Kita kembali ke eksposisi kitab Hakim-hakim. Sebelumnya, kita review sedikit gambaran besar dari kitab Hakim-hakim karena ini khotbah yang ke-13, dan kita sudah memasuki satu fase turning point dalam pembahasan kitab ini. Dalam kitab ini ada 12 nama hakim, tapi hanya 7 orang dari hakim-hakim tersebut yang dibahas secara detail dan narasinya panjang. Dari 7 orang ini, kita melihat ada struktur simetri. Tiga yang pertama, yaitu Otniel, Ehud, dan Debora adalah hakim-hakim yang ceritanya cenderung positif; rakyatnya ngawur, tapi hakim-hakim ini hakim yang positif. Yang ke-4 (di tengah) yaitu Gideon, ini hakim yang turning point; dalam ceritanya seperti ada 2 bagian, bagian pertama yang lebih positif, bagian kedua ada negatifnya. Ini hakim yang aneh; di satu sisi ada sepak terjang dalam iman kepada Tuhan, tapi di sisi lain juga ada kekejaman terhadap bangsanya sendiri. Ini hakim yang menolak ketika hendak diangkat jadi raja, tapi akhirnya toh hidup bak seorang raja. Ini hakim yang menolak takhta dengan mengatakan, “Bukan aku dan bukan anak-anakku yang akan memerintah Israel, tapi Tuhan yang memerintah kamu”, tapi kemudian anaknya sendiri diberi nama Abimelekh, artinya ‘bapakmu raja’. Jadi 3 hakim yang pertama positif, lalu yang ke-4 agak aneh, seperti punya 2 bagian yang saling bertabrakan dalam hidupnya; dan sekarang kita memasuki fase 3 hakim yang terakhir, yang negatif, yang mereka sendiri problematik dan bukan cuma rakyatnya. Bahkan di antara mereka ada satu yang bukan disebut sebagai hakim, yaitu Abimelekh, anak Gideon; lalu dua hakim berikutnya Yefta dan Simson.
Tiga hakim yang pertama positif, karena mereka bergantung kepada Tuhan, misi mereka sering kali membahayakan diri mereka demi kepentingan umat Tuhan. Tapi tiga hakim yang terakhir –atau lebih tepatnya tiga tokoh, karena tidak semuanya hakim–adalah orang-orang yang kisahnya negatif, karena terbalik dari 3 hakim yang pertama, mereka ini membahayakan umat Tuhan demi kepentingan pribadi. Hal ini kita lihat paling jelas dalam kisah Abimelekh. Mungkin itulah sebabnya kisah Gideon yang di tengah-tengah, punya 2 bagian: bagian pertamanya lebih nyambung dengan tema 3 hakim yang pertama, tentang bagaimana Gideon bergantung kepada Tuhan, Gideon menyelamatkan umat Israel, mengalahkan musuh-musuh Israel; sedangkan bagian kedua –yang jarang dibahas di gereja– nyambung dengan tema 3 hakim yang terkahir, tentang bagaimana Gideon mengejar musuh-musuhnya demi dendam pribadi, demi kepentingan pribadi, dan berakhir bukan cuma Gideon mengalahkan musuh Israel tapi juga membantai penduduk Israel sendiri di kota Pniel dan Sukot karena mereka menghina dirinya. Ini mengantisipasi cerita 3 tokoh yang akan datang setelah dia; hari ini kita membahas tokoh pertama dari 3 tokoh terakhir tsb., yaitu Abimelekh, anak Gideon, tokoh yang tidak disebut sebagai hakim.
Kalau Saudara membaca kisah Abimelekh, sekilas pandang ini kisah yang sangat aneh; saya baca begitu banyak commentary sana-sini dan saya tetap tidak mengerti kisah ini mau dibawa ke mana. Seperti kita ketahui, setiap kisah hakim di kitab ini sedikit banyak mengikuti sebuah pola/siklus; dimulai dengan membicarakan penyelewengan Israel setelah hakim sebelumnya mangkat, dilanjutkan dengan dibangkitkannya seorang hakim Isrrael, lalu mereka menyelamatkan umat Tuhan. Kita sudah terbiasa dengan pola tersebut, tetapi kisah Abimelekh dimulai dengan pelanggaran Israel (akhir pasal 8) yang lanjutannya bukan kisah penyelamatan Israel. Memang sejak dari kisah Ehud Alkitab membuat variasi-variasi dalam kisah-kisahnya, tetapi kisah Abimelekh ini lain banget karena sama sekali tidak mengkuti siklus para hakim sebelumnya. Tidak ada catatan Tuhan menghukum Israel dengan membangkitkan seorang penindas –seperti yang sudah-sudah– dan tidak ada catatan Allah lalu menyelamatkan orang Israel dari siapa pun. Bahkan kisah Abimelekh ini fokus utamanya tentang Abimelekh menjadi raja –bukan hakim– di kota Sikhem, yang penduduknya adalah orang-orang Kanaan, bukan orang Israel. Itu sebabnya Allah jarang banget muncul dalam ksiah ini; dan ketika muncul, nama yang dipakai hanyalah istilah ‘Elohim’, bukan nama Yahweh. Jadi, bukan saja lepas dari siklus yang biasanya, di sini tokoh-tokoh pentingnya bahkan bukan orang Israel sendiri; dan terlebih lagi kalau kita melihat isi dari kisah Abimelekh ini sangat negatif dan gelap.
Kita bisa membagi kisah ini jadi 3 bagian. Bagian yang pertama, kisah mengenai Abimelekh mengambil kekuasaan menjadi raja kota Sikhem dengan membantai 70 anak Gideon, saudara-saudaranya sendiri. Bagian yang kedua, anak Gideon yang termuda, Yotam, berhasil melarikan diri; dan dia memberikan satu perumpamaan (ini perumpamaan pertama di Alkitab), untuk mengutuk Abimelekh dan penduduk kota Sikhem. Bagian yang ketiga, yang paling panjang, mengenai bagaimana kutukan tersebut tergenapi, Abimelekh dan penduduk kota Sikhem saling menghancurkan. Itulah kisahnya. Begitu gelap dan negatif, tidak ada positifnya sama sekali. Secara tema pun seperti ada kejanggalan kalau dibandingkan seluruh kitab Hakim-hakim, karena kitab Hakim-hakim sepertinya punya tujuan untuk menyatakan perlu seorang raja di Israel, tidak bisa terus dengan model ‘hakim’ karena pasti lama-lama akan hancur, perlu pemimpin yang kuat, perlu seorang raja –itu sebabnya di bagian akhir kitab Hakim-hakim ini kalimatnya mengatakan, “Pada waktu itu tidak ada raja di tengah-tengah orang Israel” –tetapi dalam kisah Abimelekh malah sering kali terkesan anti monarki, karena ceritanya Abimelekh menaikkan dirinya sebagai raja, dan itu malah bikin hancur. Aneh ya, benar-benar lain. Ada banyak kejanggalan dalam kisah ini, sampai-sampai tidak sedikit para pakar Alkitab yang merasa jangan-jangan kisah ini dimasukkan belakangan oleh seorang editor yang kurang ahli, yang kurang mengerti sambungan dengan kisah-kisah sebelumnya. Ini kesimpulan yang kita sulit terima, tapi ada poinnya. Itu sebabnya awalnya saya juga pusing kisah ini harus dibaca seperti apa, lalu turning point-nya baru muncul ketika saya menemukan sumber dari seorang penafsir Yahudi yang memberikan satu kunci untuk bisa mengerti kisah Abimelekh, yaitu dengan membaca kisah Abimelekh sebagai kelanjutan kisah Gideon. Dengan memakai lensa ‘kisah Gideon’ untuk membaca kisah Abimelekh, barulah ada sesuatu yang seperti unlock dan jadi lebih jelas –dan saya rasa hari ini kita akan berakhir dengan suatu kekaguman akan bagaimana penulis Alkitab merangkai kisah-kisahnya, yang seperti ‘gak nyambung tapi ternyata begitu nyambung. Kita akan melihat bahwa yang Abimelekh lalukan itu baru masuk akal maknanya/signifikansinya, ketika kita membandingkan dengan yang terjadi dalam kisah Gideon. Itulah yang akan kita lakukan hari ini.
Hari ini kita akan membahas bagian pertama dari kisah Abimelekh, tentang bagaimana Abimelekh naik menjadi raja, ayat 1-2 dari pasal 9. Kalau kita membandingkan dengan pakai lensa kisah Gideon, kisah Abimelekh ini dimulai dengan Abimelekh yang mendekati warga Sikhem untuk dijadikan raja, sementara dalam kisah Gideon justru orang Israel yang mendekati Gideon dengan proposal tersebut. Dari dua cara ini, Saudara bisa lihat bahwa sejak awal penceritaannya, penulis ingin memperlihatkan bagaimana Abimelekh menjadi raja, yaitu dia bukan dengan diminta, juga bukan ditanya seperti Gideon, tapi dia bertindak untuk mengambil kekuasaan bagi dirinya sendiri –dan segala sesuatu yang terjadi berikutnya jadi masuk akal kalau kita melihat dengan kacamata seperti ini. Inilah sebabnya Abimelekh tidak datang kepada kaum keluarga Gideon, yang adalah keluarga ayahnya di Ofra; dia pergi ke keluarga ibunya, yang adalah gundik Gideon, di Sikehm. Seperti kita ketahui, Gideon punya 70 anak laki-laki, maka tentunya Abimelekh sebagai anak seorang gundik tidak mungkin bisa bersaing dengan 70 anak Gideon itu. Inilah sebabnya dia bukan pergi kepada kaum keluarga bapaknya tapi kaum keluarga ibunya, karena di situlah lebih ada kemungkinan mendapat dukungan. Jadi, satu-satunya dasar yang jadi alasan Abimelekh membuat relasi dengan penduduk kota Sikhem hanyalah untukmelayani kepentingan pribadinya; dan satu-satunya alasan/kualifikasi Abimelekh menjadi raja hanyalah hubungan nepotisme. Ini seperti dalam job interview, kita tahu diri kita qualified tapi ditolak, lalu ada orang lain yang tidak qualified tapi diterima karena dia kenal somebody di dalam; maka banyak orang mengatakan, “Begitulah job interview, yang matters bukanlah ‘what you know’ tapi ‘who you know’ dan ‘who knows you’” –inilah yang terjadi dalam kisah Abimelekh.
Abimelekh minta kaum keluarga ibunya di Sikhem membawa permintaannya tersebut kepada tua-tua di Sikhem, yaitu untuk menjadikan dia raja. Argumentasinya cerdik —bordering on licik– yaitu dengan memberikan 2 opsi kepada tua-tua kota Sikhem. Di satu sisi cerdik, karena terkesan menaikkan tua-tua Sikhem ke posisi terhormat, ‘kalian yang pegang keputusan, saya ‘gak maksa, silakan tentukan sendiri mana yang lebih baik bagimu’. Namun dari dua opsinya itu jelas yang satu sama sekali bukan opsi, karena di situ Abimelekh bertanya, ‘kamu mau dikuasai oleh 70 anak Gideon atau kamu mau diperintah oleh 1 orang anak Gideon yang adalah darah dagingmu sendiri’. Ini licik, karena sebenarnya ada opsi ketiga yang dia tidak katakan, yang kita tahu ketika membandingkan kisah Abimelekh dengan kisah Gideon. Apakah opsi ketiganya? Tentu saja ‘tidak usah diperintah anak Gideon sama sekali’; opsi ini juga ada, bukan? Bahkan ini adalah opsi yang Gideon pilih dalam kisahnya; ‘aku dan anak-anakku tidak akan memerintah kamu, Tuhanlah yang akan memerintah atas kalian’, itulah opsi yang dipilih Gideon. Tapi Abimelekh dengan sangat pintar melewatkan opsi ini, hanya mengatakan 2 opsi tadi.
Strategi Abimelekh mendapatkan respons positif, penduduk kota Sikhem langsung setuju. Mengapa mereka setuju? Sama juga seperti Abimelekh, mereka setuju atas dasar kepentingan pribadi; dikatakan: “… maka condonglah hati orang-orang itu untuk mengikuti Abimelekh, sebab kata mereka: “Memang ia saudara kita.” Kota Sikhem, meski merupakan kota Kanaan, lokasinya dikelilingi daerah suku Manasye, sukunya Gideon. Itu sebabnya mungkin bagi orang-orang kota Sikhem relasi dengan Israel penting bagi masa depan mereka. Mungkin inilah sebabnya mereka setuju mengangkat Abimelekh jadi raja atas mereka, karena Abimelekh adalah anak Gideon, anak orang Israel, dan juga Abimelekh masih saudara dengan mereka. Ini menguntungkan, punya pemimpin yang bisa relasi ke luar tapi juga ada hubungan dengan mereka. Jadi di satu sisi mereka memang ada hubungan darah, tapi di sisi lain mereka juga setali tiga uang, baik Abimelekh maupun penduduk kota Sikhem sama-sama bertindak memutuskan hal-hal berdasarkan kepentingan pribadi masing-masing.
Kita melanjutkan dengan pasal 9:4-6. Setelah penduduk Sikhem setuju menobatkan Abimelekh jadi raja, sepertinya mereka tidak langsung melakukannya; yang mereka lakukan adalah mendukung dia secara keuangan, dengan uang dari kuil Baal. Abimelekh menggunakan uang tersebut untuk membangun tentara bayaran yang isinya bandit-bandit, kemudian memakainya untuk merebut kekuasaan secara paksa. Dicatat di sini, dana untuk Abimelekh itu diambil dari kuil Baal-Berit, salah satu kuil Baal di Kanaan. Di sini kita melihat satu kontras lagi antara Abimelekh dengan Gideoan. Gideon memulai kariernya dengan merobohkan mezbah Baal –meskipun dia melakukannya malam-malam karena takut– sedangkan Abimelekh memulai kariernya justru dengan dana dari kuil Baal. Yang menarik lagi, Abimelekh sepanjang cerita ini bukan cuma tidak mengikut Yahweh seperti ayahnya, tapi dia bahkan tidak pernah dicatat menyembah Baal, atau menyembah Yahweh, atau menyembah dewa apapun yang lain. Ini suatu penggambaran tentang Abimelekh, bahwa dia tidak masalah ambil uang dari kuil Baal sepertinya bukan karena dia penyembah Baal, tapi karena ini sejalan dengan kepentingan pribadinya. Inilah orang yang benar-benar oportunistis. Bukan cuma kisah Gideon menjadi terang untuk melihat kisah Abimelekh, tapi lewat kisah Abimelekh kita juga bisa kembali ke Gideon dan menyadari bahwa jauh lebih baik jadi orang yang imannya peragu dan penakut seperti Gideon, dibandingkan jadi orang seperti Abimelekh yang tidak ada iman sama sekali, yang satu-satunya tujuan hidupnya hanya untuk melayani kepentingan pribadi.
Abimelekh kemudian dengan biadab membantai saudara-saudaranya sendiri, 70 anak Gideon, dan detail yang dicatat membuat kita bergidik karena dia membunuh mereka bukan dengan bom yang sekali jadi mati semua, melainkan dengan bergiliran satu anak demi satu anak di atas satu batu yang sama. Saudara bisa bayangkan itu batu kayak apa. Ini dilakukan dengan dukungan preman-preman sewaan melalu melalui dana kuil Baal kota Sikhem, yang berarti penduduk kota Sikhem pun ada darah di tangan mereka. Saudara lihat penggambaran karakter Abimelekh ini; tadi kita katakan bahwa relasi Abimelekh dengan keluarga kaum ibunya cuma didasarkan kepentingan pribadi, dan sekarang pun sama, kekejamannya terhadap kaum keluarga ayahnya juga keluar dari hasrat pribadinya untuk jadi raja. Itu saja. Tidak lebih daripada itu.
Setelah itu, barulah penduduk kota Sikhem dan Bet-Milo (daerah sekitar Sikhem) berkumpul, menjadikan Abimelekh raja. Catatan ini menarik, karena ini berarti batasan kerajaan Abimelekh tidak lebih besar dari area Sikhem dan sekitarnya. Bet-Milo hanyalah daerah sekitar kota Sikhem, yang bisa dibilang masih daerah kekuasaan Sikhem. Saudara perhatikan, Abimelekh tidak mengambil daerah kekuasaan dari seluruh teritori Manasye –yang mungkin hari itu dikuasai anak-anak Gideon–Abimelekh hanya jadi raja bagi kota Sikhem dan sekitarnya. Lalu kenapa dia harus membunuh 70 saudara-saudaranya itu? Diperlihatkan di sini, bahwa itu hanya untuk menjaga supaya tidak ada yang bisa menyaingi klaim Abimelekh sebagai raja. Kita pernah melihat juga di bagian lain, misalnya dalam kitab Raja-raja, Yehu juga pernah membantai 70 anak Ahab (angka 70 ini tidak harus kita mengerti secara hurufiah, angka ini hanya berarti keseluruhan dari keluarga besar orang penting tersebut). Dalam hal ini, tindakan tersebut adalah tindakan untuk menghabisi secara tuntas sebuah dinasti; dan tidak ada alasan selain supaya posisinya kokoh karena tidak ada orang lain yang mengaku sebagai anak Gideon. Abimelekh tidak mengambil kota Ofra, Abimelekh tidak mengambil daerah Manasye sebagai daerah kekuasaannya. Penduduk kota Sikhem pun sama, harusnya mereka bisa menobatkan dia jadi raja tanpa menumpahkan darah anak-anak Gideon.
Satu catatan yang lebih ironis lagi yaitu mengenai tempat Abimelekh dinobatkan jadi raja. Di mana? Di dekat pohon tarbantin. Ini catatan yang menarik karena Saudara bisa ingat di mana Malaikat Tuhan menemui Gideon untuk menobatkan dia jadi hakim atas Israel; Hakim-hakim 6:11, ‘Kemudian datanglah Malaikat TUHAN dan duduk di bawah pohon tarbantin di Ofra, kepunyaan Yoas, orang Abiezer itu, sedang Gideon, anaknya, mengirik gandum …’. Pohon tarbantin identik dengan penyembahan berhala; ini salah satu pohon yang dianggap sebagai sacred tree pada zaman itu. Kita tahu, ayah Gideon memang punya sebuah mezbah Baal; tapi ketika Gideon dipanggil di tempat pohon berhala, kisahnya menunjukkan Gideon berangsur mendekat kepada Allah Yahweh, dan pada akhirnya Gideon mendirikan mezbah bagi Yahweh di tempat pohoin tarbantin tersebut. Pohon yang tadinya identik dengan penyembahan berhala, kini dipakain untuk difungsikan ulang, untuk menyembah Allah Yahweh. Sedangkan Abimelekh dinobatkan menjadi raja di pohon tarbantin juga, tapi dengan darah anak-anak Gideon, dan dengan dana kuil Baal di kantongnya.
Perhatikan juga, Gideon dipanggil karena situasi genting, ada kebutuhan yang mendesak, umat Allah tertindas; tetapi kisah Abimelekh tidak ada sedikit pun urusannya dengan hal-hal ini. Tidak pernah dibilang ada sesuatu yang dibutuhkan umat Isarel ataupun Sikhem, bahkan Allah sendiri pun seperti hilang dari peredaran dalam kisah ini. Tidak ada keperluan untuk Abimelekh jadi raja, tidak ada ancaman untuk dia jadi raja; dia hanya kepingin jadi raja. Bahkan baik Abimelekh maupun penduduk Sikhem dalam kisah ini tidak pernah dicatat menyembah Baal; memang mereka penyembah Baal –ada kuilnya di sana– tapi tindakan mereka menyembah Baal tidak perrnah dicatat ataupun dikutip sebagai alasan mereka melakukan ini dan itu. Ini seperti sengaja, untuk menyatakan bahwa satu-satunya hal yang dari semula menggerakkan semua kejadian tragis ini hanyalah urusan kepentingan pribadi, baik itu Abimelekh maupun sekutu-sekutunya di kota Sikhem.
Paling ironis dari kisah ini ketika kita membandingkan dengan kisah Gideon adalah mengenai kenapa Abimelekh bisa kepingin jadi raja. Abimelekh sepertinya melihat dirinya sebagai penerus dari langkah ayahnya –kita tahu Gideon, ayahnya itu, hidup bak raja; Gideon memang menamakan anaknya ini ‘bapakmu raja’– namun demikian, dalam mencapai agenda ini Abimelekh tidak bisa lebih jauh lagi kontrrasnya daripada Gideon, padahal Gideon sendiri tidak perfect-perfect amat. Gideon yang membuat kita kaget karena ternyata ada sisi gelap dalam kisah-kisahnya, kalau sekarang dibandingkan dengan Abimelekh maka kita merasa sehancur-hancurnya Gideon masih lebih oke dibandingkan Abimelekh. Abimelekh memakai intrik, siasat, kekerasan keji, untuk mengambil kekuasaan sebagai raja; sedangkan Gideon, ketika dipanggil Malaikat Tuhan menjadi hakim, dia minder maka dia ragu dan takut –di sini minder-ragu-takut jadi sesuatu yang positif. Ketika umat Israel belakangan mendekati Gideon untuk menjadikan dia raja, Gideon menolak, sedangkan Abimelekh begitu bernafsu jadi raja. Ini adalah penggambaran yang memperlihatkan betapa Abimelekh tidak pantas sama sekali jadi raja. Sikap Gideon terhadap Allah Yahweh tidaklah sempurna dan bukan tanpa kekurangan; Gideon pada awalnya meragukan Tuhan. Sebagaimana yang sudah kita lihat, karakter Gideon bukan karakter satu dimensi, dia ada maju mundur, ragu, takut, percaya, ragu, takut, percaya, dst., tapi dia berangsur-angsur menyatakan imannya. Dan, meskipun kemenangannya atas Midian tidak sedikit faktor strategi manusia-nya, Gideon pada akhirnya mendeklarasikan kepada umat Israel bahwa kemenangan ini adalah hasil dari tangan Tuhan. Abimelekh di sisi lain, sama sekali tidak ada relasi kepada Tuhan, baik cinta ataupun benci, baik percaya ataupun ragu. Dia menerima dana dari kuil Baal, namun itu bukan karena dia percaya Baal lebih berkuasa, melainkan semata-mata karena dia oportunistis, mengejar hasrat hatinya untuk jadi raja. Tentara Gideon datang berespons terhadap panggilan Gideon, sedangkan tentara Abimelekh harus dia bayar untuk jadi serdadu perangnya. Tentara Gideon disaring oleh Tuhan, sedangkan tentara Abimelekh isinya preman-preman, bandit-bandit, orang-orang nekad. Namun sekali lagi, kenapa Abimelekh ingin jadi raja, yaitu karena dia melihat dirinya adalah penerus Gideon, dia mengasumsikan anak Gideon harus memerintah –sebagaimana dua opsi yang dia tawarkan kepada penduduk Sikhem, dan tidak ada opsi ketiga.
Abimelekh melihat dirinya sebagai penerus Gideon –atau paling tidak digambarkan seperti itu–bahkan Abimelekh meneladani taktik perang Gideon. Di dalam Hakim-hakim 7, Gideon berperang terhadap Midian dengan cara membagi tentaranya jadi 3 pasukan untuk mengepung perkemahan Midian; belakangan ketika Abimelekh berperang, dia membagi tentaranya jadi 4 barisan (pasal 9:34), lalu membagi jadi 3 barisan lagi (pasal 9:43). Gideon sebelum berperang mengatakan kepada tentaranya: “Perhatikanlah aku dan lakukanlah seperti yang kulakukan. Maka apabila aku sampai ke ujung perkemahan itu, haruslah kamu lakukan seperti yang kulakukan” –Gideon menempatkan dirri sebagai role model– dan belakangan ketika Abimelekh berperang, dia mengatakan kepada tentaranya hal yang mirip: “Turutilah dengan segera perbuatanku yang kamu lihat ini.” Mirip. Namun dalam kemiripan ini ada satu perbedaan/kontras yang begitu jelas; Gideon memakai taktik untuk menghancurkan musuhnya, orang Midian, sedangkan Abimelekh memakai taktik yang sama untuk malah menghancurkan rakyatnya sendiri –yang akan kita lihat belakangan nanti.
Sekali lagi, Gideon bukan tokoh yang perfect, bukan tokoh yang ideal. Gideon sempat juga bertindak kejam terhadap penduduk kota Pnuel dan Sukot karena menolak mendukung dia. Dalam hal ini, ada yang mengusulkan bahwa inilah sebabnya dalam kitab Hakim-hakim Gideon punya dua nama; bukan cuma ada dua bagian dalam kisah hidupnya, tapi juga ada dua nama, Gideon dan Yerubaal. Nama ‘Gideon’ sering kali dipakai untuk tindakan-tindakan positif, nama ‘Yerubaal’ dipakai untuk kasus-kasus negatif. Tapi yang menarik, Abimelekh dalam seluruh kisahnya hanya pernah disebut sebagai anak Yerubaal; inilah jalan yang Abimelekh tempuh, dia mengikuti secara penuh langkah ayahnya dalam hal-hal yang negatif tanpa ada sedikit pun yang positif, dia mengambil jalan Yerubaal dan bukan jalan Gideon.
Kisah Abimelekh masih panjang, kita baru membahas bagian pertamanya, yaitu naiknya Abimelekh menjadi raja atas penduduk kota Sikhem. Kisah berikutnya adalah kutukan Yotam atas Abimelekh dan penduduk Sikhem, lalu penggenapan dari kutukan tersebut. Tapi saya ingin pause ceritanya sampai di sini dulu, dan kita akan coba merenungkan apa maknanya bagi kita hari ini. Ada beberapa yang simpel, misalnya ini bagian yang bisa Saudara pikirkan, yang berbicara mengenai pengaruh orangtua terhadap anak; atau mungkin berbicara mengenai memilih pemimpin, bahwa ternyata yang sering kali menyebabkan pemerintahan kacau, pemerintahan yang berdasarkan kepentingan pribadi, bukan cuma karena pemimpinnya sendiri yang egois tapi juga rakyatnya yang memilih semata-mata berdasarkan kepentingan pribadi –dan kita musti berhati-hati agar dalam gereja/sinode tidak terjadi seperti ini. Tapi aplikasi lain yang lebih penting, bahwa melalui kisah ini kita menyadari, Alkitab bukanlah buku yang bisa Saudara baca dengan paradigma ‘kamus/textbook teologi’. Keunikan Alkitab bukan cuma bahwa satu bagian dapat digali begitu dalam; lewat contoh hari ini saya rasa salah satu aplikasinya Saudara bisa melihat keunikan Alkitab ada pada inter-koneksi kisah-kisahnya satu dengan yang lain. Saudara lihat hal itu jelas pada hari ini; bayangkan kalau Saudara membaca dan membahas kisah Abimelekh sendirian tanpa pernah membahas kisah Gideon, apa akan bisa mengerti?? Bahkan Saudara yang hanya dengar khotbah hari ini dan tidak pernah mengikuti khotbah tentang Gideon yang kita bahas sebelumnya, pasti akan bingung dan ‘gak mudeng. Inilah Alkitab; Alkitab baru mengeluarkan cita rasanya yang kaya ketika Saudara membacanya dan merenungkannya berkali-kali. Ketika Saudara membaca suatu kisah dengan lensa kisah-kisah yang sebelumnya dan sesudahnya, Saudara bisa mendapati, ‘O, kalau lihat dari sini ternyata maksudnya begini, lalu dari sini bisa balik lagi ternyata maksudnya kayak begitu’, dsb. Saudara tidak bakal mendapat apa-apa, atau Saudara hanya dapat sedikit sekali, atau Saudara bahkan bisa salah mengerti, kalau Saudara memperlakukan Alkitab seperti semacam energy bar rohani. Kalau misalnya orang gowes dan sudah capai setengah mati, maka tinggal glek energy bar langsung bisa gowes lagi 50 km –dan kita seringkali memperlakukan Alkitab seperti itu.
Kalau begitu, jadinya Alkitab seperti apa? Banyak orang pakai analogi ‘Alkitab itu seperti lukisan’, yang dipandangi sekian lama baru keluar detailnya, baru makin banyak keluar segala kekayaan maknanya; perlu waktu untuk membaca Alkitab, itu salah satu aplikasi yang kita perlu tarik. Tapi contoh lain yang lebih kontemporer adalah dengan kita menyadari Alkitab itu seperti Marvel cinematic universe, seperti Star Wars cinematic universe, seperti cinematic-cinematic universe lainnya yang Saudara lihat, yang bikin begitu banyak youtuber merenungkan film-film Marvel siang malam lalu mereka kupas hasil perenungannya; dan yang mereka kupas adalah inter-koneksi antara kisah-kisahnya, tentang bagaimana adegan di film A bisa membuat kita mengerti adegan di film B, dsb. Lucu ya, ini barang pop culture, namun dalam barang pop culture seperti ini pun Saudara masih menemukan hal tersebut. Kalau Saudara nonton video-video semacam itu, terlihat betapa semakin sesuatu hidden, semakin seru mencarinya, dan ketika Sadara menemukannya, kepuasannya tidak terbandingkan, ‘O, ternyata kayak gitu, ya; hebat banget, gila banget, dia bisa menyembunyikan seperti itu’. Saya suka analogi ini sebagai analogi bagi Alkitab, karena analogi ini menyadarkan kita bahwa problem kita dengan Alkitab yang kita rasa ‘gak mudeng itu bukan pada Alkitabnya, itu bukan soal Alkitab ketinggalan zaman sementara kita terlalu modern –bukan itu– karena ternyata dalam pop culture modern pun inter-koneksi seperti ini masih dicari orang koq, orang masih peka akan hal tersebut sama seperti zaman dulu. Sekali lagi, problem kita dengan Alkitab adalah: kita selalu mau gampang; kita seperti Abimelekh, menggunakan Alkitab sering kali demi kepentingan pribadi kita. ‘Kalau ada perlunya, saya baru datang kepada Alkitab; kalau saya lihat relevansinya, baru saya mau dengar’ –itu gaya baca Abimelekh.
Saudara, saya rasa pengejaran rhema waktu baca Alkitab atau dengar khotbah –‘rhema’ dalam pengertian populer sebagaimana yang dimengerti banyak orang meskipun istilah tersebut salah digunakannya –tidak salah lho. Terus terang saya juga ketagihan dengan Alkitab karena Alkitab senantiasa memberikan momen-momen rhema kayak begitu. Tapi yang perlu kita sadari, sering kali momen-momen tersebut hadir dengan begitu kuat bukan ketika Saudara ambil pop corn dan nonton Alkitab seperti Saudara nonton film lewat begitu saja, melainkan justru ketika Saudara mendalami Alkitab dengan pakai waktu yang lama, dengan berulang kali, dengan mode meditatif seperti nerd-nerd di YouTube tadi. Barulah di situ rhema-rhema tersebut keluar; dan pengejaran itu tidak salah menurut saya. Pertanyaannya, sadarkah Saudara Alkitab itu seperti apa? Ini satu aplikasi lagi yang kita bisa renungkan hari ini dari beberapa aplikasi yang Saudara bisa renungkan. Sekali lagi, tugas merenungkan aplikasi bukanlah cuma di mimbar tapi juga di bawah mimbar; Saudara bisa memikirkannya dalam momen-momen pribadi atau pun mendiskusikan dalam KTB Saudara.
Yang terakhir, yang saya ingin fokuskan pada hari ini, satu aplikasi yang dari gambaran kita lihat di bagian ini adalah untuk kita menyadari, bahwa hidup yang beriman ternyata bukanlah hidup perdebatan antara iman ideal yang sempurna yang tanpa keraguan versus iman yang ragu-ragu dan penakut yang dianggap iman jelek karena yang namanya iman itu musti yakin, dsb. –tapi ini bukan gambaran Alkitab ternyata. Saudara lihat, gambaran yang muncul ketika kita membandingkan kisah Gideon dan Abimelekh, bahwa ternyata bagi Alkitab sepertinya lebih baik punya iman yang tidak sempurna seperti Gideon, dibandingkan tidak punya iman sama sekali seperti Abimelekh. Bahkan selangkah lebih jauh, mungkin poinnya adalah kita perlu menerima bahwa yang namanya beriman dan keraguan dan ketakutan dan pergumulan, itu tidak terpisahkan. Mungkin itulah poinnya; bahwa yang namanya ketakutan, keraguan, pergumulan, itu kadang kala —atau bahkan sering kali— memang bagian dari iman yang sejati, sedangkan iman yang tidak bergumul mungkin bukan iman. Bukankah Alkitab penuh dengan contoh-contoh iman yang kayak begini??
Tadi kita sudah bicara mengenai inter-koneksi, maka mari kita baca kisah Gideon-Abimelekh dengan mengambil satu lensa yang lain lagi. Salah satu contoh yang Saudara sudah sering dengar mengenai iman yang bergumul adalah kisah Ayub, tapi kali ini kita bisa cari contoh yang lain, misalnya kisah Habakuk. Habakuk ini nabi yang aneh. Pada umumnya fungsi normal seorang nabi adalah jadi pengantara antara Allah dengan umat-Nya, dan arahnya dari Allah ke umat (kalau arahnya dari umat ke Allah, namanya imam), dan seringkali nabi berfungsi seperti seorang pengacara/lawyer, seorang yang mengatakan, “Ini lho, kontrak/kovenan hukum-hukum Tuhan, yang kamu sekalian, umat Tuhan, sudah langgar; dan, saya harus menyuruh kamu untuk berrtobat! Kalau tidak, nanti ada hukumannya”. Nabi adalah seperti lawyer-nya Tuhan; tapi kalau Saudara baca kitab Habakuk, Saudara menemukan arah yang lain. Habakuk ini nabi yang kerjanya ke arah yang sebaliknya, dia berrtindak seperti lawyer terhadap Tuhan, lawyer yang coba menuntut pertanggungjawaban Tuhan atas tindakan-tindakan Tuhan yang sepertinya tidak sesuai dengan kovenan yang Tuhan berikan. Lucu banget. Dalam hal Ayub, dia sudah jadi bulan-bulanan menghadapi Allah seperti ini, dan Ayub dijawab Tuhan bukan dengan jawaban melainkan dengan pertanyaan; sedangkan Habakuk mendapatkan jawaban, tapi jawabannya tidak sesuai dengan keinginan dia.
Habakuk 1:1-3, ‘Ucapan ilahi dalam penglihatan nabi Habakuk. Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar …’. Lho, bagaimana sih?? Dikatakan di sini ‘ucapan Ilahi dalam penglihatan nabi Habakuk’, biasanya lanjutannya, “Allah berfirman begini, begini, begini …”, tapi di sini lanjutannya adalah, ‘Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: ”Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi’. Itulah yang Habakuk katakan waktu dia bernubuat sejak dari ayat pertama. Selanjutnya Allah berespons terhadap Habakuk, tapi jawabannya sangat mengagetkan Habakuk. Habakuk mengatakan, “Ini ya, Tuhan, negara Israel begitu hancur, begitu penuh dengan kelaliman; Kamu di mana??”, lalu Allah menjawab di ayat 11 yang pada dasarnya mengatakan, “Oke, Aku menjawab; Aku akan melakukan sesuatu …”. Tuhan akan melakukan sesuatu, baik, tapi kapan? Jangan melakukannya 200 tahun dari sekarang! “Tidak, Aku akan melakukannya di dalam hari-harimu”. Mantap! Apa yang akan Kau lakukan, Tuhan, di dalam hari-hariku yang aku bisa lihat sendiri? “Aku akan membangkitkan orang Babel, kaum yang paling haus darah di atas bumi ini, dan Aku akan memakai mereka untuk menghancurkan negerimu.” Itulah jawabannya. Itu sebabnya kadang-kadang lebih baik dijawab dengan pertanyaan seperti Ayub dibandingkan diberi jawaban sepeti ini.
Lalu Habakuk berespons (di ayat 12 dst.), satu respons yang sangat menarik, hanya saja dalam tejemahan LAI tidak terlalu muncul; dalam terjemahan LAI dia bertanya seperti ini: “Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus?”, tapi kalau dalam bahasa Inggrisnya seperti ini: “Lord, are You not from everlasting?”, kata yang dipakai dalam bahasa Ibrani yaitu qedem, artinya kekal, everlasting, infinite. Dalam literatur Ibrani, pertanyaan retoris seperti ini bentuknya nantangin; ini bukan suatu permintaan informasi. Waktu Ayub bertanya kepada Tuhan lalu Tuhan menanyai Ayub, itu satu pertanyaan retoris yang sedang nantangin, ‘Emang lu siapa Ayub? O, lu yang ciptakan guntur dan halilintar, ya??” Di ayat 12 ini Habakuk sekarang menggunakan pola yang sama, tapi terhadap Tuhan: “Tuhan, bukannya Kamu dari dulu kekal, harusnya begitu ‘kan, ya?” –ini nantangin. Kalau Saudara belum yakin, ada satu commentary dari Francis Andersen, dia melihat bahwa 96 kali pertanyaan retoris muncul di Alkitab, itu selalu digunakan antara manusia yang sedang bertengkar. Misalnya di kitab Bilangan ketika Miryam dan Harun bertengkar dengan Musa; dikatakan: ‘Miryam serta Harun mengatai Musa berkenaan dengan perempuan Kush yang diambilnya, sebab memang ia telah mengambil seorang perempuan Kush. Kata mereka, ”Sungguhkah TUHAN berfirman dengan perantaraan Musa saja? Bukankah dengan perantaraan kita juga Ia berfirman?” Ini pertanyaan retoris, ini nantangin. Jadi Saudara bisa mengerti kira-kira bobot nuansa seperti apa yang Habakuk sedang katakan kepada Tuhan; “Bukankah Engkau Tuhan dari dulu adalah kekal adanya?? Koq, kayak begini sih! Aku ngomong, ada begitu banyak kerusakan di dalam negeri, dan Kamu diam-diam saja, Kamu tidak bertindak, Kamu membiarkan ketidakadilan dan kelaliman bertakhta!” Lalu Allah jawab, “O, ya, Aku akan kirim lebih banyak lagi ketidakadilan, lebih banyak lagi kejahatan, penindasan, kekerasan. Aku akan menghancurkan negeri itu dengan tangan orang Babel” –dan cara menghancurkannya sudah pasti tidak dengan baik-baik. Itu sebabnya Saudara bisa mengerti kenapa Habakuk lalu berespons seperti itu, ‘Lu gila, Tuhan??’
Saudara, mengapa ini relevan dengan pembicaraan kita mengenai Gideon dan Abimelekh? Karena Saudara lihat dalam Alkitab penuh gambaran seperti ini, orang-orang yang beriman kepada Tuhan, yang justru malah begitu ragu, bergumul dengan Tuhan, sampai level seperti tadi. Gideon masih ragu dan takut, Habakuk sampai nantangin Tuhan, menuntut jawaban, penuh keraguan. Namun demikian, inilah gambaran iman yang sejati dalam Alkitab, karena Saudara lihat Habakuk, seperti Ayub, seperti Gideon, seperti orang-orang yang lain, tidak pernah sepertinya terbersit di kepala mereka opsi untuk meninggalkan Allah yang tidak masuk akal ini, tidak ada sepertinya di mata mereka opsi untuk berhenti berdoa kepada Allah. Bagaimana kita tahu hal ini? Sekali lagi, karena Habakuk mengatakan, “Tuhan, kayaknya Lu ngaco, deh”, dia meresponi Tuhan dengan juju brutal. Andersen mengatakan, di zaman Perjanjian Lama tidak ada orang berani bicara seperti Habakuk yang sampai mempertanyakan kekekalan Tuhan, yang artinya mempertanyakan keilahian Tuhan. Namun di saat yang sama kita melihat Habakuk, seperti Ayub, seperti Gideon, seperti orang-orang yang lain, juga terus berdoa kepada Tuhan yang demikian. Bukan nge-block, bukan curhat kepada orang lain; dia ngamuk, tapi ngamuk-nya kepada Tuhan.
Kita seringkali menganggap orang yang punya doktrin, dia orang yang tenang, dia tahu segala sesuatu, bahkan kaku, konservatif. Tapi kalau Saudara baca di bagian ini, Habakuk juga tahu segala doktrin yang beres; Habakuk berbicara mengenai kekekalan Tuhan, mengenai kekudusan Tuhan, mengenai kesetiaan Tuhan, mengenai kedaulatan Tuhan, mengenai keadilan Tuhan –berkali-kali dia bicara mengenai semua itu– tapi Saudara lihat, pengetahuan akan doktrin-doktrin seperti ini tidak menjadikan problem Habakuk itu hilang. Bukan maksudnya doktrin jadi tidak ada gunanya dan dibuang saja; maksudnya adalah ternyata gunanya doktrin bukan itu. Ketika Habakuk punya doktrin yang begitu jelas dan begitu penuh, yang begitu akurat mewakili natur dari Allahnya, ini tidak membuat problem, keraguan, sikap mempertanyakan, dan kebingungan dalam hidupnya jadi hilang. Dalam arti tertentu ada satu tafsiran yang kita bisa ambil, yaitu justru dengan mengetahui Allah yang seperti ini, itu membuat kita makin bergumul, karena sering kali yang kita lihat dalam dunia ini tidak masuk akal dengan gambaran Allah yang demikian. Saudara ingat waktu kita bahas kitab Yunus, kenapa Yunus marah kepada Tuhan? Yunus mengatakan, “Tuhan, makanya aku tidak mau pergi ke Niniwe, yaitu karena aku tahu Engkau Allah yang kejam!”, begitukah? Tidak; yang dia katakan, “Aku tidak mau pergi ke Niniwe karena aku tahu Engkau adalah Allah yang pengasih dan penyayang, Engkau adalah Allah yang melupakan dosa-dosa orang, Engkau adalah Allah yang mundur dari malapetaka yang Engkau janjikan; aku tahu, Engkau Allah yang seperti ini.” Orang pada hari ini sering kali pikir kalau kita ambil allah yang pokoknya mencintai semua orang, itu akan jadi beres, makanya jangan pakai allah-allah yang menghakimi, yang penuh dengan justice, penuh dengan standar; yang itu tinggalkan saja, pokoknya allah yang loving yang kita mau’; tapi Saudara, Yunus percaya Allah yang begitu loving, dan itu sebabnya jadi problem buat hidupnya, karena kasih Allah ini menyentuh bahkan sampai kepada musuh-musuhnya –itu yang Yunus tidak sangka.
Waktu kita makin bertumbuh dalam iman, bertumbuh dalam pengetahuan, bertumbuh dalam Tuhan, ternyata gambaran yang Alkitab berikan bukanlah gambaran orang yang tidak bergumul yang makin hari pergumulannya makin sedikit. Justru sering kali pengetahuan yang lebih banyak itu membuat kita makin bergumul di hadapan Tuhan, membuat kita makin mempertanyakan Tuhan, makin membuat kita mengonfrontasi Tuhan. Dan, inilah Kekristenan. Kekristenan adalah orang-orang yang tahu mengenai Tuhan, mengonfrontasi Tuhan mengenainya, tapi tetap bertahan mengonfrontasi Tuhan dalam kesetiaan. Tidak ada orang yang memperlakukan Tuhan seperti ini selain orang-orang di Alkitab.
Di satu sisi Saudara melihat orang-orang kaum beragama –agama apapun– yang berlatar belakang religius, konservatif, tradisional; dan ujungnya, semakin mereka saleh, semakin mereka percaya, semakin mereka beriman, maka mereka akan mengatakan, “Kita tidak boleh mempertanyakan Tuhan, tidak boleh keluar kata-kata seperti itu, tabu, dsb.” Ini orang-orang beragama; semakin tinggi dalam agamanya maka semakin seperti itu, semakin melihat Allah sebagai figur yang harus dibaik-baikin, bahaya kalau dibikin marah nanti banyak hal jelek terjadi dalam hidupnya, dsb. Di sisi lain, ada orang-orang yang berlatar belakang modern, progresif, yang ateis, yang lebih ada confidence dalam hal rasio –dan mereka lebih terbuka untuk mempertanyakan banyak hal; “Kalau Tuhan sungguh mahabaik, mahakuasa, kenapa begini, begini, begini? ‘Gak bisa jawab ‘kan?? Ya, sudah, saya tinggalin tuhan kayak begini, ‘gak perlu ilah yang seperti ini dalam hidup saya!” –dan pergi. Habakuk bukan dua-duanya. Gideon bukan dua-duanya. Ayub bukan dua-duanya. Di satu sisi kita lihat ada keterbukaan, kejujuran, brutal, tidak ada tutup-tutup muka pakai saputangan; tidak merasa di hadapan Allah harus jaga sikap seperti itu, tidak ada keinginan untuk mengorbankan logika dan integritas intelektual demi kesopanan dan tata krama. Apalagi Habakuk, dia sangat lugas dan gamblang nantang, bahkan border line menghujat, namun juga di sisi lain ketika dia menemukan Allahnya tidak masuk akal seperti itu, tidak kepikir sama sekali untuk dia meninggalkan Tuhannya, dia tetap memanggil Tuhan dengan bahasa kepemilikan, “Allah-ku yang mahakudus”. Dalam Gideon, Saudara juga melihat hal yang sama.
Inilah sesungguhnya logika kedua belas murid ketika Tuhan menghadapi 5000 orang yang telah diberi makan, lalu Tuhan mengatakan ‘engkau harus makan daging-Ku dan meminum darah-Ku juga’, lalu semua buyar dan sisa 12 murid, lalu Tuhan Yesus mengatakan kepada mereka, “Kamu ‘gak mau pergi juga?”, dan kemudian Simon Petrus kemudian menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?” Mereka bukannya tidak bergumul dengan perkataan Tuhan Yesus ini; kita tahu belakangan Petrus adalah orang yang sangat menjaga hukum dan tata krrama orang Yahudi, tidak minum darah, tidak makan makanan haram, dsb., maka dia pasti juga bergumul dengan perkataan Tuhan Yesus itu. Tapi dia tahu, ‘ke mana kami mau pergi?? Engkau ‘gak masuk akal, tapi kami setia terrhadap Engkau’. Jadi, di satu sisi Saudara tidak melihat sikap yang seperti mau baik-baikin Allah, yang tidak jujur, legalistis, moralistis; namun di sisi lain Saudara juga tidak menemukan penolakan terhadap Allah ketika Dia tidak masuk akal. Inilah relasi covenantal, inilah relasi yang unconditional. Ini baru relasi. Oleh sebab itu Saudara harus tahu satu hal: relasi yang unconditional antara Allah dan umat-Nya, relasi yang covenantal antara Allah dan umat-Nya, itu tidak tanpa cekcok dan gesekan. Saudara lihat itu dengan jelas.
Saudara, itu sebabnya saya rasa inilah poin yang paling penting yang kita bisa tarik dari bagian ini. Waktu Saudara lihat ini, ujungnya bukanlah melihat keunikan Habakuk, atau Gideon, atau Ayub, di antara orang-orang beragama serta orang-orang ateis di dunia ini; Saudara bukan cuma menemukan keunikan mereka, tapi Saudara menemukan keunikan Allahmu, Allah mereka, di tengah-tengah para dewa-dewi yang lain. Apa keunikan Allah kita? Bahwa dalam Alkitab ada rekaman iman-iman seperti ini, ada dicatat iman-iman seperti ini. Ada rekaman doa-doa orang seperti Habakuk, seperti Heman yang mengatakan, “Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku, supaya aku bersuka cita sebelum aku pergi dan tidak ada lagi.” Saudara, kenapa Tuhan mencatat doa-doa seperti ini yang border line menghujat? Inilah keunikan Allah kita. Derek Kidner mengatakan, inilah keunikan Allah Alkitab: Allah kita bukanlah allah moralistik yang maunya cuma dibaik-baikin doang, Allah kita bukanlah allah para orang beragama di dunia, dan Allah kita juga bukanlah allah gaya orang modern yang meninggalkan manusia ketika manusia ‘gak level dengan Dia.
Kehadiran dari iman seperti ini di Alkitab, adalah bukti bahwa Allah kita adalah Allah yang tahu bagaimana manusia itu bicara ketika manusia bingung, ketika manusia stres, ketika manusia frustrasi. Kehadiran dari iman-iman seperti ini, doa-doa seperti ini, tokoh-tokoh seperti ini, adalah bukti bahwa Allah kita bukan bertahan dengan kita karena kita ini jemaat yang selalu pengendalian dirinya pol, atau karena kita selalu bersikap sempurna, atau karena kita selalu berlaku tepat. Allah bertahan dengan Gideon karena anugerah, Allah bertahan dengan Ayub karena anugerah, Allah bertahan dengan Habakuk karena anugerah, karena relasi yang dipertahankan bukan oleh hasil karya kita, tapi relasi yang unconditional, relasi yang covenantal. Dengan demikian, dalam arti tertentu alasannya Habakuk dan umat-umat Tuhan dalam Alkitab berani mempertanyakan Allah, adalah karena mereka mengerti relasi mereka itu ada atas dasar anugerah ini. Justu itulah yang menyebabkan mereka berani mempertanyakan Allah. Anugerah, itu membuat orang bergumul dalam kesetiaan, justru karena mereka tahu keselamatan mereka bukanlah atas dasar sikap mereka atau performa mereka.
Di sisi lain, mengalami anugerah seperti ini juga membuat kita yakin, bahwa tidak ada kehidupan di luar Allah yang seperti ini, karena siapa yang seperti Dia, kepada siapa kita mau pergi?? Tidak ada Allah yang seperti ini. Tidak ada Allah yang di satu sisi tidak moralistis, tapi di sisi lain juga tidak meninggalkan kita ketika kita ‘gak level; Allah yang bertahan dengan kita meskipun kita seperti Gideon, meskipun kita ragu, meskipun kita takut, meskipun kita senantiasa diberi tanda demi tanda demi tanda dan kita tidak bergerak-gerak –karena Dia bertahan dengan kita atas dasar anugerah. Siapa yang seperti Dia?? Justru karena kita tahu kita aman di tangan Tuhan, maka ada keberanian untuk bergesekan. Pacaran yang ‘gak berani berantem –berani berantem, bukan banyak berantem– itu akan cepat putus; kalau dalam sebuah hubungan Saudara tidak berani berantem, itu biasanya karena relasi Saudara didasarkan atas insecurity, Saudara takut diputusin, ‘kalau ‘gak sama dia, nanti aku sama siapa??’ Inilah relasi Abimelekh-Sikhem, yang masing-masing berelasi hanya demi kepentingan pribadi. Apalagi kita tahu Abimelekh itu anak gundik, dia tidak dapat warisan, dia tidak dalam level yang sama dengan 70 anak Gideon yang lain; inilah manusia yang kita sudah lihat –dan akan terus melihat– sebagai manusia yang segala sesuatu dalam hidupnya harus diambil dengan tangannya sendiri baru dia dapat, insecure, ‘kalau gua ‘gak berusaha, ‘gak bisa nih’. Dia akan terrus berusaha mengambil sebanyak-banyaknya apa yang bisa dia dapatkan; dan orang kayak begini akan saling menghancurkan.
Waktu kita kembali ke kisah Gideon dan Abimelekh semakin jelas sekarang bahwa Gideon adalah orang yang peragu, takut; namun juga sekarang Saudara bisa lihat sisi sebaliknya, kenapa dia bisa berani meragukan Tuhan, yaitu justru karena dia berdiri di atas dasar yang kokoh, anugerah Tuhan kepada dia. Di sisi lain, Abimelekh seperti tidak ada keraguan, seperti begitu pe-de, seperti begitu confident, ‘tidak perlu Tuhan, tidak perlu iman, aku jadi raja; pilih aku!’, namun di balik itu semua yang mendasari tindakannya adalah keraguan, insecurity, sehingga dia mengejar habis-habisan takhta, karena mungkin tanpa itu dia merasa dirinya tidak ada arti sama sekali, ‘Gua ini anak gundik, siapa gua?? Gua harus cari status, baru gua secure’. Abimelekh seperti confident, tapi di balik itu kekosongan, kehampaan. Gideon seperti peragu, seperti penakut, tapi di balik itu iman atas dasar anugerah. Apa yang Abimelekh butuhkan? Jawabannya klise, tapi benar:Abimelekh perlu tahu bahwa Jesus loves him, for the Bible tells him so –dan bukan for you are able, for you are kingly, for you are ini itu, dsb.
For the Bible tells me so, Jesus loves me, itu yang perlu kita tahu. Maka pertanyaannya adalah: apakah Saudara dan saya sungguh mengenal kasih Kristus bagi kita? Dan berikutnya: karena mengenal kasih Tuhan bagi kita, mengetahui bahwa dasar kita berpijak kepada Tuhan itu hanya karena anugerah, itu tidak akan menghilangkan segala keraguan dan ketakutan; itu justru malah tandanya Saudara punya iman yang sejati. Saudara bisa ragu, bisa takut, bisa frustrasi dengan Allah yang seperti ini, tapi ‘kepada Siapa lagi saya mau pergi?’
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading