Kita melanjutkan eksposisi kitab Hakim-hakim. Sebelumnya, pasal 14 adalah pasal yang penuh dengan momen-momen Simson tahu hal yang orang sekitarnya tidak tahu. Tapi ini sengaja diperlihatkan justru untuk memperlihatkan hal yang sebaliknya, bahwa Simson justru orang yang paling tidak berpengetahuan, yang paling tidak ada kepekaan, yang tidak peduli dengan janji-janji kenazirannya –dimulai dengan jalan-jalan ke kebun anggur, lalu menyentuh bangkai singa untuk mengorek madu– yang bukan hanya menajiskan dirinya tapi juga membawa orangtuanya tanpa sadar ikutan melanggar janji tersebut, karena di pasal sebelumnya janji kenaziran itu sebenarnya di-share kepada orangtuanya.
Penggambaran Simson, kita lihat sebagai orang yang sangat tidak ada self-control, tidak bisa tahan diri (singa mengaum ke dia, dia langsung balas), tidak bisa berpikir rasional ketika berhadapan dengan wanita yang dia suka (meskipun wanita itu orang Filistin, Simson tidak bisa menolak ketika ditekan urusan teka-teki), dan juga orang yang sumbu pendek, tidak bisa mengontrol murkanya sendiri (dia akhirnya bayar utang dengan cara membantai 30 orang yang tidak bersalah kepada dia). Kita jadi bertanya-tanya, kenapa Tuhan membangkitkan hakim yang seperti ini, dan kenapa Roh Tuhan bekerja melalui orang yang sedemikian hancur?? Jawabannya, itulah yang memang Tuhan lakukan ketika Dia melihat umat-Nya bukan lagi sekadar mengakomodasi dunia tapi mulai mengasimilasi dirinya terhadap dunia, yaitu dengan Tuhan mulai cari gara-gara. Tuhan akan menggunakan justru kelemahan umat-Nya –dalam hal ini pergaulan Simson dengan orang Filistin, nafsu seksnya, sumbu pendeknya, dst.– untuk menciptakan konflik antara umat-Nya dengan dunia, karena sesungguhnya itulah yang dibutuhkan kalau tidak mau umat-Nya ini punah. Aneh. Tapi inilah yang terjadi dari mata Tuhan memandang, yang begitu lain dengan mata umat-Nya memandang, inilah satu bentuk belas kasihan Tuhan atas umat-Nya untuk memastikan tidak ada damai berkelanjutan antara umat-Nya dengan dunia, memastikan umat-Nya tidak bertahan dalam sebuah love affair dengan dunia. Kesimpulannya, Simson ini hakim yang tidak peka dan tidak sadar untuk apa dia dipanggil, hakim yang tidak sadar perannya apa, namun demikian di belakang dia ada Tuhan yang super peka, aware, dan melihat semua; dan Tuhan ini sedang merancangkan semuanya terjadi demi mendatangkan kebaikan.
Di sini Saudara sekali lagi melihat bahwa kitab ini adalah kitab yang concern utamanya tentang ketegangan antara dua jenis cara memandang. Saudara mau memandang seperti cara Israel memandang apa yang baik di mata mereka, atau Saudara mau memandang seperti Tuhan memandang. Kita melanjutkan kisahnya di pasal 15, dan kita lihat ketegangan ini semakin meruncing. Kita akan membagi pembahasannya dalam beberapa bagian.
Ayat 1-8
Dalam bagian ini ada sesuatu yang ditekankan 2 kali, yang sangat jelas dalam bahasa aslinya tapi tidak terlalu jelas dalam terjemahan LAI, yaitu bahwa Simson orang yang sumbu pendek, dan orang sumbu pendek itu biasanya karena dia tidak berpikir panjang. Bukan niat Simson memperpanjang ketegangan antara dia dengan orang Filistin; ini satu hal yang ditekankan dalam bagian ini. Pertama-tama, dari ayat 1 Saudara lihat kemarahannya sudah reda; Simson ini bukan tipe pendendam, dia tipe sumbu pendek yang kalau marah langsung meledak, tapi lalu surut. Dan setelah surut, dia pikir semua orang juga surut seperti dia, maka dia balik mencari istrinya, kemudian dia baru tahu bahwa istrinya telah diberikan kepada best man-nya. Mertuanya lalu menawarkan adik istrinya yang lebih cantik lagi, tapi Simson menolak, karena nafsu balas dendamnya lebih besar daripada nafsu seksnya. Tapi perhatikan kalimatnya di ayat 3: “Sekali ini kalau aku bikin gara-gara, aku tidak salah”. Orang yang balas dendam selalu berpikir ‘saya sudah dicurangi, maka saya balas sekali ini, dan setelah itu selesai’. Namun tentu saja Tuhan, dan kita, tahu bahwa urusannya tidak mungkin berhenti di sini, malah menimbulkan eskalasi. Kembali lagi, ini satu ketidakpekaan Simson.
Simson kemudian membakar ladang gandum orang Filistin, lalu orang Filistin balas dendam terhadap balas dendamnya Simson dengan membakar istri dan mertuanya. Tentu saja balas dendam orang Filistin terhadap balas dendamnya Simson ini, mengundang Simson untuk kembali balas dendam. Tapi sekali lagi perhatikan bahasanya di ayat 7: “Jika kamu berbuat demikian, sesungguhnya aku takkan berhenti sebelum aku membalaskannya kepada kamu”. Di sini terjemahan LAI agak kurang bagus, nuansanya seakan-akan Simson tidak akan berhenti, akan balas dendam terus; tapi terjemahan yang lebih literal seperti ESV atau NASB membuat nuansa yang lain. ESV mengatakan: “If this is what you do, I swear I will be avenged on you, and after that I will quit” —nuansanya di sini seakan Simson mengatakan ‘kalau kamu melakukan ini, aku akan balas dendam; dan begitu aku balas dendam, aku selesai’. Sekali lagi, Simson tidak berniat lama-lama berantem dengan orang Filistin; bahkan setelah eskalasi tembak-menembak dari dua belah pihak, dia masih somehow begitu naif, begitu tidak peka, dia pikir setelah dia balas dendam satu kali lagi maka semuanya akan beres.
Penggambaran karakter Simson di sini bukan cuma dia tidak peka, tapi dia tidak beda dari orang Filistin, saling baku hantam, saling balas dendam. Tidak ada karakter yang beres dalam episode ini. Simson bukan cuma brutal, tapi juga tidak nyambung dengan realitas; dia begitu naif soal balas dendam. Orang Filistin juga digambarkan hancur, mereka balas dendam bukan ke Simson-nya tapi malah ke istri dan mertua Simson. Bahkan karakter lain yang ada di bagian ini, mertua Simson, itupun dihadirkan sebagai karakter yang begitu error, karena bapak macam apa yang menawarkan satu lagi anaknya yang lebih cantik kepada orang yang tadinya dia pikir telah mencampakkan anak pertamanya. Semuanya error. Namun demikian, di balik semua ini Saudara kembali melihat rencana Tuhan mendatangkan konflik telah makin maju dan makin “sukses”.
Di sini kita perlu pause sebentar, mengantisipasi keberatan yang mungkin muncul. Waktu membahas pasal 14 kita bisa sedikit mengangguk-angguk meski agak sungkan, ketika melihat terrnyata Tuhan sengaja menciptakan konflik antara orang Filistin dan Israel karena memang itu yang dibutuhkan; tapi di bagian ini kita bisa tersandung lagi, ‘koq caranya kayak begini sih’, karena kita pikir kalau seorang hitman mafia membunuh, dia ‘kan berdosa dan patut dihukum, tapi bos mafia yang merencanakan pembunuhan itu pasti ‘kan lebih jahat lagi dan harus lebih berat hukumannya, lalu kenapa Tuhan memakai orang-orang yang tidak beda dengan dunia untuk menjalankan renacana-Nya?? Kenapa Tuhan memakai orang seperti Simson untuk menjalankan rencana-Nya seperti itu?? Harusnya Tuhan membatasi diri dong, memakai orang yang baik-baiklah, yang kudus –atau kalau dalam lingkaran kita, yang berteologi beres baru boleh masuk. Sekali lagi, ini bukan keberatan yang baru di dalam kitab ini, kita sudah pernah membahas yang mirip. Ini sudah muncul sejak Ehud yang memakai cara tusuk sembunyi-sembunyi, lalu Yael menipu Sisera. Jadi, kalau Saudara mengharapkan Tuhan hanya menggunakan manusia yang beres baru Dia kerja, maka Dia tidak akan kerja –itu yang pertama. Yang kedua, kalau demikian maka berarti Tuhan adalah Tuhan yang dibatasi manusia, Tuhan yang harus menunggu manusia menolong dan membantu Dia. Tapi ada poin yang ketiga, kenapa Allah Alkitab tidak seperti itu –dan ini paling penting– yaitu karena Allah Alkitab adalah Allah yang beranugerah. Allah yang beranugerah, bukanlah Allah yang baru kerja ketika Dia merespons pekerjaan baik manusia. Ini mungkin sisi gelap, tapi sisi gelap yang perlu kita lihat, bahwa Allah yang beranugerah, Dia beranugerah karena Dia mendahului pekerjaan baik manusia.
Sekali lagi dalam hal ini jangan Saudara tarik kesimpulan yang salah, bahwa ini berarti jadi orang Kristen yang percaya Allah beranugerah artinya tidak penting bagaimana kita berlaku/bertindak, tidak penting apa yang kita percaya, dsb. Jangan tarik ke situ. Ini sesungguhnya adalah ajakan untuk bersukacita, bahwa Allah kita di dalam Alkitab memang diperlihatkan sebagai Allah yang memakai kegagalan-kegagalan engkau dan sayajadi salah satu cara, atau bahan dasar, pekerjaan-Nya. Allah kita adalah Allah yang bisa bekerja dengan kegagalan-kegagalan manusia, menjadi dasar kesuksesan rencana-Nya. Inilah Allah kita; dan kita harusnya bisa bersukacita, dan juga kita harusnya jadi rendah hati menghadapi Allah yang seperti ini karena kita tidak lagi bisa mengatakan, “O, Tuhan tidak bakal bekerja kalau caranya kayak begini; O, Tuhan tidak bakal bekerja sampai kamu melakukan itu”. Salah satu bahaya yang paling besar adalah ketika orang mulai mengatakan, “Harusnya kalau Tuhan itu Tuhan, maka … “. Allah Alkitab tidak pernah bisa dikunci seperti itu. Hal ini sekaligus adalah ajakan untuk bersukacita, tapi juga ajakan untuk kita merendahkan diri di hadapan Tuhan. Kita tidak bisa memperediksi Dia. Inilah gambaran Allah yang muncul lagi dan lagi dalam kitab ini. Tuhan tentu saja bisa bekerja dalam masa-masa banyak hal beres, tetapi Tuhan juga bekerja melalui para pendosa, dan dosa-dosa mereka. Dia menjaga janji-Nya untuk senantiasa mengasihi umat-Nya, di dalam masa-masa umat-Nya itu setia, dan juga di dalam masa-masa umat-Nya itu gelap, hancur-hancuran, bahkan melalui dosa-dosa umat-Nya. Satu hal yang amazing, ternyata gambaran Allah dalam Alkitab adalah: Allah tidak dihalangi oleh dosa kita, dalam menyelamatkan kita, ataupun dalam menggunakan kita. Ini hal yang pertama.
Ayat 9-13
Di bagian ini cerita Simson benar-benar jadi seperti film kungfu, ada reaksi terhadap reaksi, yang adalah reaksi terhadap reaksi yang lain. Balas dendam demi balas dendam. Orang Filistin akhirnya angkat senjata dan mulai menginvasi daerah suku Yehuda. Saudara mungkin pikir, jadinya mission accomplished dong, membikin huru-hara antara umat Tuhan dengan dunia? Tidak secepat itu, Saudara, karena di bagian ini Saudara melihat seperti apa reaksi orang Israel terhadap huru-hara tersebut.
Orang Israel –diwakili suku Yehuda di bagian ini– pertama-tama berinteraksi dengan orang Filistin yang masuk ke daerahnya; mereka bertanya (ayat 10): “Mengapa kamu maju menyerang kami?” Ini menarik. Waktu orang Filistin masuk ke daerah orang Yehuda, orang Yehuda sebenarnya menunjukkan sifat self-control, tanahnya dilanggar tapi tidak langsung nafsu perang; dan ini membongkar dasar self-control mereka, bahwa mereka sebenarnya bingung kenapa bisa ada permusuhan antara orang Filistin dengan mereka. Ini seperti orang tanya, “Kenapa ya, dunia hari ini menyerang Gereja?” Yang mengejutkan, orang Filistin pun ada self-control; pada zaman ketika seorang individu selalu dilihat sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar, mereka tidak kemudian menyamakan diri Simson dengan seluruh orang Israel, mereka bisa membedakan ini. Zaman ini saja sering kali tidak kayak begitu, kalau Saudara dijahati oleh orang dari suku tertentu, sering kali Saudara merasa suku tersebut memang bedebah-bedebah. Tapi orang Filistin tadi tidak seperti itu; mereka bilang, “O, kami tidak ada urusan dengan kamu, suku Yehuda, kami hanya mau tangkap Simson, bukan mau cari gara-gara dengan kalian” —self-control dari dua belah pihdak.
Lalu kedua orang Yehuda itu bertanya kepada Simson; dan kalimatnya juga menarik: “Tidak tahukah hai kamu, Simson, bahwa orang Filistin ini berkuasa atas kita??” Sekali lagi, ini pertanyaan yang membongkar, karena ini berarti pada dasarnya orang Yehuda mengakui satu hal, bahwa tidak bisa dan tidak ada yang namanya dunia dan umat Tuhan bisa coexist bersama-sama secara harmonis. Jika tidak ada konflik antara dunia dan Gereja, itu adalah karena dunia sedang berkuasa atas Gereja; itulah pada dasarnya pengakuan dari orang-orang Yehuda, ‘tidak tahukah kamu bahwa orang Filistin berkuasa atas kita –makanya tidak ada konflik’. Ini kalimat yang dobel ironi karena keluar dari mulut orang suku Yehuda. Kalau kembali ke pasal paling awal, cerita pertama kitab Hakim-hakim adalah cerita bahwa setelah kematian Yosua maka 12 suku itu disuruh melanjutkan penaklukan Kanaan, lalu diceritakan sepak terjang 12 suku tersebut, ada yang sangat sukses, ada yang cukup sukses, ada yang gagal, ada yang membiarkan orang Kanaan tetap tinggal di antara mereka, ada yang membiarkan diri mereka tetap tinggal di antara orang Kanaan, dan ada yang bahkan ditekan balik oleh orang Kanaan tidak bisa maju. Dalam hal ini suku Yehuda adalah yang paling pertama maju, yang paling sukses, yang catatan kesuksesannya 15 ayat sementara kegagalannya hanya 1 ayat; dan 1 ayat kegagalan itu adalah mereka tidak berhasil menghalau penduduk kota-kota sekian karena mereka punya kereta besi –alasan militer, bukan alasan rohani. Inilah suku Yehuda; tapi di pasal 15 suku Yehuda sudah jadi suku yang cuma play safe, cari aman, lebih suka mengikat dan menyerahkan juruselamat mereka, dibandingkan membiarkan juruselamat ini mengusik ketenangan. Jadi, mission not yet accomplished di sini, ada pengendalian diri yang luar biasa ternyata.
Ayat 14-17
Simson dibawa terikat ke Lehi oleh orang-orang sebangsanya; orang-orang Filistin mendatangi dia dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak. Paling tidak, di sini orang Filistin tahu siapa kawan dan siapa lawan, tidak seperti umat Tuhan, suku Yehuda, yang sangat bingung dan tidak jelas siapa kawan siapa lawan, malah mengikat kawan dan berteman dengan lawan. OrangFilistin bisa mengenali siapa yang sesungguhnya kawan dan siapa yang lawan; bagi mereka, Simson mewakili umat Israel asli, umat Tuhan, yang tidak mungkin bisa hidup berdampingan dengan umatnya Dagon. Dan memang benar, Roh Allah berkuasa lagi atas Simson untuk ketiga kalinya, membuat Simson memutuskan tali-tali pengikatnya lalu membantai 1000 orang Filistin dengan senjata yang di-improvisasi. Jadi ternyata ujungnya misi Tuhan berhasil, lebih banyak lagi orang Filistin yang mati di tangan Simson; dan ini memastikan eskalasi kembali berlanjut, usaha diplomatis suku Yehuda tidak ngefek. Atau, benarkah usaha diplomatis suku Yehuda itu ‘gak ngefek??
Coba kita periksa kembali, karena dalam kisah ini kita diajak untuk melihat suatu paradoks. Bagaimana cara Simson dipakai Tuhan menyelamatkan bangsa Israel? Dengan cara Israel menyerahkan Simson ke tangan orang Filistin. Simson pada dasarnya dikhianati oleh bangsanya sendiri. Israel nyaman-nyaman saja di bawah Filistin, merreka menolak kehadiran Simson. Tapi lihat, apa yang justru datang melalui penolakan ini? Simson memang secara rohaninya rendah banget, tapi dia bukan orang bodoh secara militer. Dalam urusan strategi militer, Simson bertanya kepada orang Israel, “Hai, suku Yehuda, kamu mau bunuh aku sendiri?” Mereka mengatakan, “Tidak, kami hanya mau mengikat kamu, lalu menyerahkan kamu ke orang Filistin.” Simson lalu mengatakan, “Oke kalau begitu.” Lalu apa yang terjadi? Karena melihat Simson terikat, orang Filistin bersorak-sorak, mereka mengira Simson sudah takluk; dan ini malah kesempatan bagi Simson untuk membunuh lebih banyak lagi mereka. Lucu, ya.
Saudara lihat ayat 14, kapan Roh Allah berkuasa atas Simson? Justru ketika bangsa Israel menolak Simson, justru melalui pengkhianatan bangsa Israel. Karena bangsa Israel menolak Simson, karena suku Yehuda main diplomasi, karena mereka menolak keselamatan yang datang melalui Simson, justru lewat cara inilah keselamatan datang bagi mereka. Hal yang mereka berupaya untuk menghindarinya, malah terjadi –melalui upaya mereka itu. Jadi, diplomasi Yehuda memang nge-fek, hanya saja tidak seperti yang mereka inginkan. Di sini Saudara jadi melihat sekali lagi tangan Siapa di balik semua ini.
Waktu membaca semua itu, kalau Saudara peka dengan Alkitab, Saudara akan ingat salah satu momen dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam kisah Injil. Misalnya, dalam Yohanes 11:47-48 dikatakan: ‘Lalu imam-imam kepala dan orang-orang Farisi memanggil Mahkamah Agama untuk berkumpul dan mereka berkata: “Apakah yang harus kita buat? Sebab orang itu membuat banyak mujizat. Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma akan datang dan akan merampas tempat suci kita serta bangsa kita.”’ Lalu setelah itu Kayafas, Imam Besar, mengatakan kalimat yang sangat terkenal itu: “Lebih baik satu orang mati daripada satu bangsa binasa” –tepat sekali. Mungkin di sini Yohanes sadar koneksi antara kisah ini dengan kisah Simson, yang bukan terakhir kalinya Tuhan bekerja dengan cara paradoks seperti ini; bangsa Yahudi menolak Juruselamat Yesus Kristus, dan justru lewat penolakan mereka, lewat mereka mengikat Dia dan menyerahkan Dia ke tangan orang-orang Romawi, lewat cara itulah keselamatan turun bagi seluruh dunia. Lucu, ya.
Paradoks yang kita temukan bukan cuma dalam hal umat Tuhan yang sedang diselamatkan, tapi juga dalam penyelamatnya. Kemenangan Simson di bukit Ramat Lehi (=bukit Tulang Rahang) menunjukkan satu paradoks dalam diri Simson juga. Saudara lihat sangat jelas di sini Simson sedang bertindak sebagai seseorang yang melaluinya Allah mau menyelamatkan Israel; namun pada saat yang sama Saudara juga melihat Simson sebagai seseorang yang melaluinya seluruh dosa Israel diwakili sepenuhnya. Paradoks. Saudara melihat Simson mengambil tulang rahang keledai dan membantai 1000 orang, dan itu kelihatan keren, tapi ingat, Simson adalah seorang nazir. Salah satu larangan bagi orang nazir adalah menyentuh mayat, tapi di situ dikatakan yang dia ambil itu tulang rahang keledai yang masih baru, artinya diambil dari mayat keledai yang belum busuk, bukan tulang-belulang yang sudah kering berdebu tertiup angin tapi mayat yang mungkin masih banyak belatung dan lalatnya –dan Simson mengambilnya dari situ. Inilah sikap orang Israel secara keseluruhan, mereka itulah bangsa yang nazir, bangsa yang dikhususkan bagi Tuhan, bangsa yang harusnya mengatakan ‘NO’ atas banyak hal dalam dunia ini, supaya lewat itu, ‘YES’ mereka kepada Tuhan dinyatakan. Tapi, sama seperti Simson, Israel telah mencapai situasi yang mereka tidak lagi ingat dan tidak lagi peduli untuk menjaga jarak dengan hal-hal terlarang. Inilah paradoks dalam kisah Simson, berbagai macam level paradoks. Dari satu sudut, Saudara melihat lewat diri Simson, kuasa Allah sedang bekerja mendatangkan keselamatan; lalu dari sudut yang lain, Saudara melihat lewat diri Simson, kuasa dosa Israel sedang bekerja mendatangkan kehancuran. Dari keseluruhan 12 hakim, Simson pada dasarnya figur yang paling dekat dengan figur Sang Mesias –itu sebabnya Yohanes menggemakan cerita Simson ini– tapi pada saat yang sama Simson adalah figur yang mewakili Israel pada zaman yang Israel begitu hancur. Apa yang bisa kita tarik pelajaran dari bagian ini?
Saya rasa bagian ini satu kesempatan untuk kita refleksi, satu peringatan bagi kita yang mempunyai karunia besar dalam Tuhan, baik secara personal maupun secara gerejani. Di sini ada satu hal yang membingungkan kita, Simson dikatakan Roh Allah bekerja pada dia, okelah awalnya mulai dari dia hancur, karena kita tahu Tuhan bekerja mendahului manusia, tapi koq, Simson bukan bertambah baik, bukan bertumbuh dalam kekudusan?? Simson sudah 3 kali dikuatkan dan diisi oleh Roh Kudus, tapi dia tidak menunjukkan kesabaran atau kerendahan hati atau pengendalian diri sama sekali. Bahkan kalau diperhatikan alurnya, cerita Simson mirip seperti video bikinan orang di Youtube yang isinya ‘berapa korban Rambo dalam film Rambo I’ lalu jawabannya sekian, lalu ‘berapa korban Rambo dalam film Rambo II’ dan angkanya naik, lalu ‘berapa korban Rambo dalam film Rambo III’ dan makin naik lagi. Seperti itulah yang kita lihat dalam alur kisah Simson, korbannya mulai dari seekor singa, lalu 30 orang, dan sekarang 1000 orang Filistin mati –korbannya makin banyak. Makin banyak orang yang bergelimpangan di bawah jejak kaki Simson. Koq, Simson makin hancur?? Kenapa Simson semakin dipakai Tuhan semakin kacau? Kenapa bisa begini?
Satu hal yang kita perlu tahu, di dalam Alkitab ada sebuah pembedaan yang banyak pembacanya tidak sadar, bahwa adalah mungkin Saudara punya karunia-karunia Roh tanpa memiliki buah Roh. Dalam 1 Korintus 12 Paulus menjelaskan mengenai karunia Roh; karunia Roh adalah karunia untuk melayani –karunia untuk melakukan— yaitu karunia mengajar, karunia mengajar, karunia menyembuhkan, dsb. Dalam Galatia 5 Paulus menjelaskan melalui buah Roh; apa itu buah Roh? Buah Roh bukanlah skill untuk melayani, buah Roh bukan apa yang kita lakukan, buah Roh adalah karakter kita, sifat kita —being, bukan doing— yaitu damai sejahtera, kasih, kesabaran, dst. Yang menarik di 1 Korintus 13 Paulus kembali menjelaskan, adalah sangat mungkin punya karunia untuk bernubuat dan berkata-kata segala bahasa malaikat –karunia Roh– tapi tidak punya kasih –buah Roh.
Karena Allah kita adalah Allah yang beranugerah, karena Allah kita adalah Allah yang bukan dibatasi oleh manusia –karena Allah kita adalah Allah yang bekerja dengan cara seperti itu– maka di dalam Alkitab adalah sangat mungkin untuk menemukan orang seperti Simson, dan banyak orang lain seperti dia, yang bisa punya begitu banyak karunia yang begitu hebat tapi dangkal karakternya, tidak mempunyai buah Roh. Ini satu warning bagi kita, menelanjangi kita, bahwa sangat mungkin kita juga demikian. Satu hal yang pasti, bahwa Roh Kudus bisa bekerja begitu hebat dalam diri seseorang –menjadi pemimpin, menolong orang lain, menjadi berkat– tetap bisa ada kemungkinan kehidupan internal orang tersebut begitu hancur. Ketika hal ini terjadi, kita tentunya sedih, tapi kita seharusnya tidak kaget. Bahkan mungkin ada polanya, yaitu orang-orang yang kelihatan begitu impresif di luar, kadang-kadang lebih cenderung punya kehidupan internal yang justru rusak. Ini satu peringatan untuk kita refleksi, yang kita lihat dalam diri Simson. Jadi, apa yang perlu kita lakukan?
Ada beberapa hal. Yang pertama, tentu saja kita perlu mengenali perbedaan (distinction) antara buah Roh dan karunia Roh. Kalau Saudara peka akan perbedaan dua hal ini, Saudara tidak mungkin tergoda untuk merasa diri oke ketika melihat pekerjaan Tuhan datang melalui diri Saudara. Sekali lagi, hal ini dalam level personal maupun level kegerejaan. Bahaya, Gereja yang senantiasa mengatakan ‘kita adalah gerakan satu-satunya yang menginjili ke sana kemari sedangkan yang lain tidak melakukan ini’. So, what?? Yang matter bukan karunianya ‘kan, tapi buahnya. Tapi lihat, betapa ada kecenderungan orang-orang Kristen mengagung-agungkan/mengangkat-angkat karunia Roh yang Tuhan berikan di tengah-tengahnya dan mengatakan, “Di tengah kita ada begitu banyak kebaikan karena Tuhan bekerja di sini”. Ya, Tuhan bekerja di sini; tapi ketika Tuhan bekerja di sini, itu tidak berarti di dalam hidupmu, di dalam pribadimu, di dalam being-mu, Saudara sudah punya buah Roh, tidak tentu. Itulah yang pertama, Saudara perlu mengenali perbedaan antara dua hal tersebut; dan ini seharusnya membawa kerendahan hati.
Yang kedua, kita coba mengenali apa penyebabnya di satu sisi kita bisa punya karunia yang besar tapi di sisi lain kehilangan buah Roh. Ada banyak penyebabnya; satu hal yang bisa kita lihat di bagian ini yaitu bahwa di antara dua belas hakim-hakim dalam kitab ini, Simson figur yang unik, bukan cuma karena dia kuat banget, tapi bahwa Simson adalah hakim yang sendirian. Waktu Otniel pergi berperang, dia pergi dengan seluruh suku-suku Israel. Waktu Ehud pergi berperang, jumlah suku yang ikut mulai menurun. Waktu Debora dan Barak berperang, jumlahnya menurun lagi jadi cuma 2-3 suku. Waktu Gideon pergi berperang, hanya satu suku yang mendukung dia, suku Manasye –sedangkan suku Efraim malah cari gara-gara. Waktu Yefta berperang, bahkan bukan satu suku tapi hanya satu daerah, yaitu Gilead. Dan sekarang, dalam kisah Simson tidak ada suku pun di belakang dia, yang ada malah suku yang mengkhianati dia. Simson begitu sendirian. Tentu di satu sisi kita bisa bilang ini bukan salah dia; namun di sisi lain, inilah salah satu resep menjadi orang yang impresif di luar tapi bobrok di dalam, yaitu jika Saudara pikir Saudara bisa menjadi seorang Kristen sendirian. Simson tidak pernah bikin tim. Simson tidak pernah mencoba untuk mengumpulkan orang-orang yang mencintai Tuhan bersama-sama dengan dia.
Saudara, kenapa hal ini merupakan resep bencana bagi kehidupan rohani orang Kristen? Karena kita adalah sebuah keyakinan/ kepercayaan bahwa jalan Alkitab bukanlah jalan yang setiap manusia masing-masing berelasi dengan Tuhan lalu hari Minggu ngumpul sama-sama. Bukan itu gambaran dalam Kekristenan. Lesslie Newbigin mengatakan, Kekristenan itu unik di antara semua agama dunia karena hal ini. Saudara lihat di dunia Barat, orang Barat itu hyper-individualistic, semua masing-masing sendirian; tetapi di dalam agama Timur –yang katanya lebih komunal– ternyata tidak beda juga. Newbigin pernah melayani di India, maka dia peka akan hal ini. Dia mengatakan, dalam agama Budhisme misalnya, Saudara diajak bermeditasi mencapai satu level yang transenden masuk dalam nirwana, dsb.; dan waktu bermeditasi itu, bisa saja meditasi bersama-sama orang-orang lain, tapi ujungnya sendirian. Waktu Saudara mencapai level budha, transenden, enlightenment itu datang sendirian kepada Saudara; bahkan waktu Saudara benar-benar mencapai nirwana, Saudara mencapai itu ketika Saudara berhasil memutuskan hubungan dengan segala sesuatu yang lain, termasuk dengan diri Saudara. Jadi, baik Timur maupun Barat mempunyai konsep bahwa setiap orang ketika berhubungan dengan yang transenden, berhubungannya masing-masing –lalu mungkin ngumpul sesekali. Dan, banyak orang Kristen mengira Kekristenan seperti ini juga, kita urusannya Juruselamat pribadi dengan Tuhan lalu kita ngumpul bareng hari Minggu. Newbigin mengatakan, “Sorry ya, kamu kalau mau menerima Tuhan, kamu harus terlebih dulu membuka pintu bagi sesama gambar dan rupa Allah”, karena dari siapa Saudara mendengar Injil kalau bukan dari seorang manusia?? Siapa yang menerjemahkan Alkitab buatmu? Siapa yang membawamu ke gereja? Bahkan Saudara mengenal Tuhan karena Saudara dilahirkan ‘kan, lalu siapa yang melahirkanmu ke dalam dunia ini, apa Saudara lahir sendiri? Tentu tidak. Newbigin mengatakan, di dalam Kekristenan, setiap orang Kristen mengalami Tuhan melalui manusia-manusia yang lain, gambar dan rupa Allah yang lain –itu sebabnya semua manusia gambar dan rupa Allah. Tidak ada dari kita yang hidup sebagai orang Kristen dengan sendirian. Kita mengalami Tuhan karena kita mengalaminya melalui manusia yang lain; dan ini sesuatu yang normal di dalam Alkitab. Newbigin melanjutkan, “Bukan cuma waktu menerima Tuhan kamu harus membuka pintu terhadap orang lain, lalu setelah menerima Tuhan kamu boleh tutup pintu terhadap orang itu –tidak demikian; dia akan tinggal di rumahmu dan engkau harus berbagi rumahmu dengan dia bersama-sama selamanya. Itu namanya Gereja”. Itulah Kekristenan.
Satu hal yang kita sering kali salah yaitu berpikir ‘saya bisa jadi orang Kristen hanya dengan datang dengar khotbah hari Minggu, saya mendapatkan firman Tuhan bagi diri saya pribadi, saya merenungkan secara pribadi’, tapi lalu tidak ada relasi dengan orang-orang lain. Satu contoh sederhana, dalam GRII banyak orang komplain ‘di gereja ini tidak ada penggembalaan’. Misalnya itu kita akui, lalu Saudara beralih kepada siapa supaya bisa dapat penggembalaan? Saudara beralih kepada para pendeta, para vikaris, dsb. Itu ngawur. Coba Saudara lihat ideal umat Tuhan, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Apakah idealnya di Perjanjian Lama semua umat Tuhan dapat akses kepada Musa secara langsung? Tidak. Musa awalnya mencoba begitu, menangani semua orang, akhirnya kacau; lalu Yitro, mertuanya, datang dan mengoreksi Musa: “Musa, tidak bisa begini, kamu harus tunjuk beberapa orang di bawahmu untuk menangani; kalau mereka tidak sanggup, baru urusannya naik ke kamu”. Musa menuruti, dan semua jadi lebih beres. Di Perjanjian Baru, para rasul juga mengulangi “kebodohan” yang sama dengan Musa, berusaha menangani semua, pihak ini, pihak itu, dsb., akhirnya kewalahan. Mereka lalu mengatakan, “Tidak boleh begini, tidak boleh kami membengkalaikan pelayanan firman dan doa, untuk melayani meja”. Bukan karena pelayanan meja itu sekunder, tapi justru karena pelayanan meja penting, maka perlu ada orang yang dikhususkan untuk itu. Itu sebabnya mereka mengatakan, “Tolong pilih dari antaramu orang-orang yang cakap, orang-orang yang beriman, yang bertanggung jawab, untuk melayani ini.”
Saudara lihat, dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, idealnya tidak pernah orang langsung berhadapan dengan si pemimpin; bukan dengan cara seperti itu melainkan lewat orang-orang di kiri kanan Saudara, sesama jemaat. Bukankah Reformasi Luther dan Calvin mendobrak hal ini, bahwa tidak ada lagi pemisahan level antara para clergy dan para layman, semua orang bisa punya hubungan langsung dengan Tuhan, karena kita each other; Luther mengatakan “priesthood of all believers”, semua kita imam, pekerjaan Tuhan bukan cuma dikerjakan oleh mereka yang masuk sekolah teologi, tapi semua umat Tuhan. Penginjilan bukan cuma bagian para penginjil, tapi semua kita. Pengajaran bukan cuma bagian para pengajar, tapi semua kita; semua orangtua harus mengajar anak-anaknya, dan semua anak kita harap suatu hari akan jadi orangtua. Lalu, kenapa urusan penggembalaan jadi lain?
Saudara mungkin tanya, ‘kalau begitu lewat apa kami bisa saling menggembalakan?’ Jawabannya: lewat KTB, lewat Gereja. Saya bukan mengatakan ini karena saya malas mengkonseling; orang yang datang untuk konseling dengan saya, sejauh ini saya tidak pernah tolak. Tapi, waktu saya mengkonseling orang, ada kesulitannya; semua hamba Tuhan sehebat apapun, waktu mengkonseling orang pasti ada satu kesulitan yang mereka tidak bisa tangani sendiri. Yaitu apa? Perspektif. Kalau saya dengar cerita seseorang, bagaimanapun juga saya hanya dengar ceritanya dari dia; dan Saudara tahu, dalam setiap cerita/masalah selalu paling sedikit ada dua cerita, dua sudut pandang. Namun apa yang terjadi kalau Saudara KTB sama-sama? Saudara saling mengenal, saling bertumbuh, dan yang terjadi adalah orang-orang semakin melihat diri Saudara, sebaliknya Saudara juga semakin melihat diri mereka. Mereka mengenali apa sifat positifmu, mereka mengenali apa kebiasaan jelekmu, seperti juga Saudara mengenali kebiasaan baik dan kebiasaan buruk mereka. Lalu, ketika suatu hari salah seorang mengatakan, “Gua ada masalah ini, sama orang itu; brengsek dia”; apa yang terjadi? Kalau saya yang dengar, saya hanya bisa bilang, “O, begitu ya; tolong ceritakan lagi” –dan dia terus-terus cerita. Tetapi kalau dalam KTB seseorang cerita seperti itu, Saudara bisa jadi mengatakan, “Sori ya, kita ‘kan sudah kenal lama, dan setahu gua kamu ada masalah ini, jadi mungkin dalam hal tadi kamu yang salah.” Yang lain lagi mungkin mengatakan, “Saya juga setuju, kemungkinan besar kamu yang salah, karena kita tahu kamu ada sifat ini.” Lalu yang lain lagi mengatakan, “Tapi mungkin ‘gak segitunya, karena dia juga ada sifat baik ini, maka mungkin memang itu benar tapi tidak sejauh itu.” Saudara, inilah penggembalaan; dan ini penggembalaan yang saya tidak bisa lakukan. Tapi kenapa semua orang maunya datang ke pendeta? Karena tidak rela membuka diri satu dengan yang lain –karena ingin Kristen jadi agama yang urusannya cuma ‘saya dengan Tuhan’ tok. Saudara tidak bisa jadi orang Kristen sendirian, lihat apa yang terjadi pada Simson. Itu salah satu penyebabnya bisa ada karunia Roh yang besar tapi kehidupan rohani internal tidak ada buah Roh-nya, yaitu karena tidak ada orang yang cukup dekat dengan kita untuk bisa melihat problem rohani kita, dan menguatkan kita, dan menantang kita, dan menegur kita akan hal itu. Coba sekali lagi pikirkan, apakah Saudara bisa mengatakan sudah bergereja hanya dengan datang kebaktian hari Minggu?
Yang ketiga, indikator apa yang sejati untuk mengungkapkan kerohanian seseorang kalau bukan karunia Roh-nya, bukan seberapa dia dipakai Tuhan? Saya rasa, indikator yang paling jelas adalah kehidupan doa seseorang; itulah indikator yang paling jelas bagi kehidupan rohani seseorang, dan juga kehidupan rohani sebuah Gereja. Oleh sebab itu, kita masuk ke bagian terakhir; mari kita lihat kehidupan doa Simson.
Ayat 18-20
Ketika ia sangat haus, berserulah ia kepada TUHAN: “Oleh tangan hamba-Mu ini telah Kauberikan kemenangan yang besar itu, masakan sekarang aku akan mati kehausan dan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak bersunat itu!” …
Tadi kita sudah mengatakan bahwa ini kisah yang begitu banyak paradoksnya; dan paradoks ini berlanjut bahkan sampai bagian yang terakhir. Dari banyak tafsiran yang saya baca mengenai doa Simson ini, umumnya terbagi dua, yang satu lebih positif, dan satunya lagi lebih negatif. Yang lebih negatif, sederhana saja: bahwa Simson, setelah 3 kali dipakai Tuhan dengan begitu luar biasa, akhirnya baru sekarang dia berdoa kepada Tuhan; kurang ajar ini orang! Tuhan sudah memilih dia sebelum dia dilahirkan, Tuhan sudah memberi dia kekuatan berkali-kali, tapi baru sekarang dia berdoa, lagi pula doanya tidak ada kerendahan hati, tidak ada kesetiaan, lalu isinya tuntutan supaya Tuhan menolong dia dan komplain karena dia merasa Tuhan tidak melakukannya; ‘Ngaca hai Simson! Roh Tuhan yang menolong kamu kamu dari singa, Roh Tuhan yang menolong kamu dari kalah taruhan, dan sekarang Roh Tuhan baru saja menolongmu dari 1000 orang Filistin! Engkau ini menggunakan kekuatan Tuhan tapi tidak bergantung pada Tuhan, kecuali dalam situasi-situasi yang ekstrim baru kamu berdoa kepada Tuhan!’ Ini satu hal yang memang benar, karena setelah bagian ini, dia tidak lagi bicara dengan Tuhan secara langsung sampai dengan pasal 16:28, momen ketika Simson sudah buta dan sudah dipenjara, baru dia berdoa lagi kepada Tuhan. Jadi ada benarnya perspektif negatif tersebut.
Tapi ada beberapa penafsir yang memperlihatkan sisi positif karena mereka melihat satu hal: dari kisahnya secara keseluruhan, Saudara lihat problem Israel adalah bahwa orang Israel dalam situasi ekstrim bahkan berseru kepada Tuhan pun tidak, sedangkan Simson berseru dua kali; jadi, bukankah ini sesuatu yang positif. Dalam hal ini, para penafsir bukan melihat hal yang positif lalu menyangkal semua yang negatif tadi, mereka tahu bahwa kehidupan doa Simson tidak ideal –bayangkan misalnya Saudara bicara sama suami atau istrimu hanya ketika ada masalah, sudah pasti itu bukan pernikahan yang ideal. Namun mereka juga melihat satu hal, bahwa dalam bagian terakhir narasi ini Simson akhirnya mengalami sesuatu yang baru, yang dia belum pernah alami sebelumnya, yaitu kuasa yang bertindak melaluinya untuk mendatangkan keselamatan itu menguras banyak dari dirinya; ada penafsir mengatakan, dia haus banget karena dia habis dipakai Tuhan dengan begitu kuat, jadi pasti lemas habis-habisan. Ini antisipasi bagi sesuatu yang nanti terjadi di klimaks ceritanya, namun di sini untuk pertama kalinya Simson menemukan dirinya berada dalam situasi yang dia tidak bisa selesaikan sendiri, untuk pertama kalinya Simson minta sesuatu dari Tuhan karena dia tahu dia tidak bisa menghasilkan itu sendiri –meskipun cara mintanya parah. Dan, Tuhan menjawabnya.
Dengan demikian ini adalah untuk pertama kalinya ada sesuatu yang Simson, si orang naif ini, si orang bodoh ini, si orang tidak peka ini, mulai peka terhadap sesuatu. Saudara melihat ini dari cara dia menamakan tempat mata air tersebut. Dalam kisah ini ada dua kali dia menamakan sesuatu: yang pertama, dia menamakan bukit tempat dia membunuh 1000 orang dengan nama Ramat Lehi (bukit Tulang Rahang) –dinamakan dengan nama senjatanya– dan pada dasarnya itu berarti tujuannya untuk mengingatkan dia sebagai tanda akan kekuatan/kehebatannya, akan apa yang dia lakukan; sedangkan mata air tempat Tuhan memberinya minum, Simson memberi nama dengan nama yang mengingatkan dia bukan pada kekuatannya tapi justru kelemahannya, mengingatkan dia siapa yang sesungguhnya benar-benar in control, siapa yang butuh Siapa, yaitu dengan nama Mata Air Penyeru. Saudara membaca ini sebagai positif atau negatif? Tidak perlu pilih salah satu, karena kelebihan bentuk narasi seperti ini justru membuat Saudara bisa melihat kisah yang sama dengan berbagai lapisan makna yang tidak perlu dipertentangkan, dua-duanya memang ada. Ini bukan cuma perlu dipakai untuk membuat kita refleksi terhadap kehidupan doa kita yang tidak rutin, yang cuma datang dalam situasi-situasi ekstrim –tentu saja itu perlu dibereskan–tapi kita juga bisa melihat suatu encouragement di sini, yaitu memang sih doa yang hanya datang dalam situasi mencekam tidaklah ideal, namun ada satu paradoks, bahwa Tuhan sering kali menggunakan situas-situasi ekstrim seperti ini, situasi-situasi ketika nyawa kita di ujung tanduk dan sebentar lagi putus, untuk malah menghidupkan kehidupan doa kita. Paradoks. Tuhan tidak harus bekerja hanya melalui situasi yang ideal.
Dalam Persekutuan Doa kemarin kita membahas tentang ‘kapan doa dimulai dalam Alkitab; apa doa yang pertama dalam sejarah manusia’. Beberapa orang mengusulkan, doa yang pertama mungkin adalah percakapan Adam dan Hawa dengan Tuhan di Taman Eden. Tapi, percakapan tersebut tidak pernah dihadirkan sebagai doa dalam teksnya, hanya sebagai percakapan normal. Kalau kita lihat Kejadian 3 juga tidak ada. Kejadian 4, Kain dan Habel mempersembahkan kepada Tuhan, tapi juga tidak ada doanya. Jadi kapan kita bisa menemukan dalam kitab Kejadian doa yang pertama, yang kalimatnya benar-benar membuat kita yakin bahwa ini sebuah doa? Jawabannya: di akhir pasal 4. Kejadian 4:25-26, Adam bersetubuh pula dengan isterinya, lalu perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki dan menamainya Set, sebab katanya: “Allah telah mengaruniakan kepadaku anak yang lain sebagai ganti Habel; sebab Kain telah membunuhnya. Lahirlah seorang anak laki-laki bagi Set juga dan anak itu dinamainya Enos. Waktu itulah orang mulai memanggil nama TUHAN. Inilah hari dalam sejarah umat manusia, doa dimulai. Pertanyaannya, kenapa mulainya kehidupan doa umat Tuhan dipicu dengan kelahiran Enos? Enos ini bukan siapa-siapa, tidak ada perannya dalam narasi apapun, namanya cuma muncul 2 kali lagi di seluruh Alkitab, yaitu dalam silsilah, sebagai nama dari ratusan nama, tidak ada catatannya apa-apanya. Jadi membingungkan, kenapa Adam punya anak yaitu Set, lalu Set punya anak yaitu Enos, dan ini lalu memicu kehidupan doa umat Tuhan??
Seorang teolog, Gary Millar, mengatakan ada petunjuk yang membuat kita bisa melihat jawabannya, yaitu kalau kita membayangkan seperti apa ekspektasi pembaca mula-mula ketika membaca bagian ini. Di kejadian 3, Adam dan Hawa jatuh, maka segala sesuatu retak –retak hubungan dengan Tuhan, retak hubungan dengan sesama, retak hubungan dengan alam. Ini tidak beres, harus ada solusinya. Apa solusinya? Yaitu Tuhan berfirman, “Keturunanmu, Hawa, akan meremukkan keturunan ular”. Ini janji-Nya. Jadi, kalau Saudara sebagai pembaca Yahudi mula-mula, Saudara akan langsung memperhatikan siapa anaknya Adam, lalu menemukan di Kejadian 4 Kain dan Habel. Tapi Habel gugur di ronde pertama karena langsung terbunuh, sisanya Kain. Ya, ampun, apa mungkin Kain, yang pembunuh itu, yang membawa janji keselamatan dari Tuhan?? Setelah cerita Kain selesai, ada daftar keturunan Kain yang makin lama makin parah, ada Lamekh yang gila itu. Tapi kemudian di akhir pasal 4 Saudara menemukan ada pengharapan karena Adam punya anak satu lagi, namanya Set. Lalu Set dikisahkan masuk kembali ke Taman Eden, menggedor pintu Taman Eden, menggebuki dua malaikat yang pegang pedang sehingga mererka menyerahkan kuncinya, lalu masuk ke Taman Eden, menemukan si ular, menghajar si ular, meremukkan kepalanya. Tapi Saudara tidak baca itu; yang Saudara baca, Set datang dan pergi, dan satu-satunya tindakan Set adalah punya anak namanya Enos. Enos juga datang dan pergi. Inilah yang memicu umat Tuhan mulai memanggil nama Tuhan. Penjelasan Gary Millar akan hal ini sangat menarik meski agak kontroversial, yaitu bahwa yang memicu umat Tuhan memanggil nama Tuhan, bukanlah suatu kemenangan rohani, bukanlah suatu peristiwa bernuansa positif lainnya; yang memicu orang untuk mulai berdoa kepada Tuhan adalah perasaan keputusasaan. Orang-orang dalam komunitas Adam mulai menyadari, ternyata sang peremuk kepala ular bukan Kain, bukan Habel, bukan Set, dan juga bukan Enos; tiga generasi mereka menunggu, dan mereka mulai menyadari penggenapan janji ini mungkin tidak datang begitu saja, butuh waktu, mungkin problemnya lebih besar dari yang mereka kira, dan mungkin solusinya tidak semudah itu datang. Di dalam situasi seperti ini, mereka mulai memanggil nama Tuhan.
Saudara, hal ini ada banyak implikasinya. Salah satunya, kita jadi sadar bahwa memang ini tidak gampang, karena doa yang pertama pun bukan lahir dari jiwa yang sedang tenang-tenang saat teduh di pagi hari disertai segala perasaan positif, burung berkicau, dsb. Doa justru lahir pertama-tama sebagai teriakan kepada Tuhan di masa ketika manusia mulai merasa putus asa karena menyadari ketidakmampuan mereka –maka mereka memanggil Allah, yang mereka tahu adalah mampu. Bukankah ini pola Injil? Orang menyadari ketidakmampuan, dan bergantung kepada Allah yang mampu. Dalam arti tertentu, ini berarti doa benar-benar terikat dengan Injil; manusia tidak mampu, hanya Allah dalam anugerah-Nya yang sanggup membawa keselamatan. Dengan demikian Saudara bisa melihat abhwa problem Israel dalam zaman Simson bukanlah mereka kurang berdoa secara teratur atau kurang saat teduh, dsb.; tentu saja itu ada, tapi problem mereka yang utama adalah: dalam situasi yang sebenarnya orang sangat putus asa, mereka tidak menyadarinya, maka mereka tidak berseru minta tolong kepada Tuhan. Dalam kehidupan Simson, apakah dia punya kehidupan doa yang ideal? Jelas tidak, tapi Simson punya dasar doa yang ideal! Di dalam narasi yang menggambarkan dia tidak pernah sadar apa-apa, Simson akhirnya menyadari sesuatu, yaitu siapa sesungguhnya yang butuh Siapa. Dia melihat dan menyadari bukan cuma kekuatannya, tapi juga kelemahannya dan ketidakmampuannya dan ketidakberdayaannya. Itu yang menyebabkan dia memanggil nama Tuhan.
Hari ini ada mitos, kalau seseorang berdoa dengan benar, maka doa jadi mudah. Ini bukan ide baru, dan ini ide yang sangat ngawur. Bukan cuma sejak awal Saudara melihat ini, tapi juga bahkan dalam Perjanjian Baru Paulus pernah memberitahu jemaat Kolose mengenai seseorang bernama Epafras, yang adalah model Perjanjian Baru mengenai seperti apa orang yang mengikut Kristus. Saudara tebak kehidupan doa Epafras seperti apa; Paulus mengatakan di Kolose 4:12, “Salam dari Epafras kepada kamu; ia seorang dari antaramu, hamba Kristus Yesus, yang selalu bergumul dalam doanya untuk kamu …”; bahasa Inggrisnya lebih jelas, “… who is always struggling on your behalf in his prayers”. Doa, memang lahir dalam situasi hidup yang susah. Lihat kembali apa yang Saudara baca dalam bagian ini, yaitu paradoks, demi paradoks, demi paradoks, demi paradoks.
Ayat 20, Simson menjadi hakim atas Israel 20 tahun. Makna apa yang kita perlu baca dari ini? Yaitu meskipun Simson begitu dangkal secara moral dan spiritual, penuh dengan motivasi yang ngawur, ego tinggi, pendendam, Allah bagaimanapun juga ternyata menyelamatkan bangsa Israel 20 tahun melalui Simson! Ini setengah generasi; lumayan! Paradoksnya adalah: meskipun Israel melakukan segala sesuatu yang mereka bisa untuk menolak dan membuang sang juruselamat, malah lewat penolakan tersebut, juruselamat itu dipakai Tuhan untuk menyelamatkan mereka. Paradoksnya adalah: meskipun Simson berdoa dari keputusasaan, namun juga keputusasaan ini adalah sesuatu yang Tuhan justru sering pakai untuk menghidupkan kehidupan doa kita. Kita pernah bahas kitab Mazmur, bahwa kitab Mazmur penuh dengan berbagai macam situasi hidup manusia, tapi perhatikan, berapa banyak mazmur-mazmur yang bercerita mengenai kehidupan yang stabil, yang di puncak, yang aman damai? Tentu ada, bukan tidak ada, tapi sedikit sekali, saya hanya bisa menemukan 2 dari 150 mazmur, sementara sisanya adalah momen-momen di bawah, momen-momen hidup yang di ujung tanduk, namun momen-momen seperti inilah yang paling berharga, yang direkam, yang dicatat, dalam kitab Mazmur. Kenapa? Karena momen-momen hidup ketika nyawa kita di ujung tanduk justru sering kali merupakan momen di mana kehidupan doa kita dialirkan oleh Tuhan. Bisakah Saudara melihatnya seperti ini?
Hopefully Saudara bisa mulai melihatnya, karena berkali-kali dalam kitab ini temanya adalah ajakan untuk kita melihat bukan yang baik di mata kita. Pertanyaannya, Saudara berespons bagaimana terhadap berita ini? Seperti siapa Saudara berespons? Saudara berespons seperti suku Yehuda yang mengatakan, ‘kalau begini artinya jadi orang Kristen, ‘gak deh, makasih, mending saya play safe dengan dunia, mending saya cari aman dengan dunia’ ? Saudara jangan salah, tidak ada kata ‘aman’ antara Gereja dengan dunia; jika tidak terjadi konflik antara engkau dengan dunia, itu adalah karena dunia sedang menguasaimu. Tapi kabar baiknya adalah: Allah kita dalam belas kasihan-Nya, tidak akan membiarkan ada perdamaian yang berlangsung lama antara kita dengan dunia. Bisakah Saudara bersyukur kepada Tuhan akan hal ini? Ketika saatnya tiba, bisakah Saudara melihatnya seperti ini?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading