Kita sudah memasuki tahun yang kedua mencoba menjalankan Kalender Gereja; dan setelah Adven serta Natal, sekarang kita masuk ke musim berikutnya, yang sebenarnya dimulai pada 6 Januari, yaitu musim yang disebut Minggu-minggu Epifania (Epiphany). Ini salah satu musim yang sangat penting dalam Kalender Gereja, dan ini musim yang mungkin sudah sangat disconnected dengan kita. Dalam hal Adven, problem kita adalah bahwa kita sering kali tidak mengerti apa maknanya, namun sedikit banyak kita masih tahu istilahnya, tidak sedikit dari kita yang kira-kira mengerti artinya –yaitu menantikan– dan kita juga tahu momennya sebelum Natal; sedangkan Epifania, mungkin kita pikir ini apaan?? Kita sudah membahas ini tahun lalu, tapi saya rasa masih belum melekat, berhubung Epifania ini sebegitu asingnya bagi kita.
Epiphany adalah istilah Yunani yang berarti manifestasi –manifestasi diri Allah. Pertanyaannya, apa yang dirayakan/diingat dalam hari raya manifestasi ini, apa yang sedang di-manifestasi-kan di sini? Jawabannya: identitas –dan dengan demikian juga kemuliaan— Yesus Kristus. Epifania adalah minggu-minggu di mana Gereja berusaha menjawab pertanyaan “siapa sih sebenarnya Yesus itu”.
Saudara, pertanyaan identitas, selalu adalah pertanyaan mengenai kemuliaan. Misalnya begini: kalau Saudara mendengar nama brand tertentu yang Saudara tidak kenal, dan Saudara tanya “itu brand apa”, Saudara ‘kan sebenarnya bukan cuma tanya identitas secara nama tok. Contohnya: orang menyebut “Hermes”, lalu Saudara tanya, “Hermes itu brand apa?”, Saudara pasti tidak puas kalau jawabannya cuma mengatakan bahwa Hermes membikin tas, Saudara ingin tahu itu tas yang seperti apa, kualitasnya seperti apa, keunikannya apa dibandingkan LV dan kawan-kawannya. Itulah identitas brand tersebut, dan juga kemuliaannya.
Pertanyaan identitas selalu adalah pertanyaan mengenai kemuliaan. Sama halnya dengan musim Epifania, ini bukan sekadar sedang mencari jawaban siapakah Yesus itu, lalu jawabannya “Yesus adalah Anak Allah, Pribadi Kedua Allah Tritunggal” tok; tentu saja hal tersebut diungkapkan, namun lebih dari sekadar bahwa Yesus itu Allah. Kita perlu diungkapkan bahwa Yesus itu Allah yang kayak apa, Mesias yang seperti apa, kemuliaan-Nya di mana. Epifania adalah musim di mana kita disadarkan dan diingatkan lagi akan siginifikansi Yesus itu sebenarnya apa, kemuliaan Yesus itu kemuliaan yang macam apa, apa sebenarnya yang Dia bawa ke dalam dunia ini dan ke dalam hidup kita. Itulah Epifania.
Menariknya, Musim Epifania tidak berhenti di situ, karena dalam menjawab pertanyaan ini, makanan pokok yang diambil jadi bahan pembahasannya justru bukan dari tempat-tempat yang biasanya kita pikir. Misalnya, kalau Saudara ditanya “siapakah Yesus”, Saudara mungkin menjawab dengan mengambil narasi Alkitab yang menceritakan bagaimana Yesus lahir, mati, bangkit, naik –Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan– namun yang paling interesting dalam Musim Epifania adalah bahwa musim ini tidak akan menyentuh semua peristiwa-peristiwa besar tersebut sama sekali. Epifania datang setelah Natal, jadi Natal tidak masuk dalam pembahasannya; dan Epifania akan berakhir sebelum masa Lent, ini masa persiapan sebelum Jumat Agung, maka Jumat Agung juga tidak akan dibahas. Pembahasan Alkitabnya justru membahas kisah-kisah hidup Yesus di antara kelahiran-Nya dan kesengsaraan-Nya, membahas kisah-kisah kecil, kisah-kisah ordinary dalam hidup Yesus.
Kisah yang pertama tentu saja kisah setelah Natal, yaitu kisah kedatangan orang majus. Inilah kisah yang memulai Minggu-minggu Epifania, dilanjutkan dengan kisah baptisan-Nya, lalu pengajaran-Nya, mukjizat-Nya, interaksi-Nya dengan orang-orang, dan lanjut terus sampai klimaksnya pada peristiwa transfigurasi Yesus. Bagian in between inilah yang justru dilihat oleh para Bapa Gereja sebagai kisah-kisah Injil yang mengungkap/ memanifestasikan pelan-pelan akan siapa Yesus sesungguhnya, seperti apa kemuliaan-Nya, apa signifikansi brand name-Nya terhadap dunia. Ini membuat kita menyadari satu hal, bahwa sebenarnya memang kisah-kisah itulah yang paling banyak dalam kitab-kitab Injil. Isi dari keempat kitab Injil, mayoritasnya bukanlah tentang Natal, bukan cuma Jumat Agung dan Paskah, melainkan justru kisah-kisah in between-nya. Bukankah bagian ini sering kali terlewat dalam kehidupan rohani kita, dibahas hanya sesekali saja, misalnya kalau kita sedang eksposisi bagian itu lalu sekalian dibahas? Dibandingkan dengan tema Natal dan Jumat Agung serta hari-hari raya lainnya, berapa sering Saudara mendengar khotbah mengenai kedatangan orang majus, transfigurasi Yesus? Jarang ‘kan.
Saudara lihat, inilah sebabnya Musim Epifania ini dibutuhkan Gereja, setiap tahun diulang. Pertama, karena ini musim yang bernafaskan Alkitab itu sendiri. Kita sebagai orang GRII, tradisi Reformed, menekankan bahwa Alkitab adalah firman Tuhan keseluruhannya, tidak boleh main comot-comot ayat. Tidak boleh tuh seperti orang-orang dalam tradisi tertentu, yang cuma mau bahas ayat-ayat emas tertentu, biasanya ayat-ayat yang bicara mengenai kasih Yesus tok tapi tidak membahas ayat-ayat yang menyatakan murka Tuhan. Tidak boleh tuh cuma bahas ayat-ayat yang gampang tok, tapi harus mau juga membahas bagian-bagian yang sulit. Tidak boleh tuh bahas Mazmur cuma bagian-bagian akhir yang kata-kata pujian tok tapi melewatkan bagian-bagian pergumulan yang di awal dan di tengah, harus ambil semuanya. Alkitab bukan pizza yang kamu boleh ambil sepotong-sepotong tok, kamu harus ambil semuanya. Kalimat-kalimat itu adalah salah satu hal yang Saudara sering dengar di dalam GRII. Namun, kalau kita sebagai Gereja yang menjalankan habit Kalender Gereja secara setengah-setengah, maka pada dasarnya inilah yang kita lakukan: comot-comot Alkitab.
Mungkin kita tidak terang-terangan mengatakan bahwa kita comot sebagian Alkitab, tapi secara praktis itulah yang kita lakukan, kita bahas Kalender Gereja separuh. Kita membahas Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan, Pentakosta, kita merayakannya setiap tahun, sedangkan kedatangan orang majus di mana tempatnya? Di mana tempatnya baptisan Yesus? Pengajaran Yesus, mana? Mukjizat Yesus, kapan dibahasnya? Transfigurasi Yesus, mana? Kehidupan Yesus itu kita relegasi-kan jadi bahan-bahan sekunder yang boleh ada, boleh tidak, dan akhirnya kita jadi tidak tahu apa signifikansi bagian-bagian seperti itu. Dengan demikian, tidak heran ketika kita disuruh meceritakan siapa Yesus dan apa signifikansi-Nya, kita bolak-balik hanya cerita kelahiran, kematian, kebangkitan, kenaikan –masih mending kalau sampai empat kisah, jangan-jangan bahkan tidak sebanyak itu.
Saudara, jadi yang pertama, musim ini penting karena musim ini senafas dengan Alkitab itu sendiri. Namun yang kedua, yang arguably lebih penting, musim ini bukan saja senafas dengan Alkitab, musim ini menjadi solusi praktis (baca: liturgi) bagi problem kita yang comot-comot Alkitab tadi. Musim Epifania memaksa Gereja setiap tahun mengambil waktu untuk merenungkan bukan hanya kisah-kisah besar dalam hidup Yesus –seperti Natal, Jumat Agung, Paskah– tapi juga mengambil waktu untuk merenungkan apa yang terjadi in between, kisah-kisah yang sebenarnya menurut para Bapa Gereja justru mengungkap kepada kita siapa Yesus sesungguhnya, kemuliaan-Nya kayak apa, hadir dalam bentuk bagaimana. Setelah 5-10 tahun kita dibiasakan setiap tahun mengulang hal ini, maka harapannya Gereja di tempat ini menjadi Gereja yang lebih mengenal Yesus, bukan cuma urusan lahir-mati-bangkit-naik tok. Inilah gunanya pengulangan. Inilah sebabnya Gereja welcome terhadap pengulangan seperti ini.
Pengulangan, rutinitas, hal-hal yang biasa, ordinary –sebagaimana sudah kita bicarakan berkali-kali– itu bukanlah musuh bagi Gereja yang sejati. Saudara coba lihat error kita selama ini, misalnya bahwa kita cuma kenal Yesus dalam urusan lahir-mati-bangkit-naik tok, itu efek dari mana? Dari pengulangan yang salah, karena yang diulang-ulang hanya bagian-bagian itu saja, sehingga kita pun tahunya cuma bagian-bagian itu saja. Dengan demikian, solusinya bukanlah mengurangi pengulangan; kita justru harus menambah pengulangan dalam Gereja. Kita harus mengulang lebih banyak kisah Yesus dari A-Z setiap tahun; dan itu sebenarnya sesuatu yang sudah didesain sejak abad-abad pertama lewat Kalender Gereja.
Saudara, inilah sebabnya saya pernah mengatakan “orang Kristen Injili itu aneh”; anak-anak yang lahir dalam keluarga Kristen Injili, yang merasa tidak pernah mengalami peristiwa pertobatan besar, mereka merasa insecure, senantiasa bertanya-tanya, “Saya ini imannya bukan lahir dari ledakan; saya ini imannya lahir dari pengulangan –dari siram-pupuk-tanam, siram-pupuk-tanam, siram-pupuk-tanam, jadi iman saya sejati atau tidak, ya??” Aneh ‘kan. “Iman saya berakar kuat atau tidak ya??” –aneh ‘kan pertanyaannya. Saudara, kalau pun ada hal yang mau bikin insecure –saya bukan mengatakan ada yang perlu bikin insecure— harusnya justru yang imannya hasil sistem kebut semalam itu.
Pengulangan bukanlah musuh Gereja; rutinitas bukanlah musuh Gereja. Rutinitas yang kudus, liturgi, adalah justru salah satu berkat karunia Tuhan yang paling besar dan berdampak dalam Gereja. Kita sudah membahas hal tersebut; dan sekarang kita akan menghidup kebenaran ini, tahun demi tahun, demi tahun, demi tahun, salah satunya lewat Kalender Gereja –dengan kita mulai masuk salah satu bagian Kalender Gereja yaitu musim Epifania hari ini.
Hari ini kita akan membahas hal yang dibahas dalam Hari Raya Epifania, yaitu tanggal 6 Januari (meski hari ini sudah lewat); perikop yang selalu dibaca dan dibahas pada tanggal tersebut adalah mengenai kedatangan orang majus. Kita membahas ini bukan untuk menanyakan identitas dan kemuliaannya orang majus; kita mau membahas bagian ini karena mau melihat bagaimana penulis Injil –dalam hal ini Matius– menceritakan hal ini justru untuk mengungkap, memanifestasikan, meng-epiphany-kan identitas Yesus dan kemuliaan Yesus. Tahun lalu, waktu kita memulai pembahasan Kalender Gereja, kita sudah sempat membahas bagian ini di Persekutuan Doa, yang waktu itu tepat tanggal 6 Januari. Hari ini kita mau mengulang pembahasannya dalam Kebaktian Umum supaya semua jemaat mendengar lagi –omong-omong, memang pengulangan ‘kan bukan musuh toh.
Kita membaca dari Matius 2, keseluruhan ayatnya, ayat 1-23; dan ada 4 ayat yang saya minta Saudara sekalian membacanya, yaitu ayat 5-6, ayat 15, ayat 17-18, ayat 23. Ada apa dalam ayat-ayat yang saya minta Saudara baca? Coba pikirkan apa yang mirip dari empat bagian tersebut, dan nanti kita akan bahas.
Kita mulai dengan membicarakan gambaran payung besar mengenai cerita kunjungan orang majus ini. Kita menemukan cerita kunjungan orang majus ini hanya dalam kitab Matius saja; sebagaimana juga kisah tentang para gembala di padang atau paduan suara malaikat juga hanya kita temukan di kitab Lukas. Dengan demikian pertanyaan yang menarik adalah: Matius, ketika menceritakan asal mula Injil Yesus Kristus, dia memakai kisah apa untuk set the tone, untuk memulai kisah hidup Yesus ini? Matius memilih untuk fokus pada kisah kedatangan orang majus dari Timur; kenapa begini?
Pertama-tama, adalah berguna untuk kita menyadari terlebih dulu, bahwa Matius dalam gaya penceritaannya memakai gaya yang sangat ekonomis. Matius hampir tidak memberikan detail apapun mengenai orang majus. Ini satu hal yang menarik, karena kalau Saudara bandingkan dengan tradisi Gereja hari ini, sering kali mengenai orang majus justru terlalu buanyakkk detail-detail yang ditambah-tambahkan oleh Gereja sepanjang zaman, yang tidak jelas dari mana. Matius tidak memberitahu kita berapa jumlah orang majusnya, namun kita sering kali berpikir jumlahnya tiga; ini sebenarnya bukan dari Alkitab, tapi sekadar karena inferensi dari jumlah hadiah yang dibawa ada tiga, tapi kita sebenarnya tidak tahu berapa jumlah orangnya, Maitus tidak memberitahu. Matius tidak memberitahu kita namanya siapa, bangsanya bangsa dari mana, karakteristiknya bagaimana. Namun Saudara melihat legenda/tradisi mengenai orang majus sangat banyak, nama-nama mereka pun ada dan sudah pakem berabad-abad, yaitu Baltasar, Melkior, dan Gaspar –yang entah dapat dari mana. Ras mereka pun demikian, yang satu digambarkan berkulit putih, lalu kulit coklat, dan kulit hitam (kalau Saudara melihat gambar-gambar orang majus di kartu-kartu Natal, dsb., biasanya digambarkan warna kulit mereka kayak begitu). Penggambaran-penggambaran mengenai mereka biasanya dipenuhi dengan jubah warna-warni yang mewah, unta-unta dengan pundi-pundinya. Jadi, legendanya sangat banyak detail; dan yang paling kacau, tulang-tulang mereka konon disimpan di sebuah katedral di Köln, Jerman. Yang menarik, ketika Saudara membandingkannya dengan yang Matius tulis, Saudara mendapati bahwa semua detail itu sama sekali tidak penting bagi Maitus sendiri. Kenapa demikian? Pertama-tama, sudah pasti Matius tidak sedang menulis untuk menginspirasi orang-orang di gereja yang jadi tukang bikin kostum anak-anak Sekolah Minggu untuk acara prosesi orang majus; itu bukan tujuan Matius.
Matius menulis dengan detail yang begitu sedikit; kenapa? Sederhana saja, karena Matius –sebagaimana para penulis Alkitab yang lain– menulis bagi konteks zamannya, bagi situasinya, bagi komunitas Kristennya, bagi Gerejanya; dan Gereja pada hari itu sedang membutuhkan arahan untuk beberapa hal –dan arahan yang dibutuhkan bukanlah cosplay guide book untuk anak-anak Sekolah Minggu. Jadi, apa konteksnya?
Dalam zaman Matius hidup, sekitar pertengahan abad pertama, zaman di mana Kekristenan baru mulai lahir dan menyebar, zaman Gereja-mula-mula, ada satu fenomena yang semakin lama semakin bertambah jelas, dan kita melihat hal ini dalam KIsah Para Rasul atau surat-surat Paulus. Fenomena ini cukup mengganggu bagi banyak orang Kristen, yaitu mereka melihat trend yang makin lama makin jelas adalah: pengikut Yesus –Gereja Kristen–makin lama makin sedikti bangsa Yahudinya, orang-orang Yahudi yang jadi Kristen makin lama makin minoritas. Ini meresahkan bagi banyak orang dalam Gereja-mula-mula, bukan cuma bagi orang-orang Kristen asal Yahudi tapi juga bagi orang-orang Kristen dari bangsa-bangsa non-Yahudi. Mereka mulai berpikir, kalau Gereja semakin lama semakin dipenuhi orang-orang non-Yahudi, apakah ini berarti nubuatan-nubuatan para nabi Perjanjian Lama mengenai Israel yang akan dikembalikan dalam kejayaannya semuanya palsu, gagal? Kalau Yesus sungguh-sungguh Mesias yang dinubuatkan kitab sucinya orang-orang Yahudi, lalu kenapa sekarang yang menyembah Dia kebanyakan orang-orang non-Yahudi, dan mayoritas orang-orang Yahudi di sinagoge-sinagoge sendiri pun curiga terhadap kami, atau membenci kami, bahkan menganiaya kami? Yesus, Sang Mesias, adalah raja orang Yahudi, lalu bagaimana ini, kalau pengikutnya malah kebanyakan orang-orang non-Yahudi? Saudara lihat, ada ketegangan seperti itu.
Ini adalah zaman di mana ketegangan makin lama makin memuncak antara Gereja yang masih bayi versus Sinagoge Yahudi yang sudah berabad-abad. Dalam zaman seperti inilah Maitius menulis Injinya. Dia menyelidiki peristiwa-peristiwanya dari berbagai sumber, dan dia menuliskan kisah orang majus ini, kisah yang tidak diceritakan oleh penginjil-penginjil lain. Matius tidak tertarik dengan gembala-gembala, kandang binatang, dsb.; semua yang Matius ingin kita perhatikan dalam awal mula Injil Yesus Kristus ada pada peristiwa orang majus ini. Kenapa? Inilah yang jadi pertanyaan bagi kita.
Kita mulai dengan menjawab “kenapa Matius tidak mulai dengan menceritakan detail mengenai diri orang majus”. Sekali lagi, di sini tidak diberitahukan mengenai nama mereka, jumlah, bajunya, dsb. Kita hanya tahu mereka disebut “orang majus”; dan orang majus dalam bahasa Yunani simply berarti orang-orang bijak, orang-orang terpelajar. Bahwa mereka membaca bintang, simply itu adalah salah satu aspek sebagai orang bijak pada zaman itu. Asumsi orang pada waktu itu, seluruh alam semesta adalah satu, harmonis antara langit dan bumi, sehingga kalau ada peristiwa besar di bumi, maka akan ada tanda-tandanya di langit –seperti itu kira-kira cara berpikirnya. Ini bukan astrologi dalam arti ramalan-ramalan seperti kalau orang pada zaman kita sekarang membaca horoskop. Ini mungkin lebih mirip dengan kalau orang hari ini mengatakan, “Saya mau membaca zaman” –kira-kira seperti itu. Detail yang lain, disebutkan bahwa mereka berasal dari Timur. Ini sebutan yang juga sangat ambigu. Sebagaimana tadi mereka disebut sebagai orang bijak, tidak jelas bijak dalam hal apa, datang dari mana, demikian juga waktu dikatakan mereka berasal dari Timur, ini juga ambigu, karena timurnya Israel ada banyak sekali daerah dan luas banget, ada Persia, Arab, Babilonia, dst. Jadi, kenapa Matius sangat sedikit menuliskan detail orang-orang ini, dan detail yang diberikan pun sangat ambigu dan luas? Jawabannya sederhana: karena dengan deskripsi yang simpel ini pun, Matius merasa tujuannya sudah tercapai, poinnya sudah tercapai.
Jadi apa poinnya, apa yang kita bisa tarik dari semua ini, yang sangat luas dan ambigu ini? Yaitu bahwa orang-orang majus yang datang ini adalah orang-orang dari bangsa-bangsa non-Yahudi. Itulah poinnya. Poinnya bukanlah untuk menceritakan baju mereka kayak apa, ras mereka apa saja; poinnya simpel, Matius mau memperlihatkan bahwa mereka ini orang-orang kafir, orang-orang yang tadinya bukan termasuk dalam bangsa pilihan Allah.
Sekarang Saudara bisa mengerti kenapa Matrius memilih untuk fokus pada hal ini, yaitu karena dia sedang hidup dalam zaman di mana Gereja Kristus mulai –dan semakin banyak–didominasi bangsa-bangsa non-Yahudi. Itu sebabnya Matius mau menceritakan kepada jemaat: “Lihat deh, ternyata dari awal kelahiran-Nya pun sudah ada bayang-bayang dari motif ini”. Matius mungkin mengatakan kepada orang-orang Yahudi, “Hai! Kamu orang Yahudi, kamu percaya semua bintang di langit adalah ciptaan Allah dan berada di bawah kendali-Nya, maka lihatlah, siapa sesungguhnya yang memimpin orang-orang bangsa non-Yahudi itu kepada Yesus, yaitu Allah sendiri! Tidak lain dari tangan Sang Pencipta sendirilah yang memerintahkan sebuah bintang untuk memimpin orang-orang non Yahudi kepada Raja orang Yahudi”.
Matius mau menunjukkan, bahwa memang itulah exactly kedatangan Mesias, inilah kisah rekonsiliasi antara Takhta Israel dengan bangsa-bangsa non Israel. Itulah yang memang jadi tujuan sesungguhnya kedatangan Mesias; dan untuk itu, Dia memberikan bukti, yaitu bahwa hal tersebut sudah dinubuatkan dari mulut Nabi Yesaya. Yesaya 60:3 mengatakan: “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu”; ada “terang”, ada “cahaya”, dan ternyata itu terang bintang. Yesaya 60:6 mengatakan: “Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa”; Midian dan Efa adalah daerah-daerah timurnya Israel. Selanjutnya: “Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN.”
Omong-omong, urusan “timur” ini juga menarik, karena seperti kita sudah pernah bahas, timur dalam perjanjian Lama hampir selalu bukan cuma menandakan arah geografis, tapi melambangkan permusuhan. Adam dan Hawa dibuang ke timur Eden. Kain mengembara ke sebelah timur. Waktu Ismail dikatakan hidup dalam perseteruan dengan saudara-saudaranya (sebagaimana diterjemahkan LAI) sebenarnya kata-kata literal dalam bahasa Ibraninya adalah Ismail tinggal di sebelah timur dari saudara-saudaranya; dalam hal ini LAI menerjemahkan dengan sangat tepat karena mengerti simbolisasi bahasa Alkitab. “Timur”, sangat sarat makna dalam Perjanjian Lama. Itu sebabnya dalam hal orang majus, negara persisnya dari mana tidaklah penting, karena makna yang Matius mau bawa adalah: bahwa sekarang dalam Perjanjian Baru, dalam Anak Allah, timur direkonsiliasi, timur bukan lagi musuh, orang majus datang dari timur untuk menyembah Raja yang sejati.
Saudara, dengan demikian datangnya bangsa-bangsa lain dari timur kepada Raja orang Yahudi, bagi Matius –dan bagi orang Yahudi– adalah tanda-tanda zaman akhir. Itu sebabnya kalau Saudara lompat ke belakang, ke kitab Wahyu, salah satu ciri khas Yerusalem yang baru adalah bahwa para raja bangsa-bangsa dunia datang ke Yerusalem membawa persembahan mereka kepada Allah. Ini berarti Matius mau mengatakan kepada Gereja pada zamannya, Gereja yang sedang bersitegang urusan bangsa-bangsa ini, demikian: “Hai! Jangan heran dengan Gereja yang makin lama makin dipenuh bangsa-bangsa non-Yahudi. Ini bukan gagalnya nubuatan Perjanjian Lama lho, ini justru penggenapannya. Momen di mana bangsa-bangsa asing datang ke kaki Raja orang Yahudi ini justru adalah tanda zaman akhir yang dinubuatkan para nabi tersebut”.
Omong-omong, zaman akhir –atau akhir zaman– adalah sesuatu yang bagi orang Yahudi dinantikan dengan amat sangat, karena itu adalah masa pembaruan, bukan masa penghancuran. Itu bukan seperti Hollywood zaman sekarang yang senangnya bikin orang takut terhadap akhir zaman, lalu jagoan-jagoannya Hollywood selalu berhasil menunda datangnya akhir zaman. Seandainya muncul film yang jagoannya versi Yahudi, malah bakal terbalik, jagoan Yahudi ini akan berhasil mendatangkan zaman akhir, mempercepat datangnya hari-hari terakhir. Itulah yang sesuai Alkitab, terbalik dari yang tadi. Itu sebabnya kalimat terakhir yang Saudara baca dalam kitab Wahyu adalah: “Come, Lord Jesus!” —come, segeralah datang.
Kembali ke pembahasan kita. Inilah kemuliaan Kristus yang sedang dimanifestasikan dalam Epifania; kemuliaan Kristus itu tidak abstrak. Kemuliaan Yesus itu mulianya tidak abstrak; kemuliaan Yesus itu bukan karena Dia bercahaya terang-terang ‘gak jelas, melainkan kemuliaan yang sangat jelas, konkret, riil. Ini kemuliaan yang mulia, karena kemuliaan ini datang bagi orang-orang yang tadinya berada di luar garis batas kaum pilihan, di luar garis batas kaum perjanjian. Ini kemuliaan yang mirip seperti misalnya begini: Saudara diundang seseorang datang ke rumahnya; Saudara masuk ke Ruang Tamu dan di Ruang Tamu itu ada banyak foto-foto keluarga. Ada foto keluarga yang besar, formal, dan Saudara lihat di situ ada orangtua yang berkulit putih, ada anak-anak yang juga berkulit putih, tapi di tengah-tengahnya ada beberapa anak yang berkulit warna lain. Saudara mulai bingung dan berpikir ‘koq bisa begini, mungkin mereka itu anak adopsi’. Saudara beralih ke foto-foto yang lain, yang lebih informal, lebih casual, foto-foto ketika mereka sedang bermain, jalan-jalan, makan-makan; dan dalam foto-foto tersebut, anak-anak yang berkulit warna lain ini dicintai oleh orangtua kulit putih tersebut, dan anak-anak kulit putih yang lain pun menerima mereka. Ada foto mereka sedang mencium, bermain, terlihat menerima sebagai anggota keluarga, kakak ataupun adik. Ini mulia, Saudara. Inilah mulia yang riil, konkret, tidak abstrak. Inilah kemuliaan Kristus.
Inilah kemuliaan Yesus Kristus yang dinyatakan bukan sebagai sampingan, bukan sebagai side effect, tapi sebagai kisah-kisah pertama dalam kehidupan-Nya, kisah yang setting the tone, kisah yang memimpin kisah-kisah selanjutnya. Ini sama sekali tidak abstrak. Ini kemuliaan yang bukan cuma urusan cahaya-cahaya terang tok. Sekarang Saudara bisa mengerti kenapa hal ini dirasa perlu dirayakan oleh Gereja turun-temurun. Namun yang menarik, urusan kemuliaan ini tidak cuma berhenti di situ, karena di bagian berikutnya Matius membuka kepada kita bahwa ada yang kemudian jadi insecure oleh karena semua ini.
Herodes merasa terancam ketika orang-orang majus datang ke Yerusalem dan bertanya: “Di mana lahirnya Raja orang Yahudi itu?” Ini pertanyaan yang sangat mengancam, yang membuat Herodes pikir, “Maksud lu apa?? Jadi gua ini apa??” Tentunya maksud Matius di sini jelas, bahwa Herodes memang bukan Raja orang Yahudi, dia sekadar seorang userver, seorang perampas kuasa, raja palsu, imposter king, bahkan dia sebenarnya bukan orang Israel, dia orang Edom. Legendanya –demikian Yosefus mengatakan– Herodes ini punya catatan silsilah yang dia bakar sendiri, supaya tidak ada orang yang tahu bahwa dia sebenarnya bukan orang Yahudi. Namun tentunya bukan hal tersebut bukti yang dikutip Matius; Matius memberikan satu bukti, alasannya raja yang ini adalah raja perampas kuasa, raja palsu, bukan raja orang Yahudi sesungguhnya, yaitu dengan mencatat di bagian ini bahwa yang disebut “raja orang Yahudi” tersebut ternyata tidak kenal Kitab Suci orang Yahudi, dan harus konsultasi dulu dengan imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat mengenai isinya, mengenai ‘di mana Mesias itu akan dilahirkan’. Ini malu-maluin! Hal ini ‘kan bukan data Alkitab yang pojokan, yang obscure dan tersembunyi entah di mana, ini informasi dasar mengenai figur sentral keagamaan Yahudi –dan Herodes tidak tahu. Singkat cerita, ketika Bayi Yesus dan orangtuanya berhasil luput dari tangan Herodes, si preman ini ngamuk dan membantai semua bayi lelaki orang Yahudi di Betlehem usia dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang kira-kira dia tahu kapan Raja tersebut dilahirkan. Jadi berarti Herodes ini raja yang membantai rakyatnya sendiri, membantai masa depan kerajaannya sendiri. Ini bukti yang sangat jelas bahwa dia bukan raja yang sejati.
Omong-omong, Saudara melihat sekali lagi di sini –menyambung Khotbah Natal kita– bahwa tradisi terang Natal yang tidak lahir dari kegelapan Adven, tidaklah punya tempat di Gereja. Waktu saya riset mengenai Epifania, saya sampai menemukan ada pendeta yang menulis begini: Epifania ini kesempatan kita untuk bikin prosesi anak-anak Sekolah Minggu, dengan cosplay baju-baju orang majus –ada yang jadi orang majusnya, ada anak-anak kecil yang jadi untanya– masuk ke dalam gereja; karena dengan begitu nantinya para orangtua serta kakek nenek mereka akan datang, ini jadi kesempatan untuk memenuhi gereja, dst. Ini ironis, Saudara, karena detail mengenai nama, baju, unta-unta, dan segala macam lainnya itu entah dari mana, itu hal-hal yang tidak ada di Alkitab yang sering kali menjadi center stage hari ini. Dalam Natal kemarin, kita menyebutkan bahwa urusan sterilitas palungan dan kandang binatang itu tidak ada di Alkitab; dan ironisnya justru kisah yang ada di Alkitab malah disingkirkan, dipinggirkan, atau bahkan dihapus sama sekali. Misalnya, jelas-jelas pembantaian bayi di Betlehem adalah kisah yang Matius ceritakan beserta dengan kedatangan orang majus, tapi bagian ini dilupakan, disensor. Kenapa bagian ini dihapus? Karena ini kisah yang gelap, ini kisah yang merusak image kita mengenai Natal. Ini kisah yang mengingatkan kita pada satu hal yang kita tidak mau ingat, bahwa kelahiran Yesus, asal-muasal dari Injil Yesus, bukanlah suatu peristiwa manis yang bisa dikenang secara nostalgic.
Pertanyaan berikutnya, mengapa Matius mencatat bagian ini? Mengapa dia tidak berhenti pada kedatangan orang majus, lalu urusan selesai? Mengapa musti ada cerita pembantaian ini? Kedatangan orang majus itu jelas bayang-bayang yang mengantisipasi realitas akhir zaman di mana bangsa-bangsa dunia datang berduyun-duyun di kaki Takhta Mesias, lalu kenapa Matius harus menambahkan kisah yang gelap ini? Yang tadi itu jelas, kemuliaan Yesus nyata di situ, sedangkan kisah yang gelap ini di mana?? Sekali lagi, jawabannya simple: karena konteks jemaatnya Matius.
Jemaat Matius bukan cuma ada ketegangan internal di antara orang-orang Kristen Yahudi dan orang-orang Kristen non-Yahudi; mereka juga ada ketegangan eksternal, karena ini merupakan zaman di mana orang-orang Kristen bertanya-tanya mengenai penderitaan dan penganiayaan di tangan orang-orang Yahudi maupun orang-orang Romawi. Dalam konteks seperti itulah Maitius mengharapkan jemaatnya membaca bagian ini dan mengerti satu hal: bahwa kedatangan Yesus, Sang Mesias, ke dalam dunia, dari awal sudah ditandai bukan hanya dengan datangnya orang-orang dari luar garis batas yang kemudian dirangkul, tapi juga ditandai dengan bahaya, penderitaan, kematian, pembantaian, dan ratapan.
Dari sejak awal hidup-Nya –sekali lagi, ini kisah-kisah yang pertama, kisah yang setting the tone— Yesus sudah dirundung ancaman. Yesus sudah merasakan pengalaman jadi pengungsi, sebelum Dia merasakan pengalaman memiliki rumah. Yesus terbuang ke Mesir selama beberapa tahun, sebelum Dia merasakan apa artinya punya tanah air –mirip dengan orang-orang Israel kuno. Sebelum Yesus belajar berjalan, Dia terlebih dahulu merupakan seorang pelarian. Dengan demikian, poinnya sekali lagi adalah: Anak Allah sudah mengalami penderitaan manusia sejak awal hidup-Nya. Ini berarti bagi Matius message-nya masih tetap sama mengenai siapa Yesus, apa brand-Nya Yesus, apa signifikansinya Yesus, yaitu bahwa Injil Yesus Kristus dilahirkan di tanah dan di masa yang ada ketegangan, problem, kekerasan, ketakutan. Jadi, buanglah semua gambaran adegan-adegan Natal yang penuh dengan kedamaian; Natal Alkitabiah itu brutal –sebagaimana kita sudah bicarakan dalam Khotbah Natal.
Meski demikian, tidak berhenti di situ juga. Apakah Saudara sekarang sudah figure out tentang pertanyaan saya di awal tadi, bagian yang saya minta Saudara baca tadi itu bagian apa? Apa kemiripan dari empat bagian yang saya minta Saudara baca? Yaitu bahwa keempatnya adalah bagian di mana ada frase “demikian”, “ada tertulis”, “demikialah firman”, “demikianlah digenapkan firman”, yang merupakan bagian-bagian di mana Matius mengutip dari Perjanjian Lama. Jadi berarti, dalam perikop ini Matius menunjukkan bahwa tidak kurang ada empat bagian Perjanjian Lama yang digenapi; khususnya secara spesifik Matius membandingkan peristiwa pembantaian bayi di Betlehem dengan ucapan nabi Yeremia di Perjanjian Lama: (ayat 17-18) Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia: “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.”
Apa tujuan Matius, kenapa dia memasukkan bagian ini? Alasannya sama. Pada poin pertama tadi, Gereja punya problem: “Koq, yang mengikut Raja orang Yahudi malah orang-orang non-Yahudi??” dan Matius menjawab bahwa memang dari awal kisah hidup-Nya seperti itulah warnanya, karena ini tidak lain dan tidak kurang dari penggenapan Firman Tuhan dari para nabi ratusan tahun silam. Kemudian poin yang kedua, Gereja zaman Matius punya problem yang lain: ”Koq, kita dianiaya sih; koq, kita mengikuti Raja alam semesta tapi malah penuh penderitaan sih??” dan Matius menjawab yang sama juga, bahwa memang dari awal kisah hidup-Nya seperti itu warnanya, karena ini juga tidak lain dan tidak kurang adalah penggenapan firman Tuhan dari para nabi ratusan tahun silam.
Saudara lihat, poinnya Matius bukan cuma dalam hal bangsa-bangsa asing saja Perjanjian Lama digenapi, tapi bahkan juga dalam bagian yang gelap ini ada nubuatan firman Tuhan yang digenapi, yaitu teriakan Yeremia tadi. Matius mau menekankan bahwa di dalam Yesus, ketika Saudara melihat kegelapan pun, justru di balik itu Saudara melihat firman Tuhan sedang digenapi. Memang inilah cara Penebus Israel akan datang. Memang seperti inilah cara Allah akan membebaskan umat-Nya dan membawa keadilan ke dalam dunia. Bukan dengan datang dalam kenyamanan, karena toh dunia memang sedang berada dalam kemalangan! Bukan dengan mempunyai hidup yang gampang, ketika dunia sedang mengalami kekerasan dan ketidakadilan! Jika Ia adalah sungguh Imanuel, Allah beserta kita, maka Ia beserta kita di tempat yang justru paling sakit. Inilah poinnya: meski dari Rama terdengar teriakan dan ratapan, meski Israel mengalami tangis dan duka, Matius insist hal-hal tersebut tidak kurang dan tidak lain dari langkah-langkah di mana sesungguhnya pertolongan sedang datang, rencana keselamatan Tuhan sedang kian mendekat dan bukannya menjauh. Sejak awal Matius sudah mewanti-wanti pembacanya, bahwa Yesus membawa keselamatannya meskipun segala sesuatu terlihat tanpa harapan. Indeed, Yesus membawa keselamatan-Nya melalui dan di dalam kondisi yang tanpa harapan. Dan kenapa hal ini perlu datang sejak awal, tentunya karena ini bayang-bayang, antisipasi, dari kisah salib itu sendiri.
Sekarang aplikasinya, apa yang kita bisa belajar dari ini semua? Ini Minggu Epifania yang pertama; kenapa kita mengingat dan merayakan ini dalam Minggu-minggu Epifania? Karena ada sesuatu dalam kisah ini yang menyatakan seperti apa kemuliaan Kristus dan identitas Kristus; dan kita butuh hal ini karena kita sering kali lupa kemuliaan Yesus itu kemuliaan macam apa, brand-nya Yesus itu brand apa. Bagi kita, istilah kemuliaan Yesus abstrak, maka kita seringkali sadar atau tidak sadar memasukkan pengertian kemuliaan versi kita dan versi dunia ke dalamnya. Tetapi, kemuliaan Yesus itu spesifik; apa kemuliaan-Nya?
Yang pertama tadi: Ia mulia karena Ia datang bukan hanya kepada orang-orang dalam, orang-orang insider; Ia mulia karena Ia datang kepada orang-orang di luar garis batas tersebut. Kepada orang-orang yang tadinya bukan umat-Nya, Ia memanggil mereka masuk. Siapakah ini? Ini adalah Saudara dan saya. Dia menarik kita masuk ke dalam rangkulan kasih keluarga-Nya. Kita sekarang masuk dalam foto-foto keluarga Kerajaan Allah, meskipun warna kulit kita lain. Kita patut mensyukuri hal ini; dan ini harusnya menjadi kekuatan untuk mendorong kita bisa mau keluar dan meneruskan hal tersebut kepada orang lain yang sekarang belum menjadi umat-Nya.
Omong-omong, penginjilan bukan cuma KKR Regional. Kita pakai contoh satu ini saja: dalam mempertimbangkan urusan KKR Regional, pertimbangan utama Saudara apa? Harusnya sih bukan urusan apa yang Saudara harus keluarkan, baik itu biaya ataupun kemampuan Saudara berbicara, yang biasanya jadi pertimbangan utama; tentu hal tersebut perlu dipertimbangkan, tapi pertimbangan utamanya harusnya lain, bukan apa yang kita perlu keluarkan melainkan apa yang kita telah terima terlebih dahulu. Gampangnya begini: kalau kita pergi KKR Regional, kadang-kadang begitu kita bertemu anak-anak daerah, kita terpaku, kita bingung, semua persiapan langsung sirna. Kenapa? Karena kita merasa kita beda banget dengan mereka. Tapi kalau Saudara mendengar firman hari ini, dan tahun demi tahun kita mengingatnya terus, maka ketika kita bertemu dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan, harusnya kita malah menemukan perasaan bahwa kita ini mirip dengan mereka. Kita menemukan orang-orang yang “warna kulitnya” justru sama dengan warna kulit kita, sehingga kita kepingin mereka ikut masuk dan menikmati apa yang kita telah ikmati terlebih dahulu. Inilah yang membuat kita bisa berjuang latihan khotbah, bukan karena kita merasa mampu. Atau kalau kita aplikasikan ke hal lain, inilah yang membuat kita bisa mau stay di OSG/KTB yang kadang kita merasa susah nyambung. Inilah yang membuat kita bisa bertahan dalam kepengurusan yang sering kali frustrating dan exhausting. Ini karena kita telah melihat kemuliaan Kristus, dan kita terus-menerus diperlihatkan.
Yang kedua, kita juga diingatkan bahwa inilah kemuliaan yang harusnya bukan cuma mewarnai Sang Kepala tapi juga sang Tubuh. Itu berarti kemuliaan Gereja, kemuliaan kita sebagai Tubuh Kristus, tidak cuma datang pada saat-saat kita merasa hidup kita nyaman; ini kemuliaan yang justru bisa datang dalam dunia yang mengalami ketegangan, kekerasan, konflik, penganiayaan. Di situ kemuliaan Kristus ternyata masih tetap bisa dinyatakan, dan sometimes kita malah melihat kemuliaan lebih jelas dinyatakan dalam momen-momen seperti itu.
Ini kemuliaan yang tidak menghindari kegelapan dunia, kesulitan-kesulitan dunia. Ini kemuliaan yang terjadi ketika Allah justru masuk ke dalam semuanya itu. Ini kemuliaan yang bukan cuma membawa solusi, melainkan membawa solidaritas. Dan itu berarti, kita sebagai Tubuh-Nya, Keluarga-Nya, kita juga menyadari bahwa kemuliaan kita sebagai orang Kristen harusnya juga tidak dihalangi untuk bisa hadir dalam momen-momen ketegangan seperti ini.
Saudara, tahun lalu, 2024 adalah tahun politik bukan cuma di Indonesia tapi juga di Amerika. Ini berdampak ke banyak hal. Kalau mengenai presiden Indonesia, sudah pasti ngaruh ke Indonesia, sedangkan presiden Amerika dampaknya tidak cuma di Amerika ‘kan. Beberapa minggu lalu saya membaca bahwa universitas-universita Amerika sampai mengirim email blast kepada semua mahasiswa yang internasional, supaya kalau mereka sedang liburan atau balik ke negaranya masing-masing, mereka harus segera cepat-cepat balik ke Amerika paling tidak seminggu sebelum Trump memulai masa jabatannya. Kenapa sampai perlu email blast kayak begini? Karena takut kalau nantinya ada restriksi imigrasi dsb. meski sudah punya visa student pun.
Saya tidak tahu Saudara merasa bagaimana dengan presiden-presiden yang sudah terpilih itu; dan tentunya tahun 2025 ini masih akan ada banyak hal lain, ketegangan yang lain, penderitaan yang lain, namun kekuatan kita adalah: melihat bahwa dalam kisah ini Matius insist satu hal, bahwa kemuliaan Tuhan –dengan demikian kemuliaan Kristus, dengan demikian kemuliaan Tubuh Kristus– bukan cuma lahir dalam masa ada pemerintahan yang beres; kemuliaan Kristus malah dinyatakan dalam momen ketika yang memerintah adalah raja yang kerjanya membantai bayi. Kita belum sampai ke sana, Saudara, tapi dalam momen dan situasi seperti itu pun ternyata kehendak Tuhan dan firman Tuhan tidak pernah terhalang untuk bisa digenapi. Apakah ini gambaran kita, harapan kita, warna yang kita harap mewarnai Gereja GRII Kelapa Gading dalam tahun ini? Saya tidak tahu, tapi saya ingin berdoa untuk itu, dan saya harap Saudara mau ikut berdoa dengan saya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading