Kita melanjutkan eksposisi kitab Hakim-hakim. Ini kitab yang cukup sulit, baik isinya maupun strukturnya. Isinya sulit, karena di situ ternyata kita bukan menemukan suatu teladan umat Tuhan, tapi justru kegagalan-kegagalan umat Tuhan. Strukturnya sulit, karena waktu kita baca, kita merasa pusing, ‘gak mudeng, seperti lompat-lompat, dst. Pendeknya, ini kitab yang sepertinya sangat kacau; isinya menceritakan satu periode yang boleh dibilang paling kacau sepanjang sejarah Israel, dan strukturnya pun seakan-akan ikut kacau.
Tapi waktu kita kupas kitab ini pelan-pelan, kita mulai menemukan bahwa meskipun isinya menceritakan chaos di tengah-tengah Israel tapi ini bukanlah suatu problem, karena setelah kita lihat dan renungkan, inilah caranya Injil diceritakan. Injil Tuhan memang bukan datang bagi orang-orang sehat, melainkan bagi orang-orang sakit. Tuhan yang adalah sumber keteraturan, datang bagi orang-orang yang adalah sumber kekacauan –itulah Injil. Kalau Tuhan hanya datang bagi orang-orang sehat, itu bukan kabar baik, itu bukan anugerah, itu seperti Saudara terima gaji yang memang sudah sepantasnya karena merupakan hak Saudara. Tetapi, kalau ini suatu kabar baik dan anugerah, pasti melibatkan orang-orang yang kacau, yang rusak, karena itulah Injil Tuhan. Demikian mengenai isinya.
Dalam pengupasan tersebut, kita juga menemukan bahwa kitab ini secara struktural tidaklah sekacau yang kita kira. Walaupun kitab ini menceritakan chaos, tapi ketika kita melihat cara/struktur penceritaannya, kita mulai mendapati bahwa tampaknya tidak sekacau yang kita pikir; bahkan kalau diperhatikan, kitab Hakim-hakim ini adalah salah satu kitab di Alkitab yang penataan isinya justru amat sangat teratur. Hari ini kita akan melihat hal tersebut lebih jauh, dengan mulai masuk ke pembahasan pasal 2:6–3:6. Sekali lagi, khotbah hari ini adalah khotbah yang masuk dapur, mengajak Saudara melihat bagaimana makanan bisa disajikan, dan bukan cuma menikmati makanan siap saji.
Hakim-hakim 2:6-3:6 adalah satu bagian besar berikutnya di dalam kitab ini. Waktu membaca sekilas bagian ini, kita bertanya-tanya, ‘Pak Jethro bilang ini kitab yang ditata sedemikian teratur dan rapi, tapi ternyata tidak; ini kitab kacau, urutannya ngawur, lihat saja di pasal 1:1 kitab ini dimulai dengan kalimat “setelah Yosua mati”, tapi sekarang di pasal 2:6 si Yosua muncul lagi, dan masih hidup, dia melepas bangsa itu pergi, lalu baru di ayat 8 dia dikatakan mati. Jadi bagaimana ini maksudnya? Kalau zigzag kayak begini, lalu teratur dari mana??’ Kalau Saudara menyadari ada hal seperti ini, terbingung-bingung dengan kronologinya seperti ini, itu hal yang baik, karena berarti Saudara menyimak; dan ini langkah pertama kita menganalisa struktur. Sebenarnya, dari kalimat tersebut-lah para ahli Alkitab menangkap bahwa ada sesuatu yang terjadi di sini; penulis kitab Hakim-hakim tampaknya sedang membuat double introduction. Introduksinya tidak cuma satu kali, tapi ada 2 bab yang sama-sama dijadikan introduksi, dengan penyebutan menganai Yosua sebagai indikator dari permulaan setiap bagiannya.
DOUBLE INTRODUCTION:
- Pasal 1:1–2:5 dimulai dengan kematian Yosua.
- Pasal 2:6–3:6 juga dimulai dengan kematian Yosua.
Munculnya kematian Yosua di kedua bagian ini mungkin suatu hal yang disengaja, bukan untuk membingungkan Saudara tapi justru untuk mebuat kita jadi ngeh akan cara Alkitab membagi-bagi struktur tulisannya. Perlu saya ingatkan, dalam zaman penulisan Alkitab, penulisan bahasa Ibrani dan Yunani tidak ada pembagian teks sebagaimana di zaman modern kita ini. Kita terbiasa sekali waktu mau mengerti suatu teks dengan benar, maka caranya dengan melihat pembagian-pembagiannya –ada judul, bab, subbab, paragraf, tanda baca, huruf besar dan huruf kecil, dan juga spasi. Yang seperti ini, Saudara tidak temukan sama sekali dalam Alkitab bahasa Ibrani maupun Yunani; adanya cuma kata demi kata, huruf demi huruf, yang bahkan tidak ada spasinya, sehingga Saudara tidak tahu kalimat yang satu mulai dari mana lalu berakhir di mana. Itulah Alkitab. Mereka menulis dengan cara super padat kayak begini mungkin karena kertas super mahal. Tapi ini bukan berarti Alkitab tidak ada pembagiannya, bukan berarti Alkitab tidak ada cara bacanya, hanya saja mereka membaginya dengan cara-cara yang berbeda dari cara kita hari ini, cara-cara yang kita tidak terbiasa.
Salah satu cara untuk membagi menjadi satu bagian/unit tertentu misalnya dengan menaruh istilah-istilah tertentu yang mirip, seperti suatu refrein, suatu bagian yang mengulang terus; contohnya seperti dalam pembahasan pasal 1:1—2:5, ada kata ala (naik) yang diulang terus, sehingga waktu kita melihat kata ala sebagai refreinnya, kita jadi mengerti bagian tersebut adalah satu unit/bagian tersendiri. Selain itu ada cara yang lain, misalnya dengan menaruh frasa-frasa atau tema-tema tertentu yang mirip, sehingga kita bisa mengenali frasa tertentu itu sebagai judul bab yang baru, contohnya tentang kematian Yosua. Kematian Yosua muncul di bagian pertama, dan sekarang muncul lagi di bagian kedua, sehingga kita bisa melihat mungkin ini disengaja, bahwa memang ada 2 bagian introduksi. Hal ini masuk akal, karena kitab Hakim-hakim bisa dibilang mau melanjutkan kitab Yosua, sehingga intro-nya adalah menceritakan apa yang terjadi setelah Yosua mati.
Kita sudah melihat bagian pertama (pasal 1:1–2:5) sebagai bagian introduksi, bagian untuk ‘menyusun panggung’-nya, yang dimulai dengan ‘setelah Yosua mati, maka begini, begini, begini’. Mereka mau menjelaskan alasannya bisa terjadi kekacauan dalam periode Hakim-hakim, dan inilah background-nya, yaitu bangsa Israel disuruh menduduki tanah Kanaan tapi gagal. Waktu Saudara melihat bagian tersebut ada karakter ‘penjelasan’, ‘asal-muasal’ atau ‘background-nya, maka jelas bahwa ini adalah bagian introduksi, bagian ‘menyusun panggung’.
Karakter yang sama, Saudara juga temukan dalam bagian yang kedua (pasal 2:6–3:6). Bagian kedua ini bukan cuma mirip karena ada urusan tentang Yosua mati di bagian depan, tapi di bagian sisanya pun ada karakter ‘menyusun panggung’, ada karakter ‘background story’, ada karakter ‘asal-muasal’. Di bagian depannya, ayat 6-12 ada karakter ‘penjelasan’; di sini menjelaskan bahwa generasinya Yosua hidup lurus di hadapan Tuhan, tapi ternyata setelah Yosua mati –ini penjelasan/background story-nya–generasi yang berikutnya tidak mengenal Tuhan ataupun perbuatan yang dilakukan-Nya bagi orang Israel (ayat 10), sehingga mereka melakukan apa yang jahat di mata Tuhan dan beribadah kepada para Baal (ayat 11). Jadi di sini Saudara kembali mendapatkan karakter ‘penjelasan (background story)’, karakter ‘penyusunan panggung’, yang mengindikasikan ini sebuah introduksi.
Yang menarik, Saudara bukan cuma menemukan adanya bagian yang melihat ke belakang, Saudara juga menemukan dalam introduksi kedua ini adanya suatu pola yang mengantisipasi ke depan. Di ayat 13-19 Saudara akan menemukan suatu siklus, yang Saudara kenali pernah muncul sebelumnya. Perhatikan ayat 13, ini fase pertama dari siklusnya, yaitu bangsa Israel meninggalkan Tuhan dan beribadah kepada dewa-dewi asing, yang di bagian ini dikatakan ‘beribadah kepada Baal dan para Asytoret’ [Baal sebenarnya berarti ‘tuan, Lord, dewa’, dan ada banyak variannya, seperti Baal-Peor, Baal-Zebub, Baal-Hermon, dsb., sedangkan Asytoret adalah bentuk femininnya; sehingga kalimatnya bisa dibaca ‘beribadah kepada dewa-dewi asing’]. Ayat 14 adalah fase yang kedua, Tuhan murka terhadap Israel, dan Israel diserahkan untuk ditindas kepada bangsa-bangsa sekitar mereka. Ayat 15, fase yang ketiga, yaitu orang Israel kesulitan, mereka terdesak. Berikutnya ayat 16, fase yang keempat, Tuhan membangkitkan para hakim untuk menyelamatkan orang Israel. Ayat 17-18, fase yang kelima, hakim-hakim itu pun tidak dihiraukan oleh orang Israel meskipun hakim-hakim ini membawa keselamatan bagi orang Israel serta keamanan selama hakim-hakim ini hidup. Ayat 19, fase terakhir/keenam, setelah hakimnya mati, Israel kembali menyeleweng bahkan tambah jahat dibanding generasi sebelumnya. Saudara lihat, ada satu pola yang menjadi siklus di sini; pertama bangsa Israel menyeleweng, lalu ditindas, lalu mereka terdesak dan berteriak kepada Tuhan, lalu Tuhan membangkitkan hakim untuk menyelamatkan mereka, lalu hakim membawakan damai tapi bangsa Israel tetap tidak menghiraukan, lalu setelah hakimnya mati maka bangsa Israel kembali menyeleweng. Siklus ini berulang terus-menerus.
Pola yang sama ternyata terjadi juga di dalam cerita para hakim-hakim di pasal 3 ke belakang. Misalnya, dalam cerita tentang Gideon. Sebelum Gideon muncul, bangsa Israel berdosa dan ditindas, lalu mereka berdoa dan berteriak kepada Tuhan, maka Tuhan membangkitkan Gideon, dan Gideon menang perang, kemudian setelah Gideon mati, bangsa Israel kembali lagi seperti tadi, dst. Pola ini, yang ada dalam semua kisah hakim-hakim, Saudara temukan di pasal 2 sebagai awalnya, sehingga Saudara mengerti ini adalah sebuah penyusunan panggung, pembaca diberitahu dulu dari depan bahwa ceritanya bakal seperti ini dan polanya bakal terulang terus. Kesimpulannya, sekali lagi Saudara melihat ada keteraturan, ada penataan; dan ini memang sebuah introduksi. Sementara introduksi bagian yang pertama bicara mengenai kegagalan Israel dalam peperangan, introduksi yang kedua ini bicara mengenai kekagalan dalam kerohanian.
DOUBLE INTRODUCTION/PROLOGUE:
- Pasal 1:1–2:5 kegagalan dalam peperangan.
- Pasal 2:6–3:6 kegagalan dalam kerohanian.
Saudara lihat di sini, ada penyebutan tentang Yosua sampai 2 kali, ada karakter-karakter penyusunan panggung yang kira-kira sama, ada melihat ke belakang dan melihat ke depan mengantisipasi cerita yang akan datang, dan temanya pun mirip yaitu mau menjelaskan adanya kegagalan, hanya saja kegagalan pertama dalam urusan peperangan sedangkan kegagalan kedua dalam urusan kerohanian. Jadi, bukankah mulai terlihat bahwa ada satu hal yang disengaja di sini, dan ada satu keteraturan di sini?
Hal yang lebih menarik lagi, waktu para ahli menganalisa teks ini, mereka semakin yakin bahwa ini disengaja, bukan saja karena ada double introduction, tapi juga karena ketika mereka mengintip ke bagian akhir kitab ini, mereka menemukan ternyata bukan cuma ada dobel-dobelan di bagian depan tapi juga ada dobel-dobelan di bagian belakang, bukan cuma ada dobel-dobelan dalam urusan prolog tapi juga ada dobel-dobelan dalam urusan epilog. Kitab ini berjudul ‘Hakim-hakim’, dan memang mayoritas pasal-pasalnya berbicara mengenai sepak terjang hakim-hakim Israel, tetapi cerita tentang hakim terakhir, yaitu Simson, bukanlah kisah terakhir dari kitab ini; kisah Simson berakhir di pasal 16, sementara kitab ini berakhir di pasal 21. Jadi, di bagian belakang tampaknya ada sesuatu yang aneh karena tidak bicara mengenai urusan hakim-hakim; kitab ini ditutup dengan kisah yang bicara bukan mengenai hakim –ini keanehan pertama. Keanehan yang kedua, ditutupnya dengan dua kisah –dobel kisahnya; sebagaimana di depan ada 2 kisah, di belakang pun 2 kisah.
Sekali lagi, buat kita ini keanehan; mengapa kitab Hakim-hakim berakhirnya bukan dengan cerita mengenai hakim, ini membingungkan kita, sama seperti waktu di bagian depan dikatakan Yosua sudah mati lalu di pasal berikutnya muncul lagi. Tetapi, mungkin bagian-bagian yang aneh ini bukanlah untuk membuat Saudara bingung, melainkan sebagai cara dari penulisnya untuk memberitahu bahwa ini satu bagian yang baru, satu bagian yang berbeda.
Kita akan coba melihat kedua kisah yang menutup kitab Hakim-hakim ini, meski tidak akan membahasnya secara detail. Waktu Saudara melihat di belakang ada dua kisah, Saudara bisa merasa jangan-jangan ini suatu cerminan, mirip seperti dua kisah di depan. Itu memang benar, karena di belakang juga ada 2 kisah. Pertama adalah pasal 17-18 yang ceritanya aneh banget, yaitu mengenai seorang Israel bernama Mikha. Mikha ini mencuri uang mamanya beberapa ratus keping perak, lalu dia akhirnya mengaku. Mamanya bersukacita, kemudian mengatakan, “Puji TUHAN, Allah Israel, uangku kembali; maka Mikha, sekarang uang yang kamu curi itu aku kembalikan lagi kepadamu dan tolong kamu bikinkan patung berhala.” Jadi maksudnya apa?? Puji Tuhan Allah Israel, tapi kemudian minta uangnya itu dibikinkan patung berhala?? Inilah anehnya. Kita tidak akan bahas detail sekarang, tapi inti ceritanya adalah mengenai kekacauan urusan patung berhala bikinan seorang Israel bernama Mikha. Dan, kalau Saudara merasa ini cerita yang kacau, tunggu saja sampai ke bagian berikutnya, karena cerita yang kedua/terakhir, yaitu pasal 19-21 adalah cerita tentang mutilasi, cerita kategori X-rated, cerita yang jangan diceritakan di sekolah Minggu. Ceritanya adalah mengenai seorang Lewi yang gundiknya diperkosa ramai-ramai oleh suku Benyamin. Setelah itu, si Lewi ini me-mutilasi mayat gundiknya jadi 12 bagian lalu dikirimkan ke setiap suku Israel, tujuannya untuk menyatukan orang Israel membalas dendam kepada suku Benyamin. Bukankah ini cerita yang lebih aneh lagi?? Sudah mati diperkosa, lalu dipotong-potong –ini aneh– lalu disebar demi menyatukan suku-suku Israel; menyatukan suku-suku Israel dengan cara menyebar potongan-potongan mayat –benar-benar konyol. Cerita ini kemudian berakhir dengan perang saudara, suku Benyamin hampir-hampir dimusnahkan oleh 11 suku yang lain. Pendeknya, pasal 17-18 adalah cerita tentang kegagalan kerohanian (bikin berhala); pasal 19-21 bicara mengenai kegagalan dalam peperangan, karena sudah gagal terhadap Kanaan, tambahan lagi malah perang saudara.
DOUBLE INTRODUCTION/PROLOGUE:
- Pasal 1:1–2:5 kegagalan dalam peperangan (A)
- Pasal 2:6–3:6 kegagalan dalam kerohanian (B)
DOUBLE INTRODUCTION/EPILOGUE:
- Pasal 17–18 kegagalan dalam kerohanian (B)
- Pasal 19–21kegagalan dalam peperangan (A)
Saudara lihat seperti ini, ada double intro dan double ending. Lagipula, ada cerminan di sini, dua-duanya bicara mengenai kegagalan dalam peperangan dan kerohanian. Yang di awal kitab, kegagalan dalam peperangannya adalah dalam melawan bangsa Kanaan, kegagalan dalam kerohanian adalah karena ikut-ikutan dewa-dewi asing/Kanaan; yang di belakang, kegagalan dalam kerohaniannya adalah karena Mikha bikin berhala, kegagalan dalam peperangannya adalah karena mereka perang saudara dan hampir-hampir suku Benyamin dimusnahkan. Saudara dapat jelas melihat ada pola A B B A di sini. Ini sesuatu yang disengaja. Ini sesuatu yang teratur sekali.
Tidak selesai sampai di sini, kalau Saudara perhatikan, polanya tidak cuma A B B A; di bagian intro, kegagalan peperangan dan kerohaniannya dalam urusan dengan bangsa asing dan dewa-dewi asing, sementara di bagian ending-nya adalah mengenai kegagalan peperangan dan kerohanian dalam urusan domestik. Pasal 17-18 mengenai Mikha, orang Israel asli, yang bikin berhala di Israel, dan ujungnya ada orang Lewi pula yang jadi imam atas berhala tersebut; tidak ada cerita mengenai pengaruh orang luar/asing; ini benar-benar pemberhalaan yang terjadi internal, domestik. Pasal 19-21, ada peperangan untuk memusnahkan suatu bangsa, tapi yang dimusnahkan adalah bangsa sendiri yaitu suku Benyamin; jadi ini perang saudara, perang domestik. Dengan demikian dapat ditulis sbb.:
DOUBLE INTRODUCTION/PROLOGUE:
- Pasal 1:1–2:5 kegagalan dalam peperangan (A), urusan bangsa asing (A)
- Pasal 2:6–3:6 kegagalan dalam kerohanian (B), urusan dewa-dewi asing (A)
DOUBLE INTRODUCTION/EPILOGUE:
- Pasal 17–18 kegagalan dalam kerohanian (B), urusan domestik (B)
- Pasal 19–21kegagalan dalam peperangan (A), urusan domestik (B)
Pola A B B A dan A A B B
Lebih ironis lagi kalau Saudara bandingkan cerita pertama dan cerita terakhir, karena cerita pertamanya kegagalan perang bangsa Israel dalam arti gagal menghalau/ memusnahkan bangsa Kanaan sehingga tinggal bersama-sama dengan mereka, sedangkan cerita terakhirnya adalah cerita kegagalan perang karena Israel hampir berhasil memusnahkan salah satu suku mereka sendiri. Betapa jelas sekali ironinya. Kalau Saudara lihat secara keseluruhan seperti ini, dan bukan cuma membaca sedikit-sedikit, Saudara menemukan satu poin yang baru muncul sekarang, yaitu Israel diperlihatkan bukan cuma sebagai seorang tentara yang gagal menembak musuh tapi gagal menembak musuh lalu malah tertembak jempol sendiri. Saudara bisa bayangkan seperti apa penggambaran kitab Hakim-hakim ini; secara isi, cerita-ceritanya kacau, tentang periode Israel yang paling ngaco –ada Mikha yang curi uang lalu waktu dia kembalikan, ibunya lebih gila lagi bilang “Puji Tuhan” tapi kemudian menyuruh uangnya dibikin berhala, dsb., ngawur sekali –tapi secara struktur, Saudara menemukan simetri di tengah-tengah kekacauan. Secara struktur, kitabnya tidak sekacau yang Saudara kira, bahkan kitab ini begitu tertata secara teratur.
Sekali lagi, kita baru sekarang menemukan kayak begini, karena kita tidak terbiasa membaca Alkitab sebagai Alkitab, kita kepingin membaca Alkitab dengan kacamata ‘novel modern’, dengan kacamata ‘textbook modern’ yang ada bab-bab-nya, tersusun rapi dan kronologinya jelas; ‘kalau kamu bilang Alkitab itu teratur, saya maunya urutannya kronologis, itu baru teratur; kalau Yosua sudah mati di awal, ya, jangan muncul-muncul lagi, kita pikir dia zombie atau apa, masih muncul lagi di pasal 2 lalu tiba-tiba 2 ayat kemudian mati lagi, jadi maunya apa??’ Tapi Saudara lihat, ternyata yang kita melihatnya sebagai ketidakteraturan –kronologi yang lompat-lompat– malah merupakan sebuah petunjuk (hint) yang ketika Saudara menelusurinya, itu adalah sebuah pintu untuk kita melihat suatu penataan/penyusunan yang begitu teratur, bahkan begitu simetris. Bukankah demikian jalan masuk pembahasan kita tadi? Pembahasan kita tadi mulai dari “keanehan” bahwa Yosua muncul 2 kali berhubung dengan urusan matinya; tapi seteleh kita menulusuri dan menelusuri, tiba-tiba ‘lho, koq, ternyata malah teratur sekali, ya’.
Apa yang bisa kita tarik dari fenomena seperti ini? Banyak. Tapi kita tidak akan langsung masuk ke sana, kita akan ambil kesimpulan nanti di belakang. Sekarang saya ingin mengajak Saudara melihat simetri berikutnya. Tadi kita sudah melihat adanya simetri antara bagian intro dengan bagian ending, sekarang kita akan melihat bagaimana halnya dengan bagian tengah-tengahnya atau body-nya, yang adalah bagian utama dari kitab ini, yaitu bagian kumpulan kisah-kisah mengenai para hakim sendiri, dan merupakan bagian terbesar dari kitab ini, dari pasal 3-16.
Kita masuk ke bagian tengah ini, pasal 3-16. Ceritanya adalah mengenai kisah hakim-hakim. Total ada dua belas hakim yang disebut dalam pasal-pasal ini: 1) Otniel, 2) Ehud, 3) Samgar, 4) Debora, 5) Gideon, 6) Tola, 7) Yair, 8) Yefta, 9) Ebzan, 10)Elon, 110 Abdon, 12) Simson. Melihat jumlah yang adalah 12, sekali lagi, ini sepertinya bukan kebetulan; bagaimana bisa ada 12 nama, menunjukkan bahwa ini sesuatu yang teratur, ada penataan yang disengaja dan bukan sembarangan.
Yang lebih menarik lagi, para ahli mulai melihat bahwa dari 12 nama ini, tidak semuanya dapat porsi penceritaan yang sama. Ada beberapa hakim yang diceritakan sepak terjangnya secara panjang, lebar, dan mendetail, dan ada beberapa hakim yang diceritakan sambil lewat saja, misalnya hakim Samgar, Tola, Yair, Ebzan, Elon, Abdon. Para ahli kemudian coba menyusun ulang daftar tersebut berdasarkan cerita-cerita yang panjang saja; dan ketika itu dilakukan, terlihat ada tujuh nama yang punya kisah panjang serta detail. Jadi ada 12 hakim (angka 12 ini bukan kebetulan), dan dari 12 itu ada 7 nama yang mendapatkan porsi signifikan, yaitu Otniel, Ehud, Debora, Gideon, Abimelekh (yang tidak disebut hakim, bahkan tidak mau jadi sekadar hakim, dia ingin jadi raja), Yefta, Simson. Sekali lagi, jumlah 7 ini menunjukkan bahwa kayaknya ini bukan sembarangan. Demikian susunannya:
- Pasal 3:7–11 –> Otniel
- Pasal 3:12–31 –> Ehud +1
- Pasal 4:1–5:31 –> Debora
- Pasal 6:1–8:32 –> Gideon
- Pasal 8:33–10:5 –> Abimelekh +2 (tidak disebut hakim)
- Pasal 10:6–12:15 –> Yefta +3
- Pasal 13:1–16:31 –> Simson
Yang diberi tanda +1, +2, +3 maksudnya adalah hakim-hakim yang kecil; misalnya; Ehud +1 maksudnya setelah Ehud diceritakan tentang Samgar tapi hanya sambil lewat saja, lalu setelah Abimelekh ada 2 hakim yaitu Tola dan Yair, setelah Yefta ada 3 hakim minor yaitu Ebzan, Elon, Abdon. Dari sini kita menemukan porsi penceritaan yang besar ada 7 nama, dan 6 di antaranya adalah hakim. Sekali lagi, ini sepertinya bukan kebetulan. Waktu kita memperhatikan 7 nama ini, jangan-jangan ada sesuatu di sini, dan kita akan menyelidiki lagi.
Kita ingat waktu di pasal 2, di bagian introduksi tersebut ada siklus/pola yang terus-menerus berulang dalam kisah setiap hakim, yaitu: bangsa Israel berdosa à mereka berteriak à ditindas à Tuhan membangkitkan hakim à hakim menyelamatkan à hakim mati dan mereka kembali berdosa. Kita coba bandingkan setiap bagian pola ini di antara cerita-cerita ketujuh hakim tadi, dan melihat apa yang akan kita temukan (maksudnya 6 hakim, karena Abimelekh bukan hakim sehingga tidak memakai pola ini). Ternyata, kita menemukan satu pola lagi, sbb.:
Linear Downward Spiral
The People | The Lord | The Land | |
(reaksi umat Tuhan) | (reaksi Tuhan) | (dampak bagi tanah Israel) | |
Otniel | cries out | raised up | had rest |
(berteriak kepada Tuhan) | (Tuhan membangkitkan Otniel) | (tanahnya menjadi damai) | |
Ehud | cries out | gave | had rest |
(berteriak kepada Tuhan) | (Tuhan memberikan Ehud) | (tanahnya kembali jadi damai) | |
Debora | cries out | Barak summoned by Deborah | had rest |
(berteriak kepada Tuhan) | (Barak disuruh oleh Debora) | (tanahnya kembali jadi damai) | |
Gideon | cries out | sends prophet to rebuke | had rest |
(berteriak kepada Tuhan) | (Tuhan kirim nabi) | (tanahnya kembali jadi damai) | |
Yefta | cries out | refuses | none |
(berteriak kepada Tuhan) | (Tuhan menolak) | (tidak pernah lagi dikatakan damai) | |
Simson | did not cry out | works in the background | none |
(tidak berteriak kepada Tuhan) | (Tuhan seperti di belakang layar) | (tidak pernah lagi dikatakan damai) | |
Saudara perhatikan, pola tersebut saya bagi 3, yaitu cerita tentang hakimnya, reaksi umat Tuhan (the people), reaksi Tuhan (The Lord), dan dampaknya bagi tanah Israel (the land). Pertama, Otniel, hakim yang ideal: pada zaman itu umat Tuhan berteriak kepada Tuhan, maka Tuhan membangkitkan Otniel, dan dampaknya tanah menjadi damai dari musuh-musuhnya. Zaman Ehud juga sama: bangsa Israel kembali berdosa, mereka berteriak kepada Tuhan, dan dikatakan ‘Tuhan memberikan Ehud untuk menyelamatkan mereka’ –di sini ada sedikit perbedaan dari sebelumnya, tadinya ‘membangkitkan’, sekarang ‘memberikan’ — setelah itu tanah kembali jadi damai. Zaman Debora: kembali orang Israel berdosa lalu mereka berteriak kepada Tuhan; Tuhan bukan membangkitkan Barak, tapi Barak malah disuruh/dipanggil oleh Debora –jadi ada perbedaan lagi, mulai ada jarak antara Tuhan dan bangsa Israel, meski Tuhan tetap bekerja– dan dampaknya tanah Israel damai kembali. Zaman Gideon: bangsa Israel ditindas oleh orang Midian, mereka berteriak kepada Tuhan, tapi sekarang Tuhan bahkan tidak langsung memberikan hakim, Tuhan kirim nabi, dan nabi ini marah-marah kepada mereka karena tidak bertobat-tobat, lalu akhirnya Tuhan bangkitkan Gideon, dan tanah kembali damai. Zaman Yefta: kembali mereka berteriak kepada Tuhan karena ditindas, kali ini Tuhan tidak mau kirim siapapun, namun akhirnya Tuhan berbelas kasihan dan mengirimkan Yefta; menariknya, setelah menang pun, tanah Israel tidak pernah dikatakan ada kedamaian. Terakhir, Simson: ini paling parah, karena Filistin menduduki Israel tapi Israel bahkan tidak berteriak minta tolong kepada Tuhan. Ketika kita melihat sepak terjang Simson sendiri, Tuhan sepertinya bergerak di belakang layar, tidak maju di depan lagi. Tuhan tetap bekerja, ada kuasa Roh di dalam Simson, tapi Tuhan seperti ada di background, jaraknya semakin jauh, dan setelah Simson mati pun tanah tersebut tidak dikatakan mendapatkan kedamaian.
Setelah kita melihat 7 nama tadi secara linear, kita medapatkan satu makna lagi, yaitu ini bukan kisah-kisah independen yang kemudian dari situ kita mendapat teladan hakimnya, tapi ada satu pola yang mau diperlihatkan, bahwa keadaannya makin lama makin hancur. Tidak selesai sampai di sini, kalau Saudara memasukkan nama Abimelekh –karena kisahnya diceritakan panjang lebar meskipun dia bukan hakim–Saudara menemukan bukan cuma pola linear yang makin lama makin hancur, tapi juga satu pola lain lagi, sbb.:
Concentric Structure:
- Otniel: (solution)
- Ehud: (holy war)
- Debora: (deliverance)
- Gideon: (turning point)
- Abimelekh: (defeat)
- Yefta: (civil war)
- Simson: (problem)
Ini adalah urutan berdasarkan kronologi pasal-pasalnya. Yang menarik, ketika Saudara mencari kemiripan-kemiripan atau paralel-paralel kisah-kisah ini, Saudara akan berakhir dengan pola yang disebut concentric pattern, pola berpasangan yang dalam hal Alkitab disebut pola kiasmus/chiastic, yang awal berpasangan dengan yang akhir, lalu yang tengah dengan tengah, seperti seringkali di-analogikan dengan sandwich. Polanya jadi seperti ini:
Otniel: (solution)
Ehud: (holy war)
Debora: (deliverance)
- Gideon: (turning point)
Abimelekh: (defeat)
Yefta: (civil war)
Simson: (problem)
Saudara perhatikan, Otniel berpasangan dengan Simson. Otniel hakim ideal, Simson hakim paling hancur. Otniel dihadirkan sebagai solusi bagi problem Israel; problem Israel adalah sebagaimana ada di bagian introduksi, mereka pertama-tama gagal perang, gagal menghalau bangsa Kanaan, sehingga mereka tinggal di tengah-tengah bangsa Kanaan, dan setelah itu mereka mulai kawin campur dengan perempuan Kanaan, lalu akhirnya ikut menyembah dewa-dewi Kanaan –demikianlah polanya. Otniel menikah dengan Akhsa, anak Kaleb —the Caleb, yang adalahorang dalam yang tidak bisa lebih dalam lagi, seakan-akan pendeta besar. Jadi Otniel ini benar-benar menjaga kemurnian bangsa Israel; ini hakim yang ideal. Sekarang Saudara lihat Simson, apa kerjanya? Simson senantiasa mengejar perempuan asing, sebagaimana Saudara lihat berkali-kali dalam ceritanya. Dengan demikian, kalau Otniel dihadirkan sebagai solusi bagi bangsa Israel, Simson dihadirkan sebagai problem-nya Israel, seorang hakim yang sendirinya menghidupi problem Israel dengan selalu mengejar perempuan asing.
Sekarang kita melihat pasangan Ehud – Yefta. Ehud memimpin 12 suku Israel melawan Eglon, raja Moab yang menindas mereka, lalu menang. Jadi Ehud masih dihadirkan sebagai hakim yang cukup ideal. Yefta, awalnya memimpin bangsa Israel berperang melawan Amon, hanya saja tidak semuanya, hanya sebagian koalisi yang disebut koalisi Gilead. Yefta memimpin Gilead melawan Amon, dan menang, tapi ceritanya tidak berakhir di situ; ceritanya berakhir dengan Gilead melawan Efraim. Efraim ini sisa suku Israel lainnya yang tidak ikut diajak perang, maka mereka cari ribut, mereka bilang, “Hai Yefta! Kenapa kamu perang melawan Amon tapi tidak ajak-ajak kami? Jadi kami mau balas dendam kepada kamu!” Aneh juga, tidak diajak perang, malah mau balas dendam; dan akhirnya mereka perang saudara. Inilah cerita yang terkenal dengan ucapan ‘syibolet’. Ceritanya orang Efraim terpukul kalah oleh Yefta dan mereka kabur, kemudian dikejar, lalu kalau ada yang melarikan diri maka orang Gilead menyuruh orang itu mengucapkan ‘syibolet’, untuk memastikan dari logatnya apakah dia orang Efraim atau bukan, kalau orang Efraim maka dibunuh. Jadi Saudara lihat, dalam kisah Ehud, ini perang suci, perang untuk melawan bangsa Kanaan; sedangkan dalam kisah Yefta, ada perang saudara. Sekali lagi Saudara melihat semacam cermin di sini.
Berikutnya, pasangan Debora – Abimelekh. Kisah Debora adalah kisah mengenai kehancuran seorang raja Kanaan bernama Sisera; dan Sisera ini mati bukan di tangan Barak. Debora bilang kepada Barak, “Barak, asal tahu saja, Tuhan tidak akan memberikan kemuliaan kemenangan ini ke tanganmu, tapi ke tangan seorang wanita, karena kamu ini pengecut.” Kemudian yang terjadi adalah tentara Sisera perang melawan Barak, dan Barak menang, sementara Sisera kabur. Barak tidak bisa mengejarnya. Sisera tiba ke satu kemah yang dipikirnya aman, tapi yang tinggal di kemah itu adalah anak-anak Kenas, saudara Kaleb (saudara-saudara dari Otniel); lalu Yael, seorang wanita, yang juga tinggal di kemah itu, pada malamnya ketika Sisera sedang tidur, mengambil patok kemah dan memukulkannya ke kepala Sisera hingga mati. Dengan demikian kematian Sisera, raja musuh itu, bukan di tangan Barak melainkan di tangan seorang wanita, sebagaimana nubuat Debora. Kisah Abimelekh juga mengenai seorang raja yang mati di tangan wanita, dan matinya pun sama, dengan cara kepalanya dilukai; hanya saja ironisnya raja ini bukan raja Kanaan, raja ini adalah orang Israel, yaitu Abimelekh sendiri. Abimelekh ini tokoh bad guy, tokoh yang tidak mau jadi hakim, dia maunya jadi raja, maka dia mengangkat diri jadi raja. Dan, akhirnya ketika dia perang melawan orang Israel sendiri, lalu waktu menyerang suatu kota, ada seorang wanita –yang entah siapa– menjatuhkan batu dari atas tembok kota, lalu kena kepalanya, dan Abimelekh pun mati. Dengan demikian sekali lagi ini cerita kehancuran seorang raja yang mati di tangan wanita dengan cara kepalanya dihajar. Ironisnya, sementara dalam kisah Debora, raja tersebut adalah raja Kanaan, Sisera; sedangkan dalam kisah Abimelekh, raja tersebut adalah orang Israel sendiri, Abimelekh.
Terakhir, tentang Gideon, yang dalam pola kiasmus tadi cuma sendirian. Gideon ini orang yang membingungkan, hakim yang banyak kebingungan dan hidupnya begitu kacau. Di pasal 6 dia muncul dan merubuhkan berhala, di pasal 7 dia menang perang atas Midian. Ini berarti kegagalan dalam hal kerohanian, dia bisa tembus; kegagalan dalam hal peperangan pun dia bisa tembus. Sepertinya dia hakim yang oke. Tapi kemudian di pasal berikutnya, dia perang saudara juga dengan orang Efraim; lalu di pasal 8 akhir, dia mendirikan berhala. Selagi Gideon masih hidup, bangsa Israel sudah menyembah berhala, karena Gideon sendiri yang bikin berhala. Jadi di awal dia merubuhkan berhala, dan menang atas tentara Kanaan; namun kemudian ceritanya berbalik arah, dia menang atas tentara bangsa sendiri, dan dia kembali mendirikan berhala. Ini hakim yang benar-benar hidupnya seperti terbagi 2, seperti cermin. Ini hakim yang bingung, bukan cuma bingung dalam urusan tersebut, tapi juga ada satu hal yang menarik berkenaan dengan Abimelekh yang adalah anaknya Gideon. Gideon di dalam kemenangannya, dia ditanya oleh orang Israel, apakah mau jadi raja atas mereka. Gideon menjawab, “Oh, enggak, aku ‘gak mau jadi raja; hanya Tuhanlah Raja di atas kamu”, tapi dia menamakan anaknya Abimelekh; abi artinya ‘bapakku’ dan melekh artinya ‘raja’, sehingga arti ‘abimelekh’ adalah ‘bapakku raja’. Bukankah ini orang yang membingungkan, dan dia sendiri pun terbingung-bingung?? Itu sebabnya seperti Saudara lihat dalam pola kiasmus, dia berada di tengah sendirian, karena hidupnya pun terbagi dua seperti itu.
Sekali lagi, lewat ini semua, Saudara menemukan apa? Saudara menemukan sepanjang kitab ini, bahwa isi ceritanya kekacauan, kehancuran –satu periode yang paling kacau dalam sejarah Israel—namun juga, penulisnya secara sangat sengaja mencatat periode kekacauan ini dengan penataan yang begitu rapi, bahkan bisa dibilang penataan/penyusunan kitab Hakim-hakim ini kerapiannya di atas rata-rata. Jadi, kehancuran serta kekacauan di dalam periode hakim-hakim, itu jauh melampaui sepanjang sejarah Israel; tapi kitabnya, cara penulisannya, dalam hal keteraturannya melampaui kitab-kitab sepanjang sejarah Alkitab. Lucu, bukan? Kenapa bisa kayak begini? Ini cuma iseng-iseng sajakah, atau ada poin teologis di balik semua ini? Jawabannya: pasti ada. Tapi hari ini saya hanya akan menarik 2 poin. Saya mau kita coba refleksi, waktu kita melihat adanya keteraturan seperti ini di dalam Alkitab, seringkali kita tidak ngeh, seringkali kita tidak pernah dibukakan, dan seringkali kita tidak juga mencari apa dampaknya buat kita.
Yang pertama, Saudara jadi dapat sense mengenai di mana kelimpahan Alkitab itu, dan dengan demikian harusnya kita jadi melihat seperti apa gambaran hidup yang berkelimpahan bagi Alkitab. Apa sih hidup yang berkelimpahan itu? Waktu kita mendengar ‘hidup yang berkelimpahan’, kita otomatis berpikir soal materi; tapi begitu terpikir ‘materi’, lalu kita sebagai orang Kristen cepat-cepat mengatakan, “Oh, enggak-enggak, saya ‘gak boleh jadi orang yang materialistis, saya harus pikir yang lain, masa sih kelimpahan cuma dalam hal materi saja”. Lalu apa? Kelimpahan dalam hal relasi dengan orang lain, kelimpahan dalam hal pengetahuan teologis yang Tuhan berikan kepada kita; tapi apakah cuma itu? Alkitab, kelimpahannya jelas bukan cuma urusan materi, tapi bukan juga cuma dalam aspek teologis; lewat pembahasan kita hari ini, Saudara melihat Alkitab ternyata punya kelimpahan juga dalam aspek estetis, aspek keindahan. Saudara di sini bukan cuma diberikan mengenai apa yang benar, tapi juga apa yang indah, apa yang teratur, apa yang simetris, apa yang meaningful –atau bisa dibilang apa yang nyeni. Dan, sadarkah Saudara bahwa ini pun adalah bagian dari wahyu Tuhan kepadamu?
Saudara, seni memang satu hal yang seringkali kita agak rendahkan. Ini tidak heran, karena kita hidup di sebuah zaman yang amat sangat pragmatis [pragmatis adalah cara pikir yang hanya mementingkan/ menilai sesuatu berdasarkan manfaat praktisnya; kalau ada manfaat praktisnya buat saya, barulah saya rasa itu berharga]. Dengan demikian, cara kita membaca Alkitab pun juga sama seperti itu. Kalau Alkitab memberikan kebenaran dalam arti membukakan bagaimana kita bisa hidup lebih baik –ada manfaat praktisnya– maka saya mau; sedangkan kalau Alkitab cerita mengenai simetri, keindahan, keteraturan –seperti yang kita lihat hari ini– maka kita merasa ‘ini ‘gak terlalu pentinglah, gua juga ‘gak nyari-nyari yang kayak begitu’. Tapi lihatkah Saudara, bahwa ini pun sebenarnya bagian dari kelimpahan wahyu Tuhan bagi engkau? Dan, kalau ini bagian dari kelimpahan wahyu Tuhan bagi Saudara dan saya, bukankah itu berarti hidup kita harusnya juga mencerminkan kelimpahan yang demikian? Sayangnya, seringkali tidak demikian.
C.S. Lewis pernah mengatakan satu kalimat yang bagus: “seni memang tidak berharga untuk urusan bertahan hidup, maka orang sering acuhkan” –seni tidak membuatmu lebih bisa bertahan hidup, nafasmu tidak bergantung dari berapa banyak musik Bach yang kamu dengar– tapi kemudian C.S. Lewis melanjutkan: “tapi seni itulah yang membuat bertahan hidup jadi berharga”. Ini satu kalimat yang sangat indah, dan inilah yang ditawarkan Alkitab juga. Alkitab tidak cuma memberikan kepada Saudara urusan bertahan hidup, Alkitab juga mengisi hidup Saudara dengan harga seperti ini. Problem dari seni memang adalah karena seni tidak aplikatif; tetapi seni sangat apresiatif. Waktu kita bikin suatu acara seni, kita tidak mengatakan ‘aplikasi seni’, karena bagaimana bisa seni di-aplikasikan; tapi semua acara seni dikatakan ‘apresiasi seni’, seperti apresiasi musik, apresiasi puisi, apresiasi literatur, dst. Lewat ini semua, saya mau mengatakan bahwa di Alkitab ada tempat yang sangat besar bagi aspek ini, tapi kenapa dalam hidup kita seringkali tidak demikian? Mungkin ini adalah bolong besar, bukan cuma dalam kehidupan kita tapi jangan-jangan dalam kerohanian kita juga, karena sebenarnya kalau kita melihat Alkitab, di situ ada aspek seninya, ada aspek estetiknya. Mungkin inilah penyebabnya kerohanian kita bolong, yaitu karena kita seringkali datang dengan kerohanian pragmatis, kita cuma mau datang kepada Firman Tuhan demi aplikasi tapi bukan untuk apresiasi. Sayang sekali kalau kayak begini, karena Alkitab jelas ada aspek tersebut. Bahkan yang namanya ‘cinta’, aspek utamanya justru aspek yang mana sih?? Kalau orang mencintai dengan pikiran yang cuma aspek manfaat praktis, apa Saudara mau menikah dengan orang kayak begitu? “Aku mau menikah sama kamu, karena nanti karierku bisa lebih bagus, orang ‘gak curiga kalau aku hombreng, keluarga jadi lebih stabil, hidupku lebih enak, … ; ‘gak sama kamu juga ‘gak apa-apa sih, yang penting ada manfaatnya buat aku”; apa Saudara mau menikah dengan orang kayak begini? Jelas tidak mau. Apa yang membuat Saudara yakin mau menikah dengan seseorang? Justru aspek apresiatif-nya, bukan? Aspek apresiatif yang tidak aplikatif itu. “Kenapa kamu mau menikah sama aku?” “’Gak tahu, tapi aku ‘gak bisa berhenti mikirin kamu, aku ‘gak bisa berhenti melihat wajahmu di otakku, aku bahagia kalau kamu bahagia, aku ingin membuat wajahmu tersenyum” –ini apresiatif, tidak ada manfaat praktisnya buat dia, tapi bukankah ini cinta?
Dari sini kita melihat, kadang-kadang waktu orang Kristen bilang dia mencintai Firman Tuhan atau mencintai Tuhan, jangan-jangan itu bukan cinta (karena kurang dalam hal apresiatif tadi), melainkan karena ada manfaat praktisnya. Saudara, yang seperti itu bukan cinta, tapi rasa lapar. Itu seperti orang yang sudah 2 hari kelaparan di padang gurun lalu dia ketemu pohon dan mengatakan, “Oh, aku cinta mati sama pohon ini”, tapi kemudian yang dia lakukan bukan menyirami, memupuk, menyiangi daun-daunnya dengan seksama, sebaliknya dia gigit buahnya, dia gigit daunnya, bahkan juga dahannya, karena kelaparan. Itu rasa lapar, bukan rasa cinta. Tentu rasa cinta bukan berarti tidak ada benefit-nya, hubungan cinta pasti ada manfaat praktisnya; dan dalam batas tertentu, memang Firman Tuhan digambarkan sangat berguna bagi kehidupan kita. Dalam tulisan Paulus, jelas dikatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, untuk mendidik orang dalam kebenaran” –jelas Alkitab/Firman Tuhan ada aspek manfaatnya. Tapi problemnya, seringkali kita pikir Firman Tuhan hanya untuk urusan manfaat. Ketika Saudara datang kepada sesuatu dan mengatakan ‘saya cinta kamu’, tapi urusannya cuma urusan manfaat, itu bukan cinta! Itu rasa lapar. Cinta bisa ada manfaatnya, tapi tidak ada orang yang masuk ke hubungan cinta demi manfaat. Saya pikir kita perlu mengakui, kita ini anak zaman yang sudah terlalu pragmatis. Kalau kita menyadari pengaruh pragmatisme dalam kerohanian kita, jangan-jangan kita juga harus mengakui bahwa selama ini kita datang kepada Alkitab hanya jika kita bisa melihat di mana manfaatnya –“apa aplikasinya, Pak?”
Lalu apa obatnya –latihan rohaninya– untuk mengatasi hal ini? Sekali lagi, ini berarti Saudara perlu coba pakai pendekatan apresiatif waktu membaca Alkitab; pendekatan apresiatif, pendekatan seni, bukan pendekatan aplikatif terus-menerus, meskipun itu juga oke dan penting. Pendekatan apresiatif seperti ini memang lebih susah, memang lebih lama; dan seperti juga kalau belajar seni, pendekatan apresiatif ini tidak terlalu bisa ada panduan persisnya langkah demi langkah. Misalnya Saudara belajar piano dengan seorang guru, dia bilang, “Kamu duduknya salah, harus begini begitu, ya”; lalu datang ke guru yang lain, dia bilang, “Ah, enggak, cara begini juga bisa, duduknya begini begitu, ya” –lain lagi. Waktu datang ke guru lain lagi, cara dia juga lain lagi. Jadi yang mana yang benar?? Apa bisa kasih tahu saya satu cara saja yang paling benar?? Memang tidak bisa, karena seni itu luas, limpah, tidak bisa dikunci dalam satu arah. Sekali lagi, disclaimer; ini bukan berarti mulai sekarang Saudara tidak usah lagi cari aplikasi dalam Alkitab, ini bukan berarti orang yang selalu cari aplikasi adalah anak setan. Saya bukan anti aplikasi, lagipula yang kita bicarakan ini juga aplikasi, yaitu belajar mengenai aspek apresiatif dalam Alkitab. Intinya, melalui kita melihat aspek estetik dalam Alkuitab, melalui kita membaca bukan cuma isi Alkitab tapi juga struktur dari Alkitab, saya ingin Saudara mengambil langkah pertama untuk paling tidak mulai membedakan antara Alkitabnya sendiri dengan manfaat yang dibawa oleh Alkitab, antara Pribadi Allah Sang Pemberi berkat dengan berkat yang diberikan oleh Allah. Ini adalah dua hal yang perlu dibedakan, karena inilah salah satu cara Saudara menguji diri di hadapan Tuhan, selama ini Saudara ikut Dia demi apa? Saudara, Tuhan Yesus sangat cerewet dalam hal ini. Berkali-kali dalam hidup Tuhan Yesus waktu Dia berjalan dan orang mengikuti Dia, Dia berhenti dan bertanya ‘orang ini mengikut Aku sebenarnya mau ngapain sih?’ Berkali-kali Dia melakukan itu; mengapa? Karena ini sangat penting. Pemuridan yang sejati itu adalah ‘datang bagi apa’ –ini harusnya yang jadi pertanyaan.
Inilah hal pertama yang bisa kita tarik, yaitu Saudara harus menyadari kelimpahan Alkitab itu di mana, dan salah satu yang seringkali kita anggap sekunder adalah bahwa kelimpahan Alkitab itu datang lewat keindahan, lewat keteraturan. Alkitab hadir bukan cuma untuk diketahui, tapi juga untuk dikagumi dan di-apresiasi; dan justru aspek apresiasi inilah yang menjadi tanda, apakah Saudara murid sejati atau palsu.
Yang kedua, poin yang terakhir dan berhubungan dengan yang pertama adalah mengenai bagaimana Alkitab datang kepada Saudara. Kalau Alkitab menggunakan apa yang estetik dan bukan cuma analitik, berarti Alkitab tidak pernah puas hanya dengan memberikan kepada Saudara kebenaran-kebenaran. Alkitab tidak pernah puas hanya dengan memberitahu Saudara kebenaran, Alkitab ingin memperlihatkan kebenaran itu. Apa bedanya memberitahu tok dan memperlihatkan? Memberitahu, itu lebih gampang, lebih cepat, lebih instan, tapi lebih tidak berhasil, lebih tidak ‘berkuasa’. Sedangkan memperlihatkan, itu perlu waktu yang banyak, kita harus gali, putar otak, peras keringat; kita harus pakai cara-cara yang tidak terbiasa, mulai dari tidak mengerti, ‘gak mudeng –prosesnya lama. Tapi kenapa Alkitab menyediakan aspek ini juga, tidak cuma bertahan dengan memberitahu tok tapi juga memperlihatkan kepada Saudara kebenaran-kebenarannya, memperlihatkan simetrinya, memperlihatkan keteraturannya? Karena kita memang butuh diperlihatkan.
Mama Saudara memberitahu Saudara sejak kecil apa saja karaktermu yang jelek, tapi apakah itu berpengaruh untuk membuat kita berubah, bahkan sampai tua? Tidak berpengaruh ’kan. Itu karena kita cuma diberitahu. Kita perlu diperlihatkan. Tentu saja diberitahu itu penting, tapi juga perlu diperlihatkan. Seperti apa yang namanya diperlihatkan? Misalnya tante Saudara datang dari jauh, dan sudah lama tidak bertemu. Dia bilang, “Eh, sudah besar ya, sekarang, kamu dulu begini begini begini…”, dan mulai bongkar dosa-dosa masa lalu; “Dulu kamu main bola lalu bolanya jatuh ke kali, dan kamu langsung nyebur, lho, ‘gak pake liat-liat, lho, habis itu ada pisang goreng lewat, … “, dst., dst. Mendengar itu, kita langsung terhenyak, ‘Oh, dulu saya kayak begitu ya’, tidak bisa mengelak. Kalau diberitahu ‘kamu sifatnya kayak begini, ya’, kita cuma bilang ‘memang, lalu kenapa?’; tapi kalau diperlihatkan, bukan cuma diberitahu, digambarkan lewat cerita –cerita itu seni, estetik– kita tidak bisa mengelak. Cinta pun sama juga, tidak bisa cuma diberitahu tapi perlu diperlihatkan. “Mama, aku mau nikah sama dia.” “Kenapa kamu mau nikah sama dia?” “Dia bilang, dia cinta sama aku.” “Jangan lihat apa yang dia bilang, nak, lihat apa yang dia lakukan. Pernahkah dia mendahulukanmu, menaruh kepentinganmu di atas kepentingannya? Pernahkah dia mengorbankan mimpinya demi mimpimu? Itu yang perlu kamu lihat, nak; bukan apa yang dia beritahu melainkan apa yang dia perlihatkan.”
Sama halnya dengan Alkitab. Saudara suka mencari kehendak Allah dalam Alkitab; tapi bagaimana dengan benar-benar mengalami kehendak Allah melalui Alkitab? Inilah kehendak Allah: untuk Saudara masuk ke dalam proses belajar pelan-pelan akan apa itu Alkitab, dan tidak cuma diberitahu langsung jadi. Tidak cuma dapat makanan siap saji tapi Saudara ikut masuk ke dapur melihat, ‘Oh, ternyata disusunnya kayak begini’, dan Saudara melihat keindahan, simetri, keteraturan yang Tuhan rajut dalam firman-Nya. Saudara sudah sering diberitahu: “Kacamata Saudara itu terbatas, maka kalau baca Alkitab jangan pakai kacamata Saudara. Saudara harus berani menanggalkan kacamata Saudara, Saudara harus pakai kacamata Alkitab. Saudara harus rendah hati untuk itu” –ini artinya Saudara diberitahu. Berhasil atau tidak? Tidak terlalu. Memang penting, tapi tidak terlalu berhasil. Sedangkan hari ini, yang saya lakukan adalah memperlihatkan seperti apa jadinya kalau kita menanggalkan kacamata kita yang terbatas itu, dan kita coba mengenakan kacamata dari Alkitab. Saudara diperlihatkan ini in action, Saudara diperlihatkan kronologi yang lompat-lompat dan membingungkan itu, yang Yosua mati dua kali dan kita tidak mengerti, lalu Saudara coba tanggalkan kacamatamu. Dan, lewat pembahasan kita, ternyata hal yang memusingkan itu justru adalah jalan masuk untuk menghargai keindahan, simetri, keteraturan, yang Tuhan rajut di dalamnya. Bukankah sekarang jadi berbeda? Karena sekarang Saudara diperlihatkan, dan bukan cuma diberitahu. Saudara sekarang bukan cuma tahu, Saudara ngeh sedikit akan kebenaran ini, ‘Oh, ini toh maksudnya, saya perlu rela melepaskan kacamataku dan ambil kacamata Alkitab waktu baca Alkitab, karena hal yang buatku membingungkan, ternyata malah bagi Alkitab adalah jalan kepada pengertian’. Tentu boleh saja diberitahu, tapi di bagian ini Saudara melihat alasannya Alkitab tidak pernah mau berhenti sampai di situ saja.
Saya jadi terpikir mengenai penginjilan (PI). Kita merasa susah waktu belajar PI, karena mungkin kita hanya belajar langkah-langkah memberitahu orang mengenai Injil, tapi kita tidak pernah memikirkan bagaimana caranya memperlihatkan Injil dalam kehidupan kita. Waktu kita disuruh PI kepada orang, kita agak sungkan, kita merasa ada semacam ‘maksa’-nya, tidak bisa natural. Kita harus seakan-akan memaksa orang duduk mendengarkan kita, “Ini lho 12 langkah untuk mengerti Injil”. Itu sebabnya yang selalu jadi target PI model begini adalah supir taksi dan orang sakit di rumah sakit, karena mereka tidak bisa kabur. Masuk akal. Tapi bagaimana menginjili pejabat negeri? Bagaimana menginjili orang-orang di luar sana? Kita tidak tahu caranya. Yang kita tahu cuma cara menginjili orang-orang yang tidak bisa kabur, karena kita merasa perlu invasi. Di sinilah kita harus menyadari bahwa mungkin sebagai jemaat, kita selama ini hanya terpaku melihat Alkitab sebagai seperangkat data dan informasi yang harus diberitahu, sehingga tidak heran selama ini kita menginjili hanya dengan memberitahu. Tapi Saudara bayangkan, kalau kita mulai dibiasakan untuk melihat dan membaca Alkitab sebagai sesuatu untuk dilihat, disimak, dinikmati, dikagumi, di-apresiasi, maka jemaat yang dibiasakan seperti ini, kira-kira kalau PI seperti apa, ya?
Saudara, Alkitab tidak kurang dari ini: Alkitab tidak pernah puas hanya memberitahu Saudara kebenaran-kebenaran, Alkitab ingin Saudara melihat apa yang benar, apa yang indah, apa yang teratur. Sungguh kasihan sekali kalau kita tidak peka akan aspek seperti ini dari Alkitab. Tidak heran Alkitab jadi membosankan sekali, tidak heran kalau Alkitab jadi kering sekali, dan tidak heran kita menjadi umat Allah yang juga membosankan dan kering.
Saya tutup dengan satu hal singkat; hari ini kita Perjamuan Kudus. Apa itu Perjamuan Kudus? Apa itu sakramen, (bukan cuma Perjamuan Kudus tapi juga Baptisan)? Sakramen, poinnya adalah memperlihatkan, dan bukan hanya memberitahu. Sakramen, poinnya adalah mengajak Saudara mengalami. Waktu kita diminta untuk mengingat Tuhan lewat meja-Nya, kita tidak cuma disuruh mengingat di otak; kita mengingat dengan memegang Tubuh Tuhan, memakan dan mengecap Tubuh Tuhan; kita mengingat dengan meminum Darah Tuhan yang sudah tercurah bagi kita. Itulah Alkitab –dan tidak kurang dari itu. Marilah kita mulai pelan-pelan, bersama-sama, mau menyerahkan diri dibentuk jadi umat Tuhan yang hidupnya lebih limpah.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading