Kita melanjutkan eksposisi kitab Hakim-hakim, kisah Simson, dan sekarang masuk ke pasal 14. Sebelum membaca bagian ini –sedikit summary dari yang sebelumnya– kita membuka pasal ini dengan sarat ekspektasi karena di bagian-bagian sebelumnya panggilan kepada Simson datang bahkan sebelum dia lahir, sementara tidak ada hakim lain yang dipanggil seperti ini. Dalam panggilan Simson kita juga melihat ada elemen-elemen kisahnya yang ternyata merupakan pantulan/gaung dari cara kerja Tuhan memerintah, menghakimi, menyelamatkan Israel dalam kisah 11 hakim sebelumnya, yang semuanya dirajut dalam background panggilan Simson, hakim ke-12 ini. Itu sebabnya kita mengharapkan Simson inilah hakim yang paling klimaks –apalagi angkanya pas, hakim ke-12— lagipula, saat ini adalah saatnya kondisi spiritual Israel paling hancur, kalau sebelum-sebelumnya mereka tidak jelas pertobatannya, entah bertobat atau tidak, kali ini mereka bahkan minta tolong pun tidak. Jadi, dalam situasi yang kita lihat ada bahaya begitu besar, kita mengharapkan ada penyelamatan besar yang Tuhan bawa. Kita mengharapkan seorang hakim yang besar, seorang pemimpin yang hebat –mungkin yang terhebat.
Ekspektasi ini bukan cuma karena melihat apa yang terjadi sebelumnya, tapi juga ketika Saudara membaca apa yang datang sesudahnya, yaitu karena kita sekarang punya Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru ada juga peristiwa malaikat Tuhan datang dan mengumumkan kelahiran Seorang Penyelamat kepada Maria –bahkan dalam kalender Gereja Kristen peristiwa ini ada istilahnya, the Annunciation— dan kita baru sadar pola tersebut sudah ada sejak kisah Simson. Ini sebabnya sebagai orang-orang yang sudah punya Perjanjian Baru, membaca pasal ini ekspektasi kita lebih tinggi lagi dalam hal Tuhan akan menghadirkan pahlawan macam apa. Namun seperti yang sudah-sudah waktu membaca kitab ini, kita perlu mempersiapkan diri akan adanya plot twist dalam kisah ini yang melanggar ekspektasi kita, karena meskipun latar belakang kisah Simson begitu lengkap, menarik, sarat elemen-elemen kisah hakim-hakim sebelumnya, dan juga mempersiapkan kisah ini sebagai hakim yang paling klimaks, tapi ternyata yang ujungnya keluar dari kisah ini tidak kelihatan seperti hakim Israel sama sekali. Itulah yang akan kita temukan dalam diri Simson, yaitu karakter hakim yang paling hancur, yang penuh kekerasan hidupnya, yang impulsif, yang bertindak tanpa mikir, yang kecanduan seks, yang kekanak-kanakan, yang selfish. Tapi ternyata itu bukan plot twist paling parah dari bagian ini, karena satu hal yang mungkin paling mengecewakan atau paling mengganggu buat kita adalah bahwa Roh Allah bekerja lewat orang seperti ini, bahwa Roh Allah sepertinya koq oke-oke saja dengan semua kehancuran Simson, bahkan bekerja melaluinya. Bekerja melalui kemarahan Simson, melalui kesombongannya, melalui nafsu seksnya, melalui bunuh-bunuhannya. Lalu bagaimana kita mengerti akan hal ini? Inilah tantangannya.
Kita akan membahas bagian ini dengan struktur yang diberikan oleh penulisnya sendiri, yaitu membagi jadi 5 bagian, karena seluruh pasal 14 ini ada satu frasa yang diulang sampai 5 kali (yang sayangnya tidak muncul dalam terrjemahan LAI), yang memenggal kisah ini dengan baik jadi 5 bagian, untuk kita bisa membahasnya mengikuti struktur tersebut. Dalam Alkitab LAI, hal tersebut dituliskan ‘Simson (atau orang lain) pergi (ke suatu tempat)’, ini dalam bahasa Ibraninya sebenarnya spesifik yaitu sebagaimana dalam bahasa Inggris dikatakan ‘he went down’ (dia turun ke sini, diia turun ke situ, dsb.). Kata ‘turun’ atau ‘naik’ dalam bahasa Ibrani memang bisa diterjemahkan sebagai ‘pergi’, tapi di dalam Alkitab tidak sesederhana itu, karena misalnya kalau orang pergi berziarah ke Yerusalem, di situ pakai kalimat “mari kita naik ke Yerusalem”; sementara waktu Yunus melarikan diri dari Tuhan, dikatakan ‘dia turun ke Yafo’, lalu ‘dia turun ke kapal’, dan di kapal ‘dia turun ke bagian kapal yang paling bawah’ untuk kemudian tidur —turun ke alam mimpi. Jadi frasa ini bukan frasa yang netral –dan kita akan lihat nanti sedikit demi sedikit.
Selain itu, hal kedua yang akan kita lihat secara struktural adalah bahwa kitab Hakim-hakim ini ada tema-tema tertentunya. Dalam hakim Yefta ada tema ‘kata-kata/perkataan’; dalam hakim Simson ada tema ‘ketidaktahuan’, yang diulang berkali-kali. Di pasal 13 kita sudah melihat ada penekanan berkali-kali tentang orangtua Simson tidak tahu bahwa figur yang mengunjungi mereka adalah Malaikat Tuhan, dsb.; dan itu merupakan permulaan dari apa yang akan muncul terus dalam kisah Simson.
Kita akan membagi pembacaan dan pembahasan ini jadi 5 bagian yang dimulai setiap kali ada kata ‘turun’ (ganti dari kata ‘pergi’ dalam Alkitab LAI):
Bagian pertama: ayat 1-4
‘Simson turun ke Timna dan di situ ia melihat seorang gadis Filistin … Tetapi ayahnya dan ibunya tidak tahu bahwa hal itu dari pada TUHAN asalnya: sebab memang Simson harus mencari gara-gara terhadap orang Filistin. Karena pada masa itu orang Filistin menguasai orang Israel.’
Kata ‘turun’ yang pertama adalah di ayat 1 ini, Simson turun ke Timna dan menemukan seorang gadis yang dia suka, tapi masalahnya gadis ini seorang gadis Filistin. Bahwa gadis ini adalah wanita yang tidak pantas bagi Simson, itu ditekankan 3 kali dalam bagian pertama ini; di ayat 1 narator mengatakan ‘ini gadis Filistin’, di ayat 2 Simson mengatakan ‘aku bertemu seorang gadis Filistin’, lalu ayat 3 orangtua Simson mengatakan ‘gadisnya gadis Filistin?’ Dengan demikian, di satu sisi Saudara lihat seperti ini: di pasal 14 ini akhirnya Simson sudah bertumbuh dewasa, sementara di pasal 13 akhir waktu dia bertumbuh dewasa dikatakan bahwa dia digerakkan/diarahkan oleh Roh Tuhan, tapi koq setelah bertumbuh dewasa sepertinya dia digerakkan oleh sesuatu yang lain, impuls duniawi, atau simply hormon.
Kalimat Simson di ayat 2 waktu dia mengatakan bahwa dia telah melihat seorang wanita, efeknya bukan sekadar ‘aku lihat ada cewek’, tapi seakan-akan ‘baru kali ini kayaknya saya benar-benar lihat yang namanya wanita, dia itu yang benar-benar wanita! aku mau dia! sekarang tolong, Pak, ambilkan dia buatku!’ Orangtua Simson pasti tidak mungkin lupa kalimat dalam pertemuannya dengan Malaikat TUHAN, bahwa Simson dipanggil untuk jadi penyelamat, yang memulai penyelamatan Israel dari tangan orang Filistin, jadi Saudara bisa bayangkan betapa horornya orangtua Simson ketika suatu hari Simson pulang, dan bukannya dia berantem dengan orang Filistin tapi malah ingin menikah dengan salah satu dari mereka.
Perhatikan keberatan dari orangtuanya, mereka mengatakan, “Apa tidak ada wanita lain di tengah-tengah kita hingga kamu musti mengambil istri dari orang-orang yang tidak bersunat?” Ini satu hal yang merupakan kunci, ini bukan keberatan karena rasisme, isunya bukan soal ras, tapi karena sunat adalah tanda dari pengenalan akan Tuhan, tanda mendapat bagian dalam kovenan keluarga Tuhan. Kalau Saudara perhatikan, sunat yang diberikan pertama kali dalam tradisi orang Israel, yaitu kepada Abraham, adalah dengan menyuruh Abraham menyunatkan bukan cuma orang-orang yang lahir dari keluarganya tapi juga semua orang yang ada dalam komunitasnya, termasuk orang-orang yang dia beli, termasuk budak-budak dan keturunan budak-budak tersebut. Abraham punya budak dari banyak tempat, salah satunya dari Mesir, maka Ismael yang lahir dari Hagar sebenarnya adalah orang yang pertama-tama disunat oleh Abraham sebelum Ishak. Jadi menariknya, biasanya kita pikir sunat adalah sebagai pagar pembatas supaya tidak semua orang bisa masuk, sunat menandakan siapa yang di dalam dan siapa yang di luar, tapi sebenarnya tanda sunat pertama sebagaimana diberikan kepada Abraham tujuannya justru untuk membawa masuk orang yang di luar. Tanda janji Tuhan kepada umat-Nya bukanlah berdasarkan ras tertentu; tidak harus keturunan darah Abraham asli baru bisa mendapat bagian dalam kovenan dengan Tuhan. Sunat pada awalnya adalah jalan masuk. Jadi dalam hal ini orangtua Simson bukan rasis atau kolot, karena pembatasan yang Tuhan berikan dalam urusan kawin campur di Alkitab sebenarnya bukanlah urusan pernikahan antar ras melainkan pernikahan silang agama. Dalam Perjanjian Lama pun Musa sendiri menikah dengan Zipora yang bukan orang Israel; dan sesungguhnya dalam salah satu kisah di Keluaran –yang kita seringkali bingung apa artinya– Zipora diperlihatkan lebih peka dalam urusan sunat dibandingkan Musa sendiri; ketika itu Musa tidak menyunatkan anaknya, sehingga Tuhan marah, lalu Zipora yang ambil pisau menyunatkan anaknya, maka Tuhan surut amarah-Nya. Dengan demikian cukup jelas apa yang menjadi taruhan dalam kisah Simson di bagian ini.
Selanjutnya, Simson tidak mau dengar; dan responsnya ini menarik. Dalam bahasa Indonesia kurang jelas; bahasa Indonesianya mengatakan ‘pokoknya ambil dia karena aku suka sama dia’, tapi dalam bahasa aslinya mengatakan ‘ia, gadis ini, baik di pandangan mataku’ –dan sekali lagi ini pola yang sudah berulangkali muncul di Alkitab. Saudara ingat kalimat ‘buah pohon itu baik dalam pandangan Hawa, maka Hawa mengambil dan memakannya’; Abraham mengatakan kepada Sara, “Perbuatlah apa yang kaupandang baik”, lalu Sara menindas Hagar. Jadi hal ini sudah muncul berkali-kali, namun dalam kitab Hakim-hakim kalimat ini mendapatkan signifikansi tambahan, karena dalam kisah-kisah sebelumnya berkali-kali Saudara membaca setiap Israel jatuh ke dalam dosa, kalimatnya adalah ‘Israel melakukan apa yang jahat di mata Tuhan’, dengan demikian implikasinya ‘mereka melakukan apa yang baik di mata mereka’ –dan memang benar kita membaca itu. Belakangan setelah kisah Simson berakhir, dalam dua kisah terakhir kitab Hakim-hakim Saudara membaca adanya refrein yang diulang sampai 4 kali, refrein yang terkenal itu, yang menutup kitab ini yaitu: ‘pada waktu itu tidak ada raja di antara orang Israel, masing-masing melakukan apa yang baik di mata mereka masing-masing’. Ini satu hal yang mengerikan; ini memperlihatkan bahwa orang berbuat jahat di mata Tuhan, itu bukan karena mereka melihat apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang jahat, tapi sering kali karena mereka melakukan apa yang mereka pikir baik di mata mereka. Jadi, Simson bukan cuma orang yang impulsif, yang pokoknya bereaksi terhadap perasaannya atau apa yang dia lihat tanpa refleksi dan tanpa judgement, tapi dia orang yang tidak bisa diajar, orang yang memaksakan pandangannya dan tidak mau melihat pandangan orang lain.
Saudara, hari ini kalau anak bicara balik kepada orangtuanya, itu dianggap normal, tapi dalam zaman Isarel itu tidak demikian, seorang papa punya kontrol absolut terhadap keluarganya. Unit yang terkecil dalam masyarakat Yahudi bukan orang, tapi keluarga, maka dalam keluarga tersebut selera masing-masing harus tunduk terhadap kebaikan bersama, siapa yang akan dinikahi si anak tidak bisa diputuskan oleh si anak sendiri. Omong-omong, kalau Saudara melihat ini negatif, kuno, dan kita hari ini sudah lebih menghargai hak individual untuk menentukan sendiri apa yang kita mau, dsb., di sini kita jadi ingat bahwa mungkin ideal Alkitab bukan seperti itu, ideal Alkitab bukanlah kita masing-masing berlaku sesuai apa yang baik menurut pandangan kita sendiri.
Kalau kita mau bongkar, sebenarnya individualisme modern itu palsu, ilusi; kenapa? Pada zaman dulu unit yang terkecil adalah keluarga, maka dalam keluarga ini tidak bisa masing-masing anggotanya bekerja menurut pandangan mereka sendiri, semuanya harus bekerja demi kebaikan bersama –dan Saudara lihat ini ketinggalan zaman, zaman sekarang setiap individu punya hak untuk menentukan apa yang baik bagi diri mereka. Tapi Saudara jangan berhenti di situ, teruskan polanya, katakan pada tubuhmu, “Silakan tanganku lakukan apa yang baik di matamu, tidak usah pikirkan yang lain; silakan leverku lakukan apa yang baik di matamu, tidak usah pikirkan yang lain”; dan apa yang terjadi? Ketika organ-organ tubuhmu melakukan apa yang baik di mata mereka masing-masing, hasilnya adalah yang hari ini kita sebut kanker. Anehnya, orang-orang individualis tidak mau kanker, mereka mengatakan ‘seluruh badannya harus bekerja untuk mendatangkan kebaikan bersama’, tapi kalau urusan keluarga, komunitas, mereka mengatakan ‘saya harus ada hak untuk diri sendiri’. Yang seperti itu tidak bisa dihidupi sebenarnya, itu bohong, palsu. Ini sedikit intermezzo saja.
Intinya, di bagian ini kita melihat seorang hakim yang di dalam 3 ayat pertama saja karakternya langsung terlihat begitu impulsif, orang yang tidak bisa diajar; dan diri Simson ternyata adalah satu deskripsi yang sangat baik untuk mewakili keseluruhan Israel. Israel inilah yang impulsif, Israel inilah yang unteachable. Hal terakhir di bagian ini, tema ketidaktahuan muncul, orangtua Simson tidak tahu bahwa ini dari Tuhan (ayat 4); dan Saudara perhatikan bagaimana motif tema ini akan berlanjut.
Bagian kedua: ayat 5-6
‘Lalu turunlah Simson beserta ayahnya dan ibunya ke Timna. Ketika mereka sampai ke kebun-kebun anggur di Timna, maka seekor singa muda mendatangi Simson dengan mengaum …. Tetapi tidak diceriterakannya kepada ayahnya atau ibunya apa yang dilakukannya itu.’
Simson turun ke Timna, kali ini bersama orangtuanya; dan ketika melewati kebun-kebun anggur, Simson diserang seekor singa. Apa benar dia diserang? Kalau Saudara jeli, Saudara tidak melihat adanya perkataan yang jelas menyatakan Simson diserang singa, yang dikatakan hanyalah singa itu mengaum, dan auman singa bisa banyak artinya; singa mengaum, itu tidak harus berarti mengancam, bisa juga mengancam tapi bukan berarti berniat menyerang, hanya memperingatkan orang, dsb. Jadi singa ini mungkin sekadar mengaum kepada Simson, lalu kena batunya. Hal lain lagi yang membuat kita bingung, koq orangtua Simson bisa tidak tahu anaknya sudah gebuk-gebukan dengan singa, apakah karena Simson sudah berjalan jauh di depan mereka atau justru jauh di belakang mereka. Tapi yang penting di sini adalah motif ketidaktahuan; orangtua Simson tidak sadar akan hal ini.
Hal lain lagi, kenapa perlu dikatakan mereka ada di kebun-kebun anggur, apa hubungannya? Ini tidak aneh, karena seorang nazir adalah orang yang tidak boleh minum anggur, lalu ngapain dia dekat-dekat kebun anggur. Ini sepertinya satu hint dari sang penulis, mengantisipasi bahwa Simson mungkin tidak terlalu merasa penting akan janji nazirnya.
Bagian ketiga: ayat 7-9
‘Maka turunlah ia ke sana, lalu bercakap-cakap dengan perempuan itu, sebab Simson suka kepadanya. … Tetapi tidak diceriterakannya kepada mereka, bahwa madu itu dikeruknya dari kerangka singa.’
Ini ‘turun’ yang ketiga; dan ini bagian dari perjalanan dia yang tadi, setelah dia membunuh singa, yang dikombinasi dengan ayat 8, ketika dikatakan bahwa dia kembali ke Timna untuk kawin dengan gadis itu. Dan, inilah momen Simson benar-benar melanggar janji nazirnya, dia menemukan madu di kerangka singa yang tadi dia bunuh, dia menciduknya, dan memakannya. Jadi, di daerah kebun anggur, Simson sang nazir, menyentuh mayat; sekali lagi ini stipulasi berikutnya dari janji nazir yang dia langgar. Simson lalu memberikan kepada orangtuanya, dan sekali lagi, orangtuanya tidak tahu bahwa itu datang dari mayat singa. Di sini Saudara mulai melihat ada perkembangan dari motif ‘ketidaktahuan’; sekarang Saudara melihat bukan cuma ada orang-orang yang tidak tahu –orangtua Simson misalnya– tapi bahwa sementara mereka tidak tahu sesuatu, Simson sesungguhnya tahu. Dalam bagian sebelumnya, Waktu Simson diserang singa, orangtuanya tidak tahu tapi Simson tahu; di bagian ini Simson mengambil madu dari mayat (sesuatu yang najis), orangtuanya juga tidak tahu namun Simson tahu. Hal ini mulai berkembang, dan kita akan lihat nanti.
Bagian keempat: ayat 10-18
Setelah ayahnya turun kepada perempuan itu, Simson mengadakan perjamuan di sana, sebab demikianlah biasanya dilakukan orang-orang muda. .. Lalu katanya kepada mereka: “Dari yang makan keluar makanan, dari yang kuat keluar manisan.” Ada tiga hari lamanya mereka tidak dapat memberi jawab teka-teki itu.
Perjalanan ‘turun’ yang keempat adalah perjalanan ayah Simson, Manoah, untuk meminang dan menikahkan Simson dengan gadis tersebut. Kemudian ada pesta di sana, dan Simson mengadakan suatu perjamuan. Sekali lagi, ini satu hint, karena perjamuan nikah seperti ini pasti mengandung anggur dan minuman keras. Simson lalu membuat urusan singa dan madu tadi menjadi teka-teki, yang di awal nuansanya hanyalah main-main di resepsi pernikahan, tapi kemudian permainan ini akhirnya berakibat serius, karena ketiga puluh orang Filistin muda yang bertaruh dengan Simson tidak bisa menebak jawaban teka-teki ini, lalu mulai mengancam istri dan mertua Simson. Mereka mengatakan, kalau mereka kalah maka mereka akan jatuh miskin, padahal mereka ber-30 dan utangnya cuma masing-masing menanggung 1 set pakaian, sementara kalau Simson kalah, dia harus menanggung 30 set pakaian, betul-betul bisa jatuh miskin –ini membuka kepada kita sedikit karakter orang Filistin dalam kisah ini. Sisa kisahnya kita sudah tahu, intinya ini sebuah antisipasi/bayang-bayang terhadap kisah Simson dengan seorang wanita yang lain di pasal-pasal berikutnya; yang terjadi adalah orang-orang Filistin menekan si wanita, si wanita menekan Simson, dan Simson si otot besar itu terrnyata hatinya sensitif, kalah terhadap rengekan wanita. di bagian ini pun ada pola ketidaktahuan yang kembali muncul; Simson tahu jawaban teka-tekinya, orang-orang Filistin tidak tahu. Kalau ini masih belum jelas, kalimat istrinya di ayat 16 membuat ini lebih jelas: “Kamu tidak beritahu aku jawabannya”, lalu Simson melanjutkan, “Mama papaku saja tidak aku beritahu, bagaimana mungkin aku mau beritahu kamu”. Namun lanjutan ceritanya tentunya teka-teki ini akhirnya ketahuan, dan Simson kalah taruhan.
Bagian kelima: ayat 19-20
‘Maka berkuasalah Roh TUHAN atas dia, lalu turunlah ia ke Askelon dan dibunuhnya tiga puluh orang di sana, … Maka diberikanlah isteri Simson itu kepada kawannya, bekas pengiringnya.’
Ini adalah perjalanan ‘turun’ yang kelima dan terakhir, yaitu perginya Simson ke Askelon, kota Filistin yang lain, untuk merampas 30 pakaian yang dia berutang kepada 30 orang Filistin di Timna. Simson bukan cuma merampas, tapi merampas dengan cara membunuh 30 orang Filistin di sana lalu mengambil pakaian-pakaian mereka. Dia membayarnya kepada orang-orang Filistin di Timna, tapi kemudian karena begitu marah berhubung istrinya mengkhianati, maka dia pulang ke rumah ayahnya, tidak tinggal bersama istrinya itu. Di sini Saudara kembali melihat ada yang tidak tahu. Siapa yang tidak tahu? Mungkin kita mengatakan ketigapuluh orang Filistin yang mati tadi, mereka tidak tahu siapa yang menyerang mereka sampai mati; tapi bukan itu. Ketidaktahuan yang terjadi di bagian terakhir ini adalah sebuah pembalikan, karena dalam 4 bagian sebelumnya yang tahu adalah Simson, sepanjang pasal Simson tahu sesuatu yang orang-orang lain tidak tahu, tetapi pada akhirnya Simsonlah yang terbukti sebagai orang yang tidak tahu. Di ayat terakhir, dia tidak tahu istrinya telah diberikan kepada orang lain, yang adalah bekas best man-nya. Bahkan kita sebagai pembaca bagian ini belum tahu juga, karena di ayat-ayat berikutnya yang tidak kita baca itulah ketika Simson mulai kangen dan mau balik mendapati wanita itu, dia baru tahu bahwa istrinya telah diberikan kepada best man-nya.
Kenapa pada akhirnya ada ketidaktahuan yang dijungkirbalikkan seperti ini? Di sini Saudara mulai menangkap maksud penulis untuk mengungkap sesuatu, yaitu Simson yang sejauh pasal ini dihadirkan sebagai orang yang tahu sementara orang lain tidak tahu, sesungguhnya dia sendirilah yang tidak tahu. Ada suatu ketidaktahuan besar dalam diri Simson. Dan, ketika kita mulai tahu hal ini lalu membaca kisah ini lagi berbekal pengetahuan tersebut –seperti kalau nonton film ada plot twist di belakangnya lalu Saudara ulang tonton lagi dari depan– Saudara mulai melihat, sebenarnya dari awal Simsonlah orang yang paling tidak tahu dalam pasal ini, yaitu Simson dari awal tidak sadar panggilannya sebagai seorang hakim dan penyelamat Israel. Dari awal Simson tidak sadar akan signifikansi apa di balik janjinya sebagai seorang nazir. Simson tidak sadar bagaimana relasi dengan seorang gadis Filistin begitu berlawanan dengan seluruh tema kitab Hakim-hakim.
Di awal seri eksposisi ini kita membahas bagaimana setiap hakim sebenarnya ada paralelnya; tujuh hakim yang diceritakan dari 12 hakim, ada struktur kiastik-nya. Dalam cerita Debora dan Barak, ada Sisera, musuh Israel, orang Kanaan, yang kepalanya dipecahkan oleh Yael, seorang perempuan entah dari mana. Lalu paralel dengan itu adalah kisah Abimelekh; musuh Israel ketika itu bukan orang Kanaan tapi orang Israel sendiri, Abimelekh. Abimelekh menerima nasib yang sama, kepalanya pecah oleh sebuah batu kilangan yang dilemparkan seorang wanita yang entah dari mana. Dan Simson, hakim yang terakhir ini, paralelnya dengan hakim yang pertama, yaitu Otniel. Otniel menikah dengan orang dalam, anak Kaleb sang legenda pahlawan Israel. Ini hakim yang paling ideal karena problem Israel sepanjang kitab ini adalah isu kawin campur dan menyatu dengan bangsa-bangsa Kanaan, itu sebabnya Otniel merupakan figur yang ideal, karena inilah figur yang bisa memimpin bangsa Israel, yang mewakili ideal bangsa Israel harusnya seperti apa. Sekarang lihat Simson, ini hakim yang justru mengejar wanita asing; dengan demikian sementara Otniel adalah figur yang mewakili Israel sebagaimana seharusnya, Simson adalah figur yang mewakili Israel sebagaimana adanya –kebalikan dengan Otniel.
Hakim yang terakhir ini begitu mengecewakan. Hari ini orang-orang orang mengidolakan orang yang bisa action, ini sebabnya cerita Simson lebih gampang dibaca dibandingkan hakim-hakim yang lain, karena ini kisah yang banyak action-nya. Kita memang tidak suka dengan orang yang NATO (no action, talk only). Tapi di bagian ini, yang kita temukan adalah orang yang action only, no knowledge, no understanding, no awareness, pokoknya bertindak, dan tindakan-tindakannya sekadar reaktif tok. Tindakan-tindakan Simson di bagian ini cuma reaksi –reaksi melihat cewek cakep, reaksi mendengar auman singa lalu ingin balas mengaum. Lalu bagaimana bisa orang kayak begini menjadi hakim?? Di bagian mana kisah ini kita bisa mengharapkan ada penghakiman yang beres, yang bisa menjadi harapan bagi orang Israel?? Kita melihat dalam kisah ini seorang hakim yang begitu mengecewakan. Namun kemudian kita bilang, “Pak Jethro ‘kan sudah biasa mengajarkan jangan lihat kepada hakimnya tapi lihat kepada Hakim yang di belakang para hakim, itu harapannya”; dan dalam kisah ini memang benar ada kehadiran Roh Allah, jadi mungkin di situ kita bisa menemukan penghakiman yang sejati. Ada harapan jadinya; sampai kemudian Saudara menyadari ‘Roh Allah’ ini muncul di bagian mana.
Di pasal sebelumnya, di bagian akhir, waktu Simson tumbuh dewasa dikatakan Roh Allah menyertai dia; tapi koq, hasilnya anak muda yang nafsu dan hormonal, maka kita bertanya-tanya, ini Roh Allah atau bukan?? Lalu di bagian yang kita baca ini, pertama kali ‘Roh Allah’ muncul adalah ketika ada singa mengaum lalu Simson merespons dengan mencabik-cabik dia –dan kita tidak yakin sebenarnya apakah singa itu benar-benar mengancam Simson. Yang ketiga, yang paling mengganggu adalah ayat 19 tadi, ketika Simson membantai 30 orang Filistin untuk merampas pakaian mereka, dikatakan itu karena Roh Tuhan berkuasa atas Simson. Jadi kita melihat di sini, hakimnya begitu mengganggu, mengecewakan, ‘gak mikir, melanggar janji-janji kenaziran, tidak ada spiritualitasnya sama sekali –namun dalam diri orang yang tidak spiritual ini, Saudara membaca The Spirit of God bekerja. Cara kerjanya bukan dengan memberikan Simson bijaksana Ilahi seperti Salomo, Roh Tuhan juga tidak memberikan kepada Simson hati yang bersih seperti salju yang didambakan Daud dalam Mazmur, tapi Roh Tuhan bekerja dengan memberikan Simson kemampuan untuk membantai 30 orang yang tidak melakukan apapun terhadap Simson! Ini yang paling membingungkan. Bagaimana kita mengerti hal ini??
Saya akan berikan bocorannya, yaitu di ayat 4: ‘Tetapi ayahnya dan ibunya tidak tahu bahwa hal itu dari pada TUHAN asalnya: sebab memang Simson harus mencari gara-gara terhadap orang Filistin. Karena pada masa itu orang Filistin menguasai orang Israel.’ Jadi, ini semua tetap adalah pekerjaan Roh Tuhan karena ternyata Tuhan memang mau cari ribut dengan orang Filistin, karena memang Tuhan dalam situasi/kasus ini menghendaki konflik. Saudara, ini makanan yang perlu ditelan pelan-pelan, kalau telan terlalu cepat bisa tersedak. Pergaulan Simson dengan pihak musuh, itu simply mewakili sikap seluruh bangsa Israel, mereka tinggal di tanah Kanaan, mereka mengakomodasi musuh mereka –dan orang Israel harusnya tidak seperti ini. Orrang Israel harusnya diperlihatkan dalam kontras, dan juga konfrontasi, dengan bangsa-bangsa sekitar mereka, tapi di masa itu Israel sudah begitu mengakomodasi dunia sekitarnya sehingga Israel bukan saja tidak ada konflik dengan mereka tapi juga tidak menginginkan konflik tersebut. Israel tidak mau bikin ombak; sama seperti Simson, Israel ingin, bahkan nafsu, untuk bergaul dan menikah dengan masyarakat Filistin. Saudara, inilah bobot dari ayat 4, alasannya Allah sampai harus cari gara-gara dengan orang Filistin, adalah karena pada zaman itu masyarakat Filistin dan Israel sudah begitu intim, sehingga Tuhan “tidak bisa menemukan” ketegangan di antara mereka, Dia harus membuat ketegangan di antara dua bangsa ini supaya mereka bisa dipisahkan. Itu sebabnya Allah menggunakan Simson, dengan segala nafsunya dan hormonalnya, untuk membawa dia masuk ke dalam konflik besar antara umat-Nya dengan orang Filistin, dan itu sebabnya Dia memberikan Simson kekuatan besar untuk dia menggunakannya. Jadi, benar bahwa tetap ada Seorang Hakim yang bertakhta di belakang semua ini, tetap ada yang menghakimi.
Saudara melihat Simson bukanlah hakim yang kita harapkan, karena Otniel masuk ke tengah-tengah musuh Israel untuk melawan mereka dan menikah dengan gadis Israel yang beriman, sedangkan Simson masuk ke tengah-tengah musuh Israel untuk bergaul dengan mereka, menikah dengan gadis mereka yang tidak mengenal Tuhan. Lebih lagi, kalau Saudara sadar bahwa Timna bukan kota pesisir. Lima kota utama Filistin letaknya di daerah pesisir karena sepertinya orang Filistin berasal dari pulau Kreta dan pulau Siprus, datang ke daerah Kanaan lalu menetap di situ mulai dari pesisir; sedangkan Timna bukan daerah pesisir tapi sudah lumayan masuk ke dalam teritori Kanaan Israel. Dan, bukan cuma orang-orang Filistin tinggal di situ, Simson serta orangtuanya masuk-keluar dengan bebas di kota Timna berkali-kali. Orang Filistin dan orang Israel sudah begitu mapan hidup berdamai, normal, bahu-membahu. Orang Filistin dikatakan berkuasa atas Israel, tapi kuasa mereka kelihatannya bukan penindasan-penindasan seperrti yang sebelumnya, mereka hidup dama-damai saja. Ini mengingatkan kita keunikan kisah hakim ke-12 ini, yaitu Israel sama sekali tidak mengeluh; itu berarti perbudakan Israel di bawah bangsa asing ini mencapai level yang jauh lebih total dibandingkan sebelum-sebelumnya. Di zaman sebelumnya, Israel mengeluh, berteriak –yaitu karena natur penjajahannya bersifat militer dan politik;sekarang, mereka tidak lagi sadar sedang dijajah, karena sifat penjajahannya merupakan sebuah dominasi kultural, dominasi budaya. Bahkan ada kemungkinan menikah dengan seorang Filistin pada waktu itu bukan saja normal tapi sesuatu yang plus, dalam arti seperti waktu Indonesia dalam puncak-puncaknya dijajah Belanda lalu ada orang Indonesia yang bisa dapat “bule”, itu menjamin strata masyarakat dia akan naik. Jadi bukan ekstrim kalau kita mengatakan ini adalah momen Israel benar-benar terancam punah. Bukan karena nyawa mereka terancam, bukan karena mata pencaharian mereka terancam –seperti bagian-bagian sebelumnya- tapi karena jati diri orang Israel terancam, budaya dan spiritualitas mereka terancam. Kalau ini berlanjut terus, dalam satu dua generasi maka anak-anak mereka akan terasimilasi total ke dalam masyarakat Filistin. Itu sebabnya dalam situasi seperti ini, solusinya tidak bisa yang lain selain konflik. Saudara mulai mengerti hal ini?
Kita bisa melihat keadaan ini dengan contoh zaman kita. Alm. Pastor Tim Keler pernah memberikan 2 contoh tentang bagaimana Gereja hari Ini mengakomodasi dunia, mengasimilasi dirinya terhadap budaya dunia. Contoh pertama yaitu gereja liberal, yang kita sudah biasa melihatnya sebagai gereja yang sesat, gerakan yang terlahir dari akomodasi orang-orang Kristen terhadap orang-orang Barat modern yang tidak lagi bisa percaya hal-hal yang supernatural. Di awal abad 20 dengan majunya sains, teknologi, dsb., prediksinya adalah bahwa zaman modern dengan segala kemajuannya akan berangsur-angsur mengakibatkan dunia maju meninggalkan agama-agama, khususnya agama-agama yang masih ngotot percaya hal-hal yang supernatural. Prediksi ini sama sekali salah, karena yang terjadi hari ini, the so called modern western world itu –selebriti-selebritinya– malah beralih ke agama-agama mistik Timur. Meski demikian, pada awal abad 20 ancamannya seperti sangat riil, sehingga banyak Gereja Protestan memulai proyek naturalisasi Alkitab, Alkitab tidak lagi dilihat sebagai hal yang supernatural. Alkitab bukan lagi wahyu Allah yang infallible tapi sekadar kisah-kisah kuno yang inspiratif, yang juga kita perlu buang sedikit-sedikit, misalnya bagian-bagian kekerasannya yang sudah ketinggalan zaman itu. Menjadi seorang Kristen bukan lagi urusan kelahiran baru melainkan menjadi orang yang pokoknya bermoral, menghidupi hidup yang memperjuangkan belas kasihan, keadilan –seperti Yesus, guru moral yang sejati itu. Ini semua mencabut konflik antara Kekristenan dengan dunia, karena akhirnya orang-orang Kristen tidak lagi perlu percaya mujizat, kebangkitan orang mati, dst. Tapi setelah konflik ini dicabut, yang terjadi secara mereka tidak sadari adalah: mereka menjadikan rasionalisme scientific sebagai penguasa atas mereka. Lanjutannya, gereja-gereja mainstream di Barat hari ini mulai mengadopsi etika seks modern, mereka membuang disiplin gereja, dan amit-amit mengatakan ‘Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan’. Pelayanan mereka bersifat terapeutik –kata Tim Keller– dan tidak ada orang dalam gereja itu yang diperingatkan akan penghakiman Tuhan, akan dosa. Dan yang menarik, Tim Keller mengatakan, gereja-gereja seperti ini dijalankan oleh kaum profesional, para expert, sementara kaum awam tidak diajak atau tidak diperlengkapi untuk ikut melayani. Itu salah satu akomodasinya. Kita ini kepingin gereja yang profesional ‘kan, kita ingin ada staf yang dibayar sehingga pelayanan mereka memuaskan; tapi sekarang Saudara baru sadar itu bukan ideal gereja. Bahwa Saudara diperlengkapi, diajak untuk ikut melayani, itu ternyata mungkin salah satu bentuk gereja ideal –tapi Saudara sering tidak sadar itu. Tim Keller melanjutkan, Saudara bisa bayangkan kenapa mereka melakukan hal ini, sederhana saja, yaitu jika mereka mengajarkan penghakiman, kebangkitan dari orang mati, mujizat, maka mereka akan konflik dengan dunia –dan mereka tidak mau itu. Ini contoh pertama, gereja modern mengakomodasi dunia sekitarnya.
Contoh yang kedua, gereja konservatif. Pemberhalaan gereja-gereja konservatif bukanlah sains modern, tapi kecenderungan mengagungkan zaman keemasan yang sudah lewat, budaya-budaya tradisional, otoritas dan hirarki. Tim keller mengatakan, sementara gereja liberal adalah orang-orang yang relativistic, gereja konsevatif adalah orang-orang yang moralistis, absolut/mutlak menjadikan moralitas sebagai berhala, sampai-sampai di hari Minggu yang diperhatikan urusan ‘baju apa yang dipakai’ melampui perhatian terhadap orang-orang miskin yang tinggal di kecamatan yang sama dengan gereja tersebut. Orang-orang konservatif cenderung memberhalakan ketaatan mutlak kepada para pemimpin, pokoknya taat; cenderung melihat ke belakang, tempo dulu, zaman keemasan, dan ingin balik ke situ. Ini mentalitas yang mirip dengan yang ada di gambar-gambar di belakang truk, “Piye kabare, enak zamanku toh.. “. Kadang-kadang gereja konsevatif kayak begini, menempatkan tradisi sendiri sebagai yang paling benar di atas semua orang Kristen yang lain. Dan yang menarik, gereja konservatif cenderung menekankan keluarga sebagai sesuatu yang begitu ideal, sehingga orang-orang single ataupun single parents seakan-akan warga gereja kelas dua. Gereja-gereja seperti ini, jika ada suara yang berbicara menantang rasisme, atau mengusahakan memperjuangkan keadilan bagi orang miskin, atau menantang jemaat untuk merangkul orang-orang yang di luar garis batas moralitas, seperti gay dan lesbian –dan semua itu sebenarnya yang Yesus lakukan, merangkul orang-orang yang di luar garis batas moralitas pada zamannya, pemungut cukai, orang-orang berdosa, dst.– apa yang terjadi? Konflik. Saudara bisa bayangkan kalau hari ini sekumpulan orang banci masuk, beribadah bersama Saudara, apa respons kita?
Saudara lihat, kenapa Tuhan mendatangkan konflik? Kenapa pekerjaan seperti ini di dalam Alkitab bisa disebut sebagai tindakan Roh Allah? Karena ini adalah zaman Israel terancam punah oleh asimilasi, dan mereka tidak sadar akan hal itu, mereka pikir mereka sedang hidup aman damai. Tuhan justru berusaha menyelamatkan umat-Nya dari kebohongan ini, maka tidak heran caranya tidak kurang dengan: konflik. Ayat 4 tadi benar-benar kuncinya, bahwa ini adalah dari Tuhan. Tuhan sedang menggunakan kelemahan Simson, pergaulannya dengan orang Filistin, nafsu seksnya, sumbu pendeknya, untuk membawa Israel masuk ke dalam sebuah konfrontasi dengan Filistin, karena yang dibutuhkan dengan amat sangat pada masa itu adalah pemisahan di antara kedua bangsa tersebut. Sekali lagi, balancing point-nya, ini tidak berarti Tuhan yang meng-instigasi konflik tersebut; ini tidak berarti Tuhan menyeret Simson, yang sebenarnya berhati lembut, lalu Tuhan suruh bunuh singa, kawini gadis Filistin. Sama sekali bukan seperti itu. Setiap tokoh dalam kisah ini bertindak, dan tindakan mereka keluar dari natur hati mereka sesuai kejahatan/kefasikan mereka masing-masing; tapi Tuhan menggunakan, mengolah, mengatur semua itu untuk memastikan bahwa hasil akhirnya dua bangsa ini jadi terasing satu sama lain, supaya Israel bisa dipertahankan dalam keunikan mereka. Kita seringkali melihat bangsa Filistin itu pokoknya bangsa musuh yang perang dengan Israel; tapi perhatikan, itu baru terjadi setelah masa hidup Simson. Di dalam masa hidup Samuel, Daud, sebelum masa Simson, bangsa Israel dan Filistin bergandengan tangan.
Saudara, inilah gambaran akan Allah kita yang diberikan di bagian ini. Gambaran Allah yang unconditional dalam memastikan janji-janji-Nya tergenapi. Allah yang sungguh berjanji untuk mengasihi Israel dengan kasih setia yang tidak akan berubah dan tidak akan batal; dan kisah inilah salah satu bentuknya. Kita bahkan sudah dipersiapkan untuk mengerti hal ini, karena dari awal kitab ini, di Hakim-hakim 2:1, Malaikat Tuhan sudah pernah berfirman, “Aku tidak akan membatalkan perjanjian-Ku dengan kamu untuk selama-lamanya (whatever the cost)”. Saudara lihat di sini gambaran Tuhan yang begitu setia terhadap janji-Nya sehingga Dia akan menepati janji tersebut, bukan hanya meskipun umat-Nya berdosa, tapi juga bahkan melalui dosa umat-Nya. Ini makanan keras.
Kalau Saudara keberatan dengan pola kerja seperti ini, dan mengatakan ini bukan cara biasanya Tuhan bekerja, di satu sisi ada benarnya, karena kisah ini hakim yang ke-12 bukan hakim yang pertama. Tuhan tidak kerja dengan cara ini langsung sejak awal. Ini situasi yang sangat genting, emergency. Ini bukanlah reaksi Tuhan terhadap dosa Israel yang pertama. Tapi balancing point-nya, Saudara lihat pola yang sama di dalam kisah penyelamatan yang paling besar, yaitu kisah Yesus Kristus! Pola ini dilakukan di dalam cerita hidup Yesus. Bapa menggunakan pilihan bebas manusia yang jahat, untuk membawa Yesus naik ke atas kayu salib, supaya lewat semua itu Dia menebus dunia ini —exactly dari kejahatan hati manusia tersebut. Itu cara kerja Tuhan. Dalam hal ini, yang jahat bukan Tuhan; mereka yang jahat, mereka yang berdosa, mereka yang melakukan apa yang benar di mata mereka sendiri, tapi Tuhan mengatur sedemikian rupa sehingga kejahatan mereka ultimately menggenapi rencana penebusan yang Tuhan rencanakan dari awal kitab Kejadian. Jadi meski aneh, kita perlu menerima ini, bahwa tindakan Tuhan mengeksploitasi kelemahan umat-Nya di sini, tujuannya adalah untuk memastikan tidak bisa ada kedamaian antara mereka dengan budaya sekitar mereka –dan itu memang pekerjaan Tuhan.
Kita hari ini, sebagaimana di zaman itu, mendapat satu peringatan untuk jangan coba-coba berdamai dengan dunia ini. Ini bukan satu hal yang bisa Saudara katakan, “O, itu di Perjanjian Lama, sedangkan di Perjanjian Baru sudah berubah”; tidak demikian, Saudara. Saudara bisa baca ini juga di Perjanjian Baru, Yakobus 4:4, “Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.” Ini makanan keras, makanan yang kita tidak suka, tapi ini makanan yang perlu kita dengar, makanan yang perlu kita makan, telan. Kita lebih suka bicara mengenai bagaimana memenangkan jiwa-jiwa, bagaimana kita dipanggil membawa damai; tentu saja itu semua benar. Disclaimer: ini tidak berarti panggilan kita hari ini adalah untuk jadi orang yang cari ribut, itu bagiannya Tuhan. Tuhan yang melakukannya dalam kisah Simson, Tuhan yang mengaturnya di balik layar, karena memang hanya Tuhan yang punya kemampuan untuk mengatur sedemikian rupa sehingga kejahatan orang, yang datang dari hati mereka sendiri, bisa dipakai untuk mendatangkan kebaikan, bisa menjalankan rencana Tuhan. Kita tidak ada kemampuan itu! Jadi bagian ini bukan satu alasan/pembenaran yang bisa dipakai orang-orang yang suka bikin ribut di gereja, “Nah! Ternyata benar ‘kan ada dasarnya, ini sebabnya saya suka bikin konflik di gereja, karena memang gereja hari ini sudah terlalu akrab dengan dunia, jadi orang-orang seperti saya diperlukan!” Tidak bisa melihatnya seperti itu, Saudara, karena di kisah ini orang-orang yang dipakai Tuhan untuk cari ribut itu adalah Simson dengan segala kefasikan hatinya. Apa sekalian saja Saudara mau jadi orang yang meneladani Yudas, dan menganggap Yudas berjasa?? Tidak bisa begitu ‘kan. Yang jadi panggilan kita bukan itu, karena itu bagiannya Tuhan. Jangan kita menempatkan diri di tempatnya Tuhan.
Yang menjadi perenungan kita pada hari ini, adalah untuk menyadari, bukan jadi orang yang tidak tahu; menjadi orang yang menyadari bahwa Tuhan bisa bekerja dengan cara seperti ini dalam hidupmu, dan hidup Gereja. Ketika saatnya tiba Saudara mengalami konflik dengan dunia, ketika suatu hari engkau bentrok dengan dunia, ketika suatu hari engkau dibuang oleh dunia sehingga hidupmu yang tadinya penuh perdamaian dengan dunia lalu berubah berangsur-angsur jadi perang terbuka yang memakan korban, Saudara perlu sadar bahwa itu bisa jadi adalah bentuk dari belas kasihan Tuhan bagi umat Tuhan. Itu yang kita perlu sadari. Atau kita mau jadi seperti Simson, yang pikir kita tahu hal-hal yang orang lain tidak tahu, tapi ujungnya terbongkar bahwa sebenarnya kita ada ketidaktahuan/ketidaksadaran yang besar itu. Sadarilah hal ini, Tuhan yang berbelaskasihan tidak akan membiarkan dunia bertahan dalam relasi pacaran dengan umat-Nya berlama-lama. Tuhan yang berbelaskasihan, bisa memakai cara mendatangkan konflik antara dunia dengan umat-Nya, supaya dengan demikian Dia akan memaksa umat-Nya mengenali bahwa mereka bukan dari dunia ini, bahwa kita punya Juruselamat dan Raja yang lain. Dan, supaya kita pada akhirnya boleh berteriak minta tolong kepada-Nya untuk menyelamatkan kita dan memerintah atas kita.
Sekali lagi, ini mungkin bukanlah metode Tuhan yang pertama –kisah ini hakim yang ke-12, koq— tapi ini termasuk bagian dari cara Tuhan bekerja dalam hidup kita. Apakah kita bisa melihat itu? Atau kita hanya bisa, dan mau, melihat Tuhan bekerja melalui cara-cara yang kita anggap baik menurut pandangan mata kita?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading