Hari ini kita masuk kepada kisah hakim terakhir dalam kitab ini, kisah Simson; dan amazing, ternyata bagian awal kisah Simson ini sangat relevan dengan Baptisan Anak yang hari ini kita lakukan. Kita akan melihatnya bersama-sama.
Ayat 1: Orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN; sebab itu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan orang Filistin empat puluh tahun lamanya. Saudara, ini pola lama yang sama dan sama lagi, maka di sini kita sudah bisa merasakan kira-kira apa rasanya capek ati menjadi Tuhan bangsa Israel, mereka kembali berdosa dan mereka kembali dihukum, seperti yang sudah-sudah. Lagipula sebagaimana kita sudah bicarakan, setiap kali pola ini terjadi, ada sesuatu yang baru juga, ada satu bagian dari pola yang lama yang di-break di sini. Yang pertama, kisah kali ini merespons terhadap kejahatan dan penghukuman Israel bukan dengan serta-merta memperkenalkan kepada kita sang penyelamat yang dibangkitkan Tuhan, tapi mulai dengan sebuah kisah yang seperti tidak berhubungan, yaitu kisah orang tua Simson. Satu hal lagi yang break from the pattern, biasanya kitab Hakim-hakim secara garis besar ada 4P: pemberontakan-penghukuman-pertobatan-dibangkitkannya sang penyelamat; tapi sekarang di kisah ini ada yang hilang, sang penyelamat tidak langsung muncul di sini, dan bagian pertobatan Israel sama sekali hilang dari siklus terkahir ini. Meskipun kita sudah melihat berkali-kali kisahnya adalah Israel jatuh bangun, dan kita sudah mulai curiga sebenarrnya Israel benar-benar bertobat atau tidak, namun tetap saja miris waktu kita melihat dalam cerita hakim yang terakhir ini teriakan minta tolong kepada Tuhan pun sudah tidak ada lagi.
Apa yang bisa kita lihat dari bagian ini? Yaitu adanya eskalasi pola penindasan yang makin lama makin parah. Di awal, Moab menindas Israel, Moab menduduki kota Yeriokho dan minta upeti. Berikutnya, Kanaan menindas Israel, yaitu dengan kereta besi Sisera. Setelah itu lebih parah lagi, karena Midian datang dengan main bumi hangus, sampai-sampai orang Israel harus mengungsi ke gunung-gunung dan gua-gua. Dan sekarang, orang Filistin datang, lalu yang dilakukan orang Filistin adalah suatu penindasan yang paling final dan ultimat, yaitu bahwa pada akhirnya orang Israel boleh hidup damai dengan orang Filistin; mereka tidak lagi merasa perlu minta tolong, karena yang terjadi kali ini bukanlah mereka tertindas melainkan mereka terasimilasi. Ini satu hal yang paling parah, paling kacau. Saudara lihat misalnya di pasal 15, orang-orang dari suku Yehuda –suku yang pada dasarnya paling primer di antara 12 suku Israel– lebih memilih mengkhianati Simson dibandingkan meresikokan harmoni mereka dengan orang Filistin. Lalu di pasal 14, Simson atas kehendak Tuhan dikatakan harus cari gara-gara dengan orang Filistin, kenapa, yaitu karena hubungan mereka dengan orang Filistin sudah begitu smooth. Ini satu hal yang negatif, bukan positif, yaitu ketika umat Tuhan damai-damai begitu saja dengan dunia. Kalau Saudara ingat, di pasal-pasal awal, ketika Israel gagal menghalau bangsa Kanaan dari tanah tersebut, Tuhan memutuskan untuk membiarkan bangsa tersebut tetap bertahan di tanah Kanaan untuk satu tujuan, yaitu supaya orang Israel belajar berperang; jadi paling tidak, lewat konflik yang terjadi dengan bangsa-bangsa sekitarnya, masih ada sedikit positifnya. Tapi sekarang, Israel sudah bisa hidup damai dengan orang Filistin, mereka tidak rasa perlu mengangkat senjata; dan ini justru bentuk pemberontakan mereka terhadap Tuhan yang paling final, mereka telah mengakomodasi cara hidup Filistin, dan juga dewanya, Dagon. Jadi sesungguhnya mereka mulai menghapus sisa-sisa distingsi antara umat Tuhan dengan bangsa-bangsa dunia. Dengan kata lain, ini justru momen yang paling gelap di kitab ini; mereka sudah melewati periode konflik dengan bangsa-bangsa sekitar Kanaan, dan mereka sekarang masuk ke dalam era asimilasi.
Saudara lihat, salah satu cara penulis memperlihatkan semua ini adalah dengan penggunaan nama Tuhan dalam keseluruhan 4 pasal kisah Simson; narator di sini selalu menyebut Tuhan sebagai Allah Yahweh (TUHAN), tetapi kalimat langsung dari orang Israel sendiri waktu menyebut nama Tuhan, mereka hanya pakai Elohim (Tuhan). Bahkan Allah Yahweh sendiri dalam pasal-pasal ini seperti berubah mode, Dia tidak lagi muncul di panggung depan, tapi berubah bekerja di balik layar seperti dalam kitab Ester. Saudara lihat dalam kisah Simson ini, bagaimana Simson 3 kali punya relasi dengan wanita asing, dan setiap kali Tuhan bekerja di balik layar; setiap kali Simson jatuh cinta dengan wanita yang tidak tepat, Tuhan menggunakan ini untuk menjalankan agenda-Nya sendiri.
Namun sekarang kita kembali dulu ke pembukaan kisah Simson ini, di mana Simson sendiri belum muncul, tokoh-tokoh yang kita temukan di sini pertama-tama adalah orangtua Simson. Menariknya, panggilan Tuhan pertama-tama bukan diberikan kepada Simson sendiri melainkan kepada orangtuanya. Kenapa panggilan Tuhan harus dinyatakan kepada orangtua Simson, bahkan sebelum Simson hadir? Ini membuat kita memikirkan ulang mengenai Baptisan Anak. Sering kali dalam Baptisan Anak, kita pikir fokusnya bukan pada anaknya –karena si anak juga tidak bisa memilih– fokusnya adalah pada orangtuanya, mengenai tanggung jawab mereka mendidik anak tersebut, tanggung jawab mereka mewariskan iman kepada anak tersebut, dst. Itu tentu tidak salah, tapi Saudara lihat dalam kisah awal Simson ini, panggilannya diberikan kepada orangtuanya dan bukan kepada Simson, sebenarnya tujuannya bukan untuk menarik perhatian kita dari orangnya (Simson) kepada si orangtua, tapi untuk menarik perhatian kita dari orangnya (Simson), dan dari orangtuanya, kepada Tuhan yang memanggil. Kenapa kisah Simson ini perlu diberitahukan bahwa dia dipanggil bahkan sebelum dia lahir? Sebenarnya kalau kita pikir dalam kedaulatan Tuhan, Ehud, Otniel, dan para hakim lainnya pun sudah pasti direncanakan bahkan sebelum dunia dijadikan, tapi kenapa kali ini perlu diberitahukan secara eksplisit? Yaitu karena di bagian berikutnya Saudara melihat Simson ini karakter yang begitu penuh warna, sepak terjangnya begitu menarik perhatian, sehingga sepertinya penulis merasa perlu membereskan dari awal, bahwa pekerjaan Tuhanlah yang lebih penting di sini dibandingkan sepak terjang Simson. Jadi kalau Saudara terkagum-kagum dengan sepak terjang Simson, Saudara harus diingatkan dari awal, bahwa sesungguhnya yang merencanakan kisah ini sejak awal, bahkan sebelum Simson dilahirkan, adalah Allah. Inilah sebabnya kita membaptisan anak. Inilah makna sebenarnya dari pembaptisan anak.
Kenapa banyak tradisi menolak membaptiskan anak? Yaitu karena mereka merasa baptisan harusnya mengenai pertobatan-mu, mengenai komitmen-mu di hadapan Tuhan, jadi anak-anak yang belum bisa memilih sendiri, ya, jangan dibaptislah. Tapi coba pikir lagi, sejak kapan keselamatan kita adalah urusan pilihan-mu yang terutama? Sebenarnya kalau Saudara melihat sejarah Gereja pun, Saudara menemukan penekanan akan pilihan individual baru di abad ke-19; seribu sembilan ratus tahun setelah Yesus datang barulah penekanan tersebut muncul dalam era revival, kebangunan rohani di Eropa dan Amerika. Pada era tersebutlah baru Saudara menemukan tekanan untuk orang-orang mengambil keputusan secara pribadi menerima Yesus, tapi sebelumnya Saudara tidak menemukan tekanan seperti itu terlalu banyak dalam zaman Calvin atau Luther, dan sudah pasti Saudara tidak menemukan tekanan seperti itu dalam zaman Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Pada zaman-zaman tersebut, yang ditekankan yaitu bahwa keselamatan adalah pilihan Tuhan bagimu. Itu sebabnya waktu kita melihat anak-anak dibaptis, baptisan ini bukanlah lambang dari apa yang anak-anak itu lakukan, atau apa yang orangtua mereka lakukan, melainkan lambang dari apa yang Tuhan lakukan dan yang Tuhan janjikan bagi kita. Itu sebabnya di Kisah Para Rasul, Petrus berkhotbah mengatakan, “Janji ini adalah bagimu dan bagi anak-anakmu”. Itu sebabnya kita membaptiskan anak. Itu sebanya Baptisan Anak adalah masuk akal, sama seperti panggilan Allah kepada Simson tidak harus datang kepada Simson sendiri tapi malah datang kepada orangtuanya. Sekali lagi, tujuannya bukan untuk menarik perhatian kita kepada orangtuanya, tapi kepada rancangan Tuhan, yang melampaui pilihan pribadi seorang manusia.
Kita melanjutkan kisahnya, ayat 2-7. Sekarang Malaikat TUHAN menampakkan diri di rumah Manoah dan istrinya, sepasang suami istri yang mandul, memberitakan mengenai kelahiran seorang anak yang akan menjadi penyelamat Israel. Perhatikan di sini, memberitakan lewat kehadiran seorang Malaikat; ini kitab Hakim-hakim, dan bukan kitab Lukas, tapi Saudara lihat paralelnya –dan nanti di belakang baru kita akan lihat apa sambungannya. Pada dasarnya seluruh pasal ini berurusan dengan bagaimana orangtua Simson deal dengan Malaikat TUHAN. Jadi, kita mau melihat apa yang bisa dipelajari lewat karakter mereka, seperti apa karakter mereka digambarkan, dan apa tujuan penulisnya menarik kita melihat karakter orang-orang ini. Kisah yang di permulaan sepertinya break pattern –karena kisah-kisah sebelumnya tidak pernah diceritakan mengenai orangtua sang hakim– saya harap justru akan memperlihatkan kontinuitas/kesinambungan pekerjaan Tuhan di seluruh kitab ini. Kita coba masuk ke kisahnya.
Malaikat TUHAN mengatakan, bahwa di rumah tersebut akan dilahirkan seorang juruselamat bagi Israel, dan anak ini akan jadi nazir bagi Allah. Aturan bagi seorang nazir ini dijabarkan di Bilangan 6; dan pada dasarnya hidup jadi seorang nazir artinya hidup dikhususkan bagi Allah, itu sebabnya banyak aturan-aturan pembatasannya. Bagi mata kita, aturan-aturan pembatasan tersebut aneh dan terlalu negatif –tidak boleh cukur rambut, tidak boleh minum wine, tidak boleh makan makanan haram, tidak boleh sentuh mayat– tapi sekali lagi, ini membantu kita untuk melihat Baptisan dengan baik, karena baptisan adalah tanda; dan yang namanya tanda, yang penting bukanlah tanda itu sendiri melainkan apa yang dilambangkan oleh tanda tersebut. Demikian sama halnya juga dengan di sini, seorang nazir adalah sebuah tanda; seorang nair mengatakan “no” kepada beberapa hal –seperti minum wine, dsb.– yang sebenarnya oke, tapi perlu ada tanda dengan dia mengatakan ‘no’ supaya justru lewat itu ditunjukkan seberapa besar ‘yes’ atas hal-hal yang lebih penting dari yang ‘no’ tadi. Dalam hal ini analoginya seperti seorang atlet mempersiapkan diri menghadapi suatu lomba, di situ dia berhenti minum alkohol, dia bahkan berhenti tinggal di rumahnya sendiri karena perlu tinggal di kamp pelatihan, dia berhenti menyentuh burger dan kentang goreng. Waktu Saudara melihat atlet melakukan hal-hal ini, Saudara tidak akan mengatakan itu negatif karena Saudara menyadari bahwa apa yang ‘no’ itu, sebenarnya menunjuk kepada apa yang ‘yes’, yaitu dedikasi yang sedemikian positif untuk si atlet bisa menyiapkan diri menghadapi lomba. Dengan demikian satu hal yang kita lihat di sini, bahwa masuk akal seorang anak, yang sebelum lahir sudah dikhususkan untuk jadi penyelamat Israel, akan hidup dengan dedikasi yang sedemikian rupa. Meski begitu, aturan yang Tuhan berikan ini sedikit melampaui apa yang masuk akal karena bukan hanya Simson yang dapat pembatasan sebagai seorang nazir tapi orangtuanya pun harus menjalaninya, dalam hal ini si mama (mungkin karena apa yang dimakan atau tidak dimakan oleh si mama akan diteruskan kepada anak dalam kandungannya). Dan menariknya, yang harus menerima dan mengikrarkan janji ini juga mereka, bukan Simson. Itu sebabnya amazing di hari Baptisan Anak kita mendapatkan bagian Firman Tuhan ini.
Saudara, dengan memanggil hakim ke-12 ini, Allah melibatkan oangtua si hakim dalam level yang begitu tinggi, bahkan mungkin lebih daripada si hakim sendiri, karena sepertinya Allah berfirman secara langsung kepada orangtuanya lebih daripada Allah langsung bicara kepada Simson. Itu sebabnya di sini Saudara melihat, seperti apa orangtua-orangtua yang dipakai oleh Tuhan menjadi orangtua bagi orang yang di pilih Tuhan. Ada dua hal yang menarik di sini, yang pertama, kalau Saudara hitung berapa kali mama Simson muncul dalam ceritanya mulai pasal 12 – pasal 14:9, Saudara akan menemukan bahwa mama Simson, istri Manoah, disebut sampai 19 kali. Peran mama Simson begitu krusial, dia begitu terlibat dalam kisah Simson, namun juga tidak diberitahukan namanya siapa, seakan-akan ini orang yang hidden yang kita tidak tahu namanya siapa. Kitab Hakim-hakim bukan kitab yang anti menyebut nama wanita, di kitab ini kita kenal Debora, dan juga Yael; tapi kenapa wanita ini, mama Simson yang dimunculkan 19 kali itu, seperti tidak ada namanya? Manoah, kita tahu, tapi nama istrinya kita tidak tahu. Lagipula, mama Simson dan suaminya ini adalah pasangan yang mandul. Ini pada dasarnya melanjutkan pola yang sudah-sudah dari Alkitab, yaitu ketika Tuhan datang mengumumkan kelahiran seorang anak yang dipakai Tuhan, ini selalu datang kepada pasangan-pasangan yang paling tidak masuk hitungan, yang bagi mereka hal tersebut bukan cuma tidak disangka-sangka tapi pada dasarnya tidak mungkin! Jadi sini Saudara lihat alasannya orangtua menempati peran sentral seperti itu, adalah supaya perhatian kita beralih dari sang orangtua kepada Dia yang mengumumkan janji ini. Jikalau janji ini sungguh tergenapi padahal orangtua tersebut begitu tidak mungkin, maka kita melihat ini adalah karya Allah semata-mata, bukan karya manusia.
Para orangtua yang hari ini membawa anak-anakmu ke hadapan Tuhan, atau Saudara-saudara yang pernah membawa anak-anakmu, atau yang akan membawa anak-anakmu, ke hadapan Tuhan, waktu Saudara berlutut di sini Saudara rasa cemas-cemas sedap, bagaimana Saudara akan membimbing anak ini, bagaimana Saudara akan mewariskan imanmu, sementara bahkan anaknya John Piper pun bisa begitu kacau dan jatuh begitu dalam melawan papanya sendiri. Tapi inilah poinnya Baptisan; Baptisan bukanlah terutama mengenai kekuatanmu, atau janjimu di hadapan Tuhan –tentu saja hal tersebut ada, maka tadi kita mengucapkan janji, dan orangtua Simson pun harus berjanji juga, harus mengikuti aturan, membatasi ini dan itu– tapi Baptisan melambangkan apa yang mustahil bagi manusia, itu mungkin (possible) di dalam tangan Tuhan. Justru itulah tekanannya, bahwa Tuhan memang berjanji bukan kepada orang-orang yang default most likely to succeed (orang-orang paling mungkin untuk sukses), Tuhan datang kepada orang-orang yang unlikely untuk mengerjakan pekerjaan-Nya.
Ini lebih kuat lagi ketika hal ini pernah Saudara dapati di awal kitab Hakim-hakim. Saudara ingat pola hakim-hakim yang pertama di-set dalam diri Otniel. Siapakah Otniel? Orang yang most likely to succeed, Captain America, jendral perang hebat yang menikah dengan anak dari kegenda Israel, Kaleb himself! Lalu siapa hakim yang kedua? Ehud. Kita ingatnya Ehud ini seorang hakim yang kidal; dan orang kidal bagi kita adalah orang yang tangan kirinya jalan, tapi istilah kidal yang dipakai penulis Ibrani di situ bukan mengacu kepada kemampuan tangan kirinya melainkan bahwa tangan kanannya yang mati. Penekanannya adalah apa yang Ehud tidak mampu lakukan, bukan apa yang dia mampu lakukan –dengan demikian penekanannya adalah pada apa yang Allah lakukan melalui Ehud. Jadi kisah Simson di bagian awal ini mulai menunjukkan kesinambungan dengan kisah-kisah yang sebelumnya, prinsip Ehud muncul kembali dalam kisah Simson.
Kita lanjutkan, ayat 8-14. Di sini Malaikat memberitahukan kepada sang istri, lalu sang istri memberitahukan kepada sang suami, dan sang suami minta kepada Allah untuk mempertemukan kembali utusan Allah tersebut dengan mereka. Ini membuat kita berpikir, apa Manoah ini tidak percaya dengan perkataan istrinya lalu dia minta Tuhan datang lagi untuk memverifikasi perkataan istrinya?? Tapi mungkin tidak seperti itu, karena dalam doa Manoah, Saudara justru melihat imannya: “… datanglah lagi, mengajar kami, apa yang harus kami perbuat kepada anak yang akan lahir itu.” Dari doanya ini Saudara melihat Manoah tidak ada keraguan bahwa mereka akan menjadi orangtua, dia meminta Malaikat datang kembali justru supaya dia bisa tahu harus ngapain dengan anak tersebut. Ini doa yang datang karena niat untuk taat. Dalam arti tertentu kita bisa melihat Manoah ini orang yang simpel, straightforward, jujur, bertanya dengan tujuan untuk taat. Di sini kembali Saudara ingat, kita pernah membaca yang seperti ini sebelumnya dalam kitab Hakim-hakim. Setelah kisah Ehud, ada pola yang mirip seperti ini; Allah berfiman lewat seorang nabiah, dan nabiah ini menyampaikan firman tersebut kepada seorang pria, dan ketika si pria berespons, awalnya kita pikir jangan-jangan dia tidak percaya, jangan-jangan dia mau cari cara untuk kabur, dsb., tapi selidik punya selidik, kalimat sang pria ternyata adalah sebuah kalimat iman, kalimat ketaatan, siap, “Jika engkau pergi besertaku, aku siap untuk pergi; tapi jika engkau tidak pergi besertaku, aku tidak mau pergi” –karena aku tidak mau melangkah satu langkah pun jika bukan dengan penyertaan Tuhan melalui Debora. Itu adalah perkataan Barak. Dan, puluhan tahu setelahnya, kita kembali melihat Manoah berdoa, “Tuhan, datang lagi, ajar kepada kami apa yang harus kami lakukan” –kami tidak mau melangkah tanpa langkah Tuhan. Kisah Debora dan Barak kembali digaungkan dalam kisah Simson.
Berikutnya, bukan cuma Manoah dan istrinya orang-orang yang unlikely, bukan cuma mereka orang-orang yang lurus jujur dan mau taat, kita juga melihat bahkan mereka ini orang-orang yang terbatas (ayat 15-20). Di bagian ini, ada penekanan bahwa Manoah maupun istrinya adalah orang-orang yang terbatas, mereka banyak ketidaktahuan. Istri Manoah waktu pertama kali menemui Malaikat TUHAN, dia tidak tahu kalau itu adalah Malaikat TUHAN, dia hanya mengira ini figur seorang abdi Allah (nabi) yang memang tampangnya mirip Malaikat TUHAN; di situ Saudara baca kalimatnya, “… aku tidak menanyakan dari mana datangnya, namanya tidak kuketahui”. Di ayat 16 Manoah juga dikatakan tidak tahu bahwa figur tersebut adalah Malaikat TUHAN, baru kemudian di ayat 21 ketika Malaikat tersebut naik dalam nyala api korban bakaran, mereka sadar akan hal ini. Bukan saja mereka tidak tahu dan kemudian selesai dengan cara diberitahu, belakangan Saudara lihat ketika Manoah meminta nama kepada figur utusan ini, figur tersebut mengatakan, “Mengapa engkau juga menanyakan nama-Ku? Bukankah nama itu ajaib?” Istilah ajaib di sini bukan memakai kata yang sekadar berarti gaib, tapi dalam arti beyond understanding, beyond comprehension, tidak bisa dipahami. Kata yang sama, misalnya dalam Mazmur 139:6, “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu,… “, lalu implikasinya: “… terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.” Jadi, Manoah bukan hanya ada warna ketidaktahuan, tapi bahkan kalau nama tersebut diberitahu pun, Manoah tidak akan sanggup untuk mengolah, terlalu tinggi untuk pemahamannya.
Saudara lihat, Manoah dan istrinya bukan orang-orang bodoh, mereka dihadirkan sebagai orang-orang yang terbatas, ada hal-hal yang mereka tidak bisa lakukan dan tidak bisa ketahui, ada hal-hal dalam rencana Tuhan yang tidak masuk ke dalam kapasitas mereka. Di sini kembali kita diingatkan, di mana kita pernah membaca mengenai hal ini? Kenapa Allah memakai orang-orang seperti ini untuk menjadi orangtua bagi Simson? Kembali kita ingat kisah Gideon, kisah yang menceritakan ketika Gideon dipanggil Tuhan maka dia mengatakan, “Aku tidak mampu, aku banyak keterbatasan.” Bahkan dalam kisahnya sendiri, Tuhan menaruh lebih banyak lagi pembatasan bagi Gideon; jumlah tentaranya jangan terlalu banyak, dikurangi, lalu setelah dikurangi masih dikurangi lagi. Pembatasan demi pembatasan, sehingga waktu kemenangan itu hadir maka Allah mengatakan, “Supaya orang Israel tidak bisa mengatakan ini semua dari tangan mereka, ini kemuliaan bagi Allah saja”. Jadi Saudara kembali melihat kesinambungan ini.
Bagian terakhir, ayat 21-25. Plot poin terakhir dalam bagian ini adalah ketika mereka telah menyaksikan Malaikat tersebut naik dalam asap korban bakaran, mereka menyadari telah melihat Allah, (ini sebabnya dalam terjemahan LAI ditulis dengan huruf besar, Malaikat TUHAN, the angel of the LORD), sebagaimana figur yang telah menampakkan diri kepada Yakub di Pniel, kepada Yosua, kepada Gideon. Mendengar dan melihat figur ini, berarti mendengar dan melihat Allah sendiri. Manoah lalu jadi ketakutan, dan mengatakan, “Celaka kita, kita pasti mati, sebab kita telah melihat Allah”. Istri Manoah lalu membalas, “Seandainya TUHAN hendak membunuh kita, Dia ‘gak bakal ngomong semua itu, Dia ‘gak bakal berjanji semua itu, Dia ‘gak bakal menerima korban bakaran kita, Dia ‘gak bakal memperlihatkan semua ini kepada kita, Dia ‘gak bakal memperdengarkan hal-hal demikian kepada kita, kalau Dia ingin membunuh kita”. Dengan kata lain, istri Manoah membalas, “Tuhan telah berfirman kita akan mendapat anak, Dia tidak akan menarik janji-Nya dengan membunuh kita sekarang”; dan sekali lagi, di mana Saudara pernah mendengar perkataan seperti itu, ‘aku telah membuka mulutku, dan aku tidak akan menarik kata-kataku’? Di kisah Yefta. Kita sudah pernah membahas, ketika Yefta mengatakan kalimat tersebut, itu adalah janji yang kacau, ngawur; meski demikian kalimat Yefta adalah bayang-bayang –yang suram namun tetap adalah bayang-bayang– yang mengingatkan kepada kita akan Allah, yang ketika membuka mulut-Nya, Dia tidak akan menarik kembali kata-kata-Nya, meskipun itu berarti kematian Anak-Nya yang Tunggal.
Berikutnya, Allah menepati perkataan-Nya, seorang anak dilahirkan, yaitu Simson. Dan, apa yang Saudara lihat? Yaitu kisah yang sebelumnya seperti sebuah kisah yang lain dari kisah-kisah sebelumnya, ternyata menarik begitu banyak benang merah yang menghubungkan dengan kisah-kisah pembangkitan hakim-hakim yang selama ini Saudara baca sepanjang kitab ini, dalam diri hakim yang terakhir ini. Sekali lagi, Saudara lihat siapa yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini? Sudah jelas bukan Simson, karena di sini Simson belum muncul; tapi ternyata juga bukan orangtuanya. Lalu kenapa orangtuanya dihadirkan begitu rupa? Karena lewat orangtua ini, Saudara sedang diperlihatkan mengenai diri Allah di balik itu. Itulah ceritanya, lalu apa pelajarannya yang kita bisa tarik?
Untuk mendiskusikan mengenai implikasinya, kita bisa mundur kembali ke permintaan Manoah kepada Tuhan, yaitu Manoah minta Tuhan datang kembali dengan tujuan Tuhan mengajar kepada mereka bagaimana mendidik anak ini, apa cara hidupnya, bagaimana aturannya –kira-kira seperti itu. Kita kemudian melihat Tuhan mendengarkan perkataan Manoah, Malaikat TUHAN kembali datang; ini berarti, di satu sisi Tuhan berkenan dengan permintaan Manoah. Tapi kita melihat juga di dalam kedatangan-Nya yang kedua itu, Malaikat TUHAN sebenarnya tidak memberikan tambahan informasi apa-apa, Malaikat TUHAN hanya mengulang apa yang Dia sudah katakan sebelumnya. Itu saja. Tidak lebih dari itu. Manoah lalu menawarkan kepada Malaikat TUHAN itu makanan. Ini bisa jadi adalah gestur hospitality Timur Tengah; tapi ada tafsiran yang mengatakan bahwa ini mungkin upaya Manoah untuk membuat figur tersebut berutang kepadanya, karena memberi makan orang pada zaman itu, entah itu manusia atau dewa, itu berarti memiutangi orang tersebut. Jika tafsiran itu benar, ini menjelaskan kepada kita kenapa Malaikat tersebut menolak makan bersama-sama dengan Manoah, sementara di bagian lain oke saja Malaikat makan bersama-sama dengan manusia, misalnya dalam Kej. 18, tentang Abraham. Jadi di bagian ini, Malaikat TUHAN mungkin mengatakan bahwa Dia tidak di bawah kontrol Manoah, Dia tidak akan memberikan kepada Manoah apa yang dia pikir dia perlukan yaitu seperangkat aturan-aturan mengenai bagaimana mendidik Simson. Jadi, kenapa Malaikat TUHAN datang kembali kalau Dia bukan ingin menambah informasi? Apakah ini berarti doa Manoah tidak dijawab? Doa Manoah memang dijawab, karena dikatakan ‘Tuhan mendengarkan’, hanya saja Manoah tidak mendapatkan jawabannya dalam bentuk yang dia inginkan. Dia meminta apa yang menjadi cara hidup anak tersebut, aturannya seperti apa, regulation-nya (ayat 8,12); tapi Allah memberikan kepadanya revelation mengenai Diri-Nya!
Malaikat TUHAN ini kemungkinan besar adalah Pribadi Kedua Allah Tritunggal; ini pada dasarnya adalah momen-momen yang banyak teolog katakan sebagai pernyataan diri Allah sebelum Kristus berinkarnasi (pre-incarnate Christ), dan itu sebabnya Manoah serta istrinya sadar mereka telah melihat Allah sendiri. Itulah yang diberikan kepada mereka, pengenalan akan Siapa yang sedang berbicara kepada mereka ini. Jadi di bagian ini Saudara lihat, Tuhan ditanya, “Bagaimana caranya, Tuhan, mendidik anak ini, yang Engkau berikan sebagai bagian dari rencana-Mu? Tolong beritahu saya dong, guidelines-nya”; dan Tuhan pada dasarnya mengatakan, “O, yang kamu butuhkan bukan informasi tambahan, karena yang Aku beritahu sudah cukup; yang kamu butuhkan adalah: kamu lebih perlu mengenal siapa Diri-Ku –itulah yang kamu perlukan”.
Saudara, ini pelajaran yang sangat kita perlu dengar pada hari ini, karena kita sebagai orang Kristen selalu kepingin aturan demi aturan demi aturan. Kita ingin ada guidelines, GPS rohani, yang membuat kita tahu harus ngapain –apalagi dalam mendidik anak! Kita kepingin dalam sebegitu banyaknya pilihan keputusan yang harus kita buat bagi anak kita, Tuhan beritahu kita harus ke kiri atau ke kanan, karena kalau tidak, kita bingung, bagaimana saya bisa memenuhi janji kepada Tuhan yang dihadirkan di dalam acara Baptisan ini, kalau Tuhan tidak memberikan kepada saya informasi detail mengenai semua itu?? Tapi tidak demikian, Saudara. Tuhan mengatakan, yang Saudara perlukan bukanlah semua aturan dan informasi tersebut, yang Saudara perlukan adalah pengenalan yang dalam akan siapa Tuhanmu; itu akan memberikan kepadamu apa yang engkau butuhkan. Dan, yang namanya pengenalan, itu selalu membutuhkan proses. Saudara tidak bisa simply mengikuti ‘pengenalan’, Saudara harus menerjemahkan ‘pengenalan’. Saudara harus berpikir, ‘jika orangnya seperti ini, maka apa tindakan yang tepat dalam situasi ini, apa tindakan yang tepat dalam situasi yang berbeda’ –Saudara harus berproses. Saudara harus merenung. Inilah pelajaran yang kita sangat butuhkan.
Sebagai orang Kristen kita selalu pikir bahwa kita butuh kejelasan, dalam bentuk peraturan, GPS rohani, ke kiri atau kekanan, tapi sesungguhnya Tuhan berkali-kali mengatakan dalam berbagai tempat, yang engkau butuhkan adalah mengenal diri Allah secara dalam! Allah tidak memberikan –dan tidak akan memberikan– kepada kita satu kunci, textbook, GPS rohani, “In 300 meters, turn left”, untuk menyelesaikan setiap keraguan, setiap belokan, setiap keputusan! Jangankan Tuhan, istri-istri pun tidak sudi memberikan ini. Baru kemarin ini saya dan istri mau pergi ke dokter, istri saya pegang anak, lalu sadar dia belum pakai sepatu. Saya bilang, “Bagaimana caranya pakai sepatu kalau sudah pegang anak kayak begitu??” Dia lalu bilang, “Ya, lu sih ‘gak ambil anaknya!” Saya jadi agak marah, “Lu yang ‘gak ngomong!” –saya inginnya beritahu dong dengan jelas peraturannya. Para istri tidak akan beritahu itu, Saudara; para istri mengharapkan ‘kenallah diri saya dengan dalam, maka kamu tahu harus ngapain dalam situasi seperti apa’. Bukankah begitu? Lalu kenapa Saudara menuntut Tuhan lebih google daripada istrimu??
Inilah yang Tuhan berikan kepada kita, pengenalan akan Diri-Nya; dan pengenalan ini melibatkan kita dalam keseluruhan tubuh kita. Ini menuntut kita memakai otak, dan tidak cuma bergerak ikut komando. Ini menuntut kita untuk diam, dan berpikir panjang. Dan pada akhirnya ini menghasilkan apa? Menghasilkan wisdom! Karena waktu Saudara menggunakan seluruh tubuh Saudara, Saudara jadinya bukan cuma bisa melakukan pekerjaan dengan baik, Saudara bisa mengerti di balik pekerjaan tersebut apa yang baik, apa yang indah, apa yang berkenan, apa yang pleasing, apa yang proper, Saudara bisa kemudianmengambil dan mengaplikasikan hal tersebut dalam hal-hal lain dalam hidupmu. Ini bukan berarti tidak ada peraturan sebagai orang Kristen, tapi Saudara perhatikan, bahwa dalam mendidik anak secara umum bagaimanapun juga toh Saudara akan mengurangi peraturan-peraturan seiring dengan pertumbuhan si anak, bukan? Waktu dia kecil, memang benar Saudara harus temani dia dalam setiap langkah, bahkan setiap gerakan. Jangankan bicara soal steker listrik dan kawan-kawannya, bahkan anak saya pun tidak bisa saya biarkan menggaruk sendiri, karena kalau dia garuk, dia tidak menakar kekuatannya, dan kepalanya bisa bolong-bolong digaruk. Anak-anak itu memang perlu mengikuti perintah-perintah kita, mereka perlu dikonformasi pada perintah-perintah kita, tapi seiring mereka makin dewasa, konformasi harus berubah jadi transformasi. Kita harap mereka semakin mengenal kita, mengenal pikiran kita, values kita, wisdom kita, menyerapnya ke dalam hati dan pikiran mereka sehingga mereka tidak selalu butuh instruksi terus-menerus.
Saudara, kedewasaan berarti ini: orang bergerak dari banyak peraturan eksternal, kepada hal-hal yang bersifat internal, bersifat wisdom. Ini sebenarnya dimulai dengan sangat dini, dalam kehidupan anak-anak, cuma saja kita sering kali tidak sadar. Saya membaca buku parenting yang membandingkan cara mendidik anak dalam berbagai budaya. Anak-anak yang lahir di keluarga-keluarga urban di negara berkembang, mereka malas, tidak mau cuci piring, sulit disuruh mengepel, tidak mau bantu, harus dibikinkan jadwal, dan itu pun masih ngeyel. Penulis buku ini lalu coba meneliti kebiasaan anak-anak yang hidup dalam tradisi/budaya yang lebih terpencil, di suku-suku Inca dan suku-suku Maya; dan dia menemukan, ternyata anak-anaknya begitu berbeda, begitu ingin membantu. Pagi-pagi anak yang kecil bangun, dan dia bukan cek HP tapi cuci piring! Penulis kemudian tanya, “Kamu kenapa cuci piring? Takut dihukum?”; si anak bilang, “Tidak, aku memang mau, koq”. Penulis lalu bilang, “Tapi kakak-kakakmu masih tidur semua”; si anak bilang, “O, mereka sekolah; aku belum sekolah, jadi aku mau cuci piring supaya mereka enak”. Dan bukan cuma satu anak itu, semua anak di tempat itu kira-kira seperti begitu, sangat siap untuk membantu, sangat peka untuk membantu.Kenapabisa kayak begini? Penulis tadi kemudian mengatakan, karena memang sebenarnya anak-anak kecil lahir dengan keinginan untuk berkontribusi; itu sebabnya waktu anak kecil melihat kita ngapain, mereka ingin ikutan. Tapi apa bedanya budaya-budaya tersebut dengan kita? Yaitu: yang dilakukan para orangtua dalam budaya tersebut adalah membiarkan anak-anak membantu, meskipun bantuannya error luar biasa; sedangkan dalam budaya kita, anak-anak ini kita matikan hasratnya itu dengan mengatakan, “Sudah, tidak usah, lu kalau kemari jadi bikin repot gua saja; sudah sana, duduk, tunggu saja! Mana bisalah cuci baju, apalagi masak, ngeri banget!” –dan itu pelan-pelan membunuh hasrat seorang anak untuk berkontribusi dalam keluarga. Orangtua-orangtua dalam budaya tadi, kalau mereka cuci baju, mereka membawa anaknya; dan anak-anak ini dibiasakan untuk mengamati –bukan dengan diberitahu– dan ketika mereka berusaha ikut-ikutan, mereka diperbolehkan, baru kemudian dibenerin sedikit-sedikit. Ini bukan soal diberi mainan, bukan kita masak beneran dan si anak diberi mainan dapur-dapuran. Dalam hal ini anak bisa membedakan, kata penulis tadi, anak bisa tahu bedanya antara pekerjaan yang benar-benar berkontribusi pada keluarga, dan yang cuma main-main tok. Dengan demikian Saudara harus libatkan mereka dalam pekerjaan yang riil; kalau salah, barulah dibenerin sedikit demi sedikit, dan bukan terutama dengan istruksi, melainkan dengan obserrvasi, anak disuruh memperhatikan, melihat, mengulang. Saudara tahu hasilnya apa? Anak-anak ini bukan cuma hasratnya untuk membantu tetap dihidupkan, tapi juga mereka dilatih untuk jadi orang-orang yang peka, orang-orang yang observant. Dikatakan selanjutnya, misalnya suatu hari mereka berburu bersama. Anak-anak itu berbeda-beda umurnya, tapi menariknya dalam event berburu seperti itu, anak yang disuruh paling banyak adalah anak yang paling tidak mampu, yang paling muda. Kenapa? Karena yang umur 11 tahun bisa malu, atau bahkan marah, kalau disuruh; bukan karena malas, tapi karena mereka dilatih untuk peka akan kebutuhan orang, sehingga kalau sampai mereka disuruh dan baru gerak, mereka malu, itu aib, itu berati mereka kurang peka. Luar biasa, ya. Ini bukan berarti tidak ada kesulitannya; si penulis lalu mulai libatkan anaknya yang umur 5 tahun ikut cuci baju. Dimulai dari memasukkan baju ke ember, kucek-kucek –dengan segala error dan tumpah-tumpahnya– lalu tunggu kering –ada tidak sabarnya– lalu setrika –dan bahaya kena setrika– lalu lipat –dan lipatannya hancur luar biasa– sampai akhirnya masuk lemari. Setelah itu, selesai? Tidak. Anaknya kemudian buka lemari, ambil semua bajunya, lempar lagi ke bawah, dan mengatakan, “Come on, mommy, do itu again!”
Saudara lihat, anak begitu kepingin melakukan semua ini, karena hasratnya tidak dimatikan, hasratnya dilatih dan dipertajam, dan anak tumbuh jadi anak yang peka, anak-anak yang mikir, anak-anak yang wisdom. Sorry to say, hari ini di gereja kita tidak menemukan jemaat seperti ini, jemaat selalu tunggu perintah, tunggu aba-aba. Yang terjadi di gereja, orang-orang yang melayani sering kali dipenuhi dengan warna ‘takut’ dalam mengambil keputusan. Sedikit mengamati petugas Perjamuan Kudus, ambil mic untuk doa harus tunggu aba-aba, satu maju ambil tray lalu yang berikutnya masih di bawah tunggu aba-aba. Ini bisa dibilang perkara kecil, tapi begitulah orang di gereja, takut mengambil keputusan, karena tidak mau mikir, hanya mau terima perintah supaya aman, hanya mau terima GPS rohani. Atau sebaliknya bonek, dan kenapa bonek, lagi-lagi karena tidak mau mikir, tidak mau cari apa prinsipnya, sekadar melanjutkan saja kebiasaannya.
Saudara, kita sekarang menyadari alasannya Allah dalam mendidik kita tidak memberikan kepada kita GPS rohani, karena wisdom-lah yang kita butuhkan, bukan informasi, bukan data. Saudara lihat gambaran ideal umat Tuhan di Mazmur 1, yaitu bukanlah mereka yang taat –secara terutama– tapi mereka yang merenungkan Firman Tuhan siang dan malam. Dalam cara yang sama, kita melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian baru; Perjanjian Lama 4/5 Alkitab dan Perjanjian Baru bisa dibilang cuma 1/5. Di Perjanjian Lama Saudara lihat begitu banyak peraturan, urusan apa yang dipakai harus diatur, urusan makan harus diatur; dan yang paling keren, dalam Perjanjian Lama ada yang namanya urim dan tumim. Ini menarik sekali. Tidak pernah jelas bagaimana mekanismenya, tapi intinya ada sesuatu dalam plat baju efod para imam di Perjanjian Lama, yang namanya urim dan tumim, yang sepertinya berfungsi sebagai teknologi rohani untuk mengetahui kehendak Tuhan; kalau jatuhnya begini artinya ‘ya’, kalau jatuhnya begitu artinya ‘tidak’. Sekali lagi, kita tidak tahu persis begaimana cara kerjanya, sepertinya Alkitab sengaja tidak memberitahu kita supaya kita tidak ikut-ikutan yang begituan. Tapi waktu kita melihat yang seperti itu, kita sering kali merasa, “Nah, ini yang kita inginkan sebagai orang Kristen!” Kita kepingin dapat guidance yang sejelas itu, menurut kita teknologi rohani ala Perjanjian Lama itu lebih maju dibandingkan Perjanjian Baru. Seperti Manoah, kita ingin lebih banyak peraturan. Tapi ini salah kaprah, karena justru di dalam Perjanjian Baru, Saudara sudah diangkat menjadi anak; anak yang sedang disuruh untuk ditrasnformasi melalui pembaruan pikiranmu, demikian kata Paulus di Roma 12:2, “Jangan menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan akal budimu”. Menjadi serupa dengan dunia, di sini pakai istilah conform, dalam arti jangan ikut-ikutan dengan dunia ini, jangan karena dunia bergerak ke arah mana lalu kamu jadi ikut juga, tidak mau mikir; sebaliknya transform ((berubahlah) oleh pembaharuan pikiran. Saudara, menjadi orang Kristen tidak bisa lari dari ini.
Kenapa di zaman Perjanjian Baru kita tidak lagi terlalu banyak mendapatkan resep? Karena kita mendapatkan Roh Kudus; melalui Roh Kudus, kata Paulus di 1 Korintus 2:16, kita mendapatkan pikiran Kristus, bukan peraturan-Nya tapi pikiran-Nya. Saudara mendapatkan pengenalan, di dalam Perjanjian Baru; pengenalan yang jauh lebih jelas daripada semua gambaran pahlawan-pahlawan rohani dalam Perjanjian Lama. Saudara melihat apa yang Dia lakukan ketika Dia turun ke dunia, mati di atas kayu salib, bangkit pada hari yang ketiga, naik ke sebelah kanan Allah. Kita sudah membahas ini berkali-kali, betapa gambaran dari apa yang Yesus lakukan itu begitu kaya, begitu tidak habis-habis kita gali, untuk membuat kita menyadari bagaimana kita hari ini hidup. Inilah yang menjadi panggilan kita sebenarnya.
Kalau Saudara ke Jepang sebagai turis, Saudara tersesat lalu tanya kepada orang Jepang harus ke mana, mereka punya teknologi keren namanya map, isinya kertas-kertas berisi pertanyaan-pertanyan secara umum, dan di atas tulisan pertanyaan bahasa Inggris ada bahasa Jepangnya, jadi Saudara tinggal tunjuk yang mana pertanyaan Saudara, maka si orang Jepang bisa lihat lalu tunjuk jawabannya dan perlihatkan kepada Saudara, dan Saudara bisa baca bahasa Inggrisnya —teknologi mutakhir. Tapi apa yang lebih baik daripada itu? Yaitu belajar mengenal bahasa Jepang; kalau Saudara mengenal bahasa Jepang, Saudara tidak perlu itu semua. Saudara, sering kali itulah gambaran kerohanian kita, kita tidak mau belajar mengenal, kita tidak mau mendalami. Dan, apa problemnya? Kita malas. Kita tidak ingin mengenal, kita inginnya GPS rohani.
Saudara, inilah sebabnya yang Saudara baca dalam bagian akhir dari kisah ini ujungnya bukan mengenai Simson, bukan mengenai orangtuanya, tapi mengenai karya Tuhan, diri Tuhan, karakter Tuhan, di balik semua itu. Cerita mengenai Manoah dan istrinnya yang seperti tidak berhubungan ini, ternyata mengandung benang merah aspek-aspek karakter Tuhan yang diperlihatkan dalam kisah-kisah sebelumnya, yang sekarang ditarik jadi satu kesatuan. Kisah Ehud, Barak, Debora, dst., semua ditarik menjadi satu kesatuan dalam bagian ini. Inilah tujuannya. Bahkan bagi kita hari ini yang mengenal Perjanjian Baru, kita tahu arah benang merah dari bagian ini tidak cuma ke belakang tapi juga ke depan, karena kita tahu Allah yang sering bekerja melalui kelahiran seorang anak yang secara manusia kehadirannya tidak mungkin, itu tidak berhenti di kisah ini. Ada Ishak, yang dilahirkan bagi Abraham oleh Sara yang mandul. Ada Samuel yang dilahirkan bagi Hana yang mandul. Dan tentu saja pola cerita ‘Malaikat Tuhan mengumumkan kelahiran seorang anak kepada pasangan suami istri yang mandul’, Saudara temukan dalam Perjanjian Baru juga 2 kali. Yang pertama, kepada Elisabet yang mandul dan lanjut usia; yang kedua, kepada Maria, yang skala mujizatnya out of the scale karena Maria bukan tidak mungkin melahirkan oleh sebab dia mandul, melainkan karena dia masih perawan. Setiap kelahiran ini adalah kelahiran seorang anak, yang ibu mereka tidak mungkin lakukan secara manusia. Lewat setiap kelahiran ini, Allah sedang menunjukkan bahwa janji keselamatan ini memang bergantung kepada diri-Ku, bukan kepada kamu; “Akulah yang menghidupkan orang mati, dan menjadikan lewat firman-Ku apa yang tidak ada menjadi ada”, kata Paulus di Roma 4:17.
Namun demikian, Saudara juga melihat kontras antara kelahiran-kelahiran ini dengan kelahiran Kristus. Dalam setiap mujizzat kelahiran tadi, anak-anak ini lahir dengan bayang-bayang rasa malu dan aib; orangtua mereka mandul, itu merupakan rasa malu yang luar biasa karena dalam zaman kuno kesuburan seorang wanita adalah keagungannya, dan dalam budaya Israel terlebih lagi karena janji keselamatan dari Allah itu akan datang lewat keturunan seorang wanita, sehingga wanita yang tidak bisa punya anak bukan saja merasa tidak berguna tapi juga merasa tidak mendapat bagian untuk berpartisipasi dalam penggenapan janji Allah. Tetapi, setiap kali Allah kemudian membuka rahim mereka, memberikan kepada mereka anak, maka yang tadinya rasa aib dan malu itu sekarang dibongkar, diangkat, dari dis-grace menjadi grace, dari tangisan menjadi sukacita. Hanya satu kelahiran yang terbalik, lewat kelahiran yang paling ajaib, yaitu kelahiran Yesus Kristus, yang bukan mengangkat malu dan aib tapi malah membawa malu dan aib bagi sang orangtua dan anaknya. Saudara jangan lupa, Juruselamat kita itu lahir dalam skandal dan kecurigaan, beberapa tahun berikutnya Dia disebut sebagai: “Bukankah ini anak Maria?” Siapa yang pernah dalam kultur Yahudi menyebut seorang anak dengan nama ibunya?? Semua penyelamat yang lain lahir dalam kemuliaan, mereka mendapat grace, karunia, glory, honor, status, agar mereka boleh menjalankan panggilannya; hanya Yesus yang malah kehilangan segala kemuliaan dan justru mendapat aib di dalam jalan-Nya memenuhi panggilan-Nya, namun juga, inilah sebabnya Dia adalah Juruselamat yang teragung, yang final, yang ultimat.
Saudara lihat, Simson tidak kurang apa-apa, orangtuanya begitu baik, lurus, memang terbatas tapi toh beriman. Kelahirannya sudah diberitahukan sebelumnya oleh Malaikat TUHAN, dia telah dipilih Tuhan sebelum dia lahir, dia dikhususkan sebagai seorang nazir bagi Tuhan, dan di ayat 24 dikatakan dia diberkati oleh Tuhan dan diarahkan rohnya. Kurang apa lagi?? Simson mendapatkan semua karunia yang bisa kita pikirkan; Simson hakim terakhir dalam kitab ini, harapan terakhir bagi Israel, yang kisahnya dimulai dengan menarik habis benang merah semua pekerjaan Tuhan melalui hakim-hakim sebelumnya, pada satu hakim ini. Itu sebabnya Saudara menunggu bagaimana sepak terjangnya dalam menyelamatkan Israel –kita akan membahas ini– dan hampir dalam semua poin hidup Simson, kita menemukan diri kita kecewa pada Simson, ini salah satu hakim yang paling hancur! Mengapa? Karena bukan cuma kelahirannya yang menunjuk kepada Kristus, tapi juga hidupnya menunjuk bahwa kita butuh seorang Juruselamat yang lain. Lihatkah Saudara tekanan Alkitab lagi dan lagi dan lagi dan lagi? Penyelamatan yang Simson lakukan tidaklah final; kalau Saudara perhatikan secara detail tulisan di pasal ini, Malaikat Tuhan mengumumkan bahwa Simson hanya hadir untuk memulai, tapi bukan perhentian dari kejahatan hati mereka, termasuk hatinya sendiri. Itu sebabnya Gabriel, ketika datang kepada Maria, mengatakan bahwa yang kali ini lahir, “Dia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka”.
Kisah Simson ini hadir untuk membawa kita kepada kisah Daud, dan dari kisah Daud kepada Kristus. Pertanyaanya, apakah ini cukup bagimu, atau tidak? Apakah ini yang menjadi tujuan hidupmu dalam merenungkan Alkitab? Apakah ini yang menjadi keindahan yang paling ultimat, yang engkau cari? Apakah ini yang engkau taruh sebagai jawaban ultimat/solusi dalam kehidupanmu, atau tidak? Silakan Saudara renungkan di hadapan Tuhan baik-baik, kenapa engkau mendengarkan khotbah, kenapa engkau datang ke gereja, untuk apa engkau mencari semua pengetahuan ini, jikalau bukan untuk diri Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading