Kita melanjutkan eksposisi kitab Hakim-hakim, kisah Abimelekh. Kisah ini unik, ganjil; di dalam kitab Hakim-hakim yang kisah-kisahnya tersusun dengan pola yang rapi, kisah Abimelekh ini lain sendiri. Di setiap kisah yang lain kita melihat pola Isarel berbuat jahat – Tuhan membangkitkan bangsa lain menindas mereka – mereka berseru kepada Tuhan – Tuhan membangkitkan hakim – hakim itu menyelamatkan Israel – hakim tersebut mati, dan siklusnya kembali berulang. Di dalam kisah hakim yang terakhir sebelum Abimelekh, dikatakan Gideon mati (pasal 8:32), dan tentu berikutnya seperti melanjutkan pola yang biasa yaitu Israel kembali berbuat jahat di mata Tuhan, maka kita juga expect akan ada kisah yang sama lagi, musuh akan menyerang Israel; namun ternyata kali ini ada sesuatu yang benar-benar berbeda. Tidak ada musuh yang menyerang Israel, entah itu Moab atau Kanaan atau Filistin, dsb.; dan juga tidak ada hakim yang dibangkitkan Tuhan. Abimelekh tidak pernah disebut sebagai hakim; dan dia sudah pasti tidak dipanggil atau dibangkitkan oleh Tuhan. Keanehan yang lain, periode yang dicatat dalam kisah Abimelekh ini amat sangat pendek. Abimelekh memerintah sebagai raja hanya 3 tahun (pasal 9:32), atau setidaknya 3 tahun lebih sedikit; sedangkan seluruh kisah Hakim-hakim kira-kira 400 tahun panjangnya. Jadi selama 400 tahun periode Hakim-hakim, Abimelekh cuma 3 tahun muncul –kurang dari 1%. Kalau demikian, kenapa ya kisah ini dicatat, kita bertanya-tanya. Polanya lain, kisahnya juga sangat pendek, tidak ada penindasan yang terjadi sehingga tidak ada penyelamatan yang terjadi juga. Jadi apa yang sesungguhnya terjadi dibagian ini? Ini suatu kisah yang dari awal sampai akhir kita melihat kehancuran demi kehancuran; kehancuran dari semua pihak, tidak ada satu pun tokoh dalam kisah ini yang bisa kita bela-belain, semua tokoh mayornya begitu jahat dan gelap. Ini seperti kuda hitam dalam kisah hakim-hakim. Para pakar pun bingung kenapa kisah ini masuk ke dalam Alkitab, ke dalam rangkaian kisah Hakim-hakim.
Dalam pembahasan Hakim-hakim di pertemuan sebelumnya, kita melihat bahwa ternyata kisah ini bukan kisah yang sebegitu anehnya dan sebegitu ‘gak nyambungnya, karena kunci untuk dapat mengerti kisah ini dengan tepat adalah dengan membacanya berdasarkan terang dari apa yang sebelumnya muncul, misalnya dengan cara kita melihat tindakan-tindakan Abimelekh di dalam terang tindakan-tindakan Gideon. Baru di sinilah kita melihat ada kesengajaan dari penulisnya untuk membuat kontras, dengan memperlihatkan situasi-situasi yang mirip tapi cara Gideon dan Abimelekh merespons-nya begitu lain. Jadi kisah ini memang lain sekali, tapi mungkin sengaja dihadirkan demikian justru supaya kita melihat ada kesinambungannya dengan kisah yang sebelumnya. Dan, kalau kita mau tarik lebih lanjut, bukan cuma membaca kisah Abimelekh di atas kisah Gideon, tapi juga dengan mengingat bahwa kisah Abimelekh tidak jauh-jauh amat beda nadanya dibandingkan dengan seluruh kitab Hakim-hakim, karena ini bukan kitab yang isinya tokoh-tokoh panutan moral. Ingat, kitab ini tidak langsung dimulai dengan kisah kepahlawanannya Otniel, strateginya Ehud, kebijaksanaannya Debora, tapi dimulai dengan kegagalan bangsa Israel menghalau bangsa-bangsa asing dari tanah perjanjian (pasal 1 dan 2). Jadi, isi dari kitab ini selanjutnya memang untuk menunjukkan seperti apa hasil pengaruh Kanaan terhadap Israel, apa yang terjadi ketika Israel berubah setia terhadap Allah yang membawa mereka keluar dari perbudakan di Mesir. Itulah introduksinya, maka tidak heran kalau kita melihat dalam kisah-kisah hakimnya itu makin lama makin gelap dan makin rusak; dan hari ini kita bertemu dengan Abimelekh yang sama sekali rusak dari depan sampai belakang. Kita mau coba lihat dan pelajari hari ini, bahwa kehancuran seperti inilah yang dibawa oleh orang-orang yang tidak mau memakai hidupnya bagi Yahweh, tapi malah menyembah dan mengikuti dewa-dewi lain. Namun sebelumnya kita mau melihat lanjutan kisah Abimelekh dulu.
Hari ini kita tidak membaca dulu keseluruhan pasal 9 ini; pertama, karena pasal ini panjang setengah mati, dan kalau Saudara baca dari depan sampai belakang saya rasa Saudara bukan cuma bisa kehilangan fokus tapi juga tambah bingung. Alasan yang kedua, saya ingin membahas kisah ini dengan mengubah sedikit urutan yang Alkitab berikan. Pembahasan sebelumnya, kita membahas babak pertama dari kisah Abimelekh, maka logisnya sekarang kita masuk ke babak kedua, tapi saya justru mau lompat dulu ke babak ketiga sebelum nanti balik ke babak kedua. Dalam babak pertama, kita diperkenalkan dengan karakter Abimelekh, dan juga karakter penduduk kota Sikhem. Abimelekh pada dasarnya mengajukan diri jadi raja dari penduduk kota Sikhem. “Lihat saja namaku, aku ini siapa dari sisi papaku; bapakku itu raja, jadi kamu tentu kenal bapakku, dia itu ada patungnya di Monas, dia itu pahlawan nasional. Tapi, hei penduduk kota Sikhem, dari sisi mamaku, aku ini salah satu dari kalian, aku ini darah dagingmu. Jadi sekarang pilih mana, 70 anak Gideon rame-rame memerintah atasmu, atau aku seorang?” Penduduk Sikhem kemudian setuju, mereka mulai mendanai Abimelekh; dan berbekal dana itu, Abimelekh merekrut pasukan preman, lalu mendatangi kampung halaman Gideon serta membantai 70 anak Gideon di atas satu batu yang sama –ini bukan cuma sadis tapi juga ada nuansa semacam human sacrifice— mereka kemudian menobatkan dia jadi raja. Itulah babak pertama kisah Abimelekh yang kita sudah bahas; kita melihat seperti apa karakter mereka, mereka ini orang-orang yang berelasi, bertindak, dan memutuskan segala sesuatu, atas dasar kepentingan pribadi mereka masing-masing.
Sekarang kita lewati dulu babak kedua, dan langsung lompat ke babak ketiga, dimulai dari pasal 9:22, ‘Setelah tiga tahun lamanya Abimelekh memerintah atas orang Israel …’. Jadi sekarang Abimelekh sudah 3 tahun sejak dinobatkan jadi raja; dan teritori kekuasaannya ternyata juga sudah diperluas, dia bukan cuma berkuasa atas kota Sikhem tok –yang notabene adalah kota orang Kanaan– tapi juga memerintah atas orang Israel. Belakangan, Abimelekh juga sudah tidak lagi tinggal di Sikhem, dia punya base di tempat yang lain.
Kita mulai dari ayat 25, ‘Sebab warga kota Sikhem itu menempatkan orang untuk menghadang dia di puncak gunung dan merampas setiap orang yang melewati mereka melalui jalan itu. Hal itu dikabarkan kepada Abimelekh’. Sepertinya 3 tahun sudah cukup lama, dan penduduk Sikhem nampaknya juga sudah bosan, sudah saatnya Pemilu ganti presiden, entah apa alasannya kita tidak diberitahu persisnya. Intinya, antara Sikhem dan Abimelekh mulai ada ketegangan, cekcok, dimulai dengan penduduk kota Sikhem, yang entah kenapa, menyewa begal-begal di jalur-jalur komersil sekitar Sikhem. Ini membuat region Sikhem jadi tidak stabil, baik secara ekonomi maupun keamanan, dan pasti berpengaruh pada Abimelekh, berpengaruh pada pemasukannya atau paling tidak pada reputasinya, karena Abimelekh sebagai raja harusnya bisa menjamin keamanan.
Hal satu ini berlanjut kepada hal yang lain; di ayat 26 kita bertemu dengan satu tokoh baru, Gaal bin Ebed (Ebed artinya servant/slave, jadi ini nama yang kontras dengan nama Abimelekh yang artinya ‘bapakku raja’, sedangkan Gaal bin Ebed artinya ‘anak bukan siapa-siapa’). Gaal beserta saudara-saudaranya pindah ke kota Sikhem, dan mulai mengambil hati penduduk kota Sikhem. Mereka suatu hari merayakan panen anggur di kota Sikhem –dan perayaan seperti itu pasti ada mabuk-mabukkannya– dalam keadaan mabuk mereka mulai mengejek-ejek Abimelekh dengan dipimpin oleh Gaal. Gaal mulai menghasut orang Sikhem, “Siapa sih Abimelekh itu?! Dia orang Israel koq, sebenarnya; sedangkan kota Sikhem sudah eksis jauh sebelum bangsa Israel datang. Jadi kenapa kita harus diperintah orang Israel?? Harusnya kota ini diperintah oleh warganya sendiri, dari keturunan Hamor!” (Hamor adalah pendiri kota Sikhem). Lalu katanya, “Kalau aku yang memerintah kalian, Abimelekh itu kecilll… pasti kugilas tentaranya dan preman-premannya.” Ini ironis, karena Gaal sendiri pendatang, dia baru pindah ke Sikhem, jadi sebenarnya dia sama saja orang luar sebagaimana Abimelekh orang luar. Karakter Gaal ini seperti orang mulut besar, tapi juga ada semacam kharismanya, yang mungkin jalan ke mana-mana kancing bajunya dibuka dua, kelihatan otot-ototnya, dan badannya berbulu sedikit, dsb., ada sedikit “kharsisma”-nya. Orang-orang kota Sikhem mulai senang dengan Gaal, dan sepertinya mulai memihak dia.
Lanjut ceritanya; ada seorang lain lagi yang bernama Zebul. Zebul ini wakil Abimelekh di kota Sikhem, semacam walikota. Dia loyal kepada Abimelekh; dan dia ini orang yang sepertinya cukup kalkulatif. Di depan, dia mungkin tidak bicara apa-apa, mungkin dia tetap menemani Gaal dalam parade itu, mungkin dia tetap bersalaman dengan Gaal; tapi di belakang, dia mengirim informasi rahasia kepada Abimelekh, “Ini orang-orang kota Sikhem mulai dihasut melawan kamu, maka aku akan siapkan sebuah perangkap, dan kamu tinggal datang saja dengan tentaramu.” Besoknya, pagi-pagi benar Zebul mengajak Gaal keluar gerbang kota. Seperti Saudara tahu, gerbang kota di dalam Alkitab artinya bukan sekadar pintu gerbang, tapi tempat official business dari kota tersebut, balai kota, sehingga tidak sulit untuk mengajak Gaal ke sana, sementara pasukan Abimelekh pelan-pelan turun dari bukit-bukit untuk menyergap Gaal dan orang-orangnya di pintu gerbang kota. Gaal mulai melihat ada bayangan-bayangan seperti orang di bukit, dan dia lalu mulai sedikit panik. Dia bertanya kepada Zebul, “Itu kayaknya bayangan orang-orang, deh” ; tapi Zebul mengatakan, “Enggaklah, itu mata lu kacamatanya sudah musti ganti”. Tentu saja ini pasukan Abimelekh yang sudah mulai datang, merespons pesan rahasia Zebul. Begitu Gaal menyadarinya, sudah terlambat; Gaal akhirnya dibantai oleh pasukan Abimelekh.
Ceritanya tidak berhenti di sana. Abimelekh sepertinya jadi murka juga kepada penduduk kota Sikhem, yang mungkin menurut dia begitu cepat berbalik setia. Keesokan harinya Abimelekh membuka pintu gerbang kota seperti biasa, membiarkan penduduk Sikhem keluar ke lahan-lahan kerja mereka di luar kota, tapi kemudian tiba-tiba dia membantai mereka di ladang-ladangnya. Kemudian ia membakar kota Sikhem. Lalu dikatakan, dia menghancurkan tembok-tembok kota itu lalu menaburinya dengan garam; ini mungkin bukan dalam arti hurufiah, karena ladang ditaburi garam itu maksudnya dibikin jadi tidak subur lagi, tidak bisa ditanami lagi, hancur tanahnya, tapi disi lain sepertinya tidak realistis Abimelekh punya garam sebegitu banyak sampai bisa menggarami seluruh ladang di sebuah kota besar, jadi mungkin ini tindakan simbolis untuk menyatakan bahwa Abimelekh menghancurkan habis-habisan daerah kota Sikhem tersebut. Sebagian warga Sikhem berhasil melarikan diri, masuk ke menara Sikhem, yang sepertinya semacam tempat pertahanan terakhir, semacam bungker (bunker) dalam kota Sikhem. Abimekeh tidak putus akal, dia tahu cara untuk menangani bungker-bungker seperti ini. Dia bersama pasukannya mengambil dahan-dahan kayu, ditaruh mengelilingi menara, lalu dibakarnya menara tersebut, maka penduduk kota Sikhem yang berlindung di dalamnya itu dia panggang hidup-hidup.
Ceritanya tidak berakhir di sini juga. Entah apa yang memotivasi Abimelekh, dia lalu memutuskan untuk menyerang juga kota tetangga dari Sikhem, yaitu Tebes, tidak jauh dari Sikhem. Dia mengepung kota itu, merebutnya, dan kembali penduduk kota itu melarikan diri masuk bungker menara kota Tebes. Membaca ini, kita mengatakan, ‘waduh, salah besar ini, salah langkah nih’, karena dari cerita sebelumnya kita tahu Abimelekh ini sudah menunjukkan bahwa dia tahu caranya menyerang orang-orang yang di dalam menara. Dan memang benar, Abimelekh hendak mengulangi apa yang telah dia lakukan di Sikhem, dia sekarang mau membakar menara Tebes, memanggang hidup-hidup orang-orang yang ada di dalamnya. Tetapi, somehow, kali ini entah dari mana datangnya, ada seorang wanita yang punya rencana jitu –dan punya biseps yang gede juga– mengangkat batu kilangan sampai ke atas menara, menjatuhkannya dari atas, dan entah bagaimana batu tersebut jatuh tepat menghajar kepala Abimelekh dan memecahkan tengkoraknya. Di sini Saudara tentu ingat, kisah Abimelekh ini paralel dengan kisah Debora. Dalam kisah Debora, musuhnya adalah seorang bernama Sisera, yang kepalanya dihancurkan oleh seorang wanita bernama Yael; sekarang dalam kisah Abimelekh, Abimelekh sendiri tokoh Israelnya, yang sekarang kepalanya dihancurkan oleh seorang wanita. Dan, Abimelekh masih tetap gila hormat sampai momen terakhir ini, menyuruh bujangnya untuk membunuh dia supaya jangan orang mengatakan dia dibunuh oleh tangan wanita –masih sebegitu mikir soal malu meski sudah di ujung tanduk. (Ironisnya, belakangan dalam kitab 2 Samuel ada perkataan Yoab, panglima militer Daud, ketika Yoab menyerang sebuah kota; dia mengatakan kepada bawahannya, “Jangan dekat-dekat tembok kota, ingat, Abimelekh dulu mati siapa yang bunuh, yaitu seorang perempuan menjatuhkan batu dari atas tembok”, jadi malah versi cerita itu yang diingat semua orang) Setelah Abimelekh mati, semua orang bubar begitu saja, dan kisahnya berakhir di situ.
Kembali ke pertanyaan kita di awal, buat apa ada kisah seperti ini di Alkitab –termasuk juga saya yang bertanya karena saya perlu mengkhotbahkan ini kepada Saudara. Sesungguhnya dalam hal ini kita setidaknya bisa ambil 2 poin besar dari kisah ini. Yang pertama, believe it or not, ada value dari kisah-kisah tragedi seperti ini, yang sering kali kita sudah melupakannya; kita perlu diingatkan akan berharganya kisah-kisah seperti ini. Kita pada hari ini, problemnya adalah kita dibesarkan dengan kisah-kisah Holywood, itu sebabnya kita sulit menerima gaya kisah tragedi, entah itu kitab Hakim-hakim, atau tragedi-tragedi Gerika sepeti cerita Euripides, atau tragedi-tragedi Shakespeare seperti cerita Corriolanus dan cerita-cerita yang lain –bahkan Saudara juga tidak tahu judul-judul seperti ini– karena kita sudah sangat terpisah dari genre cerita-cerita seperti itu. Tetapi orang-orang di masa lalu jauh lebih menyadari akan berharganya menceritakan dan mendengar kisah-kisah yang tragis, karena hampir selalu kisah-kisah yang tragis adalah mengenai orang-orang yang menghancurkan diri mereka sendiri oleh sebab pilihan-pilihan mereka sendiri juga.
Itulah genre tragedi, yang sayangnya kita hari ini sudah jarang menemukan, padahal kita mungkin perlu belajar menyadari bahwa kisah-kisah seperti ini punya value yang besar bagi manusia. Bahkan, Holywood pun dengan obsesinya akan happy ending –yang lebih laku ditonton orang– tidak bisa sepenuhnya lepas dari genre tragedi. Misalnya, trilogi film Godfather yang keluar pada tahun 1970-an jelas bukan happy ending. Atau bagi Saudara yang tahun 1970-an belum lahir, Saudara mungkin tahu kesuksesan serial TV Breaking Bad, yang bukan bicara mengenai orang yang makin lama makin naik tapi sebaliknya yang makin lama makin hancur, tadinya orang baik-baik lalu makin lama makin hancur, makin menjadi orang yang kriminal, dsb. Yang menarik, kisah-kisah seperti ini justru dipuji-puji dan diakui begitu banyak orang; kenapa? Tepat sekali karena kisah-kisah seperti ini memberikan kita satu hal yang unik dan jarang kita dapatkan; ini studi-studi kasus yang panjang mengenai bagaimana seseorang sebenarnya menghancurkan diri mereka sendiri. Ini satu hal yang penting untuk kita perhatikan, karena dalam semua cerita-cerita tragedi, kehancuran diri seseorang tidaklah pernah instan, selalu perlahan-lahan, selalu selangkah demi selangkah. Tidak pernah ada tokoh dalam kisah atau film tragedi yang memulai kisahnya dengan merencanakan ‘O, nanti hidup saya akan saya hancurkan’. Tidak ada yang kayak begitu. Mereka semua mulainya pelan-pelan, mereka mungkin punya ide yang bagus, mereka mungkin punya sesuatu hal yang mereka anggap baik yang mereka lakukan, tapi pelan-pelan mereka kompromi dalam satu dua hal kecil yang kemudian makin lama makin membawa mereka kepada konsekuensi yang makin lama makin besar. Semua kisah tragedi, prosesnya tidak terjadi dalam sistem SKS (sistem kebut semalam). Orang-orang yang pada akhirnya menghancurkan hidup mereka sendiri, sering kali bahkan tidak sadar bahwa tindakan mereka sendirilah yang membawa mereka sampai ke situ. Dan, sering kali dalam momen-momen akhir kehancuran mereka itu, mereka masih tetap menyalahkan orang lain.
Saudara, jadi dalam arti tertentu ada value-nya kisah-kisah tragedi seperti ini, karena ini lebih realistis. Kisah-kisah tragedi seperti ini berharga, justru karena kisah-kisah seperti ini lebih akurat mewakili bagaimana aturan main kehidupan manusia. Itulah yang kita sedang lihat dalam lanjutan kisah Abimelekh dan penduduk kota Sikhem. Ini kisah yang menunjukkan apa yang terjadi ketika manusia berbalik arah dari menyembah Tuhan yang sejati, dan berpaling kepada para Baal. Saudara ingat dalam khotbah sebelumnya, baik Abimelekh maupun penduduk kota Sikhem sepertinya tidak dikatakan mereka sebegitu seriusnya dalam baalisme dsb., karena memang yang namanya kepercayaan baalisme ini tidak seperti model agama resmi tertentu. Menyembah Baal pada zaman itu ada banyak macam baal-nya, karena istilah ‘baal’ sebenarnya hanya berarti master (tuan), dan yang namanya master bisa banyak macam, segala sesuatu bisa jadi baal. Penyembahan Baal pada waktu itu agak mirip agama ‘do it yourself’, agama yang ‘bring your own god’, kaena mereka semata-mata memilih untuk mengambil sesuatu dalam hidupnya sebagai sesuatu hal yang paling penting –entah itu cuaca, panen, keuntungan, kesuburan, dsb.– lalu menjadikannya sebagai sesuatu yang paling tinggi. Itu sebabnya penyembahan baal ada sampai hari ini, meskipun kita tidak menggunakan nama yang sama. Ketika kita hari ini menjadikan sesuatu apapun di atas dunia ini sebagai goal kita yang terutama, sebagai proyek kita yang terutama dalam hidup ini yang menggantikan posisi Allah yang sejati. Dalam hal ini poin dari cerita Abimelekh adalah menunjukkan sebuah studi kasus, di mana setiap kali orang berusaha untuk menyembah baal, mengganti posisi Allah yang sejati dengan sesuatu yang lain, ujungnya itu mendatangkan kehancuran.
Itulah value dari kisah-kisah seperti ini, maka kita tidak perlu mengharapkan happy ending dalam kisah-kisah seperti ini. Yang perlu kita expect adalah ending yang menyatakan secara realistis konsekuensi dari memilih kejahatan (evil), yaitu membawa masuk disintegrasi ke dalam hidup kita, kepada masyarakat kita, kepada komunitas kita —kita saling menghancurkan. Kita membuat hidup menjadi neraka, karena inilah neraka: tempat di mana tidak ada trust, tidak ada integritas, tidak ada kebenaran, masing-masing pihak hanya mengejar apa yang jadi keuntungan mereka sendiri. Inilah yang terjadi, neraka, ketika seseorang bukan menggunakan hidupnya untuk melayani Allah yang sejati melainkan menjadikan sesuatu sebagai baal dan menyembahnya.
Saudara, itu sebabnya satu hal yang mungkin kita bisa refleksi di sini adalah kita mencoba merenungkan kembali natur dari yang disebut dengan ‘neraka’. Neraka itu apa? Kenapa neraka menakutkan? Seorang teolog pernah bercerita, dia sering ditanya oleh orang-orang tentang gambaran neraka di Alkitab itu sebenarrnya hurufiah atau tidak, apakah neraka itu benar-benar dapur api atau tidak. Menariknya, teolog ini lalu mengatakan, “Enggak sih; menurut saya gambaran api neraka yang Tuhan Yesus katakan itu hanya metafora, suatu gambaran, tidak harus berarti hurufiah.” Orang yang mendengar jawaban teolog ini jadi seperti menarik nafas lega. Tapi kemudian teolog ini mengatakan, “Tunggu dulu, api neraka memang sebuah metafora, tapi itu metafora untuk melambangkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan dibanding sekadar api.” Saudara, coba kita pikirkan mengenai api, apa yang digambarkan oleh api. Kita sering berpikir api adalah gambaran pemusnahan, maka orang mengatakan ‘terbakar habis oleh api; dimakan api’, dsb.; tapi itu bukan pengertian yang tepat akan gambaran api. Api bukan memakan sesuatu atau menghabiskan sesuatu; api merusak sesuatu. Api itu membawa disintegrasi, merusak dan memutuskan ikatan-ikatan kimiawi antara satu molekul dengan molekul yang lain. Itu sebabnya barang yang kena api, terbakar, selalu ada sisanya, tidak pernah musnah, tetapi sisanya ini sudah gosong, hangus, useless, rusak; ada sisanya, dan sisanya ini bertahan “selama-lamanya” tapi juga rusak untuk “selama-lamanya”. Tidak heran kita mengatakan kalimat ‘habis dimakan api’ karena memang ada sisanya tapi sisa yang sudah tidak berguna, tidak berfungsi lagi, tidak bisa dipakai buat apapun selain dibuang –jadi praktis tidak ada sisanya. Inilah yang mungkin mau dinyatakan lewat gambaran ‘api’. Orang zaman dulu pun tahu –meski mereka tidak tahu soal molekul– bahwa api tidak menghabiskan segala sesuatu; orang membakar sampah, itu bukan berarti sampahnya habis sama sekali, hilang menguap, tapi tetap ada suatu sisa/bangkai, yang rusak, yang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi –dan juga rusak untuk selama-lamanya. Jadi di sini Saudara bisa melihat gambaran neraka, tempat api yang menghaguskan seperti ini. Saudara bisa melihat bahwa dosa sebenarnya sudah memulai proses kerusakannya sejak sekarang; dan, karena jiwa manusia kekal, maka Saudara tinggal bayangkan apa jadinya jiwa yang terus-menerus dirusak, yang terus-menerus di-disintegrasi oleh dosa sampai selama-lamanya –dan itulah neraka. Itu sebabnya menurut teolog tadi api adalah metafora, tapi ini metafora dari suatu realitas yang jauh lebih mengerikan daripada sekadar api.
Kalau Saudara kembali ke kisah ketika Yesus bicara mengenai neraka, Saudara mendapatkan gambaran yang cocok dengan penafsiran tersebut. Dalam salah satu kisah yang Tuhan Yesus berikan, ‘Lazarus dan si orang kaya’, si orang kaya yang masuk neraka ini gambarannya lebih cocok dengan gambaran api yang ada sisanya itu, karena waktu si orang kaya masuk neraka, dia bukan hilang lenyap menguap, dia masih terus ada –dan, Saudara lihat dia juga terus-menerus rusak. Saudara perhatikan, satu hal yang sangat membingungkan dan juga mengagetkan buat kita, yaitu bahwa si orang kaya ini tidak pernah sekali pun minta dikeluarkan dari neraka. Tidak pernah. Apa yang dia minta? Yang dia minta, agar Lazarus ikut masuk neraka, dalam arti dia masih saja menyuruh-nyuruh Lazarus untuk turun ke neraka, memberi dia minum, melembutkan dan mendinginkan lidahnya sedikit, seakan-akan dia masih seorang kaya yang bisa perintah-perintah orang miskin seperti waktu dia hidup. Meskipun Lazarus sudah di surga, dan dia sekarang di neraka, dia bukan mau keluar dari neraka tapi minta Lazarus yang ikut masuk ke neraka. Ini satu hal yang mengerikan. Tapi mungkin Saudara berkata, “Tapi, Pak, bukankah dalam kisah itu si orang kaya ini minta kepada bapa Abraham untuk mengutus Lazarus pergi kepada saudara-saudaranya, memperingatkan mereka akan nasibnya ini; bukankah ini berarti dia concern ke luar? Bukankah ini positif, karena berarti orang di neraka masih ada sifat baik, ‘gak rusak-rusak banget??” Tidak, Saudara. Dalam hal ini hampir semua penafsir sepakat mengatakan untuk kita jangan tertipu, karena yang dilakukan si orang kaya ini sama sekali bukan concern, tapi usahanya untuk mempersalahkan Tuhan akan nasibnya. Ini pada dasarnya si orang kaya sedang mau mengatakan, “Bapa Abraham, coba bangkitkan Lazarus, utus dia kepada orang yang masih hidup; kalau orang yang sudah mati lalu hidup lagi, pasti orang bertobat, pasti ‘gak masuk neraka”; dan ini berarti ‘bahwa saya hari ini ada di neraka, itu adalah karena saya tidak diberi informasi yang cukup oleh Kamu, karena Kamu tidak membangkitkan orang untuk memperingatkan aku; kalau saja aku dapat informasi seperti itu, pasti aku tidak masuk neraka. Jadi aku ada di sini, ujungnya salah siapa??’ Ini mirip seperti banyak orang yang mempertanyakan, ‘Tuhan itu adil atau tidak sih?? Kayaknya tidak adil, ya, masukin orang ke neraka; ada orang-orang yang tidak diberikan Injil lalu tetap masuk neraka, itu bagaimana??’ Di sini Francis Schaeffer mengatakan seperti ini: coba bayangkan semua orang dari lahir dikalungi tape recorder tapi yang tidak kelihatan sehingga orangnya tidak sadar ada, lalu suatu hari nanti diputar kembali waktu orang tersebut sudah meninggal. Dan tape recorder ini unik karena hanya merekam kata-kata yang Saudara katakan supaya orang lain harus lakukan buat Saudara –‘harusnya hidup itu kayak begini, harusnya standarnya kayak begini’; lalu setelah mati, tape recorder itu diputar balik, dan orangnya dihakimi berdasarkan standar yang dia katakan sendiri. Dia tidak dihakimi berdasarkan hukum Tuhan, dia tidak dihakimi berdasarkan Injil, dia tidak dihakimi berdasarkan semua itu, dia hanya dihakimi berdasarkan hati nuraninya sendiri. Dan, di sini Schaeffer menantang, adakah yang lulus?? Jadi tidak usah mengatakan ‘gara-gara tidak diberikan Injil maka masuk neraka, ini salah Tuhan’, karena dari mana bisa pikir kayak begitu?? Semua orang memang sudah berdosa, ada sebagian yang diberikan anugerah; tapi, orang yang tidak diberikan anugerah, kamu tidak bisa bilang itu salah Tuhan. Kembali ke si orang kaya tadi; Saudara lihat di bagian ini dia bukan sedang peduli pada saudara-saudaranya, dia sedang mau membela diri; sampai di dalam neraka pun dia masih tidak mau mengakui andilnya sehingga dia masuk neraka, sampai di dalam neraka pun dia masih mau mengubah kesalahannya jadi kesalahan orang lain.
Itu sebabnya Saudara lihat, gambaran neraka berbeda dari gambaran yang dipikirkan banyak orang. Kita sering kali pikir Tuhan somehow melempar orang ke neraka, lalu orang-orangnya berusaha memanjat tembok neraka dan menggedor-gedor pintu dari dalam neraka, “Tuhan! Tuhan! keluarkan aku”, dsb., sementara Allah berdiri di luar dengan gemerincing kunci di tangannya sambil berkata, “Ha..ha.. hah.. sudah terlambat”. Kita sering kali berpikir demikian, tapi tidak demikian gambarannya kalau kamu baca Alkitab. C.S. Lewis mengatakan, “Manusia hanya ada 2 jenis: satu tipe adalah yang mengatakan kepada Tuhan, ‘Tuhan, biar kehendak-Mu yang terjadi dalam hidupku’; satu tipe lagi adalah yang Tuhan berkata kepada mereka, ‘Biar kehendakmu terjadi dalam hidupmu’ –dan orang-orang inilah yang masuk neraka”. Orang-orang ini masuk neraka bukan karena Tuhan somehow bersalah dan bertanggung jawab atas keadaan mereka itu, melainkan karena mereka memilih sendiri jalan ke neraka. Saudara, maka kemudian C.S. Lewis mengatakan, bahwa pintu neraka dikunci, itu memang benar; tapi dikuncinya dari dalam.
Saudara, ini sebabnya melihat kisah-kisah seperti Abimelekh itu penting bagi kita, karena melihat kisah “neraka” seperti ini memang ada tempatnya di dalam Alkitab. Kita tidak bisa jadi orang-orang Kristen yang hanya mau, atau hanya bisa, belajar dari bagian-bagian Alkitab yang happy ending, yang redemptive, yang berakhir positif ala gaya Holywood; kita bisa belajar dari kisah-kisah seperti Abimelekh ini karena kisah-kisah ini menceritakan kepada kita seberapa serius dosa itu! Saudara ingat khotbah Pendeta Agus Marjanto, semua orang tahu dosa itu jahat, tapi berapa banyak orang yang sungguh mengenali keseriusan dari dosa?? Saudara, kita perlu tahu betapa dosa itu mematikan, kita perlu tahu apa yang terjadi ketika seseorang memilih bukan untuk melayani Tuhan tapi menjadikan sesuatu selain Tuhan –apapun itu–sebagai tuannya, sebagai baal-nya. Apa yang akan terjadi itu? Disintegrasi, saling menghancurkan. Itu sebabnya kitab Hakim-hakim dan kisah-kisah di dalamnya, terutama kisah tokoh-tokoh yang makin ke belakang ini, adalah semacam rambu lalu lintas Verboden yang super besar, yang memaksa kita untuk berhenti, untuk mempertimbangkan jalan apa yang sedang kita ambil, dan apakah ada jalan lain yang lebih baik yang lebih mendatangkan kehidupan. Itu poin pertama, alasannya kisah-kisah seperti ini tetap perlu bagi perenungan kita.
Yang kedua, meskipun perspektif ‘keseriusan dosa’ penting, tapi saya rasa itu bukan satu-satunya perspektif yang ada dalam kisah ini. Surprisingly kita justru bisa menemukan kabar baik, berita Injil, di dalam bagian yang begitu gelap ini. Hanya saja, mungkin berita Injilnya tidak seperti berita Injil yang Saudara pikir Saudara tahu. Saudara mungkin tanya, bagaimana kita bisa menemukan berita Injil dalam kisah ini? Untuk itu, kita perlu meninjau bagian yang tadi kita lewati, babak kedua dari kisah Abimelekh, yang belum kita sentuh. Dalam babak inilah sang penulis mulai membukakan kepada kita, kira-kira kenapa dia memasukkan kisah tersebut.
Kita kembali ke pasal 8 lebih dulu. Saudara lihat, kesalahan bangsa Israel setelah Gideon mati, bukan cuma mereka berbalik arah kepada para Baal; ada catatan menarik di pasal 8:33-35, ‘Setelah Gideon mati, kembalilah orang Israel berjalan serong dengan mengikuti para Baal dan membuat Baal-Berit menjadi allah mereka; orang Israel tidak ingat kepada TUHAN, Allah mereka, yang telah melepaskan mereka dari tangan semua musuhnya di sekelilingnya’ (ayat 33-34 ini kesalahan Israel berrbalik dari Allah mereka), ‘juga tidak menunjukkan terima kasihnya (khesed-nya, loving faithfulness-nya) kepada keturunan Yerubaal-Gideon seimbang dengan segala yang baik yang telah dilakukannya kepada orang Israel’ (ayat 35). Ayat 35 ini penting, karena yang terjadi berikutnya adalah tragedi menimpa keluarga Gideon, 70 anaknya dibantai oleh Abimelekh.
Kita masuk ke cerita babak kedua. Persis sesudah Abimelekh merebut kekuasaan, membantai anak-anak Gideon, dan dinobatkan jadi raja, di pasal 9:7 kita menemukan ada satu anak Gideon yang lolos, yang paling muda, bernama Yotam. Gideon sendiri anak yang paling muda; jadi Yotam ini yang paling muda dari anak paling muda –dan mungkin ini sebabnya dia lolos; memang diikatakan dia menyembunyikan diri, tapi belakangan dia juga tidak diapa-apain, mungkin karena orang pikir ‘anak kecil-lah, mau ngapain’. Yotam yang masih sangat muda ini pergi ke atas bukit Gerizim di luar kota Sikhem, dia lalu berteriak menceritakan suatu kisah yang sangat menusuk (ini perumpamaan pertama yang ada di Alkitab), suatu cerita yang benar-benar sarkastis, kepada orang-orang Sikhem dan Abimelekh. Ceritanya seperti ini: Alkisah para pohon di sebuah hutan sedang memilih raja bagi mereka, mereka memilih 3 kandidat. Kandidat pertama, pohon zaitun; ini pohon yang sangat penting, menghasilkan minyak zaitun yang sangat sentral dalam kehidupan orang Isrrael, demikian juga buah zaitunnya. Tapi pohon zaitun mengatakan, “O, saya ‘gak mau jadi raja, karena kalau saya jadi raja di atas pohon-pohon yang lain, nanti siapa yang akan menghasilkan buah zaitun?? Panggilan saya ini penting, maka saya tidak mau jadi raja.” Pohon-pohon pun beralih kepada kandidat kedua, pohon ara, pohon yang juga sangat penting karena buahnya manis (pada zaman itu tidak ada gula, jadi kalau orang Israel mau membuat manisan, rasa manisnya hanya bisa dari buah-buah natural seperti buah ara). Namun pohon ara juga menolak, “Kalau saya jadi raja, tidak ada yang produksi buah ara lagi, tidak ada yang bikin makanan manis lagi”. Mereka pun pergi kepada kandidat ketiga, pohon anggur, tapi pohon anggur mengatakan, “Kalau saya jadi raja, nanti tidak ada yang bsia minum anggur lagi, bagaimana??” Pohon-pohon akhirnya pikir ketiga pohon itu sudah punya panggilan yang mulia, pekerjaan yang bagus, maka mereka tidak mau jadi raja, kalau begitu musti cari pohon yang tidak ada gunanya, yang ‘gak bisa ngapa-ngapain, itu yang cocok jadi raja; mereka pun beralih ke pohon keempat, satu jenis pohon yang memang kurang kerjaan, yaitu semak duri, karena ini pohon yang paling tidak berguna –ini sarkasme luar biasa. Semak duri lalu mengatakan, “Oke, silakan berlindung di bawah naunganku” –ini sarkasme lagi, karena semak duri tidak punya naungan. Lebih kacau lagi, semak duri melanjutkan, “Tapi, jikalau kamu tidak mengikut aku, api akan keluar dari semak duri ini, jangan meremehkan apiku, apiku akan membakar habis bahkan pohon aras Libanon yang terkenal”. Perumpamaan ini masuk akal karena semak duri memang tidak ada gunanya namun berguna untuk satu hal, yaitu untuk dibakar/jadi bahan bakar. Yotam lalu mengakhiri cerita ini dengan lebih sarkastis lagi, “Nah! penduduk Sikhem, apa poinnya cerita ini? Jika kamu sekalian telah berbuat baik kepada keturunan bapakku dengan membunuh anak-anaknya, maka biarlah engkau dan Abimelekh berhubungan dengan sukacita, biarlah dia jadi sukacitamu dan engkau jadi sukacitamu. Tapi jika tidak, jika kalian tidak berlaku benar, biarlah si raja semak duri ini keluar api membakarmu, dan dari engkau keluar api yang membakar dia.”
Saudara, belakangan jelaslah bahwa Yotam ini sedang berbicarra mewakili Tuhan, karena kutukan inilah yang sedang digenapi dalam babak ketiga yang tadi kita lihat. Tahu dari mana? Waktu membahas babak ketiga tadi, saya sengaja melewatkan bagian yang sangat krusial, yaitu pembuka dan penutup babak ketiga tersebut, bingkai dari cerita bunuh-bunuhannya. Pasal 9:22-24 adalah pembuka babak ketiga: ‘Setelah tiga tahun lamanya Abimelekh memerintah atas orang Israel, maka Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem, sehingga warga kota Sikhem itu menjadi tidak setia kepada Abimelekh, supaya kekerasan terhadap ketujuh puluh anak Yerubaal dibalaskan dan darah mereka ditimpakan kepada Abimelekh, saudara mereka yang telah membunuh mereka dan kepada warga kota Sikhem yang membantu dia membunuh saudara-saudaranya itu.’ Sekarang kita bandingkan dengan penutupnya, ayat 56-57: ‘Demikianlah Allah membalaskan kejahatan yang dilakukan oleh Abimelekh kepada ayahnya, yaitu pembunuhan atas ketujuh puluh saudaranya; juga segala kejahatan orang-orang Sikhem ditimpakan kembali oleh Allah kepada kepala mereka sendiri. Demikianlah kutuk Yotam bin Yerubaal mengenai mereka.’ Inilah bingkai ceritanya, dimulai dan diakhiri dengan kalimat ‘ini dari Allah’.
Saudara lihat, kenapa Abimelekh dan penduduk kota Sikhem ujungnya saling menghancurkan? Kalau kita membahas dengan tanpa melihat pembuka dan penutup tersebut, kita merasa memang masuk akal saja bahwa orang-orang yang berelasi atas dasar keegoisan masing-masing maka relasinya tidak bakal bertahan; mereka berelasi atas dasar keuntungan pribadi, maka kita tahu itu pasti akan saling menghancurkan. Tapi sekarang kita melihat penulis Alkitab membingkai cerita ini dengan satu statement, bahwa semua ini terjadi oleh karena tangan Tuhan. Bagian ini Saudara perlu membacanya dengan tepat; ini bukan berarti ‘either or’, kalau Tuhan tidak mengirim semangat jahat kepada mereka maka mereka tidak akan saling menghancurkan, jadi ini salahnya Tuhan –bukan seperti itu cara membacanya. Kita sering kali pikir Alkitab baru benar, ketika catatan-catatannya semirip mungkin dengan yang dilihat oleh kamera CCTV. Menurut kita ‘kalau kamu beri saya laporan yang benar, maka laporan itu harus se-akurat mungkin seperti kamera CCTV, sehingga kalau saya mau rekonstruksi ulang kejadiannya, saya bisa; itu baru namanya catatan yang benar, riil, true’. Itu sebabnya sesuatu yang bagi kita riil, adalah sebagaimana yang dilihat kamera. Tapi sesungguhnya itu bukan cara Alkitab bekerja, itu bukan cara penulis-penulis Alkitab berpikir atau menulis. Bagi mereka, yang riil, yang true, adalah justru sesuatu yang melampaui mata kamera; sesuatu yang bukan bisa dilihat oleh kamera melainkan sesuatu yang di balik itu semua, yang tidak bisa ditangkap oleh kamera. Itulah yang mereka catat dan tuliskan juga. Itu sebabnya jangan kita jadi orang Kristen yang terlalu heboh untuk selalu membuktikan Alkitab se-akurat mungkin dengan sejarah. Jangan-jangan, Alkitab sendiri tidak terlalu tertarik melakukan ini, karena Alkitab pada naturnya memang tidak tertarik untuk hanya menyediakan Saudara perspektif yang cuma dilihat kamera tok, apa gunanya?? Saudara pikir, ‘Berguna dong; kalau saya bisa lihat sendiri, saya akan percaya’; tapi tidak, Saudara. Ingat Injil Yohanes di bagian belakangnya ada catatan mengenai kenapa injil ini ditulis. Waktu Yohanes menceritakan seluruhnya tentang Yesus Kristus, apakah terakhirnya dia mengatakan tujuannya “supaya kamu tahu”? Tidak. Dia sama sekali tidak mengatakan supaya kamu tahu; dia mengatakan, “… supaya kamu percaya, supaya kamu beroleh hidup dalam nama-Nya”. Kenapa dia tidak mengatakan ‘supaya kamu tahu’? Karena dia tahu satu hal: di dalam zaman Yohanes ada banyak orang yang tahu mengenai Yesus, yang melihat Yesus sebagaimana kamera CCTV melihat Yesus –dan mereka tidak percaya. Kenapa mereka tidak percaya? Tentu saja karena mereka hanya melihat sebatas yang dilihat kamera CCTV, perspektif yang justru paling ‘gak penting. Bukan itu perspektif yang dibutuhkan untuk Saudara bisa percaya dan mendapatkan hidup dalam nama Yesus. Saudara perlu sesuatu yang lebih dalam dari sekadar yang kelihatan. Saudara perlu sesuatu yang melampaui apa yang kelihatan. Saudara perlu apa yang di balik yang kelihatan. Orang melihat tukang kayu miskin dari Nazareth yang sok-sok-an jadi mesias tapi gagal karena digilas mati oleh Romawi; Yohanes dan murid-murid-Nya melihat Anak Allah yang menang melalui kekalahan. Saya mau tanya, yang dilihat mereka ini apa bisa ditangkap oleh kamera apapun?? Dan, ini justru perspektif yang krusial untuk Saudara dan saya bisa percaya dan beroleh hidup dalam nama-Nya –itulah tujuan Alkitab ditulis. Jadi, tolong jangan rendahkan Alkitab ke standar modern ‘kalau Alkitab benar, harus se-akurat mungkin dengan kamera CCTV’. Bahaya kalau melihatnya seperti itu. Alkitab justru benar karena Alkitab memberitahukan Saudara apa yang kamera CCTV tidak mungkin lihat.
Kembali ke kisah Abimelekh, Saudara sekarang mengerti poin penulis menuliskan kisah ini, memperlihatkan bahwa di balik self-destructiveness antara Sikhem dan Abimelekh itu ada tangan Tuhan. Ini maksudnya bukan untuk membuat Sikhem dan Abimelekh lepas dari tanggung jawab karena ini gara-gara Tuhan. Bukan itu poinnya. Perhatikan, kalimat tadi keluarnya di babak ketiga dan bukan di babak pertama, jadi bukan karena semangat jahat yang dibangkitkan Tuhan ini maka Abimelekh bersiasat mengambil kekuasaan dan membantai 70 anak Gideon. Bukan sejak awal semangat jahat itu diturunkan, tapi di babak ketiga, justru untuk membalas kejahatan tersebut, untuk menghancurkan para penghancur. Namun demikian Saudara perhatikan, kehancuran ini pun datang sendiri juga sebagai konsekuensi logis dari kejahatan mereka, tidak ‘either or’ –tetapi tangan Tuhan ada di balik situ juga.
Lalu kenapa penulis ingin memberikan kepada kita perspektif yang tidak kelihatan ini? Kenapa kehancuran yang sebenarnya masuk akal saja kalau kita baca secara logika, yang seperti natural ini, harus dijelaskan, dibuka, diungkap sebagai hasil dari tangan Tuhan? Inilah yang mau saya berikan hari ini sebagai kabar baiknya: adalah suatu kabar baik, ketika manusia melakukan kejahatan maka Tuhan mendatangkan disintegrasi atas mereka; adalah suatu kabar baik, ketika kita melihat kejahatan ternyata bukan hanya destruktif, kejahatan di tangan Tuhan itu self-destructive, menghancurkan diri sendiri, saling menghancurkan. Kita bersyukur bahwa inilah penentuan Tuhan atas kejahatan, karena dengan demikian kejahatan (evil) tidak mungkin menang pada akhirnya. Bahwa sebesar apapun kejahatan, kejahatan itu tidak bisa bertahan selama-lamanya. Bahwa kejahatan adalah kerajaan yang saling menghancurkan dari dalam. Saudara lihat, Abimelekh jahat dan violent, Gaal jahat dan violent, penduduk kota Sikhem jahat dan violent, maka pada akhirnya mereka semua saling menghancurkan. Ini adalah kabar baik dari Allah Alkitab, bahwa kejahatan itu self-destructive.
Untuk benar-benar mengerti kenapa bisa demikian, kita bisa pakai contoh yang kontemporerr, yang lebih dekat dengan zaman kita. Bebarapa tahun yang lalu ada cerita tentang misionaris Kristen di Australia bernama Graham Staines, yang pergi ke India untuk menginjili orang-orang di sana, bersama dengan istri dan anak-anaknya. Dia punya 3 anak, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Satu hari, mereka berpisah sebentar, si suami bersama 2 anak laki-lakinya –yang kalau tidak salah berumur 9 dan 6 tahun– pergi naik campervan ke tempat-tempat terpencil. Mereka tidak pakai cara paksaan, mereka tidak pakai kekerasan, mereka membawa obat, dsb., untuk orang-orang di sana. Suatu malam ketika sedang tidur di campervan, mereka dikepung sekelompok radikal yang kemudian membakar mereka hidup-hidup di dalam campervannya. Singkat cerita, istrinya (Gladys) sekarang harus membesarkan seorang diri satu anak perempuan yang tersisa. Waktu Gladys ditanya apa komentar/reaksinya, dia mengatakan bahwa dia mengampuni para pembunuh itu, dia tidak pernah terpikir untuk membenci mereka, yang dia inginkan adalah mereka semua bisa bertobat dan menerima hidup dalam nama Yesus. Cerita ini sampai ke seorang Jepang non Kristen, benama Hiroka, seorang wanita. Hiroka sangat kaget dan bingung, kenapa bisa ada pengampunan seperti ini di dunia, dia merasa ini satu hal yang begitu asing.
Saudara, sering kali orang mengira ketika orang Kristen bicara mengenai neraka, penghakiman, itu artinya kita jadi orang-orang yang judgmental, yang menganggap orang-orang yang lain rendah, di bawah, yang kepadanya kita boleh lakukan kekerasan. Tapi, kalau kita kembali ke kisah Lazarus dan orang kaya tadi, ketika si orang kaya menyampaikan permintaannya kepada bapa Abraham –permintaan yang begitu bodoh dan rusak itu– perhatikan kalimat bapa Abraham kepadanya, dia memanggil si orang kaya dengan sebutan “my son, anakku”. Ada pathos di situ. Ada semacam kesedihan, ada sense of tragedy dalam suara bapa Abraham memandang mereka yang di neraka. Pertanyaannya, kenapa bisa ada pengampunan seperti ini? Kenapa percaya Allah yang menghakimi, itu bukan membuat orang Kristen jadi orang yang judgemental harusnya? Kenapa percaya Allah yang menghakimi ini suatu good news?
Miroslav Volf, seorang teolog Kroasia, mengatakan: kunci untuk bisa hidup dengan damai di atas dunia ini bukanlah urusan ‘percaya Allah yang mengasihi’, tentu saja bagian itu jelas ada, tapi kunci untuk bisa hidup dengan damai di atas dunia ini adalah justru ‘percaya Allah yang menghakimi’. Koq bisa? Semua orang mengatakan, “Lihat, agama-agama yang menggunakan kekerasan adalah agama-agama yang percaya Allah yang menghakimi, Allah yang punya standar, Allah yang mengirim orang masuk neraka; itulah problemnya, maka jangan lagi percaya agama yang seperti itu. Kalau pun mau percaya Tuhan, percayalah Tuhan yang mengasihi dan mengasihi tok —urusan selesai.” Miroslav Volf mengatakan: kalau kalian, orang-orang Barat, cuma pikir seperti itu, kalian sebenarnya orang-orang yang ‘gak nyambung dengan realitas. Miroslav Volf ini teolog yang benar-benar hidup di daratan, karena sebagai orang Kroasia, dia melihat sendiri konflik dan kekerasan di daerah Balkan itu habis-habisan; satu desa terhadap desa yang lain terkunci dalam siklus pembalasan dendam demi pembalasan dendam seperti film kungfu, jadi bagaimana bisa hidup damai di atas dunia ini?? Lalu Miroslav Volf mengatakan: kamu harus tahu satu hal, hai teolog-teolog Barat yang cuma berpikir tok, yang tidak datang ke dunia riil, kamu bilang, problemnya adalah percaya Allah yang menghakimi, Allah yang membuat orang masuk neraka; kamu tidak tahu apa yang benar, kamu harus lihat kemari, karena desa-desa yang saling membunuh, saling membantai, saling membalas dendam ini, bukan membalas dendam karena dimotivasi oleh konsep ‘Allah yang menghakimi’, justru mereka saling membalas dendam karena mereka tidak percaya Allah itu menghakimi, karena mereka tidak percaya Allah yang adalah hakim. Koq bisa? Miroslav Volf mengatakan: orang kalau mau main hakim sendiri, itu adalah karena dia tidak percaya ada Hakim lain selain dia –sesimpel itu. Orang yang berpikir problem kekerasan harus diatasi dengan main hakim sendiri, pertama-tama sudah pasti adalah orang-orang yang disakiti; hai orang-orang Barat yang tinggal di suburb-suburb Eropa dan Amerika dengan rumah berpagar putih itu, coba kalau kamu pergi ke daerah-daerah yang violent lalu melihat orang-orang yang rumahnya dibakar, yang anggota keluarganya dibunuh, yang anak-anaknya diperkosa, apa yang akan kamu katakan kepada mereka untuk mereka bisa mengurungkan niat membalas dendam? Bahwa saling mengasihi dan saling mengasihi maka urusan selesai? Bahwa kekerasan bukanlah jawabannya? Bahwa membunuh mereka tidak akan mengembalikan anakmu? Itukah yang akan membuat mereka urung membalaskan dendam?? Saudara lihat perang di Ukarina hari ini sudah mulai problematik, karena tentara-tentara Ukraina sendiri sudah mulai sadis terhadap tawanan-tawanan Rusia. Kalau Saudara terjun ke sana dan melihat sendiri, bagaimana mungkin Saudara bisa ada hak untuk berbicara kepada orang-orang Ukarina itu? Mereka adalah orang-orang yang melihat sendiri hidup mereka dihancurkan oleh Rusia tanpa sebab yang jelas, yang melihat orangtua-orangtua mereka dibunuh di tengah jalan, yang melihat anak-anak mereka dihancurkan oleh artileri, maka bagaimana mungkin mereka tidak menuntut keadilan?? Mau ngomong apa kepada mereka?? tantang Volve. Volve mengatakan: justru mereka mau membalas dendam karena mereka tidak percaya ada Allah yang menghakimi; karena itu satu-satunya jalan keluar adalah ketika orang bisa mengatakan, “Ada Seorang Hakim, keadilan akan dijalankan –tapi hakimnya bukan saya”. Itu satu-satunya harapan untuk bisa ada hidup damai di atas dunia ini.
Ketika kita percaya Allah yang menghakimi, itu justru adalah kekuatan untuk kita bisa mengampuni orang yang menyakiti. Itu sebabnya Yusuf ketika diajak bicara oleh saudara-saudaranya yang ketakutan dia bakal balas dendam, dia lalu mengatakan, “Sangkamu aku menempatkan diriku di tempat Allah??” Lucu ya, responsnya. Kenapa dia tidak bilang ‘sangkamu aku masih dendam, sangkamu aku ini tidak bisa mengampuni’? Yang Yusuf katakan, ‘sangkamu aku menempatkan diriku di tempat Allah’, karena orang yang membalas dendam adalah orang yang tidak percaya pembalasan sebagai hak/milik Tuhan, bahwa tidak ada Hakim yang sejati maka saya harus mengambil keadilan dengan tangan saya sendiri –dan ini pada akhirnya akan saling menghancurkan.
Saudara, pada hari ini mari kita bersyukur kita punya Allah yang menghakimi. Mari kita bersyukur salah satu kabar baiknya dalam Alkitab yaitu: bahwa Allahmu adalah Allah yang tidak tinggal diam atas kejahatan; bahwa Allahmu adalah Allah yang menurunkan tangan-Nya kepada orang-orang yang jahat, membawa disintegrasi atas dosa yang saling menghancurkan. Ketika kita hari ini sedang menderita, kita perlu mendengar ini. Kalau kita menderita karena dosa kita, kita perlu mendengar ini supaya kita melihat dan menyadari jalan yang kita ambil, lalu berbalik, bertobat, dan mengambil jalan yang lain. Tapi kalau kita sedang menderita karena kesalahan dan kekerasan orang lain, kita juga perlu mendengar ini, karena kitab Hakim-hakim ini kembali pada satu message yang sama lagi: ada seorang Hakim yang sejati –dan hakimnya bukan kamu. Itulah yang menjadi kekuatan untuk kita bisa hidup di atas dunia ini secara damai, mengampuni satu dengan yang lain. Saudara lihat, tetap ada value-nya kisah-kisah seperti Abimelekh ini di Alkitab.
Mari kita belajar menjadi orang-orang yang tidak memilah-milah Alkitab, menjadi orang-orang yang menuntut diri ikut masuk kepada apa yang Alkitab mau berikan, mempelajari Alkitab dari depan sampai belakang. Itulah jalan untuk kita bisa diperluas, melihat lebih utuh diri Allah kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading