Kita sampai pada klimaks kisah Simson, satu episode yang mungkin paling terkenal, paling sering dirayakan dan diceritakan ulang berkali-kali, baik melalui film, opera, musik, atau drama, yaitu kisah mengenai ‘Delila si cantik yang berbahaya dan Simson si berotot yang payah’. Sebelum masuk ke bagian tersebut, kita melihat pasal 16 ini dimulai dengan suatu prolog (ayat 1-3); dan kita akan membagi pembahasan ini dalam beberapa bagian.
Ayat 1-3
Pasal sebelumnya (pasal 15) menceritakan mengenai Simson yang datang ke daerah Filistin, melihat wanita Filistin, dan ini menimbulkan konflik besar-besaran dengan orang Filistin, lalu ditutup dengan pertempuran besar yang sangat berdarah-darah, 1000 orang mati di tangan Simson. Ayat penutup pasal 15 menuliskan tentang Simson memerintah Israel sebagai hakim selama 20 tahun, dengan demikian pasal 16 terjadi di akhir periode 20 tahun tersebut. Apa yang terjadi di pasal 16? Dikatakan dalam prolog ini, Simson masuk ke daerah Filistin, melihat wanita Filistin, lalu ini menimbulkan konflik dengan orang Filistin lagi. Jadi, apa yang Saudara dapatkan dari prolog ini? Yaitu Simson orang yang tidak belajar apa-apa, bahkan semakin parah, karena kita lihat kecerobohannya semakin parah. Kali ini Simson bukan sekadar datang ke Timna, kota Filistin yang ada di areanya Israel, tapi datang ke jantung hatinya orang Filistin, Gaza, ibukota Filistin. Nafsu Simson juga semakin parah; dia sekarang bukan cuma tertarik wanita Filistin lalu mengawininya, tapi meniduri seorang pelacur Filistin. Perangkap orang Filistin atas dia juga semakin intens; sebelumnya mereka berhadapan dengan dia di daerah Yehuda, sekarang mereka mengepung Simson di daerah mereka sendiri, di sebuah ibukota yang sudah pasti bertembok dan berkubu. Namun demikian, kita juga melihat eskalasi yang lain, bukan cuma kebodohan dan ketidakpedulian Simson, tapi kuasa Tuhan atas dia pun makin bertambah. Kali ini yang Simson lakukan mencabut pintu gerbang kota –yang sudah pasti bukan pintu portable— lalu mengangkat sampai ke puncak bukit yang bersebrangan dengan Hebron, yang jaraknya kira-kira 50 km dari Gaza. Saudara bisa bayangkan! Tidak heran orang Filistin tidak mengejar dia, karena mereka juga mungkin tidak bisa percaya akan apa yang mereka saksikan, betapa sesinting itu yang terjadi.
Cerita yang pendek ini tentu bukan cuma demi kisahnya sendiri, tapi untuk menunjukkan bahwa 20 tahun telah lewat dan Simson menunjukkan dirimya tidak semakin bijak tapi malah semakin hancur. Dengan demikian kita menduga pola tersebut akan berulang lagi, maka kita mulai takut dan bertanya-tanya apakah jika ada kali yang ketiga terjadi, Simson masih akan survive?? Mari kita masuk ke ceritanya.
Ayat 4-17
Setelah prolog yang menyetel ekspektasi kita tadi, sekarang kita lihat cerita besarnya ternyata memang mengulang lagi pola tersebut. Simson kembali masuk ke daerah Filistin, kembali jatuh cinta dengan wanita Filistin, bernama Delila. Ada yang mengatakan nama Delila ini dalam bahasa Ibrani mirip bunyinya dengan laila, artinya malam; dan menariknya di bagian prolog tadi, ayat 1-3, ada kata ‘malam’ yang diulang sampai 4 kali, tapi Simson pada dasarnya lolos dalam ‘kemalaman’ ini lalu sekarang Simson datang kembali dan naik ke atas ranjang si Malam.
Ayat 4-6, dikatakan bahwa para raja Filistin mendatangi Delila dan menawarkan uang supaya Delila mengorek rahasia kekuatan Simson. Sekali lagi, kita melihat eskalasi; Simson bukan lagi jadi problem pinggiran, sekarang dia sudah jadi problem skala nasional, sampai harus raja-raja Filistin yang turun tangan. Itu sebabnya kita bisa paham kenapa Delila tergiur, karena urusannya bukan cuma uang tok, tapi kalau dia bisa mengalahkan si musuh nasional maka dia akan jadi pahlawan nasional. Ini kesempatan satu kali seumur hidup yang bisa menjamin hidupnya sampai mati –punya uang, punya kuasa (power). Jadi tidak sulit untuk mengerti kenapa Delila mengkhianati Simson. Tapi yang membuat kita bingung, kenapa Simson tetap mau saja dengan Delila meski sudah jelas sekali Delila mengkhianati dia berkali-kali. Di ayat 6 jelas banget Delila bicaranya, dia tidak pakai tipu muslihat, dia berkata kepada Simson, “Dengan apa engkau harus diikat supaya bisa ditundukkan?” Lalu di ayat selanjutnya, jelas Delila menyiapkan orang-orang di kamarnya untuk menyergap Simson. Tapi setiap kali ini terjadi, lalu dikatakan Delila berkata kepada Simson, artinya Simson tidak pergi, masih tetap di situ terus.
Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan. Yang pertama, Simson sudah kecanduan, bukan cuma akan wanita tapi juga terhadap bahaya, karena setiap kali dia masuk ke dalam bahaya, itu menghasilkan kemuliaan dan kemenangan baginya, akhirnya dia seperti orang yang kecanduan extreme sport, yang musti cari mati supaya bisa hidup. Kemungkinan kedua, dia memang butuh Delila untuk hal ini; di sini ada hint-nya, tiga kali dia berbohong pada Delila, dan pada kali ke-4 baru Delila mulai mengancam, “Kalau kamu begini terus, kamu tidak cinta aku”, lalu dalam momen inilah Simson bocor. Kenapa kalimat Delila yang kali ini membuat Simson runtuh? Karena pada dasarnya Simson membutuhkan Delila, Simson cannot live without her. Ironisnya, cinta seperti ini sebenarnya bukan cinta tapi abuse. Sama seperti Delila sedang menggunakan Simson untuk mendapatkan nama dan uang, Simson sedang menggunakan Delila untuk mendapatkan sensasi seru dari bahaya, selain seks dan lain-lainnya. Itu sebabnya begitu hal ini terancam, dia bocorkan rahasianya, dan mengatakan bahwa dari semua janji nazir yang dia sudah langgar, masih ada satu janji yang dia belum langgar, yaitu cukur rambut.
Memang dalam aturan janji nazir di Bilangan 6, cukur rambut bukan cuma terlarang bagi seorang nazir, tapi juga sesungguhnya ritual yang dilakukan untuk menyatakan akhir dari periode kenaziran seseorang; begitu seorang nazir mencukur rambutnya, dia tidak lagi menjadi seorang nazir. Di bagian ini kita mulai bingung, ternyata konsepnya seperti ini. Banyak orang Kristen mempunyai konsep seperti orang Filistin, menganggap kekuatan Simson datang dari sesuatu sumber yang magis, itu sebabnya orang Filistin percaya kebohongan Simson sebelumnya soal tali baru dan sebagainya. Saudara, kalau sumber kekuatan datangnya dari sesuatu yang magis, ini berarti intinya Saudara perlu mengatur/memanipulasi kondisi-kondisi atau persyaratan-persyaratan eksternal tertentu secara tepat, baru akan bersifat magis. Misalnya, Saudara mau membuat ramuan cinta, dan dukun mengatakan untuk membuat ramuan ini dibutuhkan 3 ekor tikus putih dari gua keramat di Gunung Halimun, maka Saudara tidak bisa datang bawa 2 ekor tikus, tapi harus 3 ekor, dan tikusnya warna putih, dan dari gua yang itu, di gunung yang itu. Ketika ini terpenuhi semua secara tepat, maka kekuatan magisnya datang. Kekuatan magis dalam bagian ini adalah dengan mengikuti persis langkah-langkah dan resep, yang entah bagaimana bisa menekan tombol-tombol supernatural, dan kemudian power-nya datang. Jadi, orang Filistin mengatakan ‘Simson itu kuat karena dia melakukan sesuatu secara eksternal, maka cari tahu apa hal eksternal itu, dan kita akan bisa mengalahkan dia’. Dan pada dasarnya kita melihat di kisah ini urusannya soal rambut, soal hal eksternal itu.
Ayat 18-21
Bagian berikutnya ini aneh, karena ternyata tidak sesimpel urusan magis tadi, tidak sesimpel urusan sebagaimana konsep orang Filistin dan orang-orang Timur Dekat Kuno pada waktu itu, bahwa kalau kamu kuat, itu artinya kamu pasti ada sesuatu yang kamu manipulasi secara eksternal sehingga bisa menimbulkan kuasa supernatural itu padamu –urusan rambut kenaziran. Ternyata tidak sesimpel itu, karena coba perhatikan, setelah Simson menceritakan hal tersebut kepada delila, Simson tetap saja tidur di pangkuan Delila. Dia harusnya tahu dong bahwa setelah ini Delila pasti akan mencukur rambutnya, karena ini sudah kali yang ke-4. Lagipula, dalam peringkusannya yang ke-4 ini Simson dikatakan masih berpikir dia akan bebas lepas seperti yang sudah-sudah (ayat 20). Di satu sisi, Simson sudah menceritakan semuanya, namun di sisi lain dia tetap pikir dia akan bebas. Di sini Saudara mulai mendapat gambaran, kayaknya urusannya tidak sesederhana konsep orang Filistin. Lalu kenapa Simson berpikir seperti itu?
Saudara, kalau kita tanya “why?” kepada Simson, mungkin Simson akan jawab “why not?” Dalam pikiran Simson mungkin seperti ini: selama ini saya sudah melanggar janji kenaziran saya, saya sudah sentuh mayat berkali-kali, saya sudah minum anggur (cerita pesta perkawinan Simson, bukan pakai istilah ‘resepsi pernikahan’ tapi ‘drinking party’), namun selama ini Tuhan tetap saja menolong, koq, jadi kenapa sekarang Tuhan akan berhenti. Saudara mengerti logikanya? Jadi alasannya Simson tetap berpikir dia akan kuat seperti yang sudah-sudah, adalah karena dalam lubuk hatinya yang terdalam dia tidak percaya konsep orang Filistin, dia tidak percaya konsep bahwa rambutnya, atau janji kenazirannya, adalah sumber kekuatannya. Dia tidak percaya itu, tapi problemnya, dia tidak kemudian jadi mengenali sumber aslinya sebenarnya dari mana, dia pikir kekuatannya itu sudah melekat pada dirinya, dia take for granted kekuatannya itu, dia tidak lagi merasa perlu bergantung kepada Tuhan. Dalam arti tertentu, ini tidak beda dengan Simson melihat kekuatannya itu sebagai kekuatan-nya yang tidak akan hilang apapun yang dia lakukan.
Sekali lagi, ini satu gambaran yang kita sudah lihat berkali-kali, Simson dihadirkan sebagai orang yang justru paling tidak sadar, paling tidak peka; dan kalau sebelumnya Saudara hanya membaca itu secara implisit, sekarang penulis menuliskannya secara eksplisit di ayat 20: ‘… tidaklah diketahuinya … ‘. Apa yang dia tidak tahu? Bahwa rambutnya telah terpotong? Bahwa dia telah dikhianati? Bukan; dia tidak tahu ‘… bahwa TUHAN telah meninggalkan dia”. Sumber kekuatan Simson bukan terutama rambutnya, bukan terutama janji kenazirannya, tapi karena Tuhan; dan sekarang Tuhan meninggalkan Simson. Simson tidak tahu ini, Simson pikir kekuatan itu sudah melekat pada dirinya, dia sudah take for granted.
Di sini kita mendapatkan satu paradoks biblikal mengenai kuasa Tuhan dalam hidup kita, yang tidak sesimpel konsep dunia. Saudara perhatikan, orang Filistin berpikir ‘Simson pasti ada melakukan sesuatu untuk bisa seperti itu’, ada unsur magis di belakang itu, ada tombol-tombol yang dia tekan untuk bisa kuat seperti itu; Simson sebaliknya, dia pikir ‘saya tidak perlu melakukan apa-apa untuk bisa kuat seperti ini’. Saudara lihat keduanya ini seakan bertabrakan, tapi sebenarnya satu hal yang sama. Ini mirip dengan perdebatan jalan agama dunia; yang satu mengatakan ‘kalau mau selamat maka harus melakukan sesuatu’ –ada unsur magisnya, harus tekan tombolnya Tuhan, harus melakukan ini dan itu; dan ada juga jalan orang-orang Calvinis kebablasan yang mengatakan ‘O, tidak, semua berdasarkan anugerah, kita tidak perrlu melakukan apa-apa supaya selamat, maka hiduplah semau kamu sendiri, karena ‘gak ngaruh koq, sekali selamat tetap selamat’ –pandangannya Simson. Dan yang menarik, dalam bagian ini Saudara melihat Alkitab bukan kedua-duanya. Tuhan meninggalkan Simson, meskipun kita tahu urusan kekuatan itu bukan datang karena rambutnya atau karena janji kenazirannya. Jadi, yang sedang dihadirkan di sini adalah bahwa Alkitab bukanlah kedua jalan itu. Lalu bagaimana? Kuasa Tuhan jadinya bergantung kepada kita atau tidak?
Kalau Saudara mau tahu jawabannya, satu hal yang kita sudah bicarakan berkali-kali, yaitu bahwa kuasa Tuhan selalu bersifat relasional. Dalam Kis. 1:8, ketika Tuhan Yesus mengutus murid-muridnya untuk pergi mengabarkan Injil ke seluruh dunia, Dia mengatakan, “Aku mengutus kamu dengan kuasa dari Roh Kudus; jangan pergi sampai kamu menerima kuasa Roh Kudus untuk menjadi saksi-saksi-Ku darri Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi”. Tapi pertanyaannya, apa kuasa dari Roh Kudus itu? Kuasa dari Roh Kudus adalah yang Yesus katakan, “Ketahuilah, Aku menyertai engkau selamanya” –itulah kuasa dari Roh Kudus. Kuasa Roh Kudus bukanlah sepatu baru, kuasa Roh Kudus bukanlah exoskeleton yang bisa bikin kita nonjok lebih kuat; kuasa Roh Kudus adalah berada dalam relasi dengan Tuhan, ‘Aku menyertai kamu selama-lamanya’. Dengan demikian Saudara melihat yang menyebabkan Simson kehilangan kekuatannya bukanlah urusan rambutnya dipangkas, tapi karena Tuhan meninggalkan dia. Saudara lalu ingin tanya, kenapa Tuhan meninggalkan dia; dan pada dasarnya Alkitab tidak menjawab, kita tidak tahu persisnya kenapa. Inilah memang natur dari kuasa yang datang dari relasi.
Kuasa yang datang dari relasi, itu tidak bisa dirumuskan, tidak bisa dijabarkan. Saudara tidak bisa mengatakan kriteria-kriteria, yang kalau itu terjadi 60% maka akan berjalan, sedangkan jika tidak terjadi maka tidak jalan. Namun juga, yang namanya natur relasi tidak berarti random, dan juga bukan chaos. Contoh, ada seorang istri yang dijahati suaminya. Sekali dijahati, istri ini tidak pergi, dia bertahan dengan suaminya. Dua kali dijahati, tidak pergi. Tiga kali dijahati, tidak pergi. Dua puluh kali dijahati, tidak pergi. Jadi suaminya mulai merasa, kalau kayak begini, ‘kasih istriku kepadaku itu unconditional, saya tidak perlu melakukan apa-apa untuk dia bertahan, karena toh saya jahati dia berkali-kali dan dia tidak pergi’. Tapi kali ke-21 dia jahati istrinya, si istri pergi. Lalu apakah boleh si suami mengatakan, “Eh, lu ‘gak konsisten; kenapa lu perginya waktu ke-21 kali?? Harusnya kalau lu konsisten, lu perginya pas kali pertama gua jahati, ‘kan gua jadi langsung tahu ternyata ‘gak boleh dilanggar yang urusan ini, jadi gua ‘gak lakukan lagi; jadi ini salah lu, karena sudah 20 kali gua lakukan itu dan lu ‘gak pergi-pergi, kali ke-21 baru pergi, kamu ‘gak konsisten kalau kayak begini” ? Tentu saja si suami tidak bisa mengatakan itu, karena natur relasi tidak bisa dirumuskan dan dijabarkan. Saudara tidak bisa mengatakan “tidak konsisten” kepada si istri. Seorang istri bisa memilih untuk tetap bertahan dengan suaminya yang bodoh itu meskipun dia di jahati, dan si istri bebas untuk meninggalkan suaminya belakangan dan bukan pada kali pertama suaminya menjahati dia. Inilah natur relasi; dan inilah natur kuasa Tuhan yang Saudara lihat pada diri Simson.
Di satu sisi, kekuatan dan kuasa Tuhan bagi kita ada hubungannya dengan komitmen hati seseorang kepada Tuhan; di sisi lain, ujungnya adalah bergantung hanya pada Tuhan sendiri. Yang Saudara lihat di dalam Alkitab adalah Tuhan yang kompleks, Tuhan yang tidak bisa dipatri, Tuhan yang tidak bisa dikunci. Tuhan yang di satu sisi, bisa, dan pernah, dan sering, bekerja dalam hidup kita meskipun dalam momen-momen kita tidak menaati aturan-Nya; di sisi lain, kita tidak bisa menuntut karena Dia pernah bekerja secara demikian maka Dia akan terus-menerus konsisten demikian. Kuasa Tuhan itu tidak bisa diperoleh secara eksternal, Saudara tidak bisa ikut resep tertentu untuk mendapatkan kuasa Tuhan; namun di sisi lain, kuasa Tuhan juga tidak hilang semudah itu, tidak hilang hanya dengan Saudara gagal taat satu kali. Dalam arti tertentu, yang Saudara pelajari di bagian ini adalah bahwa inilah gambaran Tuhan yang unpredictable, inilah gambaran Tuhan yang berkuasa, inilah gambaran Tuhan yang berdaulat sungguh-sungguh, karena berurusan dengan Tuhan seperti ini Saudara tidak bisa mengandalkan teknik/jurus tertentu. Orang Filistin tidak mengerti ini; dan menyedihkannya, hakim Israel juga tidak menyadari hal ini. Orang Filistin berpikir pasti ada jurusnya; Simson berpikir tidak perlu ada jurusnya jadi saya bisa seenak jidat saya. Dua-duanya salah.
Saudara, ini satu hal yang membuat kita bisa refleksi. Kita tentunya tidak percaya konsep magis seperti orang Filistin, tapi ternyata kita sangat gampang jatuh ke dalam dua ekstrim tersebut dalam hidup kita. Saudara bisa mengetes hal ini dengan bertanya, kapan Saudara pikir Tuhan akan memberkati Saudara? Yang pertama, kita tidak akan pikir Dia hanya memberkati kita ketika kita tekan tombol yang tepat, ketika kita mengikuti sampai huruf terakhir dari suatu resep rohani, jadi kita harus jadi orang-orang yang tidak bolos ke gereja, selalu ikut PD, hidup kudus, dsb., dengan tujuan kita diberkati –tentu tidak seperti itu, karena yang seperti itu bukan relasional tapi mekanistis. Tapi jika bukan itu, lalu apa? Jangan-jangan kita jatuh dalam sisi yang satu lagi, jadi orang-orang yang “reformed”, yang kalau ditanya ‘kapan Tuhan memberkati kita’, jawabannya ‘ya, suka-suka Dialah’, dan kita jadi orang yang malas. Kita merasa tidak perlu berdoa, tidak perlu mempertahankan relasi dengan Tuhan, karena kita pikir ‘apa ngaruhnya? apa ngefeknya?? selama ini Dia memberkatiku, koq, jadi Dia tetap akan memberkatiku juga’ –take for granted, seperti Simson. Dalam arti tertentu, cerita Simson ini ceriita yang absurd dan ekstrim, kita merasa dia ini tokoh yang begitu jauh dari diri kita, dia kuat banget sedangkan kita tidak sekuat itu, tapi sebenarnya Simson ini problem kerohaniannya mirip sekali dengan problem kita. Simson ini di satu sisi mewakili tokoh juruselamat yang Tuhan hadirkan bagi bangsa Israel, tapi pada saat yang sama Simson juga mewakili sepenuhnya Israel dengan segala keberdosaannya, dan demikian juga kita.
Ayat 22-31
Lanjutan ceritanya, Simson ditangkap, dibutakan matanya, dan dirantai. Orang yang tadinya pernah membakar ladang-ladang gandum Filistin, sekarang disuruh menggiling gandum bagi orang Filistin. Dan, untuk pertama kalinya kita melihat dalam kitab Hakim-hakim ada hakim Allah yang dikalahkan; tidak pernah sebelumnya ini terjadi.
Hal pertama yang kita bisa perhatikan dari bagian ini yaitu ayat 22, catatan mengenai rambut Simson yang tumbuh kembali. Ini satu hal yang jelas, orang yang rambutnya dicukur pastinya akan tumbuh kembali, kecuali dia memang botak. Lalu apa maksudnya dicatat mengenai hal ini? Sebagai orang zaman modern –yang tercemar dengan banyak konsep magis–kita mungkin pikir penulis Alkitab ternyata sebenarnya percaya kuasa magis, karena kita tahu belakangan Simson memang kuat lagi, jadi ini karena rambutnya tumbuh lagi. Tapi bukan demikian maksudnya; kalimat tersebut bukan untuk ditarik kesimpulan seperti itu. Poinnya adalah untuk membuat kita menyadari bahwa orang Filistin membiarkan rambut Simson tumbuh kembali. Maksudnya apa? Mereka tentu tahu kalau orang rambutnya dicukur, pasti akan tumbuh kembali; dan ini berarti orang Filistin menganggap kekuatan Simson terutama bukan dari rambutnya melainkan dari janji nazirnya (karena setelah orang mencukur rambut dalam janji kenaziran, maka janjinya dianggap selesai, dan dia tidak lagi jadi seorang nazir). Jadi, pada dasarnya orang Filistin pikir kekuatan Simson sudah tidak ada lagi, karena kekuatan Simson itu berdasarkan pada janji-janjinya –konsep magis. Ini konsep orang-orang yang tidak mengenal Allah Alkitab, orang-orang yang tidak menyadari bahwa kekuatan Simson datang bukan dari janji Simson kepada Tuhan, melainkan karena Tuhan yang kepada-Nya manusia berjanji.
Ini satu hal yang penting, karena sekali lagi ini memunculkan motif ketidaktahuan yang sejak sebelum-sebelumnya kita lihat dalam kisah ini. Ada satu ironi di sini; orang-orang Filistin tidak tahu akan hal ini, mereka membiarkan rambut Simson tumbuh karena mereka tidak tahu. Mereka membawa si musuh ke dalam jantung hati mereka, karena mereka tidak tahu. Mereka pikir kekuatan Simson sudah hilang, mereka pikir mereka sudah menang. Tapi, ada sesuatu yang orang Filistin tidak tahu –atau lebih tepatnya ada Seseorang yang orang Filistin tidak kenal– yaitu Allahnya Ehud yang bekerja lewat cara yang tidak terduga, Allahnya Gideon yang kuasa-Nya sempurna dalam kelemahan, Allahnya Yefta yang sekali berjanji maka tidak akan mengingkari janji-Nya. Satu hal menarik, dalam pasal 13 cerita kelahiran Simson, kata-kata persis yang Malaikat Tuhan katakan kepada orangtua Simson adalah: “Anak ini, dari sejak kandungan ibunya sampai pada hari matinya, akan menjadi seorang nazir Allah”. Bagi Allah, kenaziran Simson tidak ditentukan dari urusan dia ingkar atau tidak, melainkan dari unsur bahwa apa yang Tuhan janjikan, itu tidak akan diingkari, dari kandungan ibunya sampai pada hari matinya. Ini berarti waktu Tuhan meninggalkan Simson, itu hanya meninggalkan temporer. Sekali lagi, ini gambaran relasi Allah dengan umat-Nya. Paulus sendiri pernah mengatakan dalam 2 Timotius 2:13, “… jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.”
Ada banyak orang mengatakan, kenapa sih Tuhan meninggalkan Simson kalau bukan karena dia mengingkari janjinya, kalau bukan karena dia telah memberikan rambutnya dicukur? Saudara, kita tidak tahu jawabannya. Ini natur dari relasi. Ini sama seperti kita tidak bisa menjawab ‘kenapa Tuhan memilih Saudara dan saya’. Tapi intinya adalah: ada kemungkinan karena Tuhan bukan meninggalkan Simson, tapi justru memutuskan untuk mengklaim Simson kembali; dan caranya adalah dengan meninggalkan dia, dengan cara membawa dia masuk ke dalam kelemahan. Kenapa? Karena dalam kelemahan, sering kali justru kekuatan Tuhan menjadi sempurna. Saudara lihat ada tension di sini. Orang Filistin cuma tahu allah-allah yang bersifat conditional, yang kuasanya harus ditekan tombol-tombol tertentunya baru bisa ter-akses. Tapi Allah Alkitab adalah Allah yang beranugerah, maka kuasa Allah ini unconditonal, berarti tidak terpengaruh dan tidak terbatasi janji-janji manusia, Dia bisa setia kepada kita meskipun kita tidak setia kepada Dia. Dengan demikian, catatan urusan rambut Simson yang tumbuh kembali, bukan untuk kita ambil kesimpulan ‘Simson akan kuat kembali’, melainkan untuk kita ambil kesimpulan bahwa orang Filistin pikir Simson tidak akan kuat kembali karena janji nazirnya sudah dia langgar. Orang Filistin tidak mengerti bahwa kuasa dan pekerjaan Tuhan tidak dibatasi oleh kegagalan dan ketidaksetiaan hamba-hamba-Nya.
Ketidaktahuan Filistin ini dinyatakan dalam satu ironi yang terakhir, yaitu ketika mereka, dimulai dari pemimpin-pemimpinnya, berteriak, “Dewa kami telah menyerahkan musuh kami ke dalam tangan kami!”, dan rakyatnya pun mengikuti, “Dewa kami telah menyerahkan musuh kami ke dalam tangan kami!” Saudara lihat, siapa yang meneriakkan ini? Orang Filistin. Orang Filistin menyadari satu hal yang benar, bahwa di balik semua ini, ada tangan seorang figur ilahi; tapi mereka mengatributkannya kepada dewa yang salah. Dengan demikian inilah ironi yang terakhir, selagi atap kuil dewa mereka runtuh menimpa mereka, mungkin mereka menyadari sesadar-sadarnya bahwa realitasnya terbalik, Dewa Israellah yang ada di belakang semua ini, dan Israellah yang harusnya bisa mengatakan, “Allah kami telah memberikan musuh kami ke dalam tangan kami.” Ironis. Sekali lagi kita melihat ada faktor ketidaktahuan di sini.
Kitab Hakim-hakim, ujungnya kita melihat bahwa hal yang terutama/sentral bukanlah urusan antara orang Israel dengan penindas-penindas fisik mereka; konflik riil dalam bagian ini ujungnya adalah antara Yahweh dengan allah-allah yang palsu. Kita sudah melihat bahwa natur penindasan Filistin yang damai, telah membongkar bahwa problem utama orang Israel dalam kitab ini bukanlah soal mereka ditindas dan disiksa, melainkan soal mereka jatuh dalam pemberhalaan. Itulah yang terus-menerus terjadi; dan inilah yang Allah sedang mau menolong kita keluar, yang bukan cuma dari musuh-musuh lokal kita. Pada awalnya Dagon sepertinya menang; orang Filistin jelas berpikir seperti itu, dan mereka memproklamirkan seperti itu, maka mereka merayakannya di kuilnya Dagon, karena mereka melihat ini bukan kemenangan militer terutamanya melainkan kemenangan rohani. Tapi pada akhirnya Tuhan membalikkan dengan begitu ironis dan dramatis.
Kita melihat dalam bagian ini bukan saja orang Filistin tidak tahu sesuatu, tapi juga bahwa Simson akhirnya jadi menyadari sesuatu. Mungkin di penjara Simson jadi punya waktu untuk refleksi. Saudara lihat, hidup Simson itu di tengah-tengahnya ada periode 20 tahun dia memimpin Israel; pasal 14-15 terjadi sebelumnya, dan pasal 16-17 terjadi sesudahnya. Jadi mungkin dalam akhir kisah ini Simson baru bisa melihatnya secara keseluruhan, dan akhirnya menyadari pola yang terjadi dalam hidupnya, yaitu bahwa dalam dua periode, sebelum dan sesudah kepemimpinannya itu, dia bentrok dengan orang Filistin karena ada seorang wanita yang menangkap hatinya, yang mengorek rahasia dari mulutnya dan memberikan kepada musuh-musuhnya. Dan, Simson pada akhirnya mengingat bahwa kisah pertamanya itu berakhir bukan dengan kekuatannya melainkan dalam momen kelemahannya, ketika dia akhirnya exhausted dan berteriak kepada Tuhan minta tolong, minta minum –dan Tuhan memberikannya. Dengan demikian, mungkin dalam kisah yang kedua ini dia jadi mengerti apa yang harus dia lakukan, dia telah menyadari satu hal, itu sebabnya di ayat 26 dia minta ditempatkan di tengah-tengah dua pilar utama. Di ayat 27 kita melihat setting panggungnya, gedung itu penuh dengan laki-laki dan perempuan, raja-raja orang Filistin, dan di atas sotoh masih ada 3000 lagi laki-laki dan perempuan. Lalu untuk kedua kalinya dicatat dalam kitab ini, Simson berdoa.
Kita melihat kembali pola ini: sebelumnya dia berasumsi dirinya kuat, lalu dia menemukan situasi yang kekuatannya itu ‘gak ngaruh, situasi yang dia tidak bisa selesaikan, dia menyadari ketergantungannya kepada Tuhan, maka dia berdoa minta. Dalam momen tersebut dia berdoa menuntut, tapi sekarang dia buta dan lemah, dan dia hanya memohon. Banyak orang mengatakan ini masih doa yang ngawur karena isi doanya masih soal balas dendam, membalaskan kedua matanya yang dicungkil itu. Dalam arti tertentu memang iya, karena tidak menyebutkan apa-apa soal Israel, soal nasib umat Tuhan, dsb., hanya urusan dendam. Tapi bagaimanapun juga ada unsur positifnya, ada kerendahan hati, ada kalimat, “Ingatlah aku, Tuhan”. Kalau Saudara bilang ‘ingatlah aku’, itu berarti Saudara menyadari bahwa Saudara seorang yang bisa dilupakan, tidak harus diingat, bisa diabaikan. Jadi Simson menempatkan dirinya dengan jelas di posisi ‘saya tidak ada apa-apanya’. Ada pengakuan/pengenalan bahwa Tuhanlah yang berdaulat, dia memanggil Tuhan di sini sebagai ‘Yahweh Adonai’ dan bukan sekadar ‘Elohim’, mengakui Tuhan yang berdaulat atas dunia ini meskipun dia sedang berdiri di tengah-tengah kuil Dagon sebagai seseorang yang kalah. Bagaimanapun juga ini sangat berbeda dari Simson di bagian-bagian sebelumnya yang kekuatannya dinyatakan, sedangkan sekarang justru kelemahannyalah yang dinyatakan. Ini juga berbeda dari doanya yang pertama, karena di sini doanya bukan sebagai tuntutan tapi sebuah permohonan, “Ingatlah aku, kuatkanlah aku sekali ini saja”, berarti dia sadar bahwa dia bergantung pada karunia Tuhan. Akan hal ini, Saudara melihat konfirmasinya dalam Ibrani 11, bagaimanapun juga Simson masuk dalam daftar para pahlawan iman; dan di mana lagi dalam hidup Simson dia melakukan tindakan iman kalau bukan dalam bagian ini. Waktu Saudara lihat penjabaran dalam Ibrani 11 ayat 34 mengenai apa tindakan para pahlawan iman ini; meskipun tidak ada nama Simson, di ayat 34 dikatakan: ‘orang-orang ini telah beroleh kekuatan dalam kelemahan’. Simson telah melihat kelemahannya, maka permintaannya yang terakhir ini lain dari yang sebelum-sebelumnya.
Satu hal yang menarik, akhirnya kita bisa melihat apa sih kesalahan utama Simson. Kesalahan utamanya bukan urusan dosa seks –meskipun itu jelas mengerikan. Kesalahan utamanya bukan soal dia mempercayai Delila. Kesalahan utamanya adalah dia pikir dia diberkati Tuhan karena dirinya, dia gagal melihat bahwa yang Tuhan berikan adalah milik Tuhan dan harusnya dipakai bagi agendanya Tuhan. Satu hal yang kita bisa langsung aplikasikan, alasannya cerita ini masuk ke dalam literatur orang Israel (karena orang Israel dipanggil untuk merefleksikan diri mereka di dalam Simson), yaitu memang kita tidak seperti Simson, kita tidak kuat seperti dia, tapi dosa Simson adalah dosa yang sangat mudah untuk kita lakukan. Kita sering kali lupa bahwa apa yang kita punya hari ini adalah bukan karena kita. Kita lupa bahwa kekuatan atau harta yang hari ini kita miliki adalah datang dari Tuhan, dan harusnya dipakai bagi agendanya Tuhan.Itulah dosa Simson, bukan soal Delila. Ini seperti juga kita sering kali gagal untuk ingat bahwa benda handphone sebenarnya hanya bisa melakukan banyak hal ketika ada koneksi internet; begitu koneksi internet putus, baru kita tahu handphone ini sebenarnya tidak terlalu berguna –dan sangat bergantung pada internet. Ini sebabnya sering kali Tuhan memang membawa kita ke dalam pengalaman-pengalaman kelemahan seperti itu.
Saudara, ini satu hal yang membuat kita refleksi; waktu kita melihat ini, ada satu hal yang kita memang sudah tahu tapi perlu terus-menerus diulang karena kita senantiasa lupa. Tadi kita mengatakan bahwa Simson terus-menerus bertumbuh dalam eskalasi yang makin lama makin bodoh, makin ceroboh, makin kacau, makin kecanduan, dsb.; kenapa? Pada dasarnya penyebab utamanya adalah dia semakin confident akan kekuatannya. Mengapa dia semakin confident dengan kekuatannya? Karena dia diberkati Tuhan, lagi dan lagi. Itu sebabnya cerita Simson adalah suatu warning mengenai orang yang menggunakan berkat Tuhan, untuk kemudian jadi penyebab atau alasan dia semakin melupakan Tuhan. Pola ini bukan pertama kali muncul dalam kitab ini, sama seperti dalam kisah Gideon pun kita belajar satu hal. Kalau Saudara ingat, cerita Gideon terbagi dalam 2 bagian besar; yang pertama, Gideon mengalami berbagai kesulitan dan keterbatasan, Gideon tidak confident, Gideon begitu peragu dan penakut. Tentu saja kesulitan dan keraguan bisa jadi musuh bagi kerohanian; tapi seperti kita tahu dalam bagian kedua kisah Gideon, justru ketika dia confident, ketika dia mulai percaya diri, ketika dia melihat dirinya sebagai penentu segala kemenangan yang dia dapatkan, itu justru adalah bahaya yang lebih besar. Saudara, kesuksesan justru musuh yang lebih besar daripada kesulitan, bagi kerohanian seseorang. John Flavel, seorang Puritan, mengatakan, bagaimanapun juga ketika keuntungan-keuntungan lahiriah bertambah, biasanya itu disertai dengan kerugian-kerugian rohaniah; dan sebaliknya, sering kali pertumbuhan-pertumbuhan rohanian, bertumbuh dalam kerendahan hati, pengendalian diri, bijaksana, biasanya –tidak selalu–bagaimanapun juga datang seiring dengan kerugian-kerugian lahiriah. Misalnya Saudara kerugian uang, kerugian dalam karier yang mundur, bentrok dalam relasi, inilah yang malah sering kali datang dengan pertumbuhan rohaniah.
Maka di sini kita bisa melihat jikalau anugerah Tuhan sering kali adalah dengan Tuhan mengambil dan menggunakan kelemahan manusia bagi rencana kebaikan-Nya, maka dosa adalah persis sebaliknya. Dosa bukanlah berarti kita mengambil hal-hal yang jahat untuk melawan Tuhan; Saudara lihat dalam kisah Simson, dosa adalah kebalikan dari anugerah; dosa adalah kita mengambil kebaikan Tuhan, berkat-berkat Tuhan, dan menggunakannya untuk melawan Tuhan. Saudara jangan pikir waktu melawan Tuhan berarti Saudara menggunakan hal-hal yang jahat yang bersifat negartif; tidak demikian. Dosa itu negatif bukan karena bahan dasarnya negatif, tapi karena Saudara menggunakan bahan dasar yang positif, untuk tujuan negatif. Ini mengerikan. Ini membuka mata kita akan beberapa hal.
Saya ingatkan Saudara ilustrasi dari Cornelius Van Til, ketika di kereta dia melihat seorang anak kecil sedang menaboki muka papanya, “Aku benci papa! Aku benci papa!”, dan satu-satunya alasan anak tersebut bisa menaboki papanya adalah karena papanya sedang menopang anak itu dengan kedua tangannya, karena kalau tidak ditopang bagaimana mungkin anak itu bisa menaboki muka papanya, paling bisa hanya menaboki lututnya, lalu disepak satu kali saja bisa jatuh, selesai urusan. Tetapi, dengan si papa menopang anaknya ini, barulah si anak ini bisa menaboki muka papanya. Jadi Saudara lihat, bahkan dalam kejadian dosa pun, sebenarnya dosa tetap adalah bayang-bayang yang samar akan kasih karunia Tuhan; Saudara tidak bisa berdosa kecuali kalau Saudara me-twist karunia Tuhan dan kebaikan Tuhan, untuk melawan Tuhan. Inilah mengerikannya dosa. Ini sebabnya salah satu hal yang paling mengerikan yang bisa kita dapatkan dalam hidup ini, adalah kesuksesan demi kesuksesan, karena begitukita sukses terus-menerus –artinya kita mendapatkan berkat Tuhan– lama-lama kita mulai take for granted, kita mulai pikir kita ini self-sufficient. Itu sebabnya tidak heran orang-orang yang paling sukses di dunia sering kali jadi orang-orang yang paling jauh dari Tuhan. Tidak heran Paulus dalam Roma 1 pada dasarnya mengatakan bahwa salah satu hal yang paling bahaya, yang Tuhan bisa berikan kepada manusia, adalah menyerahkan manusia kepada hawa nafsu mereka masing-masing. Mungkin waktu membaca kalimat tersebut Saudara langsung pikirnya itu soal hal-hal yang jahat/jelek, seperti misalnya jadi orang yang kecanduan ini itu, dsb.; tapi, siapa sih di antara kita yang hari ini bukan sedang hidup mengejar hawa nafsu kita masing-masing??
Jadi, ketika Saudara tidak mendapatkan hasrat hatimu itu, sekarang Saudara bisa melihatnya secara lain; dan ketika Saudara mendapatkannya, Saudara juga bisa melihatnya secara lain. Saudara, inilah kisah Simson; lewat kehadiran dirinya, ada satu cermin untuk umat Tuhan ngaca, merefleksikan diri. Simson adalah Israel, umat Tuhan, yang pada dasarnya dipanggil sebelum lahir, diikat dalam janji, diberkati dengan kekuatan, diperkuat dengan arahan Roh Tuhan, tapi yang tidak setia, yang menentang Tuhan, dengan berkat-berkat Tuhan. Ini satu hal yang kita bisa lihat.
Namun tentu saja cerita Simson bukan cuma hadir seperti itu, cerita Simson juga hadir untuk mewakili sisi yang satu lagi, yaitu mewakili figur juruselamat yang dari Tuhan. Saudara bisa lihat ini dari momen paling penting dalam hidup Simson, yaitu pada momen kematiannya. Saudara baca di situ, dalam kematiannya Simson membunuh lebih banyak orang Filistin daripada waktu hidupnya. Dia paling berfungsi sebagai penyelamat umat Tuhan dalam kematiannya. Dia paling beriman dalam iman, justru dalam kematiannya. Dia paling menang, justru dalam kematiannya. Ini mirip siapa? Mirip dengan Seseorang yang kita tahu. Tentu saja ada banyak bedanya. Simson sampai masuk kuil Dagon karena dia tidak mau hidup di bawah aturan Tuhan dan karena dia selalu menolak untuk taat kepada Tuhan; sedangkan Krsitus naik ke atas kayu salib justru karena Dia tidak pernah hidup selain bagi Bapa-Nya, dan oleh karena Dia mau taat kepda Bapa-Nya. Kemiripannya, keduanya dikhianati oleh teman dekat (Delila, Yudas), keduanya diserahkan kepada bangsa yang tidak mengenal Tuhan, keduanya disiksa dan dirantai lalu diperhadapkan di muka umum untuk dihina-hina, keduanya mati dengan tangan yang pada dasarnya terpancang, keduanya juga kelihatan seperti dikalahkan oleh musuh, tapi dalam kematiannya sebenarnya keduanya malah menghacurkan musuh yang sejati itu. Dalam kematian Simson, mulai saat itu Israel dan Filistin bermusuhan, Israel tidak mungkin lagi bisa di-asimilasi oleh orang Filistin; sejak kematian Simson, hubungan Filistin dengan Israel hanyalah konflik dan perpecahan. Dalam kematian Kristus, umat Tuhan senantiasa dipisahkan dari kuasa berhala, dari kuasa kematian, dan tidak bisa lagi tercampur.
Saudara lihat, dari antara semua hakim-hakim, hakim Simson ini paling menghidupi pola dari Kristus, pola kemenangan yang datang dalam kekalahan. Inilah pola hakim yang dimulai kisahnya dengan seseorang yang kuat namun ternyata payah, dan diakhiri dengan kisah seorang yang lemah namun ternyata lebih kuat daripada semasa dia hidup. Tetapi kita tidak dipanggil untuk terkagum-kagum pada Simson saja, kita dipanggil untuk melihat pola ini dalam diri Yesus Kristus, karena kisah Simson berakhir dengan kematian dan penguburannya, sedangkan bagi Kristus, kematian dan penguburannya itu malah memulai kisah yang riil, kisah Dia bertakhta atas segala sesuatu. Melihat diri Simson, kita bisa belajar merefleksikan hidup kita; dan melihat diri Simson, kita bisa melihat diri Kristus, dan makin lebih jelas melihat apa yang Yesus kerjakan, dan kita bisa makin menyembah Dia serta mengagumi apa yang Dia kerjakan.
Yang terakhir, pola Simson ini penting untuk kita menyadari bahwa menjadi orang Kristen berarti Saudara dan saya dipanggil untuk mejalani pola yang sama, Saudara tidak dipanggil menjadi orang-orang yang sukses di Gereja; Saudara tidak dipanggil menjadi orang-orang yang hari demi hari gereja Saudara makin sukses juga. Sering kali kita berpikirnya seperti itu; tapi Saudara lihat, menjadi Kristen, kekuatannya adalah ketika kita justru lemah. Hal ini bukan cuma terjadi di permulaannya –karena semua orang Kristen harusnya mulai dengan pertobatan, momen kelemahan, momen kita tahu diri kita tidak sanggup, tidak layak, tidak kuat, tidak mampu, tidak benar, lalu dalam momen seperti ini barulah kebenaran/kekuatan Kristus masuk ke dalam hidup kita –tapi juga muncul dan terjadi dalam perjalanan hidup kita. Orang yang tahu kelemahannya sebagai orang Kristen, baru bisa tahu kekuatan Tuhan dalam hidupnya. Ini bukan cuma muncul di awal lalu kita semakin lama semakin “kuat”. Kita kuatnya adalah di dalam Tuhan, dan kekuatan Tuhan itu nyata sering kali dalam kelemahan.
Kalau mau kita aplikasikan, ini sebabnya waktu Saudara dipanggil untuk melayani, hampir tidak pernah Saudara dipanggil masuk ke dalam area yang Saudara paling kuat. Kapan Saudara diajak pelayanan ke tempat yang Saudara paling confident?? Seumur hidup pelayanmu, kapan Saudara diajak pelayanan ke tempat yang pelayanannya Saudara paling suka?? Kapan Saudara diajak untuk melayani bersama orang-orang yang Saudara paling nyambung?? Hampir tidak pernah, bukan? Dan sekarang Saudara tahu kenapa.
Satu hal yang bisa nyambung dengan khotbah sebelumnya, yaitu mengenai doa –karena kisah Simson yang pertama berakhir dengan doa, dan yang kedua juga berakhir dengan doa– di sini kita juga bisa membicarakan satu hal mengenai doa. Sering kali umat Tuhan memanggil nama Tuhan justru di dalam kelemahan. Di dalam momen hidup kita terasa di ujung tanduk, malah kehidupan doa kita mulai mengalir –sama seperti Simson. Dari sini kita bisa mempelajari apa artinya hidup pelayanan dalam Tuhan. Ketika umat Tuhan mulai menyadari janji keselamatan tidak datang segampang itu, baru mereka mulai memanggil nama Tuhan, itulah doa yang pertama di dalam Alkitab, sebagaimana kita bicarakan di khotbah yang lalu. Dengan bahan yang sama, kita bisa mengidentifikasi apa problem Gereja hari ini, kenapa Gereja hari ini kurang berdoa. Jawabannya, jelas ada banyak faktor –zaman sekarang orang lebih gampang sinis, zaman sekarang kita lebih pragmatis, zaman sekarang kita lebih gampang terdistraksi oleh berbagai hal– tapi yang membuat kita hari ini gagal berdoa, itu bukan soal adanya distraksi yang negatif atau eksternal, melainkan sering kali justru karena kita hari ini mendapatkan pengajaran yang beres dengan sangat mudah. Kita tidak perlu lagi berdoa untuk mendapatkan pengajaran yang beres.
Gary Millar mengatakan, 20-30 tahun lalu saja orang-orang tidak sebegitu gampangnya bisa mendengar khotbah-khotbah yang baik kecuali ada pengkhotbah seperti itu yang datang ke daerah mereka. Saudara bisa ingat, 20-30 tahun untuk bisa mendengar khotbah-khotbah yang baik, kita harus pakai kaset, pinjam kaset, harga kaset mahal, dsb., tapi hari ini kita sudah tidak melakukan itu lagi. Zaman dulu itu kita lihat sebagai zaman yang gelap, karena tiap-tiap orang Kristen susah untuk mendapatkan pengajaran yang baik, mereka hanya bisa mengandalkan pendeta lokal mereka masing-masing. Hari ini Saudara bisa mendapatkan pengajaran yang beres di mana-mana, dari Podcast, buku, Youtube, dsb.; dan Gary Millar mengatakan, sesungguhnya itulah salah satu yang membuat orang Kristen hari ini gagal berdoa. Dalam masa-masa gelap dulu, ketika seorang jemaat hanya bisa mengandalkan pendetanya –yang dia tahu segala kelemahannya, yang dia tahu kapan pendetanya ini capek karena dalam seminggu ada 3 kali penguburan, yang dia tahu kapan anak-anak pendeta ini sakit– justru inilah yang menggerakkan umat Tuhan untuk berdoa. Karena apa? Karena mereka tahu, ‘kalau saya mau dengar firman Tuhan yang baik Minggu ini lewat pendeta saya, saya harus berdoa, saya harus mengandalkan Tuhan, saya harus memanggil nama Tuhan, Tuhan harus bekerja’. Tapi hari ini kita tidak seperti itu. Hari ini kita punya banyak akses ke bermacam-macam Podcast, yang diisi oleh orang-orang super talented yang kita tidak kenal, yang berasal dari tempat-tempat yang kita tidak pernah kunjungi, dari gereja-gereja yang kita tidak pernah ketemu –dan itu sebabnya beda. Waktu kita mendengarkan hal-hal seperti itu, kita ‘gak ngefek lagi, kita tidak peduli apakah Tuhan hadir atau tidak. Kita ‘gak ngefek lagi kerohanian kita seperti apa, kita tidak peduli lagi relasi kita dengan Tuhan di mana. Kita seperti Simson, kita pikir ‘ya sudah, memang Tuhan memberkati kita limpah terus-menerus, dan Dia akan terus memberkati kita seperti itu’. Kita juga tidak peduli gereja seperti apa yang khotbahnya sedang direkam itu, kita tidak peduli kehidupan si pengkhotbah, yang penting adalah rekaman tersebut bagus atau tidak, Podcast ini nendang atau tidak. Kita expect pengajaran yang bagus, lalu kalau Podcast yang ini ‘gak nendang, masih ada banyak Podcast lain yang antri. Millar mengatakan satu kalimat yang bagus, “Itu sebabnya kita hari ini tidak perlu lagi pray, kita hanya perlu pencet ‘play”; antara khotbah dan doa yang kita panjatkan, terputus hubungannya. Dan ketika ini terjadi, apa penyebabnya? Kesuksesan, hidup yang terlalu enak, keuntungan-keuntungan lahiriah, yang pada akhirnya membawa kita rugi secara rohaniah.
Apakah perlu mujizat, hanya untuk seseorang bisa berkhotbah dengan baik? Apakah perlu mujizat untuk Saudara hari Minggu bisa mendengarkan firman yang baik? Jawaban biblikalnya saya rasa, ‘ya, perlu mujizat’, perlu setiap kali, dan oleh sebab itu perlu doa. Ini bukan doa yang bersifat ritual, ini doa yang riil, yang memanggil nama Tuhan, karena ini doa yang datang dari kesadaran bahwa ternyata tidak segampang itu, problemnya lebih besar dari yang kita kira, kita butuh Tuhan untuk bekerja, jika Minggu ini kita mau dengar firman lewat pendeta. Ini cuma satu contoh, poin utamanya adalah bahwa doa tidak lahir dalam situasi momen of strength. Kehidupan rohani kita tidak lahir dari situasi aman damai sejahtera. Kehidupan rohani kita tidak lahir dari situasi ‘O, Tuhan Yesus… Engkau besertaku…’. Doa, kerohanian, kesadaran akan ketergantungan kita kepada Tuhan, itu justru lahir ketika kita tahu bahwa kita tidak sanggup, itu justru lahir dalam momen-momen kelemahan. Orang Kristen, justru kuat dalam kelemahan, inilah artinya.
Orang yang dalam hidupnya tidak pernah belajar putus asa secara kudus, itu adalah orang yang tidak ada kehidupan doa dalam hidupnya. Kalau Saudara menyadari sebesar apa skala pekerjaan Tuhan yang diperlukan bagi hidup kita, bagi hidup orang lain, bagi Gereja Tuhan, bagi dunia ini, dan menyadari ketidakmampuan kita untuk melakukan apapun yang benar-benar ngefek, menyadari seberapa banyak kita butuh hal tersebut, maka itulah yang akan membuat sebuah Gereja berdoa dan terus berdoa. Persekutuan Doa adalah momen di mana kita masuk ke dalam kelemahan. Itulah ritual orang Kristen –senantiasa masuk, berlutut, dalam kelemahan– karena otak kita tidak sanggup mengingat hal itu terus, sama seperti kita tidak ingat benda handphone tidak berguna tanpa internet sampai internetnya putus. Setop beriman pada otakmu, mulailah menggunakan apa yang Tuhan berikan untuk kita lakukan, setiap Sabtu datang berlutut di hadapan Tuhan dalam Persekutuan Doa, karena itulah momen kita lemah. Waktu Saudara berdoa, Saudara lemah, Saudara tidak tahu akan dijawab atau tidak, sama seperti Simson tidak tahu akan dijawab atau tidak. Saudara tidak tahu didengar atau tidak, Saudara seperti bicara ke tembok. Tapi itulah momen kelemahan. Lewat hal itu, kita menyadari seberapa kita benar-benar tidak mampu; dan ketika itu terjadi, justru kehidupan doa muncul. Sampai kapan Saudara tidak mau menyadari hal ini? Sampai kapan kita berpikir ‘saya ikut dalam Gereja karena saya mau makin lama makin kuat, makin jelas, makin pasti, itu idealnya jadi orang Kristen’ ? Tapi itu bukan idealnya orang Kristen; yang Saudara lihat lagi dan lagi dan lagi adalah bahwa Tuhanmu bekerja lewat kelemahan! Ini satu hal yang Saudara tidak bisa lalu mengatakan, “Jadi Tuhanku sadis!”, karena Dia sendiri melakukannya bagi kita.
Dia tahu ini memang pola yang Dia ciptakan, itu sebabnya ketika Dia datang, Dia mengambil pola itu bagi diri-Nya. Dan, kalau Saudara lupa akan hal itu, kiranya Perjamuan Kudus boleh mengingatkan kita, bahwa Allah ini bukan Allah yang cuma menuntut hidupmu hancur dulu barulah ada kehidupan muncul, tapi Allah yang telah menghancurkan hidup-Nya menjadi roti yang terpecah-pecah supaya kita boleh mendapat kekuatan untuk hidup, dan yang mencurahkan darah-Nya untuk menjadi darah yang mengikat kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading