Hari ini kita membahas kisah hakim Yefta, dimulai dari pasal 10 yang adalah keadaan Israel sebelum Yefta, lalu dilanjutkan sedikit ke pasal 11 awal, yaitu panggilan Yefta.
Sebagaimana kita sudah tahu, kitab Hakim-hakim memberikan satu poin kepada kita, yaitu adanya suatu siklus pola yang terus berulang. Tapi tujuan diulangnya siklus tersebut bukan sekadar mengulang yang sudah lewat, melainkan untuk menunjukkan betapa keadaannya makin lama makin parah, yaitu dengan pola tersebut diubah sedikit demi sedikit, menunjukkan kepada kita situasi yang makin lama makin rusak. Misalnya, di pasal 10, kerusakan yang tambah parah ini dinyatakan lewat deskripsi dari penindasannya sendiri. Dikatakan di sini Israel ditindas dan juga diinjak (Ibrani: ratsats); dan kata ratsats dalam bahasa Ibrani yang dipakai di sini, adalah kata yang biasa dipakai untuk mengungkapkan kepala orang yang remuk karena tertimpa batu kilangan. Di ayat 9 juga dikatakan Israel terdesak (Ibrani: tsarar); dan kata tsarar ini dalam kitab Yeremia beberapa kali digunakan untuk mengatakan wanita yang sakit bersalin.
Penindasan yang kali ini juga menyeluruh; kalau sebelum-sebelumnya bangsa asing yang menindas Israel hanya sebagian, kali ini menyeluruh baik di sisi timur maupun di sisi barat Yordan. Namun mungkin satu hal yang membuat kita paling yakin bahwa keadaannya kali ini sudah sangat hancur adalah dalam hal bagaimana Israel berseru kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan lalu berespons. Biasanya ketika Israel berseru kepada Tuhan, maka Tuhan kemudian membangkitkan seorang penyelamat, begitulah siklusnya. Dalam cerita Otniel, Ehud, Debora, Dia melakukan itu terus. Dalam kisah Gideon, pola ini mulai bergeser; ketika Israel untuk ke sekian kalinya berseru kepada Tuhan karena pemberhalaan mereka, Tuhan tidak serta-merta memberikan Gideon, Tuhan merespons bukan dengan langsung memberikan penyelamat melainkan lebih dulu memberikan seorang nabi yang memperingatkan mereka akan dosa mereka. Sekarang di pasal 10 ada hal yang mirip, orang Israel kembali berdosa, dosanya itu-itu lagi, mereka kemudian berseru kepada Tuhan. Dan, untuk pertama kalinya kita melihat di sini satu hal yang lebih parah lagi, untuk pertama kalinya kita mendengar ada perasaan ‘muak’ dari mulut Tuhan.
Saudara lihat, di ayat 6 ada daftar ilah-ilah yang pernah disembah bangsa Israel sejauh ini, yaitu Baal, Asytoret, dewa orang Aram, dewa orang Sidon, dewa orang Moab, dewa orang Amon, dewa orang Filistin –ada 7 ilah-ilah. Jadi ada 7 pemberontakan yang Israel lakukan sejauh ini, dan kemudian dikontraskan dengan ayat 11-12, Allah mengatakan, “Aku telah 7 kali menyelamatkan kamu; dari Mesir, orang Amori, orang Amon, orang Filistin, orang Sidon, orang Amalek dan orang Maon”. Di sini Tuhan mengatakan, “Sudah cukup pemberontakanmu, dan sudah cukup penyelamatan-Ku”. Maka kemudian ayat 13 keluar vonis tersebut: “Aku tidak akan menyelamatkan kamu lagi”, lalu ayat 14: “Silakan kamu berseru kepada dewa-dewimu itu saja”.
Saudara, kenapa Tuhan berespons seperti ini? Ini karena permintaan orang Israel hanyalah sebagai pihak lemah yang minta kepada pihak kuat untuk menolong dalam penderitaan mereka, “Oke-oke, kami salah deh, kami mengaku deh, sekarang tolong kami, dong..”. Mereka menyesal karena akibat dosa mereka, tapi bukan menyesal akan dosa itu sendiri. Kesadaran akan dosa, tidak sama dengan pertobatan. Lagipula, ketika mereka menyesal dari pemberhalaannya, mereka minta tolong kepada Tuhan dengan warna yang juga pemberhalaan, mereka memperlakukan Allah Yahweh sebagai Satu Berhala yang lain. Mereka simply sedang mencari ‘tombol apa yang yang harus saya pencet supaya Berhala ini memunculkan apa yang saya perlu. Itu sebabnya tidak heran Allah berespons demikian. ‘Kalau hasrat hatimu bukan benar-benar ingin berbalik dari para Baal kepada-Ku, tapi hanya berbalik dari keadaan tertindas, maka kenapa kamu harus berdoa kepada Aku?? Doa ke baal-baalmu saja, mereka ada buat itu ‘kan?!’ Israel sepertinya menangkap inilah maksud di balik kalimat Tuhan yang sadis, sehingga mereka kembali datang ke hadapan Tuhan dengan versi kedua, mereka membuat revisi. Saudara perhatikan di ayat 15, beda permintaan yang kedua ini dibandingkan yang pertama, yaitu mereka tetap meminta pertolongan, tetapi ada pengakuan dan ada penyerahan bahwa Tuhan tidak ada kewajiban untuk menolong mereka. Mereka mengatakan, “Lakukanlah kepada kami apa yang Kau anggap baik“.
Lalu di ayat 16 dikatakan mereka juga menjauhkan para allah asing dari tangan mereka. Ini ironis, karena ini berarti dalam permintaan yang pertama mereka belum melakukan hal tersebut. Namun ada positifnya juga, karena paling tidak sekarang mereka melakukannya. Dan, ini sepertinya melambangkan bahwa Israel bukan cuma minta keselamatan tapi mereka pada dasarnya membuang asuransi mereka, yaitu patung-patung berhala yang mereka simpan itu. Mungkin tujuannya orang Israel masih menyimpan patung-patung berhala itu di rumah mereka, adalah supaya suatu hari kalau sudah mepet, mereka masih ada asuransi ini. Inilah menariknya, ternyata yang jadi inti pertobatan di sini sebetulnya apa? Kita sering kali mengatakan, pertobatan itu tidak boleh cuma perubahan hati atau perubahan pikiran, harus ada perubahan kelakukan juga, tapi kita lihat di bagian ini, pertobatan itu melibatkan perubahan asuransi –bukan cuma apa yang Saudara lakukan, yang berubah, tapi apa yang selama ini Saudara sandarkan sebagai payung di kala hujan.
Selanjutnya dikatakan hasilnya adalah: ‘Tuhan tidak dapat menahan hati-Nya melihat kesukaran mereka’. Dalam hal ini ada komentator yang mengatakan ini ‘gak positif-positif banget, karena dikatakan Tuhan itu tidak dapat menahan hati-Nya melihat kesukaran mereka, bukan melihat mereka. Ini berbeda dengan kasus Niniwe, di mana Allah begitu tergerak dengan pertobatan Niniwe sehingga Allah mengurungkan niat-Nya mendatangkan malapetaka; sedangkan yang terjadi di bagian ini sepertinya ada yang nanggung, Tuhan pada akhirnya memang bukan menyelamatkan Israel karena mereka sendiri, tapi hanya karena hati Tuhan tidak tega melihat kesukaran yang mereka hadapi. So, it’s not over yet. Tapi sebelum kita melanjutkan ke pasal 11, mari kita coba refleksi dulu, melihat gambaran apa yang diberikan di sini yang bisa kita refleksikan bagi hidup kita.
Saudara, pada dasarnya pasal 10 ini begitu menarik karena ini pasal yang menggambarkan natur dari berhala (idolatry), dan efeknya dalam hidup kita. Di pasal ini Saudara melihat ada daftar para ilah yang selama ini diikuti orang Israel, ada 7 dewa-dewi sebagaimana tadi kita sudah lihat. Tujuh ini menyatakan suatu kelengkapan, bahwa sudah terlalu banyak dewa-dewi yang disembah Israel. Namun menariknya, kalau Saudara melihat nama bangsa-bangsa yang dewa-dewinya mereka sembah, itu adalah bangsa-bangsa yang pernah menindas Israel. Jadi selain Baal dan Asytoret yang adalah dewa-dewi Kanaan, juga ada dewa-dewi orang Aram, Sidon, Moab, Filistin. Dan, Saudara tahu dalam kisah hakim-hakim sebelumnya, Otniel itu melawan penindasan raja Aram, Ehud penindasan raja melawan Moab dan Amon, Samgar melawan penindasan raja-raja Filistin. Detail ini menarik, karena ini berarti ada korelasi antara dewa-dewi mana yang Israel sembah dengan bangsa mana yang menindas Israel. Bangsa-bangsa yang menindas Israel adalah bangsa yang dewa-dewinya Israel sembah. Ini aneh sekali, bukan? Kalau Saudara ditindas bangsa tertentu, harusnya Saudara benci pada dewa-dewi bangsa tersebut. Dan lagi, Saudara baca di pasal 3 orang Amon sudah pernah menindas Israel, di pasal 10 ini Israel kembali melayani dewa-dewi bangsa Amon, dan dengan demikian mereka akhirnya ditindas, diserahkan kepada orang Amon lagi di pasal ini. Idolatry, itu ternyata berujung pada penindasan dan perbudakan; tapi lihat, penindasan dan perbudakan ini malah berujung pada idolatry yang lebih lagi.
Saudara, melihat gambaran ini, gampang untuk kita kemudian berkomentar: “Keterlaluan banget! Koq, bisa sih, sudah ditindas masih tetap menyembah dewanya!’ Tapi sesungguhnya inilah gambaran hati manusia berdosa yang sama dari zaman ke zaman, termasuk zaman kita hari ini. Ketika kita hari ini menyembah suatu berhala, dan kita berakhir dengan ditindas oleh berhala tersebut, yang kita lakukan adalah: kita lebih banyak menyembahnya lagi. Saudara mungkin bilang, “Masa sih?!” Tapi coba kita lihat satu contoh. Katakanlah ada seseorang yang menempatkan harga dirinya, tujuan hidupnya, seluruh arti/makna hidupnya di dalam relasi pernikahan, pokoknya gua harus nikah, kalau gua jomblo terus kayak gini, ke laut ajalah. Akhirnya segala sesuatu dalam hidupnya diarahkan demi bisa menikah, segala sesuatu dikorbankan demi bisa menikah. Ini penyembahan berhala; dan pernikahan yang jadi berhala seperti ini, ujungnya pasti hancur, karena tidak sanggup menanggung beban yang sebegitu berat.
Saudara tahu, peralatan alutsista dalam tentara modern bukan cuma tank, kendaraan tempur baja, dsb., yang biasa kita lihat, tapi ada salah satu kendaraan yang menarik yang sering kali tidak dilihat namun sangat penting, yaitu tank pembawa jembatan. Kendaraan ini bentuknya seperti tank, tapi atasnya berupa jembatan yang bisa dilipat. Ini diperlukan karena kalau sepasukan tentara mau masuk menyerbu suatu tempat, sebuah kota atau daerah tempat tinggal, dan harus melewati jembatan di situ, maka mereka biasanya tidak akan pakai jembatan tersebut karena jembatan-jembatan di kota biasanya tidak didesain untuk menanggung beban tank, kalau dipaksa akan runtuh. Itu sebabnya tank pembawa jembatan penting sekali. Dalam keadaan ini, jembatan lipat yang di atas tank tersebut bisa diurai menjadi sebuah jembatan yang bisa dilewati tank-tank dan alat-alat berat lainnya. Demikian halnya dengan pemberhalaan; ketika kita menjadikan sesuatu yang adalah ciptaan, ditaruh di tempat Sang Pencipta, maka barang ini –apapun itu– tidak akan kuat menahan beban yang hanya bisa ditanggung oleh Sang Pencipta. Tapi poin kita hari ini bukan itu; poin kita hari ini adalah: menurut Saudara, ketika seseorang memberhalakan pernikahan, dan akhirnya pernikahan tersebut hancur karena tidak kuat menahan beban yang ditaruh di situ, lalu apa kelanjutannya? Menariknya, orang tidak kemudian mengatakan, “Saya butuh Tuhan” (kecuali karena karunia Roh Kudus, tentunya); umumnya orang-orang dalam situasi pernikahan yang rusak seperti itu akan mengatakan, “Saya perlu pernikahan yang lain” –saya perlu ganti istri, saya perlu suami yang lebih baik. Ketika kita menyembah berhala, dan kita berakhir dengan ditindas oleh berhala tersebut, yang kita sering kali rasa adalah: kita perlu investasi lebih banyak lagi pada berhala tersebut. Saya perlu mengorbankan pernikahan saya yang hari ini ke mezbah dewa berhala pernikahan supaya saya bisa dapat pernikahan yang lebih baik. Jadi waktu investasi gagal, cari lagi cara lain untuk melayani dewa mamon, dengan investasi yang lebih bagus.
Saudara lihat, natur manusia berdosa tidak berubah dari zaman ke zaman. Lagipula, ini bukan cuma benar dari sisi manusianya, tapi juga dalam hal apa yang Tuhan lakukan kepada para penyembah berhala. Ketika Tuhan merespons pemberhalaan, dikatakan di ayat 7 Tuhan menyerahkan mereka ke tangan musuh mereka. Memang bukan berarti Allah lalu meninggalkan Israel secara total atau membatalkan perjanjian-Nya dengan Israel, tapi ada sesuatu yang terjadi di sini, Allah seperti menarik tangan perlindungan-Nya dari Israel, Dia membiarkan/mengizinkan berhala-berhala yang mereka sembah selama ini mulai menindas dan memiliki mereka. Saudara jangan pikir ini hanya terjadi di Perjanjian Lama, di Perjanjian Baru kita membaca juga hal yang sangat mirip, yaitu dalam tulisan Paulus di Surat Roma pasal 1. Paulus bicara mengenai idolatry, orang-orang yang menukar kemuliaan Allah yang kekal dengan gambaran ciptaan-ciptaan yang fana; dan apa dampaknya? Dikatakan: “Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka sendiri”. Allah memberikan izin bagi hal-hal yang menjadi pengganti Allah, untuk benar-benar menggantikan Dia jadi penguasa atas hidup mereka. Dalam arti tertentu, ini berarti hukuman atas penyembahan berhala adalah: diserahkannya manusia untuk diperbudak kepada berhala tersebut. Tuhan pada dasarnya mengatakan: ‘kalau kamu mau Allah lain selain Aku, silakan cobain seberapa berbelaskasihannya ilah itu bagimu, seberapa dia akan menyelamatkanmu dan membimbingmu, dan akan menerangi hatimu’. Saudara lihat, dalam pasal 10 ini kita mendapatkan satu gambaran yang sangat berharga mengenai apa itu pemberhalaan. Ini mungkin sesuatu yang kita tidak mau terima, tapi kita belajar bahwa ternyata salah satu hal yang paling celaka yang bisa terjadi dalam hidup kita adalah: ketika mimpimu, hasrat hatimu yang terdalam, dikabulkan. Suatu hari nanti ketika Saudara merasa dikecewakan oleh Tuhan, ketika Tuhan seperti tidak memberikan apa yang jadi hasrat hatimu, ingatlah bahwa mungkin itu adalah kabar baik.
Kita lanjutkan ke pasal 11:1-11. Siapakah Yefta? Yefta ini satu tokoh yang kalau dalam story telling biasa disebut sebagai tokoh yang ambigu. Dia ini tokoh yang kompleks, yang nyampur, ada positifnya dan ada negatifnya. Perhatikan, pertamanya dia diperkenalkan seperti Gideon, yaitu sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa; di sisi lain, dia diperkenalkan juga seperti Abimelekh (tokoh yang sangat negatif dalam kitab Hakim-hakim), yaitu anak pelacur. Dia diusir dari rumah oleh saudara-saudaranya waktu dia masih muda, dan karena itu dia berkumpul dengan para bajingan yang hidup dari merampok (ayat 3). Jadi Yefta ini pada dasarnya seorang bos mafia. Meski demikian, Saudara tahu kisah Yefta berakhir dengan disebutkannya Yefta sebagai hakim yang memimpin Israel, bahkan namanya muncul dalam daftar pahlawan iman di Ibrani 11. Tapi kalau Saudara mengingat Yefta, mungkin Saudara merasa ini tokoh yang tidak sepositif itu. Bukan cuma klimaks kisahnya yang terkenal itu, yang membuat kita tidak rela nama Yefta ada di daftar para pahlawan iman, yaitu urusan sesumbar mulutnya yang mengakibatkan kehilangan nyawa anaknya sendiri, tapi bahkan rekam jejak sebelumnya yang sebagai bos mafia pun membuat kita bertanya-tanya. Namun, Yefta memang dihadirkan sebagai seseorang yang tidak sesimpel itu, karena kalau kita mau argue, yang membuat Yefta jadi bos mafia mungkin bukan salahnya Yefta sendiri, sudah pasti tidak sedikit faktor yang menyebabkannya adalah karena dia diusir oleh keluarganya sendiri. Selain itu, bahwa dia anak pelacur pun sudah pasti bukan salah dia sendiri. Dan, mengenai klimaks dari kisahnya –mengenai sumpah Yefta dan urusan anak perempuannya– mungkin memang inilah inti message dari kitab Hakim-hakim, yaitu untuk menyatakan apa akibatnya jika Israel tidak hidup kudus dari bangsa-bangsa sekitarnya, hasilnya adalah: sinkretisme, campur aduk. Hasilnya adalah bisa muncul tokoh seperti Yefta, yang di satu sisi dinaungi Roh Tuhan, tapi di sisi lain masih percaya urusan pengorbanan anak bagi para dewa.
Sekali lagi, Yefta adalah simply produk dari zaman Israel yang kacau ini, dan produk dari kegagalan Israel. Kebusukan yang menghasilkan Yefta, itu bukan baru dimulai kemarin. Itu sebabnya Yefta ini karakter yang cukup kompleks. Tapi mungkin penggambaran Yefta yang paling mengejutkan muncul di ayat 4 dan seterusnya. Pada waktu itu terjadi perang antara bani Amon dengan orang Israel, lalu tua-tua Gilead memanggil Yefta dan meminta dia berperang bagi mereka (ayat 5-6). Menarik untuk diperhatikan, respons Yefta tidak sebegitu gampangnya menerima proposal mereka: “Lho, kamu ‘kan benci aku, dulu kamu mengusir aku dari kaum keluargaku; sekarang begitu ada maunya, kamu datang”. Jadi Yefta awalnya diperlakukan dengan jahat, sekarang mau dipergunakan untuk menyelamatkan mereka. Yefta tidak mau begitu saja. Maka kemudian para tua-tua Gilead di ayat 8 mengatakan, “Okelah, kita negosiasi saja, ini new offer, kalau kamu menyelamatkan kami, berperang bagi kami, maka kamu menjadi kepala atas kami juga”. Dan, di ayat 9 Saudara melihat karakter Yefta yang tidak percaya begitu saja, Yefta double check dulu, “Bener lu ngomong gini, ya; jadi kalau aku berperang bagi kamu, dan Tuhan menyerahkan mereka ke dalam tanganku, aku akan menjadi kepala atas kamu” –kalimat mereka itu diulang lagi. Lalu di ayat 10 para tua-tua Gilead kembali mengatakan, “Iya, bener, janji, di hadapan Tuhan sebagai saksi kami, kami bersumpah” –Saudara lihat eskalasinya. Baru kemudian di ayat 11 Yefta mau ikut, resmi jadi pemimpin dan kepala mereka.
Saudara lihat bagaimana Yefta ini diperkenalkan; dia diperkenalkan sebagai pahlawan yang gagah perkasa, tapi di sini dalam kalimat pertama yang keluar dari mulutnya, Yefta digambarkan juga sebagai seseorang yang jago silat lidah. Ternyata Yefta adalah orang yang perbendaharaan senjatanya bukan cuma pedang atau kapak, tapi juga kata-kata. Ini membuat kita menangkap sesuatu, bahwa dalam klimaks kisah Yefta, urusannya juga soal kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tapi yang menarik, itu berarti kita mungkin selama ini salah persepsi; kkita pikir Yefta ini orang yang ngomong sembarangan maka bisa keluar janji yang tidak dipikir panjang itu, tapi ternyata Yefta diperkenalkan sebagai seorang yang sangat kalkulatif dengan kata-kata. Lalu kisah berikutnya, yang tidak kita bahas hari ini, adalah perang; dan sangat menarik bahwa Yefta adalah satu-satunya hakim yang sebelum perang dia kirim pesan diplomasi dulu –kata-kata. Ini sesungguhnya membuat klimaks kisah Yefta jadi lebih tragis. Tapi itu masih akan dibahas pada khotbah minggu-minggu berikutnya.
Hari ini kita fokus pada bagian awal pasal 11 ini, bahwa poin dari dialog antara Yefta dan tua-tua Gilead ini ada, dan penting, bukan cuma untuk menggambarkan tentang Gilead tok. Waktu melihat perbincangan mereka bolak-balik, Saudara ingat pernah mendengar perbincangan semacam ini sebelumnya di mana? Persis di pasal sebelumnya, pasal 10. Dialog antara Yefta dan tua-tua Gilead ini punya pola yang persis sama dengan dialog antara Isarel dengan Tuhan. Saudara perhatikan, tua-tua Gilead datang kepada Yefta dengan asumsi Yefta pasti akan menolong mereka, “Ayo, tolong kami, tolong kami dong”, dan Yefta menolak, Yefta mengatakan, “Kalau ada maunya aja lu datang; bukankah kamu membenci aku?!” Lalu Saudara lihat, Israel datang kepada Tuhan, mengatakan, “Tuhan, tolong kami, lepaskan kami dari penindasan ini”; dan Tuhan mengatakan, “Enak saja, bukankah kamu membenci Aku?! Kamu sudah Aku selamatkan 7 kali, tapi kamu 7 kali memberontak terhadap Aku.” Lalu setelah itu, dalam kasus Yefta, tua-tua Gilead datang lagi kepada Yefta, sekarang dengan counter offer, dengan improved terms, dengan lebih rendah hati, dan dengan penerimaan bahwa rescue adalah sepaket dengan rulership, bahwa Yefta tidak akan hanya memimpin mereka dalam peperangan tapi juga akan menjadi kepala mereka yang berkuasa atas mereka. Sekarang lihat apa yang terjadi dalam kasus Israel dengan Tuhan? Setelah Israel dimarahi Tuhan, Israel kembali kepada Tuhan dengan improved terms, dengan lebih ada kerendahan hati, dan dengan menerima, “Tuhan, lakukanlah kepada kami apa saja yang Engkau suka”, menerima bahwa rescue adalah sepaket dengan rulership. Persis sama.
Saudara, jadi apa makna dan signifikansi bagian ini bagi kita? Kalau pasal 10 tadi menarik karena menggambarkan kepada kita natur dari idolatry, maka pasal 11 juga menarik karena memberikan kepada kita suatu gambaran akan solusi dari idolatry.Saudara lihat, dalam dua dialog tersebut, apa poin yang ditekankan sampai dua kali? Yaitu bahwa seorang penyelamat, juga haruslah seorang pemerintah. Ini sebabnya kita mempelajari bahwa penyelamatan dari Tuhan itu tidak bisa cuma menyelamatkan. Kita melihat dari berbagai kisah Alkitab, pola ini terus-menerus muncul, a saviour is also a ruler. Itu sebabnya kita melihat penyelamat-penyelamat yang Tuhan kirim harus struggle dengan umat Tuhan, harus mengambil alih kontrol kadang-kadang dengan paksa dari tangan umat Tuhan. Bagi Alkitab, penyelamat dari Tuhan harus berkuasa atas umat Tuhan jikalau umat Tuhan mau diselamatkan. Ini sekali lagi memberitahukan kepada kita bahwa problem dari pemberhalaan adalah jauh lebih dalam daripada penindasannya, problem dari pemberhalaan adalah bahwa hati manusia busuk karena pemberhalaan. Itu sebabnya umat Tuhan tidak akan bisa membiarkan dirinya dipimpin oleh hati yang sudah busuk itu. Itu sebabnya sang penyelamat juga harus memerintah di atas umat Tuhan. Ini bukan kebetulan muncul di kitab Hakim-hakim yang notabene memang pro-monarki; keseluruhan kitab ini pada dasarnya adalah studi kasus mengenai kenapa Israel tidak cuma butuh penyelamat, tapi butuh seorang raja –kenapa ita tidak cukup hanya merdeka pada 17 Agustus 1945, tapi perlu ada undang-undang dasar yang baru yang mengikat seluruhnya pada tangal 18 Agustus 1945. Para penulis Alkitab menyadari kebutuhan akan hal ini. Pertanyaannya: Saudara dan saya sadar tidak, kita butuh hal ini? Kita mengatakan, kita orang Kristen, kita butuh keselamatan, tapi apakah Saudara merasakan bahwa Saudara membutuhkan pemerintahan Tuhan berkuasa atas dirimu?? Apakah Allah yang mendirikan Kerajaan yang baru atas dunia ini, adalah kabar baik, atau kabar buruk? Perhatikan, saya menggunakan istilah ‘pemerintahan’ di sini dan bukan ‘kuasa’, karena istilah kuasa Allah sudah sering sekali diselewengkan —kuasa kesembuhan, kuasa mujizat, kuasa bimbingan Tuhan. Orang-orang yang mencari kuasa Tuhan sering kali sebenarnya malah mencari Tuhan sebagai berhala, sedangkan pemerintahan Tuhan atas diri kita, siapa yang mau?? Siapa yang merasa ini satu hal yang perlu, bahwa Allah senantiasa perlu melanggar keinginan-keinginan hati kita? Saudara, inilah problem dari pemberhalaan; dan ini paling jelas dalam kisah Abraham.
Salah satu figur sentral dalam Alkitab adalah Abraham. Sama seperti mimpi orang-orang zaman kuno, hasrat Abraham adalah memiliki seorang anak; dan inilah janji Tuhan bagi dia, bahwa Abraham akan menjadi orang yang dari padanya dan dari keturunannya seluruh bangsa di bumi diberkati. Lalu Abraham dipanggil untuk beriman, pergi ke tempat yang dia tidak tahu ke mana, jatuh bangun, demi janji ini. Tidak ada orang yang pernah menunggu lebih lama dari Abraham, akan seorang anak. Dan, tidak ada orang yang pernah memberikan/mengorbankan lebih banyak dari Abraham, demi seorang anak. Itu sebabnya dalam kisah Abraham, sebenarnya pada momen Ishak lahir kisah tersebut harusnya bisa berhenti kalau kita pakai happy ending ala Disney –masa penantian yang lama telah selesai, iman Abraham akhirnya telah menang, dan mereka sekarang bisa live happily ever after. Semua orang yang menunggu begitu lama akan anak, berpkir begitu ada anak maka happy ending, semua problem selesai. Tapi memang realitasnya tidak pernah seperti itu –maka kisah Abraham tidak berhenti di situ juga. Abraham dapat panggilan dari Allah lagi, dan panggilan ini tidak bisa lebih shocking, karena seperti Saudara tahu ketika Tuhan meminta Abraham menyerahkan anaknya, Ishak, sebenarnya dalam teks pasal tersebut nama Ishak tidak pernah disebut. Tapi ini bukan karena teori konspirasi bahwa sebenarnya yang dibawa ke atas itu Ismael, ini adalah karena dampaknya justru lebih tajam ketika nama Iskah tidak disebut, dan diganti dengan ‘anakmu yang tunggal itu, anak yang engkau kasihi’. Nyesek. Saudara, kenapa Tuhan melakukan seperti ini? Ini terasa seperti kematian, bagi Abraham –dan kita tahu ini ujungnya sebenarnya jalan menuju kehidupan– tapi ini adalah karena jika Tuhan tidak mengintervensi di sini, Abraham jelas akan mengasihi anaknya lebih daripada apapun, bahkan sudah demikian. Itu adalah pemberhalaan! Semua pemberhalaan, sebagaimana kita lihat, membawa kepada penindasan!
Saudara, Tuhan bukan sedang kompetisi dengan Ishak seperti pacar posesif yang cemburuan. Ini sesungguhnya adalah bentuk belas kasihan bagi Abraham, karena Tuhan tahu Ishak adalah pemberian yang tidak aman bagi Abraham, jika Abraham tidak belajar menempatkan Tuhan sebagai yang terutama. Kenapa demikian? Saudara, kalau Ishak menjadi harapan utama dan sukacita tertinggi bagi Abraham, Abraham pasti akan jatuh kepada offer discipline; wah, ini anakku, penerusku, sudah ditunggu terlalu lama; kamu harus perfect, nak; tidak boleh ini, tidak boleh itu. Atau bisa juga under discipline karena tidak tahan kalau melihat muka anaknya ruwet sedikit saja; aku sudah tunggu anak ini terlalu lama, aduh aku ‘gak tahan kalau lihat mukanya ruwet, ‘gak boleh sampai begitu, beri saja apapun yang dia mau. Atau bisa juga, dua-duanya. Ini bukan cuma menghancurkan Abraham, ini menghancurkan Ishak, karena tidak ada anak yang bisa menanggung beban menjadi dewa, dia akan runtuh seperti jembatan dilalui tank. Jadi, Saudara lihat di sini problem dari pemberhalaan itu apa, dan kenapa solusinya harus begitu radikal.
Solusi dari pemberhalaan tidak pernah hanya pergi dari para berhala, tetapi datang mendekat dan menerima pemerintahan Allah ke dalam hidup kita. Tidak ada rescue tanpa rule. Waktu Saudara bertobat, itu bukan cuma Saudara diambil dari kerajaan yang gelap saja, tapi Saudara dimasukkan ke dalam Kerajaan yang terang. Pertanyaannya sekali lagi, apakah kita menyadari kebutuhan akan hal ini? Apakah kita sadar bahwa jalan Tuhan mendatangkan kehidupan bagi kita sering kali memang terasa seperti kematian? Adakah bentuk ketaatan akan pemerintahan Tuhan seperti ini dalam hidup kita? Apakah Saudara datang ke PD meskipun Saudara rasa itu buang-buang waktu? Apakah Saudara datang ke PA meskipun temanya tidak sesuai dengan keinginan hatimu? Apakah Saudara belajar musik-musik yang agung meskipun tidak sesuai dengan seleramu? Apakah Saudara mau menjadi seorang ibu meskipun itu terasa seperti kematian bagi kariermu? Apakah engkau mau menjadi seorang suami yang mengasihi istrimu meskipun istrimu itu misteri buatmu? Apakah engkau mengampuni musuhmu dan berdoa bagi mereka?
Dalam buku C.S. Lewis, “The Voyage of the Dawn Treader”, salah satu dari Chronicles of Narnia, seorang karakternya bernama Eustace Scrubb, seorang anak laki-laki yang punya hasrat akan kuasa. Eustace ini sering menyiksa binantang, dan sering membuat marah orang-orang dewasa. Suatu hari Eustace secara tidak sengaja menemukan tumpukan harta karun di sebuah gua. Dia sangat senang, dan dia mulai membayangan kehidupan berkuasa macam apa yang sekarang dia punya dengan memiliki harta sebanyak ini. Dia kemudian tidur di atas tumpukan harta karun itu; dan dalam kisah ini, setelah dia bangun, dia berubah jadi seekor naga yang begitu mengerikan –karena dalam fantasi-fantasi zaman dulu di Eropa, naga sering kali digambarkan tidur di atas tumpukan harta. Ini adalah cara C.S. Lewis menyatakan kepada kita, bahwa karena Eustace berpikir dan berhasrat seperti seekor naga, dia akhirnya benar-benar jadi seekor naga —kita menjadi apa yang kita sembah. Eustace menjadi seeokor naga yang begitu berkuasa, jauh lebih berkuasa daripada apa yang pernah dia bayangkan dan harapkan; tapi dia juga begitu menakutkan dan menjijikkan, oleh karena itu dia begitu kesepian. Ini tentunya adalah cara C.S. Lewis menyatakan bahwa pemberhalaan pada akhirnya menindas. Perasaan kesepian dan transformasi tersebut akhirnya membuat hati Eustace yang seperti batu itu hancur, dan dia kepingin kembali menjadi seorang anak biasa. Tapi bagaimana caranya? Suatu malam Eustace bertemu seekor singa yang misterius. Singa ini menantang Eustace menelanjangi dirinya, membuka sisik-sisik naganya. Eustace kemudian berhasil mengupas satu lapisan, tapi ternyata di balik lapisan itu hanyalah sisik naga yang lain lagi. Dia berusaha mengupas dan mengupas terus, tapi tidak pernah berhasil. Pada akhirnya sang singa mengataan, “Engkau harus membiarkan aku menelanjangimu.” Eustace mengatakan, “Aduh, aku takut sekali dengan kuku-kuku singa ini, tapi aku sudah putus asa, jadi saya mau berbaring dan membiarkan dia melakukan apa yang dia kehendaki.” Robekan pertama dari kuku singa itu begitu dalam hingga Eustace rasa sedikit lagi sampai ke jantungnya. Dan, ketika singa itu menarik keluar sisik-sisik naganya, sakitnya jauh melebihi apapun yang Eustace pernah rasakan. Tapi setelah sakitnya selesai, Eustace melihat sisik-sisik naga itu bergelimpangan di tanah, sisik-sisik naga yang lebih hitam dan lebih menjijikkan dari yang pernah dia lihat karena adanya begitu di dalam; dan dia melihat kini kulitnya kembali, tubuhnya telah kembali berubah menjadi seorang anak. Saudara tahu, singa dalam kisah itu adalah Aslan; dan Aslan dalam novel C.S. Lewis mewakili tokoh Kristus. Poinnya adalah: jika Saudara mau lepas dari perbudakan pemberhalaan, Saudara harus memberi dirimu tunduk kepada pemerintahan Tuhan, meskipun apa yang Dia lakukan kepadamu rasanya seperti maut itu sendiri.
Terakhir, apa yang paling amazing dalam pola ini, pola bahwa terkadang cara Tuhan bekerja untuk mendatangkan kehidupan adalah lewat kematian? Yang mencengangkan, pola ini bukan cuma sesuatu yang Tuhan suruh kita lakukan, tapi sesuatu yang Ia sendiri lakukan. Ketika Allah melihat Abraham menyerahkan Ishak, Allah mengatakan, “Sekarang Aku tahu engkau mengasihi-Ku, karena engkau tidak menyayangkan anakmu yang tunggal dari-Ku.” Membaca kalimat ini tentunya Saudara tahu satu hal, jika Abraham melihat salib Yesus Kristus, maka Abraham akan mengatakan kalimat yang persis sama: “Sekarang kami tahu, Tuhan, bahwa Engkau mengasihi kami, karena Engkau memberikan Anak-Mu, Anak-Mu yang tunggal, yang Kauperkenan, yang Kaukasihi”. Satu-satunya cara untuk bisa lepas dari pemberhalaan adalah dengan menerima pemerintahan Tuhan atas hidupmu; tapi satu-satunya cara untuk bisa menerima pemerintahan ini sebagai kabar baik adalah dengan melihat bahwa Raja ini adalah satu-satunya Raja yang pernah memberi diri-Nya menjadi pelayan, Allah Bapa pernah mendaki sebuah bukit –bukan Bukit Moria tapi Bukit Golgota– dengan Anak-Nya yang tunggal, dan mengorbankan-Nya di sana bagi Saudara dan saya. Itulah satu-satunya cara untuk melihat pemerintahan Yesus atas kita sebagai kabar baik.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading