Kita melanjutkan kisah Yefta; kita sudah membahas betapa kisah Yefta tragis dan sangat gelap. Sebelumnya kita diperkenalkan dengan kisah 3 tokoh hakim di mana Israel jelas berdosa, rusak, namun setidaknya para penyelamatnya –Otniel, Ehud, Debora– masih beres; berikutnya kita melihat tokoh Gideon yang kisah hidupnya sendiri ada sisi gelap, kemenangannya bukan cuma kemenangan Gideon atas musuh-musuhnya tapi bahkan atas sesama orang Israel, dan juga kekejamannya atas mereka. Itu dilanjutkan dengan kisah yang lebih gelap lagi, kisah Abimelekh, yang benar-benar gelap dari awal sampai akhir. Lalu memasuki kisah Yefta, kita mungkin merasa ada secercah harapan, setidaknya tidak sehancur Abimelekh, karena Yefta ini orang yang sedikit banyak mengandalkan Tuhan, orang yang punya kemampuan baik dalam perang maupun perkataan; dalam situasi orang Israel yang senantiasa lupa akan apa yang Tuhan lakukan bagi mereka, Yefta justru peka dengan tangan Tuhan di balik sejarah. Jadi kita berharap ceritanya bisa terangkat lagi ke arah yang positif; tapi ternyata tidak demikian. Kita melihat dalam pembahasan sebelumnya, kisah Yefta bahkan lebih jatuh dibandingkan kisah Abimelekh; sementara Abimelekh jelas jahat dari awal, kisah Yefta ini tragedi. Yefta ini tokoh yang seperti menjanjikan di awal, tapi kemudian mulai muncul hint-hint yang makin lama makin kencang bahwa di bailk segala pengandalan dan imannya akan Tuhan, Yefta ternyata orang yang sangat egosentris. Dia menerima peran sebagai penyelamat Israel dengan syarat dan tujuan supaya agenda personalnya dipenuhi. Dia berperang bagi Israel terhadap suku Amon, tapi ujungnya urusan Israel ini sekunder, yang lebih penting adalah kemuliaan dan pengakuan yang dia sangka akan didapatkannya lewat kemenangan. Pada akhirnya, sang ahli retorika itu terpeleset oleh kata-kata dari bibirnya sendiri karena janjinya yang kebablasan itu; dia membayangkan begitu banyak orang menyambut kemenangannya, tapi ternyata yang menyambut hanyalah seorang anak, anaknya sendiri, anaknya yang satu-satunya. Dalam hal ini pun kita melihat penggambaran Yefta terbongkar jelas, karena responsnya waktu menghadapi hal tersebut malah menyalahkan anaknya, dia tidak punya simpati sama sekali terhadap anaknya, seluruh kalimatnya hanya ‘aku, aku, aku, dan aku’.
Kisah Yefta tidak berakhir dengan cerita pengorbanan anaknya, masih ada satu bagian kecil yang akan kita bahas. Kalau Saudara merasa sudah cukuplah, sudah get the point dari kisah Yefta, saya pun waktu persiapan merasa demikian. Tapi ternyata tidak; dan inilah salah satu bagian dari belajar Alkitab. Mirip seperti waktu Tuhan mengkonfrontasi Ayub, sebenarnya satu kali pembicaraan Tuhan kepada Ayub, Ayub sudah keok, sudah menarik kata-katanya, tapi Tuhan mengatakan, “Saya belum selesai”, dan Tuhan melanjutkan. Kita perlu dengar perkataan Tuhan sampai selesai, karena tetap ada benefit-nya bagi kita. Kita membuka dari Hakim-hakim 12:1-7.
Kita bahas narasinya dulu. Kita sudah membahas bahwa dalam penceritaan kisah Yefta, fokus narator bukan pada perang atau kemenangan Yefta skala nasional, bagian itu malah menjadi latar belakang, sementara pusat perhatiannya pada tragedi dalam skala personal Yefta. Jelas terlihat dalam bagian sebelumnya bagaimana Yefta mengejar status, kuasa, pengakuan; dan ini sangat jelas digambarkan dalam dia menghadapi pengorbanan anaknya. Sisa kisah Yefta berikutnya juga melanjutkan topik ini. Tidak seperti Ehud atau Debora, kisah Yefta tidak berhenti ketika Israel menang atas musuhnya, tapi mirip seperti kisah Gideon, kisahnya berlanjut dengan apa yang terjadi setelah kemenangan tersebut. Setelah ketegangan antara Israel dan musuhnya selesai, sekarang muncul ketegangan internal di antara suku-suku Israel. Dalam kisah Gideon, setelah dia berhasil memukul kalah orang Midian, datang suku Efraim yang cari ribut dengan Gideon; dan hal yang sama terjadi pada kisah Yefta. Jadi, sepertinya kita diundang untuk menggali maknanya lewat perbandingan antara dua kisah ini.
Baik Gideon maupun Yefta, setelah mereka menang, mereka dikonfrontasi oleh suku Efraim yang protes; dan kali ini, lagi-lagi mengenai keterlibatan mereka dalam perang tersebut, atau lebih tepatnya ketidakterlibatan mereka dalam kemenangan yang telah terjadi. Komplainnya mirip; mereka bertanya: “Kenapa engkau tidak panggil kami?” Tapi sekarang Saudara lihat ada eskalasi di sini. Dalam kisah Gideon, oleh karena urusan tersebut, dikatakan suku Efraim ‘menyesali dia dengan amat sangat’; tapi dalam kisah Yefta, suku Efraim malah sampai mengancam dan akan membakar rumah Yefta berikut dia di dalamnya. Namun eskalasinya bukan cuma dari suku Efram tapi juga dari respons sang hakim sendiri. Dalam kisah Gideon, dia merespons dengan menerima sudut pandang Efraim, dia tidak mempertanyakan cerita versi Efraim, dia berusaha meredam situasi dengan memuji tindakan-tindakan Efraim dan sekaligus mengecilkan andil dirinya. Gideon mengatakan, “Yah,aku ‘kan suku kecil, masakan panggil kamu, suku yang besar, ‘gak pantas dong. Lagipula, kamu tidak dipanggil pun sudah berhasil menangkap dan membunuh dua jendral besar Midian, sementara aku masih kejar-kejaran dengan targetku” –kira-kira seperti itu. Hasilnya, Gideon bisa menghindari konflik intra-Israel, meski memang tidak sepenuhnya, belakangan Gideon tetap balas dendam terhadap dua kota kecil yaitu Pniel dan Sukot. Tapi paling tidak, dia meredam situasi terhadap suku Efraim yang besar, karena jika terjadi baku hantam dengan mereka pasti banyak sekali korban. Jadi yang Gideon lakukan meski separuh beres, paling tidak dia menghindari pertumpahan darah. Tidak demikian dengan Yefta. Yefta menolak sama sekali versi yang dikatakan orang-orang Efraim, dan menuduh balik bahwa mereka telah dipanggil tapi merekalah yang tidak menjawab. Dan, kembali di ayat 2 dan 3 kita melihat bahasa Yefta adalah ‘aku, aku, dan aku’. Dia mengatakan, “Hai orang-orang Efraim, ketika aku dan rakyat-ku … aku telah memanggil kamu tapi kamu tidak menolong aku, itu sebabnya aku mempertaruh-kan nyawa-ku, dan Tuhan menyerahkan mereka ke dalam tangan-ku. Kenapa kamu sekarang cari gara-gara dengan aku?” —‘aku’ terus yang keluar dari bibirnya.Gideon meredam situasi dengan memperkecil andil diri; Yefta memperrkeruh situasi karena dia menarik perhatian kepada dirinya.
Perbandingannya tidak berhenti sampai di situ, meski tempat konfliknya sama, yaitu di tempat penyeberangan sungai Yordan. Dalam kisah Gideon, suku Efraim memakai tempat-tempat penyeberangan sungai Yordan untuk menyeberang dan menangkap dua jendral Midian, Oreb dan Zeeb; tapi dalam kisah Yefta, suku Efraim justru dibantai di tempat tersebut, tempat penyeberangan yang direbut Yefta dan orang-orang Gilead. Dalam kisah Gideon lokasi tersebut dipakai untuk mengalahkan musuh Israel, tapi dalam kisah Yefta ini jadi lokasi terjadinya permusuhan antara suku-suku Israel, lokasi di mana orang Israel membantai orang Israel sendiri. Jadi, Saudara lihat tujuan bagian penutup ini jelas, sama seperti bagian-bagian sebelumnya, ini menunjukkan betapa motivasi Yefta sangat egois; bukan cuma konfliknya terhadap musuh Israel, tapi keegoisan Yefta membawa konflik dengan sesama saudara sebangsanya sendiri. Berikutnya kita akan melihat bagaimana konflik ini digambarkan.
Saudara ingat, kisah Yefta ini adalah kisah yang penuh dengan perkataan, dengan negosiasi, dengan balas-balasan perkataan dari berbagai pihak, dengan ngomong dulu sebelum perang. Di bagian awal, Yefta diperlihatkan sebagai orang yang skill retorikanya luar biasa. Dalam negosiasinya dengan tua-tua Gilead, skill retorikanya itu membuat dia sanggup menghindari konflik, malah dia dapat posisi di atas mereka, dia memimpin mereka dalam perang dengan musuh. Tapi dalam negosiasinya dengan orang Efraim, dia sama sekali tidak berusaha menghindari konflik, dan hasilnya perang. Saudara juga bisa membandingkannya dengan negosiasi Yefta terhadap pihak bani Amon. Di awal, Yefta mengirim pesan kepada bani Amon, lalu bani Amon membalas, dan Yefta membalas lagi, memberikan argumen-argumen mengenai alasannya perang dia adalah perang yang fair sementara bani Amon yang salah. Namun Saudara lihat, balas-balasan seperti ini tidak terjadi dalam konfliknya dengan orang Efraim; orang Efraim datang kepada Yefta dan ngomong, Yefta kemudian membalas dengan ngomong satu hal tapi dia tidak menunggu jawaban/respons dari orang Efraim, dia simply menyerang mereka lebih dulu secara preemptive. Dengan kata lain, Yefta lebih siap berdialog dengan musuh dibandingkan dengan orang Efraim sendiri. Ini orang yang sangat jago diplomasi, tapi justru dalam berhadapan dengan bangsanya sendiri, dia tidak pakai itu untuk meredam situasi.
Berikutnya, kita melihat mirip dengan peperangannya dengan Amon digambarkan, yang peperangannya sendiri tidak dideskripsikan dengan detail, dalam konflik dengan Efraim ini pun yang digambarkan detail adalah kekejaman Yefta setelah dia menang. Setelah Yefta berhasil memukul kalah orang Efraim, sebenarnya dia bisa saja membiarkan mereka kabur, tapi Yefta malah menyergap orang-orang Efraim. Dia kemudian memakai cara yang sangat evil genius untuk membantai habis semua survivor Efraim, dengan cara tes logat, karena orang Efraim ternyata tidak bisa melafalkan huruf shin, hanya bisa melafalkan huruf sin. Ini satu hal yang signifikan; bukan cuma urusan logatnya, ini signifikan karena memperlihatkan dalam sejarah Israel bahwa dalam poin ini kedua belas suku bukan saja tidak bersatu, tapi perpecahan dan perbedaan di antara mereka sudah begitu meruncing sampai-sampai masing-masing suku bisa punya logatnya sendiri. Celakanya, logat ini dipakai jadi faktor krusial dalam perang saudara di bagian ini.
Saudara, inilah gunanya kita meneliti kitab secara keseluruhan, karena sekarang Saudara baru melihat ada suatu gambaran besar yang mulai muncul dari seluruh kitabnya, yaitu di awal kitab Hakim-hakim urusannya adalah kegagalan Israel menaklukkan Kanaan, kegagalan Israel perang dengan bangsa lain, lalu pada akhirnya setelah hal tersebut gagal maka yang terjadi bukan cuma Israel jadi lebih akrab dengan mereka, bukan cuma Israel menyembah dewa-dewi mereka, tapi Israel mulai terpecah-belah secara internal. Ini dimulai pada situasi Gideon ketika dia membantai orang-orang Israel sendiri, kota Pniel dan Sukot; ini kemudian eskalasi dalam kisah Yefta, ketika dia membantai suku Efraim yang besar itu. Dan, kisah terakhir dalam kitab ini benar-benar all out war antara suku Benyamin melawan semua suku Israel. Di awal, kitab ini bicara mengenai kegagalan Israel membantai habis suku Kanaan yang tinggal; akhirnya ini mengakibatkan orang Israel hampir-hampir membantai habis suku mereka sendiri, suku Benyamin. Ini satu hal yang sekarang kita lihat jelas secara keseluruhan.
Saudara lihat juga seluruh konflik dalam cerita ini, antara Yefta dengan orang Efraim, penekanannya satu: Yefta perang dengan bani Amon karena dia menginginkan status dan pengakuan, dia kemudian menyelamatkan orang Israel tapi bukan demi kebaikan mereka, dan sekarang pun sama, dia perang dengan Efraim karena status dan pengakuannya terancam dan diserang maka dia membantai orang-orang yang baru saja dia selamatkan. Apa tujuan penggambaran seperti ini? Jelas sekali ini memperlihatkan kepada kita bahwa Yefta benar-benar pada awalnya menyelamatkan umat Israel hanya untuk melayani agendanya sendiri, maka ketika dua hal ini tidak lagi sejalan, Yefta pun tidak ragu-ragu membantai orang-orang yang sebelumnya dia selamatkan. Keegoisan Yefta jadi titik pusat dari seluruh kisah ini; pertama-tama dengan tua-tua Gilead dalam negosiasinya, lalu dengan bani Amon, lalu dengan anaknya, dan sekarang dengan kisah pembantaian orang Efraim.
Hal-hal terakhir yang kita bisa lihat dari dramanya juga menunjukkan adanya eskalasi. Sekali lagi, kisah ini adalah kisah yang penuh dengan perkataan; dan konflik antara Yefta dengan Efraim juga dibingkai dengan istilah ‘kata-kata’, yang dalam bahasa Indonesia istilahnya banyak, ada perkataan, berkata, menjawab, mengucapkan, tapi dalam bahasa Ibrani istilahnya hanya pakai satu kata dasar, yaitu amar (perkataan).Saudara baca di bagian terakhir, urusan kekejaman Yefta itu, penuh dengan istilah amar yang diulang-ulang. Ayat 5b: ‘Apabila dari suku Efraim ada yang lari dan berkata (amar): “Biarkanlah aku menyeberang,” maka orang Gilead berkata (amar) kepadanya: “Orang Efraimkah engkau?” Dan jika ia menjawab (amar): “Bukan,” maka mereka berkata (amar) kepadanya: “Coba katakan (amar) dahulu: syibolet.” Jika ia berkata(amar): sibolet, jadi tidak dapat mengucapkannya (amar) dengan tepat, maka mereka menangkap dia dan menyembelihnya’. Ada 7 kata amar, tipikal banget, menunjukkan betapa kisah yang berurusan dengan kata-kata/perkataan berakhir dengan pembantaian melalui kata-kata. Dalam kisah ini, kata-kata telah menentukan hidup mati skala personal, yaitu anak Yefta, sampai ke skala nasional, 42 ribu orang Efraim; kenapa? Karena keegoisan orang yang pakai kata-kata.
Terakhis, kisah ini ditutup dengan mengikuti pola yang sudah-sudah, yaitu mangkatnya sang hakim. Tapi Saudara lihat, kisah Yefta bahkan menggelapkan bagian ini, karena dalam masa kepemimpinan Yefta yang jadi penekanan bukan penyelamatan melainkan pembantaian 42 ribu orang Israel oleh tangannya sendiri. Dikatakan, Yefta menjabat sebagai hakim hanya enam tahun. Ini bukan cuma sangat pendek dibandingkan hakim-hakim yang lain –Otniel dikatakan memerintah 40 tahun, Ehud bahkan 80 tahun; angka 40 dan 80 ini simbolis, 40 tahun menyatakan satu generasi, bahwa ada kedamaian selama satu generasi yang dibawa oleh hakim ini dan hakim itu– tapi Yefta hanya menjabat 6 tahun ini juga simbolis, karena 6 berarti tidak mencapai 7, tidak genap, tidak utuh. Untuk pertama kalinya dalam karier seorang hakim, kemenangan Yefta tidak ditutup dengan satu deklarasi “maka amanlah/damailah negeri itu sekian tahun”. Kenapa? Karena memang kali ini si hakim sendiri yang melanggar kedamaian tersebut, membantai 42 ribu orang Efraim. Jadi Yefta bukan saja ditunjukkan berbeda dengan penyelamat-penyelamat sebelumnya, tapi bahkan digambarkan lebih mirip dengan penindas-penindas Israel.
Dalam hal kematiannya, penguburannya pun dibicarakan berbeda dari hakim-hakim yang lain. Biasanya wafatnya seorang hakim dicatat sebagai penyebab orang Israel kembali berlaku serong, misalnya Gideon, kematiannya di pasal 8:33 diambil sebagai pemicu kembalinya Israel menyembah Baal; tetapi kisah Yefta tidak ada kalimat seperti ini, hanya dia mati, lalu selesai. Ini mengindikasikan bahwa wafatnya Yefta tidak menyebabkan Israel serong, karena Israel memang tidak pernah berbalik kepada Tuhan juga selama Yefta hidup.
Dalam hal penguburannya pun unik karena sebelumnya tidak ada hakim yang dicatat dikuburnya bagaimana, kuburan apa, dsb. Catatan mengenai hakim dikubur hanya ada dalam kisah Yefta dan kisah Simson berikutnya. Tapi ketika kita membandingkan Yefta dengan Simson, jelas sekali bahwa kalimat sebelum urusan penguburan bukan kalimat yang positif bagi Yefta. Di pasal 16:31 mengenai Simson setelah dia mati, dikatakan: ‘Sesudah itu datanglah ke sana saudara-saudaranya dan seluruh keluarganya, mereka mengangkat dia dan membawanya dari sana, lalu mengubur-kannya di antara Zora dan Esytaol di dalam kubur Manoah, ayahnya. Dia memerintah sebagai hakim atas orang Israel dua puluh tahun lamanya.’ Bandingkan dengan Yefta (pasal 12:7), hanya dikatakan: ‘Kemudian matilah Yefta, orang Gilead itu, lalu dikuburkan di sebuah kota di daerah Gilead’. Saudara perhatikan, apa yang mau diperlihatkan di sini? Simson seumur hidup kerja sendirian, dia tidak pernah dapat pengakuan dari orang sebangsanya, malah berkali-kali dia disabotase rakyatnya sendiri, tapi ketika mati, Simson diperhatikan oleh saudara-saudaranya, mayatnya diangkut, dan dikuburkan di kuburan keluarganya –jelas tempatnya di mana. Sedang-kan Yefta, seumur hidup berjuang mencari pengakuan, tapi waktu menang, tidak ada yang hadir merayakan; dan waktu dia mati, tidak jelas siapa yang menguburkan dan di mana dikuburkan, hanya dikatakan ‘di sebuah kota’. Inilah ending yang tidak bisa lebih pas lagi untuk sang hakim yang memang seumur hidupnya begitu self-centered, yang hanya terfokus pada diri sendiri, maka di akhir hidupnya hanya ada dia seorang diri di kuburan.
Itulah ceritanya; lalu kita bisa bicara apa dari kisah ini? Kita sudah bicara banyak dalam minggu-minggu sebelumnya mengenai bahaya-nya orang yang terfokus pada agenda diri dan mengorbankan kebaikan umat Tuhan secara umum. Kita juga sudah tahu bahwa Yefta ini seorang pemimpin yang begitu berbahaya, karena walaupun mampu, dan dalam arti tertentu bahkan mengandalkan Tuhan berkali-kali dalam momen-momen penting hidupnya, ujungnya menggunakan semua itu hanya untuk melayani dirinya. Tetapi, waktu kita membahas mengenai Yefta, kita perlu menghindari kecenderungan untuk geleng-geleng kepala akan kehancuran karakter ini, karena ini efek yang mungkin timbul dengan sangat kuat, disebabkan mungkin selama ini kita ‘gak nyangka Yefta ternyata digambarkan sampai sehancur itu. Mungkin banyak dari kita yang masih berpikir semua tokoh-tokoh muncul di Alkitab untuk jadi pahlawan yang perlu kita teladani. Tapi ternyata tidak demikian. Setiap kali ada ada kisah-kisah yang begitu negatif seperti ini, kita perlu menyadari ada panggilan dalam dua hal. Yang pertama, hal apa dalam hidup Yefta yang membuat kita bisa ngaca, yang membuat kita lebih peka terhadap hidup kita sendiri; panggilannya bukan untuk meng-condemn Yefta, melainkan untuk bercermin dan melihat apa yang selama ini tersembunyi, dan baru terkuak setelah kita bercermin melalui Yefta. Yang kedua, untuk melihat bagaimana gambaran Yefta itu akan diputar balik oleh diri Penyelamat yang final itu, Yesus Kristus.
Yang pertama, pertanyaannya: apakah kita seperti Yefta? Dan jawabannya, kalau kita jujur, mungkin lebih mirip dari yang kita sangka atau mau akui. Saudara, sebenarnya budaya tradisional sudah tahu dan sudah peka bahwa yang merusak masyarakat adalah kesombongan, pride, hubris menurut istilahnya Aristoteles. Tapi kita orang Timur, sering kali pikir kita tidak terjangkit oleh hal-hal itu karena kita hidup dalam masyarakat tradisional. Namun tidak demikian; kita ini hidup dalam masyarakat modern, di mana pride sudah disulap jadi hal yang positif dengan ganti istilah, yaitu self-esteem.
Ada orang mengatakan, zaman dulu orang punya daftar dosa, “Tujuh Dosa Maut” (seven deadly sins atau seven deadly vices; vices, yaitu sifat jelek,lawan katanya virtue), tapi sekarang dalam dunia modern semua itu bukan lagi dosa. Greed (keserakahan), bukan dosa lagi dalam zaman modern tapi hanyalah sebuah force yang memajukan roda perekonomian. Saudara pernah liat indeks perekonomian? Di situ terlihat market pasar sedang didorong oleh apa, oleh greed atau oleh fear; oleh rasa takut (fear) maka semua jual, jual, jual, atau oleh greed, maka semua beli, beli, beli. Begitulah, greed sekarang hanya sesuatu hal yang netral, satu hal yang menggerakkan roda perekonomian. Mengenai gluttony, sekarang tidak boleh lagi body shaming, orang yang gendut itu juga manusia, normal. Demikian juga lust, dsb., semua sudah dinetralisasi, tidak lagi jadi dosa. Saudara perhatikan, dari 7 deadly sins/vices, semua sudah dinetralisir, bukan lagi dosa, semua netral, tapi hanya satu yang sekarang jadi virtue, yaitu pride (kesombongan). “Be proud of yourself”, sekarang jadi hal yang positif. Bukan cuma tidak lagi negatif, tapi sekarang jadi positif, karena ini sesuatu yang penting dalam zaman modern, yaitu self-esteem.
Saudara, jangan pikir kita tidak tercemar oleh hal ini. Yefta saja, yang memperlihatkan diri sebagai orang yang beriman, yang mengandal-kan Tuhan, yang tahu dan peka akan tangan Tuhan di balik sejarah, dia bisa begitu tercemar dengan konsep Kanaan mengenai pengorbanan manusia bagi dewa, apalagi budaya kita hari ini. Kita sudah tercemar oleh injil ‘self-esteem’, kita tidak bisa menghindarinya, kita perlu ngaca akan hal ini dan menghadapinya. Sebagai contoh, kalau Saudara lihat kuesioner-kuesioner dalam zaman modern, test kepribadian, dsb., pertanyaan-pertanyaannya apa? “Saudara puas dengan dirimu; atau Saudara merasa diri tidak berguna?”, “Saudara merasa sanggup melaksanakan banyak hal; atau Saudara merasa orang yang tidak punya banyak hal untuk dibanggakan?” –pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ujungnya, kalau jawabannya banyak mengekspresikan perasaan percaya diri, maka bacaannya adalah: orang ini orang yang beres, orang yang kemungkinan kecil ada rekor kriminal, orang yang kemungkinan besar ada gelar sarjana, dst. Tapi kalau jawaban Saudara mengindikasikan Saudara orang yang ‘gak pe-de, minder, yang seperti ada rasa malu tersembunyi, maka pembacaannya adalah: mungkin Anda ini hamil waktu remaja, atau drop out, atau pengguna narkoba, atau ada aib lain yang sejenis. Seperti itulah zaman kita, self-esteem itu positif, self-esteem itu perlu karena inilah kunci kesuksesan. Jarang orang yang mempertanyakan hal ini; orang yang confident, ya, pasti kayaknya akan lebih menghasilkan hal-hal yang positif, sebaliknya kalau orang low self-esteem, itu bahaya. Misalnya, kenapa ada suami yang bisa mengasari istri, main tangan pada istri; jawabannya adalah: low self-esteem, karena mereka ada rasa malu yang tersembunyi, mereka rasa tidak bisa memenuhi standar masyarakat akan maskulinitas, mungkin gajinya kurang dibandingkan gaji istrinya, dst., maka kompensasinya dengan main tangan.
Itulah bacaan masyarakat kita zaman sekarang; low self-esteem itu berbahaya, high self-esteem itu baik. Ini melahirkan gerakan yang sampai sekarang bertahan dalam dunia pendidikan. Dalam mendidik anak-anak misalnya, Saudara mendidik mereka dengan cara menuang sebanyak mungkin afirmasi dan pujian. Waktu anak kecil datang, “Mama, Mama, lihat aku gambar”, dan gambarnya coret-coret hancur, lalu harus diapakan? Puji! Jangan bilang, “Jelek, gambar apaan tuh”, tapi puji, “Bagus sekali, nak, nanti kamu besar jadi Picasso.” Inilah yang terjadi zaman kita sekarang. Bahkan kasus ekstrimnya, orang bilang: dalam pendidikan tidak boleh mengatakan “tidak boleh”’, atau juga: ketika kamu mengatakan kritik 1 kalimat, perlu afirmasi dan pujian 10 kalimat. Kenapa terjadi hal-hal seperti ini dalam masyarakat kita? Karena ada satu keyakinan bahwa self-esteem sangat penting bagi masyarakat yang sehat, dan bahwa problem-problem kemasyarakatan hari ini lahir karena low self-esteem.
Yang menarik, sebenarnya dalam studi psikoterapi belakangan ini sudah banyak yang mempertanyakan kebaikan dari high self-esteem, meskipun studi-studi seperti ini tidak muncul di permukaan, tidak muncul dalam pembicaraan populer. Salah satunya, Nicholas Emler, dari London School Economics, mengatakan bahwa masyarakat yang tingkat self-esteem tinggi, juga bisa merupakan masyarakat yang angka kriminalitasnya tinggi. Contohnya dalam hubungan antara low self-esteem dengan kemampuan akademik, Emler menemukan bahwa orang yang punya low self-esteem, secara umum tetap bisa menghasilkan nilai akademik yang tidak kalah dari orang yang punya high self-esteem; bahkan dalam beberapa kasus, orang dengan low self-esteem bisa mencapai nilai yang lebih baik, karena mereka ada kecendrungan untuk berjuang lebih keras. Mengenai kekerasan, Emler dalam studinya menemukan bahwa orang-orang yang kasar, yang gebukin istri, dsb., tidak ada hubungannya dengan rasa malu yang disembunyikan (inner-shame); mereka bukan gebukin istri untuk menyembunyikan rasa malu atau karena merasa diri sampah. Secara umum, justru orang-orang yang gebukin istri mereka, orang-orang yang rasis, orang-orang yang main tangan, mereka melakukan hal tesebut justru karena mereka menganggap diri superioir, tinggi, dan sangat kurang kemampuan mengenali kekurangannya.
Logikanya begini: misalnya kalimat “untuk setiap 1 kalimat kritikan, perlu ada 10 kalimat pujian”, Saudara mungkin pikir masuk akal juga, karena terhadap kalimat kritikan kita lebih sensitif, jadi perlu ada 10 kalimat afirmasi supaya seimbang. Tapi lihat, anak-anak yang dididik sejak kecil seperti itu untuk menghasilkan high self-esteem, justru sebenarnya itu sedang meproduksi orang-orang yang sangat mudah merasa terancam dan terhina. Kenapa demikian? Sederhana saja, kalau Saudara merasa diri orang yang berada dalam kategori 10% dalam masyarakat, top-10% dalam masyarakat, maka Saudara akan rasa terhina ketika dianggap top-20%, top-30%, top-40%, top-50%, 60%, 70%, 80%, 90%; padahal kalau Saudara cuma berlima berarti top-20% itu nomor satu. Tapi kalau Saudara begitu high self-esteem, terrmasuk top-10%, maka begitu Saudara dianggap yang 20%, Saudara sudah merasa terhina. Sedangkan kalau Saudara low self-esteem, menganggap diri biasa-biasa saja, atau di bawah rata-rata, termasuk yang 50% atau lebih bawah, maka dianggap 20% tidak bakal terhina, Saudara akan rasa tersanjung (dan baru merasa terhina kalau dianggap paling bontot 20% misalnya). Jadi ada 3 studi yang Emler katakan mengenai self-esteem di Amerika, dan semua menemukan bahwa orang dengan high self-esteem lebih merupakan ancaman bagi masyarakat dibandingkan orang-orang yang low self-esteem; punya low self-esteem bukan saja sesuatu yang bermanfaat, orang-orang yang punya high self-esteem bahkan lebih mudah melukai, bahkan membunuh.
Satu hal yang lebih menarik lagi adalah bahwa studi-studi seperti ini akan sangat sulit diterima masyarakat modern, karena secara umum masyarakat modern merasa berhak mengejar kebahagiaan pribadi, dan kebahagiaan pribadi sangat erat hubungannya dengan harga diri pribadi (self-esteem);dengan demikian ketika ada orang yang mempertanyakan mengenai self-esteem, masyarakat tidak akan terima, karena itu mengancam self-esteem-nyamasyarakat. Dan, ini termasuk kita; kita harus mengakuinya. Bayangkan begini: kalau ada guru mengatakan kepada anakmu, “Nak, mimpi jangan besar-besar begitulah, ‘gak nyampe”; bagaimana perasaanmu? Pernah ada seorang anak yang mimpi jadi tentara, dia suka sekali dengan segala sesuatu yang bersifat militer, hafal semua jenis tank, persenjataan, pesawat tempur, kapal perang, dst.; tapi dia ini tingginya semampai (semeter ‘gak sampai), bagaimana mungkin bisa jadi tentara?? Tapi bayangkan kalau guru mengatakan dengan terus terang, “Kamu tidak bisa jadi tentara, tidak mungkin, ganti mimpimu; ini mimpi yang terlalu tinggi buatmu”; kita rasa kasihan banget, ‘gak bisa kayak beginilah. Waktu saya sekolah dulu, pelajaran bahasa Inggris kadang-kadang pakai guru native speaker; dan ada satu guru bule yang benar-benar kejam. Dia pernah men-survey siapa di antara murid-murid yang mau belajar Bahasa Inggris ke luar negeri, dia melihat daftar nama-namanya, lalu mengatakan di depan semua orang, “Kamu mau ke luar negeri? Tidak bakal bisa, bahasa Inggrismu tidak bagus. Pikir lagi.” Kejam sekali, rasanya aneh banget guru seperti ini. Tapi coba Saudara pikir lagi, itu sebenarnya diperlukan, karena di dalam masyarakat kita hari ini orang diangkat-angkat terus, diberi afirmasi terus, akhirnya jadi orang-orang yang terlalu sensitif, segala kritikan tidak bisa terima meskipun yang cenderung sesuai dengan realitas.
Di Jepang ada satu bentuk psikoterapi yang menarik, namanya aliran Morita. Aliran ini fokusnya kepada tindakan (action), maksudnya action yang tidak berfokus kepada diri. Ini karena bagi mereka problem dari sakit jiwa (neurotik) adalah: orang-orang seperti ini menderita penyakit terlalu ekstrim kesadaran diri-nya, terlalu fokus pada diri –maka terapi Morita adalah dengan berkebun. Berkebun, menanam, menunggu tanaman sampai berbunga, itu mengajak kita untuk berfokus keluar dari diri kita. Dan, ini tidak bakal laku dalam masyarakat modern, yang segala sesuatu harus serba instan, yang segala sesuatu mengenai aku, aku, dan aku.
Kembali ke Yefta; apakah dia benar-benar sebegitu berbedanya dengan kita? Saya rasa tidak. Saya rasa Yefta bahkan sedikit banyak adalah produk zaman kita, yang kiri-kanan-depan-belakang disuruh untuk berfokus pada diri. Apa pentingnya kita melihat refleksi seperti ini? Gambaran Yefta ini berguna karena gambaran seperti ini membongkar apakah sesungguhnya pride itu; dan apa sesungguhnya solusi dari pride, yang adalah humility. Amsal 13:10 mengatakan, “Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat.” Saudara perhatikan kontrasnya, orang yang angkuh menimbulkan pertengkaran, tapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat. Ini khas kitab Amsal; ini berarti bagi Amsal, orang angkuh itu bisa menimbulkan pertengkaran karena mereka tidak mau mendengarkan nasihat. Kenapa orang angkuh tidak mau mendengarkan nasihat, sampai jadi bikin bertengkar? Saudara perhatikan, yang namanya nasihat atau kritik, biasanya berfokus pada satu hal yang bukan diri kita. Misalnya Saudara menyanyi di Paduan Suara dan saya pengajarnya; saya mengatakan, “Kamu nyanyi terlalu rendah, fals, sumbang, kurang tinggi”. Itu saya sedang membicarakan nadanya, bahwa nadanya/musiknya perlu sekian tingginya dan tidak bisa cuma sekian. Tapi, orang waktu dikritik seperti itu, melihatnya lain; mereka melihatnya diri, ‘gua kurang tinggi, gua kurang nyampe, gua fals’, dsb., dan akhirnya bertengkar. Inilah pride. Orang bijak justru adalah orang yang observant, yang menyerap, yang teachable, yang bisa sesuatu dari luar masuk ke dalam,dia orang yang fokus kepada yang di luar yang bukan dirinya. Angkuh itu terutama bukan soal merasa diri tinggi atau merasa diri rendah; angkuh (pride) adalah terlalu terfokus pada diri, terkurung dalam diri, sementara humility itu senantiasa memandang ke luar.
Dalam Perjanjian Baru, Paulus juga membicarakan pride banyak sekali dalam surat-suratnya; dan Paulus tidak menggunakan istilah pride yang umum dipakai pada zaman itu, misalnya istilah hubris dari Aristoteles; Paulus menggunakan istilah lain, yaitu phusioo. Phusioo ini bukan istilah yang lumrah dipakai untuk pride karena phusioo sebenarnya berarti bengkak –pride itu bengkak (puff up), seperti melembung terisi angin, kosong. Ini menarik, karena bengkak adalah gambaran jasmani yang jelas; bengkak terjadi ketika badan kita minta perhatian disebabkan sesuatu yang rusak/salah/error. Banyak hal dalam tubuh kita yang kita tidak sadar, sampai bagian itu sakit, error. Contohnya, Saudara tidak sadar punya kelenjar getah bening, sampai suatu hari kelenjar getah beningmu bengkak. Di situlah Saudara baru notice, ‘O, ternyata gua punya kelenjar yang namanya getah bening’. Ketika badan kita beroperasi normal, mereka tidak meminta perhatian; mereka hanya minta perhatian ketika ada sesuatu yang salah (sikut kita hanya minta perhatian ketika sikut kita bengkak, salah, dst.). Jadi, cara Paulus mengungkapkan pride dengan istilah ‘bengkak’, ini menarik, karena Saudara lihat ego kita itu berapa kali sehari minta perhatian diri kita?? Adakah satu hari saja lewat tanpa kita mikir mengenai diri kita, yang mungkin dicurangi, atau disakiti, atau dicuekin, atau bahkan ketika tidak dicurangi/disakiti/dicuekin pun tapi kita rasa curiga ‘sebenarnya itu orang maksudnya apa, mau beginiin gua ya’, dsb., seperti Amsal 28:1 mengatakan, “Orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya”. Kalau pun Saudara merasa tidak setiap hari mikirin dicurangi/disakiti/dicuekin, waktu Saudara lewat di depan cermin, Saudara mikir apa?? Apa yang jadi fokusmu??
Saudara, ini satu hal yang sulit sekali, yang sudah jadi kebiasaan kita; dan itu berarti: jikalau diri kita senantiasa meminta perhatian, ini menandakan ada sesuatu yang benar-benar salah, rusak, error dengan diri kita, jiwa kita. Inilah sebabnya pride tidak boleh diterjemahkan sebagai sekadar angkuh atau sombong; bahkan istilah ‘harga diri’ pun kurang tepat. Kalau Saudara melihat esensi dari pride yang sesungguhnya adalah diri yang senantiasa mencari perhatian, maka orang-orang yang minder dan selalu merasa gagal –orang-orang yang low self-esteem— itu pun adalah pride, karena ujungnya orang-orang yang merasa gagal, merasa paling sial, merasa paling bontot di antara banyak orang, tetap adalah orang yang senantiasa berfokus dan terkonsentrasi kepada diri. Sama saja, pada esensinya ini adalah masalah pride.
Pride bukanlah memandang diri rendah, pride bukanlah memandang diri tinggi, pride adalah berfokus kepada diri. Jika demikian, apa sesungguhnya kerendahan hati (humility)? Saya rasa, pada dasarnya humility merupakan sesuatu yang mungkin tidak bisa kita kenali sebagai humility; humility berarti kita tidak lagi berfokus kepada diri, ego kita tidak lagi meminta perhatian, sama seperti jempol kita tidak minta perhatian waktu tidak ada yang salah dengan si jempol. C.S. Lewis pernah mengatakan, Saudara jangan pernah pikir kalau bertemu dengan orang yang benar-benar humble, Saudara akan merasa dia humble. Bukan itu impresi yang kita dapatkan kalau kita bertemu dengan orang yang benar-benar humble. Kalau kita bisa ada impresi ‘O, dia itu humble banget’, biasanya karena orang tersebut ngomongnya, “Saya bukan apa-apa; dia itu Ph.D. lho”, “Saya masakannya biasa-biasa saja; masakan dia enak lho”. Ini bukan orang yang humble, karena orang ini ujungnya tetap mengarahkan perhatian kepada diri. C.S. Lewis mengatakan, kalau Saudara bertemu dengan orang yang benar-benar humble, maka yang jadi impresi Saudara terhadap dia setelah berinteraksi dengan dia bukanlah bahwa dia humble, tapi Saudara mendapati orang ini sangat tertarik, sangat memberikan perhatiannya, kepada engkau. Itulah orang yang humble, orang yang tidak berfokus lagi kepada dirinya.
Saudara, siapa dari kita yang kayak begitu? Waktu kita masuk ruangan, ada sekumpulan banyak orang, apa yang langsung kita pikirkan? Yang kita pikirkan: baju gua terhadap sekumpulan orang ini oke atau tidak, menarik perhatian atau tidak, cukup bagus atau tidak, dan sebagainya. Saudara, saya gowes bareng banyak orang, itu membuka mata; dan saya rasa ini juga Saudara temukan dalam banyak hal di dalam hidup. Misalnya, kalau saya ajak Saudara gowes bareng, apa yang Saudara pikirkan? ‘Waduh, sepeda gua ‘gak level; paha gua ‘gak level’ –kayak begitu. Dalam gowes bareng, Saudara bertemu banyak orang, dan Saudara was-was, ‘dia ini lebih kuat atau lebih lemah daripada gua, dia ini lebih kuat nanjak atau tidak dibanding gua, baju gowes saya bagaimana dibandingin dia, mereka pakai brand Swedia sedangkan gua lokal, sepeda mereka harganya Avansa sedangkan sepeda gua gimana nih’, dst. Inilah yang terjadi. Setiap kali, kita hidup urusannya selalu mengenai ini. Jadi, waktu kita melihat esensi humility yang sejati, esensi humility yang lahir karena Injil Kristus, itu bukanlah merasa diri lebih atau merasa diri kurang, melainkan sebagaimana Tim Keller katakan kepada kita: humility adalah lebih ‘kurang’ memikirkan diri –lebih tidak perlu memikirkan diri, lebih tidak terfokus dengan diri.
Bagaimana menguji bahwa kita punya humility seperti ini? Sekali lagi, dalam hal kritikan. Orang yang sombong, dalam arti orang yang prideful, bisa adalah orang yang hancur setelah dikritik; karena dia senantiasa melihat dan membandingkan dirinya terhadap orang lain, begitu dikritik langsung fokus kepada diri –dikritik urusan nada tapi lihatnya mengenai diri. Di sisi lain, bisa ada juga orang-orang yang tidak terpengaruh oleh kritikan, bukan karena orang-orang ini rendah hati, melainkan karena mereka tidak pernah mengambil kritikan, tidak pernah mendengarkan kritikan, dan tidak pernah belajar dari kritikan. Mereka mengatakan, “Saya tidak peduli dengan kritikan, saya tahu saya siapa, saya tidak perlu mendengarkan kritikan itu” –dan ini orang-orang seperti saya. Kalau Saudara bilang, “Jethro, hari ini khotbahmu bagus”, saya akan berespons dalam hati, ‘bodo amat, memangnya Saudara tahu apa mengenai khotbah?? Saudara tidak belajar mengenai khotbah, Saudara tidak bisa menganalisa khotbah tadi saya bikin strukturnya seperti apa, pakai jurus hermeneutika apa, dari orang yang ini dan yang itu; Saudara tidak tahu semua itu, hanya karena khotbahnya sesuai seleramu jadi Saudara bilang enak’. Kalau Saudara bilang, “Jethro, hari ini khotbahmu jelek”, saya juga tidak masalah, ‘bodo amat, karena Saudara tidak belajar mengenai itu, Saudara tidak tahu apa-apa mengenai itu; saya yang belajar, saya yang bisa menilai seperti apa khotbah yang bagus!’ Tapi Saudara lihat, orang-orang seperti ini pada akhirnya juga tidak bisa sembuh dari pride; kenapa? Karena orang-orang seperti ini mungkin tidak hancur disebabkan kritikan orang lain, mereka tidak mengatakan, “Aduh, saya hancur banget, karena saya tidak mampu mencapai standar masyarakat, saya tidak mampu mencapai standar orangtua, saya tidak mampu mencapai standar orang-orang lain”; sebaliknya orang-orang seperti ini akan mengatakan, “Ya sudah, saya bikin standar saya sendiri; dan standar saya sekian”, lalu ujungnya hancur karena tidak bisa mencapai standarnya sendiri, lalu solusinya bikin standar lebih rendah, dan tetap akan hancur, karena setelah itu merasa ‘saya ini orang yang bikin standarnya rendah-rendah doang’ –hancur lagi. Sama saja ujungnya. Saudara lihat, inilah pride. Pride itu bukan memikirkan diri tinggi atau memikirkan diri rendah; pride itu berfokus kepada diri. Apapun fenomenanya, baik itu high self-esteem maupun low self-esteem, dua-duanya adalah pride, dua-duanya destruktif bagi masa depan kita dan orang di sekitar kita. Dengan demikian, orang yang benar-benar rendah hati, adalah orang yang melupakan diri, yang hatinya bukan bengkak melainkan terisi —terisi penuh.
Orang yang rendah hati, bukanlah orang yang kempes, dan sudah pasti bukan orang yang bengkak, melainkan orang yang terisi. Orang seperti ini tidak akan pernah terluka oleh kritikan, namun pada saat yang sama dia juga mendengarkan kritikan. Saya belum pernah bertemu orang yang seperti itu, baik pada diri Saudara maupun diri saya sendiri. Tetapi harapannya adalah: semakin kita mendengar dan mengerti Injil Kristus, semakin kita bisa menjadi mirip seperti itu hari demi hari. Tidakkah kita mau menjadi orang seperti itu? Orang yang di satu sisi tidak terikat pengakuan orang lain, tapi juga tidak terikat pengakuan diri sendiri. Orang yang tidak ketakutan karena pengakuan namun juga tidak mengejar pengakuan. Orang yang ketika lewat di depan cermin, meringis, tapi juga tidak terkagum-kagum. Orang yang bisa jadi juara, tapi ketika hanya jadi juara 2 pun tidak iri, dia hanya berbahagia melihat pencapaian si juara satu. Orang yang tidak peduli entah dirinya pencetak gol atau pemberi umpan. Orang yang tidak peduli entah dia soloisnya atau pengiringnya. Orang yang sekadar berfokus pada kebaikan yang telah dihasilkan, itu saja. Itu sebabnya kalau Saudara lihat musik pop, hampir 99% artis musik pop fokus kepada diri, sedangkan orang-orang musik klasik, sometimes ketika main musik mereka bukan terfokus kepada diri tapi entah bagaimana terfokus pada musiknya; dalam musiknya Bach misalnya, waktu Bach menulis musik, dia bukan kembang-kempis memikirkan apakah musiknya bisa bikin dia naik gaji, dia sekadar terfokus pada keindahan yang dia sudah terlebih dahulu lihat yang dia ingin share kepada orang lain. Ketika Saudara punya humility seperti ini, Saudara justru jadi orang-orang yang bisa menikmati banyak hal dalam hidup ini. Orang-orang yang tidak humble, yang prideful –entah high self-esteem ataupun low self-esteem— salah satu kesedihannya adalah: mereka tidak bisa menikmati apapun, karena segala sesuatu urusannya jadi mengenai diri mereka sendiri.
Terakhir, kalau seperti itulah pride dan humility, bagaimana bisa mendapatkan humility seperti itu? Kalau humility adalah bukan mengenai diri kita, maka humility seperti ini tidak bisa kita lakukan, humility ini adalah humility yang tidak bisa kita raih –karena humility ini bukan mengenai diri kita ‘kan. Semakin Saudara mengatakan ‘bagaimana saya bisa jadi humble?’ maka semakin Saudara tidak humble, karena semakin Saudara berfokus pada diri, baik dengan mengatakan “saya sudah lumayan, lho”, maupun dengan mengatakan ”mampus gua, hancur gua, ‘gak pernah bisa humble gua kalau kayak gini”, ujungnya tetap sama saja, pride! Jadi, kerendahan hati yang sejati (true humility), itu tidak bisa dilakukan, tidak bisa diraih, hanya bisa diberikan. True humility, itu adalah pemberian dari Tuhan, bukan hasil pencapaian. Itu sebabnya salah satu terapi mencapainya adalah dengan pelayanan.
Pelayanan, memang pasti ada unsur terpaksa dan dipaksa; dan Saudara pikir itu negatif. Tapi tidak demikian; itu justru perlu. Itu terapinya. Ketika Saudara melayani, lalu Saudara merasa ‘saya sebenarnya ‘gak cocok dengan peran ini, masih ada orang lain yang benar-benar cocok; kenapa saya’ –mungkin talentanya tidak cocok, mungkin waktunya tidak cocok– tapi setiap kali kita sedang terpaksa/dipaksa melayani seperti iini, justru inilah pelayanan, karena dengan melayani seperti ini Saudara sedang dipaksa untuk keluar dari fokus diri. Dan, ini hanya bisa diberikan kepada Saudara, ini bukan sesuatu yang Saudara bisa ambil/raih. Waktu Saudara pelayanan, misalnya KKR Regional, Saudara selalu akan disuruh latihan khotbah. “Khotbah harus seperti ini, khotbah itu kayak begini” –ini nasihat, kritikan– dan Saudara lihat, kecenderungan jemaat selalu mengatakan, “Tapi saya sudah berusaha, saya …”. Inilah yang terjadi; dan itu sebabnya Saudara perlu pelayanan. Bagaimana Saudara bisa keluar dari pola seperti itu kalau bukan dari pelayanan? Pelayanan di gereja adalah terapinya. Saudara tidak stay di gereja karena gereja sesuai dengan kehendakmu, Saudara stay di gereja justru karena gereja adalah satu-satunya tempat Saudara senantiasa dilanggar kehendaknya. Tapi ini dilanggar bukan untuk menindasmu seperti di dunia, melainkan dilanggar untuk membawamu keluar dari dirimu. Di mana lagi Saudara mendapatkan tempat seperti itu? Namun itu tidak cukup, karena kalau cuma melayani seperti itu, kita cuma bisa melihat logika pentingnya diajak keluar dari diri. Apa yang bisa membuat kita benar-benar keluar dari diri, bagaimana kita bisa ditarik keluar, bagaimana kita bisa melakukan suatu hal yang dinamakan unselfing?? Sekali lagi, bukan dengan menuju kepada diri kita –itu justru problemnya– tapi hanya ketika kita melihat sesuatu di luar sana yang begitu indah, yaitu Allah kita, yang juga tidak pernah mementingkan diri-Nya.
Saudara, itu sebabnya Allah kita beda. Dalam agama lain, semboyan mereka tentang allah adalah ‘allah yang mahakuasa’; sedangkan dalam Kekristenan, tentu saja kita percaya Allah mahakuasa, tapi yang kita terus-menerus katakan: Allah kita adalah Kasih. Kasih itu apa? Kasih itu mengarah keluar, kasih itu tidak mementingkan diri. Hal ini sudah kita lihat sejak halaman pertamanya; sementara di tempat-tempat lain ketika allahnya mencipta, itu menunjukkan kuasa-nya allah tersebut, dalam kitab Kejadian –meski memang memperlihatkan Allah Saudara adalah Allah yang berkuasa– terutama meperlihatkan Allah yang memberikan, membagi kuasa-Nya. Mungkin Saudara ingat Dia mencipta dari tidak ada menjadi ada, ngomong lalu langsung jadi; tapi bukan cuma itu cara Allah kita mencipta. Waktu Dia menumbuhkan tanaman, Dia menyuruh tanah/bumi menumbuh-kan tanaman, Dia memberikan kuasa bagi bumi dan tanah untuk menciptakan kehidupan; tidak cuma keluar dari tangan-Nya, Dia melibatkan ciptaan-Nya yang baru saja Ia ciptakan. Waktu Dia menciptakan Saudara dan saya, Dia tidak sekadar ngomong lalu langsung jadi, Dia melibatkan debu tanah. Dan itulah yang Dia kerjakan terus; waktu Dia bekerja dalam dunia ini, Dia tidak sekadar mengatakan, “Sudahlah, Gua yang kerjain saja semua, beres urusannya”.
Saudara lihat dalam sejarah keselamatan, Allah bekerja dengan siapa? Allah bekerja hampir dalam setiap generasi dengan anak yang bungsu, dengan anak yang kedua, dengan anak yang ketiga, dengan anak yang terlupakan, dengan Daud si anak kedelapan –anak yang kelewatan karena 7 sudah cukup, sempurna. Dia bekerja dengan Habel dan Set, bukan dengan Kain. Dia bekerja dengan Ishak, bukan Ismael. Dia bekerja dengan Yakub, bukan Esau. Dalam budaya yang menyembah wanita cantik produktif, Allah bekerja dengan Sarai si mandul, bukan Hagar. Dia mendatangkan Mesias lewat Yehuda, anak Lea si mata sayu, bukan anak Rahel si cantik. Dia bekerja lewat Rahab si pelacur, dengan Hana yang mandul. Dan, tentu saja waktu Tuhan sendiri datang, Dia lahir di mana, kerja di mana, datang sebagai apa? Kalau Saudara ingin namamu dikenal 2000 tahun dari sekarang, jadi orang yang paling berpengaruh di dunia, jadi orang paling terkenal yang disembah hampir sepertiga total penduduk dunia; kalau Saudara ingin ajaranmu menjadi dasar yang mempengaruhi banyak negara menulis hukum konstitusi mereka, caranya bagaimana? Apakah Saudara akan mengambil cara Tuhan Yesus, dengan lahir di tempat yang hampir tidak ada yang tahu, di kandang binatang, dengan jadi tukang kayu 30 tahun? Apakah dengan cara Saudara menghindari masuk ke institusi-institusi masyarakat yang kuat, baik itu institusi p[olitik, ekonomi, atau akademika yang tinggi? Dengan cara terbunuh sebagai kriminal dalam usia yang sangat muda, baru separuh hidup? Apakah itu cara kita menjadi orang yang paling berpengaruh, berkuasa mengubah hidup jutaan bahkan miliaran manusia? Tapi itulah yang Yesus Kristus lakukan. Dan, tidak heran dikatakan Paulus, “Ia menjadikan kebijaksaaan dunia menjadi kebodohan”.
Saudara, kalau kita coba lakukan dengan cara kita, apakah akan berhasil? Kalau kita pakai cara dunia, dengan jadi filsuf besar, maka orang akar rumput tidak bakal mengerti kita. Kalau kita menjadi guru moral yang besar, maka yang bisa mengikuti kita hanyalah mereka yang bermoral tinggi. Tapi sekarang ini Saudara menemukan orang-orang yang Ph.D. terus-menerus menggali Firman-Nya tidak habis-habis; dan pada saat yang sama Kekristenan meledak di Afrika, di China, di tempat-tempat orang yang miskin, yang tertindas. Saudara pernah lihat orang miskin berkumpul, membuka buku, dan mengatakan ‘mari kita belajar Plato’? Tidak pernah; tapi mereka mempelajari Kristus. Yang tinggi, yang rendah, hidup mereka diubah. Kenapa? Bagaimana caranya? Karena Kristus datang membawa keselamatan yang datang dari humility, true humility; datang lewat kerendahan, kehinaan, lewat salib. Ia adalah Allah yang unselfish. Hari ini kita diingatkan lewat gambaran Perjamuan Kudus, gambaran sakramental (apa yang luar biasa, ditemukan dalam apa yang paling biasa), Allah semesta alam melambangkan diri-Nya dalam sepotong roti; roti cuma bisa jadi nutrisi, jadi daging-otot-darahmu, karena roti memberikan dirinya dicerna, diruntuhkan, dipecah-pecahkan –gambaran Allah yang unselfish. Ini caranya Saudara dan saya diubah menjadi orang-orang yang juga unselfish; bukan dengan menuju kepada diri kita, tapi dengan datang menghampiri meja-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading