Introduksi dulu; dua tokoh yang mungkin paling kita ingat dalam kitab Hakim-hakim bukanlah Otniel, Ehud, dan lain-lainnya, atau bahkan Debora, tapi Simson dan Gideon –dua tokoh yang paling penting dan paling populer di antara semua hakim. Gideon boleh dibilang menang sedikit di atas Simson karena strukturnya sendiri sinkron dengan hal ini, cerita Simson dan cerita Gideon adalah dua cerita hakim yang paling panjang di seluruh kitab ini; cerita Simson ada 4 pasal, sementara cerita Gideon 3 pasal, namun jumlah ayat-ayat cerita Simson ada 96 ayat, sementara Gideon 100 ayat. Jadi tidak heran cerita dua tokoh ini yang paling familier di antara seluruh hakim-hakim yang lain.
Kita tidak tahu secara pasti apakah angka 96 dan 100 itu betul-betul disengaja penulisnya atau tidak, tapi ini menjelaskan alasannya dua tokoh ini paling populer di antara para hakim. Dalam hal ini tokoh Gideon lebih menang popularitas dibandingkan Simson, mungkin karena karakternya Gideon. Orang senang dengan khotbah-khotbah yang bersifat studi karakter. Khotbah-khotbah yang mungkin gampang dicerna dan bisa bikin kita kepingin dengar, biasanya misalnya seperti ‘dua belas tokoh wanita bijak dalam Alkitab’. Khotbah seperti ini relatif lebih menarik. Saudara tentunya lebih tertarik mengamati seorang manusia dengan karakternya yang unik, dibandingkan belajar rumus Matematika. Para pengkhotbah pun cukup senang dengan khotbah-khotbah seperti ini karena ini adalah khotbah yang relatif mudah dibikin, kita tinggal memberikan kepada Saudara apa yang menjadi keunikan karakternya, apa yang dia lakukan, apa yang dia tidak lakukan, dsb.
Lagipula, Gideon ini adalah tokoh yang kita bisa merasa karakternya cocok dengan diri kita, nyambung dengan kita, karena dia mengalami hal-hal yang seperti kita alami juga, ada situasi-situasi dalam hidupnya yang paralel dengan yang kita alami. Kalau dalam ilmu story telling, Gideon adalah tokoh every man, tokoh yang banyak orang bisa melihat dirinya dalam tokoh tersebut. Hal ini khususnya juga sangat cocok dengan kitab Hakim-hakim, karena sejauh ini hakim-hakim lain yang sudah kita pelajari sebelum Gideon sepertinya tidak terlalu cocok untuk dikatakan sebagai tokoh every man, tidak terlalu cocok dijadikan fokus studi karakter juga. Otniel, Ehud, Samgar, bukanlah every man; kita tidak melihat diri kita pada diri mereka. Debora dan Yael juga bukan every woman; kita tidak melihat pengalaman diri kita paralel dengan yang mereka alami. Waktu kita membaca kisah-kisah mereka, kita tidak lalu cenderung merasa ‘oh, saya musti jadi seperti Samgar nih’. Namun tidak demikian dengan Gideon, karena waktu membaca cerita Gideon, kita semua langsung bertanya-tanya, apakah kita juga perlu mencari tanda –seperti Gideon. Inilah bedanya. Membaca tokoh-tokoh hakim sebelumnya, itu cuma lewat tok (seperti Samgar), atau kita hanya membaca tindakan-tindakan mereka secara sekilas, apa yang mereka lakukan. Tetapi dalam hal Gideon, bukan cuma ceritanya yang paling panjang, di situ Saudara juga mendapat jendela untuk melihat perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya, keraguan-keraguannya. Dalam story telling, tokoh seperti ini biasa disebut tokoh yang fully flesh out, ada daging dan darahnya. Bukan cuma diperlihatkan dia ngapain, tapi juga diperlihatkan apa yang berkecamuk dalam dirinya. Itu sebabnya kita cenderung gampang nyambung dengan tokoh-tokoh seperti ini, kita cenderung ingin mencari paralel antara diri kita dengan dia, kita ingin membaca cerita hidup kita di dalam cerita hidupnya. Dalam story telling ada yang namanya audience surrogate, yaitu tokoh di dalam suatu cerita, yang kita sebagai audience diharapkan untuk membaca cerita diri kita di dalamnya, mengidentifikasi diri kita di dalamnya; dan sepertinya Gideon adalah contoh unggul untuk hal ini, audience surrogate par excellence. Tapi, saya justru ingin memulai kisah Gideon ini dengan mengatakan sebaliknya.
Kecenderungan Saudara dan saya untuk membaca diri kita di dalam Gideon, itu tidak sama sekali salah, tapi kita perlu menyadari bahwa ini mungkin bukan tujuan yang tertinggi dengan penghadiran Gideon dalam kisah ini. Sebenarnya, yang sedang dilakukan kitab Hakim-hakim adalah menyajikan kepada kita bahwa paralel yang terutama antara hidup kita dengan kisah-kisah di sini bukanlah mengenai diri kita dengan para hakim tersebut beserta segala sepak terjang mereka masing-masing; yang jadi paralel terutama dan paling dimaksudkan di dalam kisah-kisah ini adalah agar kita membaca diri kita di dalam sikap dan tindakan umat Israel secara keseluruhan. Situasi umat Israel-lah yang kita perlu baca sebagai situasi kita. Relasi umat Israel dengan Tuhan-lah yang kita perlu baca sebagai keadaan kita. Merekalah –umat Israel– itu yang sebenarnya audience surrogate-nya kita. Tahu dari mana? Yaitu karena Gideon baru muncul di ayat 11, sementara 10 ayat sebelumnya adalah urusan antara Allah dengan umat Israel secara keseluruhan –dan ini tidak boleh dilewatkan. Ini adalah hal yang sangat penting untuk kita baca dan renungkan. Kita tidak boleh buru-buru lompat masuk ke cerita tentang Gideon-nya, kita tidak boleh buru-buru lompat masuk ke bagian Alkitab yang menarik bagi kita, seberapa pun menariknya, tapi kita harus menggali apa yang Alkitab sediakan dari awal. Kalau anak Saudara makan, Saudara tentu akan beritahu dia jangan cuma makan daging babi yang harum dan lezat itu, tapi makan juga sayur-sayur hijaunya. Itulah yang akan kita lakukan hari ini.
Sekali lagi, Gideon memang karakter yang menarik; dan waktu mempelajari kisah Gideon kita juga akan belajar beberapa hal yang Gideon memang pelajari, kita akan melihat paralel-paralel antara situasi kita dengan Gideon. Itu semua tidak masalah, tapi jangan sampai lupa adanya latar belakang yang konstan, yang bukan cuma muncul dalam awal kisah Gideon tapi sejak awal kitab ini, yaitu bahwa fokusnya relasi antara Allah dengan umat-Nya, apa yang Allah lakukan terhadap umat-Nya, bukan cuma dengan pemimpin-pemimpin atau hakim-hakim dari umat tersebut. Bahkan yang Tuhan lakukan dengan para pemimpin tersebut, Saudara harus melihatnya sebagai suatu jalan bagi relasi-Nya kepada umat-Nya. Umat-Nya ini, dalam relasinya dengan Dia, adalah yang terutama; mereka menderita kesulitan, mereka perlu penyelamatan, maka Tuhan membangkitkan para hakim. Para hakim adalah sekunder, mereka baru muncul karena kebutuhan umat yang besar ini; dengan demikian, umat inilah yang sebenarnya lebih penting.
Kita perlu memakai waktu bukan cuma untuk mempelajari para hakim yang keren-keren dan spektakuler maupun yang jelek-jelek itu, baik pencapaiannya maupun kerusakannya, tapi kita juga perlu fokus mengenai Allah dan umat-Nya; apa yang jadi situasi umat tersebut, bagaimana mereka terhimpit di antara kuasa bangsa-bangsa dunia dan kuasa Allah yang menjadi Hakim Agung mereka, bagaimana mereka berurusan dengan situasinya di mana tidak ada tokoh besar seperti Musa ataupun Daud. Pelajaran-pelajaran untuk Gideon pun nanti Saudara akan lihat bahwa itu sebenarnya pelajaran yang perlu dipelajari umat Israel secara keseluruhan. Inilah alasannya kita akan fokus terlebih dahulu pada 11 ayat yang pertama, sebelum dalam khotbah-khotbah berikutnya masuk kepada si hakim yang Tuhan kirim bagi mereka. Hari ini kita akan fokus pada situasi Israel, apa yang mereka hadapi, dan apa yang bisa kita tarik dari bagian ini. Demikian introduksinya.
Hakim-hakim 5:31b-6:1, ‘Lalu amanlah negeri itu empat puluh tahun lamanya. Tetapi orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN; sebab itu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan orang Midian, tujuh tahun lamanya’. Bagian ini dimulai dengan satu formulasi yang kita sudah terbiasa; tiap kali sebuah siklus hakim berakhir dengan kemenangan, kita bergidik, karena kita tahu apa yang akan terjadi berikutnya –untuk kemudian mulai satu siklus yang baru lagi. Umat Tuhan kembali melupakan Allah mereka, dan berbalik menyembah berhala-berhala, demikianlah pengertian yang selalu tersirat di balik kalimat ‘mereka melakukan apa yang jahat di mata TUHAN’. Namun seperti biasanya, selain kita bergidik dan memutar bola mata kita, “aduh, not again … itu-itu lagi”, kita tahu juga bahwa pola seperti ini diberikan supaya kita dengan mudah menyadari bukan cuma hal apa yang lagi-lagi terjadi, tapi juga hal apa yang baru dan berbeda, dalam setiap siklusnya.
Pertama, kita melihat musuh yang baru. Orang Israel diserahkan Tuhan kepada musuh yang baru, kali ini kepada tangan orang Midian; dan dalam hal ini ada kebaruan lain, yaitu penindasan kali ini adalah yang paling parah sejauh ini (ayat 2-6), karena baru kali ini Israel sampai harus meninggalkan rumah mereka dan membuat tempat-tempat perlindungan di pegunungan yang lebih sulit diserang. Kita melihat di ayat 5, para penindas yang baru ini menggunakan alat tempur baru yakni unta-unta; dan unta tentunya sulit naik ke gunung-gunung atau masuk ke gua-gua, maka orang-orang Israel mencari perlindungan di sana. Sampai seperti inilah keadaannya, yang kita tidak pernah lihat sebelumnya. Penindas-penindas sebelumnya tertarik untuk mendapatkan kekuasaan atas Israel, tertarik untuk mendapatkan pengaruh politik atas Israel, tapi penindas kali ini lain. Orang Midian tidak tertarik dengan semua itu, mereka hanya tertarik satu hal: eksploitasi ekonomi. Mereka ini orang nomad, maka mereka datang maju dengan ternaknya dan kemahnya, mereka menetap di situ, mengambil dan merampok hasil tanah dan ternak, lalu segala sesuatu yang tidak bisa mereka bawa akan mereka hancurkan atau bunuh. Itulah yang terjadi. Ini penindas tipe baru. Dengan demikian konklusinya dikatakan di ayat 6, Israel menjadi sangat melarat dan mereka berseru kepada Tuhan karena kemelaratan ini.
Di satu sisi, siklusnya masih mengikuti pola standar, tapi juga ada yang baru, yaitu penindas kali ini lebih kejam, maka sekarang kita mengharapkan Tuhan akan melanjutkan siklus ini seperti biasanya, membangkitkan seorang penyelamat, seorang hakim; namun di sini pun kita menemukan ada sesuatu yang baru lagi. Ayat 7-10: Ketika orang Israel berseru kepada TUHAN karena orang Midian itu, maka TUHAN mengutus seorang nabi kepada orang Israel, yang berkata kepada mereka: “Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Akulah yang menuntun kamu keluar dari Mesir dan yang membawa kamu keluar dari rumah perbudakan. Aku melepaskan kamu dari tangan orang Mesir dan dari tangan semua orang yang menindas kamu, bahkan Aku menghalau mereka dari depanmu dan negeri mereka Ku-berikan kepadamu. Dan Aku telah berfirman kepadamu: Akulah TUHAN, Allahmu, maka janganlah kamu menyembah allah orang Amori, yang negerinya kamu diami ini. Tetapi kamu tidak mendengarkan firman-Ku itu.” Apa yang baru di sini yang Saudara bisa lihat dengan jelas, karena Saudara sudah melihat pola yang berulang kali muncul?
Yang baru adalah: ketika orang Israel berseru kepada Tuhan, respons Tuhan yang pertama bukanlah mengirimkan penyelamat atau keselamatan, tapi mengirim seorang nabi kepada mereka. Dengan kata lain, ketika orang Israel berseru kepada Tuhan, Allah bukan mengirimkan mereka solusi, Allah memberikan mereka khotbah. Adanya seorang nabi memang bukan hal yang baru-baru amat, kita tahu sebelumnya ada Debora yang disebut nabiah, tapi hal yang baru di sini adalah tentang apa yang dilakukan si nabi ini. Si nabi tidak memberikan suatu message yang mungkin kita harapkan; kita mungkin pikir ketika orang Israel berseru kepada Tuhan, maka mirip seperti pola-pola sebelumnya, si nabi datang dan mengatakan seperti ini: “Tuhan telah melihat pemberontakanmu, itu sebabnya Dia menyerahkanmu ke tangan musuh; sekarang Dia telah mendengar teriakanmu dan seruanmu, maka Ia akan membangkitkan bagimu seorang penyelamat”. Inilah message yang kita sudah lihat sejak sebelum-sebelumnya, tapi ini ternyata bukan message si nabi tersebut. Apa message-nya? Yang Tuhan katakan melalui nabinya adalah kira-kira seperti ini: “Aku memimpinmu, Aku melepaskanmu, Aku membawamu keluar dari Mesir, Aku memberikanmu tanah ini. Satu hal yang Kuminta darimu adalah engkau membuang ilah-ilah negeri ini; dan kamu tidak mendengarkan firman-Ku ini” (ayat 8-10). Lalu? Tidak ada lanjutannya, hanya itu saja. That’s it. Tidak ada ‘jadi, Aku tidak akan memberikanmu kesempatan yang lain’; tidak ada juga ‘jadi, sekali ini yang terakhir, ya’. Tidak ada ‘jadi’-nya. Message-nya hanyalah mengenai apa yang Allah telah lakukan, dan apa yang Israel gagal lakukan. Saudara, inilah tempatnya untuk kita refleksi, maukah kita dengar khotbah yang seperti ini, khotbah yang tidak ada ‘jadi’-nya, khotbah yang cuma bicara mengenai daftar apa yang Allah telah lakukan, dan apa yang kita gagal lakukan. Saudara merasa cukup atau tidak dengan khotbah yang seperti ini? Tapi inilah khotbah dari seorang nabi sejati yang datang dari Allah.
Hal yang kita dapatkan di sini, yang mungkin baru dan mungkin juga mengecewakan, adalah bahwa ternyata message-nya bukan solusi. Betapa sering kita pikir sebuah khotbah harus memberikan solusi dalam bentuk aplikasi; dalam hal ini Saudara perlu sedikit rendah hati dan kembali ke Alkitab. Kadang-kadang, salah satu bahaya dalam menjadi orang Kristen adalah kita seperti orang sok tahu, seperti orang yang datang ke dokter dengan diagnosa-diagnosa kita sendiri, dengan obat-obatan kita sendiri. Berapa banyak orang datang ke dokter dengan sikap seperti itu, atau datang ke montir dengan analisa-analisa kita sendiri, atau datang kepada pendidik dengan ide-ide pendidikan kita sendiri?? “Anak saya harusnya tidak dibegitukan, Pak; anak saya harusnya dibeginikan”, dsb. Begitu juga, sering kita datang kepada pengkhotbah-pengkhotbah dan mengkhotbahi mereka mengenai khotbah seperti apa yang kita rasa ideal. Apakah khotbah yang ideal menurut Alkitab harus ada solusi praktisnya? Tidak tentu; dan Saudara lihat hal itu jelas sekali di bagian ini. Terkadang yang dibutuhkan dari seorang pengkhotbah memang bukan suatu solusi melainkan suatu penjelasan; dan ini cukup buat kita, atau tidak? Khotbah yang Saudara lihat ini, adalah sebuah penjelasan.
Tentu saja kita bisa mengerti dan simpati dengan keinginan untuk mendapatkan khotbah yang tidak cuma sekadar mengawang-awang di alam teori tok; kita ingin Kekristenan yang bisa turun sampai ke hati, kita tidak mau Kekeristenan yang cuma ada di otak tok. Tetapi bagian seperti yang kita baca hari ini penting ada di dalam Alkitab untuk kita renungkan bersama-sama, untuk kita menyadari jangan sampai kita akhirnya jatuh ke ekstrim sebelahnya lagi, ketika sesuatu yang berharga akan hilang, jika umat Tuhan mulai tidak senang dengan istilah ‘pengertian’, dan merasa itu tidak cukup. Kita menginginkan Kekristenan yang turun sampai ke hati, itu benar; tapi Saudara lihat nabi yang Tuhan utus di pasal 6 ini, adalah diutus untuk membuat Isarel mengerti apa yang sedang terjadi. That’s it, tidak lebih daripada itu. Lalu ujungnya siapa yang menyelamatkan? Ada memang, tapi bukan dia; itu bukan tugasnya dia. Dan, caranya sang nabi menjelaskan apa yang sedang terjadi, bukanlah dengan memproklamirkan apa yang Israel harus lakukan; dia datang menjelaskan apa yang sedang terjadi dengan memproklamirkan apa yang Tuhan telah lakukan bagi mereka, dan apa yang mereka gagal lakukan bagi Tuhan. Itu saja. Hal ini merupakan tantangan bukan cuma bagi Saudara sebagai jemaat, tapi bagi para pengkhotbah juga; kami juga bisa merasa tidak cukup kalau kami berkhotbah hanya menjelaskan apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dan tidak harus setiap kali memberikan langkah-langkah praktis untuk jemaat selanjutnya harus ngapain.
Hal ini bahkan lebih buruk lagi kalau Saudara mengerti situasi yang sedang dihadapi orang Israel. Pertama, mereka sedang ditindas; kedua, mereka ditindas dalam level yang tidak pernah mereka alami sebelumnya, ditindas sampai harus melarikan diri ke pegunungan, ditindas sampai melarat habis-habisan. Dan, kalau sedikit mengintip ke bagian berikutnya, di ayat 11 waktu Gideon dipanggil, dia sedang mengirik gandum di tempat pemerasan anggur (winepress). Pada zaman dulu ada yang namanya winepress, suatu lubang yang digali di tanah, dan dari situ ada saluran ke lubang yang lebih dalam lagi; di lubang yang atas, semua anggur ditaruh dan diinjak-injak lalu cairannya mengalir ke lubang yang lebih dalam tadi. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa winepress adalah tempat yang tersembunyi, di bawah tanah, tidak kelihatan; sedangkan kalau orang mengirik gandum (memisahkan bulir gandum dari berkas-berkasnya), itu justru dilakukan di tempat yang tinggi –dan jadi kelihatan semua orang– karena perlu angin untuk menerbangkan berkas-berkasnya sementara bulir gandumnya jatuh ke bawah. Tetapi Gideon mengirik gandum di tempat winepress, di lubang yang pada dasarnya di bawah tanah, dan dia harus melakukan seperti ini karena ancaman dari orang-orang Midian, dia harus sembunyi-sembunyi karena kalau sampai ketahuan ada bahan makanan, orang Midian akan mengambilnya. Itulah keadaan yang sedang mereka hadapi; dan dalam masa seperti ini, mereka berteriak kepada Tuhan lalu Tuhan memberikan kepada mereka hanya sebuah khotbah yang tidak ada solusinya. Saudara, kalau kita mengalami situasi seperti itu, jangankan khotbah yang tidak ada solusinya, mungkin khotbah yang ada solusinya pun kita tolak, “Yang gua perlu bukan khotbah, masa bodoh khotbah lu bagus kayak apa kek, masa bodoh khotbah lu bisa kasih solusi kek, gua ‘gak peduli, yang gua perlu roti! Itu yang gua butuh”. Ini orang yang sudah sengsara, malah dikhotbahin; tapi itulah yang kita lihat di bagian ini. Kenapa ini satu hal yang penting? Karena sebelum orang Israel bisa sungguh menghargai keselamatan yang akan datang, mereka perlu mengerti kenapa mereka sampai butuh diselamatkan. Bagian ini tidak bisa hilang; pengertian adalah sangat sentral dalam kehidupan Kristen. Kita tidak bisa menghindari hal ini. Nabi tersebut datang dan menolong mereka untuk mengerti, apa yang menyebabkan mereka sampai masuk ke situasi seperti itu, ke mana mereka telah diselewengkan oleh dosa dan pemberhalaan mereka. Ini tujuan khotbahnya.
Kalau tujuan khotbahnya adalah menjelaskan situasi yang sedang terjadi, meyakinkan Israel akan dosa-dosa mereka yang jadi biang kerok semua kejadian ini supaya mereka bertobat, maka itu mengindikasikan bahwa seruan mereka kepada Tuhan di ayat 6-7 bukanlah tanda pertobatan yang sejati. Sejarah mereka sejauh ini memang sudah memberikan bukti ke arah sana. Siklus yang kita berkali-kali lihat adalah: mereka berbalik jahat setelah kematian para hakim-hakim. Ini merupakan bukti kuat bahwa seruan mereka kepada Tuhan, bahwa mereka berdukacita dan menyesal, itu hanyalah dukacita yang sebatas kulit luar dan bukan dari dalam hati. Hal seperti itu sudah ada indikasi sejak dulu. Sekarang, ketika di bagian ini ada sesuatu yang baru, yaitu Tuhan tidak langsung memberikan keselamatan melainkan pertama-tama memberikan khotbah –dan khotbahnya tidak memberi solusi, khotbahnya hanya menjelaskan, khotbahnya berusaha meyakinkan mereka akan dosanya, khotbahnya berusaha membuat mereka bergerak ke arah pertobatan– maka ini merupakan bukti yang lebih kuat lagi untuk menunjukkan bahwa seruan orang Israel bukanlah tanda dari pertobatan yang sejati. Jadi, inilah tempatnya bahwa ada khotbah yang hanya memberi penjelasan dan tidak memberikan solusi, inilah sebabnya Allah mengirimkan nabi untuk meyakinkan mereka akan dosa mereka sebelum Allah mengirimkan hakim untuk menyelamatkan mereka, yaitu karena umat Tuhan di sini menyesal tapi tidak sungguh-sungguh bertobat. Dan, Alkitab memandang penting perbedaan antara dua hal ini.
Dikatakan dalam 2 Korintus 7:10, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah (godly sorrow) menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini (worldly sorrow) menghasilkan kematian.” Di ayat tersebut jelas sekali ada godly sorrow, yang membawa keselamatan, yang tidak akan disesalkan; ada worldly sorrow yang menghasilkan kematian. Saudara perhatikan, dua-duanya adalah dukacita (sorrow) –dan sama seperti sukacita adalah lebih dari sekadar kebahagiaan, demikian juga dukacita adalah lebih daripada sekadar kesedihan. Dua-duanya ada dukacita, dua-duanya ada karakter sorrow yang mendalam, tapi ternyata dua hal ini tidak bisa lebih berbeda lagi; apa bedanya?
Pertama, yang berbeda adalah: dukacita dunia (worldly sorrow) atau penyesalan tok, itu tidak membuahkan perubahan yang sejati; sementara dukacita yang ilahi, pertobatan yang sejati, ada buahnya. Kenapa? Karena yang namanya penyesalan tok, itu selalu adalah dukacita karena konsekuensi, karena akibat dari dosa, dan bukan karena dosanya sendiri. Penyesalan tok, itu semuanya urusan ‘gara-gara dosa gua, gua jadi kayak begini’, ‘kalau gua tahu bakal kayak begini …’, ‘wah celaka, ternyata …’ –itulah penyesalan. Penyesalan, secara alamiah baru akan muncul ketika ada konsekuensi; Saudara tidak menyesal, sebelum ada konsekuensinya/akibatnya. Tidak ada konsekuensi, maka tidak ada penyesalan.
Saya baca dalam salah satu buku tentang sepasang suami istri yang datang konseling kepada seorang pendeta. Mereka sudah sampai tahap di mana si istri mengancam ‘kalau kamu kayak begini terus, saya akan pergi dari rumah ini, saya tidak mau lagi tinggal sama kamu’. Lalu si istri bilang ke pedetanya, “Sebenarnya saya bukan mau benar-benar pergi, saya masih mencintai dia, tapi kalau saya tidak mengancam pergi, dia tidak berlaku seperti seorang suami, dia tidak perhatian pada saya, dia tidak mempedulikan orang lain, dia cuma mengejar apa yang dia mau, dia tidak menjadi seorang kepala bagi keluarga, dsb.; kalau saya ancam mau pergi, baru dia jadi suami.” Pendetanya lalu mengatakan, “Sorry ya, Ibu, tapi kamu harus tahu satu hal, waktu kamu mengancam dia dan dia seperti berubah, itu pun bukan berarti dia benar-benar menjadi suami, karena itu cuma penyesalan.” Saudara tentu mengerti maksudnya, seorang suami yang tingkah lakunya berubah cuma ketika ada konsekuensi, itu bukanlah bertobat, itu hanya menyesal. Dia bisa saja benar-benar berubah, tapi begitu ancamannya hilang –begitu konsekuensinya hilang– kelakuannya balik lagi. Itulah penyesalan; bukan benar-benar menjadi seorang suami, tapi cuma pertobatan kulit luar. Penyesalan tok, tidak pernah menyesali dosa itu sendiri, tidak pernah menyesali esensi dari dosa bahwa dosa ini mendukakan pribadi yang sebelah sana, bahwa dosa ini melukai hati yang sebelah sana, bahwa dosa ini menginjak relasinya dengan orang tersebut. Hal itu tidak pernah ada dalam pikiran si suami; pikiran si suami cuma ‘apa efeknya ini kepada saya’. Itu saja. Fokus penyesalan cuma di ‘saya’, horisontal tok, itu sebabnya disebut worldly sorrow, dukacita yang duniawi, karena urusannya cuma di dunia. Sedangkan pertobatan yang sejati urusannya vertikal; pertobatan sejati melihat bagaimana dosa ini mempengaruhi relasi ‘saya dengan Tuhan’. Itu sebabnya, ketika seseorang cuma worldly sorrow, begitu konsekuensinya hilang/selesai maka secara natural kembalilahperilaku dosanya. Gejalanya hilang, tapi virusnya masih ada, dan suatu hari muncul lagi.
Yang kedua, bedanya antara dukacita duniawi dengan dukacita yang godly: dukacita duniawi bukan cuma tidak menghasilkan buah, tapi juga menghasilkan rasa menyesal rasa bersalah yang tidak habis-habis; sementara pertobatan yang sejati bukan saja menghasilkan buah pertobatan, tapi juga menyelesaikan rasa bersalah. Lucu, ya. Mengapa demikian? Karena pertobatan yang sejati berfokus pada yang vertikal; bahwa dosa kita membuat relasi kita dengan Tuhan rusak, dosa kita mendukakan hati Tuhan. Itu fokusnya. Bukan soal bahwa dosa ini bikin saya jadi rugi. Lalu ketika pertobatan ini berlanjut dengan kesadaran bahwa Tuhan telah mengampuni kita, dan kita tidak sungguhan kehilangan Dia, maka kita akan mengatakan, “Saya ini harusnya dihukum lebih parah, saya harusnya tidak mendapat pengampunan ini, namun ternyata penghukuman yang sesungguhnya itu tidak jatuh kepada saya, tapi jatuh kepada Anak Allah”. Saudara, pertobatan sejati seperti ini tidak menghasilkan kebencian akan diri sendiri.
Ketika seseorang menyesal dan seperti bertobat, tapi lalu dia tidak bisa dihibur, itu berarti dia telah menjadikan sesuatu selain Allah sebagai fokus utamanya. Hal yang mereka sesali adalah relasi mereka dengan berhala ini; dan yang namanya kehilangan berhala, itu tidak bisa disembuhkan –kecuali dengan membuang berhala tersebut. Contoh praktisnya begini: bayangkan orang yang membuat kesalahan, dia tertipu urusan uang; kalau fokusnya adalah uang itu –“aduh, celaka! gua salah, gua nyesel, hilang deh semua uang itu”– apakah dia bisa sembuh dari rasa penyesalan ini, dari rasa bersalah ini? Dengan cara apa dia sembuh? Yaitu dengan mengatakan, “Gua harus cari uang lagi, kalau bisa lebih banyak, untuk menggantikan yang telah hilang”. Itulah logikanya. Tapi ini bukan sembuh, ini artinya penyakitnya tambah parah. Saudara perhatikan, yang menggerakkan dia untuk cari uang lebih banyak lagi adalah perasaan gagal itu, perasaan bersalah itu, penyesalan yang tidak habis-habis itu. Dan, ini bukan cuma teori, ini real life.
Sebaliknya, seseorang yang mengatakan, “saya salah, gagal ini investasi, kacau, hancur semuanya”, lalu dia menyadari satu luka yang lebih hakiki, satu problem yang lebih esensial, yaitu ‘celaka, ternyata problem yang paling parah bukanlah gua kehilangan uang, uang sih bisa dicari, tapi aku telah menggantikan posisi Allah dengan uang’. Dia menyadari ini, dia bertobat dari dosa ini, dia menyadari pengampunan yang Tuhan berikan kepada dirinya, dan next time dia tetap boleh saja mencari uang, tapi fokusnya bukan lagi di situ. Waktu dia mencari uang, dia mulai sedikit demi sedikit tidak dikontrol oleh uang, karena lewat kejadian tadi, ketika dia merasa semua hilang dan hancur, dia menyadari ‘kenapa saya merasa hancur, jangan-jangan saya menjadikan uang sebagai allah saya, celaka! saya telah kehilangan relasi dengan Engkau, Tuhan, aku menggantikan-Mu dengan berhala yang bodoh ini, ampuni aku, Tuhan’ –dan Tuhan mengampuni dia. Setelah itu, waktu dia mencari uang, dia tidak dikontrol lagi oleh uang, dia tahu uang bukan segala-galanya. Ketika akhirnya dia mendapat uang yang bisa menggantikan kehilangannya, itu pun dia akan katakan, “Ini dari Tuhan, saya harusnya tidak berhak dapat apa-apa lagi”. Lebih dari pada itu, mungkin sekali dia bisa berubah menjadi seseorang yang bukan cuma bisa mencari uang tok, tapi juga membagi uangnya kepada orang lain, karena dia tahu uang ini bukan segala-galanya.
Saudara lihat, ada bedanya antara godly sorrow dengan wordly sorrow, meskipun dua-duanya sorrow. Penyesalan tok, itu mengarah ke dalam, dan akhirnya tidak berbuah apa-apa, malah menghasilkan penyesalan yang tidak habis-habis. Itu sebabnya di 2 Korintus 7:10 mengatakan ‘pertobatan yang sejati itu membawa keselamatan dan tidak disesalkan,’ ini kata-kata Alkitab.Pertobatan yang sejati, itu mengarah ke luar. Ini bukan berarti pertobatan sejati tidak ada penyesalannya, pasti ada. Salah satu tandanya orang mengerti Injil dengan sejati adalah dia menyesal akan dosanya, itu jelas; tapi Saudara perhatikan, orang yang mengerti Injil dengan sejati, dalam pertobatan hidupnya salah satu tandanya adalah: pertobatan ini justru terjadi berkali-kali dalam hidupnya.
Kenapa bisa pertobatan terjadi berkali-kali dalam hidup orang Kristen? Karena pertobatan bukan menjadi sesuatu yang disesalkan, bukan menjadi sesuatu yang kita benci. Saudara perhatikan, bagi orang-orang yang “religius”, yang merasa harus benar, dsb., pertobatan itu seperti berhenti bernafas. “Aduh, celaka, salah ini! ‘gak boleh kayak begini lagi, lain kali gua musti bikin lebih beres! ‘gak boleh!” Saudara lihat, pertobatan kayak begini sakit banget; Saudara harus mengakui kejelekan Saudara, seakan-akan harus tahan nafas, ini sesuatu yang menyiksa, sesuatu yang tidak seharusnya, sesuatu yang sulit sekali –maka Saudara tidak mau sering-sering. Itu orang yang religius (religius dalam pengertian negatif), tapi bagi seorang Kristen yang mengerti Injil sejati, pertobatan bukan berarti berhenti nafas, pertobatan justru mulainya suatu nafas yang baru. Waktu Saudara bertobat, Saudara menyadari telah melukai Siapa, dan bahwa Dia telah mengampuni Saudara, dan bahwa Saudara lepas dari kuasa dosa serta kuasa pemberhalaan yang sebelumnya itu. Saudara merasakan pertobatan ini rasanya seperti menghirup oksigen yang baru yang masuk ke dalam diri Saudara. Pertobatan itu seperti kita kembali ke akar kita dan mengatakan, “Oh, itu ternyata sebabnya saya bisa punya relasi dengan Tuhan; bukan karena diriku tapi karena diri-Nya, bukan karena janji-janjiku tapi karena janji-Nya, bukan karena apa yang telah kulakukan tapi karena apa yang telah Dia lakukan, bukan karena rekam jejakku tapi karena rekam jejak-Nya”. Kalau Saudara bertobat seperti ini, Saudara tidak masalah melakukan ini berkali-kali, karena pertobatan seperti ini adalah seperti menarik nafas. Ada penyesalannya? Ada. Tapi tidak cuma itu, penyesalannya berhenti, penyesalannya setop, penyesalannya tidak terus-menerus ada dan mendorong Saudara untuk melakukan lebih parah lagi dan lebih parah lagi. Ini real life. Orang yang bertobat sejati, dia bukan hanya bertobat secara sukacita tapi juga secara senantiasa, all life is repentance (tesis pertama Luther dari 95 tesisnya), bukan some life is repentance. Pertobatan Saudara apakah pertobatan yang Saudara lakukan sekali-sekali, dan Saudara coba hindari sebisa mungkin, atau pertobatan yang Saudara look forward untuk mendapatkan dan melakukan? Orang yang mengerti Injil sejati seperti ini, akan jadi orang-orang yang sangat terbuka menerima kritik, yang tidak takut diri mereka diperbaiki dan diperlihatkan apa yang benar, karena mereka look forward terhadap hal ini. Ini seperti menarik nafas, ‘oke, ternyata itu yang saya salah’.
Sekali lagi, penyesalan fokusnya adalah kepada urusan diri kita tok, bagaimana kita merugi, kita disakiti, hidup kita lebih hancur, hati kita patah, dst. Pertobatan fokusnya kepada Tuhan, bagaimana Dia telah didukakan, Dia diinjak-injak, kasih karunia-Nya kita remehkan, kita lupakan, dan seringkali kita selewengkan. Umat Israel itu penyembah-penyembah berhala, dan respons Tuhan kepada mereka adalah menunjukkan hal ini: mereka menyesal oleh karena apa yang mereka telah kehilangan, itu jelas; mereka kepingin dipulihkan, itu jelas; tapi mereka tidak benar-benar bertobat dari pemberhalaan mereka. Itu sebabnya reaksi yang paling tepat bagi Tuhan dalam situasi seperti ini adalah mengirimkan kepada mereka nabi-Nya, menjelaskan kepada mereka apa yang benar-benar terjadi di sini. Saudara tidak bisa maju bergerak dari penyesalan kepada pertobatan yang riil, tanpa pengertian ini. Itu sebabnya isi message-nya adalah: Dia telah begini, begini, Dia telah begitu, begitu, dan kamu gagal meresponi satu hal ini saja kepada Dia, yang sudah begitu baik kepadamu. Itulah isinya; tidak ada ‘jadi …’-nya, karena memang tidak perlu. Kita membutuhkan pengertian ini, kalau kita benar-benar mau punya pertobatan yang sejati. Atau, jangan-jangan selama ini kita kepingin solusi praktis karena kita selama ini cuma berfokus pada penyesalan yang duniawi tok. ‘Aduh, saya gagal; aduh, saya salah; Tuhan tolong beritahu saya bagaimana keluar dari masalah ini’ –itu saja, tapi kita tidak pernah fokus kepada ‘bagaimana selama ini saya telah menyakiti hatimu, Tuhan’; dan mungkin itu sebabnya pertobatan kita tidak riil.
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Banyak. Tapi terutama kita jadi tahu untuk mencek diri kita: apa sesungguhnya yang jadi inti dukacita kita? Konsekuensi dosanya tok, atau dosa itu sendiri? Kehilangan manfaat-manfaat dari berhala-berhala yang kita ratapikah? atau kehilangan keintiman pribadi dengan Tuhan? Kalau Saudara benar-benar merasa kehilangan keintiman pribadi dengan Tuhan, maka yang akan kita lakukan adalah menyimak firman Tuhan, bukan cari solusi. Umat Tuhan di bagian ini berseru mengharapkan mujizat keselamatan; dan Allah memberikan mereka khotbah, eksposisi firman Tuhan, tentang apa yang Dia telah lakukan, apa yang kita lakukan terhadap-Nya. Bukankah ini pada dasarnya isi dari seluruh Alkitab? Setiap kali kita meng-eksposisi Alkitab, selalu ujungnya adalah mengenai Siapa diri Allah, siapa diri kita, dan bukan terutama tentang apa yang harus kita lakukan. Tidak ada yang bisa menggantikan pembelajaran firman Tuhan ini. Tidak ada yang bisa menggantikan penggalian dan pemaparan firman Tuhan. Ini hal yang sentral, ini hal yang esensial dalam Gereja; bukan solusi-solusi, bukan langkah-langkah praktis. Khotbah, terutama adalah tempat kita belajar Siapa diri Tuhan sesungguhnya, dan siapa diri kita sesungguhnya. Mengapa demikian? Bukan karena kita mau mengawang-awang dalam teori tok, tapi karena hanya melalui inilah Tuhan bisa membawa pembaruan yang sungguhan.
Orang sering menabrakkan antara pengertian dengan kelakuan atau iman yang sejati, karena kita melihat orang yang makin mengerti koq makin tidak bertindak, sedangkan orang-orang yang bertindak akhirnya tipe yang impulsif, yang ‘gak mikir. Contohnya kecenderungan di banyak grup WA, begitu dengar ada yang ulang tahun, langsung bertindak, pokoknya mengucapkan ‘happy birthday’, padahal orangnya tidak ada di grup itu –‘gak mikir, yang penting action. Demikian kedua hal ini seringkali ditabrakkan. Tapi Kekristenan tidak ‘either or’ seperti ini. Pengertian penting sekali dalam Kekristenan; namun juga, pengertian tidak diberikan hanya untuk mengerti tok, melainkan diberi karena pengertian yang sejati adalah esensial bagi perubahan hidup yang sejati. Saudara jangan pilih salah satu.
Tuhan meresponi pemberontakan Israel dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang kita tidak harapkan di sini. Orang Israel mengharapkan penyelamat, Tuhan mengirimkan nabi; orang Israel mengharapkan mujizat, Tuhan mengirimkan khotbah –dan isi khotbahnya pun tidak sesuai harapan. ‘Tuhan telah melihat pemberontakanmu, maka Ia menyerahkanmu ke tangan musuh; tapi Ia sekarang mendengar teriakanmu maka Ia membangkitkan bagimu seprang penyelamat’? Bukan itu.
Sekarang kita masuk ke bagian yang terakhir dan coba melihat sisi yang sebaliknya. Jikalau message tadi juga tidak sesuai harapan kita, ini pun bukan message yang kita perlu takutkan; memang bukan yang kita hope for, tapi bukan yang kita fear. Mengapa demikian? Mungkin Saudara bilang, “Oke, Pak, saya mengerti, jadi ada khotbah dulu baru bertobat, jadi musti bertobat dulu baru diselamatkan; jadi Tuhan mengatakan ‘Tuhan telah melihat pemberontakanmu, Tuhan telah mendengar teriakanmu, dan Ia tidak peduli dengan pertobatanmu yang sampah itu, maka Ia akan terus menindasmu sampai engkau sungguh-sungguh bertobat! baru setelah itu Ia akan menyelamatkanmu’”. Tidak demikian. Ini bukan konklusinya. Konklusinya lain, karena Saudara lihat apa yang terjadi di ayat 10 dan 11.
Ayat 10, “ … Dan Aku telah berfirman kepadamu: Akulah TUHAN, Allahmu, maka janganlah kamu menyembah allah orang Amori, yang negerinya kamu diami ini. Tetapi kamu tidak mendengarkan firman-Ku itu” –ini khotbahnya. Lalu ayat 11: ‘Kemudian datanglah Malaikat TUHAN dan duduk di bawah pohon tarbantin di Ofra, kepunyaan Yoas, orang Abiezer itu, sedang Gideon, anaknya, mengirik gandum dalam tempat pemerasan anggur agar tersembunyi bagi orang Midian.’ Saudara lihat apa repons Tuhan atas pemberontakan Israel? Respons Tuhan adalah memberikan khotbah. Sekarang apa respons Israel terhadap respons Tuhan? Apakah mereka bertobat? Apakah mereka bergerak dari penyesalan belaka kepada pertobatan yang sejati? Saudara tidak lihat tanda-tanda seperti itu di bagian ini. Di ayat 11, sebagai lanjutan khotbah tadi, kita tidak membaca misalnya: ‘maka hati orang Israel tertusuk’, ‘maka mereka membakar berhala-berhala mereka’; yang kita baca di ayat 11adalah Malaikat Tuhan datang menemui Gideon.
Intinya, yang kita lihat di sini adalah bahwa Allah, setelah memberikan khotbah kepada umat-Nya, Ia langsung membangkitkan penyelamat untuk mereka, meskipun tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa umat-Nya bergerak dari penyesalan kepada pertobatan. Ini plot twist lagi; yang kita lihat di sini adalah sebuah gambaran yang paradoks, tapi melengkapi yang kita lihat sebelumnya. Di bagian sebelumnya, kita melihat Allah menghendaki pertobatan yang sejati, Allah tidak mau cuma penyesalan dan keinginan untuk selamat dari situasi-situasi yang sulit tok, itu tidak cukup bagi Allah, Allah mau something more! Namun demikian, Allah Alkitab tidak serta-merta menunggu pertobatan sejati itu datang, baru Dia memulai pekerjaan penyelamatan-Nya. Aneh ya? Tidak aneh; kita ingat dikatakan dalam Roma 5:8, “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Saudara, Allah tidak menyelamatkan kita karena kita bertobat. Kita bertobat karena Allah telah memulai karya keselamatan-Nya bagi kita. Saudara perhatikan, dalam Kekristenan kita tahu keselamatan itu ada aspek luar dan dalam. Keselamatan dari luar adalah karya Anak Allah yang mati di kayu salib bagi kita. Keselamatan juga ada aspek dari dalam, dan ini adalah karya Allah juga, karya Allah Roh Kudus yang bekerja dalam hati orang-orang umat Tuhan, meyakinkan mereka akan dosa mereka, mengubah mereka, menguduskan mereka. Keselamatan, luar dan dalam, itu sama-sama karya Allah.
Bagian terakhir ini kembali menunjukkan kepada kita bukan langkah-langkah untuk diselamatkan; yang Saudara lihat di bagian ini adalah mengenai diri Allah yang sesungguhnya. Allah Alkitab itu lucu, pada saat yang sama lebih kudus dari yang kita sangka, karena Dia mau sesuatu yang lebih dari sekadar penyesalan; namun juga di sisi lain, Dia lebih berbelaskasihan dibanding yang kita sangka.
Dia meresponi suatu teriakan minta tolong, dengan mengkhotbahi mereka, memberitahu mereka akan dosa-dosanya, menjelaskan kepada mereka kenapa mereka masuk ke dalam situasi hancur tersebut. Kita merasa ini kejam banget, orang sudah habis-habisan berseru tapi malah dikhotbahin, mbok ya, diselamatkan dulu gitu lho, ditolong dulu gitu lho. “Kalau saya dimintain tolong, Tuhan, saya lebih baik daripada Engkau, saya tolong dulu orangnya, baru setelah itu saya elus-elus dia dan nasehatin; itu urutannya, Tuhan”. Kita melihat Tuhan sepertinya lebih kejam daripada yang kita sangka; tapi kita sudah membongkar hal ini dan melihat ada logika di balik respons Tuhan ini. Kenapa perlu dikhotbahin dulu? Karena ini bukan urusan sekali dua kali jatuh ke sungai dan hampir tenggelam, ini sudah berkali-kali dan terus-menerus jatuh kepleset ke sungai dan hampir tenggelam. Dalam situasi seperti ini, tindakan yang paling tepat dan juga paling loving adalah menjelaskan tentang kebodohan mereka yang terus-menerus jalan di pinggir sungai. Dan, sekarang kita melihat ternyata Allah juga bukan hanya Allah yang khotbah tok; Allah pergi menyiapkan sang penolong meskipun tidak ada bukti-bukti bahwa umat-Nya sungguh-sungguh bertobat sejati. Ini satu repons yang kita rasa sebaliknya; tadi kita rasa Allah lebih kejam daripada yang kita sangka, sekarang kita merasa Allah ini koq terlalu baik, ya, jauh lebih berbelaskasihan daripada kita, keterlaluan berbelaskasihannya. Kalau kita disakiti terus-menerus, oleh orang yang sama, yang kepada dia kita selalu memberikan yang terbaik, tapi dia terus saja menginjak-injak diri kita, dan tidak pernah menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, apa yang jadi respons kita? Kita bahkan tidak akan memberi khotbah, kita tidak mau dekat-dekat lagi dengan dia, kita pergi saja.
Saudara lihat Allah di satu sisi lebih kejam, lebih kudus, di sisi lain lebih berbelaskasihan, lebih loving; dan ini masuk dalam satu paket yang sama. Allah Alkitab tidak akan pernah meng-kompromikan kekudusannya, tapi Allah Alkitab juga tidak akan pernah meng-“kompromikan” belas kasihan-Nya. Kita ini yang sering kali hanya menekankan yang satu, dan lupa dengan yang lainnya. Kita sering kali mengatakan, “Aduh, Tuhan, setelah dosa yang ini, Tuhan ‘gak bakal terima saya”, atau kita mengatakan, “Allah ‘kan kasih, jadi Dia pasti menerima semua orang, apapun situasi mereka”. Kita sering kali pegang salah satu, atau lompat-lompat dari yang satu ke yang lain. Tapi yang Saudara lihat dalam bagian ini, Allah kita tidak cuma salah satu; dan inilah karakter Allah.
Saya pernah bicara tentang dari mana kita tahu bahwa kita sudah mengenal seseorang, yaitu seringkali bukan karena kita tahu dia sifatnya kayak apa doang, tapi ketika kita melihat dalam dirinya ada sifat yang seperti berlawanan, namun juga masuk dalam satu paket yang sama. Contohnya, seorang suami (teman saya) sangat suka kamera, teleskop, dsb., dan dia membeli teleskop yang mahalnya luar biasa. Lalu setelah menikah, istrinya tidak terima dengan kelakuan seperti itu, ‘beli lensa lagi?? kamu ‘kan sudah punya 12 lensa, kamera sudah begitu banyak, ngapain beli ini lagi?’ dsb. Dia kemudian mulai curhat ke kita, “Iya, nih, gua ‘gak boleh beli kamera lagi sama istri gua, ‘gak boleh beli kamera lagi, nih”. Dan waktu saya mendengar ucapannya, saya bukan cuma melihat dalam kalimatnya itu ada nada kesal atau sedih, tapi juga ada nada kebanggaan, ada nada kenikmatan, ‘ada somebody yang care for me, sehingga dia melarang gua buang-buang duit’. Lucu ya. Seperti ada yang berlawanan, tapi satu paket. Dari situlah saya menyadari, sekarang saya mengenal orang ini. Kalau Saudara cuma tahu satu sisi dari seseorang, Saudara belum benar-benar mengenal dia. Saudara baru mengenal dia, justru ketika Saudara melihat ada yang seperti kontradiksi dalam hidupnya. Tapi itu tidak kontradiktif, itu paradoks, entah bagaimana itu memang satu paket.
Itulah yang sedang ingin diperlihatkan Alkitab di bagian ini, yaitu siapa diri Allah, dan bagaimana kita meresponi Dia. Inilah yang terutama, ini yang paling esensial, ini yang paling penting. Saudara mau perubahan hidup yang sejati? Perubahan hidup yang sejati datang dari sini, dari mengenal siapa Allah. Tidak heran Yohanes 17:3 mengatakan tentang apa itu hidup kekal; hidup kekal bukan hidup yang tidak habis-habis –meskipun saya yakin itu juga termasuk– hidup kekal adalah hidup yang mengenal Allah.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading