi orang untuk menyelesaikan urusan-urusan pribadi, tapi kalau Kekristenan isinya seperti begini semua, artinya hal yang besar dibawa menjadi kecil, jadi urusan yang sepele-sepele. Mustinya dari yang kecil lalu mengerti yang besar, bukan dari yang besar dibawa menjadi urusan kecil, kecil, dan kecil, jadi tidak bertumbuh, tidak bisa lihat visi Kerajaan Allah, padahal setiap Minggu berdoa “datanglah Kerajaan-Mu”. Kalau seperti itu, Saudara mengertinya apa istilah ‘kerajaan-Mu’? Atau cuma bicara saja, padahal maksudnya kerajaanku, tapi agak sungkan jadi bilang kerajaan-Mu, begitukah?
Saya cuma mau mengatakan satu poin yang sederhana, yaitu sense of belonging –kita ini pemilik. Kalau kita pemilik, memiliki Gereja bersama dengan Tuhan, kita akan melihat yang dilihat Tuhan. Tapi kalau kita tidak punya rasa memiliki, kita tidak mau tahu urusan-urusan itu –urusan saya ya, urusan saya, urusan keluarga saya, anak saya begini, begitu– putar-putar di situ terus. Dan waktu datang ke gereja, maunya gereja mengurusi hal-hal itu juga, urusan soal saya, anak saya, istri saya, pembantu yang lagi ribut, dsb., tidak ada Kerajaan Allah, yang ada kerajaan diri sendiri, kerajaan keluarga saya. Tetapi kalau kita bertumbuh, kita berubah dari seorang yang mentalitasnya penonton, upahan, profesional, menjadi pemilik-pemilik domba.
Ayat 13 “Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu.” Sebaliknya Yesus mengatakan: Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku”. Bahasa Indonesia bagus karena pakai istilah ‘pengenalan’, yang langsung membedakan dari istilah ‘pengetahuan’, sedangkan bahasa Inggris cuma ada istilah ‘knowledge’. Sampai-sampai waktu J. I. Packer menulis “Knowing God”, dia musti menjelaskan bahwa knowing God itu berbeda dari knowing about God; sementara bahasa Indonesia langsung membedakan antara ‘mengetahui’ dan ‘mengenal’. Mengenal berarti ada relasi, dan terutama relasi kasih. Saya mengenal, berarti bukan sekedar tahu tapi berada dalam hubungan cinta.
Dalam pembahasan 1 Kor. 13, saya pernah bicara soal peribahasa kita yang agak menyesatkan itu, “tak kenal maka tak sayang”; dan yang lebih tepat sebenarnya: “tak kenal maka tak suka”. Kalau Saudara mengenal seseorang itu orang yang baik, sabar, lagipula suka mentraktir, maka kalimat yang cocok adalah “saya suka sama kamu”, bukan ‘sayang’. Waktu anak saya masih lebih kecil –anak saya tidak lahir di Indonesia—ketika dia mau mengekspresikan perasaannya kepada saya, dia bilang “aku suka papa”; dan saya ingin mengoreksi bagian itu. Memang dia suka saya, karena saya baru saja memeluk dan mencium dia, maka dia bilang “suka papa”; dan ini bahaya, karena suatu saat saya akan dibuang, itu pasti. Giliran saya menyenangkan dia, dia suka; giliran saya marah, pasti dia tidak suka. Memang benar anak kecil urusannya soal like and dislike, suka dan tidak suka, anak kecil tidak terlalu mengerti cinta. Bicara ‘cinta’ adalah bicara yang unconditional, sedangkan anak kecil tidak mengerti unconditional love, yang mereka tahu hal yang sangat conditional, sangat bersyarat. –kalau papa saya baik, peluk saya, cium saya, saya suka Papa—tapi giliran saya marah, dia langsung tidak suka.
Namun yang berbahaya dalam kehidupan kita, kalau kita bukan anak kecil lagi tapi masih like and dislike, tak kenal maka tak suka. Kalau saya kenal orang ini baik, maka saya suka; sedangkan orang itu percuma bikin malas berteman, maka saya jadi tidak suka –terus digerakkan oleh suka dan tidak suka. Yang seperti itu bukan bicara cinta, bukan bicara pengenalan. Maka dalam hal ini peribahasa tadi lebih tepatnya adalah “tak kenal maka tak suka”, atau bahkan “tak kenal maka tak benci”.
Berbicara soal sayang, cinta, kasih, itu artinya seperti Kristus. Kristus mencintai kita sebelum kita bisa memberikan apa-apa kepada Dia. Alkitab mengatakan “Allah mengasihi kita selagi kita masih seteru-Nya”. Kita ini musuh-musuh Allah, dan Allah sudah terlebih dulu mengasihi kita; inilah cinta. Cinta bukanlah karena sesuatu itu indah sehingga saya mencintai; itu cinta eros menurut kategorinya Plato. Saya percaya, dalam pernikahan ada tempatnya untuk eros, eros bukan sama sekali jahat atau berdosa. Bahkan dalam pemikiran Plato, eros bukan cuma antara pria dengan wanita, kita juga bisa eros terhadap pemandangan misalnya. Intinya, karena sesuatu itu indah maka kita mencintai, itu namanya eros, cinta pada yang lebih tinggi, kekaguman. Ini berbeda dengan cinta kasihnya Tuhan kepada kita.
Tuhan mencintai kita bukan karena kita indah, Saudara dan saya buruk rupa dan buruk karakter, buruk naturnya. Dalam keadaan kita yang buruk, Tuhan mengasihi kita; dan di dalam kasih-Nya, Dia mentransformasi kita dari buruk menjadi indah. Kasih mendahului perubahan buruk menjadi indah –dalam perspektif Kristologis. Tetapi kita ini sangat bersyarat cintanya; sesuatu musti indah dulu, baru saya tertarik, baru saya mencintai, sedangkan yang buruk jangan urusan sama saya. Yang seperti ini, belum mengerti kedalaman iman Kristen sebetulnya. Iman Kristen itu mencintai yang buruk, kemudian dengan kekuatan Tuhan terjadi perubahan dari yang buruk menjadi indah. Itulah pergumulan kita, pergumulan saya sebagai gembala, yaitu mempersiapkan mempelai perempuan sampai jadi tidak bercela di hadapan Tuhan, kudus, layak dinikahi oleh Kristus. Ini satu tugas yang luar biasa mulia. Dan itulah pergumulan Paulus yang Saudara baca dalam Alkitab, mengubah yang buruk jadi indah. Dalam bagian ini Yesus mengatakan, “Aku mengenal domba-domba-Ku”. Yesus mencintai kita bahkan sebelum kita bisa berespons, Dia terlebih dahulu menjadikan kita objek kasih-Nya. Dia mengetahui kita di dalam cinta; itu namanya mengenal.
Tapi di sini kemudian dikatakan juga: “domba-domba-Ku mengenal Aku”. Bukan cuma Yesus yang mengenal domba-domba-Nya, domba-domba juga mengenal Yesus. Yesus bagi kita, itu sudah cukup; lalu kapan kita bagi Yesus? Yesus mengenal kita, selalu mengenal kita, dan akan terus mengenal kita; tapi apakah kita mengenal Dia? Apakah kita semakin mengenal Dia, menjadikan Dia objek kasih kita, kita mencintai Dia? Sama seperti Yesus yang terlebih dahulu mencintai kita dan mengorbankan diri-Nya, apakah Saudara dan saya juga mau mengorbankan diri kita untuk Kristus?
Katekismus Heidelberg waktu membicarakan tentang jabatan imam dari Kristus, pertama diajarkan bahwa Kristus adalam Imam Besar yang mengorbankan diri-Nya sendiri; Dia Imam, Dia sekaligus adalah kurbannya, Dia Anak Domba Allah. Dia mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban untuk penebusan dosa Saudara dan saya. Tapi berikutnya Katekismus Heidelberg melanjutkan: ‘Why are you called Christian?’ (mengapa engkau disebut Kristen?). Lalu dijawab: ‘Karena kita juga berbagian di dalam pengurapan-Nya, kita disebut orang-orang yang diurapi juga. Kristus artinya Yang diurapi. Kita di dalam Kristus, kita juga menerima pengurapan itu sehingga kita juga ada fungsi nabi, imam, raja.’ Lalu apa artinya punya fungsi imam? Katekismus Heidelberg menjelaskan: ‘Itu berarti, seperti Kristus, kita mempersembahkan diri kita sebagai korban yang hidup, living sacrifice of thankfulness (korban yang hidup, korban ucapan syukur).’ Inilah orang yang betul-betul mengenal Kristus.
Saya agak kuatir dengan teologi Injili yang reduktif –yang seharusnya tidak begitu—yang arahnya terus-menerus Yesus mati bagiku, Yesus di atas kayu salib berkorban bagiku, Dia mati untuk aku, Dia menyelamatkanku, Dia memberikan nyawanya untukku; gerakannya terus ke diri. Tidak ada gerakan saya mempersembahkan diri ‘untuk Tuhan’, selalu Yesus yang mempersembahkan diri-Nya ‘untuk aku’ –mental konsumen. Memang tidak salah, kita harus terus mempertahankan spirit bahwa kita menerima dari Tuhan, kita memang pengemis dan selalu pengemis. Tapi Tuhan mengundang kita untuk bertumbuh, mengundang kita untuk menjadi seperti Kristus, berbagian di dalam pengurapan-Nya. Ini berarti, domba itu harusnya bertumbuh; waktu dia bertumbuh dan bertumbuh, dia harusnya menjadi seorang gembala yang menggembalakan domba-domba yang lain.
Jadi kita bukan hanya dikenal oleh Kristus, kita juga perlu mengenal Kristus. Apa artinya mengenal Kristus? Yaitu bertumbuh. Domba, dari perspektif manapun waktu melihat gembala, dia tidak mungkin bisa mengenal gembala dengan baik, sebaik waktu dia sendiri menjadi gembala. Contohnya inkarnasi. Yesus itu Allah, Dia menjadi manusia, maka Dia mengenal manusia dari perspektf waktu Dia menjadi seorang manusia. Kalau saya domba, lalu saya mau mengenal gembala, memang bisa, yaitu mengenal gembala dari perspektif domba. Tetapi pengenalan ini tidak mungkin seintim, selengkap, sedalam, waktu saya sendiri menjadi gembala. Pengenalan akan gembala dari perspektif seorang gembala, pasti lebih dekat daripada pengenalan akan gembala dari perspektif seekor domba. Maka kalimat ini mengatakan, “domba-domba-Ku mengenal Aku”.
Yesus adalah gembala. Domba-domba itu suatu saat harus menjadi gembala yang baik seperti Yesus, barulah dia bisa betul-betul mengerti Yesus itu bagaimana, Yesus itu siapa. Bukan cuma mengenal dari perspektif domba, melainkan mengenal sebagaimana kita menjadi gembala sama seperti Kristus, di dalam ketidaksempurnaan kita. Saudara dan saya diundang untuk masuk dalam cerita seperti ini, hidup di dalam segala kelimpahan. Inilah hidup dalam segala kelimpahan, ketika dari domba menjadi gembala.
Ayat 15: “Sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.” Pengenalan yang begitu intim antara domba dengan Anak ini, Yesus bahkan mengatakannya “sama seperti Bapa mengenal aku, Aku mengenal Bapa”. Ini sebetulnya satu hal yang sangat eksklusif, kesatuan yang sangat eksklusif, Tritunggal. Kita ini tidak pernah jadi anggota Tritunggal, tapi perhatikan, pengenalan yang begitu intim ini dibuka untuk Saudara dan saya, tidak jadi sesuatu yang eksklusif. Yesus bicara “Aku di dalam Bapa, Bapa di dalam aku”, dan Yesus juga berdoa kepada Bapa “supaya mereka di dalam Kita”, sehingga kita juga bisa mengatakan “kita di dalam Kristus, Kristus di dalam kita”. Bukan cuma Anak yang di dalam Bapa dan Bapa di dalam Anak, tapi juga kita di dalam Anak dan Anak di dalam kita.
Dengan demikian, waktu di sini dikatakan “sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa”, berarti Yesus mau kita dikenal oleh Kristus dan kita mengenal Kristus, seperti Bapa mengenal Anak dan Anak mengenal Bapa. Tidak bisa lebih dekat lagi. Maka Saudara dan saya diundang untuk masuk di dalam kehidupan Kristus, bukan cuma menikmati manfaat-manfaat yang kita peroleh di dalam Kristus, keselamatan, dsb. Saya percaya itu semua penting, tapi Saudara dan saya diundang untuk masuk menyelami kehidupan Kristus –kehidupan Kristus itu sebetulnya apa, bagaimana, Dia itu siapa– sampai kita bisa mengatakan kalimat “aku di dalam Yesus dan Yesus di dalam aku” seperti Yesus mengatakan “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa”.
Yesus bilang, “Barangsiapa melihat Aku, dia melihat Bapa”. Saya rindu, Gereja bisa mengatakan kalimat “barangsiapa melihat Gereja, dia melihat Kristus”, kapankah ini bisa terjadi? Ini bisa terjadi kalau kita terus-menerus bertumbuh. Kiranya Tuhan menolong kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading