Kita melanjutkan eskposisi kitab Hakim-hakim; hari ini membahas kisah Gideon bagian yang ke-3, dan mungkin terakhir.
Dalam khotbah Gideon yang ke-2, kita melihat ada tema ‘jumlah’; ada musuh yang terlalu banyak, yang dipakai Tuhan untuk menghukum Israel yang sudah terlalu banyak menginjak-injak karunia Tuhan yang terlalu banyak. Kemudian ketika Tuhan membangkitkan penyelamat, Dia hanya memakai satu orang, dari suku yang terkecil, dari keluarga yang terkecil dalam suku tersebut. Ketika Gideon membawa tentaranya, Tuhan mengatakan jumlahnya terlalu banyak, Tuhan habis-habisan mengurangi jumlah tersebut sampai jadi suatu jumlah yang sama sekali tidak realistis, 300 orang tok untuk melawan musuh yang terlalu banyak, yang tidak terhitung itu. Tuhan melakukan ini, poinnya adalah sebagaimana Tuhan katakan di pasal 7, supaya Israel tidak bisa memegahkan diri dalam kemenangannya dan mengatakan kemenangan itu hasil tangan mereka.
Selain itu, poin yang kita juga lihat ketika Tuhan mau membuat jelas siapa yang berjasa, caranya ternyata bukan dengan menghilangkan porsi manusia sama sekali. Caranya bukan dengan Tuhan beraksi sendiri tanpa panggil Gideon; Dia tetap panggil Gideon. Caranya bukan dengan Tuhan tidak pakai tentara sama sekali; memang benar Dia tidak mau pakai 30.000 tentara, tapi Dia tetap pakai 300 tentara. Dalam hal ini, kita mengambil konklusi, bahwa sepertinya bagi Allah Alkitab, cara paling jelas untuk kita melihat Tuhan bekerja di atas dunia ini, bukanlah ketika manusia tidak bekerja, bukanlah ketika manusia tidak berkuasa lalu Allah malah jadi berkuasa, dsb. ‘O, ini pasti pekerjaan Tuhan, karena ini bukan tangan manusia, saya ‘gak apa-apain lalu nyala sendiri, lho, jadi itu tangan Tuhan’ –kita seringkali berpikir dalam mode seperti ini. Yang kita lihat dalam bagian ini, ketika kuasa Tuhan dinyatakan, seringkali itu menggunakan manusia; dan tetap jelas ini kuasa Tuhan meskipun melalui tangan manusia, karena power Tuhan melalui manusia itu berbeda dari power-nya manusia tanpa Tuhan. Kuasa (power) Tuhan yang datang lewat manusia, datangnya bukan dari kekuatan, melainkan dari kelemahan. Power yang datangnya bukan dari tank dan meriam, melainkan datang dari atas kayu salib. Power yang datang bukan untuk mengambil nyawa, melainkan power untuk menyerahkan nyawa. Itulah yang kita lihat dalam bagian yang kedua. Gideon justru menang ketika dia menyerahkan dirinya ke dalam skema power seperti ini, power yang datang dari suku yang kecil, dari keluarga yang kecil dalam suku itu, dari orang yang mengirik gandum di tempat pemerasan anggur. Inilah kuasa dari Allah Alkitab yang jelas sekali dinyatakan, meskipun melalui manusia. Ini bukan ekstrim ‘either-or’, bukan ‘Allah berkuasa, maka manusia tidak’, bukan juga ‘inilah kuasa manusia maka Allah tidak berkuasa’; cara Allah menunjukkan kuasa-Nya, di sini jelas itu kuasa Tuhan –meskipun menggunakan manusia– karena ini kuasa yang datang melalui kelemahan.
Hari ini kita akan melanjutkan dan menyelesaikan kisah Gideon. Mungkin banyak di antara Saudara yang tidak menyangka kisah Gideon masih ada lanjutannya, karena di bagian sebelumnya Gideon sudah menang perang, jadi harusnya sudah selesai dong. Memang pola cerita hakim-hakim sebelumnya membuat kita mengira ceritanya berakhir di pasal 7 setelah Gideon menang perang. Dalam kisah hakim Otniel, Ehud, Debora, setelah Allah menyelamatkan umat-Nya dari musuh, maka sisa kisahnya ditutup dengan kalimat standar itu, yang mengatakan berapa tahun kedamaian yang Israel nikmati di bawah hakim tersebut. Itulah pola yang kita sudah terbiasa. Tapi inilah menariknya membaca siklus kisah hakim-hakim, bahwa polanya sudah jelas, setiap kisah hakim mengulang pola yang sama terus-menerus, adalah justru supaya apa yang beda, apa yang baru, jadi nampak jelas. Kalau Saudara membandingkan dua hal yang mirip, Saudara bukan cuma sadar apa yang mirip, tapi juga jadi sadar apa yang beda. Inilah pola dasar kisah hakim-hakim, karena memang tujuannya memperlihatkan bagaimana setiap kali siklus berulang, Israel bukan cuma kembali ke dosa awal yang sebelumnya, tapi makin lama makin parah —downward spiral.
Dalam pembahasan pasal 8 ini, kita akan melihat dua hal yang baru yang muncul dalam siklus kali ini, yaitu bahwa umat Israel ternyata memulai penyelewengan mereka lebih awal dari biasanya; biasanya setelah hakimnya mangkat maka mereka menyeleweng, kali ini umat Tuhan sudah merosot bahkan sementara hakimnya masih hidup. Bersamaan dengan itu, bukan cuma umat merosot selagi hakimnya masih hidup, tapi si hakim itu sendiri juga mulai ada kemerosotan. Dua hal inilah yang jadi fokus pembahasan kita dari Hakim-hakim pasal 8, kemerosotan umat dan kemerosotan hakimnya; lalu terakhirnya kita coba tarik kesimpulan dan pelajaran yang bisa kita bahas. Pasal 8 ini cukup panjang, maka kita akan bagi jadi 3 bagian supaya bisa lebih fokus.
Bagian pertama, ayat 1-10.
Kembali kita menemui Gideon setelah orang-orang Midian sudah terpukul kalah dan melarikan diri. Di akhir pasal 7, Gideon mengirim berita kepada suku Efraim untuk menolong dia menghadang orang-orang Midian yang melarikan diri setelah Gideon berhasil memukul kalah mereka; dan suku Efraim kemudian maju untuk melakukan hal ini. Tapi di pasal 8 kita melihat ternyata mereka tidak sepenuhnya senang pada Gideon, mereka menyesali dia dengan sangat, mereka protes, “Kenapa kamu baru panggil kami setelah sudah menang? Harusnya dari awal dong, kamu panggil kami”. Saudara, kenapa suku Efraim sakit hati ketika mereka dilibatkannya belakangan, hanya disuruh menghadang tentara yang kabur, dan bukan dipanggil sejak awal? Kemungkinan, karena mereka tidak sudi hanya jadi ‘pasukan sapu bersih’, mereka inginnya jadi tentara lini depan, tentara yang decisive, orang-orang yang jadi faktor penentu. Jika benar itu alasannya, maka kita bisa menimbang dari sikap mereka setelah Gideon menang ini, yang kalau kita proyeksikan ke belakang sepertinya tidak mungkin orang-orang ini meskipun diundang sejak awal, akan mau mengikut Gideon. Hal ini musti kita mengerti dari sejarahnya.
Suku Efraim adalah salah satu suku terbesar Israel,sementara Gideon berasal dari suku Manasye; dan ini ada sejarahnya. Tidak semua dari 12 suku Israel adalah anak-anak Yakub secara langsung. Pada mulanya 12 suku ini termasuk suku Lewi, tapi karena suku Lewi dikhususkan bagi pekerjaan Bait Allah, maka mereka tidak mendapatkan warisan tanah, sehingga sisa 11 suku; lalu supaya angkanya genap jadi 12 suku lagi, keturunan Yusuf dibelah dua menurut nama anak-anak Yusuf, Efraim dan Manasye. Sejarahnya tidak berhenti di situ; waktu Yusuf membawa dua anaknya ini ke ranjang kematian Yakub untuk mendapatkan berkat dari Yakub, Yakub memberkati mereka dengan menyilangkan tangan. Manasye, yang lebih tua, dapat tangan kiri; Efraim yang lebih muda, dapat tangan kanan, tangan yang lebih utama, berkat yang lebih utama. Yusuf kemudian berusaha memperbaiki, tapi Yakub menolak, dia mengatakan, “Aku tahu apa yang aku lakukan.” Ketika Israel sudah mendapatkan tanah Kanaan, terbukti Efraim menjadi salah satu suku yang terbesar, sementara Manasye suku yang kecil. Jadi Saudara lihat, ada sejarahnya; suku Efraim adalah suku ‘adik’ yang sekarang sudah di atas, sudah kaya raya, sudah mendapatkan jumlah yang banyak, sementara Manasye adalah suku ‘kakak’ yang sekarang malah dipecundangi. Saudara bayangkan, dalam situasi seperti ini, kalau si kakak sejak awal minta pertolongan pada si adik, apakah si adik akan memberikan sikap hormat?? Sori aja, ya, sekarang keadaan sudah berbalik; sekarang kami yang jadi di atas… .
Hal ini lebih jelas lagi ketika kita melihat respons Gideon terhadap mereka. Di awal, respons Gideon bernuansa diplomatis dan penuh hormat terhadap Efraim. Di ayat 2 dia mengatakan, “Ya, suku kalian ‘kan lebih besar; saya rasa, ‘gak pantaslah nyuruh-nyuruh dari awal dan belum ada apa-apa”. Di ayat 3 Gideon juga menambahkan, “Tidak usah marah begitu, lihatlah, kalian memang maju belakangan tapi petikan susulan kalian lebih berhasil daripada kami, kalian datang belakangan tapi kalian berhasil menangkap 2 jendral Midian, Oreb dan Zeeb, sedangkan kami bahkan belum dapat siapa-siapa.” Jadi di sini Gideon seakan mengatakan, ‘kamu tetap dapat kemuliaan, koq, kamu sudah dapat 2 jendral sedangkan aku, satu pun belum’. Lalu dikatakan, mendengar ini, amarah suku Efraim reda; dan jadinya kita semakin jelas apa yang mendasari kemarahan mereka. Lebih daripada itu, adegan ini membuktikan apa yang jadi concern Tuhan di pasal 7, dari awal Allah sudah memprediksi dengan tepat, bahwa Israel tidak boleh diberi kemenangan begitu saja, karena Israel cenderung ingin bermegah dalam kemenangan. Ini terbukti benar dalam reaksi suku Efraim tadi, mereka maunya jadi pemeran utama, mereka tidak sudi jadi aktor pendukung, harga diri mereka terlalu besar untuk itu. Dari respons Efraim ini, Saudara lihat, umat Tuhan ini baru saja menang, tapi sudah ada bau busuk muncul.
Sampai di sini kita jadi ingin memuji Gideon akan sikap rendah hatinya, akan diplomasinya, tetapi adegan berikutnya membongkar bahwa Gideon pun ada bau busuknya, bahwa responsnya terhadap suku Efraim bukan didasarkan kerendahan hati. Kita tahu dari mana? Dari adegan berikutnya. Di ayat 4, Gideon melanjutkan pengejaran terhadap raja-raja Midian, Zebah dan Salmuna, lalu 300 pasukannya ini mulai capek. Gideon ketemu penduduk kota Sukot dan minta supaya mereka memberi makan 300 tentaranya. Respons kota Sukot mirip seperti Efraim, tidak ada rasa terima kasih sama sekali. Mereka tidak berterima kasih kepada Gideon, sebaliknya mereka mengatakan, “Kamu mengejar raja-raja Midian, memangnya sudah berhasil? Mereka sudah di tanganmu? Belum ‘kan?? Kalau belum, ya, jangan minta bantuan dulu, tunggu sampai ada hasilnya dulu, baru aku beri roti, ‘gak bisa sekarang.” Di ayat 9, Gideon juga minta bantuan ke kota yang lain, Pnuel, dan mendapatkan repons yang sama. Lucu ya, umat Tuhan berespons seperti ini; suku Efraim marah terhadap Gideon karena merasa Gideon terlalu lambat memanggil mereka, sebaliknya kota Sukot dan Pnuel merasa Gideon terlalu cepat memanggil mereka. Sebenarnya ini ada logikanya, karena sisa pasukan yang bersama dengan raja-raja Midian itu masih kira-kira 15.000 orang, sementara Gideon mengejar hanya dengan 300 orang. Dalam hal ini, kalau Saudara jadi penduduk kota Sukot dan Pnuel, bagi mata manusia, itu jumlah yang terlalu sedikit untuk mengejar musuh yang masih terlalu banyak, sehingga tidak heran mereka ragu, ‘apa benar kamu bisa melakukan ini sampai selesai?? karena kalau kamu tidak berhasil mengejar raja-raja itu dan memusnahkan mereka, maka mereka akan mengumpulkan kekuatan dan menyerang balik, dan itu berarti setiap kota yang pernah membantumu, Gideon, pasti akan dibumihanguskan; jadi kita ‘gak mau ambil resiko; kamu pergi dulu, kalau kamu udah bawa kepala mereka, baru kami akan berikan roti, tapi tidak sebelum itu’. Jadi penolakan itu memang ada logikanya. Selanjutnya kita melihat bahwa respons Gideon terhadap Sukot dan Pnuel itu sangat berbeda dengan responsnya terhadap suku Efraim. Kepada kota Sukot, Gideon mengatakan, “Nanti kalau gua sudah sukses, gua akan balik, dan badan lu bakal gua garuk pakai semak duri!”; kepada kota Pnuel, dia mengatakan, “Menaramu akan kurobohkan!”
Saudara, catatan ini membuat kita sadar, pertama-tama bahwa umat Isarel yang ngawur bukan cuma suku Efraim, tapi juga suku-suku yang lain. Kedua, catatan ini juga membuat kita sadar mengenai Gideon, bahwa respons diplomatis Gideon kepada suku Efraim sebelumnya sepertinya bukan didasari sikap rendah hati. Gideon bukan tidak mau marah terhadap suku Efraim, tapi Gideon memang tidak mampu untuk marah. Gideon bukan tidak ingin gebuk orang Efraim, tapi Gideon semata-mata tidak bisa gebuk suku Efraim; suku Efraim terlalu besar, maka terhadap suku yang besar kayak begitu, Gideon pakai diplomasi. Tapi terhadap kota-kota yang kecil seperti Sukot dan Pnuel, Gideon langsung terbongkar apa yang ada dalam hatinya, yaitu ancaman, kekerasan. Di sini kita melihat bahwa poinnya Tuhan memberi kemenangan melalui tentara yang terlalu sedikit, adalah supaya semua orang bisa melihat ini dari Tuhan, dan bukan karena Gideon; namun, bukan cuma umat Israel yang gagal melihat hal ini, Gideon pun gagal –atau lebih tepatnya, Gideon cepat sekali lupa akan pelajaran ini. Kemarahan Gideon terhadap orang Sukot dan Pnuel, menunjukkan dia merasa berhak mendapat kehormatan atas pencapaian tersebut, yang seharusnya adalah milik Tuhan.
Saudara perhatikan, ketika Sukot dan Pnuel gagal untuk percaya bahwa Gideon bisa menyelesaikan pertempuran ini, Gideon tidak mengatakan kepada mereka seperti ini: “Oke, Sukot dan Pnuel, saya bisa mengerti kalian; kalau orang Efraim itu sih memang brengsek, mereka cari kemuliaan doang, tapi terhadap mereka, saya diplomatis, jadi terhadap kalian masa tidak? Jadi begini saja, saya bisa mengerti kenapa kalian ragu, 300 orang lawan 15.000 tentara –meskipun sudah dipangkas dari 120.000, tapi 15.000 tetap terlalu banyak– namun inilah cara Tuhan bekerja, inilah cara yang Tuhan pilih untuk memberikan kemenangan, Dia ingin kemenangan itu lahir lewat anugerah, bukan lewat kekuatan duniawi. Jadi benar, kamu tidak usah percaya kepadaku, aku memang tidak bisa dipercaya, aku ‘gak ada apa-apanya; percayalah kepada Tuhan yang bekerja di balik aku ini. Itu yang aku minta” –Gideon tidak mengatakan ini. Yang Gideon katakan, pada dasarnya adalah: “Lu berani-beraninya meragukan gua?? Lihat nanti kalau gua sudah sukses, gua bakal balik dan beri lu pelajaran, biar lu tahu rasa! Biar lu ngerti, untuk beri gua hormat yang memang seharusnya adalah milikku!” Saudara lihat, Gideon sendiri pun lupa akan pelajaran yang Tuhan berikan.
Bagian kedua, ayat 11-21
Ceritanya berlanjut. Gideon berhasil mengejar tentara musuh dan kembali menang. Di ayat 11, kita melihat masih menggunakan pola yang sama; kenapa dengan 300 orang itu bisa menang, adalah karena tentara musuh menyangka diri mereka aman. Ini masih pola yang sama, strength through weakness. Gideon berhasil menawan raja-raja Midian, Zebah dan Salmuna, dan dia tidak ingkar janji, dia kembali ke Sukot. Dia menangkap seorang penduduk Sukot –yang pada dasarnya rakyatnya sendiri, orang Israel– untuk mendapatkan nama para tetua mereka. Gideon lalu kembali ke sana, mengungkit celaan mereka, lalu menghajar mereka sesuai janjinya. Di Pnuel juga sama, bahkan mungkin lebih parah, dia merobohkan menara di sana sampai membunuh orang-orang di kota tersebut.
Pada bagian berikutnya, ada satu detail yang ditambahkan dalam narasi ini, yang membuat gambaran diri Gideon makin jelas, akan alasannya dia begitu ngotot mengejar raja-raja Midian. Di sini ada informasi baru, bahwa raja-raja Midian ini pernah membunuh saudara-saudaranya; kematian merekalah yang membuat Gideon begitu ngotot mengejar raja-raja itu. Pengejaran ini ternyata bukan termotivasi supaya Israel mendapatkan kemenangan yang utuh, supaya mereka aman dari serangan balik, tapi demi dendam pribadi, demi kehormatan keluarga Gideon, sampai membuat dia mengatakan, “Seandainya kamu tidak bunuh saudara-saudaraku itu, aku mungkin membiarkan kamu hidup; tapi karena tidak demikian, sekarang aku biarkan kamu mati”. Ini sebabnya Gideon lalu menyuruh anak sulungnya, Yeter, membunuh raja-raja tersebut; tujuannya adalah humiliation, dua orang raja musuh mati di tangan seorang bocah. Tapi anak ini tidak sanggup –sepertinya karena memang masih sangat kecil– akhirnya Gideon membunuh raja-raja itu dengan tangannya sendiri. Adegan ini jadi semacam preview dari masa depan keluarga Gideon, mengenai apa yang akan terjadi dengan keturunannya, masa depannya suram –kita akan melihat hal ini lebih lanjut nanti di pasal 9.
Bagian terakhir, ayat 22-35
Saudara, ketika semua pertempuran sudah beres, kita mungkin berikutnya mengharapkan kalimat itu keluar, ‘tanah ini mendapatkan peristirahatan selama sekian tahun’, tapi ternyata kalimat itu belum muncul juga. Adegan berikutnya –yang juga hal baru– adalah: Israel meminta Gideon menjadi raja mereka.
Hal pertama yang menarik yaitu alasan mereka meminta Gideon jadi raja; mereka mengatakan, “Kamulah yang telah menyelamatkan kami, maka jadilah raja kami, memerintahlah atas kami”. Lewat kalimat ini, berarti IsraellupaSiapa yang sesungguhnya berjasa dalam kemenangan ini. Namun hal ini bukan sesuatu yang sama sekali tidak terduga, karena bahkan Gideon pun sudah lupa akan pelajaran ini selagi pertempuran masih belum kelar, mengenai Siapa sebenarnya yang menyelamatkan Israel.
Yang kedua, waktu mereka meminta Gideon menjadi raja, kalau Saudara perhatikan kalimat permintaannya, sebenarnya istilah ‘raja’ tidak pernah muncul. Lalu mengapa kita, dan begitu juga para komentator hampir semua setuju, bahwa ini permintaan untuk me-raja-kan Gideon? Yaitu karena dari gaya bahasanya jelas sekali bahwa yang diminta adalah suatu posisi ke-raja-an. Kalau kalimat ‘memerintahlah di atas kami’, itu tidak masalah karena para hakim sebelumnya juga memerintah, tetapi kalimat di belakang yang mengikutinya adalah: ‘engkau dan anak-anakmu dan cucumu’. Dari kalimat seperti ini, kita tahu bedanya dari memerintah model hakim; hakim-hakim tidak pakai model dinasti, hakim-hakim dibangkitkan sesuai kebutuhan Israel, bukan untuk menggantikan Tuhan tapi untuk memimpin bangsa Israel kepada Raja mereka yang sejati yaitu Yahweh. Kalau seorang hakim mati, tidak otomatis kuasanya turun kepada anak-anak mereka, harus tunggu Tuhan membangkitkan hakim berikutnya. Dengan demikian, waktu mereka mengatakan ‘memerintahlah di atas kami, engkau dan anak-anakmu, dan cucumu’, ini adalah bahasa ke-raja-an, dinasti; mereka sedang meminta raja. Kembali di sini Saudara melihat, hakimnya belum meninggal, umat Tuhan sudah menyeleweng.
Selanjutnya di bagian ini Gideon seperti menunjukkan masih adanya kepekaan. Dia tahu motivasi mereka adalah meminta dia jadi raja, mereka ingin diperintah manusia, bukan Tuhan. Di sini Saudara mungkin bingung, mereka ingin diperintah manusia dan bukan diperintah Tuhan?? Apa ada yang kayak begitu?? Memang diperintah Tuhan, orang bisa tidak suka, tapi kayaknya lebih mending diperintah Tuhan daripada diperintah manusialah, ya; bahaya banget diperintah sama manusia, mending diperintah Tuhan saja. Dalam hal ini Saudara musti melihat poinnya adalah begini: jika mereka punya raja, diperintah oleh manusia, maka mereka tidak perlu menunggu Tuhan membangkitkan hakim, karena yang namanya raja itu punya dinasti, siapa yang jadi raja berikutnya sudah jelas.
Saudara, kita yang di zaman modern suka bingung kenapa orang zaman dulu lebih suka sistem dinasti/monarki, yang sangat mudah di-abuse; kalau rajanya baik pun, tidak tentu anaknya juga jadi raja yang baik, lagipula seorang anak raja –yang sejak kecil hidupnya di istana– dia tidak mengerti kehidupan rakyat jelata, jadi mana bisa memimpin dengan baik?? Itu sebabnya kita merasa sistem monarki perlu dibuanglah. Belum lama ini Ratu Elizabeth II wafat, dan banyak sekali raja-raja negara Commonwealth yang langsung pakai kesempatan untuk kalau mungkin melepaskan diri, karena merasa sistem monarki sudah ketinggalan zaman, bahaya, tidak perlu, dsb. Kita senangnya demokrasi, kita yang pilih siapa raja kita. Tapi Saudara perhatikan, bahkan di zaman demokrasi pun tetap saja tidak sedikit yang menginginkan kembali ke zaman dinasti, ‘sekarang ada presiden yang baik, jadi berilah dia memerintah terus, karena kalau harus pilih lagi, tidak tentu dapat yang bagus kayak dia… ‘. Dalam hal ini Saudara jadi menyadari, benar juga, kalau mengenai kepastian siapa yang meneruskan, demokrasi tidak lebih menjamin dibandingkan model dinasti; setidaknya dalam model dinasti, anak raja itu dibesarkan oleh bapaknya yang kita sudah kenal orangnya kayak apa, sedangkan kalau demokrasi, setiap kali pilih baru, tidak ketahuan rekam jejaknya, dsb. Omong-omong, saya bukan sedang mau giring opini soal ‘masa jabatan ketiga’, tapi sedang memperlihatkan logikanya orang-orang yang memilih model dinasti, bahkan di atas demokrasi.
Sekarang bayangkan kalau Saudara ada di zaman hakim-hakim, Saudara harus memilih ‘dinasti’ dan ‘menunggu hakim yang dibangkitkan Tuhan’, Saudara pilih yang mana? Tentu Saudara pilih yang lebih pasti. Kalau ada raja, enak, tidak usah tunggu musti ditindas dulu, berseru dulu kepada Tuhan, dan tidak tahu Tuhan mendengar atau tidak, bisa jadi dimarahin dulu dengan Tuhan kirim nabi lalu baru dibangkitkan hakim, dst., ‘gak bisa deh kayak begini terus, sudah berkali-kali kejadian, dan besok bakal ada lagi orang-orang yang menindas kami; jadi kami perlu RAJA! Supaya jelas nanti kalau Gideon mati, langsung ada yang meneruskan, ‘gak usah tunggu-tunggu Tuhan lagi, jelas, pasti! Jadi Saudara lihat sekarang alasannya orang lebih suka diperintah manusia dibandingkan diperintah Tuhan; dan ini bukan cuma umat Israel, tapi Saudara dan saya pun seringkali seperti itu.
Di sini kita bisa tarik satu pelajaran, bahwa yang namanya menjadi orang Kristen dalam ke-raja-an Tuhan, menjadi orang Kristen yang punya Allah sebagai Raja-nya, itu tidak berarti segala sesuatu jadi pasti. Justru ketika Saudara punya Allah sebagai Rajamu, sering kali yang Saudara dapatkan adalah ketidakjelasan, ketidakpastian. Ketika Saudra mengejar ‘kepastian’, jangan-jangan Saudara bukan sedang dalam kerajaan Allah, Saudara sedang diperintah dalam kerajaan manusia. Menjadi orang Kristen dalam kerajaan Tuhan, Saudara jangan datang demi dapat kepastian yang lebih pasti. Iman Kristen, memang benar di satu sisi akan memberikan kepada Saudara pengetahuan, kejelasan, dalam banyak hal; tapi jangan lupa sisi sebaliknya, bahwa dalam iman Kristen juga ada ketidakpastian yang tidak kecil, dalam iman Kristen tetap ada ruang untuk misteri. Bagaimanapun juga, kalau Saudara bergantung pada Tuhan, itu akan lebih kabur dibandingkan Saudara bergantung pada manusia.
Saudara, kita mengerti sekarang kenapa orang Israel ingin diperintah oleh manusia, yaitu karena garis kepemimpinannya jelas, mereka tidak perlu menunggu Tuhan untuk keselamatan mereka, mereka tidak perlu menunggu Tuhan membangkitkan penyelamat. Hasrat mereka akan seorang raja di sini, adalah hasrat akan keselamatan atas dasar kekuatan diri sendiri, satu upaya untuk menghindari kebergantungan pada anugerah. Ironis sekali, dalam pasal yang Tuhan justru ingin mengajarkan kepada mereka akan anugerah, hasil akhirnya justru seperti ini.
Kembali ke ayat 23, ini adalah momen yang kita pikir dapat melihat Gideon secara positif karena dia menolak permintaan mereka itu. Dia mengatakan, “Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu tetapi TUHAN yang memerintah kamu.” Ini berarti Gideon peka dan tahu, waktu mereka minta raja, itu berarti mereka memang sedang mau melepaskan diri dari kebergantungan kepada Tuhan. Ironisnya, ini hanya bertahan di ayat 23. Tadinya kita mungkin pikir Gideon ini koq kasar banget, penuh kekerasan banget, tapi sekarang ada satu catatan kecil yang positif ini sebelum akhir ceritanya, sehingga kita bisa tenang sedikit. Namun ternyata tidak demikian, langsung di ayat berikutnya kita melihat Gideon melawan ucapannya sendiri, kontradiksi dengan yang tadi dia katakan. Gideon ini mengatakan begini, tapi kemudian melakukan begitu; dia mengatakan ‘Tuhan yang jadi raja, aku tidak’, tapi kemudian dia bertingkah laku seperti raja. Di ayat 24 dikatakan bahwa Gideon menyuruh mereka mengumpulkan harta bagi dia.
Kalau Saudara membaca ayat 24-27 dengan teliti, Saudara melihat bahwa kalimatnya, alurnya, istilah-istilahnya, sebenarnya sedang dipakai untuk menggemakan satu cerita lain. Ada gaung cerita lain apa yang muncul di sini? Cerita ketika orang Israel menyerahkan perhiasan mereka dengan sukarela, lalu perhiasan itu ditimbang berapa beratnya, lalu perhiasan itu dipakai membentuk suatu artefak religius yang kemudian disembah-sembah, dan pada akhirnya menjadi jerat bagi mereka; ini cerita apa? Saudara bisa membaca Keluaran 32:1-4, dan perhatikan kemiripannya. Bahkan sampai istilah ‘anting-anting emas’ itu, istilah yang juga persis sama di Keluaran 32, yang adalah cerita ‘anak lembu emas’! Pada zaman Musa, orang Israel dengan senang hati menyerahkan perhiasan mereka, lalu ditimbang berapa berat emasnya, dan dipakai untuk membentuk anak lembu emas yang kemudian mereka sembah. Demikian juga yang terjadi di sini, Gideon menyuruh mereka mengumpulkan hartanya, lalu dibuat menjadi efod, dan menempatkannya di kampung halamannya di Ofra. Efod adalah bagian dari baju imam besar yang biasa disimpan di kemah suci; kemah suci pada zaman itu berada bukan di Ofra tapi di kota Silo. Efod merupakan pelat depan dari baju imam besar yang mengandung urim dan tumim; urim dan tumim adalah alat yang dipakai untuk mencari kehendak Tuhan (semacam buang undi) pada zaman orang-orang belum dicurahkan Roh Kudus. Jadi, tujuan Gideon membuat efod versi KW ini dan menempatkannya di kampung halamannya, pada dasarnya berarti Gideon sedang mau membuat kota kediamannya itu, Ofra, menjadi tempat ibadah saingan dari rumah Tuhan di Silo.
Dalam kacamata orang pada waktu itu, ini bukan sebuah manuver religius saja, ini tidak kurang dari sebuah manuver politik, karena yang namanya bait Allah atau kemah suci atau temple pada zaman itu bukan sekedar tempat beribadah seperti zaman kita, melainkan place of power. Temple pada zaman tersebut adalah tempat kekuasaan, itu sebabnya para raja zaman kuno juga merangkap sebagai imam besar tertinggi dari agama bangsa tersebut, bahkan seringkali dianggap anak dewa bangsa tersebut. Kemah Suci, istilah lainnya adalah Kemah Pertemuan (the tent of meeting), kenapa? Karena di sini bukan cuma tempat beribadah, tapi tempat orang Israel bisa menemukan Tuhan. Jika mereka ada suatu perkara, mereka datang ke Rumah Tuhan ini. Inilah pusat dari kehidupan bangsa Israel, dari sinilah kekuasaan mengalir ke seluruh wilayah Israel. Itu sebabnya dengan membuat efod KW dan menaruh di kampung halamannya, berarti Gideon hendak menempatkan tempat dia tinggal sebagai tempat di mana Tuhan bisa ditemukan. Ini bukan manuver religius, ini tidak kurang dari suatu political gesture; Gideon sedang memanfaatkan Tuhan untuk melayani yang dia inginkan, mengokohkan posisinya. Ini bukan memberi diri untuk digunakan oleh Tuhan, ini adalah seperti yang hari ini kita katakan sebagai politikus yang menunggang agama. Itulah tindakan Gideon yang pertama yang kita lihat. Omong-omong, mengapa Daud kepingin membangun Bait Allah bagi Tuhan; kenapa Daud menyiapkan anaknya, Salomo, membangun Bait Allah? Karena memang pada zaman dulu tugas membangun temple adalah tugasnya raja. Yang Gideon lakukan di sini, memang tidak ada istilah ‘menjadi raja’, tapi lihat bagaimana action speaks louder than words.
Tidak berhenti di sini, hal kedua yang kita lihat di ayat 29-31, Gideon makin bertindak seperti layaknya raja-raja zaman itu. Dikatakan bahwa Gideon punya 70 anak laki-laki, melalui banyak istri, bahkan punya gundik. Ini jelas sekali penggambaran gaya hidup raja-raja zaman tersebut. Lebih celakanya lagi, dia menamai seorang anaknya dari gundik tersebut “Abimelekh”; abi artinya ayah, melekh artinya raja, abimelekh artinya ayahmu raja. Gideon menolak dijadikan raja secara dejure, tapi hidupnya secara defacto adalah hidup seorang raja. Kacau banget.
Terakhir, dalam kisah ini kita pada akhirnya membaca di ayat 28 kalimat yang ditunggu-tunggu itu, mengenai berapa lama tanah Israel mendapatkan damai semasa hidup Gideon, yaitu 40 tahun. Namun demikian, ketika Saudara membaca kata ‘damai’ di sini, ini kata ‘damai’ yang tidak sama dengan kata-kata ‘damai’ sebelumnya, karena damai yang sekarang sudah tercemar bahkan sejak sebelum hakimnya meninggal. Dalam siklus kali ini, ini kedamaian yang semu; maka kita tidak heran setelah Gideon mati, pola yang sama berlanjut kembali –orang Israel kembali serong, orang Israel kembali menyembah ilah-ilah lain, orang Israel kembali melupakan Tuhan mereka. Stres ya, Saudara, membaca kitab Hakim-hakim.
Apa yang bisa kita belajar dari narasi seperti ini? Saya rasa ada beberapa hal. Yang pertama, lewat narasi ini Saudara diingatkan akan bahaya dari kesuksesan. Di mana Saudara melihat Gideon paling bertumbuh? Di pasal 6 dan 7, ketika dia menyadari dirinya lemah, kecil tidak ada apa-apanya; ketika Tuhan memakai bukan kekuatannya tapi kelemahannya. Ini pertumbuhan yang luar biasa. Gideon di awal pasal 6 sudah berbeda dengan Gideon di akhir pasl 7. Kita melihat pertumbuhannya, dari seorang pengecut, seorang peragu, yang mengirik gandum di tempat pemerasan anggur, lalu di akhir pasal 7 menjadi seorang jendral yang strateginya luar biasa, memakai kelemahan untuk bisa menang. Namun demikian, poin dalam hidup Gideon ini, poin klimaks kesuksesan Gideon ini, adalah poin di mana pasal 8 yang menelusuri kebobrokan umat Israel itu dimulai. Menyedihkan sekali. Kita melihat bagaimana Gideon setelah sampai ke puncak, di pasal 8 waktu dia tidak mendapatkan apa yang dia anggap patut jadi miliknya, dia melakukan kekerasan. Gideon melupakan Tuhan yang ada di balik kesuksesannya –bahkan selagi masih perang. Di akhir cerita, dia bisa mengatakan tidak mau jadi raja, tapi toh hidup layaknya seorang raja. Dalam arti tertentu, kita bisa menyimpulkan satu hal, bahwa ternyata kesuksesan dalam hidup Gideon, kesuksesannya dalam pertempuran, ini malah menjadi satu hal yang ternyata paling berbahaya bagi Gideon.
Tentu saja, problemnya bukan pada berkat itu sendiri –berkatnya itu sendiri tidak pernah jadi problem– tapi hal ini mengingatkan kita satu pelajaran yang berharga, bahwa sebenarnya yang membawa bahaya rohani dalam hidup kita, itu tidak pernah cuma kegagalan, tapi juga keberhasilan. Sukses, bisa dengan mudah membuat kita melupakan kasih karunia Tuhan. Sukses, bisa dengan mudah membuat kemenangan yang adalah hasil pemberian Tuhan itu dipakai oleh hati manusia, diputar balik oleh hati manusia, menjadi konfirmasi bahwa kitalah yang telah berjasa menghasilkan berkat tersebut, dan dengan demikian kitalah yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan.
Kita pakai satu contoh; bayangkan seseorang yang begitu semangat bekerja karena dia ingin membuktikan dirinya lewat pekerjaan, karier, kesuksesan finansial. Kira-kira bagi orang seperti ini, apa hal yang paling celaka? Mungkin Saudara menjawab ‘kegagalan’; bahwa orang yang mempertaruhkan jati diri dalam kariernya lalu kariernya hancur berantakan, itu paling celaka, bisa bunuh diri. Dan memang benar, orang yang memberhalakan karier dan pencapaian, ketika hal ini hancur, benar-benar bisa bunuh diri. Kasusnya sudah banyak, kita sudah melihatnya berkali-kali. Tiap kali ada krisis moneter, tiap kali pasar saham crushed, ada saja orang-orang yang bunuh diri. Namun di sisi lain, dalam kegagalan ada juga kemungkinan untuk orang tersebut pada akhirnya menyadari bahwa dia telah menyembah di mezbah yang salah, bahwa status dan pencapaian dan uang tidak akan bisa membuat dirinya utuh. Hal itu muncul lewat apa, kalau bukan lewat kegagalan.
Setiap kali kebaktian duka, saya selalu coba mengingatkan kepada keluarga yang berduka, bahwa penderitaan dan tragedi, memang bisa menghancurkan seseorang, tapi juga bisa malah membangun seseorang –dan kita tidak jarang melihat hal ini. Kita melihat orang menjauh dari Tuhan karena penderitaan; dan di sisi lain tidak sedikit kesaksian tentang orang menemukan Tuhan lebih jelas di dalam dan melalui penderitaan. Contoh yang paling gampang, kalau Saudara mengingat kesaksian-kesaksian yang membangun hidupmu, itu kesaksian dari orang seperti apa? Apakah dari orang yang hidupnya tidak pernah susah? Tentu tidak. Kalau mau dibandingkan, hampir tidak ada kesaksian seperti itu yang membangun; kesaksian yang membangun boleh dibilang selalu kesaksian orang yang pernah mengalami kesusahan, dan dari situ dia malah menemukan sesuatu yang dia tidak pernah temukan di tempat lain.
Kembali ke contoh tadi, orang yang memberhalakan karier dan pencapaian, hal yang paling berbahaya bagi orang itu bukanlah kegagalan karier. Memang benar kegagalan karier bisa membunuhmu, tapi kegagalan karier juga bisa dipakai untuk membuatmu bangun dari mimpi, dari kebohongan, dari pemberhalaan yang kau lakukan; sedangkan kesuksesan tidak bisa memberikan itu. Kesuksesan hanya akan mengonfirmasi kebohongan tersebut. Kesuksesan hanya akan mengonfirmasi ‘saya bisa mengisi diriku sendiri’. Kesuksesan hanya akan membuat kita merasa ‘saya bisa mengendalikan hidupku’. Kesuksesan hanya akan membuat dirimu lebih jadi budak uang dibandingkan kegagalan. Orang yang demikian akan merasa bangga dan superior terhadap orang-orang lain. Orang yang demikian akan mengharapkan dapat penghormatan dan kemuliaan dari orang-orang lain.
Sampai di sini, mungkinSaudara mengatakan, “Betul , Pak, saya setuju; itu benar sekali, karena saya punya teman yang kayak begitu.” Tapi tidak, Saudara, jangan lihat orang lain; ini problemnya siapa? Ini problemnya Saudara dan saya. Alasan saya mengatakan ini, mengutip dari Pastor Tim Keller, yang punya pengalaman cukup lama sebagai seorang pastor; dia mengatakan: orang-orang yang sukses, salah satu tandanya adalah mereka jauh lebih mudah terkejut dan tidak sanggup menghadapi problem serta tragedi dalam hidup mereka. Menarik ya. Tim Keller mengatakan, dalam kehidupannya sebagai pastor kadang-kadang orang datang kepada dia, cerita, minta didoakan, dsb.; dan kadang-kadang orang itu mengatakan, “Life isn’t supposed to be this way”, ketika mereka menghadapi tragedi. Harusnya tidak kayak begini, kenapa kayak begini?? –ketika mereka menghadapi tragedi. Banyak orang mengatakan kalimat seperti itu kepada dia; dan setelah sekian lama, Tim Keller sadar bahwa orang-orang yang mengatakan kalimat ini adalah orang-orang dari level middle class ke atas, tidak pernah kalimat yang sama muncul dari orang-orang middle class ke bawah. Mengapa, Saudara? Karena orang-orang middle class ke bawah, tahu hidup itu susah. Orang-orang middle class ke bawah, tahu hidup itu banyak kesulitan. Orang-orang middle class ke bawah, expect hidup ini tidak akan berjalan lancar. Itu sebabnya ketika mereka mendapatkan berkat, mereka bersukacita; sedangkan orang-orang middle class ke atas ketika mereka tidak mendapatkan berkat, mereka komplain, dan ketika mereka menghadapi tragedi, mereka tidak sanggup. Saya mau tanya, Saudara dan saya yang mana? Kita harus mengaku, kita ini bukan gereja miskin; orang-orang yang datang ke gereja ini bukan orang miskin, meski bukan berarti tidak ada yang miskin, tapi memang sedikit. Kebanyakan dari kita adalah orang-orang yang komplain kalau hidup tidak berjalan sesuai keinginan kita. Jadi, siapa orang-orang yang sukses itu? Saudara dan saya.
Saudara, ketika Gideon di pasal 7 masih sadar akan keterbatasannya dan kelemahannya, ketika dia mengerti bahwa kemenangan itu hanya mungkin atas dasar anugerah, dia menyembah dan memuliakan Allah. Tapi itu adalah terakhir kalinya kita melihat dia memuliakan Allah; yang selanjutnya kita lihat, dia menyembah kesuksesan, dia mulai menikmati kesuksesan tersebut, dan dia akhirnya lupa Siapa yang telah memanggilnya, dia lupa Siapa yang telah memperlengkapinya, dia lupa Siapa yang berkali-kali meyakinkannya lewat berbagai tanda dengan begitu sabar. Dia lupa Siapa yang telah memenangkan pertempuran itu baginya. Pertanyaannya, kalau Gideoan saja seperti ini, apa Saudara pikir Saudara dan saya lebih baik?? Ada atau tidak, area dalam hidup Saudara yang Saudara merasa harusnya Saudara dapat lebih banyak pengakuan, dapat lebih banyak kehormatan? Tidak ada sama sekali?? Atau ada area-area dalam hidup kita yang kita merasa ‘koq begini sih, harusnya gua lebih dihormati ‘kan, mereka anggap gua siapa’, dsb.?
Saudara, itu sebabnya dalam masa-masa kita mengalami tragedi, mengalami kegagalan, kita perlu ingat, kita itu diselamatkan hanya oleh karena anugerah; tapi pelajaran dari bagian ini ternyata adalah bahwa Saudara lebih perlu mengingat anugerah di masa-masa ketika Saudara sukses. Mungkin itu sebabnya mengikut Tuhan, menjadi warga kerajaan Tuhan, bukanlah tipe kehidupan yang selalu pasti atau makin lama makin pasti. Mungkin itu sebabnya mengikut Tuhan, menjadi warga kerajaan Tuhan, menjadi satu kehidupan yang selalu ada ruang bagi misteri. Mungkin itu sebabnya ketika kita makin lama makin masuk ke dalam hidup iman dalam kerajaan Tuhan, iman kita itu ternyata bukan tidak ada keraguan, tapi justru iman yang salah satu bagiannya yang tidak pernah hilang adalah misteri. Ini karena memang itulah yang kita butuhkan.
Sekali lagi, iman kita memang makin lama makin kokoh –itu benar– tapi Saudara perlu tanya, kokohnya seperti apa? Kokoh seperti tank meriam, atau kokoh seperti dalam salib? Kuasa macam apa yang Saudara pikir di sini sebagai kuasa imanmu? Saudara melihat berkali-kali, bahwa kekokohan iman orang-orang dalam Alkitab bukanlah berarti kokoh karena memegang makin lama makin erat, tapi justru kokoh meskipun ketika tidak bisa pegang, meskipun makin lama makin blur, tapi entah bagaimana makin kokoh. Itulah kokoh yang sejati. Contoh sederhana: permainan “ci luk ba”. Kenapa seorang mama main “ci luk ba” dengan bayinya? Karena bagi seorang bayi yang baru lahir, waktu mama tutup muka, “ciluk… “, bayi pikir mamanya hilang, maka bayi menangis; lalu waktu mamanya “baa… ”, bayi senang. Waktu mamanya tutup muka lagi, bayi nangis lagi, dst. Ini sebenarnya apa? Ini cara mengajar kepada anak-anak bahwa ‘hanya karena kamu tidak melihat mamamu, tidak berarti dia tidak ada’. Saudara, bukankah perjalanan iman kita juga harusnya kayak begini? Atau Saudara merasa perjalanan iman itu berarti ‘makin lama wajah mama makin jelas, makin jelas, dan makin jelas, tidak pernah keluar dari pandangan saya, dan semakin saya bertumbuh dewasa semakin mama itu nempel sama saya’; apakah itu gambaran kedewasaan rohani kita? Atau, gambaran kedewasaan rohani kita adalah ‘meskipun saya sekarang sedang kuliah di luar negeri, dan tidak bertemu mama sudah 4 tahun, tapi saya tahu mama saya mengasihi saya, saya tahu dia selalu ada demi saya dan bagi saya’ ? Yang mana jadinya iman yang kokoh itu? Iman yang seperti ini bukan tidak ada misteri; ‘Saudara tidak tahu mama Saudara sedang ngapain sekarang, Saudara tidak melihat dia’, tapi inilah iman –iman yang kokoh. Di dalam Alkitab, iman yang kokoh adalah iman yang seperti ini, bukan iman yang selalu segala sesuatunya pasti maka baru kokoh. Iman yang kokoh dalam ketidakpastian, itulah iman yang kokoh yang sejati.
Saudara perhatikan dalam mazmur doa-doa Daud, dalam hidup Ayub, Habakuk, dan kawan-kawan yang lain, mereka begitu sering bertemu dengan ketidakpastian; tapi apa yang pasti dalam hidup mereka? Yang pasti dalam hidup mereka bukanlah soal keberadaan Allah yang selalu terasa hadir; yang selalu pasti dan konsisten dalam hidup mereka adalah bahwa dalam ketidakpastian pun mereka pasti membawa hal ini kepada Tuhan. Itu yang pasti. Dalam ketidakpastian pun mereka berdoa kepada Tuhan. Dalam momen mereka kecewa kepada Tuhan, mereka berteriak kepada Tuhan, dan bukan meninggalkan Tuhan. Itulah iman. Iman itu pasti, tapi kepastiannya bukan seperti yang engkau pikirkan, kekokohannya bukan seperti yang engkau pikirkan. Dan mungkin, salah satu sebabnya kita perlu lebih bersyukur akan ketidakpastian yang ada dalam hidup kita, adalah karena ini mungkin lebih berguna dibandingkan kepastian, dibandingkan kesuksesan. Mungkin itu sebabnya Tuhan tidak memberikan kepada kita segala sesuatu senantiasa jelas dan pasti.
Bagaimana kita melatih diri untuk senantiasa ingat akan hal ini? Dalam hal ini kita bisa melihat poin yang kedua, bahwa inilah sebabnya kita dipanggil untuk mendalami Alkitab dengan disiplin, dan bukan cuma sekadar tahu-tahu tok. Maksud saya dengan ‘disiplin’, adalah bahwa waktu Saudara belajar Alkitab, Saudara tidak main lompat dari satu tema ke tema yang lain sesuai keinginanmu, Saudara tidak lompat-lompat dan mempelajari barang-barang yang Saudara suka. Saudara tidak cuma lompat dan pilih-pilih bagian-bagian yang mudeng, yang gampang diingat, yang sesuai dengan keingintahuanmu, dst. Mempelajari Alkitab dengan disiplin adalah seperti kita lakukan ini, yaitu eksposisi, karena waktu kita eksposisi Alkitab seperti ini, Saudara jadi sadar ada bagian-bagian Alkitab yang seperti tidak pernah tersentuh, yaitu pasal 8 ini. Berapa kali dalam hidupmu Saudara mendengar cerita Gideon dikhotbahkan yang pasal 8 ini? Coba Saudara bandingkan dengan berapa sering kisah Gideon dikhotbahkan dalam hal guntingan bulu domba, berapa kali perbandingannya? Tapi, justru dengan kita melihat pasal 8 inilah, yang membuat kisah Gideon baru menjadi pelajaran yang utuh, tidak timpang cuma satu sisi, karena kisah Gideon sebagaimana dirinya sendiri adalah kisah yang mempunyai dua sisi ini.
Saudara ingat, di khotbah-khotbah awal kita membahas struktur besar kitab Hakim-hakim dengan pakai power point; dan kita melihat ternyata struktur kitab ini tidak disusun sembarangan. Otniel, hakim yang pertama, ada paralel dan kontras dengan Simson, hakim yang terakhir; hakim kedua, Ehud, ada paralel dan kontras dengan hakim yang kedua dari belakang, yaitu Yefta; Debora kontras dengan Abimelekh. Lalu siapa figur yang ada di tengah? Gideon. Gideon tidak ada pasangannya dalam hal ini, dia sendirian di tengah-tengah; kenapa? Karena dia paralel dan kontras dengan dirinya sendiri. Gideon yang Saudara lihat di awal kisah, kontras dengan Gideon di akhir kisah. Gideon di awal kisah begitu malu-malu, tidak ada kekuatan, tapi dipakai Tuhan; Gideon di belakang, sudah begitu confident, tapi akhirnya malah melampaui batas. Dia kontras dengan dirinya sendiri. Sudah begitu, antara kata-kata dan tindakannya pun kontras, tidak mau jadi raja tapi anaknya dinamai ‘bapakmu raja’.
Saudara, kalau hanya membaca pasal 6 dan 7, Saudara tidak akan medapatkan pelajaran yang utuh ini. Kalau Saudara hanya membaca pasal 6 dan 7, Saudara mungkin merasa tujuan kehidupan Kristen adalah mencapai kesuksesan seperti Gideon; okelah caranya lewat kelemahan, tapi tetap saja ujungnya adalah kesuksesan, seperti Gideon. Kalau Saudara hanya membaca pasal 6 dan 7, Saudara mungkin setelah membaca, bisa tutup Alkitab, ‘Ahh…, tenang hari ini membaca kisahnya, terakhirnya menang!’; Saudara tutup Alkitab dengan rasa puas. Tapi kalau Saudara baca pasal 8, Saudara bingung, Saudara tidak bisa tutup Alkitab, Saudara merasa ‘koq kayak begini sih?? kenapa tiap kali hakim ujungnya ‘gak lasting, baru saja hakimnya mati, langsung serong; dan sekarang kisah Gideon busuknya bahkan sudah dimulai sebelum hakimnya lewat; ini naik level jadinya, koq kayak begini sih??’ Itu sebabnya gereja tidak suka membahas pasal 8. Kita kepinginnya berhenti di pasal 6-7 saja, karena waktu kita bahas pasal 8, kita merasa tidak puas, kita merasa anti klimaks, kita merasa tidak jelas. Tapi Saudara lihat, inilah yang Alkitab desain untuk kita terima. Inilah yang membuat kita belajar satu teologi yang lebih lengkap, satu spiritualitas yang lebih lengkap, yaitu ketika Saudara tidak lompat-lompat sesuai maumu tapi Saudara baca dari depan sampai belakang, ketika Saudara membaca dan meneliti Alkitab dengan disiplin.
Saudara mungkin mengatakan, “Ya, tapi ‘kan kita bahas Alkitab tergantung Bapak, kita cuma dengerin.” Jangan salah, Saudara tetap pilih ‘kan, acara apa yang Saudara mau datang; atau semua tema PA, seminar, SPIK, STRIJ, Saudara selalu datang? Semua pelajaran mengenai firman Tuhan, Saudara selalu berusaha untuk datang? Memang tidak semua bisa, tapi seperti misalnya Persekutuan Doa, banyak orang yang datang ke PD bukan untuk berdoa tapi untuk cari firman. Itu kacau; itu sebabnya saya tidak mau tampilkan nama pengkhotbah dalam PD. Disiplin rohani seperti ini, Saudara welcome atau tidak? Atau Saudara merasa ‘jangan kayak begitu dong, beritahu kita dong’; supaya apa? Supaya Saudara bisa pilih-pilih? Supaya Saudara ada kemungkinan untuk pilih bagian Alkitab mana yang Saudara mau ambil? Jikalau itu gaya kerohanian Saudara, maaf saja, itu bukan gaya kerajaan Allah.
Lagipula, ketidakpuasan ketika kita membaca Alkitab yang anti klimaks seperti pasal 8 ini, akan membuat kitab tidak bisa tutup Alkitab, kita membaca terus sampai ke belakang; dan apa manfaatnya? Manfaatnya adalah kita sadar bahwa pada akhirnya kisah Gideon memang tidak mengenai Gideon. Kita baru sadar bahwa kisah Gideon ternyata memang hanya bayang-bayang dari seseorang Hakim yang lain, yang ultimat, yang di belakang itu. Kalau Gideon, dia tidak berhak menuntut dirinya jadi raja namun dia bertindak seperti seorang raja; tapi Yesus Kristus punya segala hak dan memang sepantasnya menuntut orang melayani Dia sebagai Raja. Gideon harus bikin efod KW; tapi Yesus Kristus adalah efod yang sejati karena Yesus Kristus adalah bait Allah yang sejati, tempat Allah hadir di dunia ini, kalau Saudara mau menemui Allah di dunia ini maka Saudara pergi ke Yesus Kristus ‘kan. Namun demikian Yesus Kristus menolak pencobaan untuk memerintah atas bangsa-bangsa dengan kekuasaan duniawi –salah satu pencobaan setan itu– Dia mengatakan, “Aku datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan memberikan nyawa-Ku menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10).
Saudara tanya, bagaimana saya mengingat anugerah Tuhan dalam kesuksesan? Ingatlah Yesus Kristus. Yesus Kristus semasa pelayanan-Nya, murid-murid-Nya senantiasa merongrong Dia dengan pertanyaan, “Kapan Kamu akan ambil alih kekuasaan? Kapan kamu akan setop kongko-kongko dengan anak kecil? Kapan Kamu akan mulai bikin nettwork dan galang massa? Kapan kamu akan mulai deklarasi nyapres? Kapan??” Sebaliknya, yang kita lihat adalah Yesus melayani dengan humility, disiksa, dan mati. Ketika Yesus bangkit pun, Dia tidak menampakkan diri di istana Kaisar, tapi pertama-tama malah menampakkan diri kepada para wanita, yang pada zaman itu tidak bisa dipakai jadi saksi di pengadilan. Saudara masih mau tanya, “Kenapa sih, bangkitnya ‘gak langsung dimasukin ke YouTube, TikTok, supaya semua orang langsung bisa lihat??” Apa Saudara pikir Yesus yang diparadekan di istana Kaisar adalah bukti yang bisa meyakinkan semua orang bahwa Dia adalah Tuhan?? Saudara, jika itu yang terjadi, malah membuktikan bahwa Dia bukan Tuhan, karena itu kuasa jenis duniawi –dan saya tidak mau menyembah allah model influencer kayak begitu. Tetapi, bukti Yesus adalah Allah yang sejati, justru bahwa Dia bangkit secara low profile, Dia bangkit dan menampakkan diri-Nya kepada mereka yang berstatus paling rendah, yang tidak dianggap reliable oleh dunia –dan buat saya, justru itu buktinya Dia Allah yang sejati.
Saudara-saudara, keselamatan dari Tuhan Yesus itu Dia capai bukan melalui kekuatan tapi melalui kelemahan; maka keselamatan yang sama itu juga diterima bukan melalui kekuatan tapi melalui kelemahan. Paulus, belakangan mengutip kisah Gideon ini dan mengaplikasikannya pada Gereja; dia mengatakan: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” Pulanglah dan pikirkan apa artinya ini bagi hidupmu. Pulanglah dan pikirkan bagaimana ini harus mempengaruhi bagaimana engkau hidup.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading