Kita melanjutkan surat yang terakhir yaitu kepada jemaat di Laodikia. Kalau jemaat di Filadeldia sama sekali tidak ditegur, sebaliknya jemaat Laodikia ini hanya ditegur, tidak ada sama sekali kebaikan yang disebut oleh Tuhan, semuanya negatif. Jemaat Sardis memang juga ditegur, tapi paling tidak masih ada yang positif karena Tuhan Yesus mengatakan “ada beberapa orang yang tidak mencemarkan pakaiannya”. Kita akan melihat sedikit demi sedikit yang menjadi problem gereja Laodikia ini serta solusi yang Tuhan berikan. Satu hal yang amazing dan menghibur, bahwa justru jemaat yang paling hancur adalah jemaat yang bagaimanapun juga punya harapan.
Pertama kita melihat ‘gejala penyakitnya’ dulu. Di ayat 15-16 “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.” Apa artinya ‘suam-suam kuku/ lukewarm’ ? Kita bisa lebih jelas melihat gambaran keadaannya dari perintah Tuhan Yesus di ayat 12, karena setiap panggilan bertobat di ketujuh surat ini selalu ada seruan untuk melakukan sesuatu, yang biasanya berlawanan dari dosa yang sedang ditegur. Misalnya dosa jemaat Efesus adalah meninggalkan kasih yang mula-mula, maka panggilan bertobatnya adalah melakukan kembali yang semula dilakukan. Jemaat Laodikia ini dikatakan dosanya adalah suam-suam kuku/ kesuaman/ lukewarm. Lalu di ayat 19, panggilan pertobatannya dikatakan agar mereka merelakan hati.
Dalam bagian ini terjemahan bahasa Indonesia tidak tepat, karena kata ‘merelakan hati’ ini sebenarnya terjemahan dari bahasa Yunani ‘zelos’ yang dekat dengan ‘zealous’ dalam bahasa Inggris, artinya: giat, bersemangat. Menariknya, penggunaan kata zelos dalam Alkitab, bukan hanya diterjemahkan sebagai zealous (giat, bersemangat) tapi juga jealous (kecemburuan/ iri hati), bahkan oleh penulis yang sama. Misalnya tulisan Paulus di 2 Kor 7:7, ia menggunakan kata zelos dalam arti yang positif, diterjemahkan dengan “kesungguhanmu untuk membela”; tapi dalam surat yang sama di pasal 12 ayat 20, Paulus memakai dalam arti negatif yaitu “kecemburuan atau iri hati”. Mengapa kata yang sama dalam bahasa Yunani dapat diartikan sebagai 2 istilah yang sangat berbeda menurut pengertian kita hari ini? Karena dua kata tersebut esensinya sama; baik giat/ kesungguhan ataupun iri hati, sama-sama disebabkan oleh karena kita sedang mencintai sesuatu. Saudara menjadi iri hati/ jealous ketika menaruh cinta Saudara ke dalam diri sendiri. Misalnya, kalau Saudara mencintai reputasi diri, Saudara akan iri hati kepada orang yang reputasinya lebih baik dari Saudara. Itu pengertian negatif kata zelos. Tapi zelos juga bisa jadi sangat positif ketika objeknya bukan diri melainkan orang lain. Misalnya, kalau Saudara sungguh-sungguh intens dalam mengasihi orang lain, maka Saudara akan giat, sungguh-sungguh, sangat zealous bagi orang tersebut untuk mereka bertumbuh, mengalami pertobatan, dst. Jadi yang tadi adalah zelos terhadap orang lain, sekarang zelos bagi orang lain. Di satu sisi, zelos bisa berarti iri terhadap orang lain ketika objek zelos-nya adalah diri; di sisi lain, ketika objeknya adalah orang lain, zelos menjadi zeal / giat bagi kebaikan orang tersebut. Zelos sendiri berasal dari kata zeo yang artinya ‘mendidih’. Kalau Saudara mengasihi diri sendiri, itu akan menghasilkan suatu kuasa yang mendidih untuk membenci orang lain. Kalau Saudara mengasihi orang lain, itu akan menghasilkan suatu kuasa yang mendidih untuk melayani orang tersebut, dan Saudara jadi giat, rela, tekun, zealous untuk melakukan apapun demi membawa kebaikan orang tersebut.
Kembali kepada jemaat Laodikia, dosa mereka dikatakan “suam-suam kuku”. Kita mungkin berpikir bahwa suam-suam kuku artinya munafik. Tapi bukan itu. Orang munafik mengatakan “A” tapi melakukan “B”, menamakan diri “pengikut Kristus” tapi hidup mengikut dunia. Sedangkan orang Kristen yang suam-suam kuku, mungkin adalah orang yang percaya hal-hal yang benar, hidup secara benar, tapi masalahnya hasrat terdalam hati atau cinta paling intens mereka, tidak mereka berikan kepada Kristus. Oleh karena itu, mereka tidak mempunyai zeal bagi Allah, seperti tidak ada sifat ngebet dalam iman mereka. Itulah kesuam-suaman; sesuatu yang lebih tidak terlihat dibandingkan kemunafikan. Kemunafikan itu tampak luarnya baik, tapi dalamnya jelek. Sedangkan kesuaman adalah masalah arah hidup, bukan soal luar-dalam; dalam maupun luar bisa sama-sama kelihatan oke tapi arah hidupnya yang paling utama tidak diberikan kepada Kristus. Ini satu hal yang sangat berbahaya karena terhadap sifat dosa ini Tuhan Yesus mengatakan di ayat 15: “alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!” Daripada suam-suam kuku lebih baik panas, itu kita sudah mengerti pasti. Tapi Tuhan Yesus mengatakan bahwa dingin pun masih lebih baik daripada suam-suam kuku.
Seorang pendeta di Amerika menceritakan pengalamannya menginjili anak-anak muda. Beliau mengatakan, bahwa anak muda di Amerika pada dasarnya cuma ada 2 kategori: pertama, anak-anak muda ateis yang menganggap kekristenan sesuatu yang bodoh dan ketinggalan zaman; kedua, anak-anak muda yang sejak kecil sudah dididik secara Kristen, bertumbuh di gereja, rutin ke gereja, dst. Dan, pendeta ini menemukan bahwa jauh lebih mudah melakukan penginjilan kepada anak-anak muda kategori pertama, yang dingin, yang tidak percaya sama sekali. Alasannya, karena Saudara bisa actually berdiskusi dengan mereka; mereka akan dengan sangat jujur dan terbuka menyatakan pendapatnya, tidak ada yang disembunyikan waktu berbincang-bincang mengenai kekristenan, dan pembicaraan jadi bisa nyambung. Kemudian ketika orang-orang ini jadi percaya, mereka akan menjadi orang-orang Kristen yang ‘panas’, zealous, giat, bagi Tuhan. Sedangkan anak-anak yang sudah ke gereja sejak kecil, waktu Saudara kotbah mereka ngobrol sendiri di belakang, tapi ketika Saudara tanyakan, mereka akan keluarkan semua jawaban ‘text book’. Ini mirip dengan pengalaman para pemimpin KTB Remaja. Anak-anak remaja dalam KTB waktu ditanya, semua menjawab dengan benar, kalau diuji dapat nilai 100, tapi pada akhirnya pengetahuan mereka menjadi tembok yang menghalangi mereka untuk sungguh-sungguh menjadi orang Kristen. Mereka seperti tahu siapa Kristus, tapi pada saat yang sama mereka seperti buta akan keindahan atau keajaibannya. Kekristenan bukan sesuatu yang menggerakkan mereka. Orang-orang yang suam-suam kuku, somehow tidak terpengaruh dengan fakta bahwa Tuhan Yesus mengasihi mereka. Mereka tidak diubah dengan fakta itu. Mereka percaya itu, mereka tahu poin-poinnya, dan to certain extent mereka menghidupinya, tapi itu tidak menjadi air yang mendidih dalam hidupnya. Itu sebabnya orang-orang yang suam-suam kuku lebih jauh dari Tuhan dibandingkan orang-orang yang dingin. Orang-orang yang dingin hanya perlu dikasih lihat, lalu langsung ‘ngeh implikasi anugerah yang diperlihatkan ini dalam hidup mereka. Tapi orang yang suam-suam kuku memang melihat, percaya, dan somehow buta akan arti di balik semua itu. Dan, mereka akan menutup diri ketika Saudara berbicara mengenai hal-hal ini.
Saudara coba lihat reaksi Tuhan Yesus kepada orang-orang yang suam-suam kuku ini. Dia tidak mengatakan “Aku marah kepada kamu” ketika melihat orang-orang Kristen yang tidak mendidih, tidak ada apinya. Dia juga tidak mengatakan “Aku kecewa terhadap kamu”. Dia mengatakan “Aku ingin muntah melihat kamu”. Itu sangat mengerikan.
Selanjutnya, di ayat 17-18 tentang apa persisnya penyakit jemaat Laodikia ini: Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang, maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat. Jemaat Laodikia ini faktanya adalah pertama-tama sebagai pusat tekstil; tekstil mereka ada keunikannya tersendiri karena domba-domba hitam penghasil wol yang ada di daerah ini. Kedua, Laodikia juga pusat perbankan (banking), pusat perekonomian. Ini sangat kontras dengan Filadelfia. Waktu mengalami gempa, Filadelfia harus minta tax amnesty kepada Roma, sedangkan Laodikia begitu kaya sehingga tidak perlu minta apa-apa dari Roma. Mereka yang seperti disebutkan di bagian ini, mengatakan “aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa”. Dan terakhir, di sana ada banyak dokter sehingga menjadi pusat medis, khususnya juga ada beberapa ahli Ophthalmology (ahli penyakit mata). Maka kita melihat di sini ada semacam sarkasme ketika Tuhan Yesus mengatakan, kamu pikir kamu kaya, kamu pikir kamu tidak kekurangan apa-apa, kamu pikir kamu berpakaian; kamu pikir kamu kaya dan bisa melihat, tapi sesungguhnya kamu miskin, telanjang, dan buta.
Ini bukan sekedar sarkasme atau ironi, karena dalam bahasa Alkitab, 3 hal itu punya makna yang lebih dalam. Dalam Alkitab, ketelanjangan bukan cuma nudity tapi juga nakedness; ketelanjangan mengacu pada ketelanjangan Adam dan Hawa, bukan cuma tidak pakai baju tapi adanya rasa bersalah, adanya rasa sesuatu harus ditutupi, baju itu untuk menutupi ketelanjangan mereka oleh karena dosa (spiritual nakedness). Lalu kemiskinan/ poverty menunjuk kepada kemiskinan rohani, yang juga muncul di berbagai ayat Alkitab, untuk menyatakan kepada orang berdosa bahwa kita bukan cuma kekurangan tapi miskin, tidak mampu. Kita bukan cuma kurang, tapi kita tidak mampu (powerless) mengubah kondisi kita yang ber-kekurangan itu. Dan yang terakhir adalah blindness. Ini yang paling parah, karena orang berdosa bukan hanya telanjang dan miskin, tapi mereka tidak sadar bahwa mereka telanjang dan miskin. Mereka buta. Dan mereka tidak sadar bahwa mereka buta. Kristus di sini menusuk mereka dengan sangat tajam. Meskipun kamu punya baju karena pusat tekstil, meskipun kamu kaya karena pusat perbankan, meskipun kamu menjual obat mata, tapi di hadapan-Ku, kamu harus sadar bahwa kamu telanjang, bangkrut, dan buta. In fact, kemandirian jasmani itulah yang membutakanmu terhadap ketergantungan rohanimu. Ini mengerikan.
Minggu lalu kita sudah membahas bahwa kesuksesan yang di mata Alkitab sama saja berbahayanya seperti penderitaan; in fact mungkin lebih berbahaya kesuksesan. Dan di bagian ini, Alkitab sepertinya menunjukkan bahwa ada korelasi antara kesuksesan dan kemandirian dalam level jasmani/ duniawi, dengan kerohanian yang suam-suam kuku. Ketika Saudara adalah orang yang brilian, sukses, bisa menghasilkan banyak uang, Saudara bisa mengatakan dengan mulut “saya berdosa, saya perlu diselamatkan, semua adalah karena anugerah”, tapi hati sangat sulit untuk bisa sungguh-sungguh memegang realita tersebut, untuk bisa menghayati diselamatkan hanya karena anugerah. Ini hal yang semua dari kita menghadapinya, termasuk juga hamba Tuhan yang sukses. Ketika pertama kali diminta berkotbah, saya mengatakan kepada Penginjil Andrew yang waktu itu sekamar di asrama, “Gimana ya, ini menggentarkan, bagaimana besok bisa berdiri dan berkotbah untuk pertama kalinya?”. Dan Penginjil Andrew mengatakan kalimat yang saya tidak bisa lupakan sampai hari ini: “Itu bagus, Jeth, karena gua sekarang gentar saja enggak.” Sekali lagi, ini bahaya suam-suam kuku.
Bulan Juni kemarin saya sempat berlibur ke Jepang bersama istri. Pengalaman di sana cukup insightful bagi saya, karena saya baru sadar bahwa gambaran saya mengenai ‘langit dan bumi yang baru’ ternyata begitu rendah. Mengapa? Karena waktu di Jepang, melihat segala ke-keren-an dan kesuksesannya, saya merasa ‘kalau langit dan bumi baru seperti ini, saya sudah puas’. Di Jepang segala sesuatu begitu dipikirkan dengan matang, begitu teratur, begitu luar biasa, semua orang bisa tahu diri bahkan tidak perlu peraturan untuk bisa melakukan itu semua. Contohnya, di dalam shinkansen, tidak ada satu orang Jepang yang makan makanan hangat seperti Mc’D, karena mereka tahu makanan hangat itu menguap dan baunya ke mana-mana, mengganggu orang lain. Mereka tahu itu dan tahu diri, tanpa perlu ada aturan yang ditulis. Sepulang dari Jepang, saya berusaha meresap semua pengalaman itu, dan saya baru sadar mengapa Jepang adalah salah satu negara yang Injil sangat-sangat sulit untuk menembus. Oleh karena itu Masaaki Suzuki dengan Bach Collegium-nya sangat dielu-elukan dalam dunia Kristen karena mereka bisa memasukkan Injil ke Jepang, melalui seni. Tapi kalau Saudara datang kepada mereka dan mengatakan “kamu berdosa, kamu butuh Kristus, kamu adalah orang-orang yang sudah rusak karena dosa”, siapa mau dengar? To certain extent di Indonesia masih lebih gampang menginjili karena kita tahu keadaan kita ini hancur. Tapi Jepang, negara yang begitu sukses, begitu kaya, begitu mapan, tidak heran Injil begitu sulit menembus. Kita yang ada di sini memang tidak tinggal di Jepang, tapi paling tidak di Jakarta kota metropolitan, dan juga bukan di pinggiran melainkan di Kelapa Gading. Artinya, paling tidak kita harus benar-benar mempertimbangkan kemungkinan bahwa kita hari ini sedang tinggal di Laodikia; bahwa Saudara dan saya-lah jemaat Laodikia itu.
Kita mungkin sering heran mengapa Yefta, pemimpin Israel di dalam Alkitab, begitu terpengaruh dengan budaya kafir sekelilingnya, sampai ia bisa-bisanya mempersembahkan ’human sacrifice’. Tapi kita sendiri juga demikian. Waktu orang Kristen dari daerah-daerah teraniaya datang ke gereja-gereja di Barat atau yang lebih mapan, mereka kaget melihat kesuaman kita. Pertama, mereka kaget melihat kita sangat jarang bahkan hampir-hampir tidak berdoa. Kedua, mereka kaget dengan jumlah uang yang kita terima dan kita hamburkan bagi diri kita sendiri. Ketiga, mereka kaget waktu kita takut dan malu memberitahu tetangga dan teman di kantor bahwa kita adalah orang Kristen, sementara mereka banyak yang dipenjara dan dibunuh karena mengaku Kristen. Itu semua berarti kita juga orang-orang Kristen, yang sama seperti Yefta, begitu terkontaminasi dengan budaya sekeliling kita. Lalu solusinya apa?
Ayat 18-19: maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat. Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah! Yang penting dari bagian ini adalah frasa “dari pada-Ku” dalam kalimat “supaya engkau membeli dari pada-Ku”. Kembali lagi, gereja Laodikia ini adalah gereja yang dosanya adalah ‘kemandirian-nya’. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak perlu apapun dari siapapun, tapi Kristus mengatakan, tidak, kamu harus mengambil itu dari pada-Ku, harta, baju, dan kemampuan untuk melihat itu. Jubah putih itu adalah status di hadapan Tuhan. Emas tentu adalah harta, penjamin masa depan. Kemampuan untuk melihat berarti pengenalan diri yang beres. Yang salah dengan Laodikia, bukanlah bahwa mereka mencari ketiga hal tersebut, tapi karena mereka mencarinya bukan dari Allah.
Apa itu dosa? John Frame mengatakan bahwa segala sesuatu dalam ciptaan merefleksikan Allah, termasuk dosa. Dosa punya ketergantungan kepada Allah karena dosa sebenarnya ‘ingin menjadi seperti Allah’, karena kalau ingin seperti Allah berarti harus ada bayangannya, Allah itu seperti apa. Tapi kita tahu, ‘ingin menjadi seperti Allah’ bukanlah esensi dosanya; orang yang godly juga ingin menjadi seperti Allah. Esensi dosanya adalah: kita ingin menjadi seperti Allah melalui cara kita, kemampuan kita, kekuatan kita, konsep kita, dst. Dosa bukanlah orang yang tidak mencari keselamatan, tapi dosa adalah orang yang mencari keselamatan melalui diri mereka sendiri. Itu sebabnya dalam kekristenan, pertanyaan yang paling penting bukanlah seberapa matang rohanimu, seberapa besar imanmu, tapi siapa objek imanmu.
Dalam wawancara peserta katekisasi, biasa ditanyakan “seberapa kamu yakin akan keselamatanmu”. Dan jawabannya selalu melihat kepada diri, saya begini atau begitu, saya tidak yakin karena saya ini dan itu. Tapi itu bukan sama sekali penekanan Alkitab. Penekanan Alkitab bukan soal iman itu sendiri, melainkan iman itu menuju kepada siapa. Yang menyelamatkan bukanlah kekuatan dari imanmu, tapi objek imanmu; bukan struktur imanmu tapi arah imanmu. Misalnya ada 3 orang dikejar beruang dan mereka sampai di pinggir tebing yang di bawahnya ada danau es yang membeku. Kalau tidak lompat dari tebing itu, mereka pasti dimakan si beruang. Orang pertama berpikir, aduh, saya bakal mati kalau lompat ke situ karena es itu ‘gak bakal kuat menopang tubuh saya; lalu orang itu mungkin bukan melompat tapi terpeleset ke danau es tersebut, dan ternyata selamat, es itu kuat menahan dia. Orang kedua berpikir, ini peluang fifty-fifty, saya bisa jatuh dan mungkin tenggelam atau mungkin juga selamat; lalu dia lompat dan selamat. Orang ketiga berpikir, ini pasti berhasil karena salju sudah turun sejak seminggu yang lalu, dan lumayan keras, maka saya yakin es ini sangat kuat; lalu dia lompat dan selamat. Jadi siapa yang lebih diselamatkan dari ketiga orang itu? Tidak ada. Semuanya diselamatkan, dengan level yang sama pula, karena yang menjadi hal paling penting dalam iman kita bukanlah kekuatan imannya –peran kita– tapi siapa objek dari iman itu. Maka Tuhan Yesus mengatakan “jika engkau punya iman sebesar biji sesawi, engkau bisa memindahkan gunung”. Biji sesawi itu biji yang paling kecil, dan gunung itu adalah barang yang paling besar bagi mereka di zaman itu. Maksudnya, Tuhan Yesus mau mengatakan bahwa faktor yang menentukan bukanlah sebesar apa, karena kecil saja sudah cukup, tapi kepada siapa kamu menempatkan iman itu.
Arah hati kita yang natural memang mengejar kemandirian, seperti arah hati jemaat Laodikia. Itu sebabnya di dunia ini ada orang-orang yang bekerja begitu keras dan ada juga yang bermalas-malasan. Dua-duanya sebenarnya fenomena yang sama dari satu esensi; sama-sama jubah putih kita, emas kita, berdasarkan penglihatan kita yang hancur itu. Yang bekerja keras sampai tidak peduli relasi-relasi dalam hidupnya, mengatakan “inilah emasku, jubahku, aku tahu yang aku perlukan”. Yang malas-malasan juga sama, “inilah emasku, jubahku”, bukan pekerjaan tapi foya-foya, main game seharian dsb. Sama saja. Di Alkitab juga demikian, ada orang-orang yang begitu beragama, tapi juga adalah musuh Tuhan, yaitu orang-orang Farisi.
Itulah situasi diri kita. Dan itu sebabnya satu-satunya penjamin keselamatan, emas yang kekal, adalah emas yang diberikan kepada Saudara. Jubah putih yang kekal yang tidak pernah hilang adalah jubah putih yang diberikan kepada Saudara. Demikian juga obat mata yang kekal adalah obat mata yang diberikan kepada Saudara. Oleh sebab itu ambillah daripada-Nya. Karena kalau jubah Saudara diberikan oleh Tuhan, berarti tidak ada yang bisa Saudara lakukan untuk melepas jubah tersebut. Jubah itu diberikan koq, bukan karena kamu, maka tidak bisa juga diambil karena kamu.
Emas yang diberikan oleh Tuhan, penjamin security itu, adalah emas yang dimurnikan dalam api. Dalam Alkitab, emas yang dimurnikan di dalam api dipakai sebagai metafora penderitaan. Penderitaan yang Tuhan berikan dalam hidup kita adalah penjamin status kita di hadapan Tuhan. Kita bisa lihat di bagian akhir surat ini Tuhan mengatakan “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar”. Dalam hidupmu, bukankah ada saat-saatnya Tuhan berikan penderitaan yang engkau tidak minta, pendidikan yang engkau tidak cari, perubahan yang engkau tidak sadari perlu? Bukankah itu yang Tuhan kerjakan dalam hidupmu? Lewat berbagai penderitaan dan kekecewaan, Dia mendidikmu untuk menjadi orang yang lebih manusiawi. Kalau Saudara mengalami itu, bukankah itu jaminan bahwa engkau dikasihi Tuhan? Kita selalu mengatakan ‘yang saya lakukan’, ‘yang saya tidak lakukan’. Kita tidak pernah mengatakan “Dia telah membawa penderitaan dalam hidupku, Dia telah menghajar aku; ada hal-hal yang dulu aku begini begitu, tapi gara-gara Tuhan menghajar aku akhirnya aku sadar”. Kita tidak pernah mengatakan “inilah jaminan keselamatan saya, bahwa Tuhan mengerjakan emas yang dibakar dalam api dalam hidupku”. Kalau Saudara mengamini hal ini, Saudara akan lebih yakin dengan keselamatanmu. Kita tidak pernah yakin kalau penjamin itu kita mau ambil dari diri kita sendiri. Lihatlah kepada objek imanmu. Lihatlah kasih-Nya kepadamu.
Di ayat 20 Dia mengatakan: “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” Ini hal yang indah karena pada zaman itu orang yang diundang masuk makan bersama bukan cuma diundang untuk makan doang tapi mengalami fellowship dengan orang yang mengundang. Tapi bagian ini akan jauh lebih indah, ketika Saudara menyadari bahwa Tuhan memberikan gambaran Dia sedang ingin makan bersama-sama dengan orang yang tadinya membuat Dia ingin muntah. Lihat kepada objek imanmu, janji Tuhan. Bagaimana jemaat yang bikin Tuhan ingin muntah ini bisa ada harapan? Di mana harapannya? Bukan dengan hidup lebih baik atau membuat Tuhan lebih tidak ingin muntah, tapi harapannya ada pada Tuhan. Bahwa jemaat yang bikin Tuhan ingin muntah itu, mempunyai Tuhan, yang meskipun menghadapi orang-orang yang membuat Dia ingin muntah, rela masuk bersama-sama dan mau makan bersama-sama orang itu. Itulah harapannya.
Ayat 21 “Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya.” Mengapa Tuhan Yesus bisa duduk di atas takhta memerintah dunia? Karena Dia sudah membayar harganya, Ia disalib, mati, dan turun ke dalam Kerajaan maut. Pertanyaannya, mengapa kita bisa ikut memerintah bersama-sama dengan Dia? Mengapa kita didudukkan oleh-Nya di atas takhta-Nya? Karena Dia sudah membayar harganya. Semua yang Dia lakukan, dilakukan untuk kita. Mengapa kita bisa memperoleh jubah putih? Karena Ia telah ditelanjangi di atas kayu salib. Mengapa kita bisa memperoleh emas? Karena Ia datang ke dunia sebagai Allah yang miskin, lahir di palungan yang dipinjam, yang sepanjang hidup-Nya tidak ada tempat untuk menaruh kepala-Nya, dan yang ketika mati harus pinjam kuburan orang lain. Mengapa kita bisa memperoleh emas yang murni yang dibakar oleh perapian? Karena Dia dibakar oleh api murka Allah. Mengapa kita bisa dicelikkan dari kebutaan? Karena di Markus 14:65 beberapa orang meludahi Dia, menutup muka-Nya (bahasa Inggris dikatakan menutup mata-Nya) dan meninjunya sambil berkata ‘hai Nabi, coba terka siapa yang memukul Engkau’. Pendeknya, Ia telah zealous untukmu. Ia telah menaruh kasih-Nya kapadamu sehingga Ia begitu giat dalam melayani kebutuhanmu.
Roma 12:1 mengatakan: Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Kata ‘sejati’ di sini bukan dalam pengertian genuine; kata aslinya adalah logikos, berarti sejati dalam pengertian ‘yang seharusnya, yang proper, yang logis’. Mengapa satu-satunya respon kita kepada Tuhan dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, yang berkenan, adalah satu-satunya ibadah yang logis kepada Tuhan? Siapa yang menanggung dosamu? Itu sebabnya satu-satunya ibadah yang logis adalah Saudara mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, yang berkenan, karena Ia telah mempersembahkan hidup-Nya sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan, kepada Allah, bagimu, bagi saya.
“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat."
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading