Kita melanjutkan seri mengenai Epifania, mengikuti tradisi Gereja berabad-abad dalam masa antara Natal dan Jumat Agung. Epifania adalah manisfestasi, sesuatu dinyatakan/ dibukakan; dan dalam minggu-minggu Epifania, yang mau dirayakan/diingat adalah mengenai kemuliaan Kristus, seperti apa kemuliaan Kristus yang dinyatakan. Itu sebabnya perikop-perikop yang dibahas adalah yang merunut pelan-pelan bagaimana identitas Yesus, dan dengan demikian juga kemuliaan-Nya dinyatakan, di dalam kisah-kisah Injil yang berada setelah Natal namun sebelum Salib. Dalam pembahasan Kalender Gereja seperti ini, kita diajak merenungkan bagaimana kemuliaan Yesus dinyatakan bukan cuma dalam kelahiran-Nya tok, atau kematian-Nya tok, atau kebangkitan-Nya tok, dst., tapi justru melalui kehidupan-Nya. Ini satu hal yang sangat kita butuhkan kalau kita mau hidup kita semakin lama semakin diubah menjadi seperti Yesus Kristus.
Hari ini kita masuk ke satu perikop yang unik dalam Injil Yohanes, yang tidak kita temukan dalam injil-injil sinoptik, yaitu kisah perkawinan di Kana. Dari ayat 11, kita mengerti alasannya perikop ini masuk dalam pembahasan minggu-minggu Epifania, adalah karena di situ dikatakan, “Ini adalah tanda (semeion, sign) dari Yesus yang pertama, dan dengan inilah Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya,” demikian yang Yohanes katakan; dan hasil akhirnya, murid-murid-Nya menaruh trust kepada-Nya. Dari hal ini saja, kita bisa melihat bahwa ini bukan momen yang biasa-biasa, ini bukan momen sembarangan. Ini bukan sekadar satu catatan mengenai apa yang Yesus pernah lakukan secara gaib, yang daftarnya lumayan panjang lalu ini salah satunya yang kebetulan adalah yang pertama. Ini ni adalah tanda yang pertama, yang Yesus pilih untuk memulai pelayanan-Nya, untuk menandakan seperti apa Dia, siapa Dia sesungguhnya, kemuliaan-Nya dilihat dalam hal seperti apa.
Bayangkan misalnya suatu hari saya dipindah ke tempat yang baru, melayani jemaat yang baru. Dalam khotbah saya yang pertama di sana, saya pasti akan memikirkannya baik-baik, saya tidak akan sembarangan; khotbah tersebut mau bicara tentang apa, harus dipersiapkan secara detail, karena ini adalah khotbah yang perlu untuk membuat orang tahu kira-kira siapa gembala sidang mereka yang baru ini. Saudara pun sama. Misalnya Saudara masuk ruang lingkup kantor yang baru dan Saudara presentasi untuk pertama kali, maka Saudara akan benar-benar memperhatikan setiap detail kata, setiap detail tulisan, dsb.; atau kalau Saudara memulai suatu bisnis yang baru dan mengadakan grand opening, Saudara akan pikirkan setiap detail dekor, dst. Dengan sangat hati-hati Saudara akan merancang untuk mengungkapkan apa sih keunikan saya, apa esensi dari bisnis tersebut, apa keunikan restoran ini dibandingkan restoran lain, dst. Jadi, bukankah sangat menarik bahwa tanda pertama dari Mesias Israel, dari Juruselamat dunia, peresmian dari siapa Dia dan apa yang Dia akan bawa ke dalam dunia, manifestasi dari kemuliaan-Nya yang besar, itu bukanlah membangkitkan orang mati, bukanlah mengusir setan, bukanlah menyembuhkan orang sakit, juga bukan berkhotbah, bukan mengajar, bukan bikin PA, bukan bikin KTB, tapi Yesus memilih sebagai tanda pertama-Nya, menggunakan kuasa-Nya yang besar dan mulia itu, untuk menyelamatkan sebuah bencana, yaitu bencana Sie Konsumsi —konsumsinya kurang, bakso gorengnya habis. Saudara lihat apa yang terjadi di sini? Tanda pertama dari Yesus Kristus, tanda pertama dari misi-Nya itu, cara yang Yohanes katakan sebagai cara Dia memanifestasikan siapa diri-Nya dan kemuliaan-Nya —ini kartu nama-Nya— adalah membuat ratusan liter galon anggur terbaik untuk menyelamatkan sebuah pesta pernikahan yang kurang planning. Itu saja. Kenapa, ya??
Sebelum menjawab pertanyaan ini, dari pertanyaannya pun kita sudah dapat menarik poin yang bisa kita pelajari. Kalau di antara Saudara ada yang membaca kisah-kisah seperti ini dengan sangsi, meragukan bahwa mukjizat seperti ini benar-benar terjadi atau tidak, maka Saudara bisa pikir dan tarik sedikit dari hal ini, demikian: jikalau kisah-kisah Injil hanyalah legenda, tidak benar-benar terjadi, cuma ditulis demi propaganda (karena memang kisah Injil selektif, tidak mencatat keseluruhan biografi kehidupan Yesus, hanya sebagian peristiwa-peristiwa yang akan menyajikan siapa Orang ini), maka sebagaimana seorang profesor di Duke University bernama Reynolds Price katakan, siapa coba, yang akan bikin kisah pertama mengenai kuasa dan otoritas Yesus Kristus dengan cerita kayak begini?? Tidak masuk akal! Memberi solusi mukjizat cuma untuk mengisi baki bakso goreng, itu doang! Keren sih, tapi ‘gak big deal amat, ya, ‘gak??
Tentu saja kita mengakui bahwa pada waktu itu dan di tempat tersebut, urusan kehabisan anggur cukup big deal juga, karena dalam honor and shame culture kalau sampai pengantin kehabisan anggur, itu cukup serius, orang yang datang bisa mengungkit-ungkit seumur hidup, “Itu tuh, keluarga yang kehabisan anggur!” Orang yang menikah pun bisa merasa ini tanda bad luck, “Sial banget gua, pernikahan sampai kehabisan anggur kayak begini, kurang planning; kalau acara wedding-nya saja kayak begini, bagaimana pernikahannya sendiri??” Jadi, tentu itu bukan sesuatu yang remeh banget. Namun demikian, tetap saja kalau Saudara ada di posisi Yesus, dan Saudara mau memakai ini sebagai tanda pertama di mana Saudara akan meluncurkan seluruh pelayanan publik Saudara, pasti masih banyak kemungkinan lain yang lebih dramatis yang Saudara bisa pakai sebagai tanda pertama, ya ‘gak sih! Bahkan Cinderella saja bisa dibilang lebih imajinatif. Kalau Saudara ingat cerita Cinderella, tanda ajaib yang dilakukan fairy godmother-nya adalah mengubah labu jadi kereta yang begitu megah, mengubah tikus-tikus jadi kuda-kuda yang gagah perkasa berwarna putih untuk menarik kereta tersebut, mengubah cecak-cecak menjadi tentara-tentara pengiringnya, dan mengubah si angsa menjadi kusirnya dengan seragam, topi, dan cemetinya yang keren itu. Cinderella saja begitu imajinatif dan dramatis, tapi Yesus koq, sepertinya kalah di sini.
Itu sebabnya Gereja berabad-abad merasa perlu sekali setiap tahun membahas rangkaian Epifania seperti ini, karena apa? Karena waktu kita membahas istilah ‘kemuliaan Yesus’, kita sering kali secara tidak sadar membacanya melalui kesempitan kacamata kita, kita memasukkan dalam kata tersebut ide-ide kita mengenai apa yang mulia, dan kita gagal menangkap bahwa apa yang mulia bagi Allah mungkin sesuatu yang berbeda. Contoh paling gampang, kalau Saudara mendengar orang mengatakan, “Terjadi pekerjaan Tuhan secara luar biasa, besar dan mulia!” maka apa yang jadi bayangan Saudara? Saudara mungkin membayangkan ada KKR besar, yang datang banyak dan ruangan penuh, lalu banyak yang maju ke depan terima calling; itulah pekerjaan Tuhan yang besar, yang seringkali kita pikirkan. Itulah ide kemuliaan kita. Kita pikir Tuhan dimuliakan ketika gedung gereja semakin megah, semakin indah, kursinya semakin banyak, tiap Minggu semakin penuh! Kita mungkin berpikir seperti itu, tetapi itu ide kemuliaan siapa? Waktu Saudara kembali ke Alkitab, ternyata kemuliaan Yesus dinyatakan paling utuh dan klimaks di dalam momen Dia paling terhina, paling kalah telak, momen di mana Ia tidak lagi bernafas –ide kemuliaan yang begitu berbeda. Bayangkan kalau Saudara di sini ganti gembala sidang, lalu jumlah jemaatnya turun dan turun terus, persembahannya turun dan turun terus, Saudara pasti resah. Inilah yang sering kali kita tidak sadari dalam hidup kita, kita salah kaprah mengenai siapa Yesus, apa identitas-Nya, apa yang Dia bawa, apa yang menjadi kemuliaan-Nya, dan oleh karena itu kita sering kali juga gagal menangkap apa yang harusnya menjadi identitas kita dan kemuliaan bagi kita sebagaiTubuh Kristus, kita masih pakai ide dan kacamata duniawi. Inilah sebabnya tema Epifania penting.
Kita masuk ke pembahasannya. Jadi siapa Yesus itu? Apa yang lewat cerita ini, kita bisa melihat Dia hendak nyatakan diri-Nya dan misi-Nya dari tanda yang pertama, yang sering kali menjungkirbalikkan apa yang selama ini kita pikir kita tahu? Apa yang selama ini kita tidak sadari atau tidak lihat, yang dinyatakan lewat tanda ini?
Ayat 8 dan 9, Saudara perhatikan ada satu istilah yang tidak muncul di tempat lain di Alkitab selain di bagian ini, yaitu: ‘Lalu kata Yesus kepada mereka: “Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta.” Lalu mereka pun membawanya. Setelah pemimpin pesta itu mengecap air, yang telah menjadi anggur itu — dan ia tidak tahu dari mana datangnya, tetapi pelayan-pelayan, yang mencedok air itu, mengetahuinya — ia memanggil mempelai laki-laki.’ Inilah istilah yang tidak pernah muncul, yaitu tokoh pemimpin pesta (the master of the banquet), yang dalam bahasa Yunani ada satu istilahnya, architriklinos, yang hari ini biasa kita sebut sebagai MC atau EO (event organizer) atau WO (wedding organizer). Jadi, ini adalah momen di mana atmosfer “pesta” akan segera runtuh ketika kehabisan anggur; dan yang Yesus lakukan adalah: Dia menunjukkan siapa sesungguhnya the True Master of the Banquet, siapa sesungguhnya the True Lord of the Feast, siapa sesungguhnya Tuan yang sejati dari segala pesta ini, siapa Architriklinos yang sejati di sini —yaitu Yesus Kristus. Pernahkan Saudara terbayang figur Yesus Kristus seperti ini?
Saudara lihat, kenapa Yesus memilih ini sebagai tanda pertama-Nya, business card-Nya untuk menunjukkan/memanifestasikan siapa diri-Nya kepada dunia dan juga kepada murid-murid-Nya, dengan cara memberikan ratusan liter anggur terbaik untuk mengubah sebuah pesta yang sedang sekarat menjadi pesta yang begitu meriah? Kenapa Dia pakai cara ini? Karena inilah yang Yesus sedang katakan: “Aku datang sebagai Architriklinos yang sejati, Aku datang sebagai the True Lord of the Feast.” Memang jelas, “Aku datang untuk menyangkal diri, Aku datang untuk menderita, Aku datang untuk dihina, didera, dan mati di atas kayu salib –dan kalau kamu mengikut Aku, maka kamu harus mengikut itu semua juga, menyangkal diri dan memikul salib”, tapi sadarkah Saudara ada satu hal yang kita seringkali tidak lihat dalam diri Yesus, yang dinyatakan di sini, yaitu bahwa ternyata semua urusan penyangkalan diri, penderitaan, kehinaan, didera, kematian, dsb., adalah sarana yang Tuhan Yesus pakai, bukan tujuan akhirnya. Tujuan akhirnya bukanlah membuat kita jadi orang-orang yang sangkal diri, pikul salib, terus menderita menjadi keinginan kita dan kita menjadi orang-orang masokhis; tujuan akhirnya adalah untuk Dia bisa datang sebagai the Lord of the Feast. Saudara mengerti sekarang alasannya tadi kita mengatakan bahwa kita sering kali membaca kemuliaan Yesus melalui kesempitan kacamata kita. Tadi kita memberikan salah satu contoh di mana kita sering kali gagal melihat kehinaan dan kerendahan dalam kemuliaan Yesus –memang itu salah satu aspeknya– tapi lewat bagian ini, kita menyadari bahwa problem kita terkadang juga sebaliknya, yaitu kita gagal melihat aspek perjamuan, aspek anggur (wine) di dalam kemuliaan Yesus.
Omong-omong, ini bukanlah sesuatu yang radikal, yang sama sekali baru dalam zaman Yesus, yang tiba-tiba Yesus bikin theologi baru –tidak demikian. Kalau Saudara mundur ke Perjanjian Lama, ini ada konteksnya. Misalnya dalam Yesaya 25, salah satu janji Tuhan adalah: “TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk, suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar, masakan yang bergemuk dan bersumsum, anggur yang tua yang disaring endapannya” –bahasa yang bikin ngiler. Jadi, waktu Yesus di Perjanjian Baru mengatakan hal seperti tadi, Dia hanya sedang meneruskan apa yang Allah Yahweh sudah memulai sejak di Perjanjian Lama. Untuk inilah Dia datang, untuk membawa kesukacitaan sebuah pesta.
Kenapa di dunia ini banyak orang yang tidak beragama, banyak orang ber-KTP Kristen tapi tidak beribadah, tentu banyak alasannya, tetapi salah satunya adalah sebagaimana orang mengatakan, “Ya, saya dibesarkan di keluarga Kristen koq, tapi itu dulu waktu saya masih kecil, waktu saya masih di kampung. Sekarang saya di Jakarta, di kota besar; di sini saya mau enjoy life, saya mau have fun. Itu sebabnya saya tidak beribadah.” Saudara, bukankah ini sering kali cara kita mengerti Kekristenan? Bukankah paling tidak ada sebagian dari diri kita yang mengira inilah Kekristenan; bahwa Kekristenan itu artinya tahan diri, belajar mengatakan ‘tidak’, jauhi ini dan itu, ‘ini memang sulit, tapi inilah Kekristenan; kalau kamu tidak mau masuk neraka, ya, inilah caranya’? Itukah Kekristenan, Saudara? Sangkamu itukah Kekristenan? Pada dasarnya lewat bagian ini, Yesus sedang memutar balik meja sejak tanda-Nya yang pertama! Betapa celaka kalau orang menolak Kekristenan karena mereka berpikir seperti tadi. Kalau Saudara mau menolak Kekristenan, silakan, tidak ada yang paksa untuk menerima Kekristenan, tapi ada cara bodoh dalam menolak Kekristenan, dan inilah salah satunya: dengan tidak mengerti apa yang Saudara tolak, bahwa yang Saudara tolak sesungguhnya adalah jalan di mana Tuhan menjanjikan kehidupan yang begitu limpah.
Yesus sedang mengatakan, “Akulah Tuan dari pesta yang besar, Aku datang untuk membuat dunia banjir dengan anggur. Kamu mau tolak Aku, silakan; tapi alasan ‘have fun’, tidak bisa jadi salah satunya.” Jadi, inilah yang Yesus berikan kepada kita, “Inilah business card-Ku; Saya ini Tuan dari Pesta Besar Ilahi yang akan terjadi pada akhir zaman. Untuk mendatangkan pesta seperti itulah, Aku hari ini datang.” Saudara kaget? Itu sebabnya ini tanda yang signifikan, ini satu hal yang kita perlu pelajari mengenai kemuliaan Tuhan. Namun tentu saja bukan hanya itu yang Tuhan tunjukkan kepada kita; itu baru aspek pertamanya. Setiap kali kita membahas mengenai kemuliaan Tuhan, mengenai diri Kristus, kita sudah berkali-kali melihat bahwa selalu diri Yesus ada aspek paradoksnya, tapi waktu kita melihat aspek paradoks tersebut itulah kemuliaan-Nya nyata.
Hal kedua yang kita akan lihat yaitu bahwa dalam bagian ini, tanda tersebut bukan cuma membukakan untuk apa Yesus datang –yaitu menjadi Tuan dari pesta yang besar di akhir zaman– tapi juga apa yang Ia perlu lakukan untuk mendatangkan pesta tersebut. Sebagaimana tadi kita sudah mengatakan, pesta Ilahi tersebut adalah tujuan akhir kedatangan-Nya; lalu apa yang menjadi sarana-nya, itulah yang kita perlu tanya.
Di ayat 3, kita melihat Maria datang kepada Yesus dan mengatakan satu permintaan yang sangat masuk akal. Dalam zaman tersebut, kalau anggur habis maka pestanya selesai; dan ini baru hari ketiga, sehingga urusan anggur habis ini cukup serius, karena pernikahan pada zaman itu tidak cuma satu dua jam seperti hari ini, yang kita ambil makan lalu pulang dan urusan selesai. Pernikahan pada zaman itu, mungkin paralel dengan yang kita temukan di daerah Sumba. Di Sumba –dan mungkin juga daerah-daerah lain–kalau Saudara datang ke pernikahan, Saudara akan ambil makanan, lalu setelah dihabiskan Saudara akan ambil lagi, begitu juga sorenya Saudara akan ambil lagi, malamnya ambil lagi; dan itu berlangsung berhari-hari, demikianlah pesta pernikahannya. Waktu kami pergi ke Sumba, kami melihat ketika orang mengadakan pesta adat –dan pesta adat terbanyak adalah pernikahan– satu desa berhenti semua kegiatannya demi pesta tersebut; sekolah berhenti, pengolahan ladang berhenti, semua berhenti, dan semua datang ke pesta tersebut, bahkan juga orang-orang dari desa tetangga, sebagaimana juga Maria bukan tinggal di Kana tapi dia diundang ke pesta tersebut. Mereka datang ke pesta itu bukan cuma satu dua hari, tapi bisa empat, lima, bahkan mungkin seminggu. Jadi, kalau sampai kehabisan anggur di acara seperti itu, ini masalah yang cukup signifikan, lebih dari yang biasa kita rasakan, karena bisa jadi orang mengatakan, “Lah, ini baru hari ketiga, kita sudah tutup sekolah lho demi pesta ini, tapi lu kehabisan anggur, bagaimana, sih?? Kurang planning atau bagaimana??” –kira-kira seperti itu. Maria tahu situasinya, mungkin karena dia saudara dekat; dan dia tahu siapa Yesus. Orang-orang lain belum tahu siapa Yesus karena Yesus belum memanifestasikan diri-Nya kepada mereka. Maria tahu siapa Yesus, dia tahu kasih yang ada pada diri Yesus, karakter yang ada pada diri Yesus, jadi apa yang Maria tanyakan kepada Yesus di ayat 4 ini bukan suatu hal yang salah; dia hanya mengatakan, “Yesus, ini anggurnya kehabisan (bisakah Kamu melakukan sesuatu mengenai hal ini?” –karena dia tahu Yesus bisa. Kuncinya di ayat 4, yaitu respons Yesus; ‘Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Di bagian ini tentu Saudara sudah pernah dengar bahwa kata ‘ibu’ di sini terjemahannya tidak tepat, dan sayangnya terjemahan TB2 pun tidak mengoreksi hal ini, mungkin karena dirasa terlalu kasar, sebab bahasa aslinya memang Yesus bukan menyebut Maria sebagai ‘ibu’ melainkan ‘perempuan/wanita’. “Mau apa Lu dari Gua, hai wanita? Saat-Ku belum tiba”, terdengar agak kasar, bahkan sangat kasar. Namun kesulitan kita yang kedua dalam hal ini, bukan cuma kalimat ini sangat kasar tapi juga seperti ‘gak nyambung, maksudnya apa.
“Mereka kehabisan anggur”, lalu direspons dengan: “Mau apa Lu, saat-Ku belum tiba.” Koq, respons Yesus agak ‘gak nyambung?? Yesus seperti orang yang sedang ngawang, sedang memikirkan yang lain, sedang dalam dunia-Nya sendiri lalu tiba-tiba ditarik turun ke dalam realitas. Itu sebabnya membaca bagian ini, kita sering kali mengira Yesus mengatakan, “Jangan paksa Aku! Tunggu, kek, waktu-Ku ya waktu-Ku. Aku kalau mau kerjain suatu hal, Aku akan kerjain, ‘gak usah paksa-paksa, ‘gak usah suruh-suruh; nanti kalau momennya tepat, Aku tahu”, dsb. –kita mengira seperti itu. Tetapi ini aneh, karena kalau misalnya demikian, lalu kenapa setelah itu Yesus langsung membuat mukjizat; aneh bukan? Jadi di sini mungkin kita perlu mengubah kacamata kita dalam bagaimana kita melihat tindakan Yesus, kita jangan menilai Dia sebagaimana diri kita pada umumnya. Yesus itu seorang pemimpin movement yang sangat besar; dan seorang leader, apapun yang dia lakukan biasanya diperhitungkan baik-baik. Jadi di sini sepertinya Yesus bukan galau, berubah pikiran tiba-tiba karena disenggol-senggol sama mami-Nya, “Ayo dong, ayo dong!”, “’Gak mau, ‘gak mau… “, lalu akhirnya, “Ya, udahlah, Mama.. “. Bukan seperti itu. Jadi apa maksudnya?
Kita akan coba berspekulasi sedikit, tapi tentu saja ada dukungan Alkitabnya, tidak sekadar spekulasi. Apa kira-kira yang sedang ada dalam pikiran Yesus pada saat itu, kenapa Dia terkesan begitu ketus, kasar, seakan-akan sedang memikirkan hal yang lain? Ada dua hal yang kita bisa coba spekulasi. Yang pertama cukup gampang, kalau Saudara datang ke sebuah pernikahan, biasanya Saudara cenderung memikirkan apa? Apalagi kalau Saudara seorang single, apalagi kalau Saudara seorang single berumur tiga puluh, apalagi kalau Saudara seorang single berumur tiga puluh dalam budaya di mana orang menikah umur 14-15 tahun, apa yang biasanya Saudara pikirkan? Kita cenderung akan memikirkan pernikahannya kita; ‘saya ini bakal nikah juga ‘gak ya’, ‘kalau saya nikah, nikahnya kayak apa, ya’, ‘nikahnya dengan siapa, ya’ –kira-kira begitu, dan ini normal. Kalau kita sudah menikah, mungkin kita memikirkan balik pernikahan kita; ‘wah, dia kuenya kayak begitu, mirip ya dengan kue kita dulu’ –misalnya demikian. Begitulah, waktu kita datang ke pernikahan, kita cenderung memikirkan pernikahan kita. Dalam hal ini kita berspekulasi sedikit, kalau Yesus sebagai manusia sedang memikirkan hari pernikahan-Nya, maka ini signifikan, karena urusan pernikahan Allah adalah sesuatu yang ada konteks Perjanjian Lama yang sangat kencang.
Perjanjian Lama selama ratusan tahun, lewat berbagai nabi dan tulisan, memberitahu kepada kita bahwa Allah Yahweh tidak mau berhubungan dengan kita sebatas hubungan Raja dan rakyat, sebatas hubungan Gembala dan domba, sebatas hubungan Ayah dan anak. Berkali-kali kita membaca di Perjanjian Lama, bahwa Allah Yahweh ingin berhubungan dengan umat-Nya sebagai Suami terhadap istri. Dia tidak mau sekadar bertakhta di atas kita, Dia ingin sesuatu yang lebih, Dia ingin mengenal (yada) kita, Dia ingin mengasihi kita. Dia ingin bersatu dengan kita sebagaimana seorang pengantin pria mengenal istrinya. Sepanjang Perjanjian Lama, Allah senantiasa menggambarkan diri-Nya sebagai Pengantin Pria bagi umat-Nya, yang adalah pengantin wanita-Nya. Inilah sebabnya ketika Israel menyembah berhala, Allah merespons bukan dengan mengatakan, “Theologimu salah!” melainkan hal-hal seperti: “Aku cemburu denganmu; kenapa engkau melacurkan diri seperti seorang pelacur, engkau ‘kan istri-Ku”, dst. Jadi, ketika Yesus mengklaim titel ini, Dia sebenarnya bukan sekadar mengklaim suatu metafora kecil, tetapi Dia mengklaim tidak kurang dari keilahian.
Semasa hidup Yesus, Dia menghadirkan diri-Nya sebagai tokoh Pengantin Pria ini. Di kitab Matius, waktu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menegur Yesus, “Murid-murid-Mu ‘gak bener, kenapa mereka tidak berpuasa?”, Yesus mengatakan, “Apakah sahabat-sahabat Pengantin Pria berpuasa selagi masih bersama-sama dengan Dia?” Jawaban ini menarik, karena membuat kita menyadari bahwa Yesus bukan cuma sedang membuat suatu analogi, tapi Dia sedang mengatakan ‘Akulah Sang Pengantin Pria itu’; dan Dia mengatakan ini kepada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang adalah orang-orang yang mengenal Alkitab. Tidak heran setelah itu mereka mau melempari Dia dengan batu, membunuh Dia, dsb., karena ini memang tidak kurang dari klaim keilahian.
Kalau Saudara kembali ke Injil Yohanes, bukan cuma Yesus yang mengklaim diri-Nya sebagai Pengantin Pria, bahkan orang lain pun melihat hal ini, misalnya Yohanes Pembaptis. Di pasal 3, ada satu peristiwa Yohanes Pembaptis mendapat laporan dari murid-muridnya: “Yohanes Pembaptis, gawat nih! Orang-orangmu, murid-muridmu, pengikut-pengikutmu, semua meninggalkanmu sekarang, berbondong-bondong pindah ke Yesus; bagaimana ini??” Dan, Yohanes Pembaptis menjawab dengan kalimat yang kita kenal, “Ia harus makin besar, aku harus makin kecil” –ini kalimat yang kita ingat; tapi yang kita tidak ingat adalah kalimat yang persis sebelumnya, yaitu: “Yang empunya mempelai perempuan ialah Mempelai Laki-laki; tetapi sahabat Mempelai Laki-laki yang berdiri dekat Dia, dan yang mendengarkan-Nya, sangat bersukacita mendengar suara Mempelai Laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku penuh.” Ini berarti Yohanes sedang mengatakan, “Mempelai wanita adalah kepunyaannya Mempelai Pria, yaitu Yesus. Aku ini cuma best man, aku cuma pendamping; dan sekarang tujuanku tercapai, aku sudah menjaga sang pengantin wanita untuk bisa sampai dengan selamat ke tangan Pengantin Pria. Begitu ini tercapai, sukacitaku menjadi penuh. Aku ini cuma best man, maka sudah sepantasnya orang beralih kepada Dia; Dia harus semakin besar, aku semakin kecil” –itulah yang Yohanes katakan. Yohanes pun menyadari, Yesuslah Sang Pengantin Pria itu.
Motif ini berlanjut terus sampai ke kitab Wahyu. Di halaman-halaman terakhir Alkitab, Yohanes mengatakan, “Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.” Jadi inilah tujuan akhir kedatangan Yesus; Dia datang untuk menjadi Sang Pengantin Pria bagi umat-Nya, Israel yang baru. Ia datang untuk hal ini. Itu sebabnya waktu Dia datang ke pernikahan di Kana, tidaklah aneh untuk kita memikirkan bahwa Yesus sedang membayangkan akan Pernikahan-Nya, Dia sedang menerawang kepada Hari ketika Dia pada akhirnya menikah dengan umat-Nya. Saudara mungkin mengatakan, “Yesus tidak menikah”; ini ada benarnya, tapi juga salah. Yesus semasa hidup-Nya tidak menikah dengan seorang wanita, itu benar; Ia menikah dengan Gereja. Inilah hal pertama yang Yesus pikirkan, Hari di mana Pesta Ilahi yang dijanjikan di Yesaya 25 akan terjadi, sebuah Pesta yang mengalahkan pesta-pesta yang lain.
Namun itu baru hal yang pertama, karena jelas bukan hanya itu yang Dia pikirkan, karena kalau Dia hanya memikirkan hal tersebut, ini tidak menjelaskan kenapa Dia jadi seperti seorang yang stres dan tertekan ketika memikirkan hari pernikahan-Nya. Jadi apa lagi yang Dia sedang pikirkan? Saudara, kalau engkau seorang single dan pergi ke pernikahan orang lalu mulai membayangkan mengenai pernikahan Saudara, biasanya memang akan mengalami perasaan galau. Kenapa Saudara galau waktu memikirkan pernikahan Saudara di sini? Karena Saudara dipenuhi dengan ketidaktahuan. Saudara tidak tahu pernikahan Saudara nanti akan jadi seperti apa. Saudara bahkan tidak tahu apakah Saudara akan menikah. Saudara tidak tahu dengan siapa Saudara akhirnya akan menikah. Saudara tidak tahu apa yang akan terjadi setelah pernikahan –dan itu cukup menakutkan. Waktu kita sebagai orang single memikirkan ini, kita penuh dengan ketidaktahuan, maka kita galau, stres, sedangkan Yesus ‘kan tahu, lalu kenapa Dia sikapnya seperti orang terganggu? Kenapa Dia begitu ketus, bahkan terhadap ibu-Nya sendiri? Kenapa Dia terlihat seperti orang tertekan ketika Maria bicara kepda-Nya? Jawabannya, karena Dia tidak cuma memikirkan pernikahan-Nya; Dia sedang memikirkan apa yang harus Dia lakukan untuk menyediakan anggur bagi pernikahan-Nya.
“Oke, Pak, boleh stop di sini dulu? Saya mengerti, kita bukannya tidak boleh berspekulasi, tapi ini semua dasarnya apa? Ini intuisi kita doang atau ada dasar tekstualnya?” Jawabannya: ada. Perhatikan ketika Maria datang dan mengatakan bahwa anggur habis, Yesus berespons dengan mengatakan, “Saat-Ku belum tiba”. Ini bukan istilah aslinya; istilah Yunaninya memakai kata hora, artinya jam: “Jam-Ku belum tiba” (“My hour has not yet come”). Ini adalah satu istilah teknis dalam kitab Yohanes yang berkali-kali muncul. Di pasal 7:30, pasal 8:20, pasal 12:23, pasal 13:1, Yesus mengucapkan frasa ini berulang kali, “My hour …”. Maksudnya hour apa? Ini dijelaskan Yohanes pada akhirnya, ketika Yohanes mengatakan: “Ketika tiba jamnya –saatnya– untuk Yesus beralih dari dunia ini kepada Bapa”. Dengan demikian kita mengerti yang dimaksud dengan jam-nya Yesus adalah momen kematian-Nya, momen Dia berada di atas kayu salib menghembuskan nafas yang terakhir. Jadi, ketika Mariaa datang dan mengatakan mengenai anggur perjamuan nikah di Kana lalu Yesus berespons, “Perempuan, belum saatnya Aku mati”, ini terkesan ‘gak nyambung, sampai kemudian Saudara menyadari ada sesuatu dalam pernikahan di Kana yang nyambung dengan momen kematian Yesus; yaitu apa? Yaitu Yesus bukan sedang bicara mengenai anggur di Kana –Dia tidak perlu mati untuk menciptakan anggur di Kana– Dia bukan bicara mengenai pesta pernikahan di Kana, tetapi sesegera Maria datang dan mengatakan pesta pernikahan ini kehabisan anggur, sesegera itu Yesus langsung konek bahwa ‘di dalam Pesta Pernikahan-Ku, satu-satunya cara Aku bisa menyediakan anggur di Pesta Pernikahan-Ku, satu-satunya cara Aku bisa mengambil umat-Ku sebagai istri-Ku, adalah dengan menjalani jam kematian-Ku’.
Hal ini semakin jelas ketika Saudara kemudian melihat cara yang Yesus pakai untuk menciptakan anggur tersebut. Di ayat 6 Yohanes mencatat bahwa di situ ada enam tempayan air yang biasa digunakan untuk adat Yahudi. Ini tempayan yang besar, isinya sekitar 80-120 liter, jadi enam tempayan isinya paling sedikit 600 liter; dan ini bukan tempayan biasa, ini tempayan yang biasa dipakai untuk upacara pembasuhan sebelum orang Yahudi merayakan Sabat misalnya, atau pergi ke Bait Suci. Ini mirip dengan sahabat-sahabat kita beragama Islam yang menyempatkan membasuh diri sebelum mereka masuk ke ibadahnya. Orang Yahudi melakukan ini sebagai lambang untuk mengingatkan diri mereka sendiri bahwa mereka adalah pendosa, mereka ada ketidaksucian di hadapan Tuhan, mereka perlu dibersihkan senantiasa –atau mereka tidak bisa menghadap Tuhan dalam ibadah. Itulah kepercayaan orang Yahudi waktu melakukan ritual pembasuahan. Jadi Saudara dapat melihat dengan sangat jelas apa maksudnya ketika Yesus mengubah air menjadi anggur itu Dia minta pakai tempayan-tempayan tersebut, ini bukan karena Dia butuh melainkan ini adalah lambang/tanda (semeion, sign) akan apa yang akan Dia lakukan belakangan. Di sini Dia mungkin mengajak kita untuk mengingat, bahwa dulu Allah Yahweh melalui Musa, mengubah air menjadi darah sebagai kutukan; namun sekarang Yesus mengubah air menjadi anggur, dan belakangan Dia mengatakan, cawan anggur Perjamuan Terakhir adalah darah-Nya. Ketika Dia melihat anggur, Dia melihat darah-Nya sendiri. Di Perjanjian Lama, ini sebuah kutukan (mengubah air menjadi darah), tapi sekarang Yesus, yang nanti akan mengubah air menjadi darah untuk kedua kalinya, menjadikan ini sebagai berkat, sebagai wine bagi kita, sebagai apa yang sungguh-sungguh menyucikan dan menguduskan kita –membasuh kita– sebagai apa yang selama ini dilambangkan oleh ritual pembasuhan orang Yahudi, bahwa inilah realitasnya.
Sekarang Saudara dapat mengerti kenapa Yesus bersikap begitu ketus seperti orang tertekan di tengah-tengah pesta, kenapa di tengah-tengah semua sukacita orang-orang mengenggak wine Dia malah menenggak penderitaan yang akan datang itu, yaitu karena tidak mungkin Dia bisa memikirkan wine yang akan Dia sediakan pada Pesta Besar Ilahi di akhir zaman tanpa pada saat yang sama memikirkan cawan apa yang Ia akan terima dari Tuhan demi Dia bisa menghadirkan cawan sukacita bagi banyak orang. Dia tahu, jika suatu hari Dia mau berpesta dengan kita, jika suatu hari Dia mau mengambil kita masuk ke dalam tangan-Nya, jika Dia mau membuat kita bisa minum dari aliran sungai berkat-Nya, jika Dia mau kita bisa datang ke dalam sukacita Pesta Pernikahan Anak Domba Allah, maka satu-satunya jalan adalah Ia harus menjalani jam tersebut. Untuk bisa memberikan cawan sukacita kepada kita, Ia harus meminum cawan murka dan keadilan Allah. Dan, ini satu hal yang Saudara tidak bisa remehkan, karena kita ingat belakangan di Taman Getsemani Dia mengatakan berkali-kali, “Kalau bisa … kalau bisa … kalau bisa biar cawan ini lalu dari pada-Ku”. Saudara lihat, inilah alasannya untuk apa Dia datang.
Mengertikah Saudara sekarang, kenapa Yohanes mengatakan ‘ini tanda yang dignifikan, ini tanda yang pertama; lewat inilah Dia memanifestasikan, memberitakan kemuliaan-Nya bagi kita’, bahwa oleh inilah kita terpukau akan diri-Nya? Yaitu karena Ia bukan cuma datang sebagai the True Master of the Banquet, Ia bukan cuma datang untuk memberikan anggur yang sejati bagi kita, Ia bukan cuma datang untuk menyeka segala air mata dari mata kita –bukan cuma hal itu saja– tapi juga karena Ia adalah the True Bridegroom, Pengantin Pria yang sejati, karena ketika Dia memberikan anggur yang sejati tersebut, Ia meberikan darah-Nya bagi kita.
Saudara, ini sebabnya waktu kita merenungkan mengenai neraka, kita menyadari satu hal, bahwa Saudara tidak bisa mengerti kasih Allahmu tanpa Saudara melihat neraka. Masih banyak orang bergumul mengenai neraka, termasuk kita. Misalnya Saudara menginjili seorang nenek, lalu dia mengatakan, “Saya mau menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya; saya mau jadi orang Kristen, tapi, Pak, suami saya sudah meninggal, dan dia meninggal tanpa mendengar Injil, jadi berarti dia di neraka ‘kan. Kalau demikian, kasihan dia di sana sendirian, jadi saya tidak mau menerima Yesus supaya saya bisa menemani dia di neraka.” Mendengar itu, Saudara mungkin berpikir ‘theologimu salah’; tapi bagaimana caranya untuk dengan bijak merespons nenek ini, apa yang akan Saudara dikatakan? Kita tentu bergumul, kenapa harus ada neraka, kenapa musti ada penghakiman yang seperti itu?? Ketika Saudara punya problem urusan neraka, sering kali itu karena Saudara berpikir bahwa Tuhan harusnya ‘kan begitu mengasihi, kenapa ada neraka?? Tetapi problem tersebut harusnya tidak ada, karena justru lewat neraka-lah Saudara baru bisa melihat sungguh-sungguh kasih Kristus, kasih Allah kepadamu.
Saudara, yang sering kali paling traumatis dalam hidup manusia bukanlah soal kehilangan uang, bahkan kehilangan anggota tubuh seperti misalnya tangan putus, kecelakaan, atau penyakit kanker, dsb., karena itu semua bukan yang paling parah. Yesus sendiri pernah mengatakan sesuatu yang aneh kepada murid-murid-Nya, “Kalian jangan takut terhadap orang yang bisa menghacurkan tubuh, tapi harus takut kepada Dia yang bisa menghancurkan tubuh dan jiwamu di neraka.” Dia mengatakan ini kepada murid-murid-Nya, bukan kepada sembarangan orang; ini karena Dia tahu bahwa murid-murid-Nya, baik yang kepadanya Ia bicara langsung pada waktu itu maupun murid-murid-Nya dalam arti pengikut Yesus yang adalah pembaca kitab Injil, akan mengalami penganiayaan. Ada yang dibelah, ada yang dibunuh, ada yang dibakar hidup-hidup, ada yang dilemparkan di ring gladiator untuk dimakan binatang buas, ada yang kepalanya dibor untuk dimasukkan besi yang menyala-nyala dari perapian, dsb., tapi pada dasarnya Yesus –yang pasti mengetahui semua itu– mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Kamu jangan takut pada orang yang bisa menghancurkan tubuh seperti itu, takutlah kepada Dia yang bisa menghancurkan tubuh dan jiwa di neraka”. Itu berarti semua yang orang Romawi lakukan itu tidak ada bandingannya dengan apa yang kamu akan lihat di neraka. Dan ini membuat kita semakin merasa ‘kenapa sih harus ada neraka? kenapa di neraka begitu mengerikan??’
Sekali lagi, neraka bukanlah cuma urusan Saudara kehilangan tubuh atau dibakar atau yang lainnya —itu bukan yang paling mengerikan— melainkan bahwa yang terjadi di neraka adalah Allah menolak engkau. Kenapa ini begitu mengerikan?Karena Saudara tahu bahwa di dalam hidup ini, hal yang paling mengerikan, yang paling traumatis yang kita bisa alami, adalah ketika Saudara punya seseorang yang kepadanya Saudara mengatakan, “Aku ini diciptakan untukmu, dan engkau diciptakan bagiku; kita ini klop abis, nyambung abis, engkau adalah my soul mate, puzzle piece aku lengkap ketika bertemu kamu, kita diciptakan untuk bersatu”, lalu Saudara kehilangan orang itu, orang yang baginya engkau diciptakan. Itulah pengalaman yang paling traumatis. Pengalaman yang paling traumatis adalah ketika seorang suami mendengar kabar istrinya meninggal karena kecelakaan. Pengalaman yang paling traumatis adalah ketika seorang istri mendengar suaminya mengatakan, “Aku tidak lagi mencintaimu.” Itulah pengalaman yang paling traumatis. Itulah pengalaman yang paling traumatis, pengalaman yang bisa membuat orang bunuh diri. Itulah pengalaman-pengalaman yang bisa membuat pasangan-pasangan yang sudah begitu lama hidup bersama, lalu ketika yang satu dipanggil Tuhan, akhirnya yang satu lagi tidak lama kemudian juga dipanggil Tuhan –meski tidak selalu. Kalau Saudara melihat ini, maka lebih-lebih lagi ketika di neraka, manusia yang diciptakan bagi Tuhan akhirnya ditolak oleh Tuhan!
Untuk Tuhan inilah aku diciptakan. Seperti sebuah mobil diciptakan untuk jalan tapi akhirnya ditolak, tidak boleh jalan, jadi buat apa dia eksis, untuk apa?? Ini suatu pelanggaran jati diri yang begitu kuat. Jadi, jikalau kita sebagai manusia saja bisa mengalami trauma yang sebegitu besar, bayangkan apa yang terjadi di atas kayu salib ketika Anak Allah sendiri mengalami neraka, ketika Ia berkata, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku” ! Ini bukan cuma seorang manusia yang diciptakan bagi Allah, ini adalah Anak dari Allah sendiri, yang berada dalam ikatan Tritunggal yang begitu luar biasa melampaui apa yang bisa kita bicarakan, apa yang mata kita bisa mencerna, apa yang bahasa kita bisa katakan! Itulah yang dialami Yesus di atas kayu salib, neraka, yang jauh melampaui semua neraka yang kita bisa alami. Dan kalau Saudara mengerti ini, bahwa inilah yang Yesus alami untuk bisa mendatangkan kepada kita Pesta Pernikahan yang agung itu, di situlah Saudara bisa melihat kasih Allah yang begitu besar. Saudara tidak bisa mengerti kasih Allah tanpa Saudara mengerti neraka. Saudara tidak bisa mengerti kasih Allah yang begitu luar biasa, pengorbanan-Nya, jikalau Saudara tidak mengerti penghakiman-Nya.
Saudara lihat, inilah sebabnya Yohanes mengatakan “inilah kemuliaan-Nya”, inilah tanda yang membuat kita menyadari siapa Dia dan seperti apa kemuliaan-Nya. Dialah the True Master of the Banquet, Dia datang untuk memberikan anggur yang sejati. Tapi pada saat yang sama, kemuliaan-Nya juga adalah bahwa Dialah the True Bridegroom yang memberikan anggur yang sejati oleh karena anggur ini adalah darah-Nya sendiri.
Yang terakhir, kalau kita kembali ke ayat pertama pasal 2 ini, ada satu hal yang menarik, bahwa semua kejadian mengenai manifestasi kemuliaan ini, Yohanes katakan terjadi pada hari yang ketiga. Kenapa Yohanes mengatakan seperti itu? Apakah Saudara tahu jawabannya?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading