Kita melanjutkan kisah hakim Yefta. Dalam khotbah sebelumnya, pasal 10 dan 11 awal, kita menemukan lagi dan lagi bahwa kitab Hakim-hakim memang bukan ditulis untuk jadi kisah inspirasional, melainkan sebagai suatu cautionary tale, suatu sign VERBODEN; kitab ini adalah satu gambaran mengenai betapa mengerikannya dampak pemberhalaan dalam hidup manusia. Menyembah berhala mengakibatkan penindasan, tapi orang yang tertindas di bawah berhala, justru makin intens menyembah berhala tersebut. Kalau Saudara menyembah berhala lalu gagal investasi, Saudara bakal makin intens cari uang, karena sekarang Saudara bukan cuma perlu menambah harta tapi juga perlu menambal hartamu. Kita juga sudah melihat bukan cuma natur dari berhala tapi juga solusinya; bahwa solusinya tidak bisa cuma dengan lepas dari berhalanya, tapi dengan menerima Tuhan sebagai Raja atas hidup kita. Good news dalam Kekristenan itu satu paket, bukan cuma dilepaskannya kita dari karam atau badai atau batu karang dalam kita melaut, tapi bahwa kita bisa dilepaskan dari itu semua adalah karena kita diikat dalam aturan kompas, aturan peta; aturan inilah yang membebaskan Saudara untuk tidak karam. Itulah yang kita lihat dalam khotbah sebelumnya. Kita juga sudah diperkenalkan dengan tokoh Yefta; dan sejak awal kita sudah lihat dia ini tokoh yang kompleks, tokoh yang punya banyak sisi, yang seperti saling berlawanan.
Kita akan melanjutkan pembahasannnya, tapi sebelumnya saya review sedikit apa yang sudah kita bicarakan. Kisah Yefta berpusat di daerah bernama Gilead; dan dikatakan ayah Yefta adalah Gilead. Ini mungkin bukan berarti nama ayahnya benar-benar Gilead –karena Gilead adalah nama daerah– mungkin maksudnya bahwa Yefta adalah anak orang penting di daerah tersebut, entah orang tersebut pendiri settlement di sana atau keturunan dari pendiri-pendirinya (seperti halnya kalau di GRII anda punya marga Tong). Di sisi lain, pada saat yang sama Yefta adalah anak seorang pelacur, maka dia diusir saudara-saudaranya dan jadi orang buangan yang tinggal di tanah Tob. Namun pembuangan inilah juga yang mengakibatkan Yefta bisa jadi seorang pahlawan gagah perkasa; dan ini yang menyebabkan tua-tua Gilead datang kepadanya, minta dia memimpin mereka dalam perang. Betapa kompleks.
Satu lagi lapisan kompleksitas yang kita sempat lihat ayat-ayatnya tapi belum kita bahas terlalu jelas, yaitu bahwa dalam dialog pertama, negosiasi Yefta dengan tua-tua Gilead, Yefta tidak serta-merta menerima peran pemimpin. Di Alkitab memang ada banyak tokoh yang menolak posisi pemimpin, misalnya karena merasa tidak pantas, dsb., namun alasan Yefta menolak sangat berbeda. Musa, Yeremia, dan juga yang paling dekat dengan kisah Yefta sendiri seperti Gideon, mereka menolak karena merasa tidak layak; dan mungkin justru kerendahan hati inilah yang memang merupakan kualifikasi paling penting bagi peran pemimpin. Tapi Yefta, dia menolak karena merasa dicurangi orang-orang Gilead; dan tujuan dia menolak adalah untuk mendapatkan counter offer yang lebih bagus. Dulu saya diusir ya, sekarang kamu minta saya balik, kamu ada maunya ya, tapi saya ‘gak mau cuma jadi pemimpin perangmu, saya mau jadi kepala atasmu; jadi kamu datang ke saya ada maunya, saya pun ada maunya. Itu sebabnya dari awal kita lihat Yefta tidak ada indikasi dia ada kepedulian akan orang Israel yang ditindas di bawah orang Amon, perang Amon-Israel hanyalah sarana untuk dia mencapai agenda pribadinya. Inilah orang yang sejak kecil tidak pernah dapat pengakuan, bahkan dari keluarganya sendiri, dan sekarang dia haus pengakuan dari orang lain. Tentu saja Yefta tidak melihatnya seperti itu, Yefta mungkin melihatnya semata-mata sebagai balas dendam yang bisa dibenakan —dulu lu paksa merendahkan gua, sekarang gua paksa lu meninggikan gua, siapa yang tertawa terakhir?!
Kita juga melihat pada bagian yang sama ada sisi yang lain, sisi yang sangat berlawanan, yaitu Yefta berkali-kali menyatakan bahwa kemungkinan menangnya dia adalah bergantung pada penyertaan Tuhan semata-mata. Di pasal 11:9 dia mengatakan, “Jika TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tanganku … “, dan juga belakangan dia membawa semua perkataan itu ke hadapan Tuhan di Mizpa, sebuah kota di Gilead. Intinya lewat gambaran-gambaran tersebut kita melihat Yefta ini ada ketergantungan kepada Tuhan, dia tahu dia hanya bisa sukses dengan penyertaan Tuhan. Jadi, kalau kita bandingkan dengan tokoh-tokoh sebelumnya, misalnya Gideon, ini lucu; Gideon ada kemiripan dengan Yefta. Gideon sebelum memimpin Israel juga sempat bentrok dengan keluarga papanya karena mereka bikin berhala. Gideon juga disebut sebagai pahlawan yang gagah perkasa. Gideon juga tidak menerima tugas begitu saja tugas memimpin –meski tentu saja alasannya berbeda– tapi paling tidak di bagian awalnya Gideon digambarkan punya kepedulian atas umat Tuhan, namun juga dia orang yang sangat ragu-ragu terhadap Tuhan. Yefta kebalikannya. Yefta sepertinya sama sekali tidak ada keraguan, Yefta sangat yakin dia perlu bergantung pada Tuhan, bahwa Tuhan adalah sumber kemenangannya –namun dia tidak ada kepedulian bagi umat Tuhan, sepertinya kepeduliannya hanyalah bagi dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan suatu suspense bagi kita, bagaimana kelanjutan ceritanya, apakah Yefta akan sukses atau tidak.
Bagian pertama, Hakim-hakim 11:11-29
Saudara, dialog kedua yang kita baca di bagian ini adalah dialog yang juga penting, karena dialog semacam ini tidak pernah muncul dalam kisah hakim-hakim sebelumnya. Dalam hakim-hakim yang sebelumnya, tidak pernah ada perang mulut lebih dulu dengan pihak musuh. Dalam kisah Yefta ini ada fokus “buka mulut” –perang mulut, buka mulut, perkataan, percakapan. Kita juga melihat ini penting, karena catatan tentang perangnya sendiri cuma 2 ayat sementara perang mulutnya 17 ayat. Lebih menarik lagi, di bagian akhirnya, ayat 28, raja Amon tidak menghiraukan perkataan Yefta yang panjang lebar ini. Kita jadi bertanya-tanya, kenapa bagian ini dicatat? Marilah kita telusuri dulu dialognya.
Pertama-tama Yefta mengirim pesan kepada raja Amon, “Kenapa kamu menindas negeriku?” Lalu raja Amon menjawab, “Karena tanah Gilead dulu adalah tanah kami, jadi sekarang kembalikan tanah kami”. Kalau Saudara pikir sekilas, mungkin benar juga raja Amon ini, karena Israel memang pendatang di daerah tersebut. Tetapi Yefta merespons dengan 4 arguman.
Argumen pertama adalah argumen dari sejarah (ayat 15-22), cerita panjang lebar mengenai Israel dulu begini begitu. Intinya, waktu dulu Israel datang, daerah yang dinamakan Gilead adalah daerahnya orang Amori, bukan orang Amon, “Kamu ‘gak di sana waktu itu.” Argumen kedua adalah argumen teologis (ayat 22-24), “Lagipula, orang Amori itu yang cari gara-gara dengan orang Israel, yang waktu itu cuma mau numpang lewat; raja mereka, Sihon, menyerang kami lalu kami mengalahkan mereka. Itu berarti —sesuai kepercayaan pada zaman itu– Allah kami, Yahweh, telah memberikan kepada kami tanah itu.” Ini memang common sense pada zaman itu, maka kemudian Yefta mengatakan, “Kamu sendiri, hai Raja Amon, kalau Kamos, dewamu itu, membuat kamu menang perang atas bangsa lain, tanah mereka ‘kan kamu ‘gak balikin tapi kamu anggap milikmu ‘kan?? Jadi sama juga dengan kami, tanah itu adalah tanah yang kami dapat karena kami menang perang; dan kami menangnya juga bukan karena kami yang cari ribut ya, kami sendiri yang dicari gara-gara oleh orang lain.“ Argumen ketiga adalah dari preseden apa yang terjadi sebelumnya (ayat 25). Amon itu dekat sekali dengan Moab, dewanya juga sama yaitu Kamos; maka Yefta mengatakan, “Kamu tahu ‘gak ada raja Moab, raja yang pada dasarnya sebangsa denganmu, yaitu Balak, yang sejak dulu sebenarnya bermusuhan dengan kami, tapi ‘gak pernah tuh dia menyerang kami, ‘gak pernah tuh dia cari gara-gara dengan kami, jadi kenapa kamu ‘gak ikut teladan dia??” Argumen keempat adalah argumen dari silence (ayat 26), yang pada dasarnya Yefta mengatakan, “Lagipula kami sudah tinggal di Gilead 300 tahun; kalau memang benar ini tanahmu, kenapa ‘gak dari dulu kalian melakukan sesuatu?? Kenapa baru sekarang ngomong?? Udah telat!!”
Saudara lihat, Yefta bukan orang yang sembarangan bicara. Waktu dia bicara, jurusnya jitu, tajam, dan begitu hebat. Maka konklusinya (ayat 27): “Bukan kami yang salah, kamu yang salah; dan biarkan Allah Yahweh menjadi hakim di antara kita.” Ini menarik. Sudah sering kita mengatakan hal ini sebagai central truth dalam kitab Hakim-hakim, bahwa kitab Hakim-hakim bukanlah urusan mengenai para hakim manusianya melainkan mengenai Allah Yahweh yang adalah Hakim di balik itu semua; dan sekarang lewat mulut Yefta hal ini menjadi sesuatu yang eksplisit, “Allah Yahweh, Sang Hakim itu, biarlah Dia menjadi hakim antara engkau dan aku”. Menarik juga bahwa perkataan ini ditaruh di pasal 11, yang kurang lebih berada di tengah dari kitab Hakim-hakim yang 21 pasal, dengan demikian ini bukan kebetulan. Lalu pertanyaannya, buat apa dicatat panjang lebar Yefta bicara ini, karena setelah itu di ayat 28 raja Amon cuek terhadap pesan ini? Kita bisa cukup yakin, bahwa tujuan Yefta memang bukan untuk mengubah pikirannya raja Amon; sepertinya tidak mungkin konflik militer bisa selesai dengan diplomasi seperti ini. Tetapi, mungkin bagi Yefta diplomasi seperti ini –karena tidak instan seperti WA atau telepon zaman sekarang– paling tidak bisa mengulur waktu, karena kita melihat di ayat 29 sepertinya dia keliling ke daerah Mizpa, Gilead, untuk mengumpulkan pasukan. Bisa juga perkataan ini diucapkan terhadap Amon tapi sebenarnya diucapkan bagi orang-orang sebangsanya, Israel, karena deklarasi seperti ini akan dibawa dari kota-ke kota, diumumkan kepada orang-orang Israel juga, sehingga mereka juga di-encourage, mereka juga tahu ada alasan yang kuat untuk mempertahankan diri dari klaim orang Amon. Itu mungkin tujuan yang kita lihat pada Yefta; tapi apa tujuan Sang penulis menuliskan bagian yang cukup panjang ini?
Saudara, gambaran ini sekali lagi menggambarkan karakter Yefta sisi positifnya. Ketika Yefta ini buka mulut (nama Yefta berasal dari kata iphthah, artinya ‘he, who opens’, dia yang membuka), kita melihat keahlian retorikanya sangat rapi, tajam, ada wibawa/otoritas, sampai-sampai ketika Yefta bicara, di ayat 15 ditulis dengan pakai frasa ‘beginilah kata Yefta’. Dalam bahasa Indonesia bagian ini mungkin bagi kita agak terlewatkan, seperti tidak ada arti apa-apa, tapi sebenarnya ini adalah formulasi yang dipakai untuk Tuhan sendiri; ketika Tuhan berfirman kepada para nabi-Nya, dikatakan, ‘thus said The Lord’. Jadi Yefta ini digambarkan berbicara seperti Tuhan berbicara.
Lebih lagi, dari bagian ini karakter Yefta digambarkan begitu positif karena Yefta punya satu hal yang Israel sangat butuh tapi tidak punya, yaitu Yefta punya good memory, Yefta peka akan sejarah, Yefta nyambung dengan “voices from the past” –kalau kita pakai istilah judul buku yang terkenal itu. Israel itu problemnya apa sih dalam kitab Hakim-hakim? Sangat jelas kita lihat, begitu hakimnya mati maka mereka kembali menyeleweng. Ini berarti problem orang Israel bukan cuma lupa dengan pekerjaan Tuhan di masa lampau yang zaman Musa, Mesir, dsb., tapi bahkan dari era hakim yang baru lewat pun mereka sudah lupa. Inilah tepatnya alasan mengapa Tuhan marah dan menolak menyelamatkan mereka lagi di pasal 10 yang sudah kita baca –“Kamu sudah menyembah dewa-dewi, sementara Aku sudah menyelamatkanmu 7 kali dan kamu tidak pernah ingat!” Bahkan Gideon pun ada problem seperti ini; waktu Gideon dipanggil Tuhan, dia komplain, “Kenapa Tuhan, Engkau tidak menyelamatkan kami?” Gideon cuma ingat separuh; Gideon cuma ingat ada janji Tuhan bagi Israel, tapi dia lupa ada tuntutan kesetiaan dari Israel kepada Yahweh –problem memori. Sedangkan Yefta, lewat perkataannya tadi kita melihat dia sangat berbeda. Yefta seseorang yang sangat nyambung dengan sejarah, dengan voices from the past; dia peka dengan apa yang Tuhan lakukan bagi Israel –tangan Tuhan di balik kemenangan-kemenangan Israel– sampai 300 tahun silam. Ini adalah iman yang begitu kuat, dan mungkin harapannya jika Yefta jadi hakim atas Israel, maka Israel juga bisa menyerap iman kepekaan akan masa lampau seperti ini. Mungkin inilah sebabnya Yefta masuk dalam daftar para pahlawan iman di Ibrani 11 –dan bukan karena janji berikutnya yang disaster itu. Jadi kita melihat Yefta ini tidak kekurangan iman.
Lalu apa problem Yefta, akan kita lihat nanti; tapi problem Yefta bukanlah dia kurang iman, bukan bahwa dia bisa melihat di balik sejarah ada tangan Tuhan dengan begitu jelas –bukan itu problemnya Yefta. Untuk saat ini, kita melihat lewat dialog tadi, Yefta digambarkan sebagai seseorang yang skill retorikanya tingkat tinggi, dan sebagai orang yang punya sesuatu yang Israel sangat butuhkan, good memory. Memang bagi beberapa komentator, ayat 29 waktu dikatakan ‘Roh Tuhan menghinggapi Yefta’, koneksinya adalah dengan bagian yang sebelumnya yaitu dialog tadi, bagian di mana iman Yefta dipelihatkan begitu rupa, sehingga konklusinya Roh Tuhan menghinggapi Yefta; jadi hubungannya bukan dengan bagian berikutnya, nazar Yefta yang adalah bencana itu. Jadi, dalam bagian ini kita melihat ada penggambaran Yefta yang begitu tinggi, tapi sekali lagi, Yefta ini orangnya nyampur (mixed bag). Kita akan melanjutkan ceritanya.
Bagian kedua, Hakim-hakim 11:29-40
Saudara lihat di sini, catatan mengenai nazar Yefta lebih penting daripada pertempurannya, karena hal ini muncul sebelum pertempurannya, lalu setelah pertempurannya yang cuma dua ayat, ceritanya kembali ke urusan nazar ini sampai belasan ayat. Jadi ada sesuatu yang menarik di sini. Kalau dibandingkan dengan bagian sebelumnya, penulis sepertinya sengaja menempatkan urusan skala nasional –penyelamatan Israel dari tangan Amon– di back drop, sementara yang lebih di depan panggung adalah urusan dalam skala personal Yefta. Saudara lihat dalam bagian sebelumnya pun, urusan diplomasi Yefta eksis ditulis untuk memperlihatkan karakter pribadi Yefta, dan sesungguhnya tidak terlalu berrdampak pada perannya. Lalu di bagian ini, kisah peperangannya sendiri hanya menjadi latar dari nazar Yefta serta tragedi yang menyusul. Urusan nazar inilah yang pastinya Saudara penasaran; bagaimana kita mengertinya?
Pertama-tama, saya tidak setuju dengan tafsiran yang berusaha meredam atau mengurangi nazarnya bahwa maksud nazarnya mungkin bukan benar-benar tentang manusia tapi binatang, dsb., karena sepertinya memang tidak demikian. Pertama, karena dikatakan bahwa yang mau Yefta korbankan ini keluar dari rumah, dan menyambut. Memang kata-kata yang dipakai tidak cuma bisa berarti ‘orang’, tapi pastinya pada zaman itu binatang tidak masuk ke dalam rumah. Lalu kalau dikatakan ‘keluar dari rumah dan menyambut/menyongsong’, itu seperti mengacu pada orang, manusia yang punya kesadaran, sesuatu pribadi, bukan binatang –karena zaman itu tidak ada doggy yang keluar dari rumah dan menyambut dengan goyangan ekor. Selain itu, jika yang Yefta maksudkan adalah binatang, maka ketika yang keluar anaknya, Yefta harusnya tahu dalam hal ini janjinya tidak mengikat. Fakta bahwa Yefta merasa janji tersebut ter-aplikasi bagi anaknya, berarti dia tahu sebenarnya kata-katanya tadi mengacu pada apa.
Yang kedua, orang juga sering mengatakan mungkin anaknya itu tidak benar-benar dikorbankan dan mati, cuma jadi biaawati atau semacamnya (perpetual virginity). Namun kalau memang demikian, maka usulan si anak untuk meratapi nasib selama dua bulan jadi tidak masuk akal, karena buat apa seumur hidup perawan lalu ditambah 2 bulan meratapi keperawanan?? Lagipula keperawanan dalam konteks kuno bukanlah urusan hubungan seks tapi urusan identitas; maksudnya, seorang wanita baru merasa jadi wanita –punya identitas sebagai seorang Wanita– ketika dia punya seorang pria, ketika dia hidup bagi seorang pria dan anak-anaknya. Omong-omong, ini tidak kontroversial, tidak patriarkal, karena sama juga seorang pria sering kali baru merasa jadi lelaki ketika kita hidup bagi seorang wanita dan anak-anaknya. Juga dikatakan bahwa Yefta melakukan sesuai dengan yang dia nazarkan (ayat 39) –dan nazarnya memang adalah mengorbankan sebagai korban bakaran. Jadi, sepertinya tidak ada indikasi yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa makna nazarnya tidak setajam atau sesadis yang kita pikir.
Lalu jika Yefta mengorbankan anaknya sendiri, bagaimana kita mengerti hal ini, kenapa Yefta melakukannya? Dari semua tafsiran yang saya baca, ada satu hal yang cukup baru yang saya bisa sharing-kan kepada Saudara, yaitu sepertinya ada semacam mixed bag lagi di sini. Kita sudah melihat berkali-kali dalam diri Yefta bahwa Yefta ini campuran, ada sifat-sifat yang kontradiktif bercampur dalam dirinya. Nazar tadi, jelas dari kata-katanya bukan mengacu pada binantang, tapi di sisi lain, dari reaksi Yefta, kita melihat Yefta tidak berharap untuk mengorbankan anaknya sendiri. Kata-katanya jelas tidak mengacu pada binatang, tapi intensinya sepertinya berbeda. Lalu apa yang terjadi ketika antara kata-kata dan intensi kita berbeda? Seorang penafsir Yahudi, Eliyahu Assis, mengusulkan bahwa ini mungkin momen ketika Yefta, sang orator hebat, sang ahli retorika, orang yang begitu hebat membuka mulut, melakukan satu hal yang di zaman modern ini kita sebut freudian slip, kepleset. Sang ahli retorika, sang ahli perang mulut, dia kepleset urusan mulut.
Apa maksudnya freudian slip? Kita ini, semakin dewasa semakin jago menyembunyikan perasaan riil kita di balik kata-kata. Kita tidak ngomong sepersis-persisnya apa yang benar-benar kita rasakan, apalagi ketika perasaan kita itu memalukan. Tapi sesekali kita bisa error, dan bocorlah keluar apa yang benar-benar ada di dalam hati kita. Contoh freudian slip yang paling terkenal, misalnya ketika seorang suami panggil istrinya dengan nama bekas pacarnya, kira-kira seperti itu. Lalu maksudnya apa ketika Yefta dikatakan telah melakukkan freudian slip? Ingat, dari awal kita sudah melihat Yefta ini ada warna egosentrisnya; urusan nasional bagi dia hanya sekunder, cuma sarana, sedangkan tujuan utamanya adalah lewat semua ini dia kembali mendapatkan apa yang dia rasa telah dirampok darinya, yaitu nama baiknya, pengakuan orang atasnya. Sama juga dengan alasan dia mengucapkan nazar tersebut, bukanlah untuk memperjuangkan keselamatan Israel dalam skala nasional; dia mengucapkan nazar ini untuk lebih menjamin dia bisa mendapatkan kesuksesan personalnya dan hasratnya sendiri, demi mendapat pengakuan banyak orang. Dalam kasus seperti ini, mungkin sekali Yefta hanya mau mengatakan soal pengorbanan binatang, tapi hatinya sedang terfokus pada goal utamanya, dia membayangkan ketika dia pulang dengan sukses maka orang-orang banyak yang berkumpul itu mengelu-elukan namanya sebagaimana biasanya orang menyambut pahlawan perang yang pulang dengan kemenangan –dan itulah yang keluar dari mulutnya.
Saudara, waktu pertama kali saya baca tefsiran ini, terus terang saya rasa ini agak maksa, sedikit mengada-ada, kayaknya membaca terlalu dalam psikis Yefta dari satu kalimat tok tanpa dasar yang cukup kuat. Tapi ternyata ada argumennya. Kalau Saudara melihat kalimat janji Yefta, itu suatu kalimat yang amat sangat self-centered. Hakim-hakim 11:30-31, “Jika Engkau sungguh-sungguh menyerahkan bani Amon itu ke dalam tangan-ku, maka apa yang keluar dari pintu rumah-ku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, … “. Bandingkan dengan kalimat-kalimat lain dari para tokoh Alkitab yang sering kali menggunakan ‘kami’. Contohnya, waktu Gideon berdialog dengan Malaikat Tuhan di pasal 6: “Ah, tuanku, jika TUHAN menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami? Di manakah segala perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib yang diceritakan oleh nenek moyang kami kepada kami, ketika mereka berkata: Bukankah TUHAN telah menuntun kita keluar dari Mesir? Tetapi sekarang TUHAN membuang kami dan menyerahkan kami ke dalam cengkeraman orang Midian.” Setelah mendengar Gideon mengatakan seperti ini, baru Malaikat Tuhan itu memfokuskan pada Gideon dengan mengatakan, “Tidak, Gideon; Aku mengutus engkau!” –satu orang. Jadi pem-fokus-an itu terjadi lewat Malaikat Tuhan, sementara Gideon sendiri tidak melihat dirinya sebagai satu orang tersendiri, Gideon melihat sebagai ‘kami’, ada solidaritas dengan umat Tuhan. Sedangkan Yefta, bukan cuma dalam hal janjinya ini begitu self-centered, sejak awal dia pergi untuk perang skala nasional pun itu cuma sesuatu yang sekunder, karena tujuan utamanya adalah skala personal, dia ingin mendapatkan pengakuan, dia ingin mendapatkan nama baiknya kembali. Hal ini sudah diantisipasi sejak dia pertama kali membuka mulut, dia menerima peran penyelamat dengan syarat tujuan personalnya dipenuhi. Saudara tentu tidak harus setuju dengan saya, karena ini memang tafsiran, tapi ini tafsiran yang menarik untuk melihat bahwa waktu Yefta bernazar, dia sedang membayangkan hasrat hatinya yaitu orang-orang berkumpul mengelu-elukan namanya –dan itulah yang akhirnya keluar dari mulutnya, sengaja atau tidak sengaja.
Setelah kemenangan Yefta, berikutnya dengan cepat diberitahukan kepada kita kembali urusan nazar ini. Detail pertama, dikatakan Yefta pulang ke rumahnya di Mizpa. Ini satu hal yang menarik, karena selama ini Yefta sebenarnya tidak tinggal di Mizpa, tapi ditanah Tob (karena dia dibuang ke tanah Tob). Jadi Mizpa ini adalah rumah Yefta yang baru setelah tua-tua Gilead membawa dia pulang. Inilah tempat di mana Yefta membawa semua perkataannya ke hadapan Tuhan, inilah tempat yang mengindikasikan transisi Yefta dari seorang buangan menjadi seorang warga. Jadi, waktu Yefta pulang ke Mizpa –pulang ke daerah Gilead– dia bukan berharap pulang menemui keadaan rumah yang enak, dia berharap kembali kepada orang-orang yang seharusnya sekarang mengelu-elukan dirinya. Dia berharap melihat reaksi umat Tuhan, tua-tua Gilead dan orang-orang banyak itu, ketika dia sekarang pulang dengan pencapaian. Dia merasa menjalankan misinya dengan sukses. Dan, inilah mungkin tragedinya.
Membaca bagian ini, kita mungkin juga membayangkan ada banyak orang menyambut Yefta, hanya saja yang memimpin di paling depan adalah anaknya sendiri, sehingga Yefta harus mengorbankan anaknya. Tetapi mungkin gambarannya bukan seperti itu. Dalam bahasa Ibraninya ada satu hal yang menarik karena bahasa Ibrani bisa punya banyak lapisan makna. Waktu di ayat 34 dikatakan: ‘Ketika Yefta pulang ke Mizpa ke rumahnya, tampaklah anaknya perempuan keluar menyongsong dia dengan memukul rebana serta menari-nari. Dialah anaknya yang tunggal; selain dari dia tidak ada anaknya laki-laki atau perempuan’, kalimat ‘dialah anaknya yang tunggal’ ini dalam bahasa Ibrani bukan secara spesifik mengacu pada urusan jumlah anak, tapi secara literal yang dikatakan adalah: ‘anaknya itu satu-satunya’. Ini berarti kalimat ‘anaknya itu satu-satunya’ bisa Saudara baca ke belakang, yaitu mengacu pada anak tunggal, karena dikatakan selain dia tidak ada anaknya yang lain baik laki-laki ataupun perempuan; tapi Saudara juga bisa baca dengan mengacu ke depan, yaitu bahwa pada dasarnya yang menyambut Yefta pulang dari peperangan untuk mencari nama, hanyalah anaknya seorang diri, tidak ada orang lain yang menyambut dia. Inilah tragedi sesungguhnya. Anak Yefta keluar, menyanyi dengan rebana dan menari –dan memang itu yang Yefta cari– tapi Yefta mengharapkan yang melakukannya adalah ratusan bahkan ribuan orang Israel yang dia selamatkan. Kenyataannya, selain anaknya sendiri, tidak ada orang lain yang menyambut kedatangannya.
Saudara, kalau mengambil tafsiran ini, maka betapa ironis. Yefta keluar perang terhadap Amon demi mencari status/pengakuan di mata Israel, dia telah mendapatkan kepemimpinan atas orang Israel tetapi orang Israel tidak keluar untuk menyambut dia, tidak menyongsong dia sebagai pahlawan menang perang. Dia pindah balik ke Mizpa, ke kampung halamannya, dia merasa sudah full circle, ‘dulu aku dibuang dengan malu, sekarang aku pulang dengan kemenangan’, tetapi tidak ada yang menyambut dia dan tidak ada yang memberikan pengakuan. Ketika Saudara memperhatikan ini, baru kita menyadari bobot tragedi yang menimpa Yefta, bahwa bukan cuma dia tidak mendapatkan apa yang jadi hasrat hatinya, dia kehilangan apa yang dia miliki. Dia mencari dan mengejar penerimaan dari orang banyak, dan bukan cuma ini tidak terjadi, tapi sekarang dia kehilangan anaknya satu-satunya, yang sesungguhnya adalah satu-satunya orang yang menerima dia, menyongsong dia, menyambut dia dengan rebana dan tarian ketika dia kembali. Apa masih bisa lebih tragis lagi?? Ternyata bisa, karena ceritanya masih berlanjut.
Lanjutannya, kita melihat respons Yefta dan dialog dia dengan anaknya, dialog yang ketiga dalam kisah Yefta. Ayat 35: ‘Demi dilihatnya dia, dikoyakkannyalah bajunya, sambil berkata: “Ah, anak-ku, engkau membuat hati-ku hancur luluh dan engkaulah yang mencelakakan aku; aku telah membuka mulut-ku bernazar kepada TUHAN, dan tidak dapat aku mundur.”’ Membaca respons Yefta ini, Saudara melihat apa? Bukankah di sini self-centeredness Yefta kembali muncul? Dia sebenarnya menyalahkan anaknya, ‘engkaulah yang mencelakakan aku’; somehow tidak terpikir bahwa dia sendirilah yang bersalah karena dia sendiri yang membuat janji tersebut. Yang kedua, karena keegoisannya itu Yefta gagal melihat tragedi yang menimpa anaknya; dia hanya fokus pada tragedi yang menimpa dirinya. Ini kacau sekali, karena bukankah yang dialami anaknya tidak kurang tragis?? Anaknya keluar menyambut dia, memberikan kepadanya apa yang dia cari –pengakuan, penerimaan– namun demikian karena itulah ayahnya langsung beritahu dia blak-blakan, ‘saya akan korbankan kamu sebagai korban bakaran’. Ini gambaran egosentris Yefta yang luar biasa, sampai dia tidak bisa melihat kesedihan anaknya sendiri.
Kita juga tidak melihat Yefta berusaha mencari jalan keluar (loophole). Belakangan dalam kitab 1 Samuel, Saul juga sempat mengucapkan sumpah, mengutuk siapapun yang makan sebelum musuh kalah; dan anaknya, Yonatan, ketahuan makan madu. Saul hampir mengeksekusi Yonatan, tapi kemudian ada pihak ketiga, yaitu orang Israel, yang lalu menghadang Saul; dan hari itu Yonatan selamat. Dalam kisah Yefta, tidak ada pihak ketiga ini, dan Yefta sendiri pun tidak mengusahakan untuk mencari loophole itu.
Ironi yang lebih dalam lagi ketika kita melihat respons Yefta berikutnya. Ayat 36, anak Yefta mengatakan: “Bapa, jika engkau telah membuka mulutmu kepada TUHAN, lakukan kepadaku apa yang sudah keluar dari mulutmu”. Anak Yefta bisa melihat sudut pandang Yefta, sementara Yefta sendiri tidak bisa melihat sudut pandang anaknya. Lalu ayat 37 dikatakan: ‘Lagi katanya kepada ayahnya … ‘, berbicara soal tunda dua bulan. Bagian ini juga ironis, karena beberapa penafsir mengatakan adanya frasa ‘lagi katanya’ seperti ini, menunjukkan ada jeda (pause) di antara dua kalimat anak Yefta. Perhatikan, kalimat anak Yefta di ayat 36 dan 37 itu sebetulnya langsung, tidak perlu dibagi dua, karena yang bicara anak Yefta terus; lalu kenapa diberi jeda ditengah-tengah? Ada kemungkinan karena anak Yefta mengharapkan papanya merespons dulu, maka ada jeda; paling tidak coba cari loophole, coba respons sedikit, atau paling tidak kamu mengungkapkan kesedihan hati kek melihat anak itu begitu helpless, atau berusaha menghibur kek, atau apa … Tapi, Saudara cuma melihat silence. Itu sebabnya anaknya sendiri yang harus melanjutkan, anaknya yang harus mengusulkan, “Tunda dua bulan, papa, untuk meratap.” Di sini mungkin anaknya mengharapkan ‘kamu dong harusnya yang ngomong, ini minimumnya, tapi kamu ‘gak melakukannya’, dan penundaan tersebut harus datang dari anaknya sendiri. Akhirnya Yefta berespons, dan kita melihat responsnya menunjukkan seberapa egoisnya Yefta. Yefta merespons perrmintaan anaknya untuk menunda, hanya dengan satu kata: “Go –pergi.” Saudara, di hadapan pengorbanan diri anak Yefta, tragedinya adalah betapa Yefta tidak menghiraukan sorrow anaknya, tidak ada simpati, cuma ditulis ‘ia membiarkan gadis itu pergi dua bulan lamanya’. Setelah dua bulan, anak Yefta ini, atas dasar kesetiaan dia tidak kabur, dia kembali; dan Yefta tetap tidak ada indikasi simpatik, dia hanya melakukan pada anaknya apa yang telah ia nazarkan. Itu saja.
Waktu dikatakan anak Yefta pergi meratap, dia tidak sendirian, dia pergi meratap bersama teman-temannya, yang biasanya sesama gadis. Bahkan kita melihat dikatakan bahwa menjadi tradisi gadis-gadis Israel berikutnya untuk meratapi anak Yefta. Saudara tahu kenapa ada bagian ini? Karena ini mau menunjukkan siapa yang tidak meratap bersama dengan anak Yefta, yaitu Yefta sendiri.
Saudara, itu sebabnya kita sekali lagi melihat cerita ini begitu tragis, tepat sekali karena Yefta ini ada 2 sisi yang seperti berlawanan. Ada sisi di mana dia dipakai Tuhan begitu luar biasa, dia punya iman yang mungkin melampaui bahkan Gideon. Tapi lihat, skill omongannya yang begitu hebat, imannya yang begitu kuat, ada hanya untuk pada akhirnya kita bisa melihat seberapa dalam dia jatuh habis-habisan, seberapa sang orator hebat itu akhirnya gagal karena mulutnya sendiri, seberapa orang yang dikatakan beriman –dikatakan beriman karena dia peka pada masa lalu, peka pada voices from the past, peka pada tradisi/sejarah Israel– namun juga somehow dia tidak tahu ada banyak sekali larangan dalam Taurat untuk tidak melakukan human sacrifice! Yefta ingat banyak hal, dia lupa satu hal yang paling krusial. Saudara, semua ini sengaja memperlihatkan tragedi dalam hidup Yefta.
Lalu apa makna dan signifikansinya bagi kita hari ini? Banyak orang mengambil pelajaran yang simpel. Misalnya bahwa inilah sebabnya kita perlu belajar menjaga lidah kita; dan tentu saja itu satu hal yang penting.
Pelajaran yang lain, misalnya memperlihatkan bahwa inilah sebabnya kita musti sadar satu hal, Tuhan itu bisa menulis dengan pensil yang bengkok. Tuhan itu bekerja melalui orang-orang; dan jangan sekali-kali pernah berpikir, bahwa ketika Tuhan bekerja melalui orang-orang tertentu, itu adalah karena orang-orang ini telah selesai dibentuk sempurna oleh Tuhan. Betapa sering kita berpikir seperti itu. Tapi ini bukan excuse untuk para pelayan Tuhan mengatakan, “Tuh, ‘kan, Yefta yang hancur kayak begitu saja dipakai Tuhan, jadi hati tidak penting, yang penting dipakai Tuhan”. Itu salah. Sama sekali bukan demikian, justru terbalik. Ini justru warning; warning-nya adalah: Saudara dan saya dipakai Tuhan, itu yang justru tidak penting, karena semua orang Tuhan bisa pakai, termasuk orang seperti Yefta. Jadi, yang penting adalah hati kita beres di hadapan Tuhan atau tidak. Ini satu pelajaran yang kita bisa tarik juga.
Namun pelajaran yang lebih penting dan lebih dalam dari bagian ini adalah: untuk kita menyadari bahwa kita ini jauh lebih terpengaruh oleh budaya kita —budaya dunia— dibandingkan dipengaruhi oleh Alkitab. Kita inilah orang-orang yang hidupnya nyampur, kita inilah mixed bag, lebih daripada yang kita mau akui. Kita gampang untuk menghakimi dan mengutuk Yefta karena kita budayanya beda, kita tidak mengorbankan anak seperti itu. Betapa gampang kita melihat Yefta sebagai orang yang memang hancur banget, parah banget; tapi tujuan Alkitab adalah untuk kita semua refleksi. Kalau kita gampang sekali mengkritik Yefta karena kita beda kultur dengan Yefta, mungkin juga sangat gampang orang lain dari kultur yang berbeda untuk langsung melihat blind spot kita, karena yang namanya blind spot itu kita buta, kita tidak bisa melihat sendiri. Jadi ini satu hal yang kita bisa pelajari.
Saudara, pada dasarnya kita melihat yang terjadi di sini adalah suatu gambaran era hakim-hakim yang begitu penuh dengan perkataan. Saudara lihat kisah ini penuh dengan perkataan, orang-orang buka mulut. Pertama, Israel buka mulut komplain kepada Tuhan. Tuhan buka mulut untuk menegur Israel. Israel buka mulut lagi, bertobat kepada Tuhan. Orang Amon buka mulut mereka untuk mengumpulkan tentara. Orang Gilead juga mengumpulkan tentara mereka dengan membuka mulut. Yefta masuk ke adegan, dan Yefta juga buka mulut; yang pertama: Yefta negosiasi, yang kedua: Yefta diplomasi, yang ketiga: Yefta akhirnya buka mulut mengucapkan nazar yang bencana itu. Pada dasarnya inilah gambaran dari era hakim-hakim, mulut-mulut yang terbuka di mana-mana, yang semuanya bicara pada saat yang sama, seperti Saudara mendengarkan radio yang tumpang tindih dalam frekuensi yang sama maka Saudara tidak bisa dengar apa-apa, berisik, penuh dengan segala macam masuk di situ. Ada kebenaran, ada suara Tuhan, tapi ada juga half truth, ada juga hoax, ada juga kebohongan. Ini bukan kebetulan, karena gambaran sejak awalnya kisah ini yaitu orang Israel menyembah tujuh dewa-dewi yang lain-lain semua. Tidak heran Tuhan mengatakan, ‘Inilah alasannya Saya suruh kamu mengusir keluar semua bangsa-bangsa lain –Saya suruh kamu mematikan stasiun-stasiun radio yang asing itu’. Saudara, ini satu hal yang kita bisa jelas lihat, maka kita juga bisa lihat hidup kita hari ini tidak jauh beda.
Apa blind spot kita? Di bagian mana kita lebih terpengaruh dengan dunia ini dibandingkan oleh Alkitab? Apa yang kita bisa belajar dari Yefta; kita melihat Yefta ini terikat oleh apa? Dia tidak menyembah dewa-dewi lain. Dia punya iman yang begitu kuat kepada Allah Israel. Dia tahu bahwa kemenangan hanyalah atas dasar Allah Israel; dia tahu kalau bukan karena Tuhan, dia tidak mungkin sukses. Imannya jelas sekali. Itu sebabnya dia tidak menyembah berhala dalam bentuk Baal dan Asytoret, atau dewi orang Sidon dan segala macam lainnya. Namun pada dasarnya di sini kita melihat ada idolatry yang ke-8, dan idolatry ini mungkin adalah idolatry semua orang modern, yaitu idolatry ‘kita mengangkat kesuksesan pribadi di atas kebaikan bersama’. Saudara melihat hal itu di dalam diri Yefta. Kalau Saudara mengejar kesuksesan pribadi, kenyamanan pribadi, keuntungan pribadi, selalu Saudara akan mengorbankan kebaikan banyak orang.
Belum lama ini saya mengobrol dengan seorang gembala sidang gereja cabang di Australia. Dia ini bukan gembala sidang yang buta, dia tahu sinode kita tidak sempurna, yang namanya gereja pasti ada kekurangan, tapi dia mengatakan, “Waktu saya kerjakan satu proyek sendiri, tidak ikut apa yang Pusat lakukan, akhirnya dua-duanya ‘gak jalan; sedangkan ketika saya coba ikuti apa yang Pusat lakukan, dan saya tambahkan apa yang saya rasa penting, dua-duanya jalan.“ Kenapa bisa begini, dia bingung. Namun saya rasa jawabannya simpel, yaitu karena dalam Gereja Tuhan, yang penting di mata Tuhan bukanlah cuma bahwa yang Saudara lakukan benar atau tidak, tapi juga unity dalam Gereja Tuhan. Kesatuan dalam umat Tuhan, sangat penting. Kita sering kali membutakan diri terhadap hal ini karena kita orang-orang Protestan, yang kalau ada konflik lalu pecah dan bikin cabang baru, bikin gereja baru, denominasi baru. Kita ini gereja dalam aliran yang memang sangat mementingkan Firman Tuhan, tapi di sisi lain sering kali lupa bahwa begitu banyak kali Tuhan mendoakan jemaat-Nya supaya menjadi satu. Paulus berkali-kali mengatakan, di dalam Tubuh Kristus tidak ada lagi budak, tidak ada lagi orang merdeka, tidak ada lagi orang kaya, tidak ada lagi orang miskin, tidak ada lagi orang Yunani, tidak ada lagi orang Yahudi. Berkali-kali hal tersebut muncul di Alkitab, dan kita sering kali lupa. Unity dalam Tubuh Kristus penting.
Contoh lain, David Brooks, seorang penulis Kristen, melihat bahwa dalam budaya kita hari ini ada budaya kompetisi, mengejar sukses. Ini bukan cuma di sekolah, tapi termasuk juga para orangtua mendidik anaknya untuk mengejar kesuksesan seperti itu; dan pada akhirnya generasi muda kita hari ini berlomba-lomba masuk bidang finance, consulting, law, medicine, karena gajinya tinggi dan ada aura kesuksesannya. Sedikit sekali anak muda yang mulai memikirkan kariernya atas dasar ‘apa tujuan hidup saya, apa pekerjaan yang lebih bermakna’. Mereka tidak bertanya ‘apa pekerjaan-pekerjaan yang membantu umat, membantu masyarakat’; mereka bertanya ‘apa pekerjaan yang membantu saya, apa pekerjaan yang paling berguna untuk saya’. Kita sendiri juga adalah orang-orang seperti ini.
Gembala sidang tadi cerita kepada saya, di gereja cabang luar negeri ada pergumulan apakah mau mengadopsi bahasa asing setempat dalam kebaktian, atau tetap pakai bahasa Indonesia. Di satu sisi ada tekanan, kalau berada di Australia, ya, harus jadi berkat untuk orang Australia, lalu bagaimana mungkin kalau kebaktiannya pakai bahasa Indonesia?? Ditambah lagi ketika keberadaan gereja tersebut sudah cukup lama sehingga sudah lahir second generation yang memang lahir di situ, dan mereka kebanyakan sulit berbahasa Indonesia. Lebih celakanya lagi, orangtua sering kali tidak merasa bahasa Indonesia perlu, “Ngapain belajar bahasa indonesia, Pak, ‘kan kita juga ‘gak bakal balik lagi ke Indonesia??” Ini bukan cuma terjadi di Australia, tapi di Indonesia pun banyak anak-anak yang bersekolah di sekolah internasional, dan orangtuanya tidak merasa mereka perlu belajar bahasa Indonesia, biar saja bahasa Inggris terus di rumah dan di mana pun. Di satu sisi, orang bisa membela pendapat seperti ini dengan mengatakan, “Memang ‘kan mau outreach, jadi ya seperti itu.” Tapi gembala sidang tadi punya perspektif lain; dia mengatakan, “Entah kenapa saya tidak bisa pertanggung-jawabkan pada waktu itu, tapi saya perjuangkan mati-matian seorang diri supaya anak-anak Indonesia di GRII di Australia tetap berbahasa Indonesia”. Kebaktian remaja di situ berbahasa Indonesia, kebaktian umum ada terjemahan bahasa Inggris karena memang ada orang-orang baru yang tidak bisa bahasa Indonesia. Dia juga terus meng-encourage para orangtua untuk berbahasa Indonesia di rumah sebisa mungkin. Belakangan, dia baru tahu kenapa perlu melakukan itu, yaitu ketika anak-anak remaja di situ mulai bikin study group. Yang ikut study group ini bukan cuma anak-anak Indonesia, tapi juga anak-anak bangsa lain yang ada di sana; dan justru lewat itulah bisa ada outreach. Dari mana outreach-nya? Outreach-nya adalah karena anak-anak ini dari kecil dibiasakan dengar khotbah bahasa Indonesia, dengar pengkhotbah-pengkhotbah berbahasa Indonesia; dan Saudara tahu, bahasa tidaklah netral, bahasa membawa budaya. Kalau Saudara hanya berbahasa Inggris, Saudara akan berbudaya Barat. Kalau Saudara berbudaya Barat lalu mau outreach ke orang Barat, itu namanya bukan outreach; memangnya Saudara outreach dari Barat ke Barat?? Outreach itu berarti ada perubahan daerahnya, bukan?? Jadi, justru dengan anak-anak ini belajar bahasa Indonesia, mereka bisa dengar pengkhotbah-pengkhotbah orang Indonesia yang spiritnya lain, yang kulturnya lain. Gembala sidang tadi mengatakan, “Kamu harus tahu ya, budaya Indonesia itu tidak ada ateis; budaya Indonesia paling parahnya animis, tapi tidak ada ateisme di Indonesia. Jadi, kalau anak-anak di luar negeri jadi ateis, itu bukan karena pengaruh Indonesia, itu karena pengaruh Barat. Lalu kamu bingung caranya menghalangi itu?? Kamu bingung kenapa anak-anakmu jadi ateis, padahal kamu sendiri yang mengajari mereka untuk hanya bisa bahasa Inggris, kamu tidak mengusahakan mereka bisa berbahasa Indonesia. Bagaimana bisa begitu??” Saudara, gembala sidang ini mengatakan, “Kalau mereka hanya bisa bahasa Inggris, lebih baik mereka dengar saja John Piper, Tim Keller, dalam bahasa Inggris; mereka tidak perlu dengar saya lagi, buat apa mereka dengar saya bicara bahasa Inggris belepotan?? Tapi kalau mereka bisa bahasa Indonesia, mereka akan tebuka terhadap sebegitu banyak resources dalam bahasa Indonesia, khotbah-khotbah dalam bahasa Indonesia, dalam GRII, bahkan saya bisa berikan podcast kamu, Jethro.” Saudara, inilah yang pada akhirnya membuat anak-anak dalam study group tadi bisa outreach, karena mereka bisa bahasa Indonesia, mereka bilingual, mereka mendapatkan resource dari Indonesia, dan mereka bawa itu untuk membangun oang-orang di luar. Saudara, logikanya sederhana, bilingual selalu lebih baik dibandingkan monolingual, bisa dua bahasa adalah jauh lebih baik daripada cuma satu bahasa. Tapi entah kenapa, kalau orang Taiwan bertemu orang Taiwan di Australia, mereka bicara bahasa Mandarin; orang Jerman bertemu orang Jerman di Australia, mereka bicara bahasa Jerman; tapi orang Indonesia bertemu orang Indonesia di Australia, mereka bicara bahasa Inggris. Kenapa? Karena kita melakukan apa yang Yefta lakukan, karena kita mengejar keuntungan/kesuksesan pribadi di atas keuntungan dan kebaikan bersama.
Signifikansi yang kita lihat dalam kisah ini menunjukkan bahwa perangnya Yefta adalah perang yang begitu personal. Perang ini hanya digunakan untuk dia cari nama bagi dirinya sendiri; dan pada akhirnya waktu dia mengejar goal personal ini, hal itu membutakan dia, sehingga dia tidak bisa lagi melihat bahwa janji-janjinya, nazarnya itu, membuat orang lain harus membayar harganya. Dia tidak peduli sama sekali kebaikan bagi orang lain, akhirnya yang membayar harganya adalah anaknya sendiri. Ini ironi dari idolatry. Yefta pergi perang nasional demi memenangkan goal personal; hasilnya adalah dia sukses menyelamatkan bangsanya dan menyelesaikan problem nasional, tapi dia bayar mahal sekali secara personal. Ranah nasional, yang dia sama sekali tidak tertarik, adalah justru tempat dia sukses; ranah personal yang jadi tempat hasrat hatinya, justru adalah tempat dia gagal. Saudara lihat argumen retorikanya terhadap raja Amon yang dia lakukan mewakili Israel demi umat Tuhan, itu perfect –argumennya perfect, strukturnya cakep, meyakinkan, berwibawa– tapi janji personalnya di hadapan Tuhan demi dirinya, bahasanya tidak pakai otak. Kontrasnya begitu jelas. Selagi dia bicara demi bangsanya, dia sukses; begitu dia bicara bagi dirinya sendiri, dia gagal. Saudara lihat karakter Yefta yang begitu punya iman kepada Allah Israel, tapi ujungnya membawa bencana bagi dirinya sendiri dan anaknya. Kenapa? Karena pemimpin yang egosentris, pelayan Tuhan yang egosentris, yang bertindak bagi dirinya sendiri dan bukan bagi umat Tuhan, seberapapun dia percaya kepada Tuhan, seberapa pun dia beriman kepada Tuhan, ujungnya hanya akan mendatangkan bencana. Itu saja.
Saudara, ini message yang gelap dari Alkitab. Tapi sekali lagi, ada perlunya kita belajar tragedi, ada pentingnya Alkitab punya bagian-bagian seperti ini, karena ini realistis. Hidup sebagai orang Kristen, Saudara tidak cuma perlu encouragement, Saudara juga perlu discouragement terhadap arah yang salah. Saudara perlu sign VERBODEN dalam hidupmu. Kalau lalu lintas tidak ada sign VERBODEN, tidak ada tanda STOP, tidak ada lampu merah, kacau. Saudara perlu kompas dan peta, Saudara perlu ikatan yang justru membebaskan; dan itu justru Saudara dapatkan dari sini. Dan, kalau Saudara tidak mau berakhir dengan semuanya dum and glum seperti ini, ada satu refleksi yang mungkin bisa kita tarik sebagai hal yang positif, yaitu sehancur-hancurnya Yefta, bagaimana pun juga dia adalah seorang gambar dan rupa Allah. Olah karena itu, meskipun dia gambar dan rupa Allah yang begitu rusak, lewat dia kita tetap bisa melihat bayang-bayang dari Allah kita yang sejati, yaitu apa? Bahwa kendati semua hal yang rusak dalam diri Yefta, dia tahu satu hal, yaitu ketika dia membuka mulutnya, dia tidak bisa menarik kembali kata-katanya, dia tidak bisa mengingkari kata-katanya. Dalam Perjanjian Lama, Allah diperlihatkan sebagai Allah yang tidak pernah menyangkal janji-janji-Nya; dan berlanjut ke Perjanjian Baru, Allah ini juga tidak perrnah menyangkal janji-Nya. Dia tidak pernah melanggar perkataan-Nya, meskipun itu berarti Dia harus membayar harga yang begitu personal, kematian Anak-Nya yang Tunggal. Itulah image yang kita bisa lihat dari image Yefta yang begitu rusak, namun hal ini tetap merefleksikan kepada kita gambaran Allah kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading