Ini adalah suatu gambaran suasana di surga yang sedang dibukakan kepada Yohanes. Untuk apa sebenarnya gambaran ini diberikan kepada kita? Apa relevansinya bagi kita hari ini?
Mungkin Saudara pernah menonton film-film science fiction. Film science fiction yang bagus, biasanya adalah film-film yang di dalam kisahnya ditemukan bahwa dunia tempat kita hidup ini ternyata sebuah kelereng yang kecil di dalam sebuah realita yang jauh lebih besar. Idenya simpel, yang hari ini kita pikir adalah realita, ternyata punya dimensi-dimensi tersembunyi, dan setelah kita meng-aksesnya, kita baru tahu bahwa yang kita sebut realita hanyalah sebagian kecil dari realita yang jauh lebih besar. Contohnya film The Matrix, di situ mereka baru sadar bahwa ternyata selama ini mereka hidup dalam suatu simulasi saja; ada dunia yang nyata, yang asli, di luar dunia yang selama ini mereka lihat yang ternyata cuma bayang-bayang.
Ide seperti itu sudah muncul sejak zamannya Plato. Plato mempunyai satu analogi, yaitu analogi “gua”. Dia mengatakan bahwa kita sebenarnya hidup dalam sebuah gua. Bentuk-bentuk yang kita lihat, sebenarnya hanya bayangan seperti orang sedang bermain jari di dalam gua gelap yang ada sinar cahaya dari api. Bayangan-bayangan itu ter-proyeksi pada dinding gua, dan kita melihat bentuk seperti anjing lalu mengatakan “itu anjing”, dsb. Selanjutnya, keselamatan terjadi ketika kita bisa keluar dari gua tersebut dan menemukan bahwa ternyata yang di luar itulah aslinya. Yang tadinya kita pikir “anjing” ternyata cuma “bayang-bayang anjing”. Apa kira-kira dampaknya terhadap hidup kita, kalau dunia kita seperti itu, dan Saudara menemukan akses kepada realita yang lebih tinggi itu? Jagoan dalam film-film sci-fi biasanya seorang penyendiri, karena dia satu-satunya orang yang pernah mencicipi dan melihat sendiri realita yang lebih luas itu, sehingga ketika dia kembali ke realita yang sempit, cara hidupnya berubah. Cara dia memandang banyak hal juga berubah. Yang orang lain katakan sebagai ‘barang yang agung, asli, signifikan’, bagi dia cuma picisan dan rendah karena dia tahu itu cuma bayang-bayang. Sebaliknya, hal-hal yang orang lain anggap sebagai picisan, lemah, rendahan, tidak berguna, di mata dia mungkin justru sesuatu yang sangat penting dan agung. Ketika kita membaca bagian gambaran takhta Allah di surga ini, kita –melalui Yohanes– sedang diperbolehkan mengintip realita yang di atas itu, realita surgawi itu. Dan itu berarti kitab Wahyu sedang mengatakan: “Ayo, mari, naiklah ke atas, ke realita yang ultimat ini, keluar dari ‘gua-guamu’ itu. Lihatlah hal-hal yang selama ini kamu cuma lihat bayang-bayangnya.”
Apa yang Yohanes lihat? Apa realita ultimat yang dia lihat itu? Yang dia lihat terjadi di surga –realita yang ultimat itu– adalah: ibadah (worship). Tentu saja Yohanes dalam waktu yang singkat dan dalam keterbatasannya sebagai manusia tidak bisa melihat keseluruhan realita surgawi itu, apalagi menuliskannya kepada kita. Tapi saya percaya, yang dia lihat bukan cuma pinggiran dari realita surgawi, melainkan pusat dan esensi dari realita tersebut, karena dia melihat ruang tempat takhta Allah.
Ide ini juga Saudara bisa temukan ini di mana-mana di keseluruhan Alkitab, bahkan di bagian-bagian awal. Ada seorang muda yang hidup di istana Firaun, dan sudah melihat segala sesuatu yang bisa ditawarkan dalam hidup istana. Suatu hari ia harus kabur ke Midian, hidup sebagai gembala. Di situ dia tahu rasanya hidup dalam kesederhanaan. Lalu dia diutus TUHAN kembali ke Mesir, dan dia menyaksikan segala tulah epik yang TUHAN pakai untuk memporak-porandakan Mesir dan membuat Firaun bertekuk lutut. Dia pergi dari Mesir sebagai sebuah bangsa yang besar. Bangsa ini lalu memberontak kepada TUHAN, dan pemuda ini yang waktu itu sudah tua –Musa– bersyafaat bagi bangsa tersebut. Apa yang dia minta? Musa minta satu hal yang sangat-sangat sederhana; di Kel 33 dia mengatakan: “Tunjukkanlah kepadaku, kemuliaan-Mu”. Ini senada dengan Kitab Wahyu. Yang Musa minta adalah sebuah pengalaman melihat Allah dan kemuliaannya. Itu yang ultimat, esensi yang paling tinggi, bagi Musa. Dari awal sampai akhir, Alkitab mengatakan bahwa esensi dari segala realita adalah Allah dan kemuliaan-Nya. Menyembah Allah, itulah esensi dari segala realita.
Sekarang kita mau melihat, kira-kira ibadah seperti apa yang dihadirkan dalam Kitab Wahyu ini? Poin yang paling penting yang diberikan dari berbagai gambaran dalam pasal ini adalah bahwa ibadah itu sesuatu yang bersifat universal. Waktu Yohanes mendapatkan sedikit bocoran tentang yang terjadi di surga, dia melihat bahwa segala sesuatu menyembah Allah. Pertama-tama, ada gambaran 24 tua-tua, yang mungkin melambangkan 12 suku Israel + 12 rasul, sehingga merupakan referensi terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; artinya melambangkan “keseluruhan umat Tuhan”. Yohanes juga melihat 4 makhluk itu, yang mungkin melambangkan keseluruhan karena ada yang seperti lembu (melambangkan binatang ternak), yang seperti singa (melambangkan binatang liar), yang seperti burung (binatang yang terbang), dan juga wajah manusia. Mungkin itu semua melambangkan “segala makhluk hidup”. Ini make sense dengan tesis kita, karena jikalau esensi ultimat dari segala realita adalah penyembahan, berarti desain dan tujuan asli dari segala ciptaan adalah memang untuk menyembah Allah.
Dalam Mazmur 19 dikatakan, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya. … suara mereka tidak terdengar, tapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, perkataan mereka sampai ke ujung bumi”. Mengapa pemazmur tidak mengatakan “manusia juga menceritakan kemuliaan Allah, memberitakan pekerjaan tangan-Nya”, melainkan langit, cakrawala, yang melakukan itu? Mengapa alam itu indah? Pemazmur mengatakan bahwa alam itu indah karena mereka sedang berfungsi sesuai dengan desain awalnya, sesuai dengan esensinya. Mereka sedang menyembah Allah, sedang memuliakan Tuhan. Bagaimana dengan Saudara dan saya? Ketika orang melihat kita, apakah mereka berdecak kagum seperti melihat gunung, danau, dan lautan? Mungkin. Tapi untuk bisa seperti itu, biasanya kita harus pakai baju bagus, atau naik mobil mewah, atau berhiaskan segala pencapaian kita.
Ketika Saudara menyelidiki alam luar dalam, itu tidak sama seperti ketika Saudara menyelidiki manusia luar dalam. Saudara mungkin terpesona dengan penampilan luar manusia, tapi ternyata di dalam isinya sampah. Tapi waktu Saudara meneliti alam, Saudara mungkin terpesona melihat luarnya, dan ketika melihat dalamnya, mempelajari batu-batunya, menganalisa susunan kimiawinya, itu justru hanya akan memperdalam kekaguman Saudara. Itu bedanya kita, manusia, dengan alam. Mengapa? Karena kita tidak melakukan yang gunung dan langit lakukan. Gunung dan langit sedang melakukan yang Tuhan desain untuk mereka lakukan, mereka sedang melakukan esensi mereka, yaitu memuliakan Tuhan, menyembah Dia. Kita juga punya desain dan esensi yang sama, tapi mengapa hari ini kita begitu jelek dan hancur? Karena kita tidak menjalankan hal itu.
Mungkin kita kemudian bertanya: bagaimana kita melakukan hal itu, menjadi orang-orang yang beribadah? Ini bukan pertanyaan yang tepat. Bicara mengenai ibadah, pertanyaan utamanya bukanlah “bagaimana kita menyembah” karena dalam pertanyaan seperti itu ada nuansa bahwa sekarang saya sedang tidak menyembah dan saya perlu sesuatu yang menggerakkan saya untuk mulai menyembah. Itu bukan pengenalan diri yang benar. Pertanyaan mengenai ibadah yang sejati harusnya dimulai dengan satu kesadaran bahwa semua orang –Saudara dan saya– sudah dan sedang menyembah sesuatu. Jikalau kita semua didesain untuk menyembah, maka Saudara dan saya hari ini pasti sedang menyembah. Pertanyaannya adalah: menyembah apa?
Satu contoh, tentang seorang penggemar sepak bola. Sepanjang minggu dia mempelajari objek kekagumannya. Ketika surfing di internet, dia membaca berita tentang bola. Dia excited akan statistika yang berhubungan dengan bola. Dan saking excited-nya, dia memberitahukan kepada orang-orang lain, yang belum tentu juga suka bola, “Sampai tadi malam Chelsea baru saja menang 8 kali berturut-turut sejak mereka ganti formasi 3-4-3 di bawah Antonio Conte, dan mereka berhasil mencetak gol 20x dan hanya kebobolan 2x !” Lalu di akhir minggu, dia mengkhususkan waktu dan tempat untuk hadir di hadapan objek pujaannya itu, biasanya di RCTI atau MNC. Dan ketika objek pujaannya hadir, postur tubuhnya berubah, air mukanya berubah, suaranya berubah. Biasanya dia orang yang pendiam, kali ini dia melompat, menangis, berseru, berseri-seri. Apakah itu? Itulah penyembahan. Ada satu website di Indonesia sangat mengerti hal ini karena judul website -nya : kiblatbola.com.
Ketika mendengar hal seperti ini, Saudara jangan pikir itu hanya orang lain. Saudara bisa coba cari, apa yang Saudara tempatkan sebagai objek kekaguman. Atau Saudara bisa tanyakan ke orang lain yang dekat dengan Saudara. Segampang Saudara bisa melihat orang lain mempunyai berhalanya, segampang itu juga orang lain bisa melihat berhala Saudara apa. Jangan karena Saudara tidak melihat atau tidak tahu, lalu Saudara pikir tidak ada.
Tom Wolfe pernah menulis satu artikel berjudul “The Worship of Art”. Dia memaparkan satu fenomena yang terjadi pada orang-orang kalangan atas, khususnya dunia barat, yang secara mayoritas seperti memandang rendah agama tetapi mereka “harus’ menyembah sesuatu. Jadi apa yang mereka lakukan? Mereka memuja seni. Tom Wolfe mengatakan bahwa rumah-rumah besar (mansions) di negara barat yang didirikan abad 18-19, dulu ruang lobi-nya dipenuhi dengan salib, crucifix, atau mungkin star of David. Tapi hari ini, lobi itu dipenuhi dengan seni/ art, lukisan, patung. Rumah-rumah besar waktu didirikan di abad 18-19 biasanya memiliki chapel yang digunakan untuk ibadah, berdoa, dsb. Hari ini, memang tetap ada orang-orang yang masuk ke situ –dengan sikap takzim– tapi bukan di hadapan Tuhan melainkan di hadapan seni –patung-patung, lukisan-lukisan– di chapel tersebut. Menurut Wolfe, dulu orang-orang kaya atau perusahaan-perusahaan besar, ketika mereka ingin melakukan sesuatu bagi masyarakat, caranya adalah dengan memberikan uang ke Gereja, kepada badan misi. Tapi hari ini, mereka meninggalkan hartanya untuk metropolitan museum, atau menjadi sponsor konser musik klasik. Sekarang ini, kalau Saudara tidak mau beragama tapi tidak mau juga dianggap sebagai orang yang cuma materialistis, yang Saudara harus lakukan ya, memberikan diri bagi seni. Itu penyembahan.
Contoh lain misalnya budaya selebriti. Hari ini, negara-negara yang masih punya raja dan ratu, rakyatnya ter-obsesi dengan the royal family. Sedangkan negara-negara yang tidak punya raja dan ratu, mereka mengangkat orang-orang lain, misalnya orang-orang yang super cantik, super atletik, atau bahkan super kriminal, dan menganggung-agungkan mereka di surat kabar-surat kabar. Mengapa? Karena manusia perlu menyembah sesuatu.
Manusia pasti menyembah sesuatu, bahkan bisa lebih dari satu. Kita menekukkan lutut kita pada tubuh-tubuh yang indah atau tim-tim sepak bola yang luar biasa, atau kepada musik-musik dan seni-seni yang indah. C.S. Lewis mengatakan, bahwa natur spiritual kita sebenarnya sama saja dengan natur jasmani kita; sebagaimana jika mulut tidak mendapatkan makanan yang sehat maka kita akan makan racun, demikian juga natur spiritual kita. Ini bukan cuma disadari orang Kristen. Bob Dylan –memang dia orang Kristen– pernah menulis lagu yang berjudul “Gotta Serve Somebody”. Liriknya berbunyi: You may be an ambassador to England or France; You may like to gamble, you might like to dance; You may be the heavyweight champion of the world; You may be a socialite with a long string of pearls. But you're gonna have to serve somebody, yes indeed; You're gonna have to serve somebody, It may be the devil or it may be the Lord, But you're gonna have to serve somebody. Lalu John Lennon, seorang yang tidak senang dengan kekristenan Bob Dylan, menulis sebuah lagu yang membalas lagu tadi, judulnya “Serve Yourself”. Dan, itu sebenarnya cuma meng-amin-kan yang Bob Dylan katakan, “you gotta serve somebody”.
Problem utama kita bukanlah kita tidak tahu caranya menyembah, tapi kita seringkali tidak sadar bahwa kita sudah sedang menyembah sesuatu yang bukan Allah. Mungkin Saudara berkata, “Oke, saya tahu tapi saya bukan orang seperti itu, buktinya saya tidak menyembah apa-apa dalam hidup saya. Saya orang yang skeptis. Saya mempertanyakan segala sesuatu. Saya tidak mudah percaya.” Saudara skeptis karena Saudara tidak mau dikontrol apa pun, memberikan diri kepada siapa pun, tidak mau menyembah apa pun. Tapi mungkin sebenarnya Saudara sedang menyembah kebutuhan Saudara untuk tetap stay in control.
Apa definisi sifat kepahlawanan atau keagungan? Sulit mendefinisikannya. Atau mungkin Saudara bisa mengatakan hal-hal apa yang membuat Saudara rela dipenjara bahkan mati demi itu? Kalau tidak ada, artinya bahwa menjadi seorang pahlawan, seorang yang agung, itu mustahil bagi Saudara. Ada satu kalimat yang bagus berbunyi: There is nothing more significant than you lose all significance — Jikalau Saudara mengatakan “tidak ada yang lebih signifikan daripada diri saya, saya tidak menyembah apa-apa”, maka sebenarnya itulah saatnya Saudara kehilangan semua signifikansi. Bukankah zaman ini adalah zaman yang begitu ironis, karena pada zaman ini kita diberitahu berkali-kali bahwa tujuan hidup kita adalah diri kita sendiri, dan justru inilah zaman yang orang paling bingung siapa diri mereka. Zaman yang kontradiktif. Di satu sisi, saya mau mencari apa yang baik bagi diri saya, saya ingin dicintai, tapi waktu dicintai, kita tidak rela diikat, tidak rela menundukkan diri di bawah otoritas orang lain. Kita seringkali juga mengatakan bahwa kita tidak bisa hidup hanya untuk diri sendiri. Tapi tahukah Saudara, bahwa kita tidak bisa hidup tanpa kita menyembah sesuatu?
Martin Luther King pernah mengatakan: “Orang yang tidak rela mati untuk sesuatu, tidak pantas untuk hidup”. Banyak orang yang tidak peduli omongan orang lain dan mendeklarasikan di mana-mana bahwa dirinya begitu hebat, pintar, cantik, keren, meski orang lain tidak melihat begitu. Tapi itu mereka lakukan bukanlah karena mereka memang cantik, pintar, keren, atau hebat, melainkan justru karena mereka tidak yakin dirinya cantik, pintar, keren, dan hebat. Contohnya, orang yang tinggi tidak pernah mengatakan “saya tinggi lho, tahu ‘gak?” karena semua orang bisa lihat bahwa dia memang betul-betul tinggi, tidak perlu dideklarasikan. Orang yang selalu mendeklarasikan dirinya –misalnya cantik, pintar, keren, hebat– justru sedang tidak yakin bahwa mereka adalah orang yang seperti mereka katakan itu. Satu-satunya cara memastikan bahwa kita memang orang yang pintar, adalah ketika ada orang yang lebih pintar atau kita anggap paling pintar mengatakan kepada kita bahwa kita pintar, sehingga Saudara tidak peduli ketika orang lain menganggap Saudara bodoh. Dan itu Saudara tidak bisa dapatkan, kecuali dari orang lain. Artinya, dalam level manusia dengan manusia saja, kita tidak bisa hidup tanpa orang lain, apalagi dalam level kosmik, level spiritual, dalam hubungan kita dengan Allah. Tidak ada satu pun makhluk di atas dunia ini yang tidak sedang menyembah, karena itulah esensi kita. Pertanyaannya: Saudara sedang menyembah apa?
Kita sudah melihat bahwa menyembah yang salah, akan kacau; tidak menyembah, malah lebih parah. Jadi bagaimana caranya penyembahan yang benar, yang tepat? Dalam pasal 4 dan 5 kitab Wahyu ini ada elemen-elemen liturgi. Di situ ada nyanyian pujian, pengucapan syukur, bahkan pengakuan karena di situ Yohanes menangis, mengatakan “tidak ada yang layak untuk membuka gulungan kitab tersebut”. Di situ juga ada doa, dan ada semacam pembacaan bertanggapan ketika 4 makhluk itu berseru satu dengan yang lain siang dan malam “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah”.
Kita akan melihat satu hal di sini, yaitu mengenai nyanyian. Ibadah surgawi itu menyembah dengan menggunakan musik, ada nyanyian, ada kecapi juga. Mengapa itu terjadi di surga juga, dan bukan cuma di bumi? Nyanyian itu unik di antara semua seni karena nyanyian menuntut Saudara menggunakan seluruh tubuh. Saudara bukan cuma keluar suara tapi juga memperhatikan postur tubuh. Ada unsur emosional dan aspek afeksinya juga; Saudara harus merasakan. Juga ada unsur analisis-nya. Ada unsur struktur dan tekniknya; Saudara harus tahu bagaimana menghitung ritme, menempatkan nada dengan tepat, dst. Terlebih lagi, yang sangat unik dalam nyanyian adalah bahwa ada aspek kebenaran yang mendasari itu semua. Perhatikan nyanyian di pasal 4:11 dan pasal 5:13 ada yang mirip. Dua-duanya mengatakan “Engkau layak, karena …”; ada kata “karena”, bukan cuma “Engkau layak, Engkau layak”. Di situ ada alasannya, ada logikanya, ada proses rasionalnya. Yang pertama mengatakan “Engkau layak dipuji karena Engkau telah mencipta (Creator)”. Yang kedua mengatakan “Engkau layak karena Engkau sudah mati disembelih, Engkau sudah menyelamatkan (Redeemer)”. Ini bukan perkataan yang sembarangan tapi dua hal yang benar, ada proses rasionalnya, ada kelengkapan pengetahuannya di situ. Dan bukan cuma itu, emosi mereka adalah emosi yang keluar dari kebenaran tersebut. Emosi mereka keluar karena ada eksposisi kebenaran tersebut. Worship itu adalah logic on fire.
Tapi kita bisa saja melakukan semua elemen liturgi itu dan tetap tidak menyembah. Maka, yang namanya penyembahan bukanlah persis sebagaimana semua definisi tadi. Ada sesuatu di bawah itu semua yang adalah esensi penyembahan. Apakah itu? Kita bisa melihat dari kata yang mereka ulang dalam nyanyian tadi, yaitu kata “layak”, atau lebih tepatnya: “patut”. Kata “worship” dalam bahasa Inggris lama adalah worth-ship; dari kata worth (harga, nilai) dan akhiran -ship (menunjukkan status, keadaan). Itu berarti worship berarti memandang layak , memandang sesuatu sebagai berharga.
Contoh tentang hal ini ada di Matius 13:44 "Hal Kerajaan Surga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.” Orang ini mungkin melewati ladang itu setiap hari dan tidak merasa ada keistimewaan. Lalu mungkin ada orang menawarkan ladang itu seharga 5M. Tapi tampaknya ladang itu tidak sebegitu berharganya, lagipula kalau semua asetnya dicairkan, paling hanya ada 5M sehingga tidak mungkin menyerahkan semuanya demi ladang itu. Ladang itu tidak layak, tidak berharga. Tapi waktu suatu hari temannya memberitahu dan membuktikan bahwa di ladang itu ada harta terpendam, maka proses rasionalnya mulai jalan. Tadinya dia mengatakan “tidak mungkin”, sekarang dia pikir “siapa tahu”, dan akhirnya sampai pada satu momen “saya harus benar-benar pastikan”. Setelah menggalinya, betul-betul dia menemukan harta karun perhiasan dan kepingan-kepingan emas di dalam tanah ladang itu. Tadinya dia hanya mendengar angka-angka, tapi sekarang dia melihat sendiri perhiasan dan emas-emas itu. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya setelah itu, karena rasionya terbakar, dan menghasilkan sebuah emosi. Dan perhatikan responnya, Alkitab mengatakan: “oleh sebab sukacitanya, dia pergi menjual segala miliknya, lalu membeli ladang itu”. Tadinya dia merasa tidak sanggup bayar 5M, sekarang bagi dia 5M apalah artinya, karena harga itu sifatnya relatif. Itulah penyembahan, yaitu memandang sesuatu berharga, layak untuk menerima semua hidup kita.
Inilah yang terjadi di Wahyu pasal 5. Di pasal 5 ini ada sebuah gulungan kitab yang dimeterai/ disegel, dan Yohanes menangis karena tidak ada seorang pun yang layak untuk membuka gulungan kitab tersebut. Dalam konteks ini, gulungan kitab itu seperti sebuah dokumen legal, surat warisan yang begitu berharga; dan karena tidak ada yang berhak membukanya, maka semua kekayaan itu akan hilang begitu saja. Selanjutnya, seorang tua-tua mengatakan, “jangan engkau menangis; ada yang layak, yaitu Singa dari Yehuda yang telah menang.” Dan Yohanes melihat di tengah-tengah ada seekor domba; bukan seekor singa yang telah menang melainkan seekor domba yang telah disembelih. Di situ Yohanes baru ngeh, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya seperti yang terjadi dalam diri orang yang menggali ladang tadi, dan seperti juga ada sesuatu yang berubah dalam diri Yohanes Pembaptis ketika melihat Kristus dan ia mengatakan “Lihat! Ini Domba Allah!” Mengapa? Karena mereka semua tahu satu hal: dulu di Mesir, Allah pernah menulahi bangsa Mesir dan mengatakan, “Kalau kamu tidak ada perlindungan, kamu juga akan mati seperti mereka; oleh sebab itu setiap keluarga harus menyembelih seekor domba, mengoleskan darahnya di ambang pintu, maka kamu akan diselamatkan.” Mereka menaatinya, dan pada hari itu mereka tidak ada yang kena tulah. Mereka bingung. Ratusan tahun mereka tidak mengerti mengapa bisa darah domba yang tidak ada apa-apanya itu, menyelamatkan mereka. Sampai ketika Yohanes Pembaptis “membuka peti itu”, melihat “inilah Domba Allah; aku mengerti sekarang sebagaimana domba disembelih bagi kami dan kami lewat dari tulah Mesir, demikian juga Anak Domba Allah disembelih bagi kami sehingga kami boleh diselamatkan dari murka Allah”.
Di situ ada proses rasionalnya, dan proses rasional itu yang melahirkan emosi begitu dalam. Di pasal 4 dan 5 ini, setiap kali mereka mengatakan “Engkau layak, Engkau layak”, mereka –24 tua-tua itu– tersungkur dan melemparkan mahkotanya (casting their crowns). Ada satu lagu berjudul “I cast all my cares upon You”, lagu yang bagus. Tapi, hari ini orang mengatakan “saya sudah beribadah kepada Tuhan karena saya sudah datang mencurahkan isi hati saya, kesusahan-kesusahan saya kepada Dia. Saya tahu, Dia Allah yang menerima saya, dan saya bersyukur untuk itu”. Memang itu benar, tapi jangan pikir engkau telah beribadah kepada Dia ketika engkau casting your cares, pertanyaannya: do you cast your crowns? Saudara mencurahkan kepada Dia segala kesusahan hatimu, tapi apakah Saudara juga melemparkan/ mencampakkan mahkota-mahkotamu? Kalau Saudara sungguh-sungguh telah beribadah kepada Dia, kalau Saudara telah melihat, menyadari, dan memandang Dia sebagai layak, patut, berharga, dan saking berharganya patut menerima segala sesuatu yang Saudara miliki, maka tandanya adalah: Saudara akan memberikan segala sesuatu yang Saudara miliki bagi Dia. Saudara akan melemparkan mahkotamu, Saudara akan menyerahkan kontrol hidupmu ke tangan-Nya. Artinya: Allah menjadi prioritas yang paling tinggi, paling penting, dalam cara Saudara mengatur uang, mengatur waktu, mengatur karir, mengatur relasi, mengatur lidah. Itu berarti membiarkan Dia mengatur hidupmu meski engkau merasa tidak nyaman, tidak masuk akal. Itu berarti membiarkan Dia mengatur waktu liburanmu dipakai untuk berlibur atau ikut NREC (National Reformed Evangelical Convention). Ini bukan yang kita mau lakukan. Waktu liburan saja Saudara tidak mau letakkan bagi Dia, apalagi mahkotamu. Jadi selama ini, kepada siapa Saudara dan saya sedang beribadah?
Kalau Saudara mau sungguh beribadah kepada Dia, Saudara musti menelaah hal-hal berikut ini. Mengapa kita takut memberikan mahkota kita kepada Dia? Mengapa kita takut kehilangan kontrol dan menyerahkan kontrol ke dalam tangan Tuhan? Karena tidak sadar bahwa Saudara bukan sedang menjaga hartamu lalu Tuhan minta, tapi gambarannya adalah Saudara sedang sudah menyerahkan kontrol itu kepada sesuatu. Saudara tidak bisa menyembah sesuatu tanpa kehilangan kontrol diri Saudara. Itu berarti saat ini pun ketika engkau tidak bisa menyerahkan kontrol itu ke tangan Tuhan, artinya kontrol hidupmu sedang berada di tangan sesuatu yang lain. Hidup Saudara tidak berada di dalam kontrol Saudara. Pertanyaannya, di tangan siapa? Kalau Saudara menyembah uang, uanglah yang memegang kontrol hidupmu. Kalau Saudara menyembah pengakuan orang lain, orang lain lah yang memegang kontrol hidupmu. Kalau Saudara mengatakan tidak menyembah apapun, skeptis, mempertanyakan segala sesuatu dan tidak ada yang bisa mengontrol saya, maka problemnya adalah mereka kurang skeptis terhadap skeptisisme mereka. Kalau Saudara mengatakan tidak dikontrol oleh apapun, maka Saudara sedang menyembah “kontrol”, kontrol hidupmu berada di bawah kontrol. Itu sebabnya orang-orang seperti ini biasanya struggle sekali dalam pernikahan ketika orang lain mulai mengontrol hidupmu. Itu sebabnya orang-orang seperti ini biasanya struggle sekali dalam company ketika harus menjadi bawahan orang lain dan tidak mau dikontrol.
Kesimpulannya, siapapun Saudara, Saudara tidak pernah mengontrol dirimu. Maka, mengapa tidak berikan kontrol itu kepada Tuhan? Mengapa harus berikan kepada Dia? Karena Dialah satu-satunya Objek penyembahan yang sendirinya telah rela menyerahkan kontrol atas hidup-Nya. Dia satu-satunya Objek penyembahan yang sendirinya telah tahu rasanya pernah menyembah, karena Dia Allah yang setara dengan Allah Bapa, tapi waktu turun ke dunia Dia menjadikan diri-Nya takluk di bawah kontrol Allah Bapa, menyembah, memuliakan Allah Bapa, menunggu Allah Bapa memuliakan Dia. Dia mengatakan, “Aku tidak melakukan apapun yang Allah Bapa tidak suruh Aku lakukan. Aku tidak mengatakan apapun yang Allah Bapa tidak suruh Aku katakan.” Dan ketika di akhir hidup-Nya, Dia mengatakan: “Biar kehendak-Mu yang jadi, bukan kehendak-Ku”. Dia mengganti takhta-Nya dengan palungan. Dia mengganti kekekalan dengan kuburan.
Waktu membaca Mat 13, ayat itu to certain extent memang benar tertuju kepada kita, bahwa kita harusnya seperti si pembeli ladang tadi. Tapi lebih dari itu, ayat itu sedang berbicara pertama-tama dan terutama mengenai Dia karena Dia-lah yang pertama kali memberikan segala milik-Nya demi menggantinya dengan sesuatu yang belum kelihatan, yang baru berupa potensi. Waktu Dia membeli kita, itu karena Dia tahu yang akan terjadi di masa depan. Dia tahu, 2000 tahun setelah Dia mati bagi kita, potensinya seringkali masih belum kelihatan. Dia membeli kita bukan untuk yang Dia bisa lihat di permukaan tapi untuk tujuan-Nya di masa depan, yaitu menyempurnakan kita. Itu yang Dia kerjakan. Kalau Saudara tidak bisa melihat bahwa Allah telah membeli kita –sampah-sampah dunia– sebagai harta karun-Nya, Saudara tidak bisa melihat Dia sebagai harta karun.
Itu sebabnya tujuan menggali Alkitab bukan cuma berhenti di doktrin. Doktrin itu penting tapi hanya penting karena doktrin menunjuk kepada sesuatu. Waktu membaca Alkitab, Saudara harus membacanya sebagai wahyu Tuhan, dan ini berlaku untuk semua bagian Alkitab; termasuk juga kisah dalam Hak 19. Di situ diceritakan seorang Lewi yang mempunyai gundik. Waktu si Lewi ini terancam, dia memberikan gundiknya demi menyelamatkan diri. Gundiknya diperkosa semalam-malaman, lalu dalam keadaan lemas pagi-pagi datang dan mati di depan pintu rumahnya. Si Lewi, suaminya itu, kemudian melakukan mutilasi atas gundiknya dan mengirimkannya ke seluruh bangsa Israel, hingga terjadi peperangan dan banyak yang mati. Ini kisah apa? Itu sedang menuju kepada Kristus, karena Kristus adalah suami yang sejati. Si Lewi ini menyerahkan istrinya demi menyelamatkan diri, tetapi Kristus adalah suami yang sejati karena Dia menyerahkan diri-Nya ganti istri-Nya, yaitu Gereja, yaitu Saudara dan saya.
Kita tidak rela melemparkan mahkota-mahkota jerami kita untuk Dia, tapi Dia rela meletakkan mahkota-Nya bahkan nyawa-Nya untuk kita. Karir, teman-teman, harta, waktu liburanmu apakah pernah suatu hari memberikan dirinya bagimu? Ketika Saudara hidup demi mengejar karir, harta, pencapaian, hiburan, kesenangan, dsb. , cepat atau lambat Saudara akan merasa hidup ini seperti hidup yang kosong. Tidak peduli berapa uang yang ada di rekening bank, pengakuan orang-orang, hiburan yang ada terus, Saudara seperti merasa ada sesuatu yang tidak pernah bisa digapai. Waktu Saudara mau mengambilnya, itu semua hilang. Ini bukan tanda negatif bahwa dalam setiap jiwa manusia ada black hole yang tidak bisa dipuaskan, sebaliknya ini tanda yang sangat positif. Ini menandakan bahwa jiwa saudara jauh lebih besar daripada seluruh dunia digabung. Itu sebabnya ketika engkau mencari kepenuhan, tidak ada yang bisa memuaskanmu di dunia ini, kecuali persekutuan dengan Yang Tidak Terbatas. Itu desainmu, esensimu. Saudara bukan cuma didesain untuk menyembah, tapi untuk menyembah Dia. Itu sebabnya di hampir setiap halaman Alkitab mengatakan “sembah Aku”. Dia tahu kita perlu menyembah Dia. Dia tahu itu yang paling penting, bukan Dia membutuhkannya tapi karena kita butuh itu. Itu sebabnya memang hanya Dia yang layak, yang patut, yang sanggup mengisi semua lubang dalam hidupmu itu. Dan ketika itu terjadi, barulah Saudara akan menjadi seindah gunung dan danau-danau yang terindah, bahkan lebih indah dan lebih agung dari semua itu.
"Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi." Kiranya ini menjadi lagu yang kita nyanyikan juga.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading