Saudara, tahukah bedanya film vampir dengan film zombie? Kesamaannya, yaitu keduanya bisa dikategorikan makhluk undead –makhluk yang sebenarnya sudah mati tapi seperti hidup. Bedanya, dalam film vampir, si vampir hampir selalu menjadi tokoh utama; sedangkan dalam film zombie, hampir selalu si zombie jadi figuran yang cuma muncul sekali-sekali, menggigit orang, dsb. Mengapa begitu? Karena meski mati, vampir punya kehendak, yang mereka lakukan adalah karena mereka ingin melakukannya; itu cukup menarik untuk jadi tokoh utama. Tapi zombie tidak ada kehendak, hanya jalan-jalan lalu gigit orang. Maka film zombie zaman dulu “The Night of The Living Dead” judulnya kurang tepat; yang lebih tepat film zombie zaman sekarang, bukan “Living Dead” melainkan “Walking Dead” karena memang zombie cuma berjalan, bukan membawa diri melainkan terbawa, seperti hidup tapi sebenarnya mati dan hanya jalan-jalan, gerak-gerak, dst.
Basically itulah penilaian Tuhan Yesus kepada jemaat di Sardis : kamu terlihat hidup, kamu ada pekerjaannya, tapi sesungguhnya kamu mati. Waktu ayat 1 dikatakan “engkau terlihat hidup”, secara literal berarti engkau punya nama yang hidup –reputasi yang hidup– kira-kira seperti itu. Seperti waktu kita membahas jemaat Tiatira yang mereka mungkin kaget waktu dikatakan bahwa pemimpinnya ternyata adalah Izebel, mungkin seperti itu juga kagetnya keenam jemaat yang lain waktu mereka mendengar bahwa jemaat Sardis, yang reputasinya begitu bagus, yang namanya begitu baik, ternyata menurut penglihatan Tuhan Yesus adalah jemaat yang mati. Bukankah Sardis gereja yang paling bertumbuh, yang jemaatnya paling banyak, mungkin juga yang paling banyak kegiatannya?
Gambaran ini jadi semakin mengerikan ketika kita menyadari bahwa dalam surat ini tidak ada indikasi jemaat Sardis menyimpang secara doktrin. Kepada jemaat-jemaat lainnya ada tuduhan seperti itu, mereka dikatakan termakan ajaran sesat, mengikuti nabi palsu yang adalah Izebel, menyimpang dari pengajaran para rasul, tapi tidak ada tuduhan semacam itu kepada jemaat Sardis ini. Oleh karena itu, kemungkinan besar jemaat Sardis ini memiliki doktrin yang ortodoks, mengajarkan Alkitab secara murni. Tapi seperti juga kita telah berkali-kali melihat dalam surat-surat di kitab Wahyu, bahaya yang paling besar dalam suatu jemaat datang di dalam hal yang justru di situ mereka kuat.
Ironisnya, sejarah dan latar belakang kota Sardis sendiri mencerminkan persis kebahayaan ini, bahwa kecelakaan yang besar justru timbul dalam kekuatannya, bukan kelemahannya. Sardis mempunyai reputasi terkenal sebagai kota yang tidak mudah ditaklukkan. Sardis didirikan di atas tebing curam, hanya punya satu jalan keluar masuk yang sempit dan terjal, sehingga sebuah pasukan kecil saja sudah cukup untuk mempertahankan kota ini dari serangan tentara musuh yang berkali lipat jumlahnya. Namun Sardis punya catatan hitam dalam sejarahnya, ketika dua kali Sardis –yang katanya pertahanannya sulit ditembus– berhasil ditembus musuh. Dan kedua kekalahannya itu bukan karena tentara musuh hebat melainkan karena penjaga Sardis overconfidence. Herodotus mencatat, tahun 549 BC tentara Persia di bawah Xerxes berusaha menaklukkan kota Sardis. Serangan pertama lewat pintu masuk yang sempit itu gagal. Lalu suatu malam seorang tentara Persia melihat di satu bagian tebing yang sangat curam –dan karena begitu curamnya– Sardis tidak menaruh penjaga di situ. Singkat cerita, di malam hari tentara Persia naik melalui bagian itu, satu demi satu, dan berhasil membuka pintu gerbang dari dalam dan mengalahkan Sardis. Pengalaman sekali terkalahkan itu ternyata tidak cukup. Tiga ratus tiga puluh tahun kemudian hal yang sama kembali terjadi. Kali ini yang menyerang adalah Raja Antiokhus Agung dengan cara yang persis sama.
Ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa Ia akan datang seperti pencuri di tengah malam, gambaran ini tidak bisa lebih jelas lagi bagi orang Sardis. Mereka tahu, dua kejadian dalam sejarahnya adalah contoh jelas tentang apa yang akan terjadi ketika penjaga kota menjalankan tugas mereka di atas dasar reputasi dan bukan realita. Itu berarti, reputasi gereja yang beres –yang alkitabiah, yang biblikal, yang reformed– ternyata bukan cuma tidak ada artinya, tapi juga bisa menjadi kebahayaan yang sangat besar. Bukankah gereja Sardis –yang reputasinya paling bagus di antara 7 gereja– justru gereja yang tidak mendapatkan pujian satu kalimat pun dari Tuhan Yesus? Lalu bagaimana bisa suatu jemaat sampai tidak sadar sama sekali akan realita sesungguhnya dari gereja mereka? Kita bisa mendapatkan jawaban sedikit dari ayat 4 “… di Sardis ada beberapa orang yang tidak mencemarkan pakaiannya…”, sehingga kita bisa mengambil kesimpulan, mungkin reputasi gereja ini masih terjaga karena ada sebagian dari mereka yang memang masih sungguh-sungguh menghidupi reputasi tersebut. Gereja-gereja hari ini pun banyak yang memiliki suatu reputasi yang sebenarnya hanya dikarenakan oleh sebagian kecil dari orang-orangnya. Ada gereja yang terkenal sangat friendly, karena ketika seorang pendatang masuk ke gereja tersebut, dia menemui 2-3 orang yang friendly. Gereja yang sama mungkin juga terkenal sangat dingin, karena seorang pendatang yang lain masuk ke gereja tersebut, dan dia menemui 2-3 orang yang memang dingin terhadap para pendatang. Maka tidak heran, pada zaman sekarang pun, suatu reputasi gereja bisa dikarenakan hanya oleh sebagian kecil dari orang-orang gereja tersebut.
Oke pak, tapi ini pasti gereja yang ngawur, tidak relevan untuk gereja kita, kita tidak seperti itu, benarkah? Saudara, waktu gereja Sardis dikatakan sebagai gereja yang mati, itu tidak berarti mereka bukan gereja yang sejati. Koq bisa? Coba Saudara melihat yang Tuhan katakan di bagian ini, yang Tuhan suruh mereka lakukan, yaitu “ingat apa yang telah kau terima dan yang telah kau dengar”. Kesalahan mereka bukanlah karena mereka belum menerima sesuatu melainkan karena melupakan yang telah mereka terima. Mereka lupa untuk menjaga yang mereka pernah dapatkan. Dan gereja ini bukan cuma dikatakan “mati”, Tuhan memakai metafor lain yaitu “tidur” –kalau orang mati, kita tidak suruh dia bangun– di sini Tuhan Yesus mengatakan ”bangunlah”. Dikatakan juga mereka harus menguatkan apa yang hampir mati. Tuhan sengaja mencampur metafor-Nya. Gereja ini tetap sungguh-sungguh gereja, tapi mereka dalam keterlelapan rohani sedemikian rupa sehingga seperti gereja yang mati. Maka ini berarti tudingan tersebut sangat mungkin relevan buat kita.
Waktu saya persiapan bagian ini, saya pikir sudah pastilah ini problem gereja kita juga. Alasannya simpel saja, gereja yang isinya orang-orang menengah ke atas seperti di sini memang paling mudah terjangkit “keterlelapan rohani” karena kita berada dalam comfort zone, secara umum hidup tidak terlalu banyak kesulitan. Tapi yang mengagetkan saya, Sinclair Ferguson mengatakan, “Jangan lupa, audience pertama tudingan ini –gereja Sardis– adalah gereja yang sedang berada dalam penganiayaan.” Berarti ini bukan penyakit yang hanya menjangkiti gereja-gereja dalam comfort zone, melainkan bahkan bisa menjangkiti gereja yang sedang dalam situasi genting, situasi penganiayaan.Jadi, kalau berita ini bisa relevan bahkan bagi mereka, apalagi bagi kita yang memang sedang berada dalam segala keamanan dan kebebasan, yang setiap hari kulkasnya selalu penuh.
Terlebih lagi kalau Saudara melihat dalam sejarah gereja, kehadiran suatu gereja besar –mega church– dalam sebuah kota, bukanlah tanda bahwa lebih banyak orang yang datang kepada Tuhan di kota tersebut, melainkan seringkali justru tanda munculnya kematian dan keterlelapan rohani di kota itu. Alasannya simpel, dalam sebuah gereja yang lebih besar, level komitmen yang diperlukan untuk bisa datang, masuk, dan bertahan dalam gereja tersebut, adalah berbanding terbalik dengan jumlah jemaatnya; semakin banyak jemaatnya, semakin sedikit komitmen, attachment, rasa kepemilikan, yang diperlukan untuk bisa bertahan di gereja itu. Di luar negeri banyak sekali contohnya. Pendeta tertentu kebaktiannya bisa dihadiri 4000-5000 orang setiap kali dia kotbah, tapi ternyata anggota gerejanya 10.000 orang, berarti ada 60% anggota yang tidak hadir, bahkan kita yakin lebih sedikit dari itu karena dari 4000 orang yang hadir ada juga simpatisan atau yang belum menjadi anggota. Dari luar bisa terlihat sangat oke, tetapi di dalamnya ada bau busuk. Reputasi bagus simply karena ada sekumpulan minoritas yang bertahan. Saya tidak tahu GRII Kelapa Gading ada berapa anggotanya dan berapa persen yang hadir setiap Minggu, tapi seiring jumlah yang bertambah apakah persentasenya naik atau justru turun?
Kalau gereja yang dalam situasi genting saja bisa tertidur, kita dapat menarik kesimpulan bahwa semua gereja pasti akan tertidur kecuali mereka senantiasa dibangunkan. Gereja yang ada harapan, tidak terlelap secara rohani, adalah gereja yang senantiasa ber-asumsi bahwa mereka akan terlelap. Itu berarti kita harus juga meng-asumsi-kan bahwa kita senantiasa akan terlelap, akan melupakan yang kita terima; kesadaran inilah satu-satunya yang membuat kita bisa ada kemungkinan tidak terlelap. Terlalu ekstrim? Tidak, karena prinsip ini tidak hanya untuk gereja tapi berlaku bagi semua organisasi manusia. Begitu banyak organisasi dunia dimulai dengan semangat yang tinggi karena ada tujuan jelas, ada misi di depan mata, ada situasi yang genting, dsb., tapi seiring tahun-tahun yang berlalu –sebagaimana kata Pdt. Stephen Tong– movement itu menjadi monumen, kita lupa tujuan pertamanya. Maka, kecuali sebuah jemaat senantiasa berasumsi “mereka akan terlelap dan kehilangan arah”, cepat atau lambat gereja tersebut pasti akan tertidur. Dan yang mengerikan, seringkali mereka akan terlelap jauh sebelum reputasi dan nama baiknya ikut runtuh.
Jadi apakah itu “terlelap secara rohani” yang kita perlu coba lihat dan bereskan? “Terlelap” berarti kita dikuasai bukan oleh realita melainkan mimpi. Waktu tidur kita mungkin merasa aman dan nyaman berada di sebuah pantai padahal rumah kita sedang kebakaran, karena kita dikuasai mimpi/ bayang-bayang, bukan realita. Ketika bangun, baru kita nyambung dengan realita, tidak lagi dikuasai mimpi. Dalam mimpi, kita tidak bisa membedakan yang mana mimpi, yang mana realita; hal yang tidak penting menjadi sangat penting, hal yang penting justru bisa terlihat sangat tidak penting. Waktu sedang tidur dan istri Saudara memanggil-manggil, “Bangun! Bangun! Rumah kebakaran! ”, Saudara cuma mengatakan, “Ya, gua denger koq, lima menit lagi.” Saudara seperti nangkep tapi sebenarnya ‘gak nangkep; yang penting jadi ‘gak penting, yang ‘gak penting jadi prioritas. Itulah terlelap.
Apa tujuan Saudara berbakti setiap Minggu di tempat ini? Masih ingatkah? Kita pernah memakai ilustrasi yang menjelaskan tentang ibadah. Seorang wanita membawa sebuah liontin emas ke seorang ahli untuk ditaksir harganya; ia melemparkannya begitu saja ke meja orang itu. Setelah orang itu melihat dengan kaca pembesarnya, membuka beberapa catatan, membanding-bandingkan, ia kembali dan mengatakan, “Kamu tahu, liontin ini berapa berharganya? Dalam buku itu ada 12 liontin emas peninggalan zaman ratusan ribu tahun lalu, dan selama ini ada 3 di museum yang ini, 4 di museum yang itu, dst. tapi ada 1 yang hilang –mungkin dicuri– dan kita tidak bisa membuatnya lagi karena tekniknya sudah hilang dimakan waktu, dan… saya rasa liontin inilah barang tersebut”, lalu menyerahkannya kembali dengan tangan gemetar ke wanita itu. Si wanita juga menerimanya dengan tangan gemetar, lain sekali dengan sikapnya waktu memberikan liontin tersebut tadi. Itulah ibadah.
Tujuan ibadah setiap Minggu adalah untuk membangunkan Saudara, membuat Saudara sadar akan realita yang sesungguhnya dan bangun dari pengaruh mimpi serta bayang-bayang yang selama ini mempengaruhi hidup Saudara; untuk disadarkan bahwa yang paling penting, yang paling berharga yang Saudara miliki hari ini adalah Kristus dan kerajaan-Nya dan bukan hal-hal yang lain. Itulah yang menjadi tujuan kita setiap kali datang ke tempat ini –untuk dibangunkan– and yet, kita seringkali tidur karena kita datang ke sini simply untuk mendapatkan semacam atmosfer spiritual saja.
Apa contoh dalam hidup kita yang kita dikuasai mimpi dan bukan realita? Pertama, kita merasa kenyang dengan firman Tuhan, yaitu ketika fiman Tuhan mengelilingi hidup Saudara tetapi tidak ada di dalam hati, ketika firman Tuhan masuk ke telingamu tapi tidak masuk ke dalam hatimu dan mengubah hidupmu. Istri saya seorang dokter, jadi kalau sakit sedikit saya langsung ngomong ke dia, sakit di sini di situ, dsb. Dan dia selalu punya satu pertanyaan diagnosa yang langsung membungkam saya: “kamu berasa sakit di sini di situ, ok; nafsu makan gimana?”, dan kenyataannya nafsu makan ‘gak kenapa-kenapa, tetap nafsu makannya. Kalau begitu ya udah, problem lu berarti ga seberapa. Itu diagnosa pertama yang biasa seorang dokter lakukan: nafsu makan. Salah satu tanda sakit fisik adalah nafsu makan yang terganggu. Kalau kita datang ke dokter lalu mengatakan, “Dok, saya makan satu minggu sekali, itu sudah pengen muntah”, maka pasti ada yang salah, yang mungkin merusak sekali. Itu yang seringkali terjadi pada kita, kita merasa cukup dengan firman Tuhan, kita merasa kenyang dengan datang satu minggu sekali ke dalam kebaktian. O, saya cari firman Tuhan koq, tapi ya satu minggu sekali sudah cukup.
Di PA kemarin saya ada satu pengalaman yang encouraging sekaligus discouraging at the same time. Seorang bapak yang rutin datang ke PA menghampiri saya, mengatakan, “Pak, maaf saya mau tanya, pernah ‘gak ada orang bicara ke Bapak seperti ini: ‘saya frustrasi dengar PA Bapak karena saya ‘gak dapat cukup waktu untuk mencatat yang Bapak katakan’ ?“ Wah, kaget saya, tiba-tiba gambarannya terbalik sama sekali; mungkin memang banyak yang frustrasi, mungkin karena tidak mengerti, atau tidak merasa perlu, atau tidak merasa ini dan itu, tapi bapak ini frustrasi karena merasa tidak cukup mendapatkan, merasa perlu lebih, merasa yang diberikan dalam PA sangat penting tapi tidak cukup waktu untuk mencatat! Di satu sisi saya sangat encouraged karena ada orang luar biasa seperti ini yang frustrasi for the perfect reason; tapi saya discouraged juga oleh pertanyaan dia tadi karena jangan-jangan memang tidak ada yang merasa frustrasi semacam itu.
Banyak dari kita merasa kenyang, tidak ada rasa haus dan lapar akan firman Tuhan; tentu bukan cuma di gereja kita. Satu analogi dari Sinclair Ferguson, dia mengatakan ada seorang pengacara datang dalam kebaktiannya, dan dia tahu bahwa later pengacara tersebut mengatakan, “Kotbah tadi itu menarik, tapi si Pendeta ‘gak tahu kali ya bahwa kotbah cukup 10-12 menit saja. “ Sinclair mengatakan bahwa kalau ada kesempatan bicara dengan pengacara tersebut, dia ingin bertanya seperti ini: “Kapan terakhir kali Anda memenangkan satu kasus, yang nyawa seseorang tergantung pada pengadilan tersebut, hanya dalam 10-12 menit? “ Kita jangan dulu menganggap pengacara itu memang kurang ajar lalu merasa “kita ‘gak kayak gitu, saya dengerin kotbahmu 1 jam oke koq”, karena mungkin itulah “10-12 menit”-mu. Setiap kita ada satu level yang kita katakan “inilah batasan saya; firman Tuhan cukup segini dalam satu minggu, saya tidak perlu lebih dari itu”. Dan agak ironis, hal ini cukup universal terjadi juga di gereja-gereja cabang lain bahwa banyak orang datang ke Gereja Reformed tiap Minggu tapi tidak ada interest sama sekali untuk mengikuti PA.
Dalam retreat calon hamba Tuhan di RMCI yang baru lalu, Pdt. Billy Kristanto mengatakan dengan sangat keras satu kalimat yang Saudara tentu juga sudah pernah dengar: ”Bagaimana Saudara mau men-justify diri sebagai pengajar jika Saudara sendiri tidak belajar? Jika Saudara berhenti belajar, silakan berhenti mengajar. “ Itu yang terjadi pada kita. Di mana para diaken dan guru Sekolah Minggu waktu PA? Saya bukan diaken dan bukan guru Sekolah Minggu, Pak. Saudara, tidak sadarkah bahwa Saudara juga dipanggil untuk mengajar orang lain yang Tuhan tempatkan di sekelilingmu, orang-orang yang lebih muda, anak Saudara sendiri, keluarga Saudara? Apakah engkau merasa sudah cukup dengan firman Tuhan seminggu sekali? Ya, yang kami mau adalah seminar, yang lebih relevan, topiknya menarik, dsb. Di mana appetite Saudara akan eksposisi firman Tuhan yang rutin dan reguler? Kalau seseorang sehari-hari makan bakmi, lalu satu kali ditawari salmon, ya tidak heran dia punya appetite untuk salmon itu. Tapi bagaimana untuk memiliki appetite senantiasa –setiap hari– mencari firman Tuhan? Kurang jelas sih, temanya tidak ditulis. Saudara, kita membahas firman Tuhan, dan itu should be enough. Kalau Saudara tidak tahu temanya lalu tidak mau datang, berarti Saudara cuma datang kalau temanya sesuai menurut yang Saudara pikir; dan itu berarti ada bagian-bagian firman Tuhan yang tidak relevan dengan hidup Saudara.
Banyak orang tidak mau datang belajar firman Tuhan baik-baik, lalu cari pendeta waktu hidupnya sudah di pinggir jurang; dan biasanya dalam poin seperti itu, sudah terlambat. Kita memakai berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, untuk hal-hal yang sebenarnya kepentingannya hanya sebatas yang fana, tapi untuk firman Tuhan, ternyata buat kita tidak segitu pentingnya. Sekarang Saudara bisa lihat, mengapa gereja bisa terlihat hidup di luarnya tapi sesungguhnya mati? Karena kita sendiri sulit sekali mengakui hal ini, kita lempar alasan ini dan itu. Kalau kita mau jujur, alasannya simpel: firman Tuhan tidak terlalu pengaruh dalam hidup kita. Bukan cuma faktor internal “kita tidak mau”, tapi tentu juga ada faktor eksternal. Di zaman kita dengan pengaruh budaya/ mentalitas konsumer yang membuat orang kehilangan seni belajar dengan proses, orang hanya mau segala sesuatunya instan, dan mau segala sesuatu itu “new” setiap hari.
Kata “new/ baru” dalam Alkitab paling sedikit ada 2 istilah yang dipakai: neos dan kainos. Kata “neos” adalah “baru” dalam pengertian durasi; misalnya anak muda itu “baru”, dalam pengertian “muda”. Tapi “kainos” adalah “baru” dalam pengertian signifikansi, kualitas. Kata “Yerusalem baru” dalam kitab Wahyu memakai kainos, bukan neos; dalam Alkitab ada banyak sekali dikatakan bahwa “kebaruan” seperti inilah yang harus dicari orang Kristen. Waktu dikatakan “nyanyikanlah nyanyian baru bagi Tuhan”, tentu maksudnya bukan cuma compose lagu baru, tapi juga bahwa lagu yang selama ini kita sudah tahu bisa ada signifikansi yang senantiasa gres. Masalahnya, “baru” dalam pengertian kainos seringkali hanya datang melalui proses yang panjang, yang lamban, serta mungkin sekali menyakitkan dan merepotkan.
Satu contoh, saya pernah mendengar satu orang mengajar mengenai homiletik (berkotbah) di rekaman. Di situ dia mengingat yang gurunya pernah lakukan kepada mereka, guru itu mengatakan, “Coba kita buka satu pasal Alkitab, dan kalian merenungkan. Setelah 15 menit, kalian sharing yang didapat dari pasal itu. “ Lima belas menit kemuadian, banyak dari mereka tidak bisa sharing apa-apa, tidak tahu apa poinnya, tidak mengerti isinya, dan makin tambah bingung. Lalu guru menyuruh duduk mempelajari kembali pasal yang sama selama 45 menit sehingga totalnya 1 jam. Setelah itu, banyak sekali dari murid-murid mendapatkan poin-poin yang begitu indah dan luar biasa, dan menariknya, hampir semua poin itu muncul pada menit-menit terakhir. Itu adalah satu hal sederhana yang kita sudah tahu. Tapi di kelas yang sama, diajarkan juga bahwa setiap kali berkotbah, 5 menit pertama adalah yang paling penting karena –asal tahu saja– setiap pendengar akan memakai 5 menit yang pertama untuk menentukan apakah mereka akan terus mendengarkan selama satu jam atau akan tidur selama satu jam.
Kita tahu dan sadar, bahwa yang indah itu baru bisa didapatkan lewat proses, tapi kenyataanya kita seringkali tidak mau hal itu; kita pakai 5 menit yang pertama untuk menentukan, kalau bagus dan relevan buat saya, saya akan datang; saya mau datang PA koq kalau saya tahu signifikansinya secara langsung. Mengapa kita mengadakan PA secara reguler dan bukan sekali-sekali? Karena kita tahu –dan kita tidak mau menipu jemaat– bahwa tidak ada yang instan; satu-satunya jalan untuk bisa belajar membaca Alkitab secara benar tidak bisa dengan mendatangi seminar satu kali lalu beres, tapi ketika Saudara bertumbuh terus, rutin, reguler. Saudara tentu tahu hal ini, and yet tidak mau. Saya tidak punya waktu. Buatlah agar punya waktu, Saudara.
Beberapa dari kita mungkin pernah mengalami bedah yang lumayan besar. Setelah dibedah, yang akan dikatakan dokter: “Bulan-bulan ke depan adalah bulan-bulan yang kritis, kamu harus diterapi ini dan itu, dan akan menetukan seberapa banyak fungsi tubuh yang normal bisa kembali. “ Dan kita melakukan itu semua untuk tubuh kita yang suatu hari akan kembali binasa. Waktu masuk masa tua, kita sering menyesal akan banyak hal, seharusnya begini, seharusnya begitu, harusnya lebih rajin, harusnya lebih sabar, dan itu semua untuk hal yang fana, temporal. Tidakkah Saudara menyadari bahwa engkau mempunyai jiwa yang kekal yang jauh lebih penting dibandingkan organ tubuhmu yang dioperasi? Apakah Saudara punya rasa lapar dan haus bagi firman Tuhan? Jikalau tidak, engkau sedang dikuasai mimpi dan bukan realita.
Sedikit mengulang poin yang sudah saya sampaikan dalam Persekutuan Doa, Calvin mengatakan bahwa problem kita dalam hal doa ada 2, yang sepertinya bertabrakan tapi sebenarnya satu problem yang sama. Problem yang pertama –mungkin Saudara lebih terbiasa– yaitu doa kita isinya cuma minta doang, tidak ada penyerahannya. Padahal dalam Doa Bapa Kami jelas, sebelum kalimat permintaan ada kalimat penyerahan lebih dulu (“Jadilah kehendak-Mu” dulu, baru “Berikanlah kepada kami …”). Ini kita sudah tahu dan sudah sadar. Tapi ada problem lain yang seperti berlawanan, yaitu kita bukan kebanyakan minta dan kurang penyerahan, melainkan bisa juga doa kita kebanyakan penyerahan dan kurang meminta; lebih tepatnya, doa-doa kita seringkali kurang ngotot di hadapan Tuhan. Ini menarik, dan juga biblikal bahwa doa itu harus ngotot.
Tuhan Yesus sendiri di kitab Lukas memberikan 2 perumpamaan berbeda untuk mengungkapkan 1 poin yang sama. Pertamadi Lukas 11 tentang seseorang yang diganggu tengah malam oleh tetangganya untuk minta roti. Ini waktunya tengah malam, cuma minta roti karena ada kenalannya datang dan dia tidak punya roti, bukan kasus emergency istrinya harus dibawa rumah sakit atau semacam itu. Tapi Tuhan mengatakan orang itu akhirnya menerima yang dia perlukan, bukan karena berstatus sahabat, melainkan karena dia punya sikap yang tidak malu. Lalu di Lukas 18 Tuhan Yesus mengatakan perumpamaan tentang seorang janda yang mengganggu hakim dengan permintaannya yang bertubi-tubi sampai akhirnya si hakim tidak tahan dan memberikannya. Di kedua perumpamaan itu Tuhan Yesus dengan jelas mengatakan “demikianlah kamu harus berdoa dengan tidak jemu-jemu, tidak henti-henti, meminta dengan tidak malu. “
Tuhan Yesus menggambarkan doa sebagai ketukan pintu. Ketukan pintu baru berhasil kalau dilakukan berulang kali. Kalau Saudara ketuk pintu orang cuma sekali “tok”, orang itu kira ada benda jatuh, dia tidak tahu itu ketukan pintu. Tapi by nature, ketukan pintu harus dilakukan berulang kali “tok, tok, tok”, baru orang tahu itu ketukan pintu. Dan itulah gambaran yang Tuhan Yesus berikan untuk doa. Doa tidak bisa satu kali. Doa itu harus datang dengan tidak malu-malu, ngotot, terus-menerus, bertubi-tubi, ngomong hal yang sama berkali-kali, yang sebenarnya Tuhan juga sudah tahu. Kita sulit sekali dalam hal ini; dalam hubungan dengan sesama manusia, kita merasa sungkan sekali melakukan seperti ini, tapi justru Tuhan Yesus mengatakan bahwa seperti itulah kamu harus berdoa waktu kamu meminta sesuatu. Dan kita tidak melakukan. Doa kita bukan cuma isinya permintaan doang tidak ada penyerahan diri, tapi seringkali doa kita permintaannya cuma sekali saja cukup, yang penting saya sudah doa, mau dijawab tidak dijawab itu terserah Dia, ‘kan “kehendak-Mu jadilah”, dsb. Pertanyaannya, mengapa ada anjuran untuk berdoa seperti ini dari Tuhan Yesus sendiri? Juga dari Calvin yang percaya predestinasi.
Satu kalimat yang pernah keluar dari mulut orang Kristen yang mungkin paling arogan –at least di mata dunia– adalah “there is no atheist in fox holes” (tidak ada yang namanya ateis di fox holes). Fox holes bukan lubang rubah, tapi istilah militer untuk lubang perlindungan yang digali para tentara ketika mereka tahu akan dihujani artileri (senjata meriam jarak jauh). Tapi bagaimanapun, fox holes adalah perlindungan yang tidak cukup, karena jika artileri itu jatuh tepat di lubang tersebut maka tidak ada yang bisa dilakukan. Pengalaman berada di dalam fox holes adalah pengalaman yang paling mengerikan karena mereka dihujani artileri habis-habisan di kiri kanan depan belakang, pohon-pohon tumbang, tanah ataupun salju berterbangan, bagian-bagian tubuh manusia terlempar ke sini sana; dan tidak ada yang mereka bisa lakukan. Dalam keadaan seperti itu maka dikatakan “tidak ada orang ateis di dalam fox holes”. Mengapa kalimat ini boleh dibilang tidak bisa ditentang? Karena ada banyak kesaksian orang-orang yang mengaku ateis, ketika hidupnya terkena badai, situasi yang amat sangat desperate, yang mereka lakukan secara instingtual adalah berdoa.
Mark Twain –seorang yang sangat keukeuh tidak percaya Tuhan– waktu istrinya sakit keras sebelum akhirnya meninggal, mengatakan bahwa dia menemukan dirinya berdoa seperti anjing. Doa ternyata adalah satu insting yang paling dasar dalam hidup manusia; dan menariknya, kalau Saudara mau mengeluarkan yang paling dasar, yang paling tersembunyi di bawah, itu baru bisa ketika hati Saudara kena badai. Kalau Saudara mau tahu di gudang rumah ada tikus atau tidak, caranya bukan dengan teriak-teriak dari jarak 10 meter, lalu gedor-gedor pintunya dulu baru buka sambil menyalakan lampu pelan-pelan; itu tidak akan berhasil. Satu-satunya cara adalah dengan mengendap-endap, lalu tiba-tiba mendobrak pintu, dan dengan mendadak menyalakan lampu; waktu itulah baru Saudara bisa melihat ekor-ekor hitam yang berlari ke balik timbunan-timbunan barang di situ. Demikian pula hati manusia.
Mengapa kita mengatakan bahwa doa adalah insting manusia yang paling dasar? Karena di dalam saat manusia mengalami goncangan yang paling gila, itulah yang keluar. Itu berarti natur asli hati manusia adalah ketergantungan kepada Allah. Ketika kita bertemu dengan situasi yang mengagetkan, desperate, yang tidak disangka-sangka, tidak sempat lagi pasang pertahanan, tidak sempat berpikir lagi, di situlah natur asli hati kita keluar; dan yang keluar dalam situasi seperti itu adalah doa. Bukankah dalam hidup ini kita baru berdoa sungguh-sungguh ketika merasa terancam? Ketika sudah kehabisan akal? Yang saya mau katakan adalah: ketika kita merasa sedang in control, ketika kita merasa hidup kita sedang aman tidak terancam, ketika kita merasa sanggup mengendalikan hidup kita, itulah saatnya kita sedang “autis”, sedang tertipu, sedang menghidupi mimpi bukan realita. Ketika Saudara sadar Saudara tidak punya pegangan, tidak punya kekuatan, helpless, powerless, saat itulah –menurut Calvin– saatnya Saudara justru paling manusiawi, paling nyambung dengan realita, sadar bahwa kita itu fana dan terbatas, sadar bahwa kita sangat tergantung kepada Tuhan.
Jadi mengapa kita diminta berdoa seperti orang yang desperate itu, yang ngotot dan tidak tahu malu itu, yang panik dan begitu luar biasa membutuhkan? Karena doa yang demikian adalah jalan yang dipakai Tuhan untuk me-manusiawi-kan engkau tanpa harus mencemplungkan engkau dalam badai hidup. Doa yang demikian adalah sebuah latihan rohani yang Tuhan berikan untuk menyadarkan siapa diri kita sesungguhnya, tanpa harus dicemplungkan ke dalam krisis. Doa yang demikian adalah cara untuk menyadarkan kita bahwa gudang kita itu penuh tikus, tanpa harus setiap kali mendobrak dan merusak pintunya. Doa yang demikian adalah cara untuk membuat kita sadar betapa kita tergantung di hadapan Tuhan, tanpa harus setiap kali masuk ke dalam badai, malapetaka, dan kecelakaan. Sadarkah Saudara hal ini? Tuhan tidak menyuruh kita berdoa dengan ngotot karena Dia somehow baru mau memberikan berkat-Nya ketika kita lebih ngotot dan lebih ngotot lagi. Tidak begitu. Dia minta kita berdoa dengan ngotot karena doa yang ngotot itulah berkatnya; dan itu untuk kita, bukan untuk Dia, supaya kita bisa dibangunkan tanpa harus dicemplungkan ke dalam krisis.
Bukankah Saudara sedang dibangunkan dan sekarang melihat realita yang sesungguhnya? Bukankah Saudara sedang menyadari sekarang bahwa selama ini terlelap dalam hal ini, dan mungkin sekali terlelap dalam banyak hal yang lain? Kita takut berdoa ngotot karena kita selalu berpikir bahwa doa seperti itu seolah doa yang kurang tahu diri di hadapan Tuhan. Tapi ironisnya, justru terbalik; gambaran doa yang tenang, kalem, nada perkataan yang konsisten, basically kalau Saudara membaca Mazmur tidak akan menemukan doa yang demikian. Doa yang tenang seperti itu justru doa yang tidak tahu diri di hadapan Tuhan, tidak sadar dirinya sedang di ambang jurang. Itu doa yang orang yang hanya bisa mengenal dirinya sekali-sekali yaitu waktu badai menerjang; orang yang hidupnya dikuasai mimpi, bukan realita. Bukan berarti mulai sekarang kita berdoa harus teriak-teriak dan gebrak-gebrak meja, atau menangis sesenggukan, tapi satu tanda yang jelas harus ada dalam doa kita adalah seberapa konsistennya, bertubi-tubinya, Saudara berdoa; atau Saudara simply berdoa karena kalau sudah berdoa ya udah, afdol ‘kan.
Kalau Saudara mau punya kekuatan untuk bisa mengetuk berkali-kali seperti tadi, Saudara perlu ingat satu hal: Tuhan sudah lebih dahulu mengetuk pintu hatimu. Bukankah hari ini yang Saudara alami adalah satu ketukan pintu? Yang setiap Minggu Dia melakukannya bertubi-tubi secara konsisten dan tidak malu-malu? Dia tidak menunggu kita datang dengan pengertian yang benar baru Dia mengetuk hati kita. Dia melakukannya, tidak peduli apakah kita datang dengan motivasi yang beres atau tidak; apakah kita mau meresponi atau tidak. Dia memberikan kepada gereja ini PA 3 kali seminggu, tidak peduli berapa banyak Saudara yang mau datang. Dia memberikan Persekutuan Doa 2 kali seminggu, tidak peduli yang datang hanya segelintir orang saja.
Bisa lihatkah Saudara, mengapa dikatakan sebuah gereja yang ada kemungkinan tidak terlelap adalah sebuah gereja yang senantiasa berasumsi bahwa mereka sedang terlelap? Itulah realitanya. Dan kalau Saudara masih mau mengatakan saya sedang terjaga koq, saya tahu yang saya perlukan, saya sanggup menentukan yang saya tidak perlu –saya tidak perlu PA, saya tidak perlu firman Tuhan lebih dari sekali seminggu, saya tidak perlu persekutuan dengan saudara seiman– hal yang paling saya perlu adalah uang, kesuksesan, karir, dan pengakuan teman-teman saya, maka kalau saya lihat-lihat Forex di HP waktu mendengarkan kotbahmu, tolong jangan ganggu saya; maka inilah final appeal saya bagi engkau: “Ingatlah apa yang telah engkau terima dan engkau dengar, turutilah itu dan bertobatlah ! Karena jikalau engkau tidak berjaga-jaga, Tuhan akan datang seperti pencuri dan engkau tidak tahu pada waktu manakah Dia tiba-tiba datang kepadamu. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)