Kita sedang dalam satu seri pembahasan Epifania. Epifania adalah dinyatakannya/dimanifestasikannya sesuatu, dibukakannya tabir akan sesuatu; dan yang sedang diingat dalam minggu-minggu Epifania adalah dinyatakannya kemuliaan Kristus. Gereja perlu mempelajari ini, karena kemuliaan Tuhan merupakan satu hal yang begitu abstrak. Kita tahu mengenai keadilan Tuhan, mengenai kasih Tuhan, tapi kemuliaan Tuhan bukanlah satu hal yang mudah ditangkap –dan memang demikian karena Tuhan yang mulia adalah Tuhan yang melampaui kita– maka kecenderungan Gereja dalam hal ini, sering kali memasukkan di dalamnya ide-ide manusia/dunia mengenai apa yang mulia itu. Kita perlu kembali ke Alkitab, melihat dalam kehidupan Yesus bagaimana kemuliaan Yesus sedikit demi sedikit dibuka, dikupas, dimanifestasikan; dan dengan demikian kita bisa menyadari apa sesungguhnya yang mulia bagi Tuhan, yang mungkin berbeda dengan apa yang kita anggap mulia.
Kita sudah membahas mengenai “Perjamuan Kawin di Kana”, dan melihat waktu Yesus melakukan mukjizat, poinnya bukan di mukjizat-nya melainkan bahwa ini adalah sebuah tanda (semeion), sebuah pembukaan, mengenai siapa diri-Nya. Hari ini kita melanjutkan dengan cerita “Yesus Meredakan Badai”, dan kita mau coba melihat identitas Yesus yang seperti apa yang dibukakan di sini.
Pertama-tama kita akan bahas secara singkat ceritanya sendiri didesain untuk apa. Saudara pasti sudah sering mendengar bahwa Laut Galilea ini tempat yang sangat tidak stabil cuacanya. Laut Galilea berada 200 meter di bawah permukaan laut, maka secara natural udara akan mengalir ke situ; Laut Galilea juga bersebelahan dengan Gunung Hermon di mana aliran udara dingin turun, dan ketika ini bersentuhan dengan udara yang panas akan menghasilkan arus angin yang cukup kuat. Inilah keadaan yang biasa di Laut Galilea sampai sekarang, bahkan tahun 1992 ada catatan bahwa ombak Laut Galilea mencapai ketinggian 3 meter. Kalau Saudara datang ke Danau Galilea, di sepanjang danau itu ada tempat parkir mobil, dan ada rambu-rambu peringatan untuk orang-orang tidak memarkir mobilnya di situ kala angin kencang, karena airnya bisa menerjang masuk sampai ke mobil-mobil di parkiran. Jadi ini adalah suatu tempat yang memang biasa terjadi badai. Jika demikian, waktu kita melihat orang-orang nelayan yang sudah biasa berada di tempat yang sering ada badai lalu mereka sampai ketakutan, itu berarti badainya bukan badai biasa, ini badai yang sangat mengerikan, badai yang lebih parah daripada biasanya.
Dulu pernah ada seorang profesor (theolog) dari luar negeri yang beberapa kali kita undang ke Indonesia (sekarang beliau sudah meninggal); dan dia suka ketakutan kalau sedang di Indonesia. Profesor ini, kalau sedang bersama kita di mobil yang antar dia dari bandara ke STT, lalu ada motor atau bajaj yang lewat di sebelah mobil kita, dia bisa terlompat kaget, sampai pucat pasi, dsb. Melihat itu, kita tertawa, karena kita sudah terbiasa –tapi dia tidak biasa. Sekarang Saudara coba bayangkan kalau tiba-tiba ada motor nyelonong, lalu orang Indonesia yang sudah terbiasa menghadapi seperti itu teriak, “Awas!! Aduh! Matilah…”, itu berarti ada yang lebih dari biasanya. Itu sebabnya kita melihat dalam cerita tadi, badai yang sedang dihadapi murid-murid bukanlah badai yang biasa, melainkan sesuatu yang mengejutkan. Demikian hal pertama yang kita bisa lihat di bagian ini.
Namun hal berikutnya, yang lebih mengejutkan lagi adalah respons Yesus terhadap badai yang luar biasa itu, yaitu Yesus meredakan badai itu tapi bukan sekadar meredakan, Dia hanya mengatakan, “Diam! Tenanglah!” seperti mengatakan kepada anak kecil, dan badai itu menurut, seperti anak kecil sedang lari-lari lalu diteriakin dan langsung menurut. Yesus tidak perlu merapal mantra di sini, Yesus tidak perlu gulung lengan baju. Yesus sangat berbeda dari semua pembuat mukjizat lain, bahkan termasuk Musa dan lainnya, yang setiap kali akan membuat suatu tanda/mukjizat, mereka harus meminta, mengajak, mengundang suatu kuasa yang lebih dari mereka untuk bertindak. Hal-hal seperti demikian selalu ada sewaktu orang membuat tanda supernatural, tetapi Yesus tidak memerlukan semua itu; Yesus hanya berkata, dan semuanya reda. Ini gambaran Orang yang sungguh-sungguh berotortitas.
Hal berikutnya yang Saudara lihat, yang menurut bukanlah cuma badai dalam arti anginnya tok, Markus mencatat bahwa airnya pun jadi tenang. Kalau cuma angin yang reda, itu bisa saja cuma kebetulan, dalam arti badainya sudah selesai, anginnya sudah reda, dan urusan selesai; tetapi Saudara tentu tahu bahwa di lautan, kalau angin sudah reda pun, ombak yang adalah hasil dari angin tidak akan langsung berhenti, ombak tetap akan mengombang-ambingkan kapal, tidak sebegitu cepatnya berhenti. Namun di dalam cerita ini ketika Kristus menghardik, yang jadi tenang bukan hanya angin tapi juga danaunya langsung begitu tenang, begitu teduh, seperti danau yang airnya begitu rata tidak ada ombak sehingga Saudara bahkan bisa mengaca di situ.
Melihat hal-hal seperti itu, Saudara jadi bisa menyadari di mana signifikansi atau bobot kisah ini, bahwa ini bukanlah kisah yang signifikansi utamanya adalah soal penyelamatan. Sekali lagi, dalam hal inilah bahayanya kita, sehingga kita perlu selalu kembali ke kisah-kisah ini lalu berusaha menafsirnya sesuai dengan Alkitab. Misalnya ketika Saudara membaca cerita Perjamuan Kawin di Kana, apa yang biasanya kita tarik? Ketika Saudara membaca cerita tentang Yesus meredakan badai, apa yang biasanya kita tarik? Ketika Saudara membaca cerita tentang Yesus menyembuhkan orang sakit, Yesus membangkitkan orang mati, apa yang biasanya kita tarik dari sini? Sedikit banyak, orang-orang Kristen sepanjang zaman sering kali menarik kesimpulan yang salah; mereka pikir Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes sedang menceritakan bahwa Allah punya kekuatan seperti itu dan kamu bisa mengaksesnya, kalau kamu mengikut Yesus maka kamu menjadi orang yang bisa diredakan badai-badainya dalam hidupmu, kalau kamu mengikut Yesus maka kamu menjadi orang yang bisa mendapatkan kesembuhan dari peyakit, dsb. Tetapi kalau Saudara melihat lewat elemen-elemen yang tadi kita baca, ini terutama bukanlah sebuah rescue, ini adalah sebuah epiphany, suatu kisah di mana ada sebuah tabir yang sedang dibuka dan memperlihatkan sesungguhnya siapakah Yesus, Orang Nazaret itu.
Saudara ingat waktu kita membahas mengenai perkawinan di Kana, apa yang jadi fokus utama cerita itu? Di situ Yohanes bukan mengkonklusikannya begini: ‘demikianlah air menjadi anggur pertama yang Yesus berikan, dan masih ada banyak berkat lagi yang akan Dia berikan kepada kita’; Yohanes mengkonklusikannya dengan mengatakan: ‘inilah tanda pertama yang Yesus lakukan, yang memanifestasikan siapa diri-Nya, yang membukakan kemuliaan-Nya kepada kita’. Itulah yang menjadi fokus. Lebih dari itu, kita bisa melihat dengan jelas bahwa fokusnya adalah dalam diri Yesus, dalam identitas-Nya, dan karena itu berarti kemuliaan-Nya –bukan mukjizatnya. Setiap kali kisah tentang mukjizat, kita melihat fokusnya adalah pada reaksi orang-orang yang menyaksikan, bukan urusan mukjizatnya, tidak pernah dibahas seperti apa rapalan mantranya, dsb., itu tidak penting; melainkan bahwa kita jadi menyadari Siapa Orang ini, itulah yang penting.
Hal tersebut lebih jelas lagi dalam cerita bagian ini, karena dalam konsep orang-orang Timur Dekat Kuno, laut tidaklah sembarangan, laut bukan sekadar air sebagaimana hari ini kita menganggapnya, laut adalah lambang dari kuasa kekacauan (chaos) itu sendiri. Orang Yahudi bukan orang-orang maritim, sehingga mungkin ini sebabnya mereka menganggap laut adalah kuasa chaos, kuasa gelap, dsb., yang senantiasa mengancam untuk menghancurkan ciptaan Tuhan, menghancurkan umat Tuhan, dst. (kalau di Indonesia, kita lebih banyak yang orang maritim, dan itu sebabnya juga mungkin kita lebih banyak menganggap laut sebagai sesuatu yang lain).
Kalau kita merunut urusan “laut” dalam Perjanjian Lama, ada konteks yang begitu panjang, dan jelas menunjuk pada sesuatu. Misalnya dalam kisah Penciptaan, sebelum Allah mencipta dunia ini dalam tujuh hari, keadaan awalnya adalah keadaan yang disebut Tohuwabohu, yaitu keadaan kacau balau, chaos, tanpa fungsi. Lalu perhatikan, bahasa apa yang dipakai di Kitab Kejadian untuk mengungkapkan situasi yang begitu kacau ini? Yaitu frasa ‘samudra raya menutupi muka bumi’. Air yang besar, samudra raya yang menutupi muka bumi, bukanlah gambaran positif. Kalau hari ini para ilmuwan melongok lewat teleskopnya, mencari planet-planet lain yang mungkin bisa dihuni manusia, mereka sangat mencari air, karena semua planet tersebut hampir tidak pernah ditemukan air, jadi kalau sampai ditemukan planet yang diselubungi air, itu pasti jadi satu hal yang sangat positif bagi ilmuwan hari ini. Tetapi yang namanya Penciptaan, adalah justru ketika air yang menutupi bumi ini bisa didorong balik oleh kuasa Allah, dikumpulkan, dibendung, dibatasi. Inilah momen yang mengungkapkan bagaimana Allah mebawa keteraturan ke dalam dunia yang kacau; kuasa chaos didorong balik oleh kuasa Allah, ditaklukkan oleh kuasa Allah. Demikianlah dalam kisah Penciptaan, Saudara melihat seperti apa nuansa dari frasa ‘samudra raya’.
Maju lagi ke kisah mayor utama setelah Penciptaan, yaitu cerita Nuh, cerita Air Bah. Dalam cerita tersebut, air bah gambarannya negatif; bahkan kalau Saudara membaca istilah ‘samudra raya menutupi bumi’ di Kejadian 1, gambaran Alkitab menangkapnya sebagai air bah. ‘Air Bah’ adalah bahasa anti-creation; ketika manusia begitu jahat, maka yang Allah lakukan adalah menarik kuasa pengaturan-Nya sehingga chaos kembali memenuhi bumi, dengan cara banjir besar, samudra raya kembali menutupi bumi —air bah. Dan ketika air ini lalu disurutkan oleh Tuhan, di situ juga memakai bahasa-bahasa penciptaan-ulang, bahasa di mana Allah kembali memberikan keteraturan-Nya sehingga kuasa chaos didorong balik kembali dan air menjadi surut.
Maju lagi ke klimaks dari cerita Exodus, kisah bangsa Israel keluar dari Mesir. Klimaks dari ceritanya dinyatakan lewat bagaimana Allah berkuasa terhadap kuasa chaos tersebut, yaitu Ia membelah Laut Merah, memberikan Israel jalan kering dan aman di tengah tembok-tembok air yang melambangkan kekacauan itu.
Maju lagi ke dalam cerita Ayub. Setelah Ayub ngomel-ngomel begitu banyak, berpuluh-puluh pasal, ketika Allah akhirnya menampakkan diri kepada Ayub yang begitu menderita dan mencari penjelasan, apa yang Allah lakukan? Ada banyak yang Allah ceritakan, tapi salah satunya mengenai bagaimana Allah berkuasa atas lewiatan (monster laut/ naga laut dalam konsepsi mereka pada waktu itu). Di sini Allah sedang mau mengatakan, “Lihat, Aku main-main dengan lewiatan; lewiatan itu peliharaan-Ku. Aku berkuasa atas kuasa gelap di atas bumi ini, Aku berkuasa di atas kuasa kekacauan bumi ini. Kalau engkau, Ayub, menemukan hidupmu sedang dalam kekacauan, dan kamu tidak tahan, ketahuilah satu hal, bahwa di balik semua itu adalah kuasa-Ku. Kekacauan bukanlah kata terakhir di dalam Tuhan; Aku berkuasa atas semua itu. Jangan engkau pernah lupakan itu.” Saudara lihat nuansa apa yang dinyatakan di sini?
Dalam Kitab Mazmur, Saudara menemukan begitu banyak mazmur yang bicara mengenai Allah yang berkuasa di atas deru laut, badai samudra. Mazmur 65:8, “Engkau, yang meredakan deru lautan, deru gelombang-gelombangnya dan kegemparan bangsa-bangsa!” Mazmur 89:10, “Engkaulah yang memerintah kecongkakan laut, pada waktu naik gelombang-gelombangnya, Engkau juga yang meredakannya.” Allah-lah yang membuat laut bergelora, Allah-lah juga yang menyurutkan dan meredakan laut.
Dalam Kitab Daniel, bagian terakhir yang berbicara mengenai nubuat-nubuat dan penglihatan Daniel, ada gambaran binatang-binatang buas, beast, monster yang bertanduk, dsb., melambangkan bangsa-bangsa yang melawan Tuhan. Dan perhatikan, dari mana monster-monster tersebut keluar dalam penglihatan Daniel? Dari laut. Jadi jelas sekali seperti apa konsepsi laut dalam mata orang Yahudi.
Kalau kita skip ke Perjanjian Baru lalu lompat sampai ke bagian terakhir Kitab Wahyu tentang langit dan bumi yang baru, Saudara perhatikan itulah sebabnya dikatakan “tidak akan ada lagi laut”. Ini metafora, bukan soal air. Sekali lagi, dalam hal ini ada bedanya antara laut dan air; laut bukanlah air dalam konsepsi orang Yahudi, air bukan sekadar laut. Pada dasarnya dalam langit dan bumi yang baru itu air masih ada, karena di situ dikatakan ada sungai, ada air kehidupan yang mengalir, yang semua bangsa-bangsa diajak minum darinya, tetapi laut dikatakan tidak ada lagi; kenapa? Karena laut adalah simbol/metafora kuasa chaos.
Dengan demikian Saudara melihat di satu sisi, memang benar dalam konsepsi orang Yahudi bahwa laut melambangkan sesuatu yang lebih sinister daripada sekadar air yang banyak, laut melambangkan suatu kuasa kehancuran, kuasa chaos, kuasa destruktif, yang jelas berbahaya sekali bagi manusia. Namun demikian lewat semua bagian tadi, implikasinya bukan cuma bahwa laut tidak bisa ditaklukkan, bahwa laut adalah musuhnya manusia, tapi juga bahwa laut, sebagaimana kuasa chaos, hanya tunduk di bawah satu kuasa, yaitu kuasa Allah. Inilah konsensus yang Saudara temukan dalam dunia kuno, bukan cuma di Israel tapi juga di tempat-tempat sekitar Israel, bahwa yang namanya laut, yang bisa menguasai hanyalah kuasa Ilahi, tidak kurang dari itu.
Kita maju lagi sedikit ke dalam surat-surat Apokrifa, misalnya Surat Makabe; Surat Makabe adalah catatan mengenai yang terjadi di Israel dalam periode intertestamental, sesudah Perjanjian Lama tapi sebelum Perjanjian Baru; dan dalam masa tersebut, sebelum Israel dikuasai Romawi, mereka pernah ditindas oleh seorang raja Aram yang keji, Antiokhus Epifanes IV). Dalam Surat Makabe, salah satu yang terjadi adalah Antiokhus Epifanes IV ini mengklaim bahwa dia mampu menguasai laut (2 Makabe 9); dan yang menarik adalah respons dari seluruh jajaran ahli Taurat orang Yahudi, rabi-rabi dan para nabinya, mereka satu suara mengatakan, “Ini penghujatan!” Mereka bukan mengatakan, “Ah, kamu sombong”, mereka tidak mengatakan, “Itu hoax, bohong”; mereka mengatakan, “Ini bukan lagi kesombongan, ini bukan sekadar ngibul, ini suatu penghujatan! Karena hanya Allah yang bisa menguasai omabak-ombak samudra” –inilah konsepsinya.
Ini bahkan berlanjut bukan cuma dalam kultur orang Yahudi saja, bahkan sampai ke Eropa. Di dalam sejarah Inggris, ada seorang raja bernama Raja Cnut; dia bukan orang Inggris tapi seorang viking, orang Denmark, dan dia pernah memerintah di daerah Inggris. Raja ini sering disebut sebagai salah satu raja yang paling baik dalam sejarah Inggris, dalam masa kepemimpinannya ada kemakmuran, ketenangan, dsb. Yang menarik, raja ini bukan cuma sukses, dia begitu rendah hati, dan dia seorang Kristen. Ketika Raja Cnut merasa orang-orang istana terlalu memuji-mujinya, maka yang Raja Cnut lakukan bukanlah mengatakan, “Oh, tidaklah, saya ‘gak kayak gitu”; legenda mengatakan, yang Raja Cnut lakukan adalah mengajak pegawai-pegawai istana ini pergi ke pantai, lalu Raja Cnut ini berdiri di depan ombak menghadap ke lautan, dan di hadapan pegawai-pegawainya dia berteriak kepada ombak yang terus-menerus bergulir ke pantai: “Stop!!” –dan tentunya ombak terus bergulir. Dia lalu mengatakan lagi, “Stop!!” –dan ombak terus bergulir– lalu, “Jangan basahi kaki saya!” –dan ombak terus saja membasahi kakinya. Kemudian Raja Cnut berpaling kepada pegawai-pegawainya, dan mengatakan: “Biarlah segala orang mengetahui, betapa kosong dan tidak berartinya kuasa raja-raja, sebab tidak ada yang sesungguhnya pantas disebut raja, kecuali Ia, yang kepada-Nya langit, bumi, dan laut, takluk.” Menarik ya.
Saudara, inilah backdrop yang perlu kita bawa ketika kita diajak Makus melihat Yesus menyelamatkan murid-murid-Nya dari sebuah badai dengan meredakan badai tersebut, anginnya, dan juga airnya. Markus sedang membuka/menyibak sesuatu di sini, itu sebabnya ini adalah sebuah Epiphany. Di sinilah terutama signifikansinya, bahwa ini bukan sekadar penyelamatan, ini tidaklah kurang dari kuasa kedaulatan Allah Yahweh yang sedang dilancarkan, ini adalah tandanya Kerajaan Allah hadir, karena kuasa yang bekerja di situ sesungguhnya adalah kuasa yang sama yang menjadikan langit dan bumi pada awalnya; dan ternyata, kuasa ini hidup dalam diri Yesus, Orang Nazaret, dan bekerja melalui-Nya. Dalam backdrop inilah, laut dikatakan menurut kepada Yesus Kristus, dan Yesus Kristus tidak perlu memanggil otoritas yang lain, Dia tidak perlu mengatakan, “dalam nama XXX dan YYY”. Dia menghadirkan diri-Nya sebagai yang empunya kuasa, Dia menghadirkan diri-Nya sebagai kuasa itu sendiri.
Kalau Saudara kembali ke backdrop Kitab Daniel pasal 7 tadi, ketika monster-mosnter itu naik dari laut, pada akhirnya mereka dipukul mundur dan dikalahkan oleh seorang figur yang dalam Kitab Daniel dikatakan “seperti Seorang Anak Manusia”. Jadi, di sini Yesus sedang memerankan peran Pahlawan Allah tersebut, yang sedang mendorong balik kuasa gelap dan kuasa chaos. Dalam peristiwa Penyeberangan Laut Merah, message-nya bukan cuma soal Israel bisa selamat (karena kalau cuma mau menyelamatkan Israel, ada banyak cara lain yang bisa digunakan), message-nya adalah: kuasa kedaulatan Allah itu superior di atas segala dewa Mesir. Ini adalah Epiphany, dibukakannya untuk kita melihat seperti apa Allah ini, kemuliaan-Nya seperti apa. Dan, sama seperti itu, dalam kisah Yesus Meredakan Badai ini, poin utamanya juga bukan sekadar mukjizat yang menyelamatkan para murid, melainkan mengenai dibukakannya identitas dan kemuliaan Yesus Kristus, Epiphany –itulah poin dari kisahnya.
Sekali lagi, Saudara jadi bisa melihat kenapa Bapa-bapa Gereja menginstitusikan Kalender Gereja, kenapa setiap tahun kita disuruh bukan cuma mengingat dan merayakan Advent-Natal-Kematian-kebangkitan tapi juga mengenai Kemuliaan Yesus Kristus, kenapa ini tema yang sama pentingnya; yaitu karena inilah yang sering kali kita tidak sadari, yang sering kali kita lolos, waktu kita membaca mengenai mukjizat-mukjizat itu. Kita tidak sadar, cerita mukjizat itu sesungguhnya poinnya di siapa, sesungguhnya kisah-kisah ini bicara mengenai siapa, yaitu sesungguhnya diri Yesus Kristus.
Kita masuk ke pembahasannya. Kalau cerita ini mengenai diri Yesus Kristus, mari kita coba buka, siapa Dia, kemuliaan seperti apa yang dinyatakan melalui kisah ini. Untuk melihat lebih jelas, Saudara bisa melihat satu hal yang unik dalam ceritanya, yaitu ada perubahan/pergeseran perasaan para murid, sebelum dan sesudah badai diredakan. Sebelum badai diredakan, mereka sangat takut, takut banget bahwa mereka hampir mati. Setelah badai reda, mereka menjadi lega? Tidak. Mereka tidak menjadi lega setelah badainya reda; setelah badainya reda, dikatakan ‘mereka menjadi sangat takut’. Dari ‘takut’ menjadi ‘sangat takut’, itulah pergeserannya. Kenapa terjadi seperti ini?
Yang pertama, apa yang mereka hadapi mula-mula? Suatu badai yang tidak terkendali –inilah hal pertama yang mereka hadapi. Sebelum Yesus bangun, perahu mereka sudah kemasukan air, mereka sebentar lagi akan tenggelam; dan mereka tidak bisa ngapa-ngapain, tidak ada alternatif. Melempar diri ke air lalu berenang, itu tidak realistis, karena Markus mencatat bahwa ketika mereka bertolak, bukan cuma perahu Yesus yang pergi tapi juga ada perahu-perahu lain yang menyertai; jadi kalau Saudara turun ke air dalam keadaan demikian, Saudara bisa terhantam perahu-perahu lain, dan juga ketika kapal tenggelam Saudara akan ketarik oleh arusnya ikut masuk ke bawah. Jadi ini momen jalan buntu, mereka tidak bisa ngapa-ngapain, semua opsi salah, sebentar lagi mereka akan mati –dan mereka berteriak kepada Tuhan.
Yang menarik, kalau Saudara bandingkan dengan yang dicatat Matius, dalam kitab Matius dicatat seperti ini: Maka datanglah murid-murid-Nya membangunkan Dia, katanya: ”Tuhan, tolonglah, kita binasa” —simple request, minta tolong karena akan mati; sedangkan dalam Markus, yang murid-murid katakan kepada Yesus: “Tuhan, Kamu tidak peduli, ya, kalau kami binasa?!” Ada sesuatu yang lebih dalam catatan Markus. Kenapa Markus menulis seperti ini, berbeda dengan Matius? Bisa banyak hipotesisnya, dan kita tidak benar-benar tahu secara pasti. Tetapi ada satu hipotesis mengatakan, bahwa Injil Markus ditulis kepada orang-orang Kristen yang sedang dianiaya di tangan Romawi. Salah satu hal yang juga bisa mendukung ini, misalnya kalau Saudara baca kisah Pencobaan Yesus, dikatakan dalam Injil Markus, Yesus dilayani oleh binatang-binatang buas; ini menarik, karena orang membacanya jadi begini: O, ini adalah kalimat penghiburan bagi orang-orang Kristen audience-nya Markus, karena mereka itu sedang mengalami dilempar ke binatang-binatang buas, sehingga mereka perlu tahu bahwa binatang-binatang buas itu tidak lepas dari kuasa Allah mereka. Sama seperti itu, dalam cerita ini, yang Markus sedang lakukan mungkin adalah meneriakkan kata-kata para murid, orang-orang Kristen pada zamannya, yang sedang menderita penganiayaan oleh iman, dan mereka pada dasarnya berteriak, “Tuhan, Engkau tidak peduli kalau kami binasa??” Markus di sini mengajak audience-nya untuk menyadari, bahwa sejak zaman Yesus, murid-murid langsung dari Yesus pun juga berteriak akan hal itu kepada Yesus; pada dasarnya Markus sedang mengatakan, “Ya, dari awal memang kayak begitu; ini satu hal yang powerful buat kamu karena ini satu hal yang berbicara langsung mengenai hidupmu”. Mereka sedang menghadapi badai yang tidak bisa diajak kompromi, mereka sedang menghadapi badai yang tidak bisa diajak diskusi, mereka sedang menghadapi badai yang tidak terkendali, itu sebabnya mereka merasa takut –baik murid-murid Yesus ,maupun orang-orang Kristen yang sedang menderita aniaya, yang kepadanya Markus menuliskan Injil ini.
Namun masalah berikutnya adalah respons Yesus. Yesus tidak merespons dengan mengatakan, “Oke, oke, yuk, duduk, bicara pelan-pelan, tenang-tenang, Saya mengerti perasaanmu”, lalu tepuk-tepuk pundak mereka. Kebanyakan konselor akan seperti ini menghadapi orang yang mau konseling; ini salah satu skill utama seorang konselor, duduk diam, dan mendengar. Tapi Saudara lihat di sini, Tuhan Yesus membuang semua buku soal konselor, Tuhan Yesus malah bertanya balik, “Kenapa kamu takut?” –kenapa sih takut, kenapa kamu tidak percaya! Absurd sekali menghadapi Tuhan yang seperti ini
Suatu kali waktu saya di Singapura, saya melihat sebuah iklan layanan masyarakat di MRT mereka. Gambar iklannya memperlihatkan interior sebuah mobil, di dalamnya ada wajah seorang ibu dan anak perempuan yang membelalak kaget ketakutan, karena menyadari sang bapak yang sedang menyetir ternyata ketiduran, sementara dari arah depan terlihat cahaya lampu mobil yang sebentar lagi akan menabrak mobil mereka. Message iklan itu sederhana, maksudnya ‘daripada lu tidur waktu nyetir, naiklah angkutan umum’. Bagus, ya. Ini satu gambaran yang menarik; Saudara bisa bayangkan yang terjadi di mata murid-murid Yesus di atas perahu adalah seperti dalam iklan tersebut. Namun tidak berhenti di situ, mereka ini ketakutan dan shock, “Koq bisa, Tuhan yang menyetir hidupku ternyata ketiduran!! Ini benar-benar tidur, dengan bantal pula, begitu enaknya. Sebentar lagi kami mati, apa-apaan ini??” Dan kemudian yang terjadi adalah: si Bapak bangun lalu malah balas ngomel, “Kenapa ‘gak percaya?! Kenapa takut?!” Lho, bagaimana sih? Absurd. ‘Kamu yang tidur, Kamu yang salah, Kamu yang harusnya nyetir, membawa kami dengan tenang, tapi Kamu yang tidur. Sudah begitu, dibangunin malah ngamuk lalu menyalahkan kami! Ya, iyalah, kami takut; kami takut Kamu tidak sungguh-sungguh mengasihi kami. Kalau Kamu benar-benar mengasihi kami, kenapa hidup kami jadi begini?! Kenapa kami akan tenggelam?!” –kenapa kami harus disiksa dan dibunuh?? Kenapa kami seperti salah menikah? Kenapa anak-anak kami seperti tidak bisa diatur? Kenapa kami harus mengalami penderitaan yang bertubi-tubi? Kenapa kami besok akan dilempar ke binatang buas??
Saudara lihat, di balik pertanyaan Tuhan Yesus –yang kita lihat seperti absurd–sebenarnya Tuhan Yesus sedang mengatakan: “Kamu salah mikir. Kamu pikir, kalau kamu jatuh ke dalam penganiayaan, itu berarti Saya tidak peduli sama kamu. Kamu pikir tanda menjadi orang yang sukses secara kristiani adalah seberapa kamu bisa lepas dari penderitaan. Itu yang jadi standarmu, makanya kamu tidak percaya, makanya kamu ketakutan. Iya, ‘kan?” Saudara, dalam hal ini orang Kristen dan orang ateis tidak beda, karena kita mendengar orang ateis mengatakan, “Tuhan itu tidak ada, karena tidak mungkin ada Tuhan yang mahakasih dan mahakuasa pada saat yang sama. Lihat saja, masih ada penderitaan di atas dunia ini; dan penderitaan terjadi atas orang yang hidupnya baik-baik. Jadi hanya salah satu, antara Tuhan yang mahakuasa tok dan Dia tidak mengasihi kamu –makanya Dia menimpakan penderitaan– atau Dia mengasihi kamu tapi Dia tidak mahakuasa; sedangkan Tuhan dalam bayanganmu, yang mahakuasa dan mahakasih, itu tidak ada. Itu tidak mungkin, buktinya banyak orang yang menderita dan ini orang yang hidupnya baik-baik”. Demikian logikanya orang ateis. Dalam hal ini, sadarkah Saudara bahwa banyak orang Kristen tidak berbeda? Bahkan kalau kita mau pertajam, antara orang ateis yang berpikir demikian, dan murid-murid Yesus sendiri, tidaklah beda konsep. Murid-murid juga marah, mereka juga mengira ‘Tuhan, ‘kan kami murid-Mu, jadi berarti harusnya kami terhindar dari penganiayaan, harusnya kami terhindar dari segala ketidakbaikan seperti ini, dong?? Jadi bagaimana sih, Tuhan, Kamu tidak peduli kalau kami binasa?’ –logikanya sama. Itu sebabnya jawaban Tuhan Yesus sama sekali tidak absurd.
Ada sesuatu di balik pertanyaan Tuhan Yesus, Dia sedang mengatakan, “Kamu salah konsep. Kamu pikir, tanda menjadi orang Kristen yang kristiani adalah lepas dari penderitaan; itu salah besar. Kamu harusnya mengenal bahwa sifat-Ku lebih baik daripada itu. Kamu harusnya tahu satu hal, Aku memang mengizinkan orang-orang yang Kucintai mengalami badai dalam hidup mereka, jadi kamu harusnya tidak perlu panik dan takut lagi.” Mendengar kalimat ini, Saudara bagaimana? Apakah Saudara mengatakan, “Amin, Puji Tuhan” ? Kalau si bapak dalam iklan di MRT tadi bangun dan mengatakan, “Aduuuhh, istriku dan anakku, kamu yang salah. Aku ini bapak yang baik, makanya aku mengizinkan istri yang kucintai dan anak yang kucintai mengalami penderitaan dalam hidupnya, termasuk mobil ini menabrak, dsb.”, bukankah itu gila, orang seperti apa bapak ini?? Saudara mengerti sekarang, kenapa setelah badai diredakan, respons para murid adalah menjadi tambah takut. Kalau pun si bapak bangun lalu tidak jadi menabrak tapi kemudian dia ngomong kalimat tadi, “Tidak usah takut! Kenapa sih ‘gak percaya?? Biasa aja dong. Saya memang memberikan orang-orang yang saya cintai mengalami ketakutan, mengalami penderitaan, mengalami penganiayaan”, apa yang akan terjadi? Kalau Saudara adalah istri dan anaknya, mungkin Saudara langsung minta setop dan keluar dari mobil, ‘kan. Jangan-jangan lebih aman di jalanan dibandingkan di dalam mobil bersama orang psikopat kayak begini. Itu sebabnya Saudara melihat bahwa respons para murid sebelum badai diredakan, mereka takut; lalu setelah badai diredakan, mereka menjadi sangat takut. Kenapa? Karena mereka jadi tahu satu hal: bukan cuma badai yang tidak bisa diajak kompromi, bukan cuma badai yang tidak bisa diajak diskusi, bukan cuma badai yang tidak ikut aturan mereka, tapi Yesus ini ternyata juga di luar kontrol mereka! Yesus ini tidak ikut aturan main mereka!
Bahwa badai kekuatannya dahsyat, itu jelas; kita tahu kekuatan alam memang menghancurkan, merusak pelan-pelan ataupun cepat. Alam punya Hukum Termodinamika II, tubuh alamiah kita ini akan mati, bisa lebih lama dalam arti lama-kelamaan tubuh kita rusak, bisa juga lebih cepat dalam arti kita mati lewat gempa bumi atau gunung meletus atau tsunami, dsb. Kita tahu kuasa alam tidak bisa dibendung, kita tahu kuasa alam tidak terkontrol, dan masalahnya ketika kita kabur dari badai dan berlari kepada Yesus, barulah kita sadar Yang Satu ini ternyata lebih berbahaya! Karena apa? Karena badai menurut kepada Dia, kekuatan-Nya dan kuasa-Nya jauh melampui badai; dan kita baru sadar, itu berarti Yesus lebih tidak bisa dikontrol daripada badai. Yesus tidak mengatakan, “Yuk, duduk, ayo cerita sedikit, kamu rasanya apa mengalami semua ini”; Yesus malah balik memarahi mereka, “Kenapa kamu takut? Kenapa kamu tidak percaya?”
Yesus tidak di bawah kontrol kita. Dia akan melakukan, dan sudah melakukan, dan sedang melakukan, banyak hal yang kita tidak mengerti. Dia mengizinkan kita masuk ke dalam keadaan-keadaan yang kita tidak mau. Dia tidak mengerjakan sesuatu menurut rencana kita atau lewat cara yang masuk akal bagi kita. Itu sebabnya satu hal yang pasti, Saudara melihat dalam cerita ini dibukakannya identitas dan kemuliaan dari Yesus Kristus. Kalau Saudara mau cari aman, Saudara jangan cari aman itu di dalam diri Yesus Kristus, karena bukan cuma badai yang tidak aman tapi juga Tuhan yang sejati bukan Tuhan yang aman, bukan Tuhan yang jinak.
“Wah, Pak, kalau kayak begitu jadi apa bedanya antara badai dan Yesus Kristus?? Buat apa saya cari Tuhan kalau kayak begitu?” Apa bedanya antara alam dengan Allah kalau demikian, ngapain kita di sini menyembah Allah yang seperti demikian? Jawabannya sederhana: yang namanya badai, tidak bisa mengasihi. Yang namanya alam, tidak pandang bulu; hujan, yang adalah berkat, datang bagi orang benar dan orang fasik, tetapi tsunami juga datang bagi orang benar dan orang fasik. Jadi kenapa kita lari kepada Tuhan, meskipun Dia bukan Tuhan yang aman? Karena kalau Yesus adalah sungguh Allah, itu berarti Yesus ini bisa punya alasan yang valid, yang sah, kenapa Dia membiarkan kita menderita.
Kuasa Tuhan jelas kuat sekali, namun kalau Saudara sekarang telah dibukakan akan kemuliaan Yesus, akan kuasa-Nya yang begitu besar, kuasa yang menciptakan langit dan bumi, yang mengontrol semua bentuk bencana yang selama ini kita pikir tidak terkontrol, maka itu berarti bijaksana Allah ini dan kasih Allah ini juga paling tidak sama besarnya dengan kuasa-Nya tersebut. Alam, tidak peduli siapa kita, sedangkan Allah jelas penuh kasih kepada umat-Nya. Kalau saja para murid menyadari bahwa Yesus mengasihi mereka, maka mereka tidak perlu takut akan penderitaan ini, karena inilah caranya Allah bisa mahakuasa dan mahakasih pada saat yang sama, meskipun ada penderitaan di atas dunia ini. Kenapa demikian? Karena ketika Allah mengizinkan penderitaan tersebut, Dia mengizinkannya karena Dia bijaksana, karena Dia mengasihi kita. Pikiran manusia ‘kalau Tuhan mengasihi saya, maka Dia tidak akan mengizinkan hal yang jelek menimpa saya’, dihabiskan dalam hal ini. Tuhan kita bisa mengasihi seseorang, dan membiarkan hal yang tidak diinginkan menimpa mereka, karena Dia Allah, dan Dia adalah Allah yang mulia, Dia adalah Allah yang lebih bijak daripada siapapun. Dia adalah Allah yang kemuliaan-Nya berarti Dia melampaui Saudara dan saya.
Saudara, beda antara alam dengan Allah, bukanlah alam itu jahat sedangkan Allah baik; bedanya bukanlah alam itu menghancurkan, sedangkan Allah selalu melindungi. Bukan itu bedanya. Baik Allah maupun alam, sama-sama tidak terkontrol, sama-sama tidak terpahami; tetapi alam tidak bisa mengasihi, Allah bisa mengasihi. Dengan demikian meskipun Allah bukanlah tempat yang aman, bagaimanapun juga paradoksnya adalah: tempat yang paling aman dari semua tempat adalah pada Allah. Namun aman-nya Saudara di dalam diri Allah ini, bukanlah karena Dia akan melakukan segala sesuatu sesuai keinginanmu. Saudara aman di tangan Allah, bukan karena Dia tidak akan pernah mengirim penderitaan dan badai dalam hidupmu. Saudara aman di dalam tangan Allah ini, adalah karena Dia Allah dan kita bukan, sehingga jalan-Nya di atas jalan kita, jalan-Nya bukan jalan kita, kedalaman pikiran-Nya tidak terselami; oleh karena itu apa yang Allah anggap masuk akal dan baik, memang tidak tentu kita melihatnya sama. Jadi, beriman kepada Tuhan berarti aman? Tidak –tidak aman sepenuhnya; tidak aman dalam arti aman dari penderitaan/badai. Tuhan itu tidak aman, Tuhan itu tidak jinak, tapi tetap Tuhan adalah tempat yang paling aman, karena Tuhan baik. Dia adalah Raja, otoritas absolut, berkuasa atas semuanya, tapi Dia Raja yang baik.
Apa yang kita butuhkan untuk bisa meng-amini hal ini? Kembali ke perkataan Tuhan Yesus “mengapa kamu tidak percaya”, ini kuncinya (atau dalam bahasa Yunaninya memakai kata pistis, ‘mengapa kamu tidak beriman’). Di sini kita bisa membandingkan antara Markus dengan kitab injil sinoptik yang lain. Dalam kitab Markus di sini mereka takut karena mereka tidak beriman; paralelnya dalam kitab Lukas, Tuhan Yesus menjawab para murid dengan mengatakan, “Di manakah kepercayaanmu?” Ini satu hal yang menarik, karena kita perlu membereskan lebih dulu apa artinya ‘beriman’. Di Lukas, dengan memakai kalimat ‘di mana kepercayaanmu’, Tuhan Yesus sedang mengatakan bahwa hal terpenting dalam iman bukanlah seberapa besar atau kecilnya iman, bukan kualitas dari imannya, melainkan di mana iman tersebut bersandar, apa objek dan tujuan iman tersebut, iman tersebut ditaruh di atas apa.
Banyak orang masih bingung dalam hal ini; ini salah satu hal yang kita bicarakan dalam katekisasi: “Katanya keselamatan kita, keanggotaan kita di dalam Kristus, itu bukan atas dasar jasa kita, kemampuan kita, performa kita; tapi di sisi lain dikatakan selamat adalah melalui iman. Jadi ‘kan berarti saya yang beriman, jadinya saya ada jasa dong, melalui tangan saya juga dong, saya ada andilnya, saya ada jasa di hadapan Tuhan”. Tidak demikian, Saudara, karena iman bukan ngaruhnya dari si yang beriman. Ilustrasi yang sering dipakai dalam hal ini, misalnya Saudara dikejar monster sampai ke tebing, lalu tidak ada kemungkinan apapun selain Saudara melompat ke bawah. Saudara melompat ke bawah karena melihat di bawah ada sebuah dahan pohon. Saudara tidak tahu apakah dahan itu cukup kuat atau tidak untuk menahan berat badanmu, maka ketika Saudara melompat ke dahan pohon tersebut, apa yang akan membuatmu selamat? Apakah tingkat keyakinanmu terhadap si dahan itu menentukan keselamatanmu? Tidak ‘kan. “Selama saya yakin dahan itu kuat maka dahan itu akan kuat”, begitukah? Tidak ‘kan, ‘gak ngaruh. Ada orang yang lompat ke dahan dengan begitu yakin, tapi dahannya adalah dahan yang sudah tua dan rapuh, maka dia akan mati. Ada juga orang yang lompat meski tidak yakin sama sekali, tapi karena dahannya memang kuat maka dia selamat. Jadi Saudara lihat, iman itu kuncinya bukan pada orangnya yang ber-iman; kekuatan atau kualitas iman seseorang, itu ‘gak ngaruh baik secara subjektif maupun secara objektif. Itu sebabnya dalam sistem keselamatan orang Kristen, mempunyai iman, itu tidak mungkin jadi basis superioritas maupun inferioritas; mempunyai iman, itu tidak mungkin jadi basis untuk sombong maupun minder.
Dalam kehidupan klimat Gereja sering kali iman tidak digunakan seperti itu, iman malah digunakan untuk mengukur kehebatan seseorang. Ada semacam salah kaprah yang muncul di pikiran banyak orang, bahwa kalau Saudara beriman maka Saudara bisa mendapat ini dan itu, kalau Saudara tidak sembuh-sembuh maka berarti imannya kelas picisan. Atau tidak usah tentang gereja seberang, dalam konteks kita sendiri sering kali kita mengatakan, “Kalau kamu beriman, maka kamu akan rajin ikut Pemahaman Alkitab, rajin Penginjilan, rajin Persekutuan Doa, belajar firman Tuhan dengan tekun, rajin saat teduh, ikut katekisasi sampai mengulang 7 kali, dsb.” Tapi tidak demikian, Saudara. Iman bukanlah suatu kebajikan di dalam diri kita, iman adalah pemberian dari luar. Saudara melihat arah yang begitu berbeda di sini. Banyak orang menganggap iman adalah sesuatu yang mereka cari dalam dirinya sendiri. Kalau Saudara orang yang lebih ke arah Kharismatik maka Saudara mencarinya dalam urusan eksistensial, dalam perasaanmu misalnya, ‘saya merasakan Tuhan datang’, ‘saya merasakan Tuhan hadir’, dst.; kalau Saudara orang Reformed, mungkin Saudara mencari iman dengan pendekatan yang lebih rasional, berusaha untuk mengerti lebih lagi, berusaha mendapatkan iman karena ada pengertian, karena belajar doktrin, dst. Tetapi dua-duanya sama saja, approach-nya adalah melihat ke dalam; sedangkan iman pada naturnya adalah justru melihat kepada apa yang bukan dirimu, kepada sesuatu yang di luar.
Itu sebabnya tidak heran salah satu contoh kalimat orang beriman di dalam Alkitab, misalnya di Markus 9, adalah ketika seseorang mengatakan, “Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini” –kedengarannya kontradiktif. Tapi tidak, Saudara; tidak kontradiktif sama sekali, karena inilah yang namanya iman. Iman bukanlah urusan ‘saya sudah sekuat apa’; iman adalah ‘kepada apa yang kuat ini, saya menaruh kepercayaanku’. Itulah iman. Hal itulah yang kurang dalam bagian ini, kata Yesus Kristus. Itulah yang membuat murid-murid tidak sanggup menghadapi badai. Mereka tidak punya iman. Itu juga yang membuat kita tidak sanggup menghadapi badai. Jadi bagaimana caranya supaya kita bisa sanggup menghadapi badai? Bagaimana supaya kita tidak takut? Kita harus punya iman. Bagaimana supaya punya iman? Saudara harus berhenti mencarinya di dalam diri, di perasaanmu ataupun di otakmu, Saudara harus mencarinya di luar dirimu.
Kita sampai ke bagian yang terakhir. Dalam bagian terakhir ini, Saudara melihat betapa Injil Markus ini sebuah mahakarya. Kalau Saudara biasa membaca buku, Saudara tahu bahwa buku yang bagus itu tidak pernah buku yang instan, buku yang bagus selalu bikin pay off di bagian belakang. Hal-hal di depan, Saudara baca sepertinya lewat begitu saja, sepertinya tidak penting. Lalu masuk ke tengah-tengah, Saudara mulai menangkap sesuatu, “Ya ampun, ternyata yang di depan itu maksudnya kayak begini.” Setelah berjam-jam membaca buku tersebut dan Saudara sampai ke ending, Saudara menyadari, “Ya, ampun, rupanya lipstik di gelas itu ‘gak sembarangan, ada maksudnya; dan itu sudah dari awal, dari beberapa bab sebelumnya!” –itulah buku yang bagus. Jadi kalau Saudara terbiasa membaca buku, Saudara menjadi orang yang bisa menanti, bukan orang yang selalu ‘gak sabaran. Kalau Saudara kerjanya cuma melihat Instagram yang segala sesuatu instan, bahkan IG tidak sabaran menunggu jeda antara satu kalimat dengan kalimat yang lain (orang bicara, biasanya ada jeda antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya, dan dalam video-video di IG jeda itu dipotong), itu akan mengajarkan Saudara apa? Coba Saudara pikirlah.
Kembali ke bagian ini, intinya adalah: ketika Saudara bukan cuma membaca ini sekali dua kali tetapi membacanya dalam keseluruhan Alkitab, ketika Saudara baca ke belakang lalu kembali lagi ke depan, Saudara menyadari satu hal, atau lebih tepatnya dua hal. Yang pertama, kitab Markus memandang ke belakang. Saudara lihat bagaimana Markus menggubah cerita ini, jelas sekali paralelnya dengan cerita lain di dalam Alkitab. Paralelnya ada di dalam Perjanjian Lama, setting-nya sama-sama di perahu, sama-sama perahunya kena badai, sama-sama perahunya hampir hancur karena badai tersebut, dan di tengah badai tokoh utamanya malah tidur dengan nyenyaknya, lalu para pelautnya bilang ‘kita akan binasa’, lalu ada intervensi Ilahi, lalu airnya menjadi tenang setelah intervensi Ilahi, dan kemudian poin pembanding krusialnya adalah: setelah airnya menjadi tenang maka nelayan-nelayannya menjadi lebih takut –Cerita Yunus.
Dalam Cerita Yunus, Yunus mengatakan, “Satu hal yang kamu harus lakukan adalah mencampakkan aku ke laut”, lalu setelah dia dicampakkan ke laut, lautnya menjadi tenang. Kenapa demikian? Karena Yunus pergi di dalam kapal tersebut, melawan kehendak Allah. Di dalam kitab Markus ada sesuatu yang beda, Yesus tidak dilempar ke laut lalu airnya menjadi tenang, Yesus bukan ada di kapal karena Dia melawan kehendak Allah; Dia ada di kapal justru karena Dia sedang mengerjakan secara total dan utuh kehendak Allah tersebut, jadi Dia tidak perlu dong membayar keselamatan para murid dengan nyawa-Nya, Dia tidak perlu membayar nyawa para murid dengan nyawa-Nya sendiri dong. Saudara lihat apa yang Markus lakukan di sini? Markus sedang mengajak kita melihat ke belakang, supaya kita bisa melihat ke depan. Kalau Saudara melihat ke depan –membaca sampai belakang kitab Markus– lalu Saudara kembali ke bagian soal badai ini, Saudara akan melihat bagian kecil ini merupakan suatu miniatur dari keseluruhan kisah di dalam Markus: dalam kisah ini, Yesus dan para murid berhadapan dengan kuasa chaos samudra raya, lalu di belakang sana nanti, Yesus dan para muridnya berhadapan dengan kuasa gelap, yang menggerakkan ahli-ahli Taurat, pemimpin-pemimpin sinagoge Yahudi, dan juga mesin kekaisaran Romawi yang akhirnya menangkap Yesus dan menjatuhkan hukuman mati kepada-Nya; dalam kisah yang kecil ini, Yesus tidur di buritan perahu, lalu di belakang sana nanti Saudara melihat Yesus bukan tertidur melainkan menundukkan kepala-Nya, teronggok di atas kayu salib. Dengan demikian Saudara menyadari, di dalam kisah yang kecil ini Yesus mengatakan, “Mengapa kamu takut,? Mengapa kamu tidak percaya?” dan di belakang sana nanti juga ada kalimat yang sama, pada hari yang ketiga badai itu dibungkam, angin ditenangkan, kubur menjadi kosong, dan kegemparan turun kepada mereka semua, siapa gerangan Orang ini??
Kalau Saudara bisa melihat hal ini, itulah yang bsia menjadi cikal bakal iman dalam hidupmu, itulah yang akan membuat Saudara tenang dalam menghadapi angin kecil serta ombak-ombak picisan dalam hidupmu –meskipun terkadang ada juga ombak yang riil dan angin yang kencang– itulah yang akan menjadikanmu beriman dan lepas dari ketakutan. Kenapa demikian? Karena jika Yesus tidak membiarkanmu binasa dalam angin dosa dan ombak maut di belakang itu, jika Dia tidak meninggalkanmu dalam badai terbesar yang penghabisan itu, maka apa yang membuat engkau berpikir bahwa Dia akan meninggalkanmu dalam badai-badai yang jauh lebih kecil yang sedang engkau hadapi sekarang, termasuk badai-badai di mana engkau akan dilempar ke binatang buas entah di colosseum atau di tempat kerjamu hari ini??
Yesus telah melempar diri-Nya masuk ke dalam badai yang ultimat bagi engkau, dan kalau engkau merenungkan itu, tidaklah mungkin dari mulut kita keluar kalimat, “Tuhan, Engkau tidak peduli?”; kalimat yang keluar adalah, “Kenapa Engkau peduli sebegitu rupa dengan diriku? Kenapa Engkau turun dari surga masuk dunia gelap penuh cela? Kenapa Engkau bergumul di taman, cawan pahit pun Engkau terima? Mengapa Engkau menderita didera, mahkota duri pun Engkau pakai? Mengapa Engkau mati bagi saya? Kasih-Nya, ya, karena Kasih-Nya.”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading