Kita sedang dalam Musim Epifania. Hari ini kita melanjutkan ke salah satu makanan pokok lagi dalam tema-tema Epifania, musim di mana kita diajak untuk membaca Injil dengan fokus yang tepat. Setiap tahun, Kalender Gereja berganti dari satu penulis Injil ke penulis yang lain –dan tahun ini tahun Lukas– namun makanan pokoknya setiap tahun sama, dimulai dengan kedatangan orang majus, yang fokus tepatnya diarahkan bukan kpada siapa yang datang melainkan Siapa yang didatangi. Selanjutnya mengenai apa pelayanan publik Yesus yang pertama dalam Injil tersebut; dan fokus tepatnya pada diri Yesus dan bukan apa yang Dia kerjakan, bukan cuma apa grand opening-nya tapi Siapa grand opener-nya. Berikutnya mengenai Yesus memanggil murid-murid-Nya, dan fokusnya bukan pada siapa yang dipanggil melainkan Siapa yang memanggil. Berikutnya lagi mengenai Yesus dibawa ke Bait Suci, dan fokus tepatnya bukanlah pada Simeon atau Hana, melainkan apa perkataan mereka mengenai Yesus.
Minggu ini kita masuk ke dalam tema pokok berikutnya, yaitu pengajaran-pengajaran Yesus; dan dalam hal ini sama juga, mengenai apa fokus tepatnya bagian ini. Bagian ini salah satu yang kita sebagai orang Kristen paling gampang galfok. Kalau seseorang mengajar, apalagi Yesus yang mengajar, kita cenderung fokus pada apa ajarannya, bagaimana saya bisa atau tidak bisa melakukan ajaran tersebut. Tentu saja dalam menerima pengajaran seseorang, harus ada aspek ini, tapi saya mau perlihatkan bahwa ketika Yesus dicatat ‘mengajar’, fokusnya tidak pernah pada ajaran-Nya, melainkan pada siapa yang mengajar semua ini. Ajaran tersebut bukan fokusnya, ajaran tersebut dipakai untuk memperlihatkan kepada kita bahwa Yesus yang mengajar ini, sebenarnya Siapa. Dan, kalau mau jujur, sebagai orang Kristen kita jarang membaca atau mendekati pengajaran-pengajaran Yesus dengan fokus demikian, mengenai apa yang ajaran tersebut beritahukan kepada kita identitas Yesus dan kemuliaan-Nya, bukan cuma ajaran-Nya. Itulah harusnya fokus Gereja.
Fokus, tidak sama dengan kacamata kuda; maka di sini tidak berarti kita tidak akan coba mengerti ajaran-Nya; apalagi nanti pada Musim Ordinary Time tahun ini, kalau Tuhan menghendaki, kita akan membahas Sermont of the Mount ini dari versi Matius. Jadi yang saya maksud adalah supaya kita bisa melihat kebutuhan kita untuk mengerti itu semua dalam fokus yang tepat; dan fokus yang tepat bukanlah pada ajarannya melainkan pada Siapa yang mengajar. Kenapa ini penting? Karena banyak orang Kristen dalam hal misalnya memilih gereja tempat mereka beribadah, sering kali fokusnya salah, “Saya ingin di gereja ini atau di gereja itu, karena pendeta ini atau pendeta itu bicara sesuatu yang pas sama saya, klik dengan saya, menyentuh hati saya.” Lalu waktu ditanya apa persisnya yang dibicarakan pendeta yang menyentuh hatinya, mereka mengatakan: “Pendeta itu mengatakan hal-hal yang beresonansi dengan hatiku, misalnya: kamu jangan takut hidupmu susah, saya juga dari kecil hidupnya susah tapi saya berjuang dan akhirnya Tuhan memakai saya, jadi kamu juga bisa!’ Ini klop dengan saya.” Saudara, fokusnya jadi di mana?? Di mana Kristus dalam perkataan pendeta tadi? Kalau Saudara datang ke gereja untuk mendapatkan kalimat-kalimat pengajaran tok, apa bedanya dengan mendengarkan motivator? Bahkan mungkin Saudara spend hari Minggu dengan cari motivator saja, tidak usah datang ke gereja.
Kadang-kadang ada gedung gereja yang taruh plakat-plakat di tembok, berisi kutipan ayat-ayat tertentu. Ini hal yang bagus, kalau ditaruh di tempat-tempat yang tepat, efeknya baik. Misalnya, di pintu masuk ditaruh plakat ayat yang terkenal itu, ayat votum, “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi”, itu bagus. Saudara baca ayat itu, Saudara jadi tidak galfok, Saudara diingatkan bahwa atas dasar kekuatan Siapa kita hari ini datang menyembah, bukan atas dasar kekuatan yang menyembah melainkan kekuatan Yang Disembah. Jadi ini bagus kalau ditaruh di pintu masuk atau di tangga untuk naik ke ruang kebaktian. Sekarang saya mau tanya, kalau Saudara mau pasang plakat dengan ayat kutipan di mimbar ini, sehingga yang membaca adalah pendetanya, ayat mana yang akan Saudara pasang? Mungkin ayat yang terbaik adalah Yohanes 12:21. Di situ diceritakan sekelompok orang datang kepada Filipus, dan mengatakan, “Tuan, kami mau menerima pengajaran-Nya yang menyentuh hati; kami mau menerima pengajaran yang klop dengan kami” ? Tidak. Mereka mengatakan, “Sir, we would like to see Jesus” –kami mau melihat Yesus, kami bukan cuma mau tahu ajaran-Nya, atau kisah-kisah-Nya, atau berkat-berkat-Nya tok, kami ingin Dia. Mungkin suatu hari Saudara boleh pasang ayat itu di mimbar ini, supaya saya dan orang-orang lain yang berkhotbah di mimbar ini tidak galfok dan akhirnya membawa jemaat ikutan galfok.
Sama seperti Musim Adven mengajarkan kepada kita bukan hanya belajar menanti pada masa Adven, melainkan juga bahwa hidup kita seluruhnya adalah hidup yang menanti, demikian juga Musim Epifania mengajarkan kita untuk membereskan fokus kita bukan cuma pada saat Musim Epifania melainkan dalam seluruh pembacaan Alkitab kita, seluruh hidup kita, untuk fokusnya pada Yesus Kristus, mengenai Siapa Dia. Itu sebabnya saya tadi bukan cuma ajak Saudara membaca ajaran-Nya yang terkenal, Ucapan Bahagia versi Lukas, tapi juga membaca bagian-bagian sebelumnya.
Kita mulai dengan ayat 12, dikatakan sebelum Yesus mengajar, semalam sebelumnya Dia naik ke sebuah bukit (atau gunung; karena gunung dan bukit di daerah Palestina tidak beda, tingginya cuma segitu-segitu saja). Semalaman Dia di sana berdoa. Di ayat 17 dikatakan Dia turun dari bukit itu ke suatu tempat yang datar; dan di situlah Dia mengajar. Jadi, bagian pengajaran-Nya ini dalam kitab Lukas dikenal sebagai The Sermon on the Plains (karena bagian datar), sementara paralelnya di Matius, ucapan bahagia itu disebut sebagai The Sermon on the Mount, karena di dalam kitab Matius dikatakan Yesus mengajar dengan naik ke atas bukit (Matius 5:1).
Waktu membaca bagian-bagian seperti itu sekali lagi kita sering galfok, terjebak dengan urusan ‘jadi mana yang benar, koq Injil bertabrakan kayak begini; Yesus khotbah di atas bukit atau di bawah bukit??’ Omong-omong, kalau Saudara terpaku pada urusan kayak beginian, sebenarnya simpel saja penyelesaiannya. Misalnya suatu hari saya diundang pelayanan ke luar kota, berkhotbah di gereja lain, dan gereja tersebut bikin ringkot, sementara khotbahnya mengulang khotbah yang di sini, maka Saudara akan medapatkan khotbah yang sama tapi tempatnya beda. Tuhan Yesus pun boleh dong mengkhotbahkan satu khotbah yang sama di tempat yang berlainan. Jadi, kalau urusan kayak begini bikin Saudara susah, anggap saja Matius mencatat satu peristiwa tertentu dan Lukas mencatat peristiwa yang lain, yang memang adakalanya Tuhan Yesus berkhotbah di atas bukit dan adakalanya Dia berkhotbah waktu turun dari bukit. Namun secara pribadi saya rasa itu bukan cara baca Injil yang tepat; Saudara di sini harusnya menangkap bukan perbedaannya melainkan justru kemiripannya, bahwa baik Matius maupun Lukas mengasosiasikan khotbah ini dengan urusan bukit/gunung.
Yang satu mengatakan Tuhan Yesus khotbah bagian ini waktu naik bukit, dan yang satu lagi mengatakan ketika turun dari bukit –dua-duanya ada bukit— kenapa? Rupanya ada sesuatu di sini, dan inilah fokus Epifania, karena siapakah figur dalam Perjanjian Lama yang ada hubungannya dengan gunung dan pengajaran? Musa. Musa menerima Hukum Taurat dari Tuhan dengan cara naik ke gunung; lalu ketika turun dari gunung, dia memberikan hukum tersebut kepada umat Tuhan. Jadi, in some sense ini adalah usaha Matius maupun Lukas untuk mem-bingkai-kan Yesus sebagai Figur yang seperti Musa.
Kalau ditelusuri lebih lanjut, peristiwa Sepuluh Hukum itu pada dasarnya momen apa dalam sejarah Israel? Itu adalah momen Israel di-establish sebagai suatu kerajaan. Saudara perlu ingat, yang meng-establish suatu bangsa bukanlah kemerdekaannya, bukan keluarnya mereka dari tangan penjajah Mesir atau Jepang atau Belanda. Dalam hal ini kita galfok lagi, kita pikir Indonesia mulainya pada tanggal 17 Agustus 1945 waktu ada deklarasi kemerdekaan, tapi sebenarnya Indonesia baru benar-benar establish pada tanggal 18 Agustus 1945, momen dikeluarkannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Kalau Saudara cuma bebas dari suatu penjajah, apa yang mengikat Saudara?? Kalau tidak ada yang mengikat, cepat atau lambat Saudara akan dilibas oleh negara-negara yang lain, atau bahkan balik lagi ke negara penjajah tadi; kalau ada ikatan yang baru di dalam negara yang sekarang bebas ini, itulah momennya negara tersebut establish.
Saudara sekarang juga bisa melihat alasannya Lukas menempelkan momen pengajaran ini dengan momen Yesus memilih dari sekian banyak murid-murid-Nya itu, dua belas orang. Omong-omong nama-nama mereka yang dicatat tidak terlalu penting, karena kalau dibandingkan dalam setiap Injil urutan nama mereka lain-lain, yang penting adalah jumlahnya dua belas, jumlahnya ini means something. Ini berarti, sama seperti Israel dulu di-establish di bawah Hukum Tuhan sebagai dua belas suku keturunan Yakub, sekarang Yesus naik gunung dan turun gunung memberikan ajaran di bagian ini, memanggil dua belas rasul, maksudnya adalah: Dia sedang mendirikan Israel yang baru, atas dasar dua belas rasul ini. Tidak heran belakangan Paulus mengatakan, Gereja didirikan di atas para rasul. Dua belas murid ini akan menjadi nucleus, center, starting point, dari apa yang Yesus hendak lakukan, yaitu tidak kurang dari bahwa Ia ingin memperbarui kerajaan Israel, membawa Israel yang baru pada saat itu.
Dengan kacamata seperti inilah kita baru bisa mengerti ucapan bahagia dan ucapan kutuk yang datang setelahnya, dengan tepat. Sama seperti Musa di kitab Ulangan memberikan daftar berkat-berkat dan kutuk-kutuk kepada Israel sebelum mereka masuk ke tanah perjanjian, di sini Yesus dengan dikelilingi oleh Israel yang baru, memberikan berkat dan kutuk versinya Yesus. Saudara bisa lihat kemiripan antara Musa dengan Yesus yang sengaja sekali digambarkan di sini. Bagian ini tujuannya bukan cuma memberikan kepada kita ajaran tok, melainkan juga Siapa yang mengajar.
Tidak berhenti di situ, setiap kali Alkitab menarik kita untuk melihat kemiripan antara Yesus dengan figur-figur dalam Perjanjian Lama, Alkitab sengaja mengajak kita melihat kemiripannya justru supaya kita menyadari perbedaannya. Musa dipakai Tuhan untuk memulai Isarel yang lama, Yesus di sini datang memulai Israel yang baru. Mirip, namun perbedaanya jelas: Yesus bukan just another Moses, Yesus adalah the Greater Moses, karena Musa memberikan Hukum Taurat di atas gunung sebagai tanda ketaatan Israel kepada Tuhan, sementara Yesus pada akhir khotbah di bukit (ataupun khotbah di dataran) menutup pasal ini dengan mengatakan: “Siapa yang tidak menaati perkataan-KU, hidupnya seperti rumah yang dibangun di atas pasir”. Ketaatan Israel yang lama, patutnya menjadi milik Tuhan; dan hal ini sekarang sedang diklaim oleh Yesus sendiri. Yesus bukan sekadar seorang pengajar tok, Dia bahkan bukan sekadar Musa, Dia sedang menciptakan suatu umat yang baru, Israel yang baru, karena Dialah Allah Israel itu sendiri. Yang sedang dinyatakan di sini, tidaklah kurang dari itu. Tidak heran Paulus belakangan mengatakan di Kolose 1: “Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan Anak-Nya yang kekasih”.
Saudara, dalam fokus yang tepat inilah baru kita bisa mengerti pengajarannya itu sendiri. Ini bukan sekadar seorang guru yang mengajarkan kepadamu suatu cara untuk hidup baik-baik; ini bukan seorang guru yang sedang mengatakan, “Begini lho, cara-Ku membantu kamu supaya kamu bisa mencapai potensimu yang terbaik, be the best you, be the best person of you!” Tidak demikian. Yang terjadi di sini tidak kurang dari Seorang Raja, bahkan Seorang Allah, yang sedang mendirikan suatu revolusi, suatu Kerajaan baru yang menggantikan kerajaan yang lama. Apa bedanya? Apa signifikansi/maknanya, kalau yang Yesus berikan di sini bukan sekadar ajaran tapi kerajaan yang baru, bahwa yang Yesus lakukan di sini bukan sekadar mengajarkan suatu ajaran untuk diterima dalam kerajaan yang lama, yang gelap, melainkan sedang mendirikan suatu Kerajaan yang baru, Kerajaan Sang Anak yang terang?
Dalam hal ini mungkin Paulus bisa membantu kita mengerti; Roma 13:12 dia mengatakan: “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang … ”. Kalimat ‘hari sudah jauh malam, telah hampir siang’ ini terjemahan yang kurang bagus; yang lebih bagus adalah “Malam sudah suntuk dan fajar sudah tiba, siang akan segera datang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang!” Bagi Paulus, kehadiran Yesus Kristus menandakan satu momen yang critical dalam sejarah ciptaan ini; sejarah dunia dalam momen Yesus datang, adalah momen di mana malam telah suntuk sesuntuk-suntuknya, dan itulah momen di mana malam sedang beralih ke fajar. Terangnya baru mincul sedikit sekali, benar-benar baru muncul, langit masih sangat gelap, namun sudah ada turning point di sini, fajar akan semakin datang, terang akan semakin datang. Jadi, momen sekarang ini bukan malam tapi juga bukan siang, dua-duanya overlap jadi satu. Namun dalam momen seperti ini, dalam momen menjelang terang yang akan datang meskipun masih gelap, yang Paulus katakan adalah: “Kita harus mengenakan baju siang”. Gampangnya begini: pada waktu fajar sudah mulai menyingsing lalu Saudara ganti baju, Saudara akan pakai baju untuk siang hari, meskipun di luar masih gelap. Apalagi di Indonesia, berhubung lalu lintas pagi hari macet luar biasa, maka banyak dari kita yang bangun pagi-pagi sekali selagi masih gelap, mandi, dan berpakaian seperti sepantasnya kita berpakaian di siang hari, meskipun masih gelap. Kenapa? Karena kita memang hidup di masa yang masih ada kegelapan, namun fajar akan segera datang, sehingga kita hidup seakan-akan fajar sudah datang, kita hidup as if terang sudah datang.Itulah yang dikatakan Paulus.
Yang Yesus lakukan tidaklah kurang dari mengatakan: Aku sedang mengganti zaman; Akulah Allah yang sedang memutar bola dunia dari kerajaan yang lama ke Kerajaan yang baru. Dan itu berarti kalau engkau mau survive dalam Kerajaan yang baru ini — kalau engkau mau survive dalam siang hari nanti—engkau better ikut aturan main yang baru ini. Kalau Saudara melihat Dia cuma sebagai guru, maka bagian ini sekadar ajaran yang mengatakan ‘kalau kamu mau bertumbuh, hiduplah seperti ini’; namun tidak demikian, ini adalah Kerajaan yang baru, yang kalau kamu mau survive dalam Kerajaan yang baru ini, kamu harus hidup seperti ini, tidak ada jalan lain, karena kerajaan yang lama itu akan segera berlalu, akan segera hilang.
Mungkin contoh yang bagus dalam hal ini, yaitu dalam dunia persepakbolaan. Belakangan ini ada satu hal yang disorot, Tim Manchester United, tim sepakbola yang sangat terkenal, baru saja ganti manajer, namanya Ruben Amorim; dan satu hal yang Ruben Amorim langsung lakukan begitu menjabat adalah membuang/meminggirkan salah satu pemain yang terbaik, Marcus Rashford. Marcus Rashford ini pemain yang bagus, sudah berkali-kali mencetak gol, dan selama ini oke di bawah pelatih yang lain, tapi begitu pelatih baru ini datang, dia tidak main sama sekali, bahkan tidak masuk dalam pemain cadangan pun; apa yang terjadi? Dalam konferensi pers, Ruben Amorim mengatakan: “Saya melihat sepak bola berbeda dari cara Rashford melihat sepak bola; dan kalau dia tidak mau melihat sepak bola sebagaimana saya melihat, dia tidak akan main, kalau dia tidak mau berlatih sebagaimana saya mau dia berlatih, dia tidak akan main”; dan akhirnya pemain tersebut dijual ke klub lain. Ini mengenai datangnya manajer baru –kerajaan baru—dan inilah Yesus Kristus. Saudara lihat, seperti apa bedanya kalau fokus kita tepat, kalau kita sadar bahwa ini bukan sekadar urusan ajaran, ini sebuah Kerajaan yang baru.
Lebih jelas lagi kita melihat hal ini ketika kita masuk ke dalam pengajaran-Nya dan mulai membandingkan, kita jadi menyadari bahwa ternyata ucapan bahagia dan ucapan kutuk ini sebenarnya perbandingan dua pola kerajaan yang berbeda. Empat ucapan bahagia di situ adalah Kerajaan Allah, Kerajaan yang terbalik; dan empat ucapan kutuk di situ adalah kerajaan dunia, kerajaan kegelapan, kerajaan yang segera berlalu, kerajaan yang mungkin hari ini kita lihat sebagai kerajaan yang tegak lurus. Maksudnya begini: setiap kerajaan –setiap manajer bola– punya sistem nilai, dia punya hal-hal yang dia anggap berharga dan ditaruh di atas, dan ada hal-hal yang dia anggap perlu dihindari dan ditaruh di bawah.
Ayat 24-26 adalah hal-hal yang ditaruh di atas oleh kerajaan yang sekarang, kerajaan kegelapan, kerajaan yang mau ditunggangbalikkan oleh Allah, kerajaan yang tegak lurus bagi mata dunia. Yaitu apa? Pertama: “Celakalah kamu, hai kamu yang kaya”; kaya di sini bukanlah cuma soal punya uang; kaya atau miskin pada zaman dulu adalah urusan punya power atau tidak punya power (sebenarnya sampai zaman sekarang pun sama), jadi yang pertama ini mengenai power, influence, orang dunia kepingin jadi influencer. Yang kedua: “Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang”, kenyang di sini juga bukan sekadar kenyang di perut melainkan well-fed, yang bukan cuma kenyang tapi juga punya kenyamanan, kelimpahan material, comfort. Yang ketiga: “Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa”; tertawa di sini bukan sekadar soal canda tawa, tapi kata aslinya adalah tertawa yang gloating, tertawanya penjahat, seperti misalnya Saudara sukses/menang atas orang lain lalu Saudara mengatakan, “Aku menang, dia kalah, hah ha ha ha… “, jadi ini mengenai sukses/kesuksesan. Yang terakhir: “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu”, yang berarti pengakuan, acclaim, popularitas, banyak followers, likes, dan subscribers.
Jadi, kuasa, kenyamanan, kesuksesan, pengakuan, adalah hal-hal yang ditaruh dunia di bagian yang paling atas, hal-hal yang dunia kejar. Dengan demikian, ayat 20-23, ucapan bahagia, adalah hal-hal yang dijauhi oleh kerajaan dunia. Apakah itu? Persis kebalikannya. Pertama: “Berbahagialah, hai Kamuyang miskin”, artinya yang lemah (weak), bukan powerful. Yang kedua:”Berbahagialah, hai Kamu yang sekarang ini lapar”, berarti orang yang discomfort, tidak ada kenyamanan. Yang ketiga: “Berbahagialah, hai Kamu yang sekarang ini menangis”, artinya kamu yang kalah, yang berduka. Yang terakhir: “Berbahagialah jika kamu dibenci oleh karena Anak Manusia, dikucilkan, dicela, ditolak”, berarti dipinggirkan, tidak diterima, tidak diakui, bahkan dibuang.
Saudara lihat, persis ada pola empat dan empat ini. Itu sebabnya saya menamakan kerajaan dunia sebagai kerajaan yang tegak lurus –tentunya bukan dari sudut pandang Alkitab tapi dari sudut pandang kita– karena memang secara natural kita menaruh power, kenyamanan, pencapaian, pengakuan orang, sebagai hal-hal yang di atas; dan kita menaruh kelemahan, discomfort, duka, penolakan, sebagai hal-hal yang di bawah. Itulah kerajaan dunia.
Melihat seperti ini, kita coba simpati lebih dulu, karena secara natural memang lumrahnya kayak begitu. Kalau Saudara perhatikan bagaimana Yesus menggambarkan dalam ucapan-ucapan-Nya, Saudara mendapati bahwa empat hal yang di atas tadi ditempatkan sebagai hal-hal yang sekarang. Dikatakan: ‘celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu’ –berarti sekarang—lalu ‘celakalah kamu, yang sekarang kenyang’, ‘celakalah kamu, yang sekarang tertawa’,‘celakalah jika semua orang memuji kamu’ yang kalimatnya pakai present tense. Jadi semuanya ini mengenai sekarang; dan memang benar, mengejar hal-hal seperti ini adalah demi sesuatu yang sekarang. Kalau Saudara mengejar kesuksesan sebagai tujuan hidupmu, mengejar kuasa dan kebahagiaan supaya bisa menghindari penderitaan, mengejar pengakuan, maka semua itu memang benar akan ada hasil yang jelas dan konkret sekarang. Jadi, wajar koq, orang mengejar hal-hal seperti ini, karena bagi banyak dari kita, yang paling riil adalah masa sekarang, sedangkan masa lalu sudah berlalu dan jangan hidup di masa lalu dong, sementara masa depan tidak menentu, siapa yang tahu?? Itu sebabnya pentingkan masa sekarang; dan jika yang sekarang ini yang paling riil, maka punya sistem nilai seperti kerajaan dunia adalah hal yang wajar dan lumrah. Lagipula, kayak tidak pernah saja dengar teori Evolusi “survival of the fittest, the strongest”, mana ada survival of the weakest, survival of the rejected, survival of the powerless, itu tidak masuk akal! Jadi memang wajarlah kita mengejar kuasa.
Seorang psikiater Inggris yang cukup terkemuka mengatakan dalam analisanya, bahwa spirit Kekristenan, khususnya sebagaimana yang dijabarkan dalam Khotbah di Bukit, sebenarnya spirit masokis (masokis adalah kebalikan dari sadisme; masokis artinya senang menyakiti diri sendiri); lihat saja, yang miskin, yang lemah, yang dianiaya, disebut berbahagia; itu masokis banget. Saudara lihat, itu sebabnya kerajaan dunia kita sebut kerajaan yang tegak lurus, karena kalau kita pikirkan secara biologis, psikologis, lumrahnya memang begitu; power, comfort, pengakuan adalah yang menempati tempat-tempat di atas, sedangkan siapalah yang akan menghargai kelemahan, pengorbanan, dukacita, penolakan?? Pengorbanan, mungkin orang bisa hargai, tapi tergantung apa hasilnya, saya mau berkorban jika saya tahu hasilnya sekarang.
Dan, Yesus pada dasarnya mengatakan: hai Kamu, yang hidup mengejar hal-hal ini, karena kamu mau hasilnya sekarang, maka kamu harus tahu ini semua sementara, ini semua tidak bertahan. Kamu sekarang tertawa, nanti kamu akan menangis; kamu yang kenyang sekarang, nanti kamu akan lapar. Sesungguhnya bahkan tidak butuh Yesus untuk tahu hal ini; kalau Saudara membangun hidupmu atas hasil yang sekarang, maka apapun yang Saudara bangun, cepat atau lambat akan runtuh ‘kan. Saudara tidak butuh Yesus untuk tahu hal ini; ini common sense. Saudara membangun hidupmu di atas penerimaan orang akan kecantikanmu, suatu hari kecantikanmu itu akan pudar. Saudara membangun hidupmu di atas orang-orang yang suka denganmu, suatu hari mereka akan meninggal. Saudara membangun hidupmu di atas kuasa melalui pencapaian, tapi suatu hari pencapaianmu akan dilampaui orang. Tidak usah Yesus yang mengatakan, untuk kita tahu hal seperti itu. Tidak usah tunggu fajar datang, dalam dunia yang malam tok pun hal itu sudah berlaku; apalagi ketika kita sekarang mempertimbangkan bahwa kerajaan ini adalah kerajaan malam yang segera sirna tertelan fajar! Kalau dunia yang gelap ini akan berlalu, maka kekenyanganmu hari ini akan berubah jadi kekosongan dalam dunia yang akan datang, kesuksesanmu di dunia hari ini akan berubah jadi tangisan dan ratapan dalam dunia yang akan datang itu. Sebegitulah bobot dari kalimat Yesus di bagian ini. Ini ajaran yang sangat tidak make sense, jikalau Saudara hanya membaca Dia sebagai seorang guru tok –guru gila.
Tadi kita baru membahas bagian di mana Yesus memanggil murid-murid-Nya, lalu lompat langsung ke bagian pengajaran-Nya. Tapi kalau melihat dengan seksama, di antara dua bagian tersebut ada satu bagian kecil (ayat 18-19) yang dikatakan Yesus turun bukit, dan ada kuasa keluar dari diri-Nya, orang sakit disembuhkan, orang yang dirasuk roh jahat dibebaskan. Apa fungsi cerita-cerita mukjizat ini? Mukjizat Yesus itu bukan bikin orang sehat tambah sehat, bukan bikin orang yang waras tambah waras, bukan bikin orang yang kaya tambah kaya; kuasa yang keluar dari Yesus adalah menyentuh mereka yang sakit, yang kerasukan. Coba bayangkan, Saudara bahagia kalau sakit? Saudara bahagia kalau kerasukan? Dalam bagian ini, kehadiran Yesus benar-benar menjungkirbalikkan kerajaan yang lama, orang-orang yang berbahagia di dekat Yesus bukanlah mereka yang sehat melainkan yang sakit, bukan yang waras melainkan yang kerasukan. Inilah tandanya Kerajaan Allah telah dimulai. Inilah secercah fajar yang mulai menembus langit malam yang gelap itu. Apa artinya? Artinya, kehadiran Yesus melakukan mukjizat seperti ini adalah sebuah writing on the wall. Maksudnya apa?
Saudara tentu tahu ceritanya dalam Daniel pasal 5 mengenai hari-hari terakhir kerajaan Babilonia. Raja terakhirnya, Raja Belsyazar, sebentar lagi akan jatuh oleh Kores, raja negeri Media Persia. Kores sudah mendekat, Belsyazar tahu Babel tidak akan bisa bertahan melawan Media Persia. Lalu apa yang Belsyazar lakukan? Dia bikin pesta besar-besaran, mabuk-mabukan, mengundang selir-selirnya masuk. Catatan bahwa dia mengundang selir-selirnya masuk ini menarik, karena dalam pesta besar sebuah kerajaan, biasanya yang hadir adalah permaisuri; dan permaisuri tidak pernah berada dalam satu ruangan yang sama dengan selir, karena ada ketegangan. Jadi kalau Belsyazar mengundang semuanya masuk, ini mirip seperti orang yang kena kanker sudah terminal lalu dokter mengatakan boleh makan apa saja, karena sudah tidak ada ada harapan. Seperti itulah kira-kira keadaannya. Dalam momen seperti itu, ada tangan yang muncul, menulis di tembok, dan tulisannya diterjemahkan oleh Daniel, mengatakan: “Hari-harimu telah terhitung” (maksudnya hitung mundur). Saudara, sadarkah bahwa kehadiran Yesus di dunia ini berarti menghitung mundur, menuliskan di tembok bahwa kerajaan yang gelap itu, kerajaan di mana yang berbahagia adalah mereka yang kenyang, yang kuasa, dsb., itu sudah terhitung hari-harinya, sudah terhitung mundur?
Kehadiran Yesus memberikan mukjizat, itu bukan cuma kabar yang manis, indah, baik, sebagaimana kita sering kali pikir. Ketika Dia menyembuhkan mereka yang sakit, mengenyangkan mereka yang lapar, membangkitkan mereka yang mati, ini tanda apa? Ini tanda –preview— dari apa yang akan datang segera, yaitu Kerajaan yang akan datang, bahwa dalam Kerajaan yang akan datang itu yang berbahagia adalah mereka yang sakit, mereka yang lapar, mereka yang mati; sementara zaman di mana yang berbahagia adalah mereka yang kenyang, sehat, nyaman hidupnya, itu akan segera berlalu. Sadarkah Saudara bahwa ini maksudnya? Ini mengerikan. Ini berarti jikalau kita selama ini hidup hanya bagi diri kita sendiri, melakukan segala sesuatu hanya untuk kesuksesan pribadi kita, untuk keluarga kita, untuk orang-orang yang sekaliber dengan kita –dan sesekali kita berikan juga ke orang miskin, jangan sampai bolos gereja juga– maka Saudara harus tahu, gorden sudah ditarik untuk zaman seperti itu, kerai sudah mulai ditutup untuk kehidupan yang seperti itu, karena Yesus telah datang, dan Ia hidup sebagaimana Ia hidup. Ia hidup menyentuh mereka yang kusta. Ia hidup memberikan Dirinya kepada yang miskin. Ia mati di atas kayu salib. Ia datang sebagai orang miskin, masuk ke Yerusalem menunggang keledai pinjaman, makan Perjamuan Terakhir-Nya di ruangan pinjaman, dan dikubur di kuburan pinjaman. Lewat hidup seperti inilah hari-hari kerajaan yang gelap itu sudah terhitung mundur. Itulah maknanya.
Kerajaan yang gelap, kerajaan dunia, segera diganti dengan Kerajaan yang terang. Sekarang kita beralih untuk melihat seperti apa Kerajaan yang terang itu, Kerajaan yang sesungguhnya sudah mulai datang dan menggantikan kerajaan yang gelap dalam dunia ini. Dalam Kerajaan ini, yang pertama-tama kita lihat adalah adanya keterbalikan. Michael Wilcock, seorang comentator (yang cukup dalam pembahasannya namun lebih accessible), waktu membahas bagian ini mengatakan: dalam hidup umat Allah, hal yang pertama kita lihat adalah adanya pembalikan sistem nilai; “They will prize what the world calls pitiable, and suspect what the world thinks is desirable”.Mereka akan menghargai –bukan sekadar menghargai tapi juga mengangkat, meninggikan– apa yang dunia rendahkan. Itulah yang menjadi tanda seorang Kristen.
“Maksudnya apa, Pak, kita prize kelemahan, dukacita, penolakan; kita mencari dan mengejar hal-hal itu?” Tidak. Kalau kayak begitu, jadi benar kata psikiater tadi bahwa kita ini masokis; tapi bukan itu. Dalam hal ini kita perlu bereskan dulu bahwa prizing berbeda dari seeking. Bahkan kalau Saudara mendengar yang dikatakan komentator tadi, lalu Saudara mengejar kelemahan, mengejar dukacita, sebenarnya Saudara masih beroperasi dalam mode kerajaan yang lama. Lalu apa maksudnya kita menghargai/meninggikan kelemahan, dukacita? Maksudnya bukan kita mengejar hal-hal itu, melainkan ketika hal-hal tersebut datang/hadir dalam kehidupan kita, kita bisa menghargainya, mengerti apa fungsinya dalam hidup kita. Ketika hal-hal tersebut datang, kita tidak berteriak, “Mampus gua, hidup gua hancur!” Kalau kita seperti itu, berarti kita masih di bawah pengaruh dunia yang lama, kerajaan yang lama, kerajaan yang sedang diganti, kerajaan yang sudah dihitung hari-harinya. Ketika kita disuruh menghadapi orang-orang yang kita tidak suka di gereja, ketika kita disuruh membuat damai dengan musuh kita di gereja ataupun di dunia, lalu kita mengatakan, “Aduh, ‘gak bisa ini, ‘gak maulah, mampus jadi orang Kristen harus kayak begini?? Hancur hidup gua …’, berarti kita masih di bawah pengaruh dunia yang lama, dan kita berteriak. Namun seorang Kristen, seorang yang berada dalam Kerajaan yang baru,dia tidak berteriak, dia menyadari hal-hal seperti ini penting, dia tahu apa nilainya, dia menghargai hal-hal ini, dia menghargai orang-orang yang mengalaminya, dia tertarik dengan orang-orang yang mengalami hal-hal ini. Dia tertarik pada mereka yang lemah, mereka yang sakit, mereka yang berduka, mereka yang bergumul, dia ingin masuk ke dalam hidup mereka –sama seperti orang-orang dari kerajaan yang segera berlalu itu mengejar-ngejar untuk masuk ke dalam hidup mereka yang kuat, sukses, cantik, dsb.
Sekali lagi, kita bukan mengejar kelemahan dan dukacita, dan kita juga bukan menghindari. Jadi maksudnya apa? Maksudnya, seorang Kristen tidak lagi dikendalikan oleh hal-hal itu. Orang-orang dalam Kerajaan Allah tidak lagi dikendalikan oleh hal-hal yang dunia anggap harus ada –kenyamanan atau pengakuan orang lain atau kuasa. Namun kalau Saudara lari dari hal-hal tersebut, itu sama saja dengan Saudara mengejar hal-hal tersebut, yang berarti Saudara masih dikendalikan. Ada orang-orang yang mengejar uang; tapi kalau Saudara lari dari uang, kalau Saudara tidak bisa pegang uang, kalau Saudara tidak bisa mengolah pengakuan orang lain, kalau Saudara lari dari hidup yang nyaman dan takut mendapat hidup yang nyaman, maka sebenarnya Saudara masih dikendalikan oleh hal-hal tersebut.
Satu hal menarik, kadang-kadang waktu seseorang sudah punya anak lalu mengatakan, “Aku mau didik anak dengan cara B!”, alasannya adalah: ‘karena dulu orangtuaku paksa aku A, tidak pernah memberikan B, jadi sekarang aku mau didik anakku cara B! aku sekarang bebas dari pengaruh orangtuaku, tidak lagi di bawah mereka, aku bisa didik anakku dengan cara lain; aku mau didik anakku dengan cara B karena dulu orangtuaku cuma A!’ Tapi orang kayak begini bukan bebas dari orangtuanya, dia justru masih sangat dikendalikan oleh orangtuanya. Jadi, dikendalikan bukan cuma dengan mengejar, tapi bisa juga dengan lari menghindari. Jadi, maksudnya ‘tidak dikendalikan’, adalah bahwa Saudara tidak membutuhkan hal-hal tersebut, hal-hal itu –kenyamanan, kuasa, pengakuan—hal-hal itu tidak jadi penggerakmu, boleh ada dan boleh tidak ada. Itu tandanya orang yang hidup dalam Kerajaan Allah, kerajaan yang terbalik.
Contoh yang gampang, anggaplah ada orang yang dalam kerajaan yang lama dan ada orang yang dalam Kerajaan yang baru, dan mereka sama-sama bekerja di kantor. Mereka sama-sama menghadapi situasi di mana kalau mereka mengatakan yang benar, maka akan dipecat dan kehilangan pekerjaan. Bagaimana dua macam orang ini merespons? Orang yang dalam kerajaan yang lama, mau tidak mau harus berbohong, karena dia tidak bisa hidup tanpa kuasa yang dia dapatkan dari pekerjaan itu, dia tidak bisa hidup tanpa pengakuan, dia tidak bisa hidup tanpa rumah yang harganya sekian dan uang yang jumlahnya sekian. Jadi dia harus berbohong, karena dia dikendalikan oleh hal-hal tersebut. Tetapi orang yang dalam Kerajaan yang baru, mereka akan mengatakan, “Saya harus melakukan apa yang benar; karena ada atau tidaknya hal-hal tersebut tidak menggerakkanku, tidak mengendalikanku.” Dari mana bisa kayak begitu?
Ada beberapa statement yang benar-benar paradoks, yang membuat kita menyadari rahasia dinamika kekuatan di balik itu semua. Saudara lihat di bagian yang kita baca, urusan ‘sekarang’ itu bukan cuma muncul dalam ucapan-ucapan kutuk (‘sekarang kamu kenyang, nanti kamu lapar’) tapi juga muncul dalam ucapan-ucapan bahagia. Dalam ucapan bahagia, Tuhan Yesus mengatakan, “Berbahagialah kamu yang menangis sekarang … berbahagialah kamu yang sekarang lapar… “. Ini berarti waktu Saudara sekarang lapar, menangis, atau ada something wrong dalam hidpmu, Saudara berbahagia, blessed di hadapan Tuhan. Blessed di sini berarti deeply satisfied. Saudara merasa puas, merasa cukup. Ini berarti bagi Tuhan Yesus, seorang Kristen adalah seorang yang bisa menangis, dan tetap diberkati. Dalam aturan kerajaan yang lama, kalau Saudara kehilangan pekerjaanmu, kehilangan orang yang kau kasihi, kehilangan pengakuan/reputasi, Saudara tidak akan disebut sebagai orang yang diberkati ‘kan. Blessedness dalam kerajaan yang lama, itu berbanding lurus dengan tawa, kuasa, kekuatan, kenyamanan; begitu kenyamanan hilang, blessedness juga hilang. Tetapi dalam Kerajaan yang baru, blessedness dan tangisan bisa hadir bersama-sama. Koq bisa? Karena blessedness dalam Kerajaan yang baru tidak ada hubungannya dengan situasi hidup kita.
Dalam ayat 23 paradoks tersebut muncul dengan sangat jelas: “Bersukacitalah pada waktu itu dan melompat-lompatlah, karena sesungguhnya, upahmu besar di surga”. Ini menarik. Karl Marx melihat ayat-ayat ini sebagaimana kita biasa membacanya, yaitu begini: “Inilah yang saya sebel dari Kekristenan; Inilah sebabnya Kekristenan dan agama-agama yang lain itu opium dalam masyarakat, karena dikatakan ‘besar upahmu di surga –jadinya tidak apa-apa kamu hari ini ditindas, dicurangi, kamu tidak perlu berjuang melawan penindasan, terima saja nasibmu, pokoknya ujungnya nanti kamu mendapatkan hidup kekal itu, nanti upahmu besar di surga’; ini ngaco! Tidak bisa kayak begitu, karena kita harus berani melawan penindasan hari ini, kita harus menunggangbalikkan mereka yang punya kuasa hari ini, tidak boleh seperti Kekristenan itu. Kekristenan itu opium masyarakat, bikin orang tidur, malas, tidak bisa bergerak!” Itulah kata Marx. Dan, terus terang kita pun melihatnya seperti itu: ‘jadi alasannya hari ini saya bisa tetap blessed di hadapan Tuhan meskipun saya menangis, meskipun saya lapar, adalah karena nanti upah kita besar di surga’. Tidak demikian, Saudara, ayat ini tidak mengatakan ‘nanti’. Tuhan Yesus mengatakan ‘bersukacitalah pada waktu itu’, bukan nanti pada hari penghakiman atau hari kiamat, dsb. Ayat 23 itu merujuk pada momen-momen yang ada di ayat 20 sampai 22, berbahagialah/bersukacitalah ketika kamu miskin hari ini, ketika kamu dibuang, ketika kamu lapar; bersukacitalah dan melompat-lompatlah pada waktu itu, bukan nanti, karena besar upahmu di surga –yang kalimatnya pakai present tense— bukan nanti di surga upahmu besar, melainkan upahmu besar di surga sekarang.
Bagaimana kita bisa mengerti hal ini? Maksudnya apa? Gambaran yang paling jelas mungkin dari Kisah Para Rasul 7, kisah Stefanus. Stefanus sebentar lagi akan di-eksekusi, dilempari batu sampai mati, dia jelas-jelas menderita ketidakadilan. Bagaimana dia bisa berani menghadapi hal ini? Bahkan bukan cuma berani, tapi juga bagaimana dia bisa menghadapi hal ini dengan kasih? Bagaimana dia bisa tidak termakan oleh rasa takut, tidak termakan oleh kemarahan kepada orang-orang yang sedang memperlakukannya dengan tidak adil? Bagaimana caranya? Dia melihat ke langit; dan dia melihat langit terbuka. Dia mengatakan: “Aku melihat kemuliaan Tuhan, aku melihat Yesus berdiri di sebelah kanan Allah Bapa”. Maksudnya, Stefanus mau mengatakan ‘meskipun di bawah sini yang terjadi adalah ketidakadilan, aku melihat bahwa di hadapan Tuhan aku dibenarkan’. Kolose 3, Paulus mengatakan: ‘taruhlah pikiranmu pada hal-hal yang di atas, bukan yang di bawah, sebab di atas inilah hidupmu disembunyikan di dalam Kristus’. Waktu Stefanus melihat Yesus Kristus di sebelah kanan takhta Allah, dia sedang melihat dirinya –karena diri orang percaya disembunyikan di dalam diri Kristus– diterima oleh Allah Bapa, duduk di sebelah kanan Allah Bapa, lewat Kristus, karena kita telah disatukan oleh Kristus. Di dunia ini, saya diperlakukan tidak adil, tapi di atas sana saya diterima di sebelah kanan Allah Bapa, berdasarkan apa yang Kristus lakukan. Jadi, seorang Kristen adalah seorang yang mengatakan: di dunia ini saya kehilangan pengakuan, tapi saya dikenal oleh Allah. Itulah keadaan yang menangis, namun itu blessed. Bahwa di dunia ini saya dipinggirkan, dibuang, itu artinya menangis, namun di atas sana saya diterima dan diundang masuk oleh Allah. Dibuang, itu berdukacita, tapi pada saat yang sama kita melompat dengan sukacita. Seorang Kristen, jikalau dia mempunyai hal ini, maka dia tidak dikendalikan oleh apa yang dunia anggap berharga, dia sedang hidup dengan bebas.
Supaya Saudara bisa lebih mengerti, kita bikin sangat praktis. Sekali lagi, di sini Karl Marx sangat salah; dia mengatakan: Jangan pikirkan dunia yang akan datang; dunia yang akan datang itu bikin kamu hari ini tidak mau kerja, karena harapanmu adalah di dunia yang akan datang. Buang gambaran dunia akan datang itu, buang agama. Kamu harus pikir dunia hari ini, inilah yang ada, cuma ini. Jadi waktu kamu lihat ketidakadilan, perjuangkan keadilan. Kamu melihat penindasan, perjuangkan, lawan orang-orang yang menindas itu. Demikian kata Karl Marx; dan Marx terbukti salah. Kenapa? Karena kalau dunia inilah satu-satunya sisa yang ada, maka justru ketika Saudara menghadapi ketidakadilan, Saudara apa malah jadi berani menghadapinya? Tentu tidak; Saudara akan jadi semakin takut. Ada ketidakadilan di kantor; kalau saya melawan maka saya akan kehilangan pekerjaanku, saya akan kehilangan kuasaku yang tersisa sedikit dan kecil itu, saya akan kehilangan reputasiku, atau bahkan bisa kehilangan nyawaku, maka saya tidak akan melakukannya, karena sisanya cuma ini, cuma kuasaku yang sedikit ini. Jadi, yang Marx katakan itu malah membuat orang lumpuh, tidak mau berjuang melawan penindasan, karena kalau saya gagal, sudah tidak ada harapan.
Sebaliknya, dalam Kerajaan yang baru, Kerajaan yang akan datang, Saudara melihat bahwa saya blessed meskipun dalam hidup ini saya weeping, saya bisa melompat dengan sukacita karena apa yang terjadi di surga sekarang dan bukan nanti; jadi itu berarti sekarang saya bisa bekerja melawan penindasan. Kenapa? Karena kalau saya kehilangan pengakuan orang, lantas kenapa, ‘kan saya diterima oleh Tuhan. Kalau saya kehilangan nyawa saya, memangnya kenapa, karena saya punya kehidupan bersama dengan Tuhan. Kalau saya melihat ketidakadilan di tengah-tengah hidup saya, saya akan berdiri untuk itu. Kalau saya dikucilkan, tidak masalah, karena saya diterima di hadapan Tuhan. Kalau saya melihat ketidakadilan di perusahaan saya, saya bongkar, saya bocorkan, saya melawannya, karena kalau saya kehilangan pekerjaan, it doesn’t matter; memang matter juga, menangis juga, tapi saya punya panggilan di hadapan Tuhan yang jauh melampaui itu semua. Saudara, justru inilah caranya seorang manusia bisa mau hidup berintegritas di dunia yang sekarang.
Hidup dengan melihat yang di atas, bukan membuat kita jadi cuek dengan yang di bawah. Hidup dengan melihat yang di atas, justru membuat kita berani bertindak, membawa Kerajaan Tuhan di dunia yang sekarang. Itu sebabnya Paulus tadi menyuruh kita melihat yang di atas, bukan untuk cuek terhadap yang di bawah melainkan karena dia tahu bahwa yang di atas itulah yang jadi kekuatan untuk bisa hidup di bawah. Ini bukan opium masyarakat, jauh banget; opium masyarakat justru yang Marx ajarkan. Ini bukan opium masyarakat tapi Vicks masyarakat, yang kalau Saudara lagi teler-teler lalu masukkan Vicks ke hidung, hirup, langsung melek. Itulah Injil Kristus. Injil Kristus membangunkan kita, membuat kita menyadari ‘O, iya, ya, saya tidak perlu dikendalikan hal-hal seperti itu; saya tidak perlu dikendalikan oleh kuasa atau kenyamanan atau apapun. Saya tidak perlu itu karena saya punya sesuatu yang lain di atas sana, sekarang, bukan nanti’. Bebas. Tidak perlu dikendalikan.
Mendengar ini, Saudara mungkin setuju, oke, ini bukan cuma ajaran; kalau ini cuma ajaran guru, ‘gak bakal ada yang mau ikuti, ‘gak bakal ada yang anggap ini sesuatu yang good, semua orang akan merasa ini pattern yang masokis, ajaran orang gila. Memang benar, tidak bisa Saudara anggap ini cuma ajaran, ini adalah sistem Kerajaan yang baru; tapi pertanyaannya, bagaimana kita bisa hidup seperti itu dalam dunia hari ini?
Saudara lihat, hidup Yesus Kristus itulah teladan yang menjalani terlebih dulu semua hal yang kita dipanggil untuk menghidupinya, Dia datang ke dunia ini, dan meskipun Dia Raja, Dia menjadi miskin. Dia di sini pada dasarnya mengatakan: “Jangan kuatir kalau kamu dilkucilkan, jangan upset kalau kamu ditolak, jangan upset kalau kamu gagal, jangan upset kalau kamu menangis, karena lihatlah nabi-nabi semua kayak begitu; inilah yang terjadi pada para nabi. Apa kamu pernah dengar nabi yang sukses, nabi yang happy? Adanya juga nabi yang weeping, yaitu Yeremia. Apa kamu pernah dengar nabi yang populer? Mana ada; adanya juga nabi-nabi palsu yang kayak begitu.” Jadi kalau nabi-nabi saja seperti itu, bagaimana lagi dengan Dia yang datang dan mengatakan Dirinya Nabi dari segala nabi, Nabi yang ultimat, yaitu Yesus Kristus; kalau perwakilan-perwakilan Kerajaan Allah saja hidupnya seperti itu, betapa lagi Rajanya ketika akhirnya Dia datang. Itu sebabnya ketika Yesus Kristus datang, Dia menjadi miskin, Dia ditolak. Di atas kayu salib Dia bukan cuma ditolak oleh orang-orang yang menyalibkan Dia, Dia bukan cuma ditolak oleh murid-murid-Nya, Dia bahkan ditolak dan dikucilkan oleh Bapa-Nya sendiri. Namun Dia memberikan hidup-Nya, memberikan diri-Nya.
“Oke, Pak, jadi maksudnya kita harus melihat contoh ini lalu tergerak/terinspirasi?” Bukan, Saudara. Kalau Saudara hanya melihat Yesus sebagai seorang guru, seorang teladan, itu tidak akan menjadi kuasa untuk kita melakukan semuanya tadi, cuma akan jadi beban, membuat kita merasa benar-benar hancur; seperti khotbah yang lalu, kita jadi mendekat tok tapi tidak masuk, dan mengatakan, “Ampun, saya harus jadi kayak begitu, mau melakukan semua itu?? Saya ‘gak mungkin hidup seperti Yesus hidup, Dia ‘kan Tuhan, saya ‘kan manusia!” (omong-omong Dia juga manusia). Tapi tidak demikian; Dia tidak akan menjadi kuasa bagi hidup kita kalau Dia cuma ada di situ sebagai seorang guru, teladan; dan itu bukan Injil.
Injil bukan cuma mengabarkan Yesus yang memutar balik aturan kerajaan dunia, Injil bukan cuma mengatakan bahwa Yesus sendiri memutar balik hidup-Nya sesuai dengan aturan Kerajaan tersebut; Injil mengabarkan Yesus yang memutar balik Dirinya dengan dirimu. Itulah Injil. Engkau harus belajar melihat apa yang Yesus lakukan sebagai cara-Nya untuk memutar balik Dirinya dengan dirimu. Kenapa Dia mengatakan ‘meskipun hari ini engkau menangis, engkau bisa bersukacita dan melompat-lompat’? Karena sesungguhnya tangisan yang harusnya jadi bagian kita, tangisan skala kosmis, telah Ia ambil, Ia mati dalam kegelapan. Kenapa Dia bisa mengatakan ‘engkau bisa dihibur’? Karena Dia tidak terhibur, Dia telah dibuang. Kenapa Dia bisa mengatakan ‘engkau akan dikenyangkan’? Karena Dia kosong di atas kayu salib, Dia mengatakan, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kenapa Dia bisa mengatakan ‘upahmu besar di surga, engkau diterima di surga’? Karena ‘Aku telah ditinggalkan di atas kayu salib’. Inilah kuasa Injil.
Kuasa Injil bukanlah mengatakan ‘lihat nih, ada nilai-nilai yang diputar balik!’ Tidak. Kalau cuma itu, ujungnya kita tidak akan bisa melakukannya. Namun Injil mengatakan: kita hidup berdasarkan apa yang Ia telah putar balik atas hidup kita, Ia mengambil tempat kita, dan Ia menempatkan kita di tempat-Nya, di sebelah kanan Allah Bapa, disembunyikan di dlaam Kristus, diterima, dikasihi. Ia menaruh Dirinya di tempat yang harusnya kita berada, di atas kayu salib, dibuang dari hadapan Allah, ditinggalkan. Dan itulah momen kita mendapatkan kuasa tersebut.
Saudara, inilah tulisan tangan yang sudah ditulis bagi kerajaan yang lama; dan kita perlu tanya pada diri kita, apakah kita menghidupi hidup yang dikendalikan oleh apa yang dunia anggap penting, berharga, atau apakah kita hidup seperti Kristus hidup? Dan, kita hanya bisa hidup sebagaimana Dia hidup jikalau kita melihat Dia telah menghidupi kehidupan kita terlebih dulu. Ketika hal-hal yang jelek yang dihindari oleh dunia itu terjadi –kesulitan, pergumulan, penderitaan– orang-orang dunia mengatakan, “Hancurlah hidupku, tidak bermakna”. Namun jika Saudara mengalami kuasa ini, Saudara akan melihat hidupmu dalam kacamata yang lain, engkau mulai melihat bahwa ketika engkau miskin, menangis, kosong, itu adalah pertanda Kerajaan Allah, terang fajar sedang mendekat.
Dari mana kita bisa melihat bahwa dalam KerajaanAllah, kekuatan itu kelemahan, dan kelemahan itu malah kekuatan? Simpel saja, kapan engkau baru benar-benar mengenal dirimu? Momennya apa? Kapan engkau baru benar-benar mendapatkan diri Tuhan, dan bukan cuma bayanganmu mengenai Dia? Kapan engkau baru benar-benar mengetahui realitas seperti ini? Ketika engkau kaya? Nyaman? Happy? Tertawa? Sukses? Diterima orang banyak? Saudara tentu tahu, tidak demikian, justru kebalikannya. Itu sebabnya orang-orang Kristen mau keluar dan mengorbankan diri. Mereka adalah orang-orang yang ketika dunia melihatnya, dunia mengatakan: “Gila ini orang, buang duit sebanyak itu buat orang lain. Bahaya! Kalau nanti kamu ada apa-apa bagaimana, kamu tidak ada uang lagi, semua sudah diberikan. Ceroboh kamu! Kamu harusnya simpanlah buat dirimu dan keluargamu, pastikan kamu punya security, jangan buang uang sebanyak itu untuk orang lain!” Dunia akan melihat seperti ini kalau kita hidup berdasarkan Injil Kristus. Namun seorang Kristen akan mendapatkan kuasa yang sedemikian rupa dalam Kristus, sehingga menurut standar dunia dia kelihatan ceroboh. Dia tidak takut untuk menangis, untuk kosong, untuk berkorban, karena dia tahu satu hal, bahwa Kerajaan Allah itu maju dalam hidup kita dan hidup orang lain ketika semua ini terjadi. Pertanyaannya: seberapa jauh kita melihat hal ini, seberapa jauh kita sudah dikuatkan untuk menjalani hal ini ketika kita melihat diri Allah kita?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading