Bagian yang kita baca ini, kalau dalam TB 2, ayat 1 sampai ayat 36 ada 6 judul, 6 kisah yang berbeda: Yesus Mengutus Kedua Belas Murid, Herodes dan Yesus, Yesus Memberi Makan Lima Ribu Orang, Pengakuan Petrus, Syarat-syarat Mengikut Yesus, dan Yesus Dimuliakan di Atas Gunung (Transfigurasi).
Hari ini terakhir kita membahas tema Epifania, yaitu kisah klimaks dari rangkaian Epifania, yang dimulai dari kedatangan Orang Majus, lalu pelayanan publik Yesus yang pertama, pemanggilan murid-murid-Nya, mukjizat-Nya, presentasi-Nya di Bait Allah serta pengajaran-Nya. Dari sini saya harap Saudara bisa melihat bahwa Epifania simply membuka/menguak tabir mengenai fokus utama Injil, yaitu mengenai siapa Yesus, siapa Orang ini sesungguhnya, seperti apa kemuliaan-Nya. Baik itu kisah mukjizat, kisah interaksi Yesus dengan orang-orang lain, kisah Yesus mengajar, semua pada dasarnya ingin menjawab satu pertanyaan dasar: siapa sih sebenarnya Yesus ini. Itu sebabnya tiap tahun rangkaian Epifania berakhir pada kisah yang argueably paling jelas membahas tema tersebut, paling jelas menguak identitas-Nya, yaitu kisah transfigurasi Yesus Kristus di atas gunung, di mana di hadapan Petrus, Yohanes, dan Yakobus, identitas Yesus dibuka dengan jelas, dikuak, visible –di-epifani-kan. Inilah yang jadi pembahasan kita hari ini; tapi, Alkitab –as always— ada satu lagi surprise, satu lagi surprise.
Di bagian ini Lukas tidak membahas kisah transfigurasi sebagai satu kisah yang sendirian, melainkan merangkainya sebagai satu kesatuan dengan lima kisah sebelumnya –itu sebabnya kita baca dari keenam kisah ini bersama-sama. Ini sepertinya kisah-kisah yang tidak berhubungan, kisah-kisah yang mandiri (stand alone). Saudara tentu tidak jarang mendengar satu khotbah yang full membahas kisah yang pertama tadi, Yesus mengutus kedua belas murid-Nya, lalu tentang kebaskan kaki, dsb. Kisah ketiga, Yesus memberi makan lima ribu orang, juga lumrah dijadikan satu khotbah full. Namun hari ini kita akan coba melihat, apa yang terjadi ketika kita membaca kisah-kisah tersebut sebagai satu kesatuan yang ending-nya adalah kisah transfigurasi.
Omong-omong, ini bukan terka-terkaan saya bahwa kita bisa membaca enam kisah ini sebagai kesatuan, melainkan karena Lukas sendiri sangat sengaja merangkai enam kisah ini sebagai satu kesatuan. Saudara bisa melihat dengan jelas pattern ini, benang merah yang merajut keenam kisah tersebut jadi satu, berikut ini:
- Ayat 1-6 : 12 murid diutus mengnjili
- Ayat 7-9 : Herodes à Siapakah Yesus?
- Ayat 10-17: 12 murid dilibatkan dalam mukjizat ‘lima ribu orang diberi makan’
- Ayat 18-22: murid-murid à Siapakah Yesus?
- Ayat 23-27: 12 murid dipanggil untuk mengikuti jalan salib
- Ayat 28-36: suara dari surga à Siapakah Yesus.
Perhatikan di sini ada 6 kisah; pattern-nya adalah kisah pertama, ketiga, kelima berfokus pada kedua belas murid. Kisah pertama, 12 murid diutus untuk menginjili; kisah ketiga bicara mengenai lima ribu orang diberi makan, namun melalui perantaraan/keterlibatan 12 murid; kisah kelima mengenai 12 murid dipanggil mengikuti jalan salib. Jadi terlihat ada kesatuannya. Lalu kisah kedua, keempat, dan keenam, semuanya merupakan kisah yang menanyakan pertanyaan Epifania, “siapakah Yesus”. Kisah kedua adalah pertanyaan yang muncul dari mulut Herodes; kisah keempat muncul dan dijawab oleh murid-murid; kisah keenam –yang terakhir, yang paling ultimat– adalah ketika jawaban atas pertanyaan itu keluar dari mulut atau oleh suara dari surga. Ini bukan kebetulan sama sekali, tujuan Lukas di sini sangat jelas, bahwa keenam kisah ini dirajut sedemikian rupa dan sedang membukakan mengenai siapa Yesus, namun ketika melihat keenam kisahnya secara bersamaan, Saudara menemukan sebuah gambar ganda, yaitu bukan cuma siapa Yesus, tapi juga siapa umat-Nya –dan inilah Epifani.
Memang sejak awal pembahasan Epifania kita selalu memperlihatkan, bahwa ketika Injil membahas mengenai identitas Yesus Kristus, selalu kita mendapatkan sesuatu mengenai identitas kita, identitas Tubuh-Nya, Gereja-Nya. Dalam khotbah pertama, kedatangan orang majus, mengenai siapa Yesus dan kemuliaan-Nya seperti apa, kita melihat bahwa Yesus itu kemuliaan-Nya menembus batas Israel lama; dan yang ditembus itu sekarang adalah kita, Gereja. Kita bukan bagian dari Israel lama namun kita dimasukkan ke dalam Israel yang baru. Kita bukan termasuk “kaum pilihan” yang original, namun kita yang dahulu bukan milik-Nya sekarang disebut sebagai milik-Nya. Saudara lihat di sini, ada identitas Yesus dan identitas umat-Nya. Dalam khotbah yang kedua, pelayanan publik Yesus yang pertama, kita melihat siapakah Yesus, bahwa Dia adalah yang membahwa kabar baik sampai kepada orang miskin; dan dengan demikian siapakah umat-Nya, yaitu mereka yang miskin di hadapan Tuhan, bukan mereka yang mapan rohaninya. Fast forward ke khotbah kelima bagian pengajaran Yesus, kita melihat siapakah Yesus, bahwa Dia bukan sekadar Guru, Dia adalah Raja, Dia bukan cuma memberikan ajaran, Dia membawa Kerajaan yang baru, umat yang baru. Siapakah umat yang baru itu? Gereja; mereka yang sistem nilainya terbalik dengan dunia, mereka yang bukan mengejar kekuasaan-kesuksesan-pengakuan melainkan yang menghargai kemisikinan-penderitaan-penolakan. Bagian ini pun sama, tujuan Lukas memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa to know Christ is to know His Church, inilah inti dari Epifania.
Gereja sering kali galfok waktu membaca Alkitab, bukan fokus kepada fokus yang tepat yaitu diri Yesus, melainkan berusaha mencari-cari diri mereka di dalamnya, mencari apa yang baik di mata mereka. Aku butuh penghiburan, maka cari-cari ayat yang bisa memberikan penghiburan. Itulah manusia. Manusia membaca apa yang ingin dia baca, tapi approach yang mengutamakan diri seperti ini akhirnya jalan buntu. Namun ketika fokusnya diarahkan secara tepat kepada Kristus, hasilnya bukan kita kehilangan diri kita, kita justru mendapatkannya, dan mendapatkannya dengan lebih utuh. Dengan berfokus pada diri dan identitas Kristus, kita jadi mengenal siapa sesungguhnya identitas kita sebagai umat Tuhan. Inilah cara Kerajaan Allah dari dulu, “cari dahulu Kerajaan Allah, maka semuanya yang lain akan ditambahkan”; sedangkan kalau Saudara galfok, Saudara justru akan kehilangan.
Dalam bagian ini kita akan coba merunut siapakah Gereja Tuhan dalam kisah yang pertama, ketiga, dan kelima; lalu kita akan merunut mengenai siapa Allahnya Gereja tersebut, Raja/Tuan dari Gereja tersebut, dalam kisah kedua, keempat dan keenam.
Yang pertama, mengenai siapakah Gereja Tuhan (identitas umat Tuhan). Kisah yang pertama tadi bicara mengenai satu misi yang diberikan kepada dua belas rasul. Tuhan Yesus sendiri sebelumnya sudah membingkai Diri-Nya sebagai seorang misioner; misalnya dalam Lukas 4 Dia mengatakan: “Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah –Aku misionernya Injil Kerajaan Allah— sebab untuk itulah Aku diutus”. Inilah fungsi utama Yesus, mengabarkan Injil Kerajaan Allah. Sekarang kedua belas rasul ini (jumlah 12 ini disengaja, untuk mewakili Israel yang baru, umat Allah yang baru) diutus untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan yang Yesus lakukan, yaitu menginjili, memberitakan kabar baik. Inilah tujuan Yesus hadir di dunia, dan ini sekarang menjadi tugas mereka juga. Apa tujuan Yesus memanggil Gereja-Nya keluar, untuk apa Bapa memindahkan Gereja-Nya dari kerajaan yang gelap ke kerajaan Anak-Nya, adalah untuk memberitakan Injil kepada dunia yang sangat membutuhkan kabar baik Kerajaan tersebut. Inilah fungsi yang pertama, inilah salah satu tujuan dan makna identitas umat Allah yang mengikut Yesus, yaitu memberitakan Injil.
Kita lompat ke kisah yang ketiga, kisah yang lebih familier, yaitu pemberian makan lima ribu orang. Bagaimana kisah ini memberitahu kita mengenai identitas umat Allah? Yang pertama, kita mungkin sudah sadar bahwa lima ribu orang yang diberi makan itu mewakili cerita umat Allah, karena jelas seluruh kejadian ini dengan sengaja dibingkai untuk membuat kita mengingat-ingat kisah beberapa abad sebelumnya. Waktu para murid mengatakan kepada Yesus di ayat 12, “Tolong dong, bubarin massa ini, suruh mereka cari ke penginapan-penginapan tempat untuk makan, karena kita sekarang berada di tempat yang terpencil, tempat yang sunyi, padang belantara, dan tidak ada makanan di sini”, Saudara bisa langsung ingat cerita di Perjanjian Lama ketika Israel juga berada di padang belantara yang tidak ada makanan lalu mereka diberi makan dan dikenyangkan oleh Tuhan melalui roti surga, yang diturunkan lewat perantaraan Musa. Motif/tema Tuhan mengenyangkan umat-Nya di padang belantara ini sesuatu yang terus-menerus muncul di Alkitab. Elia diberi makan oleh Tuhan di padang belantara. Mazmur 23 menceritakan kehidupan umat Tuhan, yang meskipun melewati lembah kekelaman, pialanya melimpah ruah sampai tumpah keluar. Jadi di satu sisi kita bisa melihat bahwa lima ribu orang ini secara keseluruhan mewakili Gereja, bahwa Gereja bukanlah cuma mereka yang mengabarkan Injil tapi juga mereka yang dikenyangkan, diberi makan oleh Tuhan, bahwa siapa pun yang diundang Tuhan ke meja-Nya akan Dia kenyangkan juga.
Namun yang menarik, dalam kisah ketiga ini ada dimensi lain yang kita lihat mengenai umat Allah; Lukas bukan cuma menyoroti hubungan antara diri Tuhan dengan lima ribu orang tersebut, tapi juga ada satu peran lain yang diberi sorotan khusus, yaitu kedua belas murid. Dua belas murid itu datang dan minta kepada Yesus untuk membubarkan massa, suruh mereka cari makan sendiri-sendiri (ayat 12), namun apa yang Yesus katakan di ayat 13? Yesus mengatakan, “Kamu harus memberi mereka makan”. Dua belas murid dalam kisah ini bukan cuma menempati peran pasif, mereka bukan cuma menerima kekenyangan dari Tuhan, karena Saudara lihat, lima roti dan dua ikan yang digandakan secara mukjizat itu datangnya dari para murid. Para murid mengatakan, “Kami cuma ada lima roti dan dua ikan”, lalu Tuhan Yesus mengambilnya dan secara mukjiizat melipatgandakannya. Setelah itu Tuhan Yesus tidak serta-merta menyuruh orang banyak mengantri ke Dia, Tuhan Yesus mengambil lima roti dan dua ikan itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya supaya dibagi-bagikannya kepada orang banyak (ayat 16). Jadi, sumber dari makanan ini adalah dari murid-murid. Mukjizatnya dari Yesus, itu jelas, tapi sumbernya dari murid-murid; dan tugas untuk distribusinya juga melibatkan murid-murid. Saudara kembali melihat dimensi dari identitas Gereja di sini. Kebutuhan umat Tuhan adalah dikenyangkan. Siapakah umat Tuhan itu, yaitu mereka yang dikenyangkan oleh Tuhan. Namun Tuhan mengenyangkan umat-Nya melalui tangan dan pelayanan umat Tuhan itu sendiri. Gereja, mengenyangkan Gereja. Gereja, mengisi kebutuhan Gereja. Itulah identitas Gereja.
Ini menarik, gambaran yang kita lakukan dalam Gereja ini adalah Perjamuan Kudus, yang Saudara tidak mengambil sendiri rotinya ke depan. Ini liturgi yang sangat disengaja. Dulu pernah Pak Billy komplain kepada petugas Perjamuan Kudus, yang waktu mengembalikan tray ke depan lalu langsung ambil sendiri roti dan anggurnya; Pak Billy maunya pendetalah yang memberikan kepada mereka satu per satu, sama seperti mereka memberikan satu per satu kepada saudara-saudara. Kenapa perlu kayak begini? Dan omong-omong, yang bertugas jadi pelayan Perjamuan Kudus juga bukan pengurus tok, tapi bisa salah satu dari Saudara. Ini berarti Gereja/jemaat secara bergantian saling melayani untuk mendistribusikan apa yang dari Tuhan. In some sense ini benar juga karena sumber uang yang dipakai untuk membeli roti dan anggur adalah dari persembahanmu. Engkau sumbernya, engkau yang mendistribusikannya, tapi Tuhan yang membawa mukjizat di dalamnya. Ini menarik, dan saya rasa sengaja diperlihatkan dalam bagian yang kita baca hari ini, karena itulah salah satu dimensi dari ‘siapa’ Gereja.
Kita masuk ke kisah yang kelima; dan di sini pun kita jelas melihat dari kalimat Yesus mengenai siapa yang sedang dibicarakan. Di ayat 23 Yesus mengatakan: “Setiap orang yang mau mengikut Aku … “; jelas bahwa yang mengikut Yesus adalah murid-murid-Nya, para pengikut Kristus, Gereja. Lalu apa yang dituntutkan kepada mereka yang mau mengikut Yesus –apa identitas orang orang-orang yang mau mengikut Yesus– yaitu bahwa mereka menapaki apa yang ditapaki oleh Yesus, menjalani jalan yang Dia sudah jalani, sedang dan akan jalani terus-menerus. Di ayat 23 Dia mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku”, tapi ini adalah karena di ayat 22, satu ayat sebelumnya, yang Yesus katakan bahwa Anak Manusia akan ditolak, disesah, diserahkan, mati, menderita, baru dibangkitkan. Jadi setelah Yesus di ayat 22 mengabarkan apa yang terjadi pada Diri-Nya, di ayat 23 Dia langsung beralih membicarakan apa yang murid-murid-Nya juga harus menerima, same thing, juga harus memiukul salib, menyangkal diri, mengambil jalan yang sama dengan yang Dia jalani. Ayat 24, Dia melanjutkan bahwa kehidupan Gereja adalah hidup yang diserahkan dulu, baru bisa diselamatkan. Penyangkalan diri harus terjadi dulu, baru bisa mendapatkan diri. Salib dulu, baru mahkota; itulah jalan Kristus, dan itulah jalan murid-murid Yesus juga. Baca Alkitab harus fokus ke Kristus dulu, baru mendapatkan diri.
Lewat tiga kisah ini, Saudara melihat karakteristik Gereja yang fondasional diejawantahkan oleh Lukas dengan jelas. Misi di kisah pertama dijalankan dengan sigap, tidak pakai banyak persiapan dan bekal, hanya mengandalkan hospitality dari orang-orang yang mau menerima mereka dalam perjalanan; dan juga tidak buang waktu terhadap orang yang tidak mau menerima, kebaskan debu kaki. Jadi cerita ini fungsinya apa? Fungsinya bukan untuk menyatakan tentang bagaimana menginjili –jangan jadikan ini sebagai manual menginjili– melainkan jelas bahwa dalam menginjili, Injil itulah yang jadi fokus utamanya. Yang jadi fungsi utama Gereja dalam dunia adalah mengabarkan Injil, bukan debat kusir dengan orang-orang yang tidak mau terima, jangan buang-buang waktu untuk hal itu. Dan juga, jangan pakai waktu terlalu lama untuk make sure semua kebutuhan aman, semua terpenuhi, baru bergerak; yang terutama di sini adalah mengabarkan Injil. Demikian fungsi yang pertama.
Dalam kisah yang ketiga, fungsi Gereja juga sangat penting, yaitu apa? Omong-omong, mukjizat Yesus ada macam-macam dan banyak, namun hanya sedikit yang dalam empat Injil semuanya muncul. Mukjizat yang muncul dalam satu Injil ada banyak banget, yang muncul dalam dua Injil lebih sedikit, yang muncul dalam tiga Injil lebih sedikit lagi, sedangkan yang muncul dalam empat Injil sangat sedikit –dan salah satunya mukjizat Yesus memberi makan kepada orang banyak ini. Jadi berarti inilah salah satu mukjizat yang sangat penting, inilah fungsi Gereja yang sangat sentral, yaitu kewajiban Gereja untuk melayani kebutuhan umat Tuhan. Yang namanya umat Tuhan, itu bukan cuma dikenyangkan, tapi juga umat Tuhan melayani umat Tuhan. Gereja, melayani Gereja. Saudara perhatikan dalam cerita ini ada dua belas bakul makanan yang tersisa, yang biasanya kita langsung menangkapnya bahwa dua belas bakul tersisa berarti satu bakul satu rasul. Ini melambangkan apa? Melambangkan bahwa meskipun 5000 orang itu kenyang hari ini, tugas para rasul untuk terus mengenyangkan/ mendistribusikan yang Tuhan berikan, tidaklah berhenti, masih ada masing-masing satu bakul, dan ini akan berlanjut terus ke dapan.
Kisah kelima juga menunjukkan peran Gereja yang ketiga, yang sama pentingnya dengan dua peran di atas. Waktu para murid mendengar Tuhan mereka akan mati dibunuh, mungkin itu sudah cukup shocking karena: ending-nya ‘kan bangkit, menang, lalu kalau ujungnya Engkau akan menang, bangkit, kenapa harus lewat kematian dan penderitaan, kenapa tidak langsung saja; apa maksudnya Engkau mati dulu baru bangkit, kenapa ‘gak langsung saja naik?? Namun sebelum shock ini beres/selesai, Yesus langsung melanjutkan penekanan yang mengatakan “kamu pun harus mengikut Aku dalam hal ini”. Bayang-bayang salib itu menghantui mereka, sama seperti bayang-bayang salib itu membayangi Yesus.
Sebelum melanjutkan, kita tarik sedikit kesimpulan. Pelajaran yang kita tarik dari ini semua adalah: ini merupakan pattern, ini tidak kurang dari bentuk identitas Gereja yang sejati. Inilah tiga hal yang berdasarkan ini kita harus senantiasa menilai diri dan menghakimi diri —pengabaran Injil, care taking kepada umat Tuhan, dan salib.
Waktu merefleksikan ini terhadap Gereja kita, apa yang menurut kita jadi problem Gereja kita? Mungkin kita merasa kurang penggembalaan; kalau penggembalaannya bagus, ada banyak yang senang. Mungkin ada yang merasa pengajarannya kurang mutakhir; kalau pengajarannya bagus, akan oke. Atau mungkin yang lain. Jadi kita rasa ada satu yang kurang, dan kalau hal tersebut ada, saya puas. Tapi, kalau kita refleksi berdasarkan standar tadi, maka kita menemukan bahwa Gereja Tuhan hampir selalu kurang dalam satu atau dua aspek, dan selalu kebablasan dalam aspek yang lain. Gereja dalam dunia, problemnya adalah senantiasa menekankan satu hal dan melupakan yang lain –dan dalam standar yang kita baca di bagian ini, tidak bisa demikian, identitas Gereja berarti semuanya ada.
Bicara mengenai Gereja dengan dunia, ada gereja-gereja di dalam dunia yang berusaha menekankan penginjilan, tapi melupakan pelayanan kebutuhan dasar; ada gereja-gereja yang sebaliknya berusaha mengambil hati dunia dengan cara menekankan pelayanan sosial, tapi melupakan tugas menginjili. Tapi tidak bisa cuma salah satu, Saudara. Bicara mengenai Gereja terhadap Gereja itu sendiri, ada gereja-gereja yang berusaha menekankan pelayanan internal yang rapi dan efisien, entah sistem diakonianya yang efisien, atau bisa juga sistematika teologinya rapi dan efisien, tapi melupakan pertumbuhan kedewasaan rohani Gereja tersebut. Bicara Gereja dengan salib, ini lebih-lebih lagi. Gedung-gedung gereja kita memasang salib –memikul salib– di luar; secara publik hal tersebut diperlihatkan. Salib jadi ornamen di gedung, baik di luar maupun di dalam, juga di kalung-kalung leher kita; salib juga jadi message yang dibawa/ditanggung/dipikul oleh khotbah-khotbah kita. Namun itu tidak cukup. Kita harusnya memikulnya setiap hari. Kita harusnya menyatakan misteri di mana Gereja Tuhan yang senantiasa mati terhadap diri itu, somehow mengalami kehidupan, dan dengan demikian memproklamasikan kepada dunia “inilah bukti yang riil dari Injil Kristus”.
Salah satu sebab saya mengajak orang pelayanan, adalah karena waktu mau pelayanan, Saudara selalu takut; takut bahwa waktu Saudara pelayanan, Saudara terkuras. Itulah ketakutan kita. Wah, pelayanan itu berarti harus memberi, harus keluar, harus berjuang –dan kita takut. Kita takut bahwa yang ada di dalam kita, yang sedikit itu, habis. Namun yang menarik, kalau Saudara melihat orang-orang yang sudah lama melayani, orang-orang yang benar-benar melayani, benar-benar diberikan anugerah untuk melayani dalam Gereja, apa mukjizat yang akhirnya mereka lihat? ‘Kenapa setiap kali saya makin kosong dan makin kosong, saya makin terisi?? Kenapa waktu saya melayani, malah saya yang lama-kelamaan diisi oleh Tuhan?? Kenapa waktu saya mengeluarkan apa yang Tuhan berikan, Tuhan memberikan lebih??’ Salah satu alasannya saya terus bertahan jadi pendeta, minta maaf ini bukan karena “menyangkal diri”, tapi karena saya ketagihan. Saya ketagihan bahwa ketika saya disuruh menguras diri saya bagi umat Tuhan, saya dapat lebih banyak. Itu mukjizat yang terus-menerus terjadi, mukjizat yang memproklamasikan kepada dunia bukti yang asli bahwa Injil Kristus benar-benar berkuasa, riil.
Yang kedua, mengenai identitas Yesus. Sekarang kita beralih ke kisah kedua, keempat, dan keenam. Sebagaimana Saudara lihat tadi, setiap kisah yang bicara mengenai identitas umat Yesus, Israel-nya Yesus, selalu langsung diikuti dengan kisah di mana identitas Raja umat tersebut dipertanyakan, dikuak, dan dibukakan; kisah ke-1, ke-3, ke-5, diikuti dengan kisah ke-2, ke-4, ke-6. Kita akan coba merunut ini.
Kisah yang kedua dari pasal ini, kita mendengar pertama-tama dari mulut Herodes, “Siapa sesungguhnya Orang ini?” Ada dua elemen di sini, pertama-tama yaitu gosip yang Herodes dengar, yang kedua yaitu respons dari Herodes sendiri. Gosipnya, orang banyak mengatakan: “Siapa ini, ya, Yohanes yang bangkit dari mati barangkali, atau Elia yang telah muncul kembali barangkali, atau seorang dari nabi-nabi dahulu yang telah bangkit barangkali”. Itu gosipnya. Lalu repons Herodes: “Yohanes telah kupenggal kepalanya. Siapa gerangan Dia ini, yang kabarnya melakukan hal-hal demikian?” Lalu ia berusaha supaya dapat bertemu dengan Yesus. Ini menarik, Herodes bukan ingin membunuh Yesus, Herodes ingin bertemu dengan Yesus. Jadi sikap Herodes ini mewakili sikap banyak orang pada waktu itu –dan mungkin juga banyak orang di gereja pada hari ini. Ini orang-orang yang tertarik dengan Yesus, ingin bertemu dengan Dia. Namun kita nanti akan melihat sejatinya di balik orang-orang ini apa, ketika Saudara membandingkan dengan kisah berikutnya.
Dalam kisah keempat, para murid yang ditanya “siapa Yesus”, dan ceritanya juga dimulai dengan gosip yang sama. Saudara perhatikan, Tuhan Yesus bertanya kepada para murid, “menurut orang, siapakah Aku ini?”, lalu mereka menjawab yang sama, yaitu Yohanes Pembaptis, atau Elia, atau salah satu dari nabi-nabi dahulu yang bangkit. Persis sama. Gosip yang masuk di telinga Herodes adalah juga gosip yang sama yang masuk ke telinga para murid –bisa dibilang feed sosmed mereka sama. Gosipnya persis sama, tapi respons mereka sangat berbeda. Waktu Yesus bertanya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” mereka tidak mengatakan ‘siapa gerangan yang melakukan hal-hal ini, aku ingin bertemu dengan Yesus’, mereka tidak berespons seperti Herodes berespons. Mereka menjawab diwakili oleh Petrus: “Mesias dari Allah.” Jawaban yang tepat
Saudara, ini respons yang sangat berbeda dari Herodes. Herodes, terus terang saja boleh dibilang much better dibandingkan banyak orang Kristen; kenapa? Karena Herodes bertanya pertanyaan yang tepat. Herodes tidak tanya ‘ajarannya Yesus apa’ sebagaimana banyak dari antara kita; dia tanya ‘siapa yang mengajar’. Bisa dibilang dia bertanya pertanyaan Epifani. Namun yang menyedihkan, Herodes hanya stuck sampai pertanyaan tok, dia tidak pernah beranjak maju ke jawabannya.
Sekali lagi, Herodes ini mewakili the silent majority dalam dunia ini, yang membicarakan Yesus, tertarik, ingin mendekat, namun pada saat yang sama tidak mau mengikut Dia, tidak mau jadi murid. Di satu sisi, tidak se-ekstrim itulah sampai me-condemn Yesus sebagai penipu dan penjahat, tapi juga tidak mau mengikut Dia sebagai Raja dan Juruselamat. Itu sebab bedanya dengan Petrus dalam kisah keempat yang mewakili minoritas (dua belas murid tok), adalah bahwa yang diberikan bukan hanya pertanyaan yang tepat tapi juga jawaban yang tepat, “Mesias dari Allah”, dan mereka digerakkan untuk mengikut Dia (meskipun nantinya kita akan lihat mereka masih tersandung-sandung, namun paling tidak ada hal yang lain di sini).
Kisah yang keenam adalah kisah transfigurasi. Kisah yang kedua tadi adalah suara Herodes, kisah yang keempat adalah suara Petrus (yang berarti juga para murid) mengenai siapa Yesus, kisah keenam ini adalah jawaban final atas pertanyaan Epifani, karena kita sekarang mendengar suara dari surga, suara Allah sendiri. Apa yang Allah katakan/jawab atas pertanyaan ini? Ayat 35: Maka terdengarlah suara dari dalam awan itu, yang berkata: “Inilah Anak-Ku, yang Kupilih, dengarkanlah Dia”.
Di bagian ini TB1 dan TB2 berbeda sekali. TB1 : “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia”; TB 2 jauh lebih bagus: “Inilah Anak-Ku, yang Kupilih, dengarkanlah Dia” –jadi ada tiga frasa di sini. Ini tidak kurang dari tiga identitas Perjanjian Lama yang sekarang disatukan/di-utuh-kan dalam diri Yesus Kristus. Orang-orang Yahudi yang mengenal Perjanjian Lama secara mendalam, waktu membaca tiga frasa ini, akan langsung ngeh koneksinya dengan tiga gambaran perjanjian Lama yang kita hari ini tidak peka. Perhatikan frasa-frasa dalam “Inilah Anak-Ku, yang Kupilih, dengarkanlah Dia”:
Yang pertama: ‘dengarkanlah Dia’; ini mengenai siapa? Inilah tokoh Nabi Tuhan yang dinantikan. Dalam Ulangan 18, momen Musa berkhotbah terakhir kalinya kepada bangsa Israel, sesaat sebelum mereka bergerak masuk ke tanah perjanjian dan Musa tidak boleh ikut masuk, Musa mengatakan, “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan” (Ul. 18:15). Jadi ‘nabi Allah yang akan dibangkitkan’ itu sekarang telah tiba di dalam diri Yesus Kristus. Ini figur yang pertama.
Yang kedua: ‘inilah Anak-Ku’; siapakah itu? Ini masuk ke dalam Mazmur-mazmur Kerajaan (Royal Psalms), yang disebut Anak Allah dalam kitab Mazmur adalah raja Israel. Mazmur 2:6, “Aku melantik raja-Ku di Sion”, bicara mengenai Raja Sion, Raja Yerusalem, Raja umat Allah. Siapakah raja itu? Ayat 7: “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Jadi Raja Israel, Raja Yehuda, adalah Anak Allah, demikian gambaran dalam Perrjanjian Lama. Apa fungsi raja dalam Perjanjian Lama? Jelas memimpin umat Tuhan. Namun satu hal yang menarik, gambaran raja Yehuda bukanlah cuma perang dan militer tok; salah satu Mazmur Kerajaan yang lain, Mazmur 72:11-14 mengatakan: “Kiranya semua raja sujud menyembah kepadanya, dan segala bangsa menjadi hambanya!” —bicara mengenai raja di atas segala raja— “Sebab ia akan melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas, dan orang yang tidak punya penolong; ia akan sayang kepada orang lemah dan orang miskin, ia akan menyelamatkan nyawa orang miskin. Ia akan menebus nyawa mereka dari penindasan dan kekerasan, darah mereka mahal di matanya.” Saudara lihat, Raja Yehuda, Raja Umat Tuhan itu care taker, figur yang daripadanya umat Tuhan diisi kebutuhannya.
Yang ketiga: ‘yang Kupilih’; siapakah ini? Ini juga masuk dalam Perjanjian Lama, melekat pada figur Hamba yang Menderita dalam nyanyian Yesaya, “Lihat itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan.” Saudara tahu, figur Hamba ini dinyanyikan sebagai Hamba yang menderita, ayat-ayat yang selalu kita baca waktu Natal: “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” Hamba yang menderita itulah Orang pilihan Tuhan.
Saudara lihat, tiga identitas dalam Perjanjian Lama disatukan dalam Satu Diri yang sama. “Anak-Ku, yang Kupilih, dengarkanlah Dia” adalah kata-kata yang sarat makna, tidak kurang dari tiga identitas Perjanjian Lama yang berbeda disatukan dan diutuhkan dalam diri Yesus Kristus. Dia Nabi; Dia membawa firman Tuhan. Dia Raja; Dia caretaker umat Tuhan. Dia Hamba; dalam pelayanan-Nya sebagai hamba, Dia menderita dan mati. Dan Saudara lihat, tiga identitas ini sama persis dengan tiga identitas Gereja yang tadi kita lihat dalam kisah pertama, kisah ketiga, dan kisah kelima. Yang pertama, Kristus adalah Nabi yang perlu didengarkan, maka Gereja adalah Gereja yang berkhotbah, yang mengabarkan berita Injil mengenai siapa Yesus. Kedua, Kristus adalah Raja yang mengisi kebutuhan umat-Nya, maka Gereja adalah Gereja yang melayani Gereja, melayani umat Tuhan, umat yang setiap anggotanya hidup untuk saling membangun, saling mengisi, saling mengutamakan kebutuhan yang lain. Yang ketiga, Kristus adalah Hamba yang menderita, maka Gereja, yang adalah murid-murid-Nya, harus juga menyangkal diri dan memikul salib.
Saudara lihat, ini bukan kebetulan; Lukas merajut habis-habisan sampai kayak begini. Jadi apa yang bisa kita tarik dari semua ini? Untuk apa Lukas sampai setengah mati merajut habis-habisan identitas Gereja dalam pasal 9 ini? Untuk apa pendetamu hari ini juga setengah mati berusaha menjelaskan rajutan Lukas di bagian ini? Dan Saudara sendiri juga setengah mati berusaha memahami rajutannya –khotbah hari ini yang lumayan susah, seperti PA dalamnya penggaliannya– untuk apa? Saya rasa, tujuan Lukas merajut seperti ini pada dasarnya mau mengatakan bahwa identitas Yesus Kristus –yang adalah pertanyaan Epifani ‘siapa Dia, apa kemuliaan-Nya’– ujungnya tidak bisa dilepaskan dari Gereja. Inilah jawaban final dari Injil Lukas akan pertanyaan ‘siapa Yesus, siapa kemuliaan-Nya’, yaitu Ia adalah Kepala Gereja, dan kemuliaan-Nya engkau temukan dalam Gereja.
Saudara, ini seperti statement yang biasa-biasa saja, cuma gitu doang, dan kita mungkin merasa sudah tahu. Tapi kita justru sangat butuh melihat hal ini. Kenapa? Hari ini ketika orang bergumul mau percaya Tuhan atau tidak, kira-kira apa pertanyaan yang paling utama? Apakah mengenai ‘Alkitab bisa dipercaya atau tidak; firman Tuhan atau bukan? Tuhan Yesus benar-benar mati, benar-benar bangkit, atau tidak?’ Tidak. Itu mungkin pertanyaan orang yang baru mau masuk ke dalam Kekrstenan, sedangkan pertanyaan mengenai ‘apakah kita mau mempercayakan diri kita kepada Tuhan, kepada Yesus Kristus’, selalu pertanyaan mengenai Gereja. Mengapa demikian? Karena track record Gereja terkadang –tidak selalu– sangat gelap, sehingga Gereja pada hari ini menjadi salah satu alasan terbesar orang untuk tidak percaya kepada Yesus. Saya tertarik pada Yesus, Yesus kayaknya sih oke banget, tapi Gereja-Nya, ya ampun, hancur banget; dan kalau Gerejanya kayak begitu, enggak deh, ‘gak bisa kayak begini. Dan ini bukan cuma salah satu alasan orang tidak mau jadi orang Kristen, ini mungkin alasan yang terbesar kenapa banyak orang tidak mau menjadi orang Kristen, dan banyak orang Kristen yang mundur tidak mau jadi Kristen lagi.
Dalam dunia ini Saudara bisa melihat betapa orang begitu anti dengan hal tersebut, sampai-sampai mereka memisahkan antara spiritualitas denagn Gereja. “I am spiritual, but not religious”, maksudnya tidak beragama secara institusional, tidak masuk ke dalam kegerejaan, tapi ya, rohanilah, dalam arti saya sendiri dengan Tuhan –saya mau tahu mengenai Yesus Kristus, tapi saya tidak mau ikut-ikutan di Gereja, perkumpulan itu mengerikan, cult, bahaya, dsb. Yang menarik, hal ini ada statistiknya; orang Injili di Amerika pernah ditanya: “Setuju atau tidak dengan statement ini, ‘kamu bisa jadi orang Kristen yang baik tanpa harus datang ke gereja’?” Hasil survey tersebut, 80% orang Injili di Amerika setuju, mengatakan ‘bisa jadi orang Kristen yang baik tanpa harus datang ke gereja’. Saya curiga, mungkin di antara kita juga banyak yang setuju; kita mengatakan, “Ya, ‘kan yang penting urusan pribadi saya dengan Yesus Kristus, saya dengan Tuhan; Gereja itu opsional, boleh ada, boleh tidak. Kalau misalnya saya tidak bisa jadi orang Kristen tanpa Gereja, lalu kalau suatu hari nati saya terdampar di pulau kecil sendirian, bagaimana?? Tidak bisa jadi umat Tuhan lagi?? Ya, bisa dong; saya harusnya bisa dong jadi orang Kristen yang baik tanpa harus ada Gereja, Gereja itu opsional.” Tapi itu sama sekali bukan yang Saudara temukan dalam bagian ini; pada dasarnya Lukas menolak sama sekali statement seperti itu. Lukas merajut erat sekali antara Kristus dengan Gereja-Nya, Kristus dengan Gereja-Nya, Kristus dengan Gereja-Nya. Tidak bisa terlepas. Saudara lihat sekarang kenapa kita butuh hal ini, kenapa ini bukan statement yang bisa sambil lalu begitu saja?
Kalau Saudara mau counter point di bagian lain, Saudara bisa masuk ke Injil Yohanes. Injil Yohanes ada 21 pasal; dan dari 21 pasal itu kalau Saudara punya Alkitab edisi red letter, yang perkataan Tuhan Yesus dicetak dengan tinta merah (dalam hal ini saya tidak tertarik perdebatan apakah Alkitab seperti itu oke atau tidak oke; itu ada fungsinya, ada tempatnya, dan tempatnya bukan di semua tempat juga, pokoknya Saudara bisa pakai), dari pasal 1-12 tidak terlalu banyak red letter-nya, tapi begitu masuk pasal 13-17 hampir seluruhnya pakai tinta merah. Pasal 13-17 –berarti 5 pasal dari 21 pasal, kira-kira seperempat dari Injil Yohanes– Tuhan Yesus dicatat oleh Yohanes bicara tidak habis-habisnya, yang ceritanya dimulai dengan Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya, cerita malam terakhir sebelum Dia disalibkan. Yohanes mencatat habis apa yang Yesus katakan malam itu, apa yang Yesus doakan (panjang banget, 2 pasal); dan semua itu perkataan Yesus secara langsung. Tahukah Saudara apa isi pasal 13-17? Ini penting, karena ini pada dasarnya kata-kata terakhir Yesus. Kalau ada tokoh-tokoh besar dunia, banyak orang tentu ingin tahu apa kata-kata terakhir mereka sebelum meninggal, karena kita punya sense bahwa yang dikatakan orang sebelum dia mati, itu kata-kata yang paling penting bagi mereka, paling encapsulating seluruh hidup mereka. Yohanes juga tahu itu, makanya dia mencatat kata-kata terakhir Yesus sampai 25% dari seluruh injilnya. Dan, isinya adalah mengenai Gereja, doa-Nya kepada Bapa yang panjang itu juga mengenai Gereja, mengenai umat-Nya, siapa itu umat-Nya dan apa yang Dia mau umat-Nya lakukan di dunia ini. Doa mengenai Gereja, pembicaraan mengenai Gereja, menandakan sebegitu pentingnya Gereja bagi Yesus Kristus.
Saudara, kalau kita pikir kita bisa menjadi orang Kristen tanpa Gereja, itu ibarat orang datang kepada Pablo Picasso dan bilang: “Picasso, saya ingin benar-benar mengenal jati dirimu”, lalu Picasso bilang, “Sudah lihat lukisanku berapa banyak?”, lalu Saudara jawab, “Tidak pernah! ‘Gak peduli, itu ‘kan lukisanmu, cuma bikinanmu tok; yang saya mau kamu! Jadi saya mau interview kamu, kita ngobrol 2 jam yuk, sambil ngopi.” Menurut Saudara, kira-kira Picasso bakal bilang apa? Kalau Picasso kayak Pak Tong, dia akan bilang, “Rupamu!” Picasso akan mengatakan: “Kamu pikir 2 jam mengobrol denganku –kata-kata– itu bisa ngapain?? Tidak bisa ngapa-ngapain! Kamu mau kenal aku dengan cara ngobrol, interview?? Kalau kamu mau mengenal jati diriku siapa, lihat lukisanku dong! Itu karya-karyaku yang luar biasa, hasratku, passion-ku, tempat aku mencurahkan keringatku dan darahku bertahun-tahun; itu esensi siapa diriku! Lihat dan pelajari maka kamu akan mengenal siapa esensi diriku; tapi 2 jam ngobrol ‘gak bisa ngapa-ngapain!” Saudara lihat, demikianlah Yesus Kristus pada malam sebelum Ia disalibkan.
Lukas membingkai Yesus bukan hanya sebagai Guru tapi juga The New Moses yang mendirikan the new Israel. Dia Raja yang baru. Dia Allah yang sedang membangun umat yang baru, manusia yang baru, masyarakat yang baru, yang oleh kuasa-Nya hidup dengan baru. Itulah passion-Nya, hasrat-Nya, tujuan hidup-Nya. Jadi bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa kita bisa jadi pengikut-Nya tanpa harus datang dan masuk ke dalam Gereja?? Saudara tidak bisa mengenal Dia terlepas dari umat yang Dia datang untuk menciptakannya.
Terlalu sering Kekristenan zaman sekarang menjadi Kekristenan individualis, datang cuma untuk dapat inspirasi pribadi tok, ‘saya datang untuk dapat insight, dapat rhema’, atau apapun. Yesus mati bukan untuk itu. Yesus mati bukan untuk menciptakan individu-individu yang punya damai sejahtera, yang punya kasih yang mengalir dalam hatinya. Yesus datang, menderita, mati, dan bangkit, untuk menciptakan suatu umat, Gereja, yang melaluinyalah kuasa Yesus mengalir, dan hidup, dan mengubah kita. Jikalau Dia mati supaya kita bisa menjadi bagian umat yang demikian, maka Saudara tidak mungkin bisa mengenal Yesus terlepas dari umat tersebut.
Ada beberapa aplikasi untuk kita pikirkan bersama-sama. Sekali lagi, inilah sebabnya saya mencanangkan atestasi internal, selain katekisasi yang biasa. Keanggotaan Gereja itu penting. Tapi atestasi internal itu cuma langkah pertama, untuk encouraging Saudara ikut serta dan masuk lebih dalam ke Gereja yang fisik dan lokal ini; kenapa? Karena kehadiran Gereja yang fisik dan lokal ini, bagi Alkitab begitu esensial untuk bisa mengenal siapa Kristus. Terlepas darinya, Saudara mau dari mana mengenal Dia?? Ada dua alasan yang Saudara bisa pikirkan, satu lebih positif dan satu lebih negatif. Saya mulai dengan good news, supaya berakhir dengan bad news; saya mulai dengan konstruksi, supaya berakhir dengan teguran.
Hal pertama, satu ilustrasi dari C.S. Lewis. Dulu dia punya persahabatan paling erat dengan dua orang lainnya; dia sendiri nickname-nya Jack, lalu temannya yang satu Charles, dan satunya lagi Ronald (J.R.R. Tolkien). Jadi ada Jack, Charles, dan Ronald, mereka berkawan begitu erat. Suatu hari Charles meninggal, maka Jack (C.S. Lewis) kemudian berpikir ‘nah, dulu saya harus berbagi diri Ronald dengan Charles, tapi sekarang Charles sudah tidak ada, jadi Ronald menjadi milikku sepenuhnya, aku akan mendapatkan lebih banyak Ronald daripada sebelumnya karena tidak perlu lagi berbagi dengan Charles’. Namun C.S. Lewis kemudian menulis: “Salah besar!” karena dia menemukan bahwa ketika Charles meninggal, ada something dalam diri Ronald yang mati bersama Charles, yang dia tidak akan lagi lihat seumur hidup, yaitu bagian ketika Ronald tertawa mendengar leluconnya Charles, bagian ketika Ronald marah atas kecerobohan Charles; bagian dari diri Ronald yang itu, mati bersama matinya Charles. Itu sebabnya C.S. Lewis mengambil kesimpulan: “Saya baru sadar, sejak kepergian Charles, saya bukan mendapatkan lebih banyak dari Ronald, saya justru mendapatkan lebih sedikit, karena ternyata manusia itu satu makhluk yang begitu agung. Saudara sebagai manusia, tidak bisa dan tidak sanggup mengeluarkan segala keutuhan dari seorang manusia hanya lewat dirimu seorang, kau perlu orang lain untuk itu”. Saudara, bukankah ini benar?
Kalau suami istri tidak punya anak, Saudara mungkin pikir, ‘wah, enak ya, tidak perlu ada anak; anak itu vampire romance, kalau punya anak maka romansa dan cinta disedot sampai habis tidak ada sisanya!’ Kalau Saudara hanya berduaan dengan istrimu, tentu Saudara bisa mengenal dia, menikmati dia, dan istrimu juga bisa menikmati dirimu; tapi Saudara tidak akan mengenal dia secara utuh. Ketika anakmu lahir, barulah Saudara melihat hal-hal lain dari istrimu yang engkau tidak pernah lihat selama ini, dan istrimu akan lihat hal-hal lain dari dirimu yang dia tidak pernah lihat selama ini, karena seorang manusia tidak sanggup mengeluarkan secara utuh diri manusia yang lain sendirian, dia butuh orang lain untuk itu. C.S. Lewis lalu menulis: “Kalau dengan manusia yang terbatas saja demikian, apalagi dengan Tuhan?? Bagaimana mungkin saya bisa mengeluarkan Tuhan secara utuh hanya lewat diri saya sendiri?? Kalau saya benar-benar mau mengenal Dia secara utuh, saya butuh orang lain. Dan, bukan cuma saya butuh orang lain, tapi juga semakin orang lain ini berbeda dengan saya, maka semakin limpah yang saya bisa temukan pada diri Tuhan, lewat berelasi dengan dia, karena saya jadi melihat bagaimana reaksi Tuhan terhadap dia dan bagaimana reaksi dia terhadap Tuhan. Saya melihat hal-hal yang tidak pernah saya lihat dan temukan dalam diri saya”.
Saudara, mengenal Tuhan itu perlu orang lain. Tidak ada yang Saudara bisa katakan bahwa Saudara bisa mengenal Tuhan sendirian. Itu impossible! Saudara mengenal Dia secara utuh, esensial adalah keikutsertaan dalam sebuah Gereja; dan Gereja yang semakin berbeda dengan dirimu, semakin Saudara bisa mengenal Tuhan di sana. Ini yang pertama, yang lebih konstruktif.
Namun ada sisi tegurannya juga. Dalam minggu ini saya sharing di pengurus dan juga dalam PD, mengenai rencana ke depan mungkin akan ubah format PA di tempat ini. Dalam hal ini, yang saya mau sharing hari ini di sini adalah mengenai respons yang dilontarkan waktu itu (saya pakai contoh ini bukan untuk menusuk secara pribadi, tapi untuk mewakili spirit kita semua), mengenai kenapa sih jemaat kita tidak datang PA. Ada 500 orang hadir dalam Kebaktian Minggu setiap minggunya, tapi yang datang PA hanya 30 orang, 6%, terlalu sedikit ‘kan. Sebelum pandemi, bisa 50-an lebih yang datang, tapi setelah pandemi, jadi begitu sulit, dari cuma belasan lalu naik sedikit-sedikit, dan sudah bagus sekarang bisa 30-an. Gereja lain pun mengalami hal yang sama. Waktu coba ditanya-tanya kenapa tidak mau datang PA di sini, apakah tidak mau dibina, tidak mau belajar? Ternyata tidak, jemaat Tuhan tentu ada kehausan untuk belajar, untuk dibina, “Tapi ‘kan ‘gak harus di PA Kelapa Gading, Pak, ‘kan bisa online, bisa cari tempat-tempat yang lain. Ada banyak sumber lain di internet untuk kita belajar”. Benar, saya setuju dengan itu, saya sendiri belajar banyak dari online. Tapi pertanyaannya, kenapa yang online itu menggantikan yang fisik, kenapa karena kita datang ke yang online maka kita tidak datang lagi ke yang fisik? Bukankah tidak harus begitu? Kalau Saudara bilang bahwa pengajaran yang benar tidak cuma ada di GRII Kelapa Gading, ada juga yang di online, itu memang benar, amin; tapi berarti sebaliknya juga sama, pengajaran yang benar bukan cuma ada di online, ada juga di sini. Lalu kalau Saudara mau cari pengajaran yang benar, kenapa Saudara tidak datang yang fisik?? Jadi berarti masalahnya ‘kan bukan itu, penentunya bukan itu, kriteria utamanya bukan itu. Lalu apa kriteria utamanya kita pilih online dibandingkan fisik? Apalagi kalau bukan urusan convenience. Online itu enak. Online itu saya bisa mengalaminya pada waktu yang saya mau, on my own time, on my own pace. Convenient. On demand. Jadi Saudara pikir Kerajaan Tuhan datang melalui convenience?
Saudara, saya punya Podcast juga “Pendeta Diskusi Teologi”; saya bukan anti-online. Kalau Saudara lihat Podcast saya hari ini, episode-episodenya ada banyak yang ribuan pendengarnya. Jika saya mau mengejar convenient, saya lepas saja pelayanan di GRII Kelapa Gading, fokus ke Podcast 24 jam full time di sana, akan jauh lebih banyak orang yang mendengarkan saya. Saya bisa berikan angkanya, bahwa saya lebih jadi “saluran berkat” di Podcast dibandingkan di GRII Kelapa Gading. Kalau mau main convenience, saya bisa lakukan seperti itu; tapi kenapa saya tidak melepaskan pekerjaan di Kelapa Gading ini yang sangat inconvenient, yang jauh dari rumah saya, yang penuh dengan tetek bengek, yang harus rapat tiap bulan, yang harus macet-macetan, yang segala macam itu semua?? Karena saya percaya, Alkitab mengatakan Kerajaan Allah tidak datang melalui convenience!Kerajaan Allah datang melalui kemiskinan, melalui penolakan, melalui ketidaknyamanan, bahkan kegagalan! Melalui apa? Melalui Gereja Tuhan yang fisik dan lokal!
Sekali lagi, saya tidak mengatakan Saudara tidak bsia belajar dari online; saya sendiri banyak belajar dari online, koq. Tapi coba bandingkan antara yang online dengan yang fisik, apa bedanya? Dari online, Saudara bisa dapat insight, knowledge, banyak hal Saudara bisa dapatkan, namun satu hal yang Saudara tidak bisa dapatkan dari online adalah discipleship! Saudara tidak bisa dimuridkan di online. Kenapa? Karena pemuridan, sebagaimana tadi kita lihat, bahwa siapa yang mau mengikut Yesus, harus menapaki jalan yang Dia tapaki. Saudara pikir Tuhan Yesus menjalani jalan convenience, maka Saudara mengikut Dia lewat jalan convenience? Tidak. Jadi di mana Saudara bisa menemukan pemuridan? Pemuridan hanya bisa dilakukan di Gereja; kenapa? Karena apakah Gereja, kalau bukan tempat di mana engkau dilanggar kehendaknya?? Apakah Gereja, kalau bukan tempat di mana engkau disuruh kerja sama dengan panitia-panitia lain yang kadang-kadang ada orang menyebalkan di dalamnya?? Apakah Gereja, kalau bukan tempat di mana kita senantiasa dibelokkan dari apa yang kita suka, yang kita rasa nyaman, yang kita oke, untuk kemudian mengerjakan hal-hal yang kita tidak mengerti di mana bagusnya, yang kita tidak tahu apa fungsinya, yang kita tidak bisa lihat apa hasilnya?? Apakah Gereja, kalau bukan semua hal itu? Gereja adalah jalan salib; dan itu sebabnya discipleship dilakukan di Gereja, bukan di online. Sadarkah Saudara akan hal ini? Bagaimana Saudara mau mengikut Tuhan kalau pembinaanmu di online, semuanya on demand, on your own time, at your own pace? Saya tidak suruh Saudara membuang itu, namun sebagai seorang yang sadar/peka identitas Yesus, bahwa identitas Yesus tidak bisa dilepaskan datri identitas Gereja Tuhan, Saudara tidak mungkin membuang yang fisik demi yang online, yang ada justru Saudara korbankan yang online demi yang fisik.
Kiranya pada hari ini kita kembali boleh dinyatakan sebagaimana berminggu-minggu kita sudah melihat akan siapa Yesus Kristus. Semakin masuk dalam tema Epifani ini, saya semakin sadar kenapa kita perlu hal ini setiap tahun, karena kenyataannya kita tidak pernah benar-benar bertemu dengan Yesus yang sejati. Yesus yang sejati tentunya Yesus yang sangat menghibur, Yesus yang sangat-sangat indah, namun Yesus yang sejati ternyata juga mengerikan, tuntutan-Nya begitu tinggi, karena Ia sudah menuntut Diri-Nya lebih tinggi daripada itu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading