Kita sedang dalam periode Kalender Gereja yang dinamakan Epiphany, yang dimulai setelah Natal dan berlanjut terus sampai akhir Februari ketika kita masuk ke Musim Lent, musim Gereja mengingat kesengsaraan serta kematian Yesus.
Apa pembahasan dalam minggu-minggu Epifania ini? Yaitu bagian-bagian Injil di antara kelahiran Yesus dan kematian-Nya, dimulai dari Kedatangan Orang Majus yang kita bahas minggu lalu, sampai klimaksnya yaitu peristiwa Transfigurasi di Gunung Tabor. Kita membahas ini, karena bagian-bagian cerita Injil in between ini bukanlah filler. Kalau Saudara nonton serial TV, pasti suka sebal waktu ada cerita-cerita filler yang tidak ada hubungannya dengan cerita utama, cuma menuh-menuhin episode doang, ‘gak seru. Tapi tidak demikian dengan bagian-bagian ini. Ini bagian-bagian yang sangat penting, yang memberitahu kepada kita siapa sebenarnya Yesus yang lahir, siapa sebenarnya Yesus yang akan sengsara dan mati itu.
Saudara perhatikan dalam ketiga Injil Sinoptik, salah satu turning point besar dalam narasinya adalah pertanyaan Yesus mengenai hal ini; Yesus bilang, orang mengatakan Aku Elia, Aku nabi, Aku ini dan itu, tapi menurutmu, siapakah Aku ini? Itu satu pertanyaan sentral dalam kitab Injil. Sedihnya, ini pertanyaan yang sering kali dicuekin dalam Gereja modern, karena kita pikir kita tahu jawabannya. Tentu saja kita tahu Dia Anak Allah; kita tahu Dia Pribadi Kedua Allah Tritunggal yang menjelma jadi manusia, 100% Allah dan 100% manusia, tapi, what does that mean? Siapa Dia, apa signifikansi-Nya, apa kemuliaan-Nya, apa keunikan-Nya? Bagaimana Dia membuka diri-Nya, bagaimana Dia ingin dikenal? Waktu kita mendengar brand-name-Nya, apa harusnya yang muncul di benak kita? Inilah Epifania. Bagian yang kita baca hari ini adalah salah satu narasi dalam Injil yang berusaha menjawab hal ini.
Kalau Saudara masih ingat, tahun lalu kita membahas Pernikahan di Kana dalam Epifania karena dalam Injil Yohanes inilah pelayanan publik Yesus yang pertama, maka ini signifikan –seperti Saudara tahu kalau suatu brand baru launching dalam grand opening-nya, maka semua dekorasi, nuansa, perkataan-perkataan dsb. direncanakan exactly untuk menjawab pertanyaan tersebut, mengenai apa brand tersebut, apa signifikansinya, apa kemuliaannya. Tahun ini kita beralih ke Injil Lukas; dan dalam Injil Lukas, pelayanan publik Yesus yang pertama setelah Ia dibaptis dan dicobai di padang gurun, adalah bagian yang kita baca hari ini. Kenapa Lukas menyorot ini sebagai penampakan pertama Yesus?
Hari ini kita akan melihat salah satu bagian yang sering kali terlewatkan. Waktu Yesus membuka kitab Yesaya, Dia mengklaim bahwa Roh Tuhan ada pada-Nya, Tuhan mengurapi-Nya –dan kata lain dari orang yang diurapi adalah “mesias”, the anointed one –tapi apa tandanya? Saudara membaca ayatnya tadi, dikatakan: karena kabar baik dikabarkan sampai kepada orang-orang miskin. Itulah tandanya Dia adalah Mesias, Dia adalah Anak Allah. Apa Saudara terpikir jawaban ini?
Kalau kita membandingkan kalimat Yesus ini, ada satu hal yang mirip/paralel di Injil yang lain, misalnya di Matius 11: ketika Yohanes Pembaptis di penjara, mungkin dia setengah kecewa –atau bahkan sangat kecewa pada Yesus– lalu dia mengutus muridnya kepada Yesus untuk menanyakan pertanyaan ini juga, pertanyaan Epifania: “Kamukah yang kami tunggu-tunggu itu –maksudnya Mesias– atau kami harus tunggu orang lain lagi?” Saudara, ini pertanyaan yang sama, ‘apa tandanya Kamu ini Mesias’; dan di Matius 11 itu Yesus menjawab seperti ini: “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik”. Bagian terakhir ini juga muncul, maka ini bukan kebetulan, ini memang yang Yesus katakan sebagai tanda sejati dari kehadiran Mesias, kepada umat-Nya. Ini menarik, karena tanda yang terakhir ini rasanya gatal buat kita ‘kan, sedangkan tanda-tanda yang disebut di awal itu masuk akal buat kita.
Orang buta disembuhkan, berarti waktu kita bertemu dengan Tuhan, kita tidak cuma dapat tambahan informasi baru, tapi kita mendapatkan cara melihat yang totally baru, mata kita dibukakan, selama ini kita bukan saja salah arah melihat tapi kita sama sekali tidak melihat, kita selama ini buta. Hal ini masuk akal. Orang kusta disembuhkan, ini masuk akal juga, karena berarti ketika kita bertemu Tuhan, itu bukan karena kita bekerja keras hidup baik-baik lalu akhirnya Tuhan menerima kita, melainkan kita seperti orang kusta yang najis dan kotor, unacceptable, namun kita ditahirkan dalam momen kita najis, kita diterima oleh karena anugerah. Masuk akal juga. Orang mati dibangkitkan, ini pun sama, berarti kita bukan cuma diubah, hati kita bukan cuma naik level, melainkan kita dilahirbarukan; kita bukan sekadar dari sekarat lalu diberikan kehidupan, tapi kita mati, kita dimakan bakteri, kita decomposing, dan kita dibangkitkan. Ini masuk akal juga, dan kita sudah sering dengar. Tetapi tanda yang terakhir, Dia adalah Mesias, alasannya adalah karena kepada orang miskin sampailah berita baik itu. Hah?? Koq, seperti lain banget, ya?? Tentu itu bagus sih, tapi koq jadinya cuma untuk sebagian orang doang, karena ‘kan tidak semua dari kita orang miskin??
Saudara, dalam kitab Matius, Yesus mengatakan, tanda yang satu ini seseungguhnya sama penting, sama hadir, dan sama levelnya dengan semua tanda-tanda yang lain. Mata rohani dibukakan, fine; anugerah yang menerima kita apa adanya, fine; kelahiran baru, fine; tapi bahwa orang miskin mendapatkan kabar baik, itu juga mendapat tempat yang sama. Kenapa? Bahkan kalau Saudara kembali ke kitab Lukas, yang lain-lain itu tidak muncul, yang mendapat porsi front and center adalah yang satu ini: kalau kamu mau tahu kapan Tuhan hadir, kalau kamu mau melihat kemuliaan-Nya, kalau kamu mau mengerti signifikansi brand-name-Nya, maka inilah signifikansinya: Injil dikabarkan kepada orang miskin. Maksudnya apa? Inilah yang kita akan coba find out.
Pertama, kita coba melihat secara singkat narasinya, lalu kita akan coba menelaah lebih lanjut maknanya bagi kita. Narasinya sendiri ada tiga bagian: Yesus berkhotbah, orang banyak merespons khotbah tersebut, lalu Yesus merespons respons mereka. Kita mulai dengan ceritanya.
Yesus, setelah Dia dibaptis dan dicobai, Dia kembali ke Galilea, masuk ke kota Nazaret, kampung halaman-Nya. Di situ Dia masuk ke sebuah kebaktian di sinagoge setempat. Saudara perlu tahu, yang terjadi di dalam sinagoge biasanya adalah seseorang berdiri dan membacakan ayat-ayat dari Perjanjian Lama, setelah itu sang pembaca duduk, untuk menjelaskan/mengkhotbahkan ayat-ayat yang baru dibaca tadi; dan orang ini bisa siapa saja, tidak harus rabi. Demikian kebiasaan yang lumrah dalam sinagoge pada waktu itu. Jadi, dalam cerita ini Yesus datang ke kebaktian di sinagoge, dan kepada-Nya diberikan kitab suci, lalu Dia memilih untuk membaca dari Yesaya 61:1-2, bagian yang dikenal orang Yahudi sebagai the servant songs, nyanyian mengenai seorang figur misterius dalam kitab Yesaya, hamba Allah, yang dinubuatkan suatu hari akan datang membawa Kerajaan Allah, membawa keadilan dan damai sejahtera. Yesus membaca bagian ini, lalu Dia duduk, dan semua orang memandang ke arah Dia. Kenapa demikian? Karena memang setelah Dia duduk, inilah waktunya untuk Dia menjelaskan bagian tersebut. Ini menarik, yang duduk adalah pengkhotbah dan pendengarnya yang berdiri; yang menarik juga, Yesus berkhotbah cuma satu kalimat.
Kenapa Tuhan Yesus bisa berkhotbah begitu pendek? Dia mengatakan, “Hari ini, bagian firman tersebut digenapi, dengan kamu mendengar hal ini”. Artinya Yesus mengatakan: inilah Saya; Sayalah figur hamba Allah di kitab Yesaya itu, Sayalah orang yang telah diurapi Tuhan itu, mesias; Aku telah datang, hidup-Kulah ayat-ayat itu, hidup-Kulah khotbahnya, penjelasan dari ayat-ayatnya, that’s it, tidak perlu lebih daripada itu.
Lalu apa respons orang banyak atas khotbah ini? Yang menarik, tidak sesuai dengan perkiraan kita dan cukup mengagetkan, bahwa kemudian dikatakan: semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran (kagum) akan perkataan penuh rahmat yang diucapkan-Nya. Jadi mereka senang dengan khotbah tersebut. Mereka tidak marah atau ngamuk, mereka tidak berteriak-teriak, “Lu itu siapa?? Berani-beraninya Lu mengklaim Kamu adalah diri hamba Allah yang akan datang itu!” Mereka tidak mengatakan seperti itu, mereka justru senang, mereka bertanya-tanya, “Bukankah Dia ini anak Yusuf, tentanggaku itu?” Di bagian lain ada yang mirip, yang mengatakan, “Bukankah Dia ini anak Maria?”; dan ini malah maksudnya menghina, karena sebagaimana kita tahu, zaman itu zaman patriarkhal sehingga menyebut orang dengan nama mamanya adalah penghinaan, sedangkan di bagian ini kalimatnya bukan itu. Kalimatnya adalah: “Bukankah Dia ini anak Yusuf, tetanggaku itu, koq bisa sehebat ini, wow!” Dan, ini menarik karena kita sudah terbiasa dengan kitab Injil yang kita lihat kalau Yesus membuka mulut di hadapan banyak orang, biasanya reaksinya selalu negatif, sedangkan di bagian ini tidak demikian. Memang di belakang nanti kita melihat reaksi negatif itu akan datang, namun setidaknya di momen ini tidak demikian, mereka sebenarnya senang dengan kata-kata Yesus. Kenapa? Karena mereka punya lensa tertentu dalam mengerti ayat-ayat tersebut, sehingga perkataan Yesus itu juga mereka mengerti dalam lensa yang sama.
Orang-orang Yahudi dalam sinagoge tersebut ketika mendengar Injil dikabarkan kepada orang miskin, orang-orang tawanan dibebaskan, orang-orang tertindas dilepaskan, mereka akan mengatakan: “Itulah kami”. Mereka tidak berespons seperti kita, yang kalau kita mendengar Injil dikabarkan kepada orang-orang miskin, kita malah bertanya-tanya, ‘jadi tempat saya di mana dalam kalimat ini??’ –kita tidak melihat diri kita di situ. Tapi orang-orang pada zaman Yesus tadi tidak demikian. Mereka mengatakan ‘kita ini korban penindasan, sudah 100 tahun Romawi menjajah kita, dan sebelum itu bangsa-bangsa lain menjajah kita juga, maka kami itulah orang-orang miskin, orang-orang tawanan, orang-orang tertindas; jadi kalau anak Yusuf ini mengatakan Dia itu figur mesianik yang akan membebaskan kita semua, ini benar-benar kabar baik, ayo, kapan kita mulai!’ Ini menarik, karena respons inilah yang membuat Yesus harus selalu menambahkan penjelasan lagi.
Yesus tahu kalau Dia berhenti sampai di situ, maka ketika Dia berdiri di pintu keluar nanti, orang-orang di sinagoge itu waktu beranjak keluar akan menyalami Dia dan mengatakan, “Thank you, Pak, khotbahnya hari ini sangat bagus”, dsb. Tetapi kita tahu, dalam kitab-kitab Injil — Matius, Markus, Lukas, Yohanes– kalau orang benar-benar mengerti perkataan Yesus sesuai dengan maksudnya Yesus, tandanya adalah: mereka ngamuk. Kalau mereka pulang dengan bahagia, ada kemungkinan mereka sebenarnya tidak mengerti. Waktu Saudara membaca keempat Injil, Saudara tahu bahwa orang-orang tipe ini, orang-orang yang datang ke sinagoge –bukan pelacur, pemungut cukai, dsb., tapi orang-orang yang rajin beribadah, rajin mempelajari kitab suci, yang bermoral, yang berusaha jadi orang baik– adalah orang-orang yang justru ketika mereka benar-benar mendengar kabar Injil Yesus sejati, mereka selalu marah, tersinggung, kecewa. Selalu. Bahkan hal ini berlaku sampai hari ini. Kalau kita adalah orang-orang baik, orang-orang yang beragama, orang-orang yang tidak pernah bolos kebaktian, yang selalu rajin ikut ini dan itu, ketika kita mendengar Injil Yesus Kristus yang sejati, maka harusnya kita akan terhenyak, mungkin tersinggung, kecewa, bahkan bisa marah. Dan, kalau Saudara tidak pernah mengalami ini dalam kehidupanmu, mungkin –mungkin– selama ini Saudara belum pernah benar-benar mendengar Injil yang sejati. Itu sebabnya di bagian yang ketiga, 25 ayat selanjutnya dari bagian ini, Yesus lalu berusaha membereskan kesalahpahaman ini, mengenai siapa itu orang miskin, kepada siapa Aku diutus.
Figur hamba Allah ini, Mesias ini, diutus kepada orang-orang miskin; siapakah orang-orang miskin ini? Yesus lalu mengambil contoh dari kitab nabi-nabi, khususnya kisah mengenai Elia dan Elisa. Dia mengatakan ini: waktu zaman Elia ada banyak janda orang Israel, tapi Elia tidak diutus kepada mereka, Allah –melalui Elia– datang kepada seorang janda di Sarfat, daerah kafir; demikian sama halnya waktu zaman Elisa, ada banyak orang kusta di Israel, tapi Allah –melalui Elisa– tidak datang kepada satu pun dari mereka, Allah –melalui Elisa–malah datang kepada Naaman, orang kafir juga; maka coba perhatikan pola dalam kisah mereka ini, dan kamu akan mengerti keselamatan yang dibawa Allah melalui hamba-Nya ini datang kepada siapa, siapa yang dimaksud dengan ‘orang miskin’ di sini. Setelah Yesus menjelaskan hal ini, langsung orang-orang itu mengerti, dan mereka ngamuk. Mereka berusaha membunuh Dia. Mereka menyeret Dia ke luar kota, mereka mau melempar Dia dari tebing tinggi. Tapi karena memang belum waktunya, Allah menolong Yesus, dan Yesus menyelinap di antara orang banyak itu –meski kita tahu, ini hint yang tinggal tunggu waktu, pola ini akan terus berlanjut, namun sekarang ceritanya sampai di sini.
Apa yang bisa kita pelajari? Di sini kita diajak untuk belajar bahwa kalau kita mau mengerti siapakah Yesus, kemuliaan dan identitas-Nya, signifikansi brand name-Nya, kita harus mengerti siapakah orang-orang miskin itu di mata Yesus; jika tidak, kita tidak akan mengerti Yesus-nya. Apa yang Yesus ajarkan di sini mengenai identitas orang-orang miskin ini?
Pertama, orang-orang yang disebut ‘miskin’ di sini tidak tentu miskin secara harfiah –itu sudah pasti– ini adalah orang-orang miskin yang bisa dikatakan miskin spiritual, miskin di hadapan Allah. Ini jelas karena Yesus tidak memberikan contoh dua orang yang dua-duanya beneran miskin; Dia memberikan satu contoh orang yang benar memang miskin, dan satunya lagi malah orang yang kaya, janda Sarfat itu miskin, sedangkan Naaman kaya. Ini menarik, dan penting, karena lewat hal ini kita menyadari bahwa yang Yesus maksudkan bukanlah kita harus jadi miskin secara harfiah, bank account kita harus nol atau bahkan minus, supaya kita bisa menerima keselamatan (kadang-kadang kita terlalu cepat membaca kalimat-kalimat Yesus yang kita sangka mengatakan seperti itu). Ini juga berarti orang miskin tidak otomatis menerima keselamatan karena mereka miskin. Dengan mengambil contoh satu orang miskin dan satu orang kaya, Tuhan Yesus menghindari kesalahpahaman itu. Lalu apa maksudnya ‘miskin’ di sini?
Saudara perhatikan, dalam dua contoh tadi, keduanya miskin di hadapan Tuhan, mereka ini orang-orang luar, outsider secara spiritual. Pertama, mereka pastinya orang kafir. Dalam hal ini lebih-lebih lagi si janda Sarfat, karena Sarfat itu daerah non Yahudi; dan dalam zaman Elia, Saudara tentu tahu musuh besar Elia adalah Izebel, dan Izebel ini berasal dari Sarfat. Jadi janda Sarfat ini janda dari daerah kafir, dan itu daerah kafir yang paling parah! Dia menyembah Allah asing, dia miskin, dia wanita –pada zaman yang sangat patriarkhal; dia di luar standar moral Israel, di luar standar ras, jenis kelamin, maupun strata sosial, yang acceptable bagi orang Israel. Naaman pun sama. Memang benar Naaman kaya, tapi dia adalah preman bagi orang Israel, musuh. Naaman itu jendral bangsa musuh yang sudah berkali-kali bertempur dengan Israel, dan dengan demikian tangannya dibasahi darah orang Israel; yang tidak dibunuh Naaman, akan diperbudak oleh Naaman. Naaman juga menyembah ilah-ilah lain. Mereka berdua ini outsider, orang luar secara spiritual. Dan, Yesus mengatakan, orang yang kepadanya Aku terutus, orang yang kepadanya Aku datang untuk mengabarkan kabar baik, adalah orang seperti ini, orang yang menyadari dirinya miskin dan bangkrut di hadapan Allah, yang tidak punya apa-apa yang bernilai di mata Allah. Yesus mengatakan, “Saya sama seperti Elia atau Elisa, pada zamannya itu banyak orang baik di Israel namun Elia tidak diutus kepada satu pun dari mereka, Allah melalui Elia malah datang kepada orang jahat, orang jelek; ada banyak orang yang datang ke gereja, yang doktrinnya beres dan oke, tapi Elisa hanya diutus kepada Naaman”. Saudara tentu tahu, Yesus menggunakan ini untuk menjadi kontras dengan orang-orang yang berhadapan dengan Dia di sinagoge itu –“Aku tidak diutus bagi kamu, kabar baik yang Kubawa itu bukan untukmu”. Tidak heran orang-orang itu lalu marah luar biasa. Inilah Injil. Terhenyakkah kita?
Siapa orang-orang di sinagoge itu? Yang pasti, bagi Yesus mereka bukanlah orang-orang miskin di hadapan Allah, mereka ini orang-orang yang mapan di hadapan Allah; dan Saudara lihat, apa tanda-tanda dari orang yang mapan di hadapan Allah itu? Yaitu ini: ketika Allah datang di tengah-tengah mereka, lalu Allah ini menunjukkan bahwa Dia tidak berutang apa-apa kepada mereka just because mereka orang Israel, just because mereka dijajah Romawi, maka mereka bangkit dan mau membunuh Allah tersebut. Inilah orang-orang mapan di hadapan Allah. Inilah orang-orang baik. Omong-omong, mereka berkumpul tiap minggu untuk membaca dan mempelajari Kitab Suci, tapi ketika Allah sendiri datang dan mengatakan sesuatu yang mereka tidak bisa terima, yang tidak pas dengan ekspektasi mereka, yang basically mengatakan “Aku tidak utang apa-apa kepada kamu”, mereka lalu mau membunuh Dia. Ini menarik, Saudara, karena berarti tanda orang yang mapan di hadapan Tuhan yaitu: di balik keagamaan mereka, itu adalah suatu permusuhan dengan Allah.
Saudara, ini kesempatan yang baik untuk mengingatkan kita, jangan pernah lupa bahwa memusuhi Allah tidaklah cuma dengan satu cara yaitu melawan Dia, ada cara yang lain, Saudara bisa memusuhi Allah justru dengan taat kepada Allah tersebut. Bukankah itu juga the whole point dari kisah “anak-anak yang terhilang” –anak-anak, tidak cuma anak, karena yang terhilang di situ dua– yang satu memberontak dengan cara kabur, dan satunya lagi memberontak dengan cara taat. Si kakak sulung itu kenapa taat? Dia taat karena dia ingin membuat bapaknya berutang kepada dia, supaya suatu hari dia bisa komplain, supaya suatu hari dia bisa mengklaim utang ini, “Bapak, bukankah aku sudah begini dan begitu?? Bukankah aku selama ini tidak seperti adikku itu? Tapi engkau tidak pernah memberikan kepadaku apa yang jadi milikku!” –itulah utang. Jadi, ketika Allah datang dan bertingkah seperti tidak berutang apapun kepadamu, itu membuat kita marah luar biasa kalau kita adalah orang-orang yang mapan secara rohani. Selidiki hatimu, Saudara, adakah kemarahan seperti itu sedang terpendam di hati kita? Apakah hati kita hati seorang yang mapan di hadapan Tuhan?
Cerita Kain dan Habel, sudah pernah kita bicarakan bahwa peran yang tepat untuk kita masuki, untuk kita mengidentifikasi diri dalam cerita tersebut, adalah peran Kain, bukan peran Habel. Ini karena salah satu fungsi cerita Kain dan Habel adalah untuk membongkar apa yang ada dalam hati kita, yang sering kali tidak mau kita akui. Siapa di antara Saudara di sini yang tidak pernah melihat orang lain yang hidupnya somehow lebih baik dan lebih diberkati daripada diri kita, lalu kita jadi upset? Kita mengatakan, “Saya ‘kan juga hidup baik, saya ‘kan juga berusaha, saya ‘kan juga melakukan ini dan itu. Memang saya tidak sempurna, tapi siapa sih yang sempurna, dia juga tidak sempurna, dia juga banyak begini dan begitunya, tapi kenapa dia ada itu dan saya tidak??” Cerita Kain dan Habel membongkar kita dalam hal ini. Dan perhatikan, semakin Saudara rajin ke sinagoge –semakin Saudara rajin pelayanan– hal ini semakin gampang keluar; dan berarti dalam hal ini saya menunjuk pada diri saya sendiri, kalangan pendeta paling bahaya dalam hal ini, karena kami pelayanan, karena kami kerjanya itu.
Saudara, hopefully ini bukan pengalaman pribadi saya, tapi di antara para pendeta, gaji kami sih tidak kecil meski juga tidak besar, dan kami tidak bisa tambah pemasukan dengan cara kerja lebih banyak, jadi kami harus mencukupkan diri dengan yang kami dapat. Tidak ada kontrak negoisiasi dalam hal ini, diberi sekian, ya sudah, sekian. Jadi, jujur saja di antara para pendeta kadang-kadang bisa ada pembicaraan ‘kenapa ya, ada beberapa pendeta tertentu yang Tuhan beri dukungan finansial lebih besar dibandingkan yang lain, kenapa bisa ada pendeta yang di-support habis-habisan oleh keluarganya, bisa ke luar negeri, bisa beli ini dan itu, anaknya bisa sekolah di sini dan di situ; lalu ada juga pendeta yang jemaatnya dukung dia habis-habisan, padahal dia kerjanya apa?? Dia itu kerjanya studi Ph.D., kabur ke luar negeri bisa 6 bulan dalam setahun, sementara kita ini menghadapi jemaat, kita tiap minggu ada saja yang harus dikonseling, tapi mana ada yang tahu, tidak ada yang dukung juga. Kenapa kayak begini, ya??’ Para pendeta bisa berpikir seperti ini; karena apa? Karena pelayanan.
Mungkin Saudara tidak bisa identify dengan hal ini, sekarang saya pakai contoh yang lain. Dalam NREC yang lalu, saya sempat bicara mengenai meratap, bahwa kehidupan Kristiani itu harus expect akan meratap. Pertama, karena di Alkitab banyak sekali kehidupan umat Tuhan yang penuh dengan ratapan, dan Yesus sendiri adalah the Man of Sorrow. Namun satu hal yang menarik yang kami bicarakan dalam sesi kemarin, yaitu Saudara perlu expect meratap dalam hidup ini, karena kalau tidak expect meratap, ketika saatnya tiba untu Saudara meratap, Saudara akhirnya akan meratap lebih banyak. Saudara akan meratap dua kali sementara harusnya sekali sudah cukup, yaitu yang pertama, Saudara meratapi kemalanganmu –mungkin itu penyakitmu atau kehilanganmu atau yang lain– dan yang kedua, Saudara meratapi ratapanmu, menangisi tangisanmu, karena Saudara tidak expect hidupmu bisa meratap. Banyak orang Kristen yang seperti ini. Waktu mereka bergumul dengan sakit-penyakit, kekurangan, kehilangan, kerugian, dsb., mereka syoknya dobel; mereka menderita karena penyakitnya, dan mereka menderita karena syok bahwa mereka bisa dapat penyakit. Mereka mengatakan “bukankah … “ —bukankah saya ini orang Kristen?? bukankah Tuhan katanya mengasihi anak-anak-Nya?? Bukankah ini dan itu, dan ini dan itu. Sedih, ya. Kalau Saudara expect meratap, ketika akhirnya Saudara meratap, Saudara hanya akan meratap satu hal, yaitu meratapi penyakitmu atau kehilanganmu saja, Saudara tidak kaget bahwa Saudara bisa meratap. Satu sudah cukup, Saudara; dua bisa bikin orang tenggelam. Namun inilah kita. Kenapa kita kayak begini? Karena kita membawa spiritualitas kelas ekonomi mapan ke dalam relasi kita dengan Tuhan; di balik ketaatan-ketaatan kita, kita sedang berusaha menjadikan diri kita tuan di atas Tuhan, kita sedang berusaha menjadikan Tuhan sebagai hamba, kita sedang memberontak melalui ketaatan. Itulah orang-orang yang mapan secara rohani.
Kalau demikian, siapakah orang-orang miskin di hadapan Tuhan itu? Yang pasti, itu adalah orang-orang yang melihat gunung es tidak hanya di atas permukaan air. Ini orang-orang yang tahu, kalau kita hanya melihat yang di atas maka sudah pasti kita selalu bisa menemukan hal-hal yang kita sudah lakukan dengan baik. “Tentu saja kita tidak sempurna, tapi ‘kan … “, itulah orang-orang yang mapan rohani. Orang-orang yang miskin di hadapan Tuhan, dia melihat di bawah permukaan. Di atas permukaan, kita bisa merasa Tuhan berutang pada kita, tapi kalau melihat di bawah permukaan, kita akan mengatakan begini: “Ya, saya tahu, ada masa-masa di mana saya tidak taat, dan ada masa-masa di mana saya taat; tapi di bawah permukaan keduanya sama saja. Saya tahu ada masa-masa di mana saya bermoral, dan ada masa-masa di mana saya tidak bermoral; di atas permukaan ini seperti beda, tapi saya tahu, di bawah permukaan keduanya ini sama saja, dua-duanya busuk motifasinya, dua-duanya dikarenakan saya ingin menjadi tuan di atas hidupku dan tidak ingin Dia menjadi tuan”. Inilah orang yang miskin di hadapan Tuhan, orang yang melihat motivasi dan tidak cuma tindakan, orang yang menyadari betapa diri kita sebenarnya tidak kepingin Tuhan ada dalam hidup kita, orang yang sadar bahwa sering kali menganggap diri lebih kompeten dibandingkan Tuhan dalam mengatur dan merencanakan hidup kita.
Orang yang mapan rohani mengira merekalah orang-orang yang miskin di hadapan Tuhan, sedangkan orang-orang yang sungguh-sungguh miskin di hadapan Tuhan, malah menyadari dosa “kemapanan rohani” mereka. Lucu ya. Itu sebabnya orang yang miskin di hadapan Tuhan mengatakan: ‘aku hanya bisa diselamatkan atas dasar pemberian saja, total anugerah, Tuhan tidak berutang apa-apa kepadaku; Dia bisa saja membuangku kapan saja, dan kalau itu terjadi, memang sesuatu yang sudah sepatutnya. Kalau aku ada penderitaan dalam hidup ini, kalau aku meratap dalam hidup ini, memang sudah sepatutnya. Saya meratapi kalau saya kena kanker, saya sedih kalau saya kena ini dan itu, tapi ya, sudah, tidak ada penderitaan yang kedua, tidak ada ratapan yang kedua, cukup satu, karena memang Tuhan tidak ada utang apa-apa kepada saya; dan keselamatan yang Dia berikan kepadaku, Dia simply memberikannya karena apa yang Anak-Nya lakukan, bukan karena apa yang aku lakukan’. Inilah orang yang miskin di hadapan Tuhan.
Omong-omong, kalau Saudara masih bertanya-tanya bagaimana Saudara bisa menjadi orang Kristen, inilah garis penentuannya mengenai apa yang Saudara butuhkan untuk menjadi orang Kristen –dan ini paradoks– yaitu: Saudara harus menghilangkan keharusan, Saudara butuh menjadi orang yang membutuhkan. Inilah menjadi orang Kristen, orang yang miskin di hadapan Tuhan. Saudara tidak bisa datang dengan sesuatu; Saudara datang dengan tangan hampa. Paradoks kayak begini bikin tambah bingung, ya.
Kita lanjut ke poin kedua. Yang pertama tadi, miskin di sini maksudnya miskin di hadapan Tuhan, miskin spiritual, miskin rohani; namun yang kedua adalah: jangan pernah Saudara pikir miskin di hadapan Tuhan (miskin rohani) berarti sekadar kemiskinan internal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupanmu secara di luar. Jangan pernah pikir bahwa kemiskinan rohani itu simply di dalam tok, lalu tidak ada sangkut-pautnya dengan kondisi hidupmu secara eksternal. Kenapa kita mengatakan demikian? Karena ada satu pola di Alkitab yang Saudara tidak bisa pungkiri, yaitu ketika ada dua orang disandingkan di Alkitab, misalnya pria dan wanita, orang dalam dan orang luar, orang yang berkuasa versus orang yang tertindas, siapa biasanya yang hampir selalu duluan menangkap berita Injil? Hampir selalu si wanita, si orang luar, si orang yang tertindas. Itu sebabnya kita melihat cerita antara Naaman sang jendral besar dan budak wanita yang kecil itu; dan siapa yang duluan menangkap berita Injil? Kita melihat cerita mengenai pelacur dan orang Farisi; dan siapa yang duluan menangkap berita Injil?
Katanya –saya tidak pernah hitung sendiri– di Alkitab ada 7 kali peristiwa orang mati dibangkitkan, dan dalam ketujuh peristiwa tersebut, hampir setiap kasusnya, yang menerima kembali orang yang dibangkitkan itu adalah para wanita, sementara para prianya mungkin terbingung-bingung atau entah ada di mana. Jadi, inilah alasannya orang-orang di sinagoge tadi marah, yaitu karena mereka diperlihatkan bahwa Elia justru diutus kepada janda miskin kafir di Sarfat, Elisa diutus kepada Naaman preman besar dari Syria itu. Kenapa ada pola seperti ini? Inilah pola di Alkitab. Ini adalah karena Tuhan dalam kemurahan hati-Nya dan bijaksana-Nya somehow memberikan satu pola ini dalam dunia, bahwa mereka yang memegang power, somehow lebih sulit untuk menangkap Injil, mereka yang terdorong ke luar/pinggiran malah somehow lebih terbuka kepada Injil. Wanita somehow lebih terbuka dibandingkan pria, orang-orang ras minoritas somehow lebih terbuka dibandingkan ras mayoritas, orang-orang miskin somehow lebih terbuka dibandingkan orang-orang kaya. Semakin Saudara terdorong ke pinggiran, semakin Saudara ada kemungkinan lebih reseptif, lebih cepat, menerima berita Injil ketika berita Injil datang kepadamu.
Supaya hal ini lebih jelas buat kita, saya ingin mengulang bahan Persekutuan Doa kemarin, yang saya rasa sangat pas untuk jadi pengejawantahan bahan khotbah hari ini. Saya mulai dengan satu pertanyaan: kalau Saudara disuruh mendoakan doa yang sudah tertulis, apa reaksimu? Kalau Saudara masuk ke sebuah gereja untuk berbakti di sana, lalu dalam kebaktian tersebut hampir setiap kalimat doa yang diucapkan simply mengikuti apa yang sudah tertulis, dan yang berdoa demikian bukan cuma para jemaatnya tapi juga liturgis dan pendetanya, apa reaksimu? Reaksi Saudara tentunya bisa beragam, tapi kemungkinan besar kita merasa risih dengan doa seperti itu. Kita merasa tidak terbiasa, aneh, karena sedikit banyak bagi kita idealnya doa ada unsur spontanitas, sesuatu yang datang dari hati dan bukan dari kertas, maka membacakan doa –apalagi membacakan doa orang lain– bagi kita itu tidak wajar. Dalam tradisi kita, doa sepertinya paling baik dilihat sebagai bentuk relasi pribadi saya dengan Tuhan, percakapan saya dengan Tuhan –dan tentunya aneh dong kalau kita bercakap-cakap dengan orang lalu harus pakai kata-kata (tulisan) orang lain.
Baru saja saya mendapatkan satu buku yang membukakan saya kenapa bisa ada tradisi-tradisi Kristen yang mayoritas doanya adalah doa tertulis, yang kehidupan doanya sangat diwarnai oleh doa-doanya orang lain. Ini buku dari Tish Warren, “Prayer in the Night”, yang membukakan kepada kita akan hal tadi. Tish mengawali buku ini dengan satu cerita, satu momen dalam hidupnya ketika dia mengalami keguguran. Dua hari setelah keguguran, dokter mengatakan dia bisa menjalani hidup seperti biasa, tidak harus bed rest atau semacamnya. Jadi Tish dan suaminya –keduanya pendeta Anglikan–pergi dinner di suatu tempat dengan teman baru karena sudah terlanjur janji, yang mereka kenal simply karena anak-anak mereka sekolah di tempat yang sama. Di tengah-tengah dinner, Tish pendarahan; dan pendarahan ini sangat parah. Dengan panik suaminya langsung membawa dia pergi dengan mobil, anak-anak mereka tinggalkan di tempat itu —practically dengan orang asing– langsung menerobos semua lampu merah, sementara handuk yang dipakai untuk menahan pendarahan itu cepat sekali penuh rembesan darah, Tish pun mulai terasa mau pingsan. Sampai di rumah sakit, para suster yang berkerumun mengatakan betapa darahnya lebih banyak daripada yang biasa mereka lihat, dan perlu segera ada tindakan bedah, dsb. Di tengah-tengah semua itu, Tish meneriakkan satu hal kepada suaminya: “Compline! Saya butuh mendoakan doa Compline!” Doa Compline adalah doa tertulis yang ada dalam buku doa orang Anglikan, The Book of Common Prayer. Jadi suaminya langsung membuka The Book of Common Prayer di HP-nya, menjelaskan kepada para suster bahwa mereka mau berdoa, lalu mereka berdua mengucapkan kalimat doa yang sudah tertulis itu –doa orang lain itu.
Nama doa Compline, ini datang dari kata complete, yaitu doa untuk mengakhiri hari. Ini doa harian, doa yang dipakai orang Anglikan sebelum tidur. Kata-katanya kira-kira seperti ini:
Tuhan, anugerahkanlah kepada kami
malam yang damai dan akhir yang sejati;
Jagalah kami seperti biji mata-Mu,
Sembunyikanlah kami di bawah
naungan sayap-Mu.
Tuhan, kasihanilah kami;
Lindungilah kami dari bahaya
dan ancaman dari malam ini.
Kiranya Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus,
Yang Mahakuasa dan Maha Pemurah,
memberkati kami dan menjaga kami.
Amin.
Saudara, kenapa Tish merasa butuh mendoakan doa Complined pada momen itu? Yang seperti ini ‘kan orang GRII ‘gak bakal terpikir, bahkan tahu pun tidak. Tapi begini, kalau kita berada dalam momen IGD seperti itu, pasti kita merasa butuh berdoa, hanya saja kita tidak merasa butuh mendoakan doa tertulis. Saudara tentu sadar akan hal ini. Kalau kita dalam situasi momen IGD, mungkin kita simply akan berseru doa sederhana, misalnya: “Tuhan, tolong”, seperti yang biasa kita dengar kalau kita melihat video-video orang yang di tengah-tengah gempa bumi, malapetaka, dsb. Tentu tidak masalah dengan doa-doa seperti itu, selain bahwa kedengarannya sangat tidak anggun, “Yesus, tolong! Yesus, tolooong!!” –dan doa seperti itu bikin yang berdoa kayaknya tambah panik, bukan lebih tenang.
Omong-omong, memang tidak ada yang salah dengan doa seperti itu. Kalau kita dalam momen IGD, mungkin kita terpikirnya memang itu; atau kita minta suami/istri kita mendoakan kita. Namun Tish dalam momen seperti ini malah merasa butuh mendoakan doa Complined itu, doa yang sudah tertulis itu, doa yang bukan spontan dari hati, doa orang lain. Kenapa? Saya rasa ini menariknya: dia mengatakan, karena dia merasa butuh berdoa, tapi dalam keadaan seperti itu dia tidak mungkin bisa menyusun kata-kata sendiri. Dengan kata lain, dalam momen seperti itu dia menyadari seberapa dia miskin di hadapan Tuhan.
Belakangan waktu refleksi, Tish mengatakan, dia baru sadar bahwa sebenarnya yang manusia inginkan bukanlah urusan kesembuhan atau pertolongan, itu sekunder; tentunya kita menginginkan itu, tapi kita membutuhkan sesuatu yang lebih daripada itu. Apa yang kita butuhkan dalam momen-momen IGD itu? Kita butuh jangkar. Jangkar itu apa? Jangkar adalah sesuatu yang menyambungkan kita yang kecil dan terombang-ambing ini, kepada sesuatu yang lebih kuat, lebih kokoh, lebih besar, lebih teguh. Itulah jangkar. Itulah yang mungkin Saudara dan saya rasakan waktu kita mengatakan “butuh pegangan”. Ini momen-momen di mana kita tidak tahu harus ngapain, momen-momen di mana kita tidak tahu apa yang terjadi. Momen-momen di mana kita meratapi bayi kita yang gugur, sekaligus tubuh kita yang rusak. Momen-momen di mana seorang pendeta Anglikan pun bisa meragukan segala sesuatu yang dia sendiri khotbahkan selama ini mengenai kasih Yesus, dsb. Momen-momen di mana kita tidak sanggup mengeluarkan sendiri iman yang spontan, teguh berdiri, mandiri. Momen-momen di mana kita butuh pegangan; atau lebih tepatnya, momen-momen di mana kita butuh di-pegang, karena kita tahu tangan kita tidak sanggup memegang. Boro-boro minta kesembuhan atau pertolongan, menyusun kata-kata untuk meminta saja tidak sanggup. Boro-boro menyusun kata-kata untuk meminta, cukup beriman untuk meminta pun tidak sanggup. Saudara, dalam hidupmu dan hidupku, pertanyaan yang menarik adalah: dalam momen seperti itu, apa yang tersisa, ada atau tidak yang tersisa?
Untungnya, dalam hidup Tish ada yang tersisa; dan yang tersisa itu, cara Tish untuk mempertahankan realitas kebaikan Tuhan dan kasih Tuhan, jangkar yang sangat dia butuhkan dalam momen seperti itu, adalah lewat doa tulisan orang lain, lewat praktika liturgi Gereja Tuhan, dengan membacakan dan mengulangi kalimat doa yang sudah ditulis terlebih dulu oleh Gereja –dalam hal ini doa Compline. Ini satu hal yang saya rasa menarik sekali, karena betapa ini bertabrakan dengan praktika liturgi Gereja kita. Kita tidak terbiasa, dan juga tidak dibiasakan, mendoakan doanya orang lain. Sekali lagi, kita bukan ingin blaming-blaming; kalau Saudara mau tanya ini salah siapa, jelas kesalahan ini bukan pada jemaatnya doang, kesalahan ini juga ada para pemimpin jemaatnya, karena memang hal ini tidak dibiasakan. Kita dibiasakannya malah terbalik, kita dibiasakan untuk melihat doa sebagai ekspresi jiwa pribadi, sebagai percakapan pribadi antara Tuhan dan saya.
Namun cerita Tish membuka mata saya, membuat saya menyadari, bahwa sebenarnya yang aneh itu kita, karena sepanjang sejarah Gereja 2000 tahun, mayoritas orang Kristen dalam gereja seluruh dunia tidak melihat doa sebagaimana kita melihat doa. Pengertian kita mengenai doa sebagai percakapan pribadi dengan Tuhan, sesuatu hal yang datang dari hati, sesungguhnya baru lahir belakangan, paling lama sekitar 300-400 tahun belakangan, dan lahirnya juga tidak dalam semua denominasi orang Kristen. Dan mungkin menarik untuk Saudara tahu, Calvinisme bukan salah satu denominasi yang mengakui doa seperti itu, karena dalam Calvinisme –sebagaimana Saudara bisa ingat dari khotbah Pendeta Billy– salah satu tanda/ciri khasnya, yaitu punya tempat dan penekanan sangat besar untuk membacakan doa dari kitab Mazmur. Itulah gold standard-nya written prayer. Jadi, entah dari mana warisan kita ini??
Intinya, Gereja sepanjang sejarah secara mayoritas melihat doa justru sebagai warisan. Ini berarti, ketika saya berdoa kepada Tuhan, itu bukanlah suatu aliran air yang baru saya lakukan sekarang, melainkan saya simply sedang mencelupkan kaki, lalu paha, lalu pinggang, ke dalam satu aliran sungai yang besar, yaitu percakapan Tuhan dengan umat-Nya sepanjang sejarah, yang sudah mengalir lama sebelum saya masuk, dan akan mengalir lama setelah saya keluar. Itulah doa bagi mayoritas umat Tuhan sepanjang zaman dan di segala tempat. Saudara lihat, kenapa ini bisa jadi jangkar? Karena ini aliran sungai yang lebih besar, yang lebih kokoh, yang lebih teguh, dibandingkan aliran air yang kita bisa tetes-teteskan.
Coba Saudara pikr-pikir lagi, dalam momen-momen IGD tadi, bukankah kita tidak punya suara?? Kita tidak ada kapasitas untuk mengekspresikan jiwa kita –dan kita juga tidak butuh itu. Kita berdoa juga bukan untuk mempersaksikan iman kita di hadapan segudang suster itu. Yang kita butuhkan dalam momen-momen IGD seperti itu adalah tangan kita yang lemah menggapai-gapai ini somehow bisa menemukan sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, lebih bertahan, daripada apa yang kita rasakan. Kalau kita menyadari hal ini, maka sebenarnya bukan cuma momen IGD yang seperti itu, tapi seluruh kehidupan doa kita harusnya juga mungkin seperti itu ‘kan. Doa-doa kita selama ini mungkin terlalu mengandalkan diri. Doa-doa kita terlalu over pe-de pada diri sendiri, kalau setiap kali –atau mayoritas– kita merasa bahwa doa itu idealnya spontan datang dari dalam hati, lalu kurang ada tempat dalam kehidupan doa kita untuk membacakan doa-doa yang sudah jadi warisan sepanjang zaman, doa orang mapan rohani ini.
Saudara don’t get me wrong, saya bukan sedang mau menyerang habis tradisi doa spontan; doa spontan itu pasti ada tempatnya, bukan tidak ada. Problemnya adalah: kenapa kita pikir idealnya adalah yang seperti itu. Bagaimanapun, ini sekalian undangan, kenapa Saudara tidak datang ke Persekutuan Doa? Karena Saudara mapan rohani? Karena Saudara tidak merasa perlu dukungan Gereja untuk berdoa, berhubung Saudara mapan di hadapan Tuhan? Saya sudah menekankan berkali-kali dalam Persekutuan Doa, kita di sana bukan karena kita hebat, kita di sana karena kita mau dilatih. Persekutuan Doa sama seperti Paduan Suara, hanya saja yang dilatih adalah berdoa. Jadi sekali lagi, ini undangan bagi Saudara sekalian.
Kembali ke poin besar kita, inilah iman Kristiani, iman yang miskin di hadapan Tuhan, yang sadar bahwa iman perlu dilatih, perlu diasah, bukan muncul begitu saja. “Aduh, Pak, keberatan ya.. bukankah iman yang spontan justru yang ideal?? Begini lho, Pak, doa yang spontan itu kita merasa lebih alkitabiah karena lebih ada kesan anugerahnya, apa adanya ‘kan?? Saya berdoa ‘Yesus tolong, Yesus tolong’, itu ‘gak masalah, karena itu apa adanya saya di hadapan Tuhan, dan Tuhan menemui saya dengan anugerah! Kalau saya melatih doa, mengasah doa, membiasakan dengan membacakan doa-doa yang bagus warisan Gereja sepanjang zaman, itu justru doa yang mengandalkan manusia dong, doa yang ‘gak mengandalkan anugerah. Nantinya jadi ada sebagian orang yang lebih terlatih, orang-orang elit dalam berdoa, seperti atlet olahraga elit, ahli jahit, ahli tempa besi, lalu ada ahli berdoa juga, Pak!” Saudara, itu gambaran yang palsu; kenapa? Karena kembali ke gambaran IGD tadi, Saudara akan sadar doa mana yang justru elitis, tentu saja doa yang spontanlah, karena siapa sih yang bisa mengeluarkan doa spontan bagus dan keren dalam momen kehilangan kesadaran?? Itulah justru orang-orang elit itu, orang-orang super hebat, superman dan super woman, orang-orang mapan rohani.
Saudara, menarik bahwa dalam momen IGD seperti tadi, benar-benar membongkar kita, dan kita baru sadar bahwa doa yang dilatih/diasah melalui mazmur-mazmur, melalui warisan doa-doa orang lain turun-temurun dalam Gereja, itu justru mungkin doa yang mengandalkan anugerah Tuhan, karena anugerah ini tidak cuma datang langsung dari Tuhan ke dalam hatimu, anugerah ini datang melalui karya Gereja berabad-abad.
Yang menarik, GRII dalam bermusik sebenarnya pakai logika yang sama. Kita bermusik tidak dengan tiap minggu bikin lagu baru ‘kan, bahkan kita cenderung agak curiga terhadap lagu-lagu yang terlalu baru. Lagu-lagu kontemporer tidak gampang masuk dalam lagu-lagu kita, meski ada juga yang masuk. Kita secara mayoritas menggunakan warisan lagu-lagu yang sudah berabad-abad, tulisan orang lain. Kenapa kita melakukan ini? Kalau Saudara tanya orang GRII, maka salah satu jawaban standarnya adalah: karena GRII tahu dan percaya Tuhan bukan cuma bekerja secara spontan pada zaman hari ini, Tuhan juga bekerja melalui zaman yang sudah berabad-abad itu, maka kita di GRII mau belajar menghargai dan melihat pekerjaan Tuhan bukan cuma di zaman ini tapi juga dari Gereja Tuhan sepanjang zaman; itu sebabnya kita memakai dan merayakan lagu-lagu hymn yang tua, karena kita mau menghargai pekerjaan Tuhan yang datang melalui Gereja. Jadi Saudara, kalau dalam urusan musik dan lagu, kita peka akan hal ini, kita mengaminkan hal ini, tapi kalau dalam urusan doa somehow standarnya lain. Padahal kalau kembali kepada misalnya Calvin, dalam Intitutes-nya dia mengatakan musik adalah subset (di bawah) rubrik doa. Jadi, kalau musik saja seperti itu, bukankah doa harusnya lebih lagi? Itu Calvinisme.
Yang kedua, bahwa kalau doa dilatih/diasah maka jadinya bukan anugerah, itu asumsi yang salah, karena kalau Saudara terlatih (excellent) dalam bidangmu, sering kali justru inilah momennya kita menyadari kehadiran anugerah. Lucu, ya.
Para seniman adalah orang yang kayaknya paling identik dengan dirinya, ekspresi jiwanya, karena seni ‘kan kayaknya keluar dari dirinya. Tapi Saudara tahu, dalam dunia seni itu justru para seniman sendiri sering kali menyadari bahwa ketika mereka menghasilkan suatu karya seni yang luar biasa, mereka mengatakan, “Ini mukjizat, somehow ada something yang beyond diri saya keluar dalam bagian ini”. Mereka malah lebih peka dengan anugerah, bukannya kurang peka. Madeleine L’Engle pernah mengatakan, hasil seni yang baik selalu justru melampui senimannya. Shakespeare, dramanya lebih baik dari pada kemampuan dia menulis drama. Rembrandt, lukisan-lukisannya memahami jiwa manusia lebih dalam dibandingkan dia sendiri memahami kedalaman jiwa manusia. Bach, mengubah lagu lebih dalam dibandingkan kedalaman yang dia pernah tahu dan sadari. Johannes Brahms, seorang komponis besar, pernah di-approach seorang analis musik yang mengatakan: “Saya menganalisa musikmu, luar biasa; saya menemukan begitu banyak koneksi, hubungan ini dan itu, keren banget, ini pasti Pak Brahms sudah planning luar biasa kayak begini, kompleks sekali.” Mendengar itu, Brahms geleng-geleng kepala, “Luar biasa, saya tidak pernah terpikir itu” –padahal dia yang tulis. Kenapa, Saudara? Karena seni sering kali lebih besar daripada senimannya. Justru sesuatu yang dilatih/diasah, semakin kita melatih dan mengasahnya, maka diri kita yang mengasah itu semakin sadar ada karunia dari luar yang turun, yang bukan hasil saya.
Kalau seni saja seperti itu, apalagi yang lain?? Bukankah kita sadar, tukang kebun tidak bisa bikin tanaman tumbuh?? Tukang roti bukanlah sumber bagaimana gandum bisa berubah jadi roti. Itu sebabnya, jangan pernah lupa bahwa pengertian anugerah yang sejati, bukanlah meniadakan usaha manusia. Bukan. Pengertian anugerah yang sejati adalah meniadakan jasa manusia, bukan usaha. Paulus mengatakan, “Aku menanam, Apolos menyiram, Tuhan yang memberikan pertumbuhan”, jadi ada menanam dan menyiramnya, Saudara. Paulus tidak mengatakan, “Aku ongkang-ongkang kaki, Apolos ongkang-ongkang kaki, Tuhan yang menanam, menyiram, dan mempertumbuhkan” –tidak demikian. Aku menanam, dia menyiram, tapi kalau tidak ada Tuhan, semua itu tidak ada guna. Usaha ada, jasa tidak ada, itulah anugerah. Ini yang sebenarnya orang Reformed percaya, bahwa Saudara yang bekerja di dunia ini, ya, Saudara harus bekerja, Saudara harus show up, harus datang kerja, harus bekerja dengan tanganmu, namun kebaikan yang turun dari pekerjaanmu itu sumbernya bukan kamu; yang terjadi dalam pekerjaan-pekerjaan kita adalah kita simply sedang berpartisipasi dalam suatu misteri anugerah Tuhan, di mana Tuhan entah bagaimana melibatkan manusia dalam memberikan anugerahnya. Jadi iman itu skill, diasah, dilatih; dan cara mengasahnya/melatihnya terutama adalah melalui doa. Ini tidak bertabrakan dengan anugerah. Inilah orang yang miskin di hadapan Tuhan.
Saudara, jadi inilah artinya miskin di hadapan Tuhan –paling tidak sampai sebegini, dan pasti bisa lebih lagi, karena saya terbatas. Namun Saudara bisa lihat, ini bukan cuma kemiskinan internal yang tidak ada embodiment-nya keluar, yang tidak ada realisasinya di luar; ini bukan sekadar dompet kosong, tapi ini juga bukan perasaan dalam hati tok. Dan, inilah identitas serta kemuliaan Yesus Kristus. Orang-orang Nazaret mengatkan, “Bukankah Dia ini anak Yusuf?” –bukankah Dia ini anak tetanggaku, bukankah Yusuf itu kita kenal semua, keluarganya tidak berada, dia itu tukang kayu; waktu mereka membawa Yesus disunat, persembahan yang mereka bawa sepasang burung merpati, dan itu tanda yang berarti Yusuf ini keluarga yang strata sosialnya paling rendah, orang miskinnya orang miskin, persembahannya itu persembahan super minimum.
Saudara, jadi siapa Yesus itu? Apa signifikansi dan keunikan Yesus? Kenapa Yesus bisa membawa kabar baik dari Allah sampai kepada orang miskin? Karena Ia adalah Juruselamat yang mengatakan, “Aku menyelamatkan dunia dengan kehilangan kuasa. Aku akan menyelamatkan dunia lewat kekalahan, dengan disiksa, dengan mati bagi dosa-dosa dunia”. Bagaimanakah Yesus bisa sampai menyentuh bumi ini, sampai kepada skala terkecil, kepada orang yang paling rendah, miskin, powerless? Yaitu karena Anak Surga telah menjadi Anak Yusuf. Ia mengosongkan diri-Nya sendiri. Itulah cara yang Ia pilih untuk menjadi saluran bagi kabar baik dari Allah.
Orang mapan, orang beragama, akan sulit sekali mengerti ini, karena pengertian mereka mengenai agama adalah: agama itu kuasa. Saya beragama, karena kuasa ini bisa membuat hidup saya lebih baik. Saya beragama, karena kuasa ini bisa membuat anak-anak saya lebih menurut. Saya beragama, karena kuasa ini bisa membuat hubungan mertua dan menantu jadi lebih oke. Saya beragama, karena kuasa ini bisa membuat saya kuaat menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Yesus mengatakan: Tidak, Injil adalah kebalikannya; Aku datang menyelamatkan dunia justru lewat kehilangan kuasa, maka kamu juga hanya bisa menerima keselamatan-Ku dengan cara menyerahkan segala klaimmu akan kuasa, segala penggapaianmu akan kuasa; engkau baru bisa menerima keselamatan ini dengan menjadi miskin di hadapan Tuhan, dengan menjadi pelayan bagi orang lain, dengan cara menyerahkan hakmu di bawah hak orang lain, dengan cara menyerahkan hartamu bagi orang lain –dengan cara menjadi hamba.
Saudara, saya kira ini sebabnya dalam Alkitab, kasih kepada Tuhan tidak pernah bisa diceraikan dari kasih kepada sesama; dan kasih kepada sesama secara khusus selalu digambarkan sebagai perhatian bagi orang-orang miskin. Yesus sendiri pernah mengatakan, di akhir zaman ada orang-orang yang berkata kepada Dia, “Aku bernubuat dalam nama-Mu, Tuhan; aku melakukan mukjizat dalam nama-Mu, Tuhan”, dan Tuhan mengatakan kepada mereka, “Aku tidak mengenal kamu; enyahlah kamu sekalian!” Kenapa? “Karena ketika Aku telanjang, kamu tidak memberikan Aku pakaian. Ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum. Ketika Aku di penjara, kamu tidak mengunjungi Aku.” “Kapan, Tuhan, kami pernah melihat Engkau telanjang, haus, di penjara??” “Kalau engkau tidak memberikan ini kepada mereka yang paling kecil ini, engkau tidak melakukannya bagi Aku.” Dan Saudara perhatikan, kapan Yesus telanjang? Saudara tentu membaca di Alkitab, mereka membagi undi atas pakaian-Nya. Kapan Yesus haus? Saudara membaca, di atas kayu salib Ia mengatakan, “Aku haus”. Kapan Dia di penjara? Saudara tahu, Dia turun ke dalam kerajaan maut. Inilah identitas Yesus. Inilah kemuliaan Yesus. Inilah brand name Yesus. Ia Mesias, karena Ia menyampaikan kabar baik sampai kepada orang-orang miskin. Bagaimana dengan Saudara dan saya?
Aplikasi singkat, ini bukan soal Saudara memberikan berapa kepada orang miskin setahunnya, karena itu kembali cuma akan jadi satu lagi senjata orang-orang mapan rohani; aplikasinya mirip seperti dalam khotbah Minggu lalu. Minggu lalu, kita melihat kemuliaan Kristus yang menyentuh garis batas ras bangsa Yahudi, sehingga ketika hari ini kita melihat orang-orang lain di luar Gereja, kita tidak merasa berbeda, kita malah menemukan diri kita, persamaan kita –kita menemukan warna kulit yang sama. Demikian sama halnya dengan khotbah hari ini: karena kemuliaan Kristus adalah kemuliaan yang sampai kepada orang-orang miskin –dan hanya kepada orang-orang miskin– maka jika engkau di dalam Tuhan, jika engkau miskin di hadapan Tuhan, waktu engkau melihat orang miskin, engkau bukannya menjaga jarak, engkau bukan merasa berbeda, engkau bukan mengatakan, “O, ini karena mereka malas; saya kaya karena saya rajin”, melainkan Saudara melihat warna kulit yang sama, Saudara tidak melihat berbeda.
Kiranya sebagai Tubuh Kristus, kita boleh memancarkan kemuliaan yang sama.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading