Hari ini kita menyelesaikan rangkaian eksposisi Kitab Hakim-hakim. Kita akan membahas 5 pasal terakhir secara keseluruhan. Pasal 17-18, cerita tentang Mikha dan suku Dan, sudah kita bahas tapi kita akan review, karena sebenarnya 5 pasal ini didesain lebih untuk dibahas sebagai satu unit.
Sebelumnya, saya ingin mengungkapkan apa yang kita bisa harapkan dalam bagian terakhir Kitab Hakim-hakim ini, yaitu bahwa cerita yang sudah begitu gelap akan bertambah gelap. Bagian terakhir ini adalah ending yang amat sangat gelap dan boleh dibilang menjijikkan, karena gambarannya mirip gambaran dalam film-film bergenre post-apocalyptic, seperti misalnya serial TV “The Walking Dead” atau “Mad Max: Fury Road”, yang menggambarkan dunia sudah gersang, habis dimakan malapetaka, dan yang tersisa adalah orang-orang yang brutal, yang rela melakukan segala kekejaman, yang sudah setengah gila, dst. Itulah kira-kira gambaran yang kita lihat dalam bagian terakhir Kitab Hakim-hakim. Ini bagian Kitab Hakim-hakim yang paling gelap; bahkan mungkin paling gelap di seluruh Perjanjian Lama. Ini hal yang pertama.
Lima pasal terakhir ini juga adalah bagian di mana kita tidak lagi mengulang pola-pola yang selalu ada sebelumnya. Pertama-tama yang pasti hilang di bagian ini adalah para hakim itu sendiri. Di bagian-bagian sebelumnya kita melihat hakim-hakim dibangkitkan, ada secercah harapan bagi bangsa Israel, tapi kemudian harapannya pupus, entah karena hakimnya wafat atau hakim tersebut sudah tercium bau busuknya bahkan sebelum kematian membusukkan tubuh mereka, misalnya hakim Gideon, Yefta, Simson. Era tersebut sudah lewat, dan kita sekarang tidak melihat lagi hakim dibangkitkan. Hal lain yang juga tidak ada yaitu bangsa-bangsa asing, yang sebelumnya selalu masuk dalam cerita orang Israel sebagai penindas mereka. Dalam lima pasal terakhir ini, Israel tidak lagi menjadi korban, mereka sendirian, tidak ada hakim-hakim dan tidak ada bangsa-bangsa asing. Kita akan menyaksikan di sini tujuan gambarannya adalah memperlihatkan apa yang terjadi ketika bangsa Israel justru dibiarkan sendiri; dan yang kita saksikan adalah gambaran yang begitu rusak dan mengerikan. Israel telah menjadi their own worst enemy, mereka telah menjadi musuh yang melampaui segala musuh berupa bangsa-bangsa lain manapun. Jadi ini satu bagian terakhir yang tujuannya jelas, yaitu untuk memperlihatkan kepada kita bahwa yang Israel butuhkan, ternyata bukan diselamatkan dari bangsa lain, melainkan diselamatkan dari diri mereka sendiri. Itulah hal yang kedua.
Yang ketiga, lima pasal terakhir ini pada dasarnya ada sesuatu yang mirip seperti acara TV yang disebut “No Comment TV”, yang cuma memperlihatkan gambar/video tapi tidak ada suara orang yang me-narasi-kan, tidak ada komentar, tidak ada apa-apa, hanya memperlihatkan apa yang terjadi saja. Mirip seperti itu, lima pasal terakhir ini pada dasarnya no comment scripture, tidak ada komentar apa-apa, hanya memperlihatkan detail-detail yang membuat kita makin lama makin terhenyak. Meski demikian, di tengah-tengah lima pasal ini tetap ada satu komentar yang diulang sampai empat kali, yaitu: “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; masing-masing orang berbuat apa yang benar menurut pandangan/mata mereka sendiri”. Komentar tersebut memperlihatkan bahwa lima pasal terakhir ini tujuannya untuk menunjukkan apa konsekwensinya jika Israel tidak punya raja, jika Israel berbuat apa yang benar menurut mereka masing-masing. Itulah yang kita akan coba lihat, maka bagian dengan kalimat-kalimat tersebut yang akan kita baca, karena ini bagian yang menjangkar, bagian-bagian di mana sang penulis mengatakan, “Nah, lihat, kayak begini nih, ketika orang Israel dibiarkan sendiri, ketika mereka melakukan segala sesuatu menurut apa yang benar di mata mereka sendiri.”
Terakhirnya, setelah kita bahas kelima pasal ini, kita akan tarik dua kesimpulan yang bisa kita belajar darinya.
Cerita yang pertama: pasal 17:1-6
“Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (ayat 6)
Cerita yang pertama ini menjadi contoh tentang apa yang terjadi ketika orang Israel berbuat menurut mata mereka sendiri. Cerita ini masih cukup jinak dibandingkan cerita-cerita sesudahnya, tapi di sini kita sudah menemukan sarang rayap yang ada di fondasi-fondasi yang belakangan akan meruntuhkan seluruh bangunannya. Ceritanya dimulai dengan Mikha mengaku kepada ibunya bahwa dialah yang mencuri uang ibunya. Hal yang pada awalnya seperti cerita rekonsiliasi keluarga yang indah –anak mengaku dosa, lalu mengembalikan uangnya, ibunya mengampuni, dan sebagai tanda pengampunan bahkan menyisihkan uang itu bagi Tuhan– ternyata tidak segampang itu. Gambarannya adalah anak ini mencuri dari ibunya sendiri. Bayangkan! Dan, satu-satunya alasan dia mengaku dosanya adalah karena dia mendengar ibunya mengucapkan kutuk. Ini contoh klasik pertobatan palsu, orang mengaku dosa karena takut akan akibat dosa dan bukan takut dosanya, cuma mau melarikan diri dari konsekwensi. Waktu ibunya kemudian mengembalikan uang itu kepada Tuhan, ibunya pun tidak kalah hancur, karena ternyata bentuk konkretnya adalah dengan memakai uang tersebut untuk membuat sebuah patung terafim (patung berhala).
Kita sudah sering membicarakan bahwa orang tidak perlu patung berhala untuk menyembah berhala, namun terafim adalah wujud paling jelas dari spirit pemberhalaan, karena terafim bentuknya kecil; ini adalah household gods, patung-patung dewa yang muat masuk rumah. Dengan kata lain, ini adalah allah/dewa yang diperkecil sampai ukuran manusia, yang bisa masuk rumah manusia, yang bentuknya ditentukan manusia, ukurannya ditentukan manusia, bahkan imamnya pun ditentukan manusia (Mikha menahbiskan anaknya sendiri jadi imam; melanggar hukum Allah mengenai aturan siapa saja yang boleh jadi imam). Pada dasarnya, ini adalah allah yang aksesnya dibatasi oleh manusia, allah yang segala kuasanya didikte oleh kemauan manusia. Inilah pemberhalaan. Jadi meski Mikha dan ibunya masih memanggil dewa ini dengan nama “Allah Yahweh”, mereka pikir mereka menyembah Allah yang sejati dan bukan menyembah ilah-ilah bangsa sekitar, bukan menyembah Dagon, dkk., tapi ada sesuatu yang sangat rusak di sini, ada sesuatu inti yang busuk, karena yang kita saksikan di sini adalah hidup orang Israel yang tidak ada pertanggungjawaban kepada Tuhan, tidak ada accountability di hadapan Tuhan. Tuhan, bagi Mikha dan ibunya hanyalah sebuah alat untuk digunakan memenuhi kebutuhan mereka, bukan Allah untuk disembah, bukan Raja untuk ditaati, bukan Tuhan untuk dipercayai. Ini adalah allah yang benar-benar dibuat menurut gambar dan rupa manusia, sesuai spesifikasi manusia, dan hadir sesuai kebutuhan manusia. Jadi bagian ini cukup jelas peringatannya, untuk kita berhati-hati, jangan sampai kita melakukan hal yang sama kepada Tuhan, jangan sampai kita datang kepada Tuhan demi kebutuhan kita saja, sehingga yang terutama adalah mengenai apa yang saya butuhkan kemudian dipuaskan oleh Tuhan. Itu bukanlah ide penyembahan Allah dalam Alkitab. Kenapa jangan sampai melakukan hal ini? Cerita berikutnya akan memperlihatkan alasannya.
Cerita yang kedua: pasal 18:1
‘Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel dan pada zaman itu suku Dan sedang mencari milik pusaka untuk menetap, sebab sampai hari itu mereka belum juga mendapat bagian milik pusaka di tengah-tengah suku-suku Israel.’
Cerita kedua ini masih melanjutkan kisah Mikha dan terafimnya, namun secara khusus memperlihatkan apa yang terjadi ketika Mikha bertemu dengan sebuah suku yang lebih kuat daripada dia. Dari sini kita mulai mengendus bau-bau kisah post-apocalyptic. Ceritanya bermula dari suku Dan, salah satu dari suku-suku Israel yang diberikan tanah pusaka di Kanaan. Namun kalau Saudara ingat pembahasan kita tentang Kitab Hakim-hakim di pasal pertama, rekam jejak setiap suku dalam menduduki bagian mereka diperlihatkan dengan jelas. Ada suku-suku yang relatif sukses, seperti suku Yehuda, Efraim, yang menghalau keluar penduduk setempat, hanya tersisa beberapa bagian yang mereka tidak bisa halau karena alasan militer. Ada suku-suku yang kesuksesannya sedang-sedang saja, mereka mau tidak mau menyisakan orang Kanaan tinggal di tengah-tengah mereka. Ada juga suku-suku yang lebih parah, merekalah yang harus tinggal di tengah-tengah orang Kanaan, namun paling tidak mereka sudah mendapat tempat. Namun tidak ada suku yang mengalahkan rekor busuknya suku Dan; suku Dan adalah satu-satunya suku yang bukan cuma gagal menghalau keluar penduduk Kanaan tapi justru mereka sendiri yang dihalau keluar oleh orang Kanaan. Mereka akhirnya jadi suku yang terus hidup secara nomaden, berpindah-pindah tempat, sampai suatu hari mereka memutuskan mencari tempat yang lebih permanen.
Suku Dan ini kemudian mengutus lima orang mata-mata untuk mencari tempat yang bisa mereka jadikan kotanya. Kelima mata-mata ini menjelajahi negeri untuk mencari sasaran empuk, kemudian sempat bertamu di rumah Mikha di pegunungan Efraim. Pada zaman itu, hospitality merupakan hukum mutlak bagi masyarakat Timur Tengah, karena tidak ada hotel, losmen, Air BnB, dsb., sehingga tamu –meski tidak dikenal– harus diajak menginap di rumah; membuka pintu terhadap orang asing, sangat dibutuhkan pada zaman itu, jika tidak, tidak bisa ada perjalanan antar kota. Demikianlah kelima mata-mata ini disambut di rumah Mikha, dan mereka hanya perlu menginap satu malam untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Mereka lalu menemukan satu tempat, tidak jauh dari rumah Mikha, bernama Lais. Kota Lais adalah Swiss-nya zaman itu, karena ini bangsa yang terisolasi, mereka tidak menggangu siapa-siapa, dan mereka juga tidak diganggu siapa-siapa; dan sama seperti Swiss, mereka juga kaya-kaya karena uangnya tidak dipakai untuk perang. Kelima mata-mata tadi masuk ke Lais, memperhatikan, lalu kembali ke perkemahan suku Dan, melaporkan kabar baik dan menggerakkan suku Dan untuk merebut kota ini, bahkan sampai mengatakan, “Tuhan telah memberikannya ke tangan kita.” Selanjutnya 600 pendekar suku Dan berangkat untuk merebut Lais. Orang-orang Lais tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka tidak biasa berperang, mereka langsung kalah dan kotanya diduduki suku Dan. Dengan demikian suku Dan sekarang mendapatkan tempat sebagai milik pusaka mereka.
Namun ceritanya tidak berfokus pada Lais; ceritanya berfokus pada Mikha. Selagi kelima mata-mata itu menginap di rumah Mikha, mereka melihat Mikha ini boleh juga ya, punya banyak harta, punya terafim sendiri, punya imam sendiri. Mikha ini, orang yang punya begitu banyak hal di bahwa kendalinya, bahkan allah-nya pun ditentukan/dikontrol olehnya. Saudara lihat, gambaran “hidup sukses” di zaman itu ternyata tidak jauh beda dengan zaman sekarang. Kalau kita melihat orang yang hidupnya banyak pegang kendali, itulah yang ideal. Kalau kita melihat orang yang semuanya dia kendalikan, antara bayangan yang indah di matanya dengan realitas yang dia miliki tidak berbeda, itu luar biasa, itu gambaran hidup yang semua orang inginkan. Itu sebabnya suku Dan memutuskan bahwa mereka menginginkan apa yang Mikha punya –atau lebih tepatnya, mereka menginginkan punyanya Mikha. Waktu kelima mata-mata ini pergi mengajak 600 pendekar kembali ke Lais, dalam perjalanan mereka singgah ke rumah Mikha lalu merampoki rumah dan kuilnya. Selagi mereka merampok rumah dan kuil Mikha, sang imam kuil tersebut –yang tadinya anak Mikha sendiri tapi sekarang sudah upgrade jadi orang Lewi yang nyasar entah dari mana (mengenai orang Lewi ini, juga tidak memenuhi hukum Tuhan, karena dari semua orang Lewi, yang boleh menjadi imam hanya keturunan Harun)– protes, “Hei! Apa-apaan ini?!” Lalu suku Dan membalas, “Sudah, jangan banyak omong, kamu ikut kami saja; pikiir saja, kamu mau jadi imam bagi satu orang tok, atau jadi imam bagi satu suku bangsa Israel —gereja gede?!” Sang imam menyadari, “Benar juga, ya.” Saudara lihat, Mikha melakukan segala sesuatu karena hal itu benar menurut padangan mata Mikha; orang-orang suku Dan merampoki rumah Mikha karena mereka juga merasa ‘ini yang benar di mata kami’ yaitu mengambil milik Mikha; lalu waktu si imam diajak ikut, dia juga meliihat ini benar menurut matanya, yaitu menjadi imam bagi satu suku bangsa yang besar, maka dia ikut dengan orang-orang itu, bahkan ikut membawa efod dan terafim-terafimnya, lalu pindah bersama suku Dan.
Hal yang paling penting dari semua ini adalah respons Mikha sendiri. Mikha mengumpulkan orang-orang untuk mencegat suku Dan, keenam ratus orang bersenjata yang telah merampok dia, lalu mengatakan, “Hei! Apa-apaan, kamu mengambil allahku, mengambil imamku, lalu apa yang tersisa padaku??” Balas suku Dan: “Mikha, jangan banyak cing-cong, nanti dari antara kami ada yang sakit hati mendengar bacotmu sehingga kami akan mengambil apa yang masih tersisa pada dirimu.” Yaitu apa? “Nyawamu, dan nyawa sisi rumahmu.” Mikha kemudian berhenti; dan pada hari itu dia belajar satu hal yang dia harus bayar harga begitu mahal untuk mendapatkannya. Apa pelajarannya? Pelajarannya adalah: menghidupi hidup dengan jalan ‘apa yang benar di mataku, apa yang sesuai pandanganku’ rasanya memang luar biasa enak, sampai kita bertemu orang lain yang lebih kuat daripada kita.
Membuat segala sesuatu sesuai keinginan hati kita, itu menyenangkan, rasanya luar biasa bebas, sampai harinya ketika semua keinginan hati kita bertabrakan dengan keinginan hati orang lain yang lebih punya kuasa daripada kita, seseorang yang kita tidak bisa lawan. Hal ini mengekspos kebodohan “pemberhalaan”. Waktu Mikha menyembah allah yang sesuai keinginan hatinya, yang ukurannya sesuai dengan size-nya, yang bisa muat di rumahnya –yang simply adalah wujud dari apa yang dia inginkan dari hidup ini– maka allah seperti ini ujungnya tidak bisa melindungimu ketika engkau bertemu dengan pihak yang lebih berkuasa dari dirimu. Ini allah yang tidak bisa menebusmu. Ini allah yang tidak bisa menolongmu dari hal-hal yang Saudara tidak kuat untuk melepaskan dirimu sendiri.
Cerita yang ketiga: pasal 19
‘Terjadilah pada zaman itu, ketika tidak ada raja di Israel, bahwa di balik pegunungan Efraim ada seorang Lewi tinggal sebagai pendatang. Ia mengambil seorang gundik dari Betlehem-Yehuda.’
Statement “tidak ada raja” muncul dalam cerita berikutnya, yang membangun lebih lanjut di atas fondasi dua statement sebelumnya. Jadi total ada 4 statement; statement ke-3 dan ke-4 datang sebagai bingkai ceritanya, yaitu di awal dan di akhir kisah terakhir Kitab Hakim-hakim, kisah yang paling gelap dalam kitab yang sudah sangat gelap ini, kisah yang sekali lagi menunjukkan apa yang terjadi ketika “yang benar” adalah “benar bagiku/di mataku”. Yaitu apa? Saudara perhatikan, yang diperlihatkan di sini bukanlah urusan Tuhan marah, Tuhan ngomel, Tuhan sakit hati –bukan itu– melainkan ketika manusia hanya menjalankan apa yang benar baginya, yang terjadi adalah: yang lemah akan di-abuse oleh yang kuat. Itu saja. Tidak ada urusan terlalu rohani-rohanian di sini, supaya kita mengerti bahwa taruhannya memang di kita, kita yang akan kena batunya, bukan Tuhan.
Kisahnya dimulai di pasal 19, sebuah kisah domestik lagi, antara seorang Lewi yang lain dengan gundiknya. Gundik pada zaman itu pada dasarnya lebih berarti budak daripada istri, tapi berfungsi sebagai istri, punya kewajiban sebagai istri namun tanpa harkat martabat seorang istri. Di kisah ini, si Lewi –entah kenapa, kita tidak diberitahu– cekcok dengan gundiknya (dalam hal ini ada terjemahan yang mengatakan gundik ini plays the harlot, jadi kesannya gundik ini yang bersalah, tapi dalam bahasa aslinya sebenarnya tidak terlalu jelas siapa yang bersalah), lalu si gundik pulang ke rumah ayahnya di Betlehem, dan si Lewi sekarang pergi mau menjemput dia. Awalnya mungkin kita pikir ini satu rekonsiliasi yang bagus, karena di ayat 3 dikatakan, “untuk membujuk dia” yang dalam bahasa aslinya “berkata baik-baik kepada hati si gundik”, dan tentunya mau membawa si gundik pulang. Tapi kemudian kita mulai bertanya-tanya, kenapa ini baru dilakukan setelah 4 bulan?? Mungkin simply karena setelah 4 bulan dia sudah ngebet, jadi terpaksa harus datang menjemput; mungkin juga karena si orang Lewi ini tahu, yang namanya punya gundik, itu membawa status (pada zaman itu, punya istri dibandingkan punya gundik, lebih tinggi status orang yang punya gundik). Jadi, si Lewi ini pergi ke Betlehem; dan ayah si gundik sangat bahagia, menyambut si Lewi habis-habisan, lalu berhari-hari menahan dia di rumahnya, pesta, makan dan minum setiap malam. Kenapa? Tentunya karena hospitality sangat penting dalam budaya Timur Tengah; tapi di sini diperlihatkan sebagai suatu hospitality yang kebablasan, melebihi yang wajar. Kenapa ditahan sampai berhari-hari seperti ini? Kemungkinan karena ayah si gundik ingin memastikan sebisa mungkin bahwa si Lewi tidak akan menuntut keluarganya. Pada waktu itu, ketika seorang gundik meninggalkan suaminya, kejahatannya dobel, karena ini bukan cuma meninggalkan suami tapi juga meninggalkan tuan; dan seorang budak yang meninggalkan tuannya, hukumannya bisa sampai hukuman mati. Bukan cuma itu, ada suatu rasa malu yang besar sekali yang ditimpakan kepada keluarga budak yang melarikan diri itu. Itu sebabnya Saudara melihat ayah gundik ini hospitality-nya sampai kebablasan, karena dia sebisa mungkin menjaga status keluarganya. Si Lewi datang, mungkin demi menjaga statusnya tetap tinggi; dan si ayah sendiri menyambutnya baik-baik supaya statusnya di mata masyarakat tetap terjaga.
Setelah beberapa hari, akhirnya si Lewi memaksa pulang –dia, gundiknya, hambanya, dan keledai-keledainya. Sayangnya, karena terus-terusan dipaksa menunda, maka ketika akhirnya mereka berhasil melepaskan diri, hari sudah agak sore sehingga tidak mungkin bisa sampai ke kota mereka. Tidak bisa dihindari, mereka harus bermalam di luar. Si hamba lalu mengatakan kepada si Lewi, “Tuanku, di sana ada kota, kita bisa bermalam di situ”. Itu adalah kota Yebus (Yebus adalah kota yang belakangan menjadi Yerusalem, hanya saja pada waktu itu belum direbut Daud; dan isinya orang-orang Kanaan). Tetapi tuannya mengatakan, “Ya, memang matahari sudah rendah, bahaya dan kita musti hati-hati, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kotanya orang kafir, mending kita melanjutkan terus ke Gibea, kotanya suku Benyamin, orang-orang sebangsa kita, lebih aman karena ini umat Tuhan.” Akhirnya mereka sampai ke Gibea, persis ketika matahari sudah terbenam. Apa yang mereka temukan di Gibea? Tanda-tandanya mulai sedikit creepy. Tidak ada seorang pun yang menyambut mereka. Tidak ada orang yang menawarkan hospitality kepada mereka (ini satu hal yang sangat shocking bagi pendengar pertama pada waktu itu). Orang-orang yang lalu lalang mungkin tinggal sedikit, dan hanya melengos ketika melihat mereka. Sekali lagi, gambarannya seperti kota hantu di film-film post-apocalyptic.
Mereka duduk di tanah lapang kota karena tidak ada pilihan. Lalu di ayat 16 dikatakan, datanglah pada malam itu seorang tua yang pulang dari pekerjaannya di ladang; dan orang ini menawarkan mereka untuk tinggal di rumahnya. Ternyata orang ini adalah orang Efraim, dan dia sendiri seorang pendatang, bukan penduduk asli Gibea –pada dasarnya dia sendiri seorang tamu. Dia melihat mereka, dan mengundang untuk bermalam di rumahnya, sementara orang kota itu sendiri tidak melakukannya; dan kata-kata yang diucapkan orang tua ini makin membuat suasana mencekam: “Begini, semua yang kamu perlu, aku punya, aku akan tanggung semua itu, jangan kuatir; hanya, satu hal, please, what ever you do, jangan bermalam di tanah lapang kota ini.” Kita jadi bertanya-tanya, why not?? Ini ‘kan kotanya orang Israel, mereka secara khusus datang ke situ untuk mencari keamanan di tengah-tengah bangsa sendiri, lalu memangnya ada apa di kota ini kalau malam-malam di tanah lapang??
Mereka kemudian bermalam di rumah orang tua itu; dan sementara mereka dijamu, makan minum, mereka mulai mendengar suara-suara dari luar. Pintu mereka tiba-tiba mulai digedor (dalam bahasa Ibraninya istilah yang dipakai bukan ketukan, tapi seseorang yang berusaha menghajar pintu dengan bahunya). Gerombolan itu berteriak kepada si orang tua, pemilik rumah tersebut: “Bawalah ke luar orang yang datang ke rumahmu itu, supaya kami pakai dia” (ayat 22). Dalam hal ini, kalau Saudara orang Kristen yang sudah ikut Sekolah Minggu sejak kecil, adegan ini pasti terdengar sangat familier; dan ini bukan kebetulan, ini disengaja, ada banyak frasa-frasa yang sama persis dengan yang kita baca dalam Kejadian 19, kisah kota Sodom, di mana Lot dan keluarganya diserang oleh gerombolan, persis seperti di sini. Dan, ironi yang begitu besar, Sodom itu legendaris karena Sodom di dalam Alkitab adalah satu gambaran paling jelas mengenai apa yang begitu rusak dan hancur di dalam kota orang-orang kafir; sementara Israel harusnya adalah gambaran Allah, mengenai apa yang Allah lakukan untuk jangan sampai kebejatan Sodom terulang lagi, namun yang terjadi di sini, Israel telah menjadi Sodom, karena tidak ada raja di antara orang Israel dan mereka berbuat sesuai dengan apa yang benar di mata mereka masing-masing.
Di ayat 23, orang tua, si pemilik rumah ini, mengatakan kepada gerombolan tersebut: “Tidak, saudara-saudaraku, janganlah kiranya berbuat jahat; karena orang ini telah masuk ke rumahku, janganlah kamu berbuat noda.” Mantaplah kalau begitu, akhirnya kita menemukan secercah harapan dalam Kitab Hakim-hakim, seorang pahlawan dalam kisah ini, seorang yang berani melawan massa demi apa yang benar –sampai kita kemudian membaca ayat berikutnya, dia menawarkan solusinya: “Ada anakku perempuan, yang masih perawan, dan juga gundik orang itu, baiklah kubawa keduanya ke luar; perkosalah mereka dan perbuatlah dengan mereka apa yang kamu pandang baik”. Saudara lihat, dia bukan cuma menawarkan anaknya –itu saja sudah cukup gila—tapi bahkan menawarkan gundik orang lain. Dan, yang terjadi berikutnya bukan mukjizat seperti zaman Lot, melainkan lebih mencengangkan lagi, karena si Lewi bukan mengambil tangan gundiknya untuk menjauhkannya dari orang tua itu, tapi justru mengambil tangan si gundik lalu membuka pintu dan melempar si gundik keluar lalu mengunci pintu kembali. Gerombolan ini kemudian meng-abuse wanita tersebut sampai pagi, baru melepaskan dia ketika fajar menyingsing.
Saudara lihat gambaran yang diberikan di sini? Gerombolan di luar rumah itu hanya bisa melayani nafsu mereka sendiri, kemanusiaan mereka lenyap ditelan nafsu mereka. Dan, dua pria bodoh serta lemah di dalam rumah itu, juga hanya bisa melayani ketakutan mereka sendiri, hanya peduli nasibnya sendiri. Yang menarik, satu perspektif yang tidak digubris oleh siapapun dalam cerita ini adalah perspektif si wanita. Dari awal, kita melihat kisah ini disengaja menimbulkan bolong seperti itu; wanita ini tidak bernama, dia tidak pernah ditanya maunya apa, apa yang menyebabkan dia lari dari suaminya pun kita tidak tahu persis, kita juga tidak tahu apakah ketika suaminya datang kembali dia mau ikut pulang bersama suaminya, dan bahkan ketika dia dilempar ke gerombolan itu kita tidak diberitahu apa perasaannya. Padahal, mereka ini bukan orang-orang Kanaan; ini adalah umat Allah yang sejak Kitab Kejadian sudah diberitahu bahwa baik pria dan wanita, sama-sama diciptakan dalam gambar dan rupa Allah; inilah yang seharusnya membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain. Wanita in punya dignitas di hadapan Tuhan, ia membawa sukacita bagi keluarganya, ia adalah anak perempuan dari sepasang orangtua, dia sendiri juga punya harapan, mimpi, dan keinginannya sendiri. Tapi semua itu dihilangkan dari kisah ini, supaya kita melihat sebuah lubang besar yang menganga, bahwa tidak ada yang menggubris hak wanita ini untuk hidup, dia cuma properti.
Dalam kisah ini, yang tidak punya nama bukan cuma dia, kita melihat si Lewi juga tidak ada namanya, bapak si gundik juga tidak ada namanya, orang tua tadi juga tidak ada namanya. Kenapa? Salah satu alasan yang mungkin, adalah untuk memperlihatkan bahwa bukan cuma satu Lewi yang bertindak demikian, tapi ini melambangkan kehancuran suku Lewi sebagai perwakilan keseluruhan Israel. Bahwa bukan cuma satu bapak yang adalah bapak si gundik, tapi bapak-bapak dari anak-anak perempuan zaman itu berlaku demikian. Si gundik juga bukan cuma berarti satu gundik ini, tapi menunjukkan bahwa inilah nasib para wanita pada zaman tersebut, senantiasa jadi properti, tidak pernah dipedulikan apa perasaannya. Dan, kita cuma bisa wonder –meski tidak susah untuk kita wonder— apa yang jadi perasaannya ketika suaminya, yang seharusnya melindungi dia, menarik tangannya dan mendorongnya keluar pintu malam itu. Kita cuma bisa wonder apa yang dia alami semalam-malaman itu. Kita cuma bisa wonder apa yang jadi pikirannya ketika kehidupan mulai meninggalkan tubuhnya sedikit demi sedikit. Dr. Richard Pratt sampai mengatakan, inilah sebabnya tidak semua bagian Alkitab boleh diberikan kepada anak-anak Sekolah Minggu.
Menjelang pagi, si gundik dilepaskan oleh gerombolan tersebut, dia berjalan sampai ke pintu rumah, dan terjatuh tergeletak di sana. Ayat 27 mengatakan, tuannya membuka pintu pagi-pagi untuk melanjutkan perjalanannya, dan behold –lihatlah di sana– si wanita tergeletak dengan tangannya di ambang pintu. Apa reaksi si Lewi ini? Dia cuma berkata, “Bangun, ayo kita jalan.” Tidak ada jawaban. Wanita itu telah meninggal. Selanjutnya si Lewi simply mengangkut mayatnya ke atas keledainya dan berjalan pulang. Dan, sisa pasal 19 adalah tentang si Lewi memotong mayat gundiknya jadi beberapa bagian lalu mengirimkannya kepada semua suku Israel, sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang tidak bisa ditoleransi, terjadi di tengah-tengah Israel oleh suku Benyamin.
Cerita keempat: pasal 20-21
“Pada waktu itu pergilah orang Israel dari sana, masing-masing menurut suku dan kaumnya; mereka masing-masing berangkat dari sana ke milik pusakanya. Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri”
Menghadapi hal ini, akhirnya untuk pertama kalinya dalam kitab Hakim-hakim, berkumpullah dan bersatulah orang Israel untuk tujuan perang suci. Akhirnya orang Israel memutuskan untuk take action; akhirnya mereka memutuskan apa yang perlu dilakukan, yaitu memusnahkan dan menghalau satu bangsa yang keji dari tanah mereka sesuai perintah Tuhan, yang harusnya mereka lakukan dan memang diperintahkan Tuhan sejak awal kitab. Ironisnya, targetnya sekarang bukan bangsa Kanaan. Ironisnya, musuh yang terhadapnya mereka bersatu untuk melawan ini, adalah suku Benyamin, sebangsa mereka sendiri. Saya rasa ini satu cara yang sangat efektif dari sang penulis untuk menunjukkan bahwa musuh sesungguhnya bangsa Israel memang bukan bangsa Kanaan tetapi diri mereka sendiri; mereka telah menjadi Kanaan.
Ceritanya masih panjang, tapi kita akan rangkumkan secara singkat. Sisa ceritanya adalah perang saudara besar-besaran; dan suku Benyamin, setelah beberapa pertempuran, akhirnya dimusnahkan. Yang dimusnahkan bukan cuma tentaranya, tapi juga semua ternak, ibu-ibu, orang tua, bayi, keledai, dsb., hingga yang tesisa hanya sekitar 600 lelaki Benyamin. Barulah pada saat itu orang Israel menepuk jidatnya, “Waduh, mana bisa kita umat Allah yang dulu 12 suku –itu identitas kita– sekarang cuma sisa 11, dan mereka cuma cowok doang, tidak bisa berkembang biak. Jadi bagaimana ini??” Mereka lalu mengatakan, “Kita harus carikan wanita, supaya bagaimanapun juga tetap ada suku Benyamin.” Caranya bagaimana? “Tidak mungkin mencari wanita dari Kanaan, karena melawan perintah Tuhan (kawin campur), jadi harus dari bangsa kita sendiri, tapi dari mana?? Kita semua telah bersumpah dalam kemarahan kita di awal peperangan, bahwa tidak ada satu pun dari kita yang mau memberikan anak-anak kita bagi suku Benyamin sampai selama-lamanya. Jadi bagaimana caranya??” Lalu cara pertama mereka, “Coba kita hitung dulu; waktu kita pertama perang dengan suku Benyamin, ada tidak kota Israel yang ‘gak mau ikutan?” Ternyata ada, yaitu Yabesh-Gilead, karena mereka sekutunya orang Benyamin. Lalu mereka perang lagi membabat habis Yabesh-Gilead, dan yang mereka sisakan adalah perawan-perawan, ada 400 orang. Lumayan; tapi masih kurang. “Jadi bagaimana?? Kita sudah bersumpah, tidak mungkin kita melanggar janji kita.” Akhirnya tua-tua Israel berunding, lalu idenya adalah: “Sebentar lagi hari raya untuk Tuhan, dan tradisinya anak-anak perempuan yang perawan akan keluar rumah dan menari-nari. Jadi, 200 orang Benyamin yang masih jomblo bisa sembunyi di semak-semak, lalu ketika anak-anak perempuan itu keluar menari-nari, pilih yang kamu suka, lalu ambil! Dengan demikian kami tidak melanggar janji kami bahwa kami tidak mau memberikan –karena ini bukan kami memberikan tapi orang Benyamin mengambil sendiri.” Selanjutnya dikatakan, usul itu dipandang baik oleh bangsa tersebut –dan itulah yang terjadi. Sampai sebegitunya. Maka kisah ini ditutup dengan refrein yang berulang tadi. Kita membaca ayat-ayat terakhir dari Kitab Hakim-hakim ini, pasal 21:24-25, “Pada waktu itu pergilah orang Israel dari sana, masing-masing menurut suku dan kaumnya; mereka masing-masing berangkat dari sana ke milik pusakanya. Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” —eksposisi kita selesai. Apa perasaanmu? Puas? Perasaan kita adalah: cerita apaan nih, kenapa bisa ada cerita seperti ini dalam Alkitab??
Apa perlunya kisah segelap ini di dalam Alkitab? Tujuannya adalah memberikan kita satu contoh mengenai apa yang akan terjadi ketika tidak ada raja di tengah-tengah orang Israel, ketika semua orang Israel melakukan apa yang benar di mata mereka. Ketika masing-masing individu menentukan bagi dirinya sendiri apa yang benar, apa yang oke, apa yang adil, apa yang baik, apa yang indah, maka Saudara lihat apa taruhannya? Taruhannya bukan soal kerohanian, taruhannya bukan soal berapa yang datang ke gereja atau tidak, taruhannya adalah: ketika ini terjadi, maka yang lemah akan di-abuse oleh pihak yang kuat! Saudara jangan kaget melihat cerita Alkitab berhenti seperti ini. Lalu apa take away-nya?
Saya pernah mendengar kelas Ibu Inawaty Teddy mengenai Kitab Hakim-hakim, dan Ibu Ina sengaja mengakhiri pembahasannya di ayat terakhir tadi, dan dia tidak komentar lagi. Lalu ada yang tanya: “Koq, bisa ada cerita seperti ini? Koq, ceritanya begitu gelap, begitu negatif?” Bu Ina menjawab, “Ya, jelas dong negatif, karena memang tujuan kitabnya untuk menunjukkan bagaimana Israel –dan by extension Saudara dan saya–membutuhkan raja. Kalau ending-nya ternyata dalam zaman hakim-hakim tidak ada raja dan orang Israel oke-oke saja, happy ending, atau tidak terlalu buruk ending-nya, masih ada secercah harapan, justru aneh, dong.” Inilah yang membuat kita langsung menyadari satu hal, yaitu kita sendiri juga membaca kitab-kitab dalam Alkitab dengan mencari apa yang baik di mata kita sendiri, kita tidak peduli dengan apa tujuan Alkitab, yang kita bingungkan “kenapa kayak begini; harusnya ‘kan ‘gak kayak begini”. Tapi, “harusnya ‘gak kayak begini” menurut siapa?? Kalau kita sudah menyadari tujuan kitab ini adalah untuk diri kita, maka kita coba tarik dua pelajaran dari kisah-kisah ini, kenapa kisah seperti ini ada di Alkitab.
Pelajaran yang pertama, cerita ini merupakan satu pelajaran mengenai apa itu “keadilan”. Kita ini sedang hidup di dalam zaman yang paling tidak 200 tahun terakhir ini, dunia secara global –dimulai dari Barat tentunya– sentimen yang umum di hampir semua tempat dan semua orang, yaitu bahwa hal yang terpenting untuk diperjuangkan adalah kebebasan pribadi, otonomi pribadi. Kita sebagai orang Indonesia belajar akan hal ini bukan dari buku-buku filsafat atau ideologi-ideologi Barat, kita belajar dari sosmed. Sosmed-nya pun bukan sosmed tertentu atau grup sosmed tertentu, tapi bahwa sosmed mendidik kita untuk merasa bahwa yang paling penting dalam hidup ini adalah kebebasan individual dan otonomi pribadi.Saudara lihat dalam sosmed, algoritma sosmed tahu apa yang menjadi kehendakmu, apa yang benar di matamu, apa yang baik di matamu. Waktu Saudara interaksi dengan posting-an yang Saudara rasa bagus, maka kali berikutnya dalam algorithm feed-mu akan muncul hal yang mirip-mirip. Di antara kami para pendeta suka bercanda, begitu ada satu pendeta ketahuan feed-nya ada hal-hal yang “tidak terlalu Kristen”, langsung kita bilang, “Nah, ternyata lu suka kayak begituan ya…” dan tidak bisa mengelak, karena algorithm lebih tahu. Bisa saja kita bilang, “Enggak, enggak, gua ‘gak suka kayak begituan”, tapi pastinya hal itu muncul karena kita pernah interaksi dengan sesuatu yang mirip. Bagaimanapun juga itulah sosmed. Kita sering kali bilang sosmed itu baik, sosmed membuat kita lebih luas, bisa terkoneksi dengan orang-orang yang kita tidak akan connect kalau tidak ada sosmed. Saudara, itu bohong luar biasa; sosmed tidak memperluas dirimu, sosmed malah mempersempitmu di dalam bubble-mu sendiri; kenapa? Karena yang muncul di feed-mu adalah hal-hal yang engkau anggap baik, apa yang benar di matamu, apa yang indah di matamu.
Tentunya kita bisa lebih simpatik di sini, karena memang manusia butuh semacam kebebasan; ada banyak hal dalam hidup ini yang lebih baik ketika manusia diberikan kebebasan. Kita juga harus mengerti kenapa muncul gerakan untuk memperjuangkan kebebasan pribadi seperti ini, yaitu datang dari motivasi yang baik, karena kebebasan pribadi ini dilihat sebagai semacam pembatasan terhadap kuasa (power) yang sentral, untuk menghindari abuse-abuse yang terjadi karena hal itu dilakukan oleh orang yang punya power yang sentral itu. Mirip seperti pembahasan minggu lalu, Reformasi Gereja mendefinisikan ulang pengertian “Gereja”, bahwa Gereja bukan sesuatu yang ditentukan keabsahannya oleh suatu badan sentral gerejawi, karena itu membuat banyak penyalahgunaan kekuasaannya. Itu sebabnya masing-masing jemaat Kristen berhak dan bertanggung jawab untuk menentukan sendiri dan untuk dibebaskan dari kuasa sentral itu, karena kuasa sentral itu sudah terlalu powerful, banyak abuse yang terjadi. Contohnya tentang Indulgensia, jemaat ditipu dengan iming-iming pengampunan dosa untuk memberikan uangnya bagi pembangunan katedral-katedral megah –itulah yang Luther protes. Tapi sebagaimana kita sudah lihat juga, ketika terjadi pergeseran kekuatan dari yang sentral kepada yang akar rumput, maka ide kebebasan pribadi berubah jadi sesuatu seperti yang berikut ini: ujungnya, yang namanya “bebas” adalah tidak ada seorang pun yang berhak mengatakan kepada saya, saya harus seperti ini atau seperti itu. Jadinya, hak asasi manusia adalah: bisa menentukan sendiri bagiku apa yang baik, apa yang indah, apa yang adil, apa yang kudus, apa yang benar; bahkan zaman sekarang bukan cuma bisa menentukan apa yang baik, tapi juga bisa mendapatkan sesuai dengan waktuku –harus on demand. Menentukan film yang bagus, tidak cuma soal selera, tapi juga on demand, film langsung keluar di Netflix dan kita bisa nonton sendiri, kapan maunya kita, tergantung bisanya kita, potong di tengah-tengah juga tidak apa-apa, dsb. Kitab Hakim-hakim menjungkirbalikkan ide tersebut, dengan menunjukkan kepada kita bahwa ketika ini terjadi, maka ini bukan menghalangi abuse melainkan membuka lebar-lebar pintu kandang untuk abuse keluar merajalela.
Sekitar 5-6 tahun terakhir ini dalam dunia global ada gerakan MeToo, gerakan yang menolak keras dan berjuang melawan abuse seksual terhadap wanita. Ini dimulai dari aktris-aktris Holywood yang berani melawan para engkong bangkotan dari studio-studio besar yang selama ini menggunakan posisi mereka sebagai pemimpin studio untuk mengendalikan karier para aktris –“kalau kamu mau tidur sama saya, kamu akan sukses; kalau kamu menolak, aku akan matikan kariermu sekarang juga”. Hal seperti ini akhirnya ketahuan, dan bukan cuma satu dua orang, tapi begitu banyak orang dalam dunia perfilman yang ternyata menyalahgunakan power secara seksual kepada para wanita. Ini berlanjut luas sampai ke dunia para atlet, bahkan dunia politik; dan bukan cuma di dunia Barat, tapi juga di Jepang, Taiwan, India, China, banyak gerakan yang mirip ini bermunculan, karena dalam 50 tahun terakhir –di dunia Barat khususnya– sangat sarat dengan sexual abuse di mana-mana, dalam berbagai level masyarakat, hampir tidak ada kategori yang tidak tersentuh oleh hal ini.
Satu artikel pernah coba membahas, apa penyebab dari sexual abuse yang sangat merajalela di berbagai lapisan masyarakat Barat; dan jawabannya: pintu yang membuka sexual abuse yang luar biasa merajalela di zaman kita adalah revolusi seksual tahun 60-70-an di dunia Barat. Di dunia Barat, tahun 1960-1970-an ada gerakan yang namanya “Free Love”, di mana cinta dibebaskan, semua peraturan mengenai urusan seksual diruntuhkan; cinta itu bebas, bebas dari pernikahan, bebas dari norma-norma masyarakat, bebas dari tanggung jawab mengurus anak, bahkan dari bebas dari pembatasan gender, dst., semua bebas melakukan seks selama seks itu sesuai dengan apa yang benar pada pandangan mereka. Dan penulis tersebut –yang adalah penulis sekuler, dan dari majalah sekuler– mengatakan, “Memang untuk sementara waktu ini rasanya seperti pembebasan, tapi sekarang baru terbongkar bahwa yang terjadi itu juga membebaskan abuse terjadi di masyarakat”. Ujungnya yang terjadi adalah yang lemah ditundukkan di bawah hasrat nafsu seks mereka yang kuat, karena yang lemah bagaimanapun juga tidak bisa menghalangi yang kuat untuk mengambil apa yang mereka mau –sama seperti Mikha tidak bisa menghalangi suku Dan mengambil apa yang mereka mau. Tujuan dari penulis, bukan mengatakan bahwa di zaman “seks dikunci dalam pernikahan” tidak ada abuse, bukan maksudnya zaman dulu lebih baik, tapi membongkar satu hal yang menjadi poin di sini, yaitu: ketika otoritas norma masyarakat ditukar dengan kebebasan pribadi, jangan pernah berpikir ini membuat orang jadi lebih bebas. Nyatanya tidak.
Kita tidak lebih bebas ketika kita menaruh kebebasan individual di atas segala-galanya, dalam arti tertentu kita justru lebih terpenjara. Atau paling tidak, yang bebas bukan cuma kamu tapi juga para abusers. Inilah pelajaran “keadilan”; keadilan sangat tergantung kepada adanya suatu standar kebenaran yang kokoh, yang tidak tunduk kepada manusia manapun, individu manapun, baik yang lemah maupun yang berkuasa; harus ada ini, baru bisa terjadi keadilan. Oleh karena itu, sebuah masyarakat yang sekadar memperjuangkan untuk semua orang melakukan apa yang benar di mata mereka masing-masing, tidak mungkin memiliki keadilan yang sejati. Saudara jangan pikir dalam kultur kita tidak ada bahaya seperti ini. Dalam kultur Barat, sistem hukum mereka yang begitu diagung-agungkan, ternyata hari ini kita melihat adanya canceled culture –yang adalah main hakim sendiri– orang yang dicurigai melakukan sexual abuse, langsung dikenakan pengucilan sosial (canceled culture). Lalu kenapa sampai perlu melakukan canceled culture? Mereka akan menjawab, karena ada sesuatu yang kurang dalam sistem keadilan Barat hari ini, yang begitu mendasar, yang mereka rasa harus tambal, tidak bisa tidak. Yaitu dengan apa? Kuasa untuk mengucilkan. Ini apa kalau bukan “main paksa”? Tapi inilah yang mereka lihat sebagai keadilan.
Keadilan, itu bergantung pada adanya satu pihak yang mampu memaksa, mampu impossing apa yang benar terhadap semua orang tanpa terkecuali. Inilah figur “hakim” yang hilang dalam Kitab Hakim-hakim. Inilah ideal yang sedang ditunjukkan kitab ini bagi kita, sebagai sesuatu yang amat sangat kita butuhkan! Manusia tidak bisa hidup tanpa hal ini. Tadi kita mengatakan, hampir tidak ada komentar dalam kisah ini; penulis sekadar memperlihatkan kita apa yang terjadi tanpa perlu berkomentar. Satu-satunya komentar adalah kalimat refrein yang diulang 4 kali itu, “Tidak ada raja di tengah-tengah orang Israel, semua orang berbuat menurut apa yang benar di mata mereka sendiri.” Kenapa sampai dikatakan seperti itu? Karena inilah pelajaran yang membuat kita bisa menyadari kenapa perlu Kristus dalam hidup kita; dan jawabannya, ternyata bukan cuma karena Dia adalah Seorang Juruselamat.Bukan cuma itu, lalu apa? Yang Kitab Hakim-hakim ingin kita lihat ada dalam diri Yesus, yaitu —pelajaran yang kedua—Yesus sebagai Raja. Itu satu hal yang kita sangat butuhkan dalam hidup ini.
Persepsi kita mengenai raja adalah bahwa raja menghalangi keadilan, karena kita hidup pada zaman di mana raja-raja digulingkan oleh pemerintah demokrasi; orang yang memegang kuasa sebagai raja, kita melihatnya tidak bagus. Dan, raja-raja yang bisa survive sampai sekarang adalah raja-raja yang tidak ada kuasa politiknya, seperti raja dan ratu Inggris yang cuma simbolis. Tapi itu bukan gambaran raja dalam Perjanjian Lama. Raja adalah figur yang mendefinisikan apa yang benar, dan juga punya kuasa untuk memikulkan apa yang benar kepada seluruh rakyatnya —khususnya bagi mereka yang mungkin akan melawan. Inilah maksud dari Kitab Hakim-hakim dengan meneriakkan berkali-kali kalimat tadi, “Tidak ada raja di Israel! Tidak ada raja di Israel!”. Maksudnya, penulis sedang mengatakan kepada kita, “Kamu mau keadilan? Kamu mau supaya hal-hal dalam kisah ini jangan sampai terjadi lagi? Maka, apa yang kamu butuhkan adalah seorang raja.”
Tema ini bukan cuma mengalir di Kitab Hakim-hakim tapi mengalir terus lewat Kitab-kitab Samuel, Kitab Raja-raja; bahkan Kitab Mazmur, karena di situ ada teriakan orang yang tertindas kepada Sang Raja, juga nyanyian mengharapkan Raja seperti apa yang akan datang. Berlanjut dengan kitab-kitab para nabi di mana raja-raja Israel dan Yehuda dikritik karena tidak adil –bukan karena tidak rohani. Ini terus berlanjut ke Perjanjian Baru, di mana kelahiran Yesus dihadirkan sebagai kelahiran Seorang Raja. Kenapa Alkitab begitu terobsesi dengan tema “ke-raja-an Allah”? Kita mungkin pikir “karena Allahku terobsesi dengan kuasa-Nya, Dia tidak mau ada saingan”. Tidak demikian Saudara, alasannya tema “ke-raja-an Allah” ini sangat ditekankan adalah karena Alkitab dan Allah Alkitab sangat concern dengan keadilan. Itu jawabannya.
Saudara, kalau kita hari ini merindukan dunia di mana seorang wanita tidak diperbolehkan memperjualbelikan tubuhnya, entah dalam real life ataupun melalui layar-layar, itu kerinduan yang benar. Atau, kita menginginkan dunia di mana warna kulit kita tidak menentukan status kita di mata masyarakat atau di mata penegak hukum, itu kerinduan yang benar. Atau, kita menginginkan dunia di mana manusia yang tidak bernama dan tidak bersuara, hak hidupnya tetap dijamin, seperti janin (fetus), karena kita melihat dalam kisah ini ada manusia yang tidak bernama dan tidak bersuara, yaitu si gundik, yang hak hidupnya tidak digubris semua orang, itu keji –dan kita tidak ingin dunia seperti itu. Ketika kita menginginkan dunia seperti ini, itu benar, karena kita bukan menginginkan dunia sesuai dengan mata kita tapi sesuai dengan apa yang benar dan baik di mata Tuhan. Itulah alasannya Tuhan mengutus dan mengorbankan Anak-Nya yang tunggal di atas kayu salib, membangkitkan Dia pada hari yang ketiga, menaikkan Dia duduk di sebelah kanan takhta-Nya sebagai RAJA atas segala alam ciptaan. Bukan cuma karena Dia punya concern akan keselamatan jiwamu tok, tapi bahwa itulah tandanya Allah kita begitu serius mau mendatangkan dunia yang ADIL. Itu sebabnya Dia mengutus Anak-Nya ke dunia ini sebagai Raja yang Menderita.
Saudara, message dari Alkitab bukanlah bahwa dunia yang kita kenal hari ini akan berlalu, terbakar, kita diselamatkan dengan sekoci naik ke surga melayang-layang 200.000 tahun main harpa. Message Alkitab adalah bahwa dunia yang kita kenal hari ini dengan segala ketidakadilannya, memang benar hari-harinya sudah terhitung dan akan segera berlalu, karena Anak-Nya, yang telah meng-establish Kerajaan-Nya dalam kedatangan-Nya yang pertama, akan datang kembali dan mengubah dunia ini menjadi Kerajaan yang adil dalam kedatangan-Nya yang kedua. Saudara sekarang jelas, kalau Saudara menginginkan dunia yang adil, berarti Saudara harus sadar juga caranya Kerajaan tersebut datang adalah dengan hidup menurut aturan dan keadilan dari Raja ini, dan bukan berdasarkan apa yang engkau anggap benar di matamu.
Dunia yang kita rindukan ini –kalau kita jujur–hanya bisa datang bergantung pada penghakiman yang kita tidak bisa survive penghakimannya, pada standar yang kita tidak bisa survive standarnya. Dunia yang kita rindu bisa hidup di dalamnya ini adalah dunia yang kita tidak layak menginjakkan kaki kita. Saudara hari ini bisa menunjuk rasisme dan mengatakan, “Itu tidak benar, tidak adil”, tapi bisakah engkau menunjuk dirimu sendiri ketika engkau bertemu dengan orang-orang yang berbeda denganmu, dan engkau tidak menggunakan perbedaan-perbedaan itu sebagai alasan untuk berasumsi hal-hal yang negatif mengenai mereka lalu mengangkat diri di atas orang-orang tersebut? Misalnya, ketika kita bertemu orang-orang yang berbeda latar belakang pendidikan, orang-orang yang berbeda level pemasukan, orang-orang yang tidak beristri dan bersuami, atau yang anak-anaknya tidak masuk ke sekolah yang sama dengan anak-anak kita –yang biasanya lebih mahal– atau yang memilih capres yang beda dari kita, atau yang memegang theologi yang beda dari kita. Inilah bagaimana manusia mencari harga dirinya, dengan menggunakan orang lain sebagai pijakan. Anak kecil, cowok, menangis, “Hu huuuu… “, lalu papanya mengatakan, “Jangan nangis! Kayak cewek, mewek!” –jadi, saya tahu diri saya cowok di atas saya menginjak-injak cewek. Begitulah cara manusia hidup.
Di sini Saudara menyadari satu hal, ketika Saudara merindukan dunia yang penuh dengan keadaan tadi datang, Saudara dan saya tidak layak untuk masuk ke dalam dunia seperti ini; dan itulah sebabnya Kekristenan tidak bisa dilepaskan dari ke-Gereja-an. Ini poin besarnya. Kenapa ke-Gereja-an merupakan satu hal yang begitu krusial dalam Kekristenan? Karena fungsi ke-Gereja-an adalah memaksa engkau untuk hidup bukan berdasarkan apa yang engkau anggap benar di matamu. Itu sebabnya di dalam Gereja, pelayanan tidaklah sesuai dengan keinginanmu. Itu sebabnya tugas kemajelisan, tugas pendeta, tugas vikaris, bahkan khotbah-khotbahnya, lagu-lagunya, panggilan doa syafaatnya, nyamankah? Sesuai waktumu? Sesuai kebutuhanmu? Sesuai dengan jarak dari rumahmu? Bersama orang-orang yang cocok denganmu? Tidak. Pendeta Stephen Tong mengatakan satu kalimat yang benar: “Di Gereja, orang dipaksa untuk rela; dan orang harus belajar rela untuk dipaksa.” Inilah realitas Gereja. Kenapa? Karena inilah Kerajaan Allah; dan di tempat ini Saudara tidak hidup menurut apa yang BENAR di mata kita masing-masing. Orang mengatakan, jumlah jemaat GRII Kelapa Gading terus naik; dan saya tidak peduli. Yang saya peduli adalah jumlah yang datang Persekutuan Doa, karena itu adalah bear minimum yang menunjukkan Saudara menerima Yesus bukan hanya sebagai Juruselamat tapi sebagai Seorang Raja.
Saya sudah pernah cerita kenapa saya yang sama sekali bukan tipe gembala, mau menerima panggilan ini, yaitu karena ini bukan panggilan seorang gembala, ini panggilan orang Kristen, untuk simply menjalankan pelayanan yang tidak tentu sesuai dengan apa yang di mata kita. Kalau saya menolak panggilan ini, saya might as well menolak Kristus, karena bahkan Kristus pun bukan menjalankan apa yang benar di mata-Nya yang sesuai dengan kehendak-Nya, tapi yang sesuai dengan kehendak Bapa-Nya. Itulah doa di Taman Getsemani. Saudara jangan pernah tertipu dengan tipuan yang mengatakan Kekristenan itu tidak ada usahanya. Kekristenan bukan meniadakan usaha; Kekristenan meniadakan jasa. Saudara perlu berusaha mati-matian untuk bergereja kalau Saudara mau jadi orang Kristen, karena Tuhanmu bukan cuma Juruselamat tapi juga Rajamu! Dan, jikalau lewat usaha kita ada berkat Tuhan yang datang, itu bukanlah karena hasil jasa kita. Itulah realitas menjadi orang Kristen, senantiasa bekerja, tidak pernah ada jasa.
Satu contoh, sebentar lagi kita akan ada Baptisan Anak. Dalam GRII sekarang, kalau seorang anak mau dibaptis, maka kedua orangtuanya harus anggota GRII juga. Tentunya ada perkecualian dalam kasus-kasus khusus, tapi secara umum demikianlah aturannya. Lalu ada beberapa orang mengatakan, “Kalau begini, bagaimana, Pak, orang tidak bakal mau jadi anggota?? Ini GRII terlalu strict!” Dalam hal ini saya agak bisa simpati, tapi coba pikirkan, kenapa policy ini ada, yaitu ini simply satu bagian kecil dari suatu desakan dalam sinode kita untuk membuat warga Gereja menyadari keanggotaan Gereja tidak main-main! Kalau engkau mau menjadi seorang Kristen, tidak cukup sekadar jadi seorang believer, orang yang duduk di sana mendengar yang di sini, lalu percaya bahwa yang dikatakan adalah benar. Itu tidak cukup! Engkau dipanggil menjadi seorang disciple, seorang murid, yang hidup tidak lagi menurut apa yang engkau anggap benar, tapi apa yang Tuhan anggap benar. Di Gereja Tuhan yang sejati, tidak ada opsi bagimu untuk mengatakan, “Saya mau hadir di tempat ini, lalu saya mau ikut sejauh ini saja; jangan paksa saya lebih dari pada itu.” Inilah orang yang hidupnya tidak ada Raja, yang melakukan apa yang benar di matanya sendiri.
Saudara, inilah harapan dalam membahas Kitab Hakim-hakim. Alasannya dalam Alkitab perlu ada cerita yang begitu gelap, begitu rusak, begitu menjijikkan, adalah justru untuk kita menyadari serta melihat dengan lebih jelas keindahan Kristus dalam hidup kita. Keindahan yang kita lihat bukan cuma ketika kita menyadari Dia adalah Seorang Juruselamat, tapi keindahan ketika kita menyadari Dia menghadirkan diri-Nya sebagai Seorang Raja. Bahkan cara Dia menyelamatkan kita dari diri kita sendiri adalah dengan menjadi Raja atas hidup kita. Bukan karena Allah ini adalah Allah yang terobsesi dengan kuasa, tapi karena Dia peduli untuk mendatangkan keadilan yang sejati di atas dunia ini. Pertanyaan buat engkau dan saya adalah: apakah ini masih merupakan kabar baik bagi hidupmu, atau tidak?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading