Epifania adalah satu habit Gereja yang melatih kita untuk menemukan fokus yang tepat dalam membaca Alkitab, khususnya kitab-kitab Injil. Hari ini perikop epiphany yang dibahas Kalender Gereja mundur sedikit secara kronologis, ke kisah yang biasa disebut The Presentation of Jesus in the Temple, mengenai Bayi Yesus dibawa ke Bait Allah untuk disunat. Tentu saja salah satu highlight-nya adalah bagian yang kita baca, mengenai Yusuf dan Maria ditemui oleh dua orang tua, Simeon dan Hana, lalu mereka masing-masing memberikan kalimat-kalimat berkat bagi Yesus, dan juga orangtua-Nya.
Yang menarik, kalau Saudara membuka mulai dari buku-buku commentary yang tebal-tebal sampai buku-buku panduan saat teduh, apa yang jadi fokus pembahasan bagian ini? Waktu saya baca-baca untuk persiapan khotbah, saya kaget karena begitu banyak komentator memfokuskan pembahasan pada Simeon-nya dan Hana-nya, khususnya urusan usia mereka. Simeon ini orang yang kepadanya Roh Kudus membukakan bahwa dia tidak akan mati sebelum melihat Mesias; dan setelah dia melihat Yesus, dia mengatakan: “Sekarang Tuhan, aku sudah boleh pergi”, maka ini indikasi bahwa dia sepertinya sudah sangat tua. Hana dicatat lebih jelas, dikatakan dia sudah menjanda sampai berumur 84 tahun (beberapa terjemahan mengatakan ‘menjanda delapan puluh empat tahun’). Dari hal ini, maka commentary-commentary tersebut mengambil kesimpulan semacam begini: lihat, ini satu hal yang beautiful, keberadaan Simeon dan Hana menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang yang sudah lanjut umur (lansia) pun tetap bisa melayani Tuhan; inilah contoh dua orang yang sudah dalam periode penghujung hidupnya, dan mereka masih melayani Tuhan dengan tangki bensin penuh.
Di sini Saudara mungkin menangkap saya mengatakan ini dengan nada kurang setuju. Namun jangan salah tangkap saya, saya bukan mengatakan bahwa kesimpulan tadi bukan poin yang valid; itu poin yang valid, Saudara boleh koq tarik kesimpulan itu. Tapi yang saya ingin coba bongkar di sini adalah kecenderungan hati manusia yang sering kali galfok. Bagian-bagian seperti ini, yang jadi tumpuan tujuan/fokus kita sering kali kita pakai terutama –atau jangan-jangan hanya— untuk membicarakan Simeon dan Hana; dan ujung-ujungnya sebenarnya kita sedang mau membicarakan mengenai diri kita. Kita akhirnya sering kali lupa, sebenarnya Simeon dan Hana di bagian ini muncul buat siapa sih. Mereka muncul untuk Yesus. Itu sebabnya sama seperti kisah orang majus, kita tidak mendapatkan banyak detail mengenai diri mereka. Hana disebut sebagai nabiah, sedangkan Simeon tidak diberitahukan kepada kita apa pekerjaan dan posisinya, hanya disebutkan sebagai orang yang benar dan saleh, itu saja. Kenapa? Sekali lagi, karena itu cukup. Itu cukup karena kita bukan mau diajak berkenalan dengan mereka, olah Lukas. Itu cukup menurut Lukas, karena bagi Lukas yang penting ada kredibilitas, bahwa orang-orang ini bukan orang-orang sembarangan, dan oleh karena itu kita bisa percaya perkataan mereka mengenai Yesus. Itu yang penting.
Bahkan mungkin adalah bagus bahwa Simeon ini tidak diberitahukan apa pekerjaannya, karena Simeon sendiri tidak galfok di sini. Bagi Simeon, segala detail hidupnya, CV-nya, resume diri-nya, tidaklah relevan, tidak terbandingkan dengan Siapa yang sedang dia timang di tangannya. Dia mungkin punya pekerjaan bagus, posisi tinggi, tapi dia mengatakan, “Sekarang aku sudah melihat keselamatan yang datang ini, aku sudah boleh pergi” –aku tidak perlu mempertahankan jabatanku, hidupku, harga diriku, dsb., itu semua irrelevant karena aku sudah melihat keselamatan yang datang dari tangan Tuhan. Dalam hal ini Paulus punya kalimat yang mirip, dia mendaftarkan ‘aku ini orang ini dan ini dan ini; aku ini orang farisinya orang Farisi!’ Itu pencapaian yang tinggi, bukan hal yang negatif, namun Paulus lalu mengatakan: “Semua itu kuanggap sampah dibandingkan dengan mengenal Yesus dan melayani Dia”. Fokusnya tidak salah. Simeon sendiri juga fokusnya tidak salah.
Saudara merasa bagaimana, mendengar saya mengatakan kayak begini? Saudara setuju atau tidak bahwa Yesus jauh lebih penting? Saya curiga –atau lebih tepatnya saya takut–bahwa banyak dari kita tidak setuju, bahwa bagi kita sering kali yang lebih penting adalah sebaliknya. Yang lebih penting bagi kita, waktu membaca Alkitab, ‘saya bisa mendapatkan dari Alkitab hal-hal yang berguna di mata saya; saya ini lansia, saya butuh kalimat-kalimat penghiburan seperti tadi, encouragement bahwa di usia lanjut ini saya masih bisa lho melayani Tuhan; pak Jethro ini jahat banget sih, kayak begini saja tidak boleh, kita ‘kan perlu ini!’ Bukan tidak boleh, Saudara. Saya sudah mengatakan itu kesimpulan yang oke juga untuk ditarik dari bagian ini, tapi pertanyaannya: seberapa Saudara kepingin mencari hal itu dibandingkan mencari Yesus, fokusmu di mana, fokusmu itu tepat atau tidak?
Saudara lihat, ketika sebuah Gereja seperti itu, yang lansia kepingin bahan-bahan yang sesuai lansia, yang pemuda juga sama, yang wanita juga sama, yang bapak-bapak juga sama, yang anak-anak juga sama, semuanya membacaAlkitab untuk mencari DIRI mereka dalam teks-teks tersebut, maka itu bukanlah Gereja –setidaknya itu bukan Gereja Kristus! Sedangkan urusan mengenai siapakah Yesus-nya –yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh penulis-penulis injil ini, seberapa kita tertarik? “Ah, itu sudah tahulah, sudah sering dengar”. Sudah sering dengar bagaimana?? Justru inilah ironinya. Ironinya, dalam banyak pembacaan orang Kristen, teks-teks seperti ini, yang harusnya fokusnya pada Yesus, malah sering kali dibelokkan ke pembicaraan mengenai diri. Itu sebabnya inilah tujuan musim Epifania. Tujuan musim ini adalah membiasakan, merutinkan, me-liturgi-kan akan pembongkaran, penyibakan, pengungkapan, peng-epihany-an identitas dan kemuliaan KRISTUS. Dan ini perlu, tiap tahun kita perlukan, karena penyakit manusia yang senantiasa galfok. Jadi hari ini saya tidak akan fokus ke Simeon atau Hana (bahkan karena keterbatasan waktu, tidak sempat membahas Hana).
Hari ini kita akan membahas apa yang Simeon katakan mengenai Yesus. Itulah objektif kita hari ini, mengenai apa yang bisa kita ungkap lapisan-lapisan mengenai identitas, kemuliaan, signifikansi Yesus, dalam narasi ini; baru setelah fokus kita tepat, kita bisa tarik kesimpulan/pelajaran bagi diri kita. Jadi hal in bukan tidak ada, tetap ada, namun setelah fokusnya tepat.
Itu sebabnya Saudara akan menangkap bahwa pelajarannya selalu warnanya lain, kalau kita punya fokus yang tepat. Dalam Epifania yang pertama, kita mengatakan mengenai kemuliaan Yesus, bahwa kemuliaan Yesus itu melampaui garis batas orang Yahudi, garis batas para insiders; lalu apa ada aplikasinya buat kita? Ada; ini harusnya mengubah kita dalam melihat orang-orang yang kita anggap di luar garis batas yang kita tarik. Dalam Epifania yang kedua, kemuliaan Yesus itu sampai kepada siapa, yaitu kepada orang miskin, dan hanya kepada orang-orang yang miskin di hadapan Tuhan. Itu sebabnya juga ada aplikasinya buat kita, bahwa ini harusnya mengubah cara kita melihat diri kita sendiri, mapan atau miskin; dan mengubah diri kita dalam melihat orang lain yang miskin, sebagai si miskin atau sebagai sesama orang miskin. Jadi ada aplikasinya, bukan tidak ada. Dalam Epifania yang ketiga, kita mengatakan kemuliaan Yesus itu adalah kekudusan-Nya, bahwa Dia itu lain, beda, superlatif; maka terhadap kemuliaan seperti ini Saudara jangan cuma mendekat, tidak ada harapan kalau cuma dekat-dekat doang, mending jauh-jauh saja sekalian; harapanmu adalah ketika Dia yang mendekat kepadamu. Jadi ada aplikasinya. Tapi Saudara lihat, meskipun dalam semua ini ada aplikasinya buat kita, aplikasinya tidak pernah sekadar menghibur tok, aplikasinya selalu ada nuansa surprise, selalu ada nuansa ‘begitu, ya, ternyata…’, selalu ada sifat paradoksnya, selau ada keindahannya, tapi juga bercampur dengan kengerian, tidak sekadar perasaan-perasaan hangat ‘oh, ternyata saya masih bisa melayani Tuhan lho di masa tua saya… ‘. Sekali lagi, tidak masalah dengan itu, tapi apa yang terjadi kalau sebuah Gereja fokusnya ke sana??
Saya sudah mengatakan berkali-kali, mungkin inilah tandanya bahwa kita sungguh-sungguh bertemu dengan Yesus yang sejati, yaitu ketika kita menangkap aplikasi yang pardoksikal, yang berat seperti ini, tidak semuanya hangat-hangat damai sejahtera, bahwa kita bertemu dengan Yesus yang tidak sepenuhnya seperti sangkaan kita. Itulah tandanya kita bertemu dengan Yesus yang sejati. Dalam pernikahan pun seperti itu ‘kan, hanya saja kita berpikirnya tidak kayak begini. Biasanya kita ngomongnya dengan nada kesal, “Dulu aku pikir kamu seperti itu, sekarang ketahuan belangnya kayak begini, sekarang aku benar-benar kenal kamu kayak apa!” –jadi seperti kekesalan. Aneh, ya, karena justru kalau sekarang kamu benar-benar kenal dia, itu positif dong. Namun kita maunya: ‘dulu kamu kayak begini, sekarang kamu tidak berubah, jadi aku benar-benar mengenal kamu’; tapi itu artinya Saudara menikah dengan boneka, dan orang yang Saudara ajak ngomong bakal geleng-geleng kepala, sudah bertahun-tahun masih belum kenal-kenal juga. Jadi, dalam pernikahan pun kayak begitu, dalam kita punya anak juga kayak begitu, dalam pertemanan juga kayak begitu, dan itu harusnya membuat kita sadar bahwa ini positif, bahwa orang ini bukan hasil khayalan kita belaka. Oleh sebab itu, sama halnya dengan Yesus Kristus –maka kita ada musim Epifania ini.
Hari ini kita tidak mau berfokus pada Simeon atau Hana, melainkan pada apa yang Simeon katakan mengenai identitas Yesus serta kemuliaan-Nya. Kalimat Simeon ini penting, karena ada sesuatu di dalamnya yang sesungguhnya benar-benar tidak nyaman. Ada sesuatu yang keras, sulit, dalam hal identitas diri Yesus, dan ini keluar dengan sangat jelas dalam perkataan Simeon. Terjemahan yang lebih lugas dalam bagian ini, Simeon mengatakan bahwa Anak ini akan menjadi penyebab jatuh bangunnya banyak orang di Israel, Dia akan menjadi satu tanda yang ditentang banyak orang; oleh karena Dia, maka pikiran orang banyak akan ketahuan. Dan dia khusus mengatakan kepada Maria: “Sebilah pedang akan menusuk hatimu juga”. Saudara lihat, inilah Yesus. Coba baca kalimat ini baik-baik, dan Saudara bisa menyadari betapa orang bisa sering membicarakan mengenai Simeon-nya dan Hana-nya, tapi sesungguhnya bagian yang mereka berdua tadi katakan, tidak familier buat kita –karena ini makanan keras. Kita tidak menyangka Yesus pernah dideskripsikan seperti ini.
Saudara, di GRII ini kita sudah sering banget mendengar “Hallelujah” chorus, yang ketika dipentaskan, kita harus berdiri, karena dalam tradisinya, Raja Inggris juga bangkit berdiri. Waktu kita mendengarkan kalimat-kalimatnya, “The King of kings and Lord of lords, Hallelujah, Hallelujah”, kita merasa gemetar, mungkin kita merasa kayak ASMR, kayak di YouTube orang ngomong, ada sedikit merinding, kita merasa hangat, ada sesuatu yang luar biasa. Salah satu sisi jeleknya, kalau kita sering banget mendengar lagu itu, lama-kelaman kita tidak merasakan perasaan itu lagi, kita lama-kelamaan kebal, tidak bisa lagi menangkap bobot dari kata-kata/teksnya. Jadi kita perlu diingatkan, sebenarnya lagu itu bicara apa sih. Lagu itu sebenarnya bicara satu bagian Alkitab yang sangat shocking, kata-katanya dari Wahyu 19 ketika seorang figur muncul dan kepada figur inilah dikatakan bahwa Dia Raja segala raja dan Tuan segala tuan. Figur ini seperti apa? Figur ini berupa Seseorang yang menunggang kuda putih dan memakai jubah yang bersimbah darah –darah musuh-musuh-Nya—dan di tangan-Nya ada sebilah pedang yang dipakai memukul segala bangsa; seluruh tentara surga mengikut Dia. Ini gambaran jendral perang besar. Dan dikatakan, “Inilah the King of kings, Lord of lords”, inilah klaim Yesus, sangat luas dan sangat besar cakupannya.
Kemarin saya dikirimi WA berupa foto oleh Pendeta Heru, entah dari mana dia dapatkan. Ada sebidang tanah kosong, dan ada plang bertuliskan “Tanah ini dikuasai oleh Raja … “. Membaca itu, kita pikir ‘konyol banget orang ini, ada-ada saja; dulu Sunda Empire muncul, sekarang sudah habis, tapi masih saja ada yang kayak begini-begini, jadi raja dsb.’ Tapi Saudara lihat, klaim Yesus itu bukan cuma jadi Raja atas sebagian tanah kecil atau sebagian umat, Dia mengatakan, “Aku adalah Raja dari segala raja-raja yang lain, Aku adalah Tuan dari semua tuan-tuan yang lain”. Ini klaim yang paling universal, Saudara. Orang kalau datang dan ngomong kayak begini, itu cari ribut, cari berantem. Dia datang akan menimbulkan konflik. Dan, inilah sebenarnya yang sedang diproklamasikan dalam “Hallelujah” chorus.
“Lho, Pak, bukannya Dia datang untuk membawa damai?” Ya, memang benar ada aspek itu. Simeon sendiri mengatakan, “Mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu”, dan kata aslinya sebenarnya bukan salvation melainkan consolation. Kenapa Simeon pakai kata consolation (penghiburan)? Karena dia sedang mengutip Yesaya: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku.” Ini spesifik sekali. Bukan cuma keselamatan, tapi kedamaian, penghiburan; namun pertanyaannya: bagaimana damai itu bisa datang?
Bagaimana cara para tentara Sekutu membawa damai ke Eropa pada Perang Dunia ke-2? Dengan meriam, tank, pesawat tempur –pertempuran, perang. Dengan apa caranya dokter bedah membawa damai ke tubuhmu yang ada tumor? Dengan menumpahkan darahmu. Kalau Saudara masih belum percaya, dalam Matius 10:34 Tuhan Yesus sendiri mengatakan: “Jangan kamu menyangka Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Tentu saja Dia membawa damai juga, namun Saudara lihat, Dia membawa keduanya; Dia membawa damai, yang datang melalui pedang. Inilah yang diberitakan melalui perkataan Simeon. Sadarkah Saudara akan hal ini? Sadarkah Saudara bahwa identitas Yesus di Alkitab adalah seperti ini? Inilah sebabnya kita butuh Epifania.
Ada dua hal yang kita coba perhatikan dari perkataan Simeon. Yang pertama, Simeon mengatakan: “Ia akan jadi penyebab jatuh bangunnya banyak orang di Israel; Ia akan menjadi tanda yang membuat pertentangan, perdebatan, bagi banyak orang”. Jadi yang pertama, Yesus datang membawa konflik di antara manusia. Yang kedua, Simeon melanjutkan: “Oleh karena Dia, pikiran banyak orang akan terbongkar”, lalu kepada Maria: “Sebilah pedang akan menusuk hatimu”. Jadi, Dia bukan cuma datang membawa konflik di antara manusia, Dia juga datang membawa konflik ke dalam hati manusia. Dan inilah caranya kedamaian bisa datang, inilah Yesus yang diberitakan Alkitab.
Yang pertama, konflik di antara manusia; Yesus datang, itu membuat polarisasi, pengkutuban, jatuh atau bangun, tidak ada in between. Kenapa bisa begini? Dia itu figur yang memecah (divisive); dan kalau kita memikirkan figur yang divisive, bayangan kita figur ini provokator. Namun tidak demikian, Yesus bukan cuma provokator tok; provokator biasanya bukan bikin orang jatuh bangun melainkan bikin orang simply menjauhi, sedangkan Yesus benar-benar memecah orang-orang, memisahkan orang-orang, karena kita menemukan dalam diri Yesus ada dua hal yang biasanya tidak bersatu dalam satu paket. Di satu sisi, ada sesuatu yang luar biasa mengagetkan, bahkan menjijikkan, dari perkataan dan klaim-klaim-Nya; di sisi lain, ada juga semacam attractiveness, sesuatu yang luar biasa mengagumkan, menarik, indah, dari hidup-Nya. Kalau Saudara menangkap kedua hal ini, Saudara akan menyadari kenapa Dia bisa bikin orang terpecah, polarisasi, jatuh atau bangun, tidak ada yang di tengah-tengah.
Pertama, tentang klaim yang luar biasa mengganggu/menjijikkan –“King of kings, Lord of lords”. Kalau Saudara berhadapan dengan orang seperti ini, Saudara tidak bisa netral. Bayangkan saja, orang datang kepadamu dan mengatakan, “Hai! Kamu adalah milikku!” Saudara mau bilang apa? Saudara tidak bisa cuek, Saudara akan salah satu, antara menolak/mengusir atau menyerahkan diri ikut/submit.
Ini sebabnya di dalam Gereja, orang tidak boleh ber-argumen dalam diskusi dengan mengatakan: “Tuhan berkata kepadaku …”. Saudara kalau diskusi dengan sesama orang beriman, tidak boleh pakai kalimat itu. Orang berkhotbah kepada Saudara, tidak boleh pakai kalimat itu. Kenapa? Karena kalau orang mengatakan ‘Tuhan berkata kepadaku’, jadi tidak ada lagi argumen, tidak ada lagi diskusi. Saudara tidak bisa netral di balik kalimat seperti ini; Saudara either terima otoritasnya, atau menolak. Itu saja. Tidak bisa ada argumentasi lagi. Kalimat seperti ini dilontarkan oleh orang yang tidak mau diskusi. Ini kalimat yang tidak mengajak orang untuk berpikir sama-sama. Ini klaim yang luar biasa keras. Saudara cuma bisa menolaknya atau menerimanya. Itu saja.
Yesus sebenarnya kayak begini waktu Dia mengatakan ‘Saya ini King of kings, Lord of lords’. Banyak orang tidak percaya bahwa Yesus mengklaim seperti ini. Banyak orang tidak tahu bahwa Yesus mengklaim seperti ini, karena psikologi manusia secara umum memang tidak kepingin memilih. Seperti Saudara tahu, dalam pemilu sebenarnya porsi paling besar adalah the silent majority. Ada orang yang senang banget dengan paslon tertentu, ada beberapa orang yang benci banget sama paslon tertentu; tapi secara umum banyak orang yang tidak kepingin memilih, karena lebih aman berada di tengah-tengah. Kita berusaha untuk hidup kita berada di tengah-tengah, moderat. Kira-kira seperti itu. Hal yang sama juga terjadi terhadap diri Yesus.
Pemikir-pemikir Barat, yang identik misalnya dengan ateisme, kita pikir mayoritas dari mereka hostile terhadap Yesus Kristus, memusuhi Yesus Kristus, namun sebenarnya tidak demikian (karena yang biasanya kita dengar, misalnya orang-orang seperti Charles Dawkins, sebenarnya sedikit, minoritas). Kalau Saudara membaca tulisan orang-orang Barat mengenai diri Yesus, sebenarnya yang mayoritas adalah mereka yang ingin di tengah-tengah; mereka kebanyakan mengatakan hal-hal seperti ini: kita musti fokus pada pengajaran Yesus, yang sangat berguna untuk mengembangkan potensi manusia; jangan terlalu fokus pada urusan klaim-klaim mengenai siapa diri-Nya, itu tidak terlalu perlu, lihat pengajaran-Nya saja karena pengajaran-Nya begitu positif. Mereka tentunya tidak mau menjadikan Dia Juruselamat dan Raja, tapi mereka juga tidak mau menjadikan Dia setan atau penipu. Tidak beranilah, ini Figur besar. Mereka mau jadi orang yang moderat. Dalam Gereja pun sebenarnya banyak orang yang seperti ini. Namun Saudara harus tahu satu hal: Yesus yang mereka bicarakan itu fantasi belaka, tidak ada dasar Alkitabnya ataupun dasar historisnya.
Kalau Saudara kembali ke Alkitab, Saudara lihat bahwa dalam kitab-kitab Injil, blok-blok pengajaran Yesus tidaklah sebegitu banyaknya. Dalam Injil Matus dan Lukas memang lebih banyak pengajarannya, tapi dalam Injil Markus pengajaran Yesus sedikit sekali. Fokus Markus adalah memperlihatkan bahwa ke mana pun Yesus pergi, Dia melakukan ini dan itu, maka orang-orang berespons; dan responsnya bukan kagum akan ajaran Yesus, mereka berespons dengan hampir selalu mengatakan, “Ini Orang, siapa sih?” Itulah yang hampir selalu ditanyakan. Siapa Dia, sehingga angin dan laut menurut pada Dia. Siapa Dia, berani-beraninya ngomong mengampuni dosa. Siapa Dia sehingga Dia bisa membangkitkan orang mati. Saudara lihat, jarang banget orang mengatakan, “O, ajaran-Nya bagus ya, ‘gak masalahlah Dia siapa, pokoknya kalimat-Nya kalimat emas nih, bisa di-forward-forward, dsb.” Tidak demikian. Saudara bisa pikirkan, logis atau tidak sih kalau Orang ini jalan ke sana kemari, meredakan badai, mengampuni dosa, membangkitkan orang mati, lalu respons orang-orang adalah: “Wow! Dia Guru yang baik, the best Teacher!” ??
Di kompleks perumahan saya ada satu rumah besar sekali yang baru dibangun, rumah seorang motivator speaker. Saya iseng klik di Google Map, dan di bawahnya ada beberapa komen orang, semacam review; dan yang me-review adalah orang-orang yang belajar pada dia. Mereka tulis “the best teacher”, “motivator paling baik”, dsb.. Tapi tidak ada orang yang mengatakan kayak begitu terhadap Yesus, Saudara. Itu bukan respons orang-orang terhadap Yesus. Tidak ada orang yang mengatakan “lihat pengajaran-Nya saja”. Tidak ada. Tidak logis. Yang logis adalah: ketika orang melihat Dia ke mana-mana, mengampuni dosa, meredakan badai, membangkitkan orang mati, mereka berkata “ini siapa; Dia pikir Dia siapa”.
Bahkan kalau Saudara mau berfokus pada pengajaran Yesus pun, ujungnya pengajaran-Nya memang tidak pernah sekadar bersifat etika moral common sense yang universal, yang semua orang bisa mengangguk-angguk. Tidak sama sekali. Kalau Saudara baca secara lengkap, pengajaran Yesus ujungnya selalu bolak-balik kembali lagi pada identitas diri Yesus. Di akhir dari pengajaran Khotbah di Bukit, apa ujungnya? Yesus mengatakan: “Pada akhir zaman Aku akan datang memisahkan barisan kambing dan domba. Yang selamat, kenapa? Karena mengenal dan mengasihi-Ku. Yang tidak selamat, kenapa? Karena tidak mengenal dan mengasihi-Ku –Aku ini penentunya”, ini mengenai diri, identitas. Yesus mengatakan: “Yang percaya kepada-Ku, tidak akan mendapat penghukuman; yang tidak percaya, sudah mendapat penghukuman sejak sekarang”. Kepada orang muda yang kaya, Yesus mengatakan: “Sudahlah, tidak usah pikir Sepuluh Hukum Taurat, satu hal ini saja, hartamu lebih penting daripada perkataan-Ku atau tidak, itu saja. Kamu bisa menurut perkataan-Ku di atas hartamu atau tidak? Kalau tidak bisa, ya sudah, pergi”. Di bagian lain Yesus mengatakan: “Kalau matamu menghalangi engkau dari Aku, cungkil matamu. Lebih baik matamu hilang dibandingkan Aku hilang dari tubuhmu, karena kalau engkau mendapatkan-Ku, engkau mendapatkan segala sesuatu. Tapi kalau engkau tidak memiliki Aku, engkau seperti sekam yang ditiup angin, berterbangan ke mana-mana”. Dan tentunya, kalimat yang sangat sentral dalam Perjamuan Kudus: “Makanlah tubuh-Ku, minumlah darah-Ku”.
Saudara mungkin baru menyadari seberapa shocking kalimat-kalimat ini. Saudara tidak bisa kabur dari ini. Yesus itu menuntut bukan cuma ketaatan kita, tapi penyembahan kita. Yesus itu tidak bisa berhenti ngomong mengenai diri-Nya sendiri. Saudara kalau melihat pendeta besar pun ngomong mengenai dirinya terus, “Saya …, saya …, saya… “, Saudara lama-lama muak ‘kan. Saudara kalau mendengar presiden ngomong kayak begitu, “Saya …, saya …, saya… “, bukan membicarakan negara atau apa yang lain, muak mendengarnya. Yesus seperti itu! Saudara, sadarkah akan hal ini? Seluruh bagian Injil terdominasi dengan pertanyaan ini, bukan mengenai apa yang Yesus ajarkan melainkan siapa diri Yesus yang sesungguhnya. Ini epiphany. Pertanyaannya: kalau demikian, kenapa Yesus bisa membuat orang jatuh atau bangun? Mendengar seperti tadi, harusnya orang ‘kan jatuh tok, jijik mendengar orang seperti itu. Jawabannya, karena bukan cuma ada klaim-klaim yang mengerikan dan bahkan menjijikkan ini, tapi juga ada something yang luar biasa, mengagumkan, attractive, beautiful, dari hidup-Nya.
Orang klaim jadi Tuhan, itu banyak, tidak cuma Yesus. Tapi siapa yang bisa berhasil bikin agama besar dengan mengklaim diri sebagai Tuhan? Koq, Yesus bisa? Sekali lagi, karena Dia bukan cuma ada klaim-klaim yang bombastis itu, tapi dalam hidup-Nya –sebagaimana kesaksian Alkitab– juga ada keindahan, adaattractiveness yang tidak ditemukan di tempat lain. Gampangnya begini: orang yang mengklaim yang besar-besar, menuntut kekaguman dan bahkan penyembahan, selalu bicara mengenai dirinya sendiri, Saudara tidak akan pernah ketemu orang seperti ini somehow bisa combine dengan kerendahan hati, dengan kelembutan, dengan hati yang senantiasa bagi orang lain, mata yang bisa menangis bersama dengan orang yang menangis. Tidak ada yang bisa combine dua hal itu jadi satu. Ada banyak orang yang rendah hati, lembut, tapi mereka tidak mengklaim sebagaimana yang Yesus klaim. Sebaliknya, ada orang-orang yang mengklaim hal-hal sebagaimana Yesus klaim, tapi mereka tidak humble. Inilah sebabnya melihat Yesus, orang-orang jatuh, bangun, polarisasi, terpecah.
“Tunggu, Pak, keberatan. Tadi Bapak justru bilang banyak dari kita silent majority; ada orang-orang yang super hostile terhadap Tuhan, tidak mau ada Tuhan, benci Tuhan, dan ada orang-orang yang menyerahkan hidup mereka devoted total kepada Yesus Kristus seumur hidup. Tapi ini ekstrim kiri dan ekstrim kanan yang jumlahnya sedikit, sementara yang di tengah-tengah, yang banyak, adalah yang silent majority; dan orang Kristen pun banyak yang seperti ini. Lalu Bapak bilang Yesus tidak seperti ini, Yesus either jatuh atau bangun; namun buktinya, banyak orang yang mengenal Yesus maunya jadi moderat, tidak yang ini, tidak yang itu. Koq, bisa? Apa penjelasannya, Pak?” Penjelasannya, itu berarti mereka yang di tengah ini kurang konsisten; lebih konsisten mereka yang memusuhi Yesus. Yang di tengah ini, bisa moderat di hadapan Yesus karena mereka tidak benar-benar mengenal Yesus yang sejati. Yesus-nya mereka itu fabrikasi, hasil pikiran manusia. Yesus yang mereka bayangkan itu tidak ada evidence-nya baik di Alkitab maupun dalam sejarah.
Oleh sebab itu pertanyaan bagi kita adalah: Yesus yang di hatimu itu Yesus yang seperti apa? Apakah Yesus yang di hatimu itu Yesus yang mengatakan ‘Saya tidak mambawa damai tapi membawa pedang’? Apakah Yesus yang di hatimu itu Yesus yang mengatakan ‘Aku datang untuk mencelupkan bumi ke dalam api’? Apakah Yesus yang di hatimu itu Yesus yang benar-benar memecahkan? Apakah Yesus yang di hatimu itu Yesus yang membuat orang jatuh atau bangun, tapi tidak di tengah-tengah? Hari ini, engkau membenci Yesus yang seperti itu, atau Dia adalah hal yang utama dalam hidupmu sehingga tidak ada satu bagian pun dalam hidupmu yang terlepas dari Dia? Apakah Dia itu Raja segala raja, Tuan segala tuan, bagimu? Kalau bukan salah satu dari ini, berarti Yesus yang kaupercayai itu Yesus mitos, fantasimu belaka.
Saudara lihat, inilah identitas Yesus Kristus yang di-epiphany-kan bagi kita, bahwa Anak ini ditentukan untuk menjadi Orang yang menjatuhbangunkan banyak orang di Israel, menjadi tanda yang ditentang, menjadi perbantahan di antara banyak orang. Namun tidak hanya sampai di sini, karena ini bukan cuma Yesus yang membuat jadi konflik di antara manusia, tapi juga Yesus yang membuat konflik di dalam hati manusia. Oleh karena Dia, banyak pikiran manusia akan terbongkar, dan sebilah pedang akan menembus jiwamu. Ini hal yang kedua.
Kalimat ‘sebilah pedang akan menembus jiwamu’ ini, tentunya Simeon sedang bicara mengenai Maria. Memang jelas Maria akan mengalami banyak kesedihan, kesakitan dalam hidupnya, oleh karena Yesus. Tidak usah tunggu sampai salib baru hal itu terjadi, karena kisah berikutnya dari bagian ini adalah kisah Yesus ketinggalan di Bait Allah. Saya belum pernah mengalami anak saya hilang, tapi saya pernah mimpi anak saya hilang, dan rasanya itu mimpi paling buruk yang pernah saya alami. Jelas hal ini suatu kesakitan yang dialami Maria. Namun waktu Lukas menuliskan kalimat ini, in some sense kita tahu bahwa dia bukan menuliskannya hanya bagi Maria saja, melainkan menaruh Maria sebagai suatu perwakilan dari semua orang yang mengasihi Yesus. Maria di sini adalah figur yang mewakili Gereja Tuhan, yang kepadanya Lukas sedang menulis. Ini berarti Alkitab mengajarkan kepada kita, jikalau kita mengasihi Yesus, sebilah pedang akan menembus jiwa kita.
J.C. Ryle seorang bishop Anglikan, mengatakan: ketika seseorang menjadi Kristen, maka ada damai sejahtera yang baru yang tidak ditemukan di mana-mana, masuk ke dalam hidupnya. Tapi kalimatnya yang kedua, dia juga mengatakan: ketika seseorang menjadi Kristen, bukan cuma damai yang baru yang masuk dalam hidupnya, tapi juga pertempuran yang baru, yang dia tidak temukan di tempat lain. Hidup Kristen adalah seperti ini, Saudara. Hidup Kristen itu ada kedamaian yang datang melalui konflik, konflik yang akan membawa kedamaian. Keduanya ini tidak bisa dilepaskan karena keduanya menjadi satu. Contoh paling gampang mengenai hal ini, ketika Saudara memulai perjalananmu dengan Tuhan, Saudara memulainya dengan rasa sakit ‘kan, dengan sebilah pedang yang menembus jiwamu, namanya adalah: pertobatan. Pertobatan itu sakit. Pertobatan itu seperti antiseptik. Kalau Saudara terluka lalu Saudara menuang antiseptik ke luka tersebut, perihnya setengah mati. Namun ini keperihan/kesakitan yang menyembuhkan. Sangat menyengat, sangat menyakiti, tapi ini menyakiti demi kesembuhan. Itulah pertobatan. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkan kedamaian/keselamatan Kristus kalau bukan lewat jalan pertobatan seperti ini. Saudara tentu percaya ini.
Banyak orang mencoba lebih inklusif dibandingkan Kekrstenan; mereka mengatakan: Jadi Kristen itu, kalau mau masuk ke hadirat Tuhan, musti percaya Yesus satu-satunya jalan; tidak boleh kayak begitulah, kita musti lebih inklusif, lebih merangkul, semua orang harusnya bisa datang kepada Tuhan, tidak harus melalui Yesus. Terdengar lebuh inklusif, tapi coba kita selidiki lebih lanjut. Kalau semua orang dari segala tempat mau bertemu Tuhan seperti yang dikatakan itu, tidak harus lewat Yesus doang, jadinya lewat apa? Biasanya mereka mengatakan, pokoknya semua orang yang berbuat baik, semua orang yang oke, semua orang berbuat kebaikan, menolong orang lain, bermoral, harusnya bisa datang kepada Tuhan, tidak harus lewat Yesus; agamamu itu terlalu eksklusif. Di sini respons Kekristenan adalah: tidak demikian, pemikiranmu itu yang justru terlalu eksklusif. Kenapa? Kekristenan adalah jalan untuk mendekat kepada Tuhan bagi mereka yang tidak baik, bagi mereka yang tidak bermoral, bagi mereka yang berdosa; sedangkan jalanmu tadi itu hanya untuk orang-orang yang baik dan bermoral, lalu bagaimana dengan kami, orang-orang yang rusak, yang sakit, yang hancur.
Saudara lihat, jalan masuk kepada Kekristenan adalah lewat pengakuan dosa, pertobatan, seperti ini. Dan pertobatan seperti ini rasanya sakit. Orang mengatakan: “Jadi semua orang yang tidak baik pun bisa datang kepada Tuhan, cuma perlu percaya kepada Tuhan?? Terlalu gampang itu!!” Di sini Kekristenan mengatakan: “Tidak gampang sama sekali”. Kelihatannya saja seperti gampang, namun pertobatan adalah salah satu hal –atau mungkin satu-satunya hal–yang paling sulit, atau bahkan tidak mungkin manusia mau melakukan, karena pertobatan itu sakit luar biasa, paling tidak pertobatan yang sejati.
Saudara, apa sih pertobatan? Pertobatan adalah kita mengatakan ‘saya berbuat salah’? Tidak. Itu bukan pertobatan. Pertobatan lebih dalam daripada itu. Pertobatan adalah mengakui ‘saya berbuat salah karena hatiku busuk’. Kalau mengatakan ‘aku memang salah, tapi maksudku baik’, itu bukan pertobatan. Pertobatan mengatakan ‘aku berbuat salah, tindakanku salah, karena hatiku busuk’. Tidak berhenti sampai di situ, ‘hatiku busuk, dan saking busuknya aku tidak tahu diriku ini sebusuk apa; dan saking busuknya, aku tidak punya kekuatan apa-apa untuk mengembalikan diriku ke jalan yang benar, harapanku hanyalah pada karunia dan belas kasihan Tuhan tok’. Itulah pertobatan. Sekarang Saudara sudah mulai menangkap di mana bebannya? Kalau Saudara mengatakan ini kepada Tuhan, berarti Saudara melepaskan semua kontrol, karena ‘kan Saudara tidak mampu, ‘kan Saudara tidak bisa, bahkan Saudara tidak bisa tahu apa yang benar, maka berarti apapun yang disuruh, Saudara harus menurut, kemudi hidupmu tidak lagi di tanganmu. Itulah pertobatan. Siapa yang mau melakukan ini??
Saudara lihat, pertobatan adalah pedang yang menmbus jiwa kita. Pertobatan itu begitu sulit, begitu susah. Pertobatan berarti Saudara harus datang di hadapan Tuhan dengan tangan yang kosong. Tapi banyak orang tidak mempunyai tangan yang kosong, banyak orang bahkan tidak bisa punya hal ini dalam hidupnya. Ini cuma bisa diberikan oleh karena anugerah, that’s it. Itulah satu-satunya cara mendapatkan kedamaian dari Tuhan, lewat pertobatan seperti itu. Yang menarik, pertobatan seperti ini sakit tapi selalu menyembuhkan, selalu membawa kedamaian, karena pedang pertobatan itu dipegang bukan oleh seorang jendral melainkan seorang dokter bedah.
Omong-omong, ini bukan cuma bagi mereka yang baru jadi orang Kristen, ini termasuk bagi kita semua. Luther mengatakan dalam tesis pertamanya dari 95 tesisnya: “All life is repentance”, seluruh kehidupan kita isinya adalah pertobatan. Pertobatan itu bukan cuma sekali-sekali. Pertobatan itu tidak cuma di awal, satu kali untuk selamanya. Pertobatan itu setiap hari, setiap momen, dalam hidup kita.
Dan, pertobatan yang sejati dalam Kekristenan selalu membawa kedamaian dan healing –selalu. Kenapa? Karena pertobatan yang sejati bukanlah mencambuk diri. Pertobatan yang sejati selalu membongkar yang di dalam, yang tidak kelihatan. Misalnya begini: seorang yang bertobat mengatakan ‘saya tidak bisa berhenti scrolling IG’, maka bertobat berarti mengatakan kepada Tuhan, “Tuhan, saya berdosa, saya scrolling IG kebanyakan, saya addicted pada IG, karena kasih-Mu untukku itu bukannya aku tidak percaya tapi aku curiga itu tidak cukup, maka aku cari dari tempat lain”. Pertobatan itu mengatakan seperti ini. Pertobatan itu mengatakan, “Tuhan, aku berdosa, aku benci pada suamiku. Ini bukan karena dia, ini adalah karena kasih-Mu buatku aku rasa tidak cukup, maka aku mencarinya dari dia; dan ketika dia tidak mengecewakanku, aku marah, aku membenci dia”. Saudara tentu bisa memasukkan banyak hal lain dalam hal ini. Aku addicted game. Aku addicted makanan. Aku cari harta begitu banyak. Aku mengejar pengakuan banyak orang, rasanya kalau likes-nya kurang dari 200, ‘gak bisa hidup gitu loh. Kenapa? Karena ternyata bagiku kasih-Mu itu tidak cukup, saya harus tambal dari orang lain. Inilah pertobatan.
Pertobatan seperti ini melepaskan kendali, karena setelah ini, Saudara tidak bisa lagi melakukan apa yang Saudara akui itu ‘kan. Saudara tidak bisa mengatakan lagi, “Aku benci suamiku karena dia begini, begini, begini. Memang aku ada ini dan itunya, tapi dia ada kayak begitu nya juga!” “Aku scrolling IG kebanyakan, Tuhan, karena IG itu menarik, karena algoritmanya itu kurang ajar, didesain oleh pembuat sosmed-nya untuk bikin orang addicted!” Saudara tidak bisa mengatakan semua itu, pertobatan tidak menyisakan ruang bagi itu semua. Pertobatan itu sakit rasanya. Pertobatan membongkar semua, bahwa ‘kasih-Mu yang harusnya cukup, bahkan lebih, aku rasa itu tidak cukup, aku curiga itu tidak cukup, aku menambal itu dari tempat lain; ampuni aku, Tuhan, kematian-Mu, kasih-Mu, harusnya cukup buatku’. Saudara perhatikan, ketika orang sampai bisa mengakui seperti ini, itu sakitnya luar biasa, karena ke depannya, apapun yang terjadi harus dia terima sebagai kesalahannya, tidak ada lagi dasar untuk berpijak. Namun pada saat yang sama, ketika mengatakan seperti ini, bukankah damai sejahtera masuk ke dalam hidupmu, bukankah ada damai yang aneh, yang supernatural, yang kita tidak pernah lihat dalam dunia, bisa muncul? Itulah pertobatan. Itu satu contoh dalam kehidupan Kristen di mana sebilah pedang masuk ke dalam jiwa kita.
Contoh yang lain, sengat dari ketaatan. Saudara, sebagai orang Kristen yang masuk ke dalam suatu tempat, pasti ada banyak momen dalam hidupmu di mana terjadi krisis. Krisis adalah persimpangan, momen di mana Saudara harus membuat keputusan. Keputusan yang ini, adalah jalan yang nyaman, yang lebar; keputusan yang itu, adalah jalan yang sulit, susah, tapi jalan ketaatan. Saudara tahu, kalau Saudara taat, maka Saudara akan mengalami kesulitan, mungkin mengalami kehilangan uang, mungkin mengalami kehilangan reputasi, mungkin mengalami kehilangan pacarmu, dsb., macam-macam. Dalam hidup kita banyak sekali persimpangan seperti ini; dan Tuhan mengatakan, karena memang ini dunia yang rusak sehingga bagaimana pun juga jalan kepada ketaatan pasti mengalami pertentangan, mengalami pedang –karena ini dunia yang rusak. Sebagaimana Dia masuk ke dalam dunia ini tidak dengan menghilangkan dulu semua yang rusak, dan dengan demikian jalan ketaatan bagi Yesus pasti adalah jalan pedang, sama juga dengan kita, jalan ketaatan bagi kita pasti adalah jalan pedang, tidak bisa tidak.
Namun di sisi lain, ini bukan cuma dunia yang rusak, ini adalah dunia Bapa. Bapa di surga berdaulat; maka Yesus mengatakan: jalan yang seperti sangat sulit ini, jalan ketaatan yang membelah jiwamu ini, ujungnya akan membawa kedamaian. Pasti. Cepat atau lambat. Contohnya, Joni Eareckson Tada, seorang penulis yang kesaksiannya sangat dipakai. Joni ini seorang Kristen yang pernah mengalami kecelakan, lompat ke kolam yang airnya terlalu cetek sehingga lehernya patah, dan dia lumpuh dari leher ke bawah. Dia sangat marah dan pahit akan hal ini. Dia pernah mencoba bunuh diri. Namun suatu hari, dalam kesaksiannya dia mengatakan Roh Kudus bekerja dalam hatinya, dia menyadari dia tidak punya hak untuk mengatur-atur Tuhan caranya mengatur alam semesta. “Tuhan, aku tidak punya hak untuk mengatur-atur caranya Engkau mengatur alam semesta”. Apa yang terjadi setelah ini? Dia bukan cuma jadi seorang yang tenang; dari tulisan-tulisannya, Saudara menangkap bukan cuma ada ketenangan, tapi ada semacam cahaya, terang yang keluar dari dirinya. Orang yang di dalam Tuhan bisa memenangkan pedang ketaatan seperti ini, setelah itu hidupnya tidak ada yang bisa mengganggu dia lagi. Dia punya kedamaian yang lain waktu dia mengatakan ‘Allah itu berdaulat, aku bisa percaya kedaulatan-Nya, aku bisa mempercayakan diriku dalam kedaulatan tersebut’. Dia kehilangan tangan dan kakinya, namun dia mendapatkan suatu terang/cahaya yang tidak ditemukan di mana-mana. Dia sendiri mengakui ini; dia mengatakan, “Saya tidak tahu, kalau saya tidak mengalami kehilangan ini, apakah saya bisa mendapatkan kedamaian seperti ini”. Pedangnya datang dan menembus jiwanya, namun pedang yang sama itu menyembuhkannya juga.
Taat kepada Tuhan, secara short term pasti adalah jalan pedang, tidak mungkin tidak. Namun pada jalan yang sama, ujungnya Saudara akan menemukan jalan kedamaian. Ini sebabnya keduanya tidak bisa dipisahkan, keduanya ada. Yesus datang dengan pedang. Dia memisahkan manusia dari manusia, tapi juga memisahkan apa yang ada dalam hati manusia.
Apa pelajarannya? Pelajarannya adalah: menjadi orang Kristen, kalau Saudara bertemu dengan Kristus yang seperti ini, Saudara tidak bisa jadi orang yang cengeng, Saudara akan jadi orang Kristen yang expect ada trouble dalam hidupmu. Waktu Saudara ditunjuk jadi pengurus, Saudara expect kepengurusan itu membawa trouble. Waktu Saudara jadi orang Kristen, Saudara expect bahwa Saudara tidak bisa ongkang-ongkang kaki di pinggiran persekutuan. Saudara expect bahwa menjadi orang Kristen itu akan mengalami segala macam pertentangan dan pedang ini. Namun tentunya, Saudara juga expect bahwa di balik itu semua ujungnya adalah kemuliaan yang tidak bisa dibandingkan dengan semua pedang yang Saudara terima.
Jadi, di satu sisi kita akan jadi orang-orang yang tidak akan meratapi ratapan kita. Tentunya ketika ratapan itu datang, tidak akan membuat ratapan itu jadi kurang sakitnya, tidak membuat kita jadi orang-orang yang tidak sedih –yang seperti ini, ekstrim lain lagi– tetapi kita tidak akan kaget dengan kekagetan kita, kita tidak akan stres karena kita stres, kita tidak akan meratapi ratapan kita, kita tidak akan menangisi tangisan kita. Dan, kita akan mendapatkan satu kedamaian yang lain. Damai dari mana? Simeon mengatakan, “Aku mendapatkan damai sejahtera karena aku melihat keselamatan yang datang ini”. Joni Eareckson Tada tahu dia suatu hari akan bisa berlari dan tidak menjadi lemah, akan berjalan dan tidak menjadi letih. Kita memandang ke depan, Saudara, itulah bagaimana kita mendapatkan damai sejahtera. Kenapa kita bisa percaya ini? Karena kita melihat diri Allah kita sendiri yang terlebih dulu mengambil jalan ketaatan ini, mengambil pedang yang menembus hati-Nya, jiwa-Nya; dan yang keluar adalah keselamatan, mukjizat terbesar, pekerjaan Tuhan terbesar yang pernah terjadi sepanjang sejarah dunia.
Saudara, kalau saja waktu Simeon datang kepada Maria dan mengatakan akan ada sebilah pedang menembus hatinya, lalu Maria mengatakan ‘aku tidak mau’, apa yang akan terjadi? Waktu Yesus di taman Getsemani, kalau Yesus mengatakan ‘Aku tidak mau sebilah pedang menembus jiwa-Ku’, apa yang akan jadi nasib kita? Jadi inilah berita pada pagi ini, inilah identitas Yesus Kristus. Mari kita mengikut Dia, mari kita mengikut Dia melalui pedang karena ujungnya kita akan mengikut Dia ke dalam kedamaian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading