Waktu kita membahas semua kisah mengenai Daud, kita perlu mengerti cara membacanya dengan tepat, bahwa kisah ini bukan mengenai kita, bukan juga mengenai Daud. Alkitab adalah mengenai Allah, mengenai apa yang Dia kerjakan, dan seperti apa Dia sesungguhnya; dan secara khusus kisah Daud adalah mengenai pola dari Kerajaan Allah. Daud itu raja, Yesus itu anak Daud dan Raja, sehingga kisah Daud menjadi gambaran Kerajaan Allah yang Yesus bawakan –seperti apa Kerajaan Allah itu dan seperti apa Rajanya. Itulah juga yang akan kita pakai ketika membahas kisah mengenai Daud ini.
Untuk membaca Alkitab dengan tepat, kita tidak bisa membahas satu pasal itu secara tersendiri, kita harus memperhatikan juga hal yang datang sebelumnya dan juga sesudahnya. Kisah yang terkenal tentang Daud melepaskan Saul di pasal 24 ini, juga tidak bisa kita baca tanpa pasal 23. Pasal 23 adalah kisah kejar-kejaran. Mulanya Daud menyelamatkan Kehila (kota Israel) dari Filistin, lalu Saul mendengar dan mengepungnya. Warga Kehila akan menyerahkan Daud ke tangan Saul meskipun Daud telah menyelamatkan mereka, karena di pasal sebelumnya, kota Nob dibantai habis oleh Saul berhubung mereka membantu Daud. Akhir pasal 23, diceritakan bahwa Daud kabur, dan sudah dekat sekali dengan Saul, ‘Saul berjalan dari sisi gunung sebelah sini dan Daud dengan orang-orangnya dari sisi gunung sebelah sana’ (ayat 26). Saul dan orang-orangnya sudah hampir menangkap Daud, ketika tiba-tiba terdengar kabar bahwa Filistin menyerang negeri, dan Saul pun berhenti mengejar Daud. Ini bagian yang membuat pembacanya ikut deg-degan, sehingga mereka menamakan Gunung Batu Keluputan.
Setelah melihat pasal 23, Saudara akan bisa mengerti pasal 24 dengan lebih jelas; di pasal 24 situasinya terbalik. Sekarang, Saul si pemburu itu, menjadi orang yang rentan karena dia buang hajat di sebuah gua yang ternyata tempat persembunyian Daud, buruannya. Jadi sekarang sang pemburu tukar posisi dengan buruannya, maka ini adalah kesempatan, sebagaimana yang dikatakan orang-orangnya Daud. Tapi bukan saja kesempatan, mereka melihat ini sebagai tangan Tuhan; ayat 5 ‘Lalu berkatalah orang-orangnya kepada Daud: "Telah tiba hari yang dikatakan TUHAN kepadamu: Sesungguhnya, Aku menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu, … ." Bukan cuma orang-orang Daud, Saul pun melihatnya seperti itu; belakangan di ayat 19 Saul mengatakan, “… walaupun TUHAN telah menyerahkan aku ke dalam tanganmu, engkau tidak membunuh aku.” Dan lagi, ketika kita melihat pasal 23 dan 24 berbarengan, tema ini selalu muncul; bahkan juga mulai dari pasal 20, 21, 22, ketika di situ kita membaca ada keterbalikan, ada keanehan-keanehan, ada pembantaian, tapi poinnya adalah bahwa di balik semua itu, Allah sedang bekerja, God is in control. Dan di pasal 23 ini kita melihat ada penyertaan Tuhan yang luar biasa pada Daud; Daud menyelamatkan Kehila karena Tuhan suruh. Daud itu bukan ‘man of action’ melainkan ‘man of prayer’, setiap kali akan melakukan sesuatu, dia tidak langsung mengerjakan tapi berdoa dulu minta pendapat Tuhan; Tuhan suruh pergi maka dia pergi meskipun orang-orangnya tidak setuju, Tuhan suruh kabur dari Kehila maka dia kabur, meski sepertinya tidak masuk akal bahwa dia sudah menyelamatkan kota tersebut tapi mereka tetap akan menyerahkan dirinya. Daud terus ikut Tuhan bahkan sampai sudah di ujung tanduk hampir ditangkap oleh Saul, dan tiba-tiba ada kabar mengenai Filistin. Maka di sini kalau buka tangan Tuhan, apa lagi??
Sudah bertubi-tubi dalam pasal demi pasal kita melihat Tuhan bekerja dan Tuhan bekerja, bahkan narator pun meng-konfirmasi hal ini, dikatakan ‘Dan selama waktu itu Saul mencari dia, tetapi Allah tidak menyerahkan dia ke dalam tangannya’ (23:14). Masuk ke pasal 24, musuh bebuyutan itu ada di depan mata, siap dibunuh, dan orang-orang Daud berespons: ‘ini pasti tangan Tuhan, keterbalikan kembali terjadi, tapi ini pembalikan dari keterbalikan, sekarang pemburu dan buruan tukar tempat, akhirnya si orang yang harusnya buron, yang harusnya masuk penjara tapi masih jadi raja itu, sekarang akan dibalikkan oleh Tuhan, ini keadilan tangan Tuhan!’ Bagaimana respons kita waktu menghadapi hal seperti ini? Apakah kita akan setuju atau tidak setuju dengan orang-orangnya Daud? Waktu menghadapi bagian-bagian Alkitab yang seperti ini, biasanya kita memandang mereka itu ‘benar-benar salah’ atau ‘benar-benar benar’. Tapi Alkitab bukan cerita kanak-kanak seperti itu yang cuma menujuk siapa salah dan siapa benar, siapa yang jahat dan siapa yang baik.
Pertama-tama kita bisa melihat sisi positif reaksi orang-orang Daud ini. Mereka ingin membunuh Saul dan yakin sekali ini tangan Tuhan yang menyerahkan Saul, yaitu karena mereka marah terhadap ketidak-adilan yang Saul lakukan. Ini satu respons yang tepat, mereka sedang membela raja yang sejati yang adalah pilihan Allah, dan Saul memang mau memburu dan membunuh Daud karena alasan yang ngawur sekali. Mereka mengalami ketidak-adilan oleh tangan Saul; dan reaksi yang tepat ketika kita menghadapi ketidak-adilan, memang adalah murka.
Mungkin sebagian dari Saudara tidak senang dengan pemahaman ini –koq orang Kristen boleh marah, harusnya ‘kan orang Kristen ‘gak kayak gitu—tapi jangan lupa di dalam Alkitab tidak pernah ada kata ‘sabar’. Dalam bahasa Ibrani tidak ada kata ‘sabar’; yang diterjemahkan sebagai ‘sabar’ sebenarnya adalah frasa Ibrani ‘arek aph’, artinya ‘slow to anger’ (lambat marah). Waktu Allah memperkenalkan diri-Nya “Aku Allah yang arek aph”, bukan berarti Allah yang sabar melainkan Allah yang lambat marahnya, bukan tidak marah tapi tidak langsung meledak. Allah kita adalah Allah yang marah, itu jelas. Hari ini banyak orang dunia menuduh, adanya kekerasan atas nama agama adalah karena dalam agama tersebut ada konsep Allah yang suka marah, Allah Sang Pembalas, Allah yang adalah hakim, sehingga pengikut-pengikut-Nya pun hidup penuh kekerasan karena mereka merasa ‘Allahku ini menghakimi, maka aku juga harus menjalankan hukum yang sama terhadap orang-orang yang tidak percaya akan apa yang saya percayai’. Menurut mereka, itulah penyebab munculnya radikalisme, terotisme, dsb.; jadi kalau mau dunia ini bersih dari kekerasan, maka tidak boleh punya konsep Allah yang seperti itu, kita maunya konsep Allah yang penuh kasih sayang, yang tidak pernah marah, yang senantiasa mengasihi. Saudara, ini juga terjadi di tengah-tengah kita orang Indonesia, bahwa ‘orang Kristen itu harusnya baik-baik senantiasa, ramah-ramah senantiasa, penuh cinta kasih, tidak pernah marah, tidak boleh tegas-tegas, ngomong tidak boleh langsung tapi harus mutar 1001 cara dulu’ –yang sebenarnya lebih mirip budaya Jawa daripada Alkitab.
Dalam hal ini, menurut Miroslav Volf, kalau Saudara berpikir kehidupan yang tanpa kekerasan penindasan (non violence) adalah kehidupan yang percaya ‘Allah yang hanya mengasihi dan tidak pernah marah dan tidak menghakimi,’ itu sepertinya karena Saudara sendiri tidak pernah mengalami kekerasan dan penindasan. Volf mengatakan, “Saya berasal dari Kroasia, tempat terjadinya perang saudara, tempat satu desa bisa membunuh orang-orang dari desa yang lain, bisa dibayangkan kalau satu hari anakmu diperkosa, dibunuh, dan kamu begitu ingin membalas, lalu kamu mengatakan apa supaya tidak balas dendam? Mengatakan ‘Allah itu penuh kasih, Allah itu tidak menghakimi, tidak ada penghakiman atas dunia ini’? Kalau kamu mendengar Allah yang seperti itu –dalam situasi itu–, kamu akan frustrasi, kamu bakal depresi karena berarti tidak ada keadilan di atas dunia ini. Apa yang bisa menyebabkan orang hidup dengan tanpa kekerasan? Justru ketika orang ini percaya ada Sang Pembalas itu, ada Sang Hakim itu, tapi bukan kamu; Allah yang akan melakukannya.“ Ketika kita percaya hal ini, barulah kita bisa lepas dari siklus balas dendam.
Percaya Allah yang cuma cinta, Allah yang tidak ada kemarahan, itu tidak benar. Problem dari kemarahan bukanlah kemarahan itu sendiri, karena kemarahan terhadap ketidak-adilan adalah kemarahan yang righteous, dan itulah reaksi yang tepat ketika kita melihat ketidak-adilan. Oleh sebab itu kita tidak perlu melihat orang-orangnya Daud sebagai orang-orang yang bejat, karena mereka ini punya reaksi yang tepat terhadap ketidak-adilan. Masalahnya bukan di dalam kemarahannya, melainkan dalam hal yang datang kemudian setelah kemarahan. Perhatikan kalimatnya, ada 2 klausa: “Aku menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu” –ini benar; tapi lanjutannya: “… maka perbuatlah kepadanya apa yang kau pandang baik”. Di sini orang-orangnya Daud mengatakan bahwa nubuatan Tuhan terjadi, tapi para komentator mengatakan bahwa sama sekali tidak ada nubuatan seperti itu di Alkitab. Memang perkataan ‘Aku menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu’ mungkin ada, tapi bahwa hal itu untuk ‘kamu perbuat kepadanya apa yang kau pandang baik’, tidak pernah ada di Alkitab.
Problemnya di sini bukan kemarahannya –karena ini bukan cuma kemarahan akibat ketidak-adilan– tapi tentang apa yang datang setelah itu yaitu perasaan berhak untuk mengadili, perasaan berhak untuk turun tangan sendiri (to take justice into your own hands). Kita memang sulit sekali membedakannya, sehingga kita seringkali menganggap kemarahan itu problematik. Contohnya, media zaman sekarang seringkali sengaja menghadirkan berita-berita tanpa konteks, atau dilepaskan dari konteks, tujuannya supaya orang gampang tercetus kemarahannya. Lucunya, berita-berita seperti inilah yang laku, jadi berarti orang senang dibikin marah. Mengapa orang bisa senang dibuat marah? Yaitu karena hal yang datang setelah kemarahan; begitu mendapat berita yang membuat kita marah, otomatis muncul perasaan berhak untuk mengadili, perasaan berhak untuk turun tangan, atau setidaknya berhak untuk menghina-hina orang di berita itu meski cuma dalam hati. Inilah nikmatnya membaca berita yang bikin marah, karena jadi ada alasan untuk menempatkan diri di atas orang lain. Dua hal ini sangat sulit untuk dipisahkan, tetapi Alkitab di bagian ini mau mengatakan bahwa itu harus dibedakan, yang satu tidak harus diikuti yang lainnya. Kemarahan terhadap ketidak-adilan (righteous anger) memang tepat dan harus ada, tapi di sisi lain Alkitab tidak pernah memanggil kita untuk main hakim sendiri, Alkitab tidak pernah memanggil kita untuk melakukan apa yang baik di mata kita. Kita disuruh punya perasaan yang tepat tapi tidak boleh bertindak mengikuti perasaan tersebut.
Tuhan Yesus mengatakan ‘kamu mau jadi murid Saya? jangan menghakimi’. Menghakimi berbeda dari menilai; menghakimi berarti menjadi sumber kebenaran, standar penilaian. Jemaat Berea dalam Kisah Para Rasul menilai kotbah-kotbah Petrus, Paulus, dsb. berdasarkan Firman Tuhan, bukan berdasarkan yang mereka pikir benar. Menilai seperti ini tidak masalah sama sekali, seperti juga menilai hasil ujian murid di sekolah itu tidak masalah, karena standarnya bukan diri Saudara. Tetapi menghakimi berarti menjadikan diri sebagai penentunya/ standarnya, diri kita menentukan apa yang kita pandang baik; dan Tuhan Yesus mengatakan ini tidak bisa, karena memangnya kamu siapa sehingga kamu pikir punya cukup bijaksana untuk jadi standar kebenaran. Ini juga terjadi dalam kisah Yusuf. Waktu Yusuf sudah di Mesir lalu saudara-saudaranya datang kepadanya dan mengatakan “kami minta ampun, tolong jangan bunuh kami”, dsb., Yusuf menjawab dengan kalimat yang terkenal itu, “Tuhan mereka-rekakan apa yang baik”. Tapi kalimat sebelumnya juga penting; dia mengatakan, “Jangan takut, apakah aku menempatkan diriku di tempat Allah?” Bagi Yusuf, balas dendam berarti menaruh diri di tempat Allah.
Di dalam diri Daud ada keseimbangan antara dua hal ini. Daud bukannya sabar, dia marah; dengan bukti-bukti dia mengatakan, “Saul, kamu lihat dengan mata kepalamu sendiri, ini buktinya bahwa saya tidak seperti itu, kamu yang bersalah, kamu yang fasik.” Daud menyatakan kemarahannya, menyatakan hal yang benar, meng-konfrontasi Saul, tapi dia tidak membiarkan kemarahan itu memangsa hatinya sehingga dirinya merasa berhak untuk menimpakan hukuman atas Saul, sampai-sampai di ayat 14 dia mengatakan: “Seperti peribahasa orang tua-tua mengatakan: dari orang fasik timbul kefasikan”, maksudnya ‘kamu ini bikin kefasikan, saya hampir-hampir jadi orang fasik juga gara-gara kamu’; tapi dia sadar untuk tidak melakukan itu. Maka dia mengatakan selanjutnya: “Tetapi tanganku tidak akan memukul engkau” –‘aku menghentikan siklus balas dendam itu di sini, kamu fasik tapi aku tidak mau ikut-ikutan fasik’. Daud menyadari satu hal, kalau dia menghancurkan sang penghancur, maka dia sendiri akan hancur. Dia bisa saja membunuh Saul, tapi dia akan diperbudak oleh hasrat ini, dan itu menjadikan dirinya raja yang tidak akan lebih baik daripada Saul.
Jadi problem dari kemarahan bukanlah kemarahan itu sendiri, melainkan hal yang kemudian didatangkan oleh kemarahan. Kemarahan atas ketidak-adilan memang oke, tapi yang menjadikan kemarahan atau murka sebagai salah satu dari seven deadly sins adalah karena kemarahan punya kuasa untuk memperbudak seseorang dengan hasrat untuk melukai atau menghancurkan, sampai-sampai dia akan melakukan itu meski pada akhirnya akan melukai dan menghancurkan dirinya sendiri. Di sini kita bisa melihat aplikasi langsung etika Kerajaan Allah. Dalam etika Kerajaan Allah bukan tidak ada kemarahan; memang ada tempat untuk kemarahan, untuk kebenaran, untuk menyatakan keadilan, dsb., tetapi juga ada batas bagi kemarahan. Ada kebenaran tapi bukan penghakiman, ada keadilan tapi bukan pembalasan dendam. Bagaimana caranya bisa hidup memisahkan dua hal ini? Kita akan melanjutkan ceritanya dan menemukan jawabannya.
Daud ada balance antara 2 hal ini. Di satu sisi, ada kebenaran ada keadilan, ada bukti-bukti bahwa dirinya yang benar dan Saul yang salah; dan di sisi yang lain, ada hormat dan kasih sayang yang luar biasa. Di ayat 9 dikatakan bahwa dia sujud dengan mukanya sampai ke tanah, dan di ayat 12 dia memanggil Saul dengan sebutan “ayahku, bapaku”. Seorang komentator mengatakan bahwa perkataan ‘ayahku’ ini mungkin muncul karena Daud membayangkan hasil akhir konfrontasi tersebut secara sangat berbeda daripada yang dibayangkan orang-orangnya. Orang-orang Daud membayangkan Saul akan terkapar bersimbah darah oleh pedang Daud, tetapi yang Daud bayangkan adalah dirinya dipersatukan kembali dengan Saul dalam satu keluarga, tinggal satu atap kembali bersama Saul. Bagi kita orang modern, hal ini bukan saja sulit tapi tidak mungkin, cerita Alkitab ini too good to be true, tidak ada orang senaif Daud itu. Tapi inilah yang Daud lakukan. Dan ini adalah satu hal yang masuk akal, karena Daud menaruh dirinya di tempat yang paling riskan, paling rentan, demi membawa Saul kembali, demi memenangkan Saul kembali. Orang-orang Daud ada 600 orang setelah dari Kehila, tapi Saul membawa 3000 pasukan! Lalu yang Daud lakukan adalah memanggil Saul, yang jaraknya lumayan jauh sampai-sampai Saul tidak langsung mengenali dia, dan itu berarti teriakan Daud juga sampai ke kamp pasukan Saul yang pastinya tidak jauh dari situ (kita juga melihat bagian ini paralel dengan pasal 26, dan di situ Saul bersama dengan Abner, panglima perangnya). Oleh sebab itu, tindakan Daud ini berarti meresikokan diri habis-habisan, tetapi Daud melakukan itu demi membawa Saul kembali dari kecemburuannya, dari insecurity-nya, dari kejahatannya, dari kebenciannya.
Bagaimana kita meresponi kejahatan dan ketidak-adilan seperti dialami Daud dalam hidup kita? Pokoknya mengampuni? Pokoknya pasif? Tentu tidak, karena jika begitu, berarti tidak ada kebenaran. Daud di sini mendaftarkan bukti-buktinya –‘saya ini innocent karena ini, ini, ini; kamu itu fasik karena ini, ini, ini’– tapi dia menggunakan kebenaran bukan untuk mengingatkan Saul akan dosa-dosanya, bukan untuk menyakiti Saul, melainkan untuk memenangkan Saul kembali. Bagaimana caranya untuk bisa menggunakan kebenaran seperti Daud ini –bukan untuk melukai tapi untuk menyembuhkan? Yaitu dengan Daud maju lebih dulu, menaruh dirinya di tempat paling beresiko. Kalau kita dijahati orang, kita biasa mengatakan “saya tidak akan permalukan dia di depan umum, tapi saya mau dia minta maaf dulu”; ini berarti memang Saudara tidak mempermalukan dia di depan umum, tapi Saudara mau dia mempermalukan dirinya terlebih dulu, baru Saudara mau memaafkan.
Bagaimana Daud bisa melakukan itu? Daud melakukan ini bukan karena dia hebat, dia melakukan ini karena dia tidak sanggup untuk tidak melakukannya. Mungkin Saudara melihat Daud itu orang yang baik sekali, tapi jangan tertipu, karena awalnya Daud sendiri pun sempat tergoda melakukan dosa, buktinya dia memotong punca jubahnya Saul. Saudara jangan berpikir sejak awal Daud tidak berniat membunuh, dia memotong punca jubah Saul hanya untuk diperlihatkan, karena di sini yang terjadi bukan soal tidak berani tusuk orangnya jadi potong punca jubahnya (bagian yang tidak ketahuan). Punca jubah memiliki arti simbolik yang sangat tinggi dalam kehidupan orang Israel. Pertama, jubah merupakan tanda status seseorang –kalau seorang raja turun takhta, dia menanggalkan jubahnya. Kedua, implikasi hal ini bukan cuma secara politik. Kita melihat dari Bilangan 15: 38-39 "Berbicaralah kepada orang Israel dan katakanlah kepada mereka, bahwa mereka harus membuat jumbai-jumbai pada punca baju mereka, turun-temurun, dan dalam jumbai-jumbai punca itu haruslah dibubuh benang ungu kebiru-biruan,” jadi ini adalah persyaratan Taurat, tapi implikasinya ada pada ayat berikutnya: “Maka jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah TUHAN, sehingga kamu melakukannya dan tidak lagi menuruti hatimu atau matamu sendiri, seperti biasa kamu perbuat dalam ketidaksetiaanmu terhadap TUHAN.”
Yang Daud lakukan di sini, pertama adalah memotong jubah Saul –yang artinya kerajaannya Saul– sehingga orang seakan-akan melihat raja yang pakai mahkota terbelah; sangat memalukan. Kedua, orang akan melihat inilah Saul yang mengikuti matanya sendiri, mengikuti hatinya sendiri, tidak mau ingat perintah Tuhan, raja yang bodoh; dan orang akan menertawakan. Oleh sebab itu, tindakan Daud bukanlah suatu tindakan malu-malu, tapi tindakan yang ada bobot muatan mendalam. Satu analogi tentang ini, misalnya dalam cerita samurai. Biasanya para samurai itu rambutnya ada satu ikatan persis di atas kepala, yang disebut ‘samurai topknot’; topknot punya arti simbolik yang tinggi, menandakan status seseorang. Ada satu kisah, seorang samurai yang jago sekali melawan 3 orang samurai; si samurai yang jago ini tidak mau memotong kepala lawannya, dia memotong topknot-nya, dan itu lebih efektif, karena bagi orang Jepang tidak masalah kalau dibunuh tapi sangat masalah kalau dihina, sehingga setelah dipotong topknot-nya maka ketiganya bunuh diri. Kira-kira seperti itulah yang terjadi di bagian ini; yang Daud lakukan memang tindakan untuk mempermalukan, bukan tindakan sembarangan. Oleh sebab itu kita bisa mengerti alasannya kalimat yang langsung muncul berikutnya adalah ‘berdebar-debarlah hati Daud’; terjemahan yang lebih tepat: ‘hati nuraninya tertusuk’ –dia menyadari yang dilakukannya itu salah.
Daud juga tergoda untuk main hakim sendiri, untuk melakukan yang dia pandang baik, tapi mengapa dia kemudian bisa menyadari untuk tidak melakukannya? Simbolisme Alkitab di sini luar biasa. Waktu dia memotong punca jubah –yang dibuat untuk mengingatkan orang pada perintah Tuhan supaya ‘kamu melakukannya dan tidak lagi menuruti hatimu atau matamu sendiri, seperti biasa kamu perbuat dalam ketidaksetiaanmu terhadap TUHAN’—saya rasa dia menyadari, bahwa punca jubah ini bukan cuma berlaku atas Saul tapi juga atas dirinya. Kalimat ‘berdebar-debarlah hati Daud’ ini muncul lagi di 2 Samuel 24: 10, yang merupakan cerita terakhir kitab Samuel. Ceritanya mengenai Daud melakukan sensus lalu dia dihukum; di situ kalimatnya berbunyi: ‘Tetapi berdebar-debarlah hati Daud, setelah ia menghitung rakyat’. Dalam bagian itu kita diberitahu bahwa sesudahnya Daud berlutut di hadapan Tuhan dan minta ampun habis-habisan. Jadi dengan melihat kesamaan frasa yang dipakai, di dalam bagian ini paling tidak Daud juga menyadari dia telah berdosa, dia menjamah orang yang telah diurapi Allah, dia tidak bertindak memakai perintah Allah tapi memakai apa yang baik di matanya, sehingga kemudian dia berlutut minta pengampunan Tuhan. Daud melihat dosanya, Daud melihat kerusakannya, Daud melihat kebobrokannya. Ketika dia sadar akan kerusakan dan kebobrokannya, maka di dalam hatinya mulai ada ruang untuk kerusakan dan kebobrokan orang lain. Ketika Daud menyadari di dalam dirinya ada dosa dan dia butuh pengampunan, pada saat yang sama dia menyadari ada ruang di dalam hatinya untuk orang lain yang berdosa yang butuh pengampunan.
Kembali ke kalimat Tuhan Yesus, waktu Dia mengatakan ‘jangan menghakimi’, argumennya adalah ‘kamu peka sekali akan debu di mata saudaramu, tapi kamu tidak peka akan balok di matamu’. Membaca kalimat tersebut, mungkin kita mengatakan, ‘jadi, kalau mau menghakimi, itu boleh, tapi keluarin dulu balok di mata lu, kalau sudah selesai, baru urusin debu di mata orang lain’. Tapi saya rasa kalimat Tuhan Yesus bukan untuk dibaca seperti ini; itu suatu kalimat ironi karena siapa sih yang bisa mengeluarkan balok dari matanya sendiri?? –-kita juga butuh orang lain untuk melakukan hal itu. Tetapi, ketika Saudara menyadari di mata Saudara ada balok, maka dalam hati Saudara baru bisa muncul ruang untuk debu di mata orang lain, sehingga bisa ada kekuatan untuk tidak menghakimi. Bukan karena kita hebat, dan lebih hebat, dan lebih hebat lagi, lalu makin lama makin tidak menghakimi; sama sekali tidak. Justru karena menyadari diri kita makin bobrok, dan makin borok, dan makin bobrok, maka ada ruang untuk kebobrokan orang lain. Ini etika Kerajaan Allah, yang berbeda sekali dengan dunia. Dengan kata lain, saya rasa yang ada di pikiran Daud ketika menghadapi Saul adalah: ‘kalau di dalam hati Tuhan ada ruang untuk mengampuni dan menyelamatkan saya, maka di dalam hati Tuhan pasti ada ruang untuk mengampuni dan menyelamatkan siapa saja, termasuk Saul’. Ini masuk akal.
Miroslav Volf dalam bukunya kembali mengatakan: “Forgiveness flounders because I exclude the enemy from the community of humans even as I exclude myself from the community of sinners”. Menurut Miroslav Volf, kita gagal mengampuni karena kita melakukan 2 jenis pengucilan. Yang pertama, kita mengucilkan si musuh dari komunitas manusia; kita anggap dia lebih rendah daripada manusia, maka kita tidak bisa mengampuninya. Tapi Saudara juga harus sadar ada pengucilan jenis kedua yang membuat kita tidak bisa mengampuni, yaitu ketika kita mengucilkan diri kita dari komunitas orang berdosa; kita anggap diri kita bukan orang berdosa, itu yang menyebabkan kita tidak bisa mengampuni orang. Begitu kita menyadari siapa diri kita sebenarnya, maka tidak mungkin tidak mengampuni.
Mengapa Kekristenan menekankan doktrin dosa? Mengapa teologi Reformed sangat menekankan doktrin dosa, bahwa semua orang berdosa, dosanya rusak total bukan rusak sedikit? Mengapa harus ngotot banget dengan hal itu, bukankah kalau begitu jadi tidak ada harapan, jadi bikin depresi? Justru ketika kita meng-amini bahwa semua orang berdosa, dan semua orang berdosa secara secara rusak total, barulah ada pengharapan, karena itu berarti tidak ada seorang pun yang beda sehingga bisa ada pengampunan. Contohnya problem kita terhadap orang LGBT; kita merasa mereka lebih rendah, kita merasa tidak berdosa seperti itu karena kita bukan orang LGBT. Dengan attitude seperti ini, bagaimana Saudara bisa berharap menginjili mereka? Itu seperti mengatakan, “kamu mau percaya Tuhan Yesus ‘kan?” sambil menutup hidung karena ‘saya tidak tahan bau kamu ini’. Apa menariknya Injil yang seperti itu? Tidak menarik sama sekali. Dapatkah Saudara melihat pengharapannya di mana? Pengharapannya adalah ketika kita menyadari bahwa dosa kita tidak beda dari dosa mereka, bahwa kita tidak berbeda. Mengatakan kepada orang LGBT “kamu ada problem”, itu kebenaran; problemnya adalah ‘kamu ingin tidur dengan orang yang kamu tidak boleh tidur’, tapi saya juga ada problem, ‘saya ingin tidur dengan orang yang bukan istri saya’ –jadi sama. Dari sinilah baru ada jembatan, baru ada rekonsiliasi, baru ada kemungkinan penginjilan, karena begitu kita menyadari kebobrokan diri kita, barulah ada ruang untuk kebobrokan orang lain. Dari sini Saudara dapat mengerti apa yang Daud lakukan. Semua itu bukan karena Daud hebat sekali; tokoh utamanya bukan dia. Kalau kita mau atribusikan ini pada diri Daud, kita bisa mengatakan satu hal, bahwa kekuatan Daud bukanlah karena dia kuat, melainkan karena dia menyadari dirinya tidak kuat.
Saudara, kuasa Daud itu justru datang ketika dia menyadari dirinya tidak ada kuasa, dan dia butuh kuasa dari Tuhan. Itulah yang membuat dia berkuasa. Ini paradoks. Inilah perbedaan Daud dengan Saul. Daud mengerti bahwa dirinya tidak berbeda –itulah identitas orang Kristen yang seharusnya, identitas Kerajaan Allah. Semua orang di luar sana mengatakan “kita beda; saya adalah saya karena saya beda dengan orang lain”. Lalu Alkitab mengatakan kita harus datang seperti apa? Apakah dengan mengatakan “O, kita tidak berbeda”? Tidak. Orang Kristen jelas berbeda dengan orang lain, ada garis yang membedakan, ada kebenaran ada ketegasan dalam hal ini. Tapi bedanya orang Kristen dengan orang lain adalah: “saya sadar, saya tidak beda dengan kamu; jadi kalau Tuhan bisa mengampuni saya, Dia pasti bisa mengampuni kamu”. Inilah paradoksnya, dan ini identitas orang Kristen. Oleh sebab itu seorang Kristen bukan merasa perlu mengampuni atau bisa mengampuni atau boleh mengampuni, melainkan seorang Kristen itu tidak sanggup untuk tidak mengampuni, ketika dia melihat jalan yang ditempuh oleh Kristus.
Daud, meskipun dirinya adalah pihak yang tidak bersalah, dia yang datang kepada Saul, dan dia menyembah, merendahkan diri dengan mukanya sampai ke tanah, dan dia memanggil Saul “ayah”. Kristus, meskipun sempurna, benar, tidak bersalah, telah merendahkan diri-Nya sampai ke kerendahan level salib; bukan cuma mengalami ketidak-adilan tapi sengaja masuk ke dalam ketidak-adilan, dikutuk oleh Allah yang Dia sebut “Bapa-Ku”, supaya kita yang adalah musuh-musuh-Nya bisa memanggil Allah dengan “Bapaku”. Gambaran di dalam pikiran Tuhan Yesus waktu Dia naik ke atas kayu salib adalah Dia ingin disatukan kembali dengan kita, sebagai satu keluarga, hidup di bawah satu atap; Yohanes 14: 23 Yesus menjawab: "Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (terjemahan bahasa Inggris lebih baik: Jesus answered him, “If anyone loves me, he will keep my word, and my Father will love him, and we will come to him and make our home with him.”).
Saul, melihat kerendahan hati Daud, pengampunan yang Daud bawa, kerentanan yang Daud berani ambil untuk bisa memenangkan dirinya, reaksinya adalah ‘Sesudah itu dengan suara nyaring menangislah Saul’ (ayat 17). Momen ini adalah klimaks dari 7 pasal; di pasal 20, 21, 23 kita melihat Daud diakui dan didukung semua pihak, mulai dari pihak para imam, pihak keluarga, bahkan dari mulut musuh. Di pasal 23 Yonatan kembali bertemu Daud untuk terakhir kalinya, dia mengatakan “engkau pasti jadi raja” –pengakuan dari anaknya raja yang menyerahkan secara sukarela birthright-nya— kemudian dilanjutkan: “dan ayahku pun tahu bahwa engkau akan jadi raja”. Tapi pengakuan yang paling krusial ini belum juga keluar dari mulut Saul. Kapan keluar pengakuan itu? Kalau dalam film-film, si penjahat baru mengaku ketika sudah kalah tertusuk pedang si jagoan, di nafas-nafas terakhirnya dia mengatakan “sebenarnya aku tahu kamu yang benar”, lalu mati. Tapi pengakuan ini keluar dari mulut Saul bukan ketika Saul bersimbah darah, namun ketika Daud berani meresikokan dirinya untuk bersimbah darah demi Saul; dan Saul menangis. Mengapa Saul menangis? Karena sebelum pengakuan ini bisa keluar dari mulutnya, sebelum dia bisa mengakui ini di hadapan Daud, dia harus lebih dulu mengakui di hadapan dirinya sendiri, dia mengatakan: “Oleh karena itu, sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau pasti menjadi raja dan jabatan raja Israel akan tetap kokoh dalam tanganmu” (24:21). Setelah bagian ini, Saul tidak lagi mengejar Daud sampai dia mati (pasal 26 ada kisah yang mirip, tapi ini pengulangan kisah yang sama, dari perspektif yang berbeda).
Satu hal yang kita bisa tarik dari bagian ini, ketika Saul melihat keindahan pada diri Daud yang meresikokan dirinya bersimbah darah demi dia, itu membuat segala hasrat hati Saul untuk iri, untuk langsung membunuh, untuk mempertahankan takhta Israel sebagai identitas dirinya, sirna. Kalau kita melihat keindahan Tuhan, itulah yang harusnya terjadi pada diri kita. Kalau kita mau menempatkan diri dalam tokoh Alkitab di sini, taruhlah dalam tokoh Saul. Dari mana Saudara akan tahu bahwa Saudara sungguh-sungguh tergerak oleh keindahan Tuhan? Yaitu kalau Saudara berangsur-angsur mulai melihat hal yang selama ini Saudara kejar dalam kehidupan, menjadi redup dibandingkan keindahan Kristus. Saudara mulai berpikir yang Saudara perlu hanya Dia. Waktu Saudara sedih karena mengalami kesulitan, kesedihan, kemarahan, karena tidak mendapatkan ini dan itu, Saudara akan mengatakan seperti yang Daud katakan, “kasih setia-Mu lebih baik daripada hidup” –iya, ya, kasih setia Tuhan lebih baik ‘kan daripada ini dan itu, mengapa saya begitu bodoh.
Daud mengatakan, “Terhadap siapakah raja Israel keluar berperang? … Anjing mati! Seekor kutu saja!”, dan Saul pun menyadarinya. Demikian juga seharusnya kita dalam kehidupan rohani. Apakah Saudara mengalami ini? Apakah Saudara mulai melihat dalam hidupmu hal-hal yang Saudara anggap berkat –tapi sebenarnya kutuk—sekarang Saudara mulai merasa ‘itu kutu, itu anjing mati, saya hanya perlu Tuhan; ketika saya dapat pengakuan Tuhan, saya tidak perlu pengakuan dari orang’? Dan itu berarti misalnya saya melayani tidak perlu takut dengan kritikan, saya melayani tidak perlu takut dengan penolakan. Ini sulit. Disiplin rohaninya adalah dengan melihat Kristus; bukankah kasih setia Tuhan, penerimaan Tuhan, itu lebih indah daripada pengakuan orang?? Bukankah Tuhan sudah menyelamatkan saya jauh sebelum saya bisa kotbah?? Bukankah Tuhan sudah memanggil saya menjadi pengkotbah jauh sebelum saya bisa ngomong?? Bukankah Tuhan sudah memilih saya sebelum itu semua?? Bukan karena ada apa-apa tapi karena Tuhan mau saya, tidak tahu mengapa. Itu saja. Dan itu lebih berharga daripada semua yang lain. Begitu Saudara melihat keindahan Allah yang seperti ini, yang lain itu kutu, tidak perlu sama sekali. Inilah salah satu tandanya, dan satu disiplin rohani orang Kristen yang perlu kita kerjakan dalam hidup ini.
Kita perlu mengerjakan itu berkali-kali. Mengapa? Ketika Saudara pergi ke pasal 25, Saudara akan menemukan satu kisah yang aneh sekali; Nabal menghina Daud, dan reaksi Daud adalah: "Sia-sialah aku melindungi segala kepunyaan orang ini di padang gurun, sehingga tidak ada sesuatupun yang hilang dari segala kepunyaannya; ia membalas kebaikanku dengan kejahatan. Beginilah kiranya Allah menghukum Daud, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika kutinggalkan hidup sampai pagi seorang laki-laki sajapun dari semua yang ada padanya" (25:21-22), lalu dia membawa 400 orang untuk menghajar satu kota, tempat Nabal tinggal itu, seperti Saul memusnahkan Nob. Inilah Daud, orang yang sama, yang baru saja dikejar-kejar Saul sedemikian rupa dan entah bagaimana bisa menyadari ‘saya berdosa, dia juga berdosa, saya ada ruang untuk dosa dia, minta pengampunan,’ dsb. Selanjutnya Abigail datang, sujud pada kaki Daud serta berkata: "Aku sajalah, ya tuanku, yang menanggung kesalahan itu.” Abigail menyatakan ‘aku menaruh diriku di tempat yang paling riskan, bunuh aku, jangan bunuh Nabal, jangan bunuh kota itu’. Daud kaget, dan dia baru sadar.
Saudara, semua orang perlu hal itu berkali-kali, Daud perlu itu, kita juga. Itu sebabnya dalam kebaktian, yang penting bukanlah Saudara dapat pengetahuan, tambah lagi, tambah lagi, dan tambah lagi. Saudara datang ke kebaktian bukan untuk mencari hal yang baru, Saudara datang harusnya untuk mencari hal yang lama, yang itu lagi dan yang itu lagi, yaitu diri Allah, apa yang Dia kerjakan bagi engkau, siapa Dia bagimu.
Satu kutipan dari Martin Luther King ketika menyampaikan kotbahnya dalam merespons ketidak-adilan dan penindasan yang dialami di Amerika: “Yesus mengatakan ‘kasihilah musuhmu’, engkau mengatakan ‘O, ini sesuatu yang tidak bisa dihidupi. Hidup yang balas-membalas itu tidak bisa dihindari. Mungkin di sebuah utopia mimpi, hidup yang mengasihi musuh itu bisa terjadi, tapi di dunia sekarang ini, hal itu tidak praktis!’ ” Selanjutnya dia mengatakan, “Saudara-saudaraku, bukankah dunia sudah cukup lama menghidupi yang praktis?! Sejarah menjadi panggung reruntuhan berbagai kebudayaan yang menyerahkan dirinya ke dalam kebencian dan kekerasan. Sudah saatnya kita mengambil jalan yang lain! Kita tidak akan meninggalkan panggilan kita membersihkan negeri ini dari segregasi, namun kita juga tidak akan meninggalkan panggilan kita untuk mengasihi, maka kita akan membuang segregasi, tapi mengasihi kaum segregasionis. Kepada lawan-lawan kita, kita akan mengatakan: ‘Kami akan menghadapi kekerasanmu dengan jiwa kami. Lakukanlah apa yang hendak engkau lakukan terhadap kami, dan kami akan terus mengasihimu. Kami tidak akan mematuhi hukum-hukummu yang tidak adil, tapi silakan jebloskan kami ke penjara, dan kami akan tetap mengasihimu. Silakan kirim kroni-kronimu yang bertopeng itu untuk melakukan kekerasan di tengah komunitas kami, dan kami tetap akan mengasihimu! Silakan kirim orang-orangmu untuk memukuli kami, dan kami tetap akan mengasihimu! Tapi camkan satu hal ini, cinta kami kepadamu akan bertahan lebih lama daripada kebencianmu akan kami. Suatu hari kami akan menang, kami akan mendapat kebebasan, tapi bukan hanya kebebasan bagi diri kami sendiri, namun kami akan sedemikian berdampak dalam jiwamu, sehingga kami juga akan membebaskanmu, kami bahkan memenangkanmu. Maka kemenangan kami akan menjadi kemenangan ganda.’ “
Pemimpin-pemimpin militer sudah bangkit dan runtuh, tapi kerajaan Yesus yang didirikan di atas pondasi kasih akan terus bertumbuh. Marilah menyadari bahwa kita tidak akan pernah menjadi anak-anak Allah kecuali kita mengasihi musuh kita dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading