Kita umumnya lebih familier dengan Debora, Barak, Gideon, Yefta, dan tentu saja Simson; tapi sebenarnya cerita Ehud, si tangan kidal, dan Eglon, si raja berperut gendut, bukanlah cerita yang boleh kita lewatkan begitu saja. Dalam seluruh kitab Hakim-hakim, kisah pertama yang dilukiskan secara mendetail adalah kisah hakim Ehud. Di pasal 3 ini pun ada 3 hakim –Otniel, Ehud, dan Samgar– namun kisah Ehud jelas mendominasi. Jadi sepertinya, struktur kisahnya mengajak kita untuk melihat kisah ini bukan sebagai kisah yang bisa dilewatkan begitu saja, sebaliknya perlu kita perhatikan lebih dalam.
Sebelum masuk ke kisahnya sendiri, pertama-tama kita perlu membahas setting panggungnya, mengapa di pasal 3 ini Ehud –yang sebenarnya hakim kedua dan bukan pertama– kisahnya yang panjang itu didahului dan diapit oleh kisah singkat mengenai Otniel, hakim yang pertama, lalu dilanjutkan dengan kisah yang super singkat, mengenai Samgar, hakim yang ketiga. Saudara ingat, setiap kali di Alkitab Saudara menemukan struktur sandwich kayak begini (ada sesuatu yang signifikan di tengah, lalu pengapitnya di depan dan di belakang, atau di kiri dan di kanan), biasanya ini disengaja, ini adalah cara penulis Alkitab mau menunjukkan sesuatu. Jadi kita akan membahas hal ini lebih dulu. Kita akan membahas setting-an panggung bagi cerita Ehud, yaitu cerita Otniel dan cerita Samgar, lalu kita akan menelaah cerita tentang Ehud itu sendiri, kemudian mencoba melihat apa maknanya.
Panggungnya lebih dahulu, yaitu kisah Otniel, hakim yang pertama, ayat 7-11. Ini adalah hakim yang ideal; lalu kenapa kisahnya begitu singkat? Kita sudah bicara berkali-kali bahwa dalam kitab Hakim-hakim ini ada sebuah pola siklus yang terus-menerus berulang dalam setiap kisahnya. Bentuk paling sederhananya ada 4 poin: ada pemberontakan Israel, dilanjutkan dengan penghakiman dari Tuhan, ada pertobatan Israel, diikuti dengan penyelamatan dari Tuhan (4P). Tapi mungkin ini pola yang terlalu simplistis bagi sang penulis, maka dia memberikan satu pola lain di pasal 2:11-19 yaitu ada 6 poin, 3 mengenai Israel dan 3 mengenai penyelamat; yaitu Israel berdosa, Israel mengundang murka Tuhan, Israel diserahkan di bawah penindas –maka– seorang penyelamat dibangkitkan, penyelamat tersebut menyelamatkan Israel, penyelamat tersebut wafat. Di sini polanya lebih mendetail dan lebih kompleks. Tapi sekarang di pasal 3, dalam cerita Otniel, penulisnya kembali meng-update pola ini jadi lebih mendetail lagi dan lebih kompleks lagi, menjadi 11 poin. Dari ayat 7-11 ada 11 poin: Israel berdosa (ayat 7), Israel mengundang murka Tuhan (8a), Israel diserahkan kepada seorang penindas (8b), Israel berseru kepada Tuhan (9a), seorang penyelamat dibangkitkan Tuhan (9b), penyelamat tersebut dideskripsikan tentang siapa dia (9c), penyelamat tersebut diberikan kuasa ‘Roh Tuhan hinggap atasnya’ (10a), penyelamat tersebut menjadi hakim atas Israel (10b), penyelamat tersebut menyelamatkan Israel (10c), penyelamat tersebut memberi peristirahatan bagi tanah Israel (11a), penyelamat tersebut wafat (11b). Pola 11 poin ini memperkaya pola 6 poin tadi; dan pola 6 poin tadi memperkaya pola 4 poin. Tidak semua 11 poin ini akan muncul dalam kisah-kisah berikutnya, tetapi pola dalam kisah Otniel ini membuat Saudara melihat, sepertinya penulis kembali memberikan sebuah program, menciptakan sebuah standar kisah hakim.
Yang lucu juga, dalam kisah Otniel bukan cuma kisahnya yang ada nuansa standarnya atau nuansa klasiknya, tapi semua hal lain di dalam kisahnya pun punya elemen kisah yang berbau standar/klasik. Misalnya, dosa Israel dalam kisah Otniel adalah dosa yang standar, yang klasik, yaitu apalagi kalau bukan lebih memilih dewa-dewi lokal Kanaan dibandingkan Allah Yahweh. Musuhnya pun standar/klasik; namanya sih keren, Kusyan-Risyataim dari Mesopotamia, tapi sebenarnya bagi orang Ibrani ini nama yang super membosankan. Mesopotamia artinya tanah/tempat yang berada di antara 2 sungai, tanah di antara dobel sungai, yaitu S.Efrat dan S.Tigris; sedangkan nama Kusyan-Risyataim artinya Kusyan si orang yang dobel jahatnya –jadi pada dasarnya namanya adalah Kusyan Si Dobel Jahat Dari Tanah Dobel Sungai. Standar. Selanjutnya, hero-nya pun standar/ klasik; Otniel ini bukan orang baru juga karena kita sudah mendengar mengenai Otniel sejak pasal 1, dan dia juga dideskripsikan berasal dari suku Yehuda –lagi-lagi Yehuda– keponakan Kaleb pula, figur hero yang sudah standar/klasik itu. Dan, ketika sang penyelamat ini menyelesaikan tugasnya, lalu memberikan tanah Israel peristirahatan, masa damainya pun disebut 40 tahun lamanya; periode 40 tahun itu periode yang sering banget muncul di Alkitab, periode standar, periode yang menandakan kira-kira panjangnya sebuah generasi, seperti ketika Musa dan orang Israel di padang gurun selama 40 tahun supaya satu generasi lewat. Jadi ini keadaan damai yang panjangnya kira-kira 1 generasi; standar, tidak pendek, dan juga tidak panjang. Semuanya satandar, semuanya klasik. Jadi ini sepertinya sengaja; sang penulis menuliskan kisah Otniel relatif singkat karena sepertinya bukan dimaksudkan untuk sekadar memberitahu begitu saja melainkan sebagai sebuah pradigma, sebuah framework, sebuah kacamata yang bisa kita pakai untuk melihat kisah-kisah berikutnya.
Panggung sudah disusun di depan, dan kita mungkin bertanya-tanya, apa yang akan penulis lakukan dengan panggung seperti ini, karena tampaknya ada kesengajaan di balik struktur ini. Sekarang kita lompat ke tiang panggung yang sebelah sana, yaitu kisah hakim ketiga, Samgar (ayat 31). Di sini kita menemukan bahwa pola paradigma klasik yang sudah disusun rapi di kisah Otniel tadi, sekarang serta-merta habis, hilang, yang tinggal cuma 1 ayat. Menemukan struktur seperti ini, Saudara harusnya semakin ingin tahu apa maknanya, bukannya ‘ini apaan sih, aneh banget’. Omong-omong, catatan mengenai Samgar di sini adalah catatan terpendek sepanjang kitab Hakim-hakim. Jadi ini sepertinya disengaja. Siapa dia? Tidak tahu, cuma diberitahu namanya Samgar, bahkan tidak ada nama bapaknya atau nama tempat dia lahir, juga tidak diberitahu dari suku mana. Lalu bagaimana dia menyelamatkan Israel? Dikatakan dengan pakai tongkat penghalau lembu; aneh banget. Tidak standar, tidak klasik. Dari 11 poin yang kita baca di kisah Otniel, hanya 1poin yang kontinu masuk dalam ceritanya Samgar, yaitu bahwa dia juga menyelamatkan orang Israel. Aneh, ya. Jadi dalam 1 pasal ini, Saudara menemukan bahwa penulis Alkitab yang tadinya memberikan satu kisah klasik/standar mengenai figur hero klasik, musuh yang klasik, penyelamatan yang klasik, lalu tiba-tiba ubah haluan menjadi kisah yang super singkat mengenai hakim yang ‘gak jelas dari mana, bersenjata aneh, dan banyak tanda tanyanya. Sekali lagi, waktu kita menemukan yang kayak begini, Saudara harusnya merasa ‘wow’, ada sesuatu di sini yang penulis ingin kita gali.
Kalau Saudara mau menggali lebih lanjut, Saudara harus tanya, ‘penulisnya melakukan apa lagi?’ Dan, seperti kita tahu, diapit oleh dua kisah hakim ini, adalah kisah Ehud, yang mungkin merupakan sebuah transisi dari kedua cerita hakim tadi. Mungkin inilah maksud sang penulis, untuk membuat kita menyadari signifikansi kisah Ehud, yaitu bahwa kisah ini bukan cuma urusan tentang siapa Ehud dan apa yang Ehud lakukan, tapi ini kisah di mana Tuhan mengambil pola Otniel, lalu mengubahnya, dan dengan demikian menunjukkan bahwa cara Tuhan menyelamatkan selalu tidak terduga, tidak disangka-sangka. Dan, mungkin inilah poinnya, karena mungkin Tuhan sedang berkata kepada kita melalui rangkaian 3 kisah ini, ‘Hai manusia, tahukah apa kecenderunganmu? Kamu selalu ingin mengunci Aku dalam laci-lacimu, kamu selalu kepingin allah yang dapat diprediksi (predictable), karena allah yang predictable itu lebih gampang, lebih bisa bisa di-manage, lebih jinak, jadi kamu kepingin Allahmu juga kayak begitu, ‘kan yang namanya Allah harusnya tidak berubah, tidak ingkar janji. Sekarang lihat, hai manusia, Aku tidak berubah, Aku tidak ingkar janji, tujuan-Ku selalu tercapai, tapi lihat, cara Aku bekerja di satu kisah, bisa tiba-tiba ganti haluan di kisah berikutnya, lalu ganti haluan lagi di kisah berikutnya. Kenapa Aku melakukan ini? Supaya kamu tahu, bahwa satu-satunya hal yang bisa jadi peganganmu bukanlah pola ini atau pola itu, bukan rumusan ini atau itu, bukan kiat-kiat ini atau itu, tapi hanya diri-Ku, diri Tuhan. Bahwa Aku akan melakukan apa yang telah Aku janjikan, itu pasti, tapi caranya bagaimana, itu terserah Aku’.
Saudara, mungkin inilah tujuannya, yaitu mengajak kita untuk menyadari bahwa di balik semua cerita hakim-hakim ini, ada Seorang Hakim yang ultimat, ada Penyelamat yang ultimat; dan bagaimana caranya Dia menghakimi serta menyelamatkan, itu terserah Dia. Ini sesungguhnya satu kabar baik, meskipun tentu ada “kabar buruk”-nya bagi kita yang berdosa. Kabar baiknya adalah: teologi (pengetahuan akan Allah) yang alkitabiah adalah teologi yang tidak pernah kering. Tidak pernah kering secara akademik, seperti ‘karena X maka Y, karena A maka B’ –tidak seperti itu. Teologi yang sejati yang alkitabiah, selalu penuh dengan surprise, karena Allah kita penuh dengan surprise; seperti seorang pesulap, dari topi Otniel, Dia bisa keluarkan kelinci bernama Samgar. Inilah setting panggungnya. Sekarang kita masuk ke dalam kisah Ehud, dan kita akan melihat hal ini lebih jelas lagi.
Cerita Ehud dan Eglon, yang paling kita ingat mungkin soal lingkar perutnya Eglon, bahwa dia seorang raja yang gendut banget. Tapi mungkin bagi penulis, detail yang paling signifikan dari cerita ini adalah bahwa Ehud itu kidal. Ini detail yang penting, karena Saudara bisa mengumpulkan istilah ‘tangan kanan’ di dalam Alkitab, dan menemukan banyak sekali disebutkan mengenai Allah dan tangan kanan-Nya. Misalnya, ‘Tuhan telah bersumpah demi tangan kanan-Nya’, ‘tangan kanan-Mu, Tuhan, mulia karena kekuasaan-Mu; tangan kanan-Mu menghancurkan musuh-musuh-Mu’, ‘Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan, di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa’. Dan di Mazmur 110, ‘duduklah di sebelah kanan-Ku sampai Aku membuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu’, yang bagian ini sebenarnya bukan cuma ‘di sebelah kanan-Ku’ tapi ‘di sebelah tangan kanan-Ku’. ‘Tangan kanan Tuhan’ adalah motif yang sangat penting di Alkitab, tangan kanan Tuhan adalah tempat kuasa-Nya, tempat kemuliaan-Nya, dan juga tempat berkat-berkat-Nya yang bisa kita nikmati. Saudara melihat bahwa dalam cerita ini Allah Israel, Sang Hakim Agung, ketika mendengar teriakan bangsa Israel, maka Dia sekarang mengulurkan tangan kanan-Nya bagi Israel, Dia membangkitkan seorang penyelamat, yang kidal. Apa respons kita? Ada apa di sini?
Terlebih lagi waktu Saudara tahu bahwa istilah ‘kidal’ di sini sebenarnya terlalu halus, karena istilah Ibrani yang dipakai adalah itter, secara harfiah artinya orang yang terikat, orang yang bungkam. Jadi pada dasarnya Ehud diperkenalkan bukan sebagai orang kidal dalam arti orang yang biasa pakai tangan kiri, melainkan dia pakai tangan kiri karena ada sesuatu yang mengikat tangan kanannya, kemungkinan tangan kanannya cacat atau lumpuh atau ada penyakit. Sekali lagi, ini bukanlah hero yang kita harapkan setelah membaca kisah Otniel, tapi lihat, inilah alasannya ke-kidal-an Ehud merupakan satu poin yang signifikan, karena bukan cuma tangan Ehud yang kidal tapi sesungguhnya seluruh kisahnya adalah kisah yang kidal, kisah yang kita tidak sangka. Semua yang terjadi dalam episode ini, kita tidak bisa tebak. Kita akan melihatnya dalam 6 poin dari kisah ini.
Hal yang pertama-tama tidak terduga dalam kisah ini adalah musuhnya tidak terduga. Musuhnya adalah bangsa Moab. Di awal pasal 3 ada daftar bangsa-bangsa yang dibiarkan Tuhan tetap di tanah Kanaan sebagai ujian bagi bangsa Israel –dan Moab bukanlah salah satunya. Tidak ada yang menyangka bahwa Moab bisa jadi musuh Israel; pertama karena Moab bukan bagian dari tanah Kanaan, dan orang Israel hanya pernah bertemu Moab sudah lama sekali ketika suatu hari orang Israel numpang lewat menuju Kanaan, lagipula Moab ini boleh dibilang masih saudara yeitu keturunan Lot keponakannya Abraham. Kalaupun Moab jadi musuh, rekam jejak Moab ini memalukan, karena ketika pertama kali orang Israel numpang lewat saja, Moab sudah gemetar. Itu sebabnya satu hal yang tidak disangka-sangka ketika di ayat 12 dikatakan Allah memberi kuasa kepada Eglon, raja Moab, atas orang Israel; Eglon kemudian mengajak dua sekutu, Amalek dan Amon, dan mereka mengalahkan Israel! Betapa tidak disangka-sangka. Ini bukan cuma memalukan karena kalah perang dari musuh yang tidak diduga-duga, yang dulu lututnya gemetar ketika Israel cuma numpang lewat, tapi kekalahan ini berakibat Israel kehilangan kontrol atas Kota Pohon Korma (ayat 13). Kota Pohon Korma ini adalah sebutan lain dari Yerikho, dan kita tahu Yerikho bukan sekadar kota tapi kota yang melambangkan kemenangan pertama Israel dalam penaklukan Kanaan. Bayangkan kalau Indonesia kalah perang, lalu salah satu jarahannya adalah resep nasi Padang dan Indonesia tidak boleh lagi bikin nasi Padang seumur hidup! Malu, karena itu milik kita, simbol identitas kita.
Eglon, meski digambarkan agak lucu sebagai orang gendut, tapi di bagian ini dia bukanlah tokoh badut, dia seorang penindas yang 18 tahun berikutnya akan jadi diktator di Israel. Ini musuh yang sangat meyakinkan; dan ini memalukan bagi Israel karena ini musuh yang tidak terduga. Kita refleksi sedikit; bagian ini membuat kita menyadari, kita tahu dosa itu selalu mendatangkan penghakiman dan penghukuman, tapi sering kali problem kita dalam hal dosa bukanlah bahwa kita tidak tahu akan penghakiman dan penghukuman yang akan datang, melainkan kita pikir, kita bisa melakukan suatu dosa, karena kita bisa tanggung akibatnya; hanya untuk belakangan kita mendapati bahwa penghakiman sebagai konsekuensi dosa, datang secara tidak terduga-duga. Inilah hal yang pertama, musuh yang tidak terduga.
Hal kedua yang tidak terduga, Tuhan ternyata pakai manusia macam apa untuk menyelamatkan bangsa Israel, yaitu seorang yang kidal. Bukan cuma kidal karena dia lebih suka pakai tangan kiri tapi ada nuansa bahwa tangan kanannya disabled. Di sini kita juga menemukan ironi tambahan, karena Ehud diperkenalkan berasal dari suku Benyamin; sedangkan ‘benyamin’ berasal dari kata ben artinya anak, dan yamin artinya tangan kanan. Jadi Ehud ini ‘suku anaknya tangan kananku’ –tapi orang ini tidak bisa menggunakan tangan kanan. Jadi sebenarnya di dalam cerita Ehud fokusnya bukan tangan kirinya yang mampu itu, yang menyembunyikan sesuatu itu; semua orang dalam kisah ini –kecuali Ehud– berfokus pada tangan kanan Ehud yang tidak mampu itu (disabled).
Hari ini orang kidal biasanya dianggap ada semacam positifnya, bahwa dia pakai otak kanan lebih banyak, dst., tapi kita tahu dalam masyarakat tradisional tangan kiri tidak dianggap baik, misalnya tidak boleh memberi barang pakai tangan kiri. Waktu kecil saya secara natural kelihatannya lebih banyak pakai tangan kiri, tapi gara-gara guru TK dan guru SD memaksa semua muridnya pakai tangan kanan, maka saya pakai tangan kanan. Dalam bahasa Inggris bahkan ada istilah dexterity, artinya kecekatan/ketrampilan tangan; dan istilah ini lahir dari istilah dextro, artinya kanan (dextro=kanan, sinistro=kiri). Jadi satu hal yang kita tahu sepanjang sejarah manusia, tangan kanan harusnya kuat, tangan kanan itu yang penting –dan mungkin inilah sebabnya Ehud dipakai dalam kisah ini; dia seorang utusan yang biasa dipakai orang Israel untuk mengirim upeti kepada Eglon (ayat 15), yaitu karena tangan kanannya tidak mampu. Karena dia tidak bisa pakai tangan kanannya untuk pegang pedang, orang berasumsi dia tidak bisa pegang pedang sama sekali, dengan demikian dia acceptable, tidak ada resiko soal keamanan, maka tidak heran orang Moab bisa menerima Ehud sebagai tukang antar upeti. Bukan cuma orang Moab yang merasa aman dengan Ehud, tentunya orang Isarel pun merasa oke dengan Ehud. Mungkin mereka pikir Ehud ini bisa kerja apa sih, tangan kanannya tidak bisa ngapa-ngapain, tidak berguna, tapi ada satu pekerjaan yang cocok banget buat dia, yaitu mengirim upeti kepada Eglon, karena pastinya aman. Coba saja kalau yang kirim upeti adalah orang seperti Otniel –yang tangan kanannya kuat, anak Kenas, adik Kaleb, contoh pemimpin yang semua orang Israel bisa lihat– bisa jadi orang Moab mengatakan, ‘lu mau cari gara-gara? gua hajar lagi’; tapi kalau kirim Ehud akan aman, orang Moab tidak akan rasa terancam, Israel juga aman.
Saudara lihat, cerita dari Otniel ke Ehud ini benar-benar terbalik. Dalam cerita Otniel, urutannya pertama Roh Tuhan menghinggapi dia (Otniel diberikan kuasa), lalu dia menghakimi orang Israel (jadi hakim atas orang Israel), lalu dia maju berperang, dia mengalahkan Kusyan-Risyataim; sedangkan kisah Ehud tidak ada yang kayak begini. Otniel dari awal diakui sebagai pemimpin Israel; sebelum sepak terjangnya ketahuan, orang sudah menganggap dia sebagai pemimpin, dan dia jadi hakim sebelum dia berperang. Sedangkan Ehud, tidak disebutkan Roh Allah menghinggapi dia, tidak disebutkan Ehud diangkat menjadi hakim, dan sesungguhnya Ehud tidak memimpin bangsa Israel maju dalam peperangan sampai setelah Eglon mati dibunuhnya. Jadi memang sejak awal, Israel memandang Ehud sama seperti Moab memandang Ehud, sebagai manusia yang cocok dengan perannya bukan oleh karena kemampuannya (ability) melainkan karena ketidakmampuannya (disability); ini manusia yang berharga/berguna justru karena ketidakmampuannya.
Selanjutnya Saudara lihat, bukan cuma ada musuh yang tidak disangka-sangka, bukan cuma ada manusia yang tidak disangka-sangka, yang ketiga adalah misi yang tidak disangka-sangka. Apa misinya Ehud? Misi yang sangat berbeda dari misi seorang hero; ini bukan misi serangan kilat, ini bukan misi mengirim beberapa pasukan khusus, misinya adalah membawa upeti. Ini bukan misi yang orang Israel mau kerjakan, karena misi membawa upeti adalah misi yang melambangkan rasa malu sebuah bangsa yang kalah dan tertindas, misi yang mengekspresikan bukan revolusi tapi ketundukan (submission). Ayat 15 dikatakan: ‘Dengan perantaraannya (Ehud) orang Israel biasa mengirimkan upeti kepada Eglon, raja Moab.’ Ada dua hal yang bisa kita lihat dari sini; yang pertama, ini berarti selalu Ehud yang disuruh, ini bukan pekerjaan yang sekali-sekali tapi selalu dia yang disuruh. Yang kedua, dikatakan ‘dengan perantaraannya’, yang dalam bahasa aslinya adalah ‘lewat tangannya’ orang Israel mengirim upeti kepada Eglon. Menurut Saudara, lewat tangannya yang mana? Tangan kirinya, yang menyembunyikan pedang itu? Bukan. Tetapi lewat tangan kanannya yang disabled itu; kenapa? Karena inilah tangan yang cocok banget buat misi satu ini, misi jadi perwakilan dari bangsa yang takluk. Inilah misi yang tidak disangka-sangka.
Yang keempat, ada pesan (message) yang tidak disangka-sangka juga. Sekarang kita masuk ke dalam inti dari kisahnya. Di sini ada 3 sequence (urutan) yang mengungkapkan bagaimana Ehud bertemu dengan Eglon.
Sequence pertama. Kita bayangkan Eglon bertakhta di kota Yerikho, Kota Pohon Korma itu, dikelilingi pejabat-pajabat dan tentara-tentaranya. Ehud datang dengan rombongan orang Israel, membawa upeti. Upeti inilah message-nya, yang pada dasarnya menyatakan ‘kami telah kalah, kami menerima kekalahan kami, kami bersembah sujud, status kami sebagai umat yang dijajah’. Jadi di sini ada Eglon dengan para tentaranya, dan Ehud dengan rombongannya. Setelah sequence pertama ini selesai, Ehud dan rombongannya pulang. Tapi dikatakan, ketika mereka sampai di suatu tempat batu-batu berpahat di dekat Gilgal, Ehud putar balik, sementara rombongannya pulang.
Sequence yang kedua. Eglon masih dikelilingi orang-orangnya, sementara Ehud datang sendirian. Ehud lalu mengatakan, “Aku punya sebuah pesan (message) rahasia bagi Tuan”. Di sini istilah asli ‘message’ yaitu dabar, bisa berarti firman, bisa berarti pesan, bisa berarti sebuah benda; dan kita tahu bendanya apa, yaitu sebilah pedang tidak terlalu panjang, custom-made, bermata dua tapi tidak punya crossguard jadi sangat compact, yang disembunyikan di pangkal paha kanan, tempat di mana orang bertangan kanan tidak mungkin menyimpan senjatanya karena sulit mencabutnya (orang tangan kanan akan menyimpannya di sebelah kiri). Dan, Eglon tidak pernah menduga itulah message-nya; lalu karena semua rombongan sudah pulang, Eglon pun menyuruh tentara-tentaranya pergi karena yang mau disampaikan adalah pesan rahasia.
Sequence yang ketiga. Akhirnya Eglon dan Ehud berada sendirian, hanya mereka berdua, tanpa para pejabat, tanpa tentara-tentara, dan tanpa rombongan. Lalu apa pesannya? Ehud berkata, “Ini pesan dari Tuhan!” lalu ia menghunus pedang di kanan dengan tangan kirinya (ayatnya menekankan sekali hal ini), dan kemudian menusukkannya ke tubuh Eglon. Message yang tidak disangka-sangka.
Berikutnya yang kelima, metode yang tidak disangka-sangka. Ayat 22, dikatakan setelah Ehud menusukkan pedang itu, ‘hulunya beserta mata pedang itu masuk. Lemak menutupi mata pedang itu, sebab pedang itu tidak dicabutnya dari perut raja. Lalu keluarlah ia melalui pintu belakang.’ Saudara perhatikan di ayat 22 ini ada salah terjemahan, yang entah bagaimana LAI menerjemahkannya super beda dari semua terjemahan lainnya; di bagian kalimat terakhir ayat 22 setelah ‘pedang itu tidak dicabutnya dari perut raja’, bahasa aslinya bukan mengatakan Ehud keluar dari pintu belakang, tapi sebenarnya kotoran (tahi) Eglon yang keluar dari pantatnya (terj. Bahasa Inggris: ‘the dung came out’). Jadi inilah yang menyebabkan Ehud sempat kabur, karena sebenarnya yang menyebabkan pegawai-pegawai Eglon tidak masuk ke situ bukanlah pintu yang terkunci, tapi (maaf) bau tahi Eglon, sehingga mereka mengatakan di ayat 24, ‘kayaknya dia sedang buang air besar’, dan mereka menunggu di situ. Inilah metode yang tidak disangka-sangka.
Namun yang ingin saya soroti, bukan cuma bahwa ini metode yang tidak disangka-sangka, tapi bahwa poin ini sesungguhnya melengkapi seluruh metode yang dipakai Ehud dalam menjerat Eglon. Pertama lewat “penyamaran” yang tidak disangka-sangka sebagai utusan upeti –memang dia utusan upeti, tapi siapa yang sangka? Lalu soal tangan kirinya, siapa yang sangka? Pedang yang tersembunyi, siapa yang sangka? Pesan rahasia, siapa yang sangka? Dan terakhir, pintu yang terkunci, siapa yang sangka?? Dalam hal ini, sampai-sampai ada orang Kristen yang saking tidak senangnya melihat ini (karena sok suci), mengatakan, ‘Aduh, koq pengikut Tuhan pakai cara-cara seperti ini, ya? pakai cara tipu-tipu kayak begini, ya? menyelamatkan umat Tuhan pakai cara-cara kayak begini??’ —orang kayak begini perlu ditanya ‘jadi mau lu apa sih?’ Saudara, orang seperti Ehud, siapa yang mau melihat dia sebagai jendral besar kayak Otniel? Siapa yang mau mengangkat dia maju dalam peperangan sebagai jendral? Siapa yang mau?? Lalu bagaimana? Biarkan saja orang Israel dalam penindasan? Orang suka bilang, ‘aduh, aku mau tegur dia, tapi aku musti tunggu waktu yang tepat, aku musti tunggu cara yang tepat’ –akhirnya tidak pernah kejadian. Dan itulah persisnya poinnya; Allah Alkitab tidak dikunci dengan metode-metode yang kita pikir, yang kita asumsikan. Allah Alkitab menggunakan orang-orang seperti Otniel yang straight forward, yang jalannya jelas dan lurus; tapi ternyata Allah juga bisa berkarya melalui orang-orang seperti Ehud, melalui metode yang tidak disangka-sangka.
Yang terakhir dari enam hal yang tidak terduga, yaitu mandat yang tidak disangka-sangka. Ayat 27-28: ‘Setelah ia sampai ke sana, ditiupnyalah sangkakala di pegunungan Efraim, lalu turunlah orang Israel bersama-sama dengan dia dari pegunungan itu, dan ia sendiri di depan. Berkatalah ia kepada mereka: “Ikutlah aku, sebab TUHAN telah menyerahkan musuhmu, orang-orang Moab itu, ke dalam tanganmu.” Maka turunlah mereka mengikuti dia, lalu mereka merebut tempat penyeberangan sungai Yordan ke Moab dan tidak seorang pun dibiarkan mereka menyeberang.’ Saudara lihat, baru setelah bagian ini, sepertinya kepemimpinan Ehud mendapatkan pengakuan dari orang-orang Israel, mereka memberikan mandat kepada Ehud untuk menjadi hakim atas mereka. Perhatikan, ini datang setelah kesuksesan Ehud; raja Moab mati dulu, barulah ini membuat orang Israel berespons. Sekali lagi, pola Otniel telah berubah; dan berubahnya bukan cuma urutannya, tapi bahwa musuh Israel telah diserahkan ke dalam tangannya –dan ini adalah tangan kiri.
Ehud lalu memimpin mereka menduduki tempat-tempat penyeberangan Sungai Yordan, karena asumsinya setelah Eglon mati tentara Moab bakal melarikan diri ke seberang Sungai Yordan, kembali ke teritori mereka. Akhirnya dibantailah tentara Moab di sana. Ehud, dengan tidak disangka-sangka pada akhirnya jadi seorang pemimpin militer, dengan strategi yang jenius. Siapa sangka jendral bertangan satu??
Saudara lihat, setiap elemen kisah ini begitu berseberangan dengan yang kita lihat dalam kisah Otniel. Dan melalui kedua kisah ini kita melihat satu hal yang sama yang terjadi; lewat kisah Otniel maupun lewat kisah Ehud, sama-sama Tuhan menepati janjinya, sama-sama Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai Allah yang menyelamatkan umat-Nya. Tapi, betapa lainnya cara yang Dia pakai untuk mencapai misi-Nya ini, dan betapa tidak disangkanya. Sekarang, apa maknanya buat kita?
Saudara, kisah Ehud adalah kisah yang isinya plot twist, demi plot twist, demi plot twist. Moab yang tadinya begitu tidak signifikan, tiba-tiba jadi penindas besar. Tapi setelah 18 tahun menindas, ujungnya tiba-tiba kalah begitu saja. Raja Moab berasumsi Ehud disabled, cacat, tapi ternyata tidak sesimpel itu. Pegawai-pegawainya berasumsi pintu yang terkunci itu tidak perlu dibuka, tapi ternyata … . Israel mengira mereka punya satu orang yang tidak berguna, tidak cocok buat peran hero, tidak bisa mengenali panggilannya, tapi ternyata … . Ini kisah yang dari awal sampai akhir penuh dengan unpredictability. Sekarang kita mau mempertajam, sebenarnya apa persisnya yang unpredictable di sini, karena dalam suatu kisah yang kayak begini, tetap harus ada hal-hal yang konsisten/predictable; kalau Allah itu semuanya unpredictable, kita tentu jadi tidak bisa pegang Dia. Lalu apa persisnya yang unpredictable?
Dalam hal ini, kita melihat lebih dulu tentang apa yang konsisten, yang tidak berubah, yang konstan. Yang pertama: dosa Israel. Dosa Israel itu tidak orisinal, dosa Israel adalah yang itu-itu lagi sebagaimana tadi kita sudah lihat. Saudara jangan meremehkan setan, tapi tujuan setan selalu boring, predictable, ujungnya selalu itu; dan caranya pun sama. Godaannya, ujung-ujungnya bolak-balik seven deadly sins lagi dan lagi. Lagipula, orang bisa sampai bikin formula “seven deadly sins” karena dari zaman ke zaman dan ke zaman tidak pernah berubah dari yang itu. Dosa kita —dosa orang Israel— hanyalah variasi dari seven deadly sins ini; yaitu kita lebih suka ketujuh dosa-dosa tersebut daripada Tuhan. Itu saja. Tidak ada yang aneh. Boring. Dan, inilah dosa manusia. Kita perlu belajar dari hal ini; sering kali yang menjadikan manusia berdosa, terutama bukan soal dosanya sendiri tapi keinginan manusia untuk mendapatkan predictability. Kenapa dosa kita tidak pernah unpredictable, adalah karena dosa kita sering kali adalah mengejar predictability. ‘Saya kepingin nikmat, langsung, saya tidak mau pakai cara-cara Tuhan yang unpredictable, saya mau pakai cara yang gampang saja, yang predictable; saya ambil drugs, saya memberhalakan seks, saya buang-buang uang, saya main-main wanita, saya ini dan itu’. Itulah yang predictable.
Saudara tahu, godaan untuk menyembah Baal adalah godaan yang bikin orang Israel begitu gampang jatuh; kenapa? Dr. Richard Pratt pernah membahas begini: karena dosa pemberhalaan menyembah Baal itu tidak perlu “iman”. Sebenarnya sih perlu, tapi seperti tidak perlu iman, karena zaman itu orang tahu dewa Baal adalah dewa guntur; mereka pikir Baal itu kelihatan, karena kalau mereka menerawang ke laut, mereka bisa melihat Baal naik dari tempat petidurannya dalam bentuk awan, lalu awan-awan itu makin lama makin dekat dengan guntur-guntur, dan menyambar, lalu memberikan hujan –jadi inilah Baal, kelihatan koq. Tidak perlu “iman” untuk percaya pada Baal, lihat saja pekerjaannya nyata kayak begitu; sedangkan Allah Yahweh tidak kelihatan, tidak ada bentuknya, bahkan tidak boleh dibikin bentuknya. Maleslah dengan Allah yang kayak begini, unprredictable.
Saudara, kenapa sering kali dosa manusia ujung-ujungnya predictable? Karena dosa manusia sering kali adalah mencari apa yang predictable. Saudara ingat apa kesalahan Petrus di Perjanjian Baru? Kesalahannya adalah: dia tidak mau menerima keselamatan Tuhan, dia mau menjadi juruselamatnya Tuhan. Tuhan Yesus tanya, “Siapa Aku, Petrus?” Petrus jawab, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah”. “Oke, benar jawabmu itu; dan Anak Manusia akan menderita dan mati”, lalu serta-merta Petrus bilang, “Oh, ‘gak bisa, Tuhan, jangan ngomong kayak begitu; Mesias mati itu dari mana??” Dan Tuhan mengatakan, “Enyahlah engkau, Iblis.” Itulah yang dikerjakan Petrus –dan juga kita. Kita mau menerima keselamatan dari Tuhan, ‘tapi caranya lewat caraku, ya Tuhan, cara yang predictable, caranya begini dan jangan begitu’ —itulah dosa manusia. Dosa manusia –dosa kita, dosa Israel– tidak pernah orisinal, ujung-ujungnya itu-itu lagi, predictable, boring.
Hal kedua yang juga konsisten, yang dalam diri Tuhan juga ada, yaitu tujuan Tuhan konsisten, setia. Pada diri Tuhan tetap ada hal-hal yang sama, yang tidak berubah. Tuhan benci dosa, Tuhan memanggil umat-Nya untuk bertobat, Tuhan berkehendak untuk memulihkan mereka yang kembali bertobat kepada-Nya, Tuhan sungguh-sungguh dengan hukum-hukum-Nya bagi umat-Nya mengenai apa yang harusnya jadi cara hidup mereka. Semua itu jelas, tidak ada kebingungan, tidak ada variasi. Lalu apa yang sebenarnya unpredictable dalam kisah ini? Yaitu cara Israel ditekan, dan cara Tuhan menyelamatkan.
Dosa Israel adalah hal yang predictable, tapi konsekuansinya tidak. Ini satu hal yang kita perlu diingatkan. Saudara lihat dalam cerita Hakim-hakim ini, penindas-penindas Israel itu namanya beraneka macam; bukan cuma itu, karakter mereka pun digambarkan berbeda-beda. Kusyan-Risyataim berbeda dengan Eglon raja Moab. Berikutnya nanti kita juga akan lihat ada Yabin, ada Zebah, ada Salmuna –nama mereka macam-macam– tapi bukan cuma namanya, semua penindasan-penindasan tersebut berbeda satu dengan yang lain. Kalau pun orang Israel belajar hidup di bawah penindasan Moab, itu tidak bakal mempersiapkan mereka menghadapi penindasan Midian, karena Midian pakai cara scorched-earth; mereka bandit, mereka tidak peduli orang bisa makan atau tidak, mereka datang dan rampok semuanya lalu membakar habis-habisan, setelah itu apakah sustainable atau tidak mereka tidak peduli –itulah gayanya Midian. Bisa hidup di bawah Moab, tidak tentu bisa hidup di bawah Midian. Kalau bisa hidup di bawah Midian, belum tentu juga bisa menerima penindasan di bawah Filistin, karena caranya lain lagi, pakai cara asimilasi, dsb.
Konsekuensi dosa itu berbeda-beda, kita tidak bisa prediksi. Jangan main-main dengan dosa, karena dosa itu memang boring, ujungnya predictable, cara menggodanya juga predictable, tetapi konsekuensinya beda-beda. Oleh karena itu, hal kedua yang juga unpredictable adalah keselamatan yang dari Tuhan. Dalam kisah Hakim-hakim, bukan cuma musuh-musuh mereka yang berbeda-beda, tapi juga hakim-hakim yang dibangkitkan Tuhan begitu unexpected. Setelah Ehud, ada Samgar, yang aneh, yang tongkat penghalau lembu bisa untuk membunuh musuh. Setelah itu, ada Debora hakim perempuan, ada Gideon si pengecut dan si peragu, ada Yefta si bandit yang kecepetan ngomong, ada Simson si mata keranjang. Setiap hakim-hakim ini sama-sama unpredictable dan unexpected-nya, seperti Ehud sang hakim kidal.
Mengapa semua ini muncul? Karena semua ini sedang menunjuk kepada Sang Hakim yang datang terakhir itu, ketika Sang Hakim Agung yang ultimat itu datang sendiri ke dalam dunia. Kita membaca hal ini setiap tahun, di Yesaya 53:2, ‘Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.’ Seperti Ehud, Dia tidak masuk hitungan. Seperti Ehud, Dia berjuang bagi umat-Nya tapi tanpa bantuan sama sekali dari umat tersebut. Seperti Ehud, Dia menghancurkan musuh melalui kelemahan-Nya. Seperti Ehud, Dia seorang outsider yang tidak dipandang jadi penyelamat. Mungkin Saudara berkata, “Ah, Tuhan Yesus tidak dipandang sebagai penyelamat?? Bukankah banyak yang kepingin Dia jadi raja, Pak?” Saudara ingat apa ejekan yang dilontarkan di kaki salib? “Orang lain Ia selamatkan, diri-Nya sendiri Dia tidak selamatkan”. Saudara ingat apa yang Paulus katakan? “Salib, bagi orang Yahudi suatu batu sandungan, bagi orang Yunani suatu kebodohan.”
Namun juga, Saudara melihat, Hakim yang terakhir ini bukan cuma seperti Ehud, tapi juga seperti Otniel, Hakim yang terakhir ini adalah Hakim yang paling ideal, yang tidak bercacat cela, dan yang sempurna. Tidak perlu menggunakan cara sembunyi-sembunyi seperti Ehud, tidak perlu bantuan seperti Barak, tidak pengecut seperti Gideon, tidak sembarangan seperti Yefta, tidak mata keranjang seperti Simson. Dan, jikalau Ehud menyelamatkan umat melalui kemenangan yang tidak disangka-sangka, Yesus menyelamatkan umat-Nya secara tidak disangka-sangka malah melalui kekalahan telak.
Pelajarannya di sini, Tuhan sedang menunjukkan lagi melalui cerita Ehud, suatu hal yang terus-menerus Dia tunjukkan melalui ratusan kisah di Alkitab, bahwa kisah keselamatan Tuhan itu tidak akan datang via daya Holywood, bahwa keselamatan yang Tuhan berikan bisa lewat tangan kanan —dan tangan kiri; bahwa keselamatan datang melalui Seorang yang tidak dipandang lahir di kandang binatang yang terlupakan, dalam keluarga yang yang terpinggirkan, melalui salib yang terhina. Melalui apa yang dunia sebut dengan kelemahan, bukan apa yang dunia anggap sebagai kekuatan. Melalui apa yang dunia anggap sebagai kekalahan, bukan apa yang dunia anggap sebagai kemenangan. Melalui apa yang dunia anggap sebagai kebodohan, dan bukan apa yang dunia anggap sebagai bijaksana. Saudara, pelajarannya dan tantangannya buat kita adalah: jangan sampai Saudara dan saya menjadi seperti Eglon, melakukan kesalahannya Eglon, ketika dia memandang kepada sang penyelamat dari Tuhan, dia mengatakan ‘ini tidak masuk hitungan’. Kita perlu belajar seperti Paulus; waktu melihat Kristus, dia melihat kuasa Tuhan dan bijaksana Tuhan.
Pelajaran berikutnya, hal ini juga perlu untuk mengubah bukan hanya cara kita melihat Kristus, tapi juga dalam hal melihat tubuh-Nya, Gereja; Tuhan menggunakan penyelamat yang kidal, untuk menyelamatkan umat –yang juga kidal, Saudara dan saya. Surat 1 Korintus 1:26-29, “Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” Apa pelajarannya di sini? Pelajarannya adalah: kalau memang Dia adalah Hakim yang tertinggi, bahwa sejarah (history) adalah His story, maka Saudara dan saya tentunya boleh mengklaim apa yang dijanjikan, karena Allah kita memang tidak berubah, tapi tidak ada dari Saudara dan saya yang berhak menuntut caranya harus bagaimana. Kita tidak perlu kaget, tidak perlu menolak, tidak perlu protes, ketika Tuhan memilih cara untuk mendatangkan janji-janji-Nya bagi Gereja-Nya melalui cara-cara yang kidal, entah itu lewat kekurangan, sakit-penyakit, kegagalan, kefrustrasian.
Kita tahu apakah Kerajaan Allah itu, apakah Gereja itu; Amanat Agung mengatakan “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” —disciples. Semua dari kita tahu, Gereja adalah tempat disciples, bukan subscriber. Tapi kita seringkali masih beroperasi atas dasar ini: kita ingin cari apa yang predictable, kita ingin cari yang apa yang sesuai dengan filternya kita. Ini berarti kita subscriber, bukan disciples. Namun jika kita melihat apa yang Tuhan berikan lewat kisah Ehud, lewat cerita hakim-hakim, lewat ratusan kisah di Alkitab, Saudara tahu satu hal: Dia itulah Hakimnya, Dia itulah Rajanya; dan oleh karenanya, meskipun Dia akan memberikan kepadamu janji-Nya, caranya tidak tergantung pada engkau, caranya terserah Dia, caranya bisa kidal. Kenapa Dia harus melakukan itu? Kenapa umat Tuhan hari ini begitu kidal? Sekali lagi, karena supaya ketika berkat Tuhan itu hadir, tidak ada manusia yang bisa berbangga diri. Saudara baca hal itu tadi.
Waktu Saudara masuk Gereja sebagai jemaat, Saudara mulai melihat koq ada ketidakakuran, koq tetap ada perselisihan, ya?Dan kita mulai sedih. Waktu kita masuk Gereja lebih dalam lagi sebagai pengurus, kita melihat koq ada banyak yang tidak beres, koq ada banyak yang kacau, koq hamba Tuhannya ‘gak bener, koq diakennya kayak begitu, ya? Lalu kalau Saudara masuk sinode sebagai hamba Tuhan, Saudara melihat lebih banyak lagi, Saudara melihat koq di antara pendeta ada mistrust, ada distrust, ada yang childish, ya? Ada yang goblok, ada yang miskom, ada yang sombong, ada yang tipu-tipu, ada yang malas, ada yang sok, ada yang harga diri terlalu tinggi, ada yang serakah –semua ada– bahkan yang penyelewengan seks pun ada. Pertanyaannya adalah: lalu apa? Kalau Saudara masih di level jemaat, Saudara tanyanya, ‘ini jadinya Gereja atau bukan?’ –ini keraguan level jemaat. Kalau Saudara sudah di level pendeta, keraguannya lain; Saudara ragunya adalah: beneran ‘gak sih ada yang namanya Gereja yang sejati? Ada ’gak sih orang yang get it right? Atau jangan-jangan semua Gereja kayak begini, jangan-jangan semua ini cuma bohongan doang, cuma mimpi. Tapi kemudian, momen di mana Saudara sudah kepingin resign, tiba-tiba di tengah reruntuhan Saudara lihat berkat Tuhan dicurahkan. Di pojok-pojok. Di tempat-tempat yang tidak terduga. Melalui orang yang tidak disangka-sangka. Supaya apa, Saudara? Supaya tidak ada yang bisa menyombongkan diri. Saya bukan sedang membela kerusakan Gereja, saya bukan sedang mengatakan kita tidak usah perbaiki, dsb.; tapi kalau kita mau memperbaiki, kita perlu tanya: kenapa kita ingin Gereja diperbaiki, apakah jangan-jangan karena kita pikir Tuhan tidak mampu bekerja kalau Gereja tidak sempurna?
Seperti Saudara tahu, SPIK kali ini gereja kita menjadi panitia pelaksananya. Kalau Saudara mempertimbangkan jadi peserta, atau ikut melayani, apa pertimbanganmu? ‘Oh, SPIK, bisa dapat apa dari situ? Itu-itu lagi’. Saudara, SPIK memang bisa saja banyak kekurangannya, bisa saja banyak yang salah, tapi saya rasa kita tidak usah terlalu hostile dengan semua kekurangan itu. Bayangkan kalau SPIK bekerja secara luar biasa, semuanya klik, jelas, berkat Tuhan diberikan tercurah, maka orang akan mengatakan, “Wah! luar biasa GRII, luar biasa pendeta ini dan pendeta itu”. Tapi kalau Saudara masuk ke dalam kepengurusan, ikut melayani, Saudara lihat semua borok-borok dan kerusakan itu –dan juga, berkat Tuhan dicurahkan, yang mungkin di pojok, bukan di mimbar– lalu apa yang kita katakan waktu orang bilang “Wah! hebat ya, pelayanannya, semua beres’? Semua yang ada di dalam kepengurusan atau panitia akan mengatakan ‘Lu ‘gak tahu saja apa yang terjadi di belakang layar’ –tidak akan ada yang bisa nyombong. Tidak akan ada yang mau nyombong; semua tahu, ketika berkat Tuhan dicurahkan, itu dari Tuhan. Inilah cara kerja Gereja, inilah cara kerja umat Tuhan; kenapa kita mengharapkan lain?
Not what my hands have done, tapi apa yang tangan Tuhan lakukan; dan tangan Tuhan melakukannya terserah Tuhan, bagian kita adalah turun tangan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading