Kita masuk ke Khotbah Kitab Hakim-hakim yang ke-11. Sebelumnya, dalam khotbah ke-10, pembahasan siklus hakim Gideon, kita menemukan bahwa ternyata sepuluh ayat pertamanya bukan berurusan dengan Gideon melainkan dengan bangsa Israel secara keseluruhan. Dari situ kita merenungkan pelajaran apa yang bisa kita tarik dalam hal relasi Tuhan dengan umat-Nya.
Kita melihat bahwa inti dari pertobatan yang sejati, bukan terutama urusan ‘apa solusi dosa’ tapi urusan ‘apa sesungguhnya relasi yang tepat’. Misalnya, seorang istri ketika melihat suaminya tidak beres, sering kali dia bukan mengatakan, “Begini ya, saya ajarin ya, saya kasih solusi, ya; kamu harusnya bukan melakukan A tapi B” –meski tentu saja istri kadang boleh melakukan itu– tapi biasanya secara natural si istri bukan kepingin memberi solusi kepada suaminya, si istri inginnya menyatakan ulang relasi, maka dia mengatakan, “Lu pikir gua ini apa, gua ini istri lu, gua bukan pembantu” –urusan relasi. Mengapa demikian? Karena inilah akar permasalahannya. Suami yang bodoh akan berespons, “Sudahlah, ‘gak usah repot-repot, kasih tahu saja gua harus ngapain, lu maunya apa; lu mau gua kiss goodnight tiap hari atau seminggu sekali atau sebulan sekali?” Di sini apakah lalu si istri memberi solusi, “O, ya, sehari sekali” ? Tentu tidak, karena itu tidak menyelesaikan masalah; masalahnya bukan di situ karena yang dikejar si istri bukan goodnight kiss-nya tapi relasi yang dinyatakan melalui goodnight kiss itu. Itu sebabnya, khotbah yang sejati ujungnya bukanlah terutama mengenai apa yang Saudara harus lakukan, melainkan mengenai apa yang Allah telah lakukan bagimu. Waktu kita mengabarkan hal ini, mengabarkan tentang siapa Allah dan apa yang telah Dia lakukan bagimu, kita sedang mengabarkan suatu relasi yang baru. Inilah yang paling penting, inilah akarnya. Tentu saja kita boleh bicara soal aplikasi, menjabarkan kalau relasi seperti begini maka tindakan-tindakannya jadi seperti apa, tapi itu bukan yang terutama dan tidak harus selalu ada, karena solusi yang sejati bukan berbentuk aplikasi; solusi yang sejati selalu berbentuk sebuah relasi.
Hari ini kita masuk lebih lanjut ke kisah Gideon sendiri. Sekali lagi, sepanjang mempelajari kisah Gideon ini, saya harap kita bisa melihat bahwa kisah ini bukanlah tentang Saudara perlu meniru-niru atau meneladani apa yang Gideon lakukan tok, melainkan bahwa lewat kisah ini kita bisa merenungkan dan mendapat suatu gambaran seperti apa relasi antara Allah dengan umat-Nya. Itulah yang akan kita lihat. Outline-nya sederhana, yaitu kita akan melihat: pertama, apa yang Tuhan lakukan dalam kisah ini; yang kedua, apa yang Gideon lakukan dalam kisah ini.
Kisah Gideon adalah kisah yang paling panjang di antara semua kisah hakim-hakim, jumlah ayatnya ada 100 ayat (melebihi hakim-hakim lainnya). Kita tidak tahu apakah ini disengaja atau tidak, namun ini tepat, karena kisah Gideon secara keseluruhan fokus pada satu tema, yaitu tema mengenai jumlah. Kita akan coba menyoroti hal ini dari pasal 6 kemudian pasal 7, lalu kita coba tarik pelajarannya.
PASAL 6:1-6
Sebagaimana pola yang selalu kita lihat, di sini ada hal yang itu-itu lagi, yaitu: orang Israel berbuat jahat di mata Tuhan, Tuhan lalu menyerahkan mereka kepada penindas, lalu kepada Tuhanlah orang Israel berseru; dan juga ada hal yang baru, yaitu musuh yang baru.
Di bagian ini kita melihat musuhnya adalah orang Midian, orang Amalek, dan orang-orang dari sebelah timur. Pada dasarnya ini adalah musuh-musuh lama orang Israel. Amalek adalah nama busuk, karena inilah bangsa pertama yang angkat senjata terhadap Israel, sampai-sampai Tuhan pernah berfirman kepada orang Israel di kitab Ulangan, “Engkau harus menghapuskan ingatan akan Amalek dari kolong langit, jangan lupa akan hal itu”. Jadi, nama-nama Midian dan Amalek di sini memberi nuansa bahwa inilah musuh bebuyutan, yang sudah lama, yang sejak awal dan masih bermusuhan sampai sekarang. Kalau dibandingkan dengan musuh-musuh sebelumnya, kita melihat ada semacam eskalasi. Dimulai dari musuh daerah pinggiran, daerah yang di sebelah luar, daerah pesisir, yaitu Mesopotamia, Moab, Filistin; selanjutnya musuh dari Kanaan, yang adalah sentral (dalam cerita Debora); dan sekarang Midian serta Amalek, musuh-musuh lama, musuh-musuh dari masa lalu. Namun yang lebih penting dalam bagian ini adalah mengenai bagaimana musuh-musuh ini dideskripsikan.
Yang pertama, tujuan mereka bukan untuk menduduki Israel (seperti Moab di zaman Ehud), atau untuk menaklukkan Israel (seperti Kanaan di zaman Dobora); orang-orang Midian dan Amalek ini main bumi hangus, mereka memusnahkan hasil tanah sehingga menyebabkan Israel melarat dan kelaparan. Namun lebih daripada itu kita perlu menyoroti satu hal yang narator tekankan berkali-kali mengenai musuh kali ini, yaitu ayat 3 mengenai berapa sering mereka datang; dikatakan bahwa setiap kali orang Israel selesai menabur, setiap kali orang Israel punya makanan, setiap kali itulah orang-orang ini datang. Selanjutnya ayat 4, mengenai berapa jauh mereka merambah; dikatakan: “berkemahlah orang-orang itu di daerah mereka, dan memusnahkan hasil tanah itu sampai ke dekat Gaza”, artinya mereka dari timur menyeberang Sungai Yordan, masuk ke daerah Israel, ke Gaza yang jauh di sebelah selatan. Dan yang paling penting seperti dikatakan di ayat 5, mengenai berapa banyak jumlah mereka: “… datangnya itu berbanyak-banyak seperti belalang. Orang-orangnya dan unta-untanya tidak terhitung banyaknya”. Istilah ‘seperti belalang’ ini bukan cuma mengungkapkan kehancuran macam apa yang dibawa, tapi juga menunjukkan urusan jumlah. Kita ingat musuh sebelumnya, Sisera, punya 900 kereta besi, ini mengerikan tapi masih bisa dihitung; sedangkan musuh kali ini dikatakan seperti belalang, tidak terhitung. Jadi, musuh yang ini setiap kali datang, jauh merambah sampai ke Gaza, dan jumlahnya terlalu banyak. Dan, kepada musuh yang terlalu banyak inilah Allah menyerahkan umat-Nya.
PASAL 6:7-10
Dalam khotbah yang lalu kita sudah membahas isi message sang nabi, maka kita tidak akan mengulangi bagian ini, tapi saya mau menekankan satu elemen yang belum kita soroti.
Di ayat-ayat sebelumnya, narator mendeskripsikan musuh yang terlalu banyak, sementara di bagian ini sang nabi mengkhotbahkan mengenai karunia Tuhan yang juga sudah terlalu banyak; ‘Allah sudah begini, begini, begini, dan begitu, begitu, begitu, tapi kamu tidak mendengarkan firman Tuhan’. Jadi mungkin bukan kebetulan ada musuh yang terlalu banyak, yang dikirim untuk menghukum bangsa yang terlalu banyak juga menginjak-injak karunia serta belas kasih Tuhan. Saudara lihat, ada tema yang muncul kembali.
PASAL 6:11-16
Di bagian ini tokoh Malaikat Tuhan muncul (seperti di pasal 2), tapi kita belum akan menyoroti urusan identitasnya; yang kita mau fokuskan sekarang adalah perkataannya.
Malaikat Tuhan ini menemui Gideon dan mengatakan, “TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani” –kepada seseorang yang sedang mengirik gandum bukan di tempat tinggi dan berangin sebagaimana lazimnya tapi di lubang bawah tanah, di tempat pemerasan anggur, supaya tersembunyi dari orang Midian. Gambaran ini sinkron dengan bagian berikutnya, yaitu Gideon diberikan misi untuk merubuhkan mezbah Baal –dan Gideon melakukannnya malam-malam. Gideon ini sudah menyadari bahwa dia bertemu dengan Tuhan, tapi dia masih juga minta tanda lewat guntingan bulu domba; ketika tanda tersebut sudah diberikan, dia masih minta tanda lagi dengan cara dibalik. Kita sudah membahas bahwa ini bukanlah tanda iman ideal; ini gambaran Gideon seorang yang peragu dan penakut. Dengan demikian, ironis banget ketika di bagian ini Malaikat Tuhan memanggil dia sebagai seorang pahlawan yang gagah berani; gagah berani dari mana?? Gideon ini mungkin sedang jongkok di lubang tadi, ketika Malaikat Tuhan datang dan menyapa dia lalu Gideon melompat kaget. Pembaca-pembaca pertama bisa jadi cekikikan membaca bagian ini, gagah berani dari mana??
Itu sebabnya ada orang yang membaca kalimat Malaikat Tuhan ini sebagai semacam ironi, atau bahkan ejekan; dan ada juga yang membaca sebagai kalimat nubuatan, mengenai bagaimana Tuhan akan memakai Gideon, dan bukan mengenai seperti apa Gideon sekarang. Ini satu hal yang menarik dalam pekerjaan Tuhan, bahwa ironi dan nubuat tidak harus berlawanan. Di satu sisi kalimat tersebut ironis karena Gideon memang tidak ada apa-apanya, tapi di sisi lain juga bisa bersifat prophetic kalau kita melihat masa depan Gideon; dan sesungguhnya dua hal ini lebih nyambung daripada yang kita pikir (akan kita lihat lebih lanjut nanti).
Saudara, karena Giodeon bisa jadi mewakili Israel, maka sama seperti Israel di ayat 6 dikatakan telah jadi sangat melarat, mungkin itu sebabnya orang yang Tuhan pilih ini juga adalah orang yang dikatakan paling muda di antara kaum keluarganya, berasal dari kaum yang paling kecil –ada urusan jumlah– juga dari suku yang tidak signifikan. Dalam hal ini, di pasal 7 nanti Tuhan mengatakan bahwa Dia membangkitkan Gideon bukan untuk semata-mata menyelamatkan Israel, tapi untuk menyelamatkan Israel dengan suatu cara yang spesifik, suatu cara yang akan membuat Israel tidak bisa menyombongkan diri “tanganku inilah yang menyelamatkan diriku”. Jadi, mungkin memang satu hal yang esensial kalau dalam awal kisahnya kalimat-kalimat Malaikat Tuhan ini ironis, karena Gideon memang bukan seorang yang gagah berani; tapi juga esensial bahwa kalimat tadi juga kalimat yang prophetic karena tema sentral pasal-pasal ini adalah bahwaTuhan ingin bekerja dengan kuat melalui mereka yang lemah, Tuhan ingin bekerja melawan musuh yang terlalu banyak melalui mereka yang kecil. Itu sebabnya dalam kisah panggilan ini pun kita tidak bisa missed pola jumlah yang kembali muncul, karena hal ini diulang-ulang oleh Malaikat Tuhan berkali-kali meskipun sekarang dalam bentuk yang terbalik; yang tadi: ada musuh yang terlalu banyak, untuk menghukum bangsa yang sudah terlalu banyak menginjak-injak kasih karunia Tuhan; sekarang dikatakan: “Tuhan menyertai engkau (1 orang), pergilah dengan kekuatan-mu (1 orang singular), engkau sendiri akan memukul kalah orang Midian –yang terlalu banyak itu”.
PASAL 7:1-8
Kita lompat ke pasal 7, bagian tengah dari kisah Gideon, untuk melihat urusan jumlah ini dan menyoroti tema ini di mana munculnya.
Ayat 1 membawa kita masuk ke medan pertempuran. Kita melihat satu lembah di antara dua gunung; dan di sepanjang lembah itu ada gerombolan orang Midian, yang terlalu banyak itu. Tapi apa yang Tuhan katakan kepada Gideon di ayat 2? Tuhan bilang, “Terlalu banyak …”. Terlalu banyak siapa? “Terlalu banyak rakyat yang bersama-sama dengan engkau”. Terlalu banyak dari mana? Ada 32.000 orang yang berespons terhadap panggilan Gideon; ini bukan jumlah yang terlalu banyak karena musuhnya adalah musuh yang tidak terhitung jumlahnya. Ini juga bukan keseluruhan orang Israel, karena dari 12 suku, hanya sukunya Gideon (suku Manasye) yang berespons, ditambah 3 suku lain, yaitu Asyer, Zebulon, Naftali. Ini pun suku-suku yang daerahnya memang berdekatan, dan juga bukan suku yang besar, bukan suku yang menonjol seperti Yehuda. Namun demikian, Tuhan mengatakan “terlalu banyak”, dan di ayat 3, Tuhan menyuruh pulang orang-orang yang takut dan gemetar. Bubar, sisa 10.000 orang saja. Harusnya ini sudah cukup, sudah tidak bisa turun lagi; namun di ayat 4 Tuhan masih mengatakan “terlalu banyak”. Lalu bagaimana caranya jumlah ini akan dipotong?
Berikutnya, kita menemukan satu bagian yang paling sering disalah mengerti dalam Kekristenan, yaitu ketika 10.000 orang tadi dipilah-pilah, hasilnya 9.700 orang berlutut minum air dan 300 orang minum dengan cara menyendok dari tangan mereka. Dalam hal ini, sepanjang sejarah orang berbeda pendapat mengenai alasannya Tuhan memilih orang yang minum dengan cara menyendok dari tangan mereka, dan bukan yang berlutut. Ada pula banyak perdebatan mengenai mereka yang menyendok itu gayanya seperti apa, lalu yang berlutut gayanya seperti apa. Tapi satu salah kaprah yang sering dibuat orang adalah: mereka berusaha menarik kesimpulan bahwa somehow 300 orang yang dipilih Tuhan itu, minum dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka inilah tentara-tentara yang lebih mampu, lebih waspada, atau lebih awas, lebih cepat, dsb.; intinya, 300 orang ini adalah mereka yang lebih baik. Kalau Saudara melihat keseluruhan konteks kisahnya sejak awal, ini kesimpulan yang meleset jauh, ngawur, karena tujuan Tuhan di sini bukan untuk menyeleksi, melainkan untuk mengurangi. Jika hasilnya adalah sekelompok kecil tentara yang super elit, Tuhan justru tidak mau, karena tujuan Tuhan adalah mengurangi jumlah tentara tersebut menjadi suatu jumlah yang terlalu sedikit, sehingga ketika pertempuran itu akhirnya dimenangkan, Israel tidak bisa mengatakan, “Tanganku sendirilah yang menyelamatkanku”.
Saudara melihat deklarasi tujuan tersebut jelas di ayat 2; dan kalau masih belum cukup, di ayat 7 Tuhan kembali menekankan, “Aku akan menyerahkan orang Midian ke dalam tanganmu” –Aku yang akan melakukannya. Jadi kalau Saudara mau tanya kenapa Tuhan pilih yang 300, maka jawabannya sederhana: karena itu jumlah yang lebih sedikit –atau lebih tepatnya, karena itu jumlah yang terlalu sedikit– supaya hal ini memperlihatkan dengan jelas bahwa Tuhanlah yang sesungguhnya berjasa memenangkan pertempuran itu, dan bukan Israel. Itu sebabnya Saudara jangan terlalu pusing dengan perdebatan soal cara minumnya kayak apa, karena salah satu cara setan menipu umat Tuhan adalah dengan membuat umat Tuhan memusingkan hal-hal yang tidak penting, yang muncul karena keingintahuan tok, sehingga poin utama yang mau diberikan lewat kisah ini malah hilang atau bahkan berlawanan.
PASAL 7:9-15
Pelajaran soal ‘jumlah’ tidak ditekankan cuma satu kali; sebagaimana di pasal 6 kita melihat soal jumlah berkali-kali, di pasal 7 ini pun soal jumlah diulang dan ditekankan berkali-kali. Mengapa? Karena Gideon, si pahlawan yang gagah berani, sepertinya masih takut dan ragu. Itu sebabnya Tuhan menyuruh Gideon dan bujangnya turun ke perkemahan orang Midian.
Dua orang ini mengendap-endap ke perkemahan orang Midian dalam kegelapan malam, dan mereka melihat orang-orang Midian dan Amalek itu bergelimpangan di lembah itu, seperti belalang banyaknya, dan unta mereka pun tidak terhitung, seperti pasir di tepi laut banyaknya (ayat 12). Tapi apa yang mereka dengar? Ada orang Midian yang sedang menceritakan mimpinya (ayat 13). Apa mimpinya? Sekali lagi, ada tema ‘jumlah’ di sini. Mimpinya adalah: ada kemah-kemah Midian yang tidak terhitung seperti pasir di tepi laut banyaknya, tapi semua itu runtuh oleh karena sekeping roti jelai yang terguling masuk. Saudara perhatikan, roti jelai itu dikatakan terguling masuk; bukan dilempar masuk, bukan digebok masuk, bukan terbang melesat masuk, tapi terguling masuk. Dan, terakhir dikatakan oleh orang Midian itu sendiri, “Ini tidak lain dari pedang Gideon bin Yoas, orang Israel itu (singular, satu), Allah telah menyerahkan orang Midian dan seluruh perkemahan ini ke dalam tangan-nya (satu)”. Allah-lah yang berada di balik tangan Gideon, sehingga bukan hanya orang Israel yang tahu siapa yang berjasa di balik ini, tapi bahkan orang Midian pun akan bisa mengenali hal ini.
PASAL 7:16-25, konklusi
Kalau khotbah ini berhenti di bagian sebelumnya, mungkin kita akan menarik kesimpulan demikian: ‘O, ok, intinya Tuhan yang bekerja, kita tidak ada andilnya; harus jelas ini jasanya Tuhan, jadi kita better jangan ikut campur, tahan diri, ongkang-ongkang kaki saja, let God do His work’. Dan, Saudara lihat, bukan itu ceritanya.
Sesungguhnya yang Saudara lihat di bagian terakhir ini, justru ada penekanan soal elemen tangan manusia yang sangat besar. Gideon melakukan apa yang Tuhan perintahkan; dan dalam bagian ini Saudara melihat bagaimana cara Gideon melakukannya. Jumlah 300 orang –yang sedikit sekali itu– Gideon bagi jadi 3 kelompok, masing-masing 100 orang, sehingga bisa dibilang lebih sedikit lagi. Lalu kepada mereka diberikannya bukan meriam, tapi sangkakala dan buyung kosong dengan suluh di dalamnya. Perhatikan, di ayat 20 dikatakan bahwa perlu dua tangan untuk memegang kedua benda tersebut, sangkakala di satu tangan, buyung kosong beserta suluh di tangan yang lain –jadi berarti mereka tidak pegang pedang.
Selanjutnya, tidak jelas apakah ini dari Tuhan atau tidak, tapi Gideon tampaknya akhirnya menangkap –setelah sekian lama melalui pelajaran yang berkali-kali itu– bahwa Allah Alkitab memilih yang lemah untuk mempermalukan yang kuat supaya tiak ada yang bisa menyombongkan diri di hadapan Tuhan; Gideon menangkap prinsip ini sehingga dia kemudian membagi lagi 300 orang itu jadi 3 kelompok 100 orang, dan dia sendiri hanya memimpin 100 orang. Lalu dia memberikan mereka perintah; untuk melakukan apa? Perintahnya bukan ‘sekarang kuatkanlah dirimu, hajar sebanyak mungkin orang sebelum kamu mati’ –bukan itu. Perintah yang diberikan kepada mereka bukan perintah yang perlu skill militer apapun, tapi hanyalah skill untuk meniup terompet dan memecahkan buyung dan teriak-teriak. Semakin jelas di sini, 300 orang yang dipilih itu sama sekali bukan dipilih karena skill militer mereka.
Kemenangan yang dari Tuhan ini, kemenangan yang orang Israel tidak bisa mengatakan bahwa tangan merekalah yang menyelamatkan mereka, sesungguhnya justru sangat bisa dijelaskan secara manusiawi. Gideon membagi tentaranya jadi 3 bagian, memperlengkapi mereka dengan terompet, obor, dan buyung untuk dipecahkan; lalu dikatakan di ayat 19 bahwa baru saja ada pergantian jam jaga malam –ini detail yang sangat penting; dan di ayat 20 dikatakan mereka meniup sangkakala dan memecahkan buyung –berarti ada bunyi yang keras– lalu obor yang disembunyikan di bawah buyung tiba-tiba terlihat jelas, tiba-tiba terang. Ini adalah sebuah strategi militer yang amat sangat jitu, yang membuat perbedaan jumlah antara kedua pasukan tersebut jadi hilang, orang Israel dalam kegelapan malam itu jadi terlihat dan terdengar jauh lebih banyak daripada jumlah sesungguhnya. Yang kedua, strategi mengendap-endap sampai ke pinggir perkemahan lalu dalam jarak dekat ada serangan tiba-tiba seperti ini, membuat unta-unta orang Midian yang tidak terhitung banyaknya itu jadi tidak berguna, bahkan mungkin menambah-nambah kebingungan serta kekacauan di perkemahan mereka. Yang ketiga –dan ini paling penting–kenapa mereka melakukannya pada saat pergantian jam jaga malam? Dalam jaga malam itu misalnya dibagi 3 shift masing-masing 4 jam, sehingga kita bisa bayangkan ketika itu 2/3 dari para tentara sedang tidur, sementara 1/3-nya berjaga. Lalu ayat 19 mengatakan, pada saat itu penjaga-penjaga baru saja ditempatkan di posisi mereka, jadi berarti para penjaga shift sebelumnya sedang berjalan balik ke kemah masing-masing untuk tidur. Dengan demikian dalam momen ini, bersamaan dengan Israel bikin keributan serta terangnya nyala suluh, tentara Midian yang sedang tidur akan bangun dengan panik dalam keadaan setengah mabuk/mengantuk, dan mereka menemukan perkemahan penuh dengan orang-orang bersenjata lengkap yang berjalan balik ke arah mereka; dan dalam kegelapan malam serta kebingungan, sangat mungkin mereka tidak menyadari orang-orang itu adalah sesama orang Midian, sampai sudah jadi terlambat, mereka saling tusuk. Setelah itu, barulah giliran orang Israel tadi bersama suku yang baru ikut, yaitu Efraim, mengejar sisa tentara Midian ini, penyeberangan-penyeberangan sungai disergap, jendral-jendral musuh ditangkap lalu dibunuh.
Sekarang apa yang Saudara lihat pada diri Gideon? Gideon bertumbuh, dari orang yang sembunyi di lubang, selanjutnya sebagai orang yang taat tapi hanya berani malam-malam, selanjutnya sebagai si peragu yang terus butuh tanda demi tanda, selanjutnya sebagai orang yang masih takut sehingga disuruh mengendap-endap ke kamp musuh, dan sekarang di pasal 7 Gideon seperti berubah, Gideon seperti bukan Gideon yang lama. Gideon membuat strategi militer yang begitu jitu; Gideon mengirim perintah kepada suku yang bukan sukunya, yaitu Efraim, yang kemudian perintahnya itu diterima, otoritasnya diakui oleh suku yang lebih besar ini. Jadi, kalau Saudara merekonstruksi kejadian pertempurannya seperti ini, Saudara akan melihat bahwa kemenangan ini bukan tanpa peran manusia. Aneh ya?
Ada unsur yang sangat kuat menunjukkan bahwa kemenangan ini justru hasil strategi Gideon, yang membagi pasukan jadi tiga, yang memperlengkapi mereka dengan obor dan sangkakala dan buyung, yang memutuskan untuk menyerbu pada saat pergantian penjaga malam. Namun juga Saudara melihat sisi yang sebelahnya lagi, kenapa Gideon sampai bisa memakai taktik seperti ini, tidak lain karena Tuhan menyuruhnya untuk memotong terus jumlah tentaranya sampai tinggal 300 orang dari 32.000 orang. Gideon tidak akan pernah melakukan taktik seperti ini, jika bukan karena Tuhan memotong habis jumlah tentaranya –meski demikian, ada peran Gideon juga. Gideon juga tidak akan pernah tahu bahwa kamp musuh itu penuh dengan orang-orang yang sudah nervous dan gampang ditakut-takutin, kalau bukan Tuhan menyuruhnya turun bersama bujangnya untuk mencuri dengar tentang mimpi salah satu tentara Midian itu. Jadi, kesimpulannya kemenangan ini jasa siapa? Jasa Gideon-kah? Jasa Tuhan-kah? Jasa Ilahi atau jasa manusia; yang mana?
Kalau Saudara masih belum cukup bingung, mari kita kembali ke pasal 6, perhatikan lebih detail interaksi Tuhan dengan Gideon. Pertama, Tuhan mengatakan di ayat 12: “Tuhan menyertai engkau, hai pahlawan yang gagah berani”; perhatikan: ‘Tuhan menyertai engkau’, bukan ‘Tuhan yang kerja lalu kamu nonton saja’. Lalu respons Gideon, dia mempertanyakan soal ‘menyertai’ ini, menyertai dari mana?? Ayat 13, dia mengatakan, “Kalau Tuhan menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami? Di manakah segala perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib yang diceritakan oleh nenek moyang kami kepada kami, ketika mereka berkata: Bukankah TUHAN telah menuntun kita keluar dari Mesir? Tetapi sekarang TUHAN membuang kami dan menyerahkan kami ke dalam cengkeraman orang Midian.” Argumen Gideon ini menarik, yaitu: ‘Tuhan tidak menyertai kami; karena kalau Dia menyertai kami, kenapa hidup kami tertindas di bawah orang Midian’; sementara kita tahu dari semula bahwa Israel ditindas di bawah Midian justru karena Tuhan tidak meninggalkan mereka, justru karena Tuhan-lah yang menyerahkan mereka di bawah Midian. Ini adalah peran tangan Tuhan. Tuhan ingin menunjukkan kepada mereka, kegagalan dari penyembahan berhala, dan menggerakkan mereka untuk berseru kepadanya. Saudara, ini jadi petunjuk mengenai apa sebenarnya yang jadi problem di sini; problemnya bukan Tuhan tidak menyertai mereka, melainkan Gideon dan bangsa Israel tidak sadar penyertaan Tuhan itu bisa datang lewat cara apa. Itu sebabnya Gideon mengatakan, ‘kita ini butuh perbuatan-perbuatan ajaib seperti zaman Musa dulu, ketika Israel dipimpin Musa keluar dari Mesir’.
Lalu Malaikat Tuhan berespons dengan cara apa? Ayat 14: Lalu berpalinglah TUHAN kepadanya dan berfirman: “Pergilah dengan kekuatanmu ini dan selamatkanlah orang Israel dari cengkeraman orang Midian. Bukankah Aku mengutus engkau!” Gideon mengatakan ‘kami butuh orang seperti Musa, Tuhan’; dan Tuhan mengatakan, ‘kamu itulah Musa-nya, kamu itulah keselamatan yang Kukirim, kamu itulah pahlawan gagah berani yang Kuutus, kamulah Musa bagi generasi umat-Ku hari ini, pergilah dengan kekuatanmu’. Lucu ya, koq gambarannya jadi bertabrakan kayak begini?
Saudara, kita sering kali melakukan kesalahan yang sama seperti Gideon, kita melihat permasalahan-permasalahan yang muncul dalam hidup kita sebagai bukti bahwa Tuhan meninggalkan kita; padahal harusnya kita bertanya, bagaimana jika Tuhan sebenarnya mungkin sedang bekerja melalui permasalahan-permasalahan tersebut, demi kebaikan kita. Yang kedua, kita sering kali menunggu-nunggu Tuhan melakukan sesuatu bagi kita, atau Tuhan memakai orang lain untuk mendatangkan pertolongan-Nya; sementara yang dikritik di bagian ini, harusnya kita bertanya ‘Tuhan tolong bentuk aku menjadi orang yang bisa membereskan masalah ini’. Ada seorang teolog mengatakan, kita hari ini sering kali melihat dunia begitu rusak sampai kita bertanya-tanya “di mana Tuhan”, tapi harusnya yang perlu kita tanyakan adalah: “di mana Gereja Tuhan”.
Saudara, ada hal yang paradoks dalam cerita Gideon ini. Di satu sisi kita melihat dengan jelas dalam pasal-pasal ini, bahwa tujuan sentral Tuhan adalah: ketika Dia mendatangkan keselamatan dan pertolongan-Nya, Dia tidak mau kemuliaan-Nya direbut, Dia tidak mau menyisakan ruang untuk Israel bisa mengatakan ‘tangankulah sendiri yang menyelamatkanku’. Namun di sisi lain, anehnya kisah ini adalah: dalam mendatangkan keselamatan dan pertolongan-Nya tersebut, Tuhan bukan lalu me-negasi peran manusia sama sekali. Tuhan bukan pakai cara yang mungkin lebih masuk akal bagi kita dengan mengatakan, “Oke, Gideon, orang yang penakut, Aku memanggilmu sebagai saksi; duduk diam-diam di sana ya, duduk baik-baik, dan lihat bagaimana Aku akan melakukannya, pokoknya semua ini beres karena kekuatan-Ku!” Bukan seperti itu caranya; Tuhan mengatakan, “Hai pahlawan yang gagah berani, Aku mengutus engkau, pergilah dengan kekuatanmu, Aku menyertaimu.”
Ketika Tuhan mengurangi jumlah tentara Gideon, memang dikuranginya sangat signifikan, kenapa? Karena ‘jangan sampai kemuliaan-Ku direbut; kamu harus tahu ini jasanya siapa’. Dikurangi dari 32.000 jadi 300 artinya kurang dari 1% –namun tetap disisakan 1% itu. Kenapa ya? Bukankah lebih jelas kalau sekalian jadi 0% saja? Dan seseungguhnya, Tuhan malah bekerja dengan 1% itu. Tuhan malah bekerja dengan Gideon, melalui Gideon. Pertanyaannya, mengapa kita tetap tidak bisa mengatakan ini jasanya Gideon? Karena Tuhan bekerja melalui kelemahan Gideon –Tuhan bekerja melalui jumlah yang terlalu sedikit, Tuhan bekerja melalui orang yang terkecil. Tapi Saudara lihat, lewat orang yang terkecil dari kaum keluarga inilah, melalui jumlah tentara yang terlalu sedikit inilah, muncul satu strategi perang yang super brilian. Aneh ya.
Omong-omong, kisah Gideon yang ada paradoksnya seperti ini, bukanlah satu-satunya kisah unik di Alkitab, karena sesungguhnya pola ‘partnership antara Tuhan dengan manusia’ seperti ini, muncul di banyak tempat dalam Alkitab. Salah satunya yang paling terkenal yaitu kisah tentang manna. Orang Israel kelaparan di padang belantara, tidak ada makanan, maka Tuhan memberikan mereka manna. Manna adalah sesuatu yang diberikan Tuhan; namun demikian, manna bukanlah roti yang turun dari langit siap saji lengkap dengan peanut butter tinggal digigit bahkan ada paper bag-nya. Manna bukan demikian, manna itu harus dikumpulkan oleh orang Israel. Mereka harus kerja, bangun pagi-pagi karena manna akan meleleh ketika matahari terbit, mereka harus mengumpulkan manna itu; dan meski demikian, manna itu sendiri jelas pemberian Allah, tidak ada yang bisa mengatakan, “O, manna ini hasil karyaku sendiri”. Lucu ya. Ada satu gambaran relasi antara Allah dengan umat-Nya di dalam Alkitab, yang lain, yang tidak masuk menurut otak kita. Kalau kita hari ini kerja mengumpulkan uang, apalagi kerja keras, kita akan mengatakan ‘uang ini milikku karena ini hasil keringatku’. Namun kita mendapati di Alkitab gambarannya lain; manna itu harus dengan kita bekerja untuk memperolehnya, meski demikian tidak ada yang bisa mengatakan manna itu hasil tangannya sendiri. Manna itu dari Tuhan, manna adalah pemberian dan jasa Tuhan. Dan, sebagaimana manna adalah pemberian Tuhan, demikian juga semua uang yang kita punya hari ini –yang kita bekerja untuk mendapatkannya– itu juga pemberian Tuhan. Ini kacamata anugerah.
Kacamata anugerah tidak menghilangkan peran/bagian manusia. Kacamata anugerah bukan mengatakan, “Pokoknya Tuhan yang kerja semua, lu ‘gak kerja apa-apa” –ini bukan kacamata anugerah. Dalam kacamata anugerah, ada peran/bagian manusia, tapi kemudian menembus peran/bagian manusia tersebut dan memperlihatkan Siapa sesungguhnya yang ada di balik itu. Kembali ke kisah Gideon, apakah Saudara melihat pola yang sama? Apa yang sedang ditunjukkan dalam kisah ini? Waktu Tuhan mengatakan Dia tidak mau seorangpun mencuri kemuliaan-Nya, solusi Tuhan bukanlah menyuruh manusia diam dan berhenti bekerja; solusi Tuhan justru bekerja lewat manusia, tapi bekerjanya Tuhan melalui manusia ini dalam satu cara yang jelas menunjukkan Siapa yang berada di balik semua itu.
Saudara, kesalahan pikir kita waktu datang kepada Alkitab adalah berpikir ‘kalau Tuhan kerja, manusia tidak kerja; kalau manusia kerja, Tuhan tidak kerja’. Tapi Alkitab tidak sesederhana itu. Mungkin kesalahan yang perlu dibereskan di sini adalah: sebagaimana Gideon tidak bisa melihat bahwa di balik Midian ada Tuhan, di balik dirinya ada Tuhan, demikian juga anggapan Saudara dan saya hari ini yang mengira ‘ketika saya bekerja, berarti Tuhan tidak bekerja; ketika Tuhan bekerja berarti saya tidak bekerja, ongkang-ongkang kaki’. Ini seperti tarik tambang dengan Tuhan; semakin saya ber-andil maka Tuhan semakin sedikit andilnya, semakin Tuhan ber-andil maka semakin sedikit andil saya, semakin Tuhan berdaulat maka semakin minimal kehendak manusia, semakin besar manusia berkehendak maka semakin minimal campur tangan Tuhan. Tapi Saudara lihat, Alkitab punya kacamata yang lain. Ada tidak strategi perang yang brilian? Ada. Tapi di balik strategi yang brilian itu, ada Tuhan.
Saudara jangan salah tangkap saya; memang benar, karena dosa ada ketegangan yang riil antara manusia dengan Tuhan. Rasio manusia berdosa menentang Tuhan –tarik tambang. Kehendak manusia berdosa menentang Tuhan –tarik tambang. Emosi manusia berdosa melawan Tuhan –tarik tambang. Memang dalam aspek dosa ada hal tersebut, ada tarik tambang. Tapi Saudara perlu tanya, ketika manusia dikuduskan dari dosa, apa yang terjadi? Apakah ini berarti somehow kita jadi berhenti memakai rasio manusiawi? Apakah berhenti memakai emosi manusiawi? Apakah berhenti jadi manusia? Tentu saja tidak. Waktu kita diselamatkan, ada pengudusan rasio, ada pengudusan emosi, ada pengudusan kehendak. Ada semua kemanusiaan ini, tapi di balik kemanusiaan ini ada Roh Kudus. Ketika manusia dikuduskan, yang selanjutnya terjadi rasio mereka bukanlah dihentikan tapi dikembalikan ke arah yang benar, dipulihkan, diutuhkan. Itu sebabnya panggilan kita bukan mengambil alih peran Tuhan, bukan mengambil kemuliaan Tuhan. Itu jelas. Dosa memang membuat kita jadi rival Tuhan, tapi Saudara harus melihat gambaran relasi yang baru ini. Ketika Tuhan bekerja mendatangkan keselamatan-Nya, Tuhan tidak terus melanjutkan kacamata ‘rival’ ini, Tuhan tidak lalu main kuat-kuatan sama kita: “Aku mau tarik Kamu di hidupku, Tuhan”; lalu Tuhan mengatakan, “Enak saja, sini lu; ternyata Gua lebih kuat ‘kan, lu nurut”. Inikah namanya keselamatan? Tidak. Tuhan tidak pakai kacamata ‘rival’ seperti itu. Keselamatan dari Tuhan mengubah relasi ‘rival’ menjadi relasi ‘cinta’, mengubah persaingan menjadi kerja sama, mengubah kompetisi menjadi intimasi.
Kita ini bukan hanya dipanggil masuk ke dalam suatu kepemilikan (ownership) yang baru; kita dipanggil kembali kepada suatu partnership, karena bukankah manusia memang gambar dan rupa Allah. Kita bukan batu, kita gambar dan rupa Allah, kita adalah rekan kerja (partner) yang Tuhan pilih untuk menjalankan kehendak-Nya di atas bumi ini. Itu sebabnya yang Saudara lihat dalam Alkitab adalah bahwa Roh Kudus memimpinmu, bukan merasukimu. Saudara tentu tidak pernah membaca Roh Kudus merasuki Saudara ‘kan? Roh Kudus tidak mengambil alihmu, Roh Kudus memimpinmu, Roh Kudus menguduskanmu. Pertanyaannya: Saudara sadar akan hal ini, atau tidak?
Saudara, kalau Saudara minta aplikasi dari khotbah hari ini, memang ada banyak yang bisa kita pikirkan, tapi saya langsung terpikir satu aplikasi. Saya pernah cerita tentang seorang pengkhotbah, Dick Lucas, di Inggris. Suatu hari selesai khotbah, Dick Lucas jabat tangan dengan jemaat-jemaatnya. Lalu ada seorang jemaat waktu jabat tangan, dia berhenti dan bilang, “Terima kasih Pak Dick Lucas akan firman yang disampaikan” –kalimat yang normal saja, tapi kalimat selanjutnya super normal– “Nanti hari Senin atau Selasa, saya akan kepikiran apa aplikasinya bagi hidupku, firman yang tadi Bapak katakan”. Dick Lucas merenungkan, ini jemaat yang luar biasa, tidak pernah jemaat bicara kayak begini; biasanya jemaat tanya, “Aplikasinya apa, Pak?”; sedangkan jemaat ini justru melihat bahwa mencari aplikasi bagi hidupnya adalah tanggung jawabnya dirinya, perannya dia. Jemaat ini tidak melihat dirinya sebagai penonton khotbah tok, dia melihat dirinya sebagai orang yang ikut ambil bagian dan berperan serta dalam sebuah khotbah. Dia melihat dirinya sebagai gambar dan rupa Allah, yang panggilannya bukan sekadar nrimo saja apa yang dikatakan di atas mimbar. ‘O, saya musti menaklukkan kehendak saya kepada Tuhan, berarti saya tidak berkehendak; pokoknya Tuhan beri saja saya kehendak-Mu, input kehendak-Mu, Tuhan, maka saya akan jalankan seperti robot, seperti komputer. ‘ Bukan demikian Saudara. Bukan sekadar nrimo, tapi ikut serta, mengolah, memproses, menjadi bagian di mana firman tersebut menjadi hidupnya. Sekali lagi, itu sebabnya si istri, yang kita katakan di awal khotbah tadi, tidak mengatakan kepada suaminya ‘lu pokoknya jangan begini, tapi begitu’ —“Lu pokoknya harus cium gua tiap malam”– si istri tidak pakai kalimat input-an komen komputer seperti itu; si Istri mengatakan ‘relasi kita adalah begini, bukan begitu’, lalu apa impilkasinya, ‘itu bagian lu untuk pikirin, lu manusia, lu bukan komputer’. Saudara, jadi aplikasinya adalah ini: Saudara harus menyadari, bahwa peran Saudara salah satunya adalah mencari aplikasi. Itulah salah satu aplikasinya.
Jika Tuhan memperlihatkan relasinya denganmu bukan hanya sebagai Owner tapi juga sebagai Partner, apa artinya dalam hidupmu? Bagaimana hal ini mengubah hidupmu? Saudara mau aplikasi, inilah aplikasinya, yaitu untuk Saudara mulai berubah dari penonton, menjadi pemeran; berubah dari robot suruhan yang cuma bisa menerima perintah, menjadi manusia. Itu sebabnya dalam Reformasi, Luther mengatakan “priesthood for all believers”, bahwa semua umat Tuhan adalah imam (priest). Tidak ada lagi gambaran hanya sebagian yang imam lalu sebagian lainnya bukan imam, sehingga semuanya harus lewat imam tersebut. Luther mengatakan, tidak demikian, Pengantara cuma satu, Yesus Kristus; maka semua dari kita sekarang adalah lewat Yesus Kristus kepada Allah, bukan lewat manusia-manusia seperti imam/pendeta. Itu sebabnya Luther juga menyuruh semua jemaat bernyanyi. Waktu Saudara bernyanyi, Saudara menggunakan seluruh keberadaanmu. Saudara musti menghitung temponya, ketukannya –meski mungkin terjadi secara bawah sadar. Saudara pakai rasiomu, waktu bernyanyi. Saudara pakai emosimu, waktu bernyanyi. Saudara ada kehendak, waktu bernyanyi. Saudara pakai tubuhmu, waktu bernyanyi. Saudara pakai jiwamu, waktu bernyanyi. Dalam arti tertentu, keterlibatan Saudara dalam nyanyian pujian, adalah lebih, dibandingkan waktu mendengarkan khotbah. Dan, kenapa hal ini kita lakukan dalam ibadah? Karena ini men-signifikasikan bahwa tidak ada di antara jemaat yang dianggap kelas dua, yang sekunder, yang tidak ambil bagian. Di tempat ini, semua –Saudara dan saya– adalah pelayan-pelayan Tuhan. Itu sebabnya buang istilah ‘hamba Tuhan’, karena di dalam Gereja tidak ada jenis orang selain hamba Tuhan.
Seringkali saya menemukan orang di Gereja yang tipenya ‘tolong saya, saya helpless’ –karena memang Injil bicara seperti itu, kita helpless, kita menerima keselamatan yang hanya atas dasar anugerah; dan ini tidak salah. Tapi Injil bukan hanya itu. Itu baru separuh ceritanya; cerita utuhnya adalah sebagaimana kita temukan dalam cerita Gideon. Memang Gideon lemah, memang Gideoan tidak ada apa-apanya, tiga ratus orang tidak bisa berbuat apa-apa melawan musuh yang tidak terhitung banyaknya. Tapi lihat, berikutnya adalah: melalui kelemahan Tuhan mendatangkan kebesaran; melalui yang kecil, Tuhan mendatangkan kemenangan. Itulah teologi salib.
Teologi salib tidak hanya mengenai salib; yang namanya teologi salib, bukan bicara mengenai salib tok. Teologi salib sebenarnya sedang bicara mengenai kemuliaan –yang datang melalui salib. Teologi salib sedang bicara mengenai keagungan –yang datang melalui kehinaan. Dua-duanya sudah termasuk dalam teologi salib. Di dunia ini seperti ada 2 kutub; yang satu mengatakan, “Lu harus strong, harus great, baru lu bisa make a difference, baru lu bisa berdampak” –dan ini jelas bukan Injil Alkitab. Tapi jangan salah, Injil Alkitab juga bukan mengatakan, “Kita lemah, kita ‘gak bisa ngapa-ngapain, terima saja sampai mati”. Orang Kristen bukan salah satu dari dua ekstrim ini. Orang Kristen akan mengatakan: “Ada kuasa, ada kekuatan, tapi ini kuasa yang modelnya terbalik, upside down”. Allah Saudara adalah Allah yang berkuasa, dan kuasa itu terlihat jelas, tidak ada yang bisa mengatakan ‘ini kuasaku, itu kuasa Dia’, tetapi selalu harus mengatakan semua itu kuasa Tuhan.
Kuasa Tuhan jelas sekali, tapi kuasa Tuhan terbalik dengan kuasa dunia –namun juga, kuasa Tuhan ini benar-benar kuasa, hanya saja berbeda. Kuasa untuk share, itu adalah kuasa. Kuasa, bukan cuma untuk mengambil. Kuasa, juga bukan cuma untuk mematikan. Kuasa untuk menghidupkan, juga adalah kuasa. Kita seringkali hanya peka dengan ‘kuasa’ ketika kuasa tersebut datang dalam bentuk buldozer –tabrak sini, ratakan situ, ada halangan dihancurkan, destruktif, unstoppable— dan kita kepingin kuasa kayak begitu. Tuhan Yesus mengatakan, Kerajaan Allah itu seperti benih, yang kecil, rentan, gampang dihancurkan, tidak ada apa-apanya, namun ditanam; dan waktu ditanam, benihnya harus mati untuk bisa menghasilkan pohon, dan pohonnya begitu besar, daunnya lebat, burung-burung bisa bersarang di atasnya. Dan sesungguhnya tidak berhenti di situ, karena satu pohon akan melahirkan pohon yang lain, lalu lama-kelamaan menjadi hutan lebat yang menyokong kehidupan banyak makhluk hidup. Itulah kuasa, kuasa yang riil. Tapi kita tidak mengejar power yang kayak begini, kita bahkan tidak melihat ini sebagai power karena power yang kayak begini selalu melibatkan weakness, kelemahan, humility, kecil.Namun Saudara lihat, karya Kristus yang terbesar, yang paling berdampak, yang mengubah dan menjungkirbalikkan dunia, itu justru hadir melalui salib.
Saudara, inilah yang bisa kita pelajari dari kisah Gideon. Kisah Gideon bukan cuma kisah di mana Allah bekerja, dan manusia mati; yang Saudara lihat, Allah memberikan suatu relasi yang baru dengan Saudara dan saya, Allah itu bekerja lewat kelemahanmu. Di dalam Kerajaan Surga bukan tidak ada kemuliaan; tapi kemuliaan macam apa, itu yang Saudara perlu tanya. Di dalam Kerajaan Surga bukan tidak ada kekuatan; tapi kekuatan dari mana, itu yang Saudara perlu tanya. Di dalam Kerajaan Tuhan, Saudara dan saya bukan tidak ada peran; tapi peran yang seperti apa, itu yang Saudara perlu tanya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading