Kita melanjutkan pembahasan Mazmur 63 bagian yang kedua, yaitu fokus pada ayat 9. Kita membahas Mazmur ini karena kita tahu satu hal, bahwa Iblis benci dan takut akan kebenaran Kristen, tapi strateginya bukan hanya dengan mengajak orang lari menjauh dari kebenaran Kristen, namun seringkali justru dengan cara mem-bablas-kan (exaggerate/ membesar-besarkan/ melebih-lebihkan) kebenaran Kristen.
Saudara tentu masih ingat masa-masa ketika teologi tentang kedatangan Kristus kedua menjadi hot topic di kalangan Kristen, semua orang sibuk membicarakan seperti apa penggenapan-penggenapan kitab Wahyu pada zaman sekarang, toko-toko buku Kristen dipenuhi buku-buku dengan topik ini yang sebenarnya 90% isinya sampah. Adanya obsesi yang tidak sehat mengenai topik ini, memperlihatkan strategi Iblis berhasil, orang-orang yang sungguh-sungguh mau mencari kebenaran yang Alkitabiah akhirnya cenderung menghindari topik-topik tersebut. Kedatangan Kristus sebagai Raja, Kristus yang empunya kata terakhir dalam sejarah, adalah satu hal yang sangat penting, tetapi karena Iblis membuat pembicaraan mengenai kebenaran ini kebablasan, akhirnya kebenaran ini jadi hilang dari pembicaraan.
Kita juga bisa melihat ini misalnya dalam hal kebenaran mengenai predestinasi, kaum pilihan, dsb., yang memang dari Alkitab. Strategi Iblis di sini bukan mengajak orang menghindari hal tersebut, tapi dengan menaruh kebenaran ini di mulut orang-orang yang hyper-Calvinist, sehingga akhirnya orang-orang lain berjalan menjauh dari kebenaran ini karena muak dengan orang-orang hyper-Calvinist yang kebablasan itu.
Hal seperti ini yang kita temui dalam konteks zaman sekarang, yaitu adanya suatu kebablasan dalam hal pengalaman rohani. Soal mengalami Tuhan, hari ini menjadi hot topic yang sudah kebablasan ke mana-mana; pengalaman akan Tuhan, kotbah-kotbah berisi ‘pengalaman saya dengan Allah’, dan semacam itu, menjadi hal yang sangat diminati orang Kristen. Kita tentu tahu letak kebablasannya, yaitu bahwa pengalaman subjektif atau pengalaman pribadi akhirnya menggantikan tempat Injil. Di dalam Alkitab, Roh Kudus adalah Roh Kebenaran; dan pekerjaan Roh Kebenaran adalah mengingatkan kita mengenai karya Kristus, mengenai kebenarannya Kristus (Yoh 17), membawa kita kembali kepada Injil Kristus, kepada pekerjaan Kristus di kayu salib. Tapi yang terjadi hari ini, pekerjaan Roh Kudus di dalam hidup orang Kristen adalah menggantikan pekerjaan Kristus di atas kayu salib –menjadi Injil tandingan.
Hari ini yang jadi kriteria kita orang Kristen sejati atau bukan adalah apakah kita punya pengalaman-pengalaman seperti ini, apakah kita disentuh Tuhan, apakah kita berbahasa roh, dst. Inilah kebablasan yang terjadi pada zaman kita hari ini. Dan ini sangat beresonansi/ nyambung dengan budaya zaman ini yang “ME FIRST”, sehingga orang pun mencari kerohanian yang ‘me first’. Strategi ini nampaknya berhasil, karena orang-orang yang tidak suka dengan teologi ‘me first’ dan maunya iman yang ‘God first’, bereaksi secara negatif / muak terhadap hal ini, akhirnya kita menghindari habis-habisan dan membuang sekalian semuanya itu; dalam bahasa Inggris istilahnya “throwing the baby out with the bathwater” (terjemahan bebas: buang air mandi bayi dan bayinya ikut dibuang).
Orang-orang Kristen, khususnya dalam tradisi Reformed, karena muak dan merasa teologi seperti itu ngawur, akhirnya gagal memberikan ruang yang tepat bagi devosi, pengalaman rohani, dan teologi Roh Kudus ini. Ini menyedihkan. Oleh sebab itu kita perlu belajar Mazmur 63 ini, kita perlu kembali kepada pengalaman rohani yang biblikal, yang sejati, yang normal, yang otentik bagi seorang Kristen. Misalnya Saudara punya bayi lalu bayi itu jarinya ungu-ungu, Saudara akan cari tahu, apakah itu normal atau tidak; lalu katakanlah seorang teman bilang itu mungkin bukan penyakit tapi coba cek di sekitar bayi itu ada apa saja, dan ternyata ada tinta ungu sehingga kemungkinan jari bayi itu kena tinta jadi ungu. Mencari tahu apa yang normal, adalah satu hal yang kita perlukan waktu kita bertumbuh.
Dalam kotbah yang lalu, kita sudah membicarakan tanda pertama suatu pengalaman rohani yang biblikal, (sebenarnya Mazmur ini ada 4 tanda, tapi kita hanya akan membahas 2 tanda), bahwa orang yang mengalami Tuhan adalah orang yang mempunyai spiritual appetite terhadap Tuhan –“Ya Allah, Engkaulah Allahku, maka aku mencari Engkau” (ayat 2). Ini seorang yang percaya, orang yang sudah menemukan Tuhan, orang yang sudah ditemukan Tuhan, tapi yang selanjutnya terjadi adalah dia mencari Tuhan. Dia mencari bukan karena belum menemukan, dia mencari justru karena telah menemukan. Pemikiran ini sangat bertabrakan dengan yang biasa kita pikirkan. Misalnya Saudara membuat documentary mengenai agama-agama di dunia, tentu tidak aneh kalau judulnya “The Long Search” (Pencarian yang Panjang), karena isinya menceritakan bagaimana berbagai macam orang dari berbagai agama di dunia, yang hidupnya dihabiskan untuk mencari dan mencari tuhan, menemukan kepingan-kepingan mengenai tuhan, yang mereka coba susun jadi satu seperti mainan puzzle, dengan harapan suatu hari bisa sungguh-sungguh bertemu dengan Tuhan. Itu memang normal dalam agama-agama di dunia –mencari karena belum menemukan.
Yang menyedihkan, seringkali dalam Kekristenan pun kita punya pemahaman yang tidak berbeda; kalau kita bicara tentang “orang yang sedang mencari Tuhan”, kita pikir konteksnya adalah orang yang belum Kristen atau belum benar-benar Kristen. Buku Purpose Driven Church dari Rick Warren (pengarang Purpose Driven Life), menganjurkan cara agar suatu gereja bisa bertumbuh adalah gereja tersebut harus seeker oriented (berorientasi pada orang-orang yang mencari); dan itu berarti orang-orang yang mencari Tuhan ini belum bergereja, belum mendapatkan Tuhan, mereka mencari karena mereka belum menemukan. Ini sama sekali terbalik dari Alkitab, karena dalam Alkitab tidak pernah domba mencari sang gembala. Waktu Adam dan Hawa sadar akan dosanya, mereka tidak datang ke Taman Eden dan mencari-cari Tuhan, “Tuhan di mana engkau?”, lalu Allah yang bersembunyi karena malu; Saudara tidak mendapati gambaran seperti itu sama sekali dalam Akitab, yang Saudara dapati gambaran yang terbalik. Bukan cuma di Alkitab, ini juga gambaran yang kita terima di dalam realita sehari-hari. Kita sebagai orang Kristen juga seringkali yang harus mencari mereka, kalau kita mau gereja bertumbuh. Orang-orang itu tidak mencari kita. Seandainya mereka yang mencari, tanpa kita perlu mencari mereka pun gereja akan langsung penuh. Tapi realitanya kita yang harus jemput bola mencari mereka, dan itupun tidak tentu mendapatkan, karena susah sekali mengajak orang ke gereja.
Orang-orang yang mencari Tuhan –yang benar-benar mencari Tuhan– yang tiba-tiba suka baca Alkitab, tiba-tiba mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai iman atau keselamatan yang dia sendiri tidak punya jawabannya, justru bagi orang-orang sekitarnya mereka aneh. Mengapa? Karena pada naturnya tidak ada orang yang mencari Tuhan. Sedihnya, hal ini juga terjadi dalam keluarga Kristen; ketika ada anggota keluarga yang tiba-tiba serius mencari Allah, anggota keluarga lainnya merasa aneh. Inilah natur manusia; tidak ada yang mencari Allah karena mereka tidak punya Allah. Dan ini satu penghiburan, bukti bahwa Alkitab memang sangat sinkron dengan realita. Itu sebabnya, benar bahwa Alkitab mengatakan “tidak ada yang mencari Allah”, karena meskipun dunia penuh dengan agama, penuh dengan pencarian akan Allah, tapi mereka bukan mencari Allah yang sejati, mereka mencari allah yang mirip dengan bayangannya sendiri. Ketika ada orang yang benar-benar mencari Allah yang sejati –dalam arti Allahnya Alkitab—itu justru tanda Allah sudah bekerja dalam orang itu, Allah sudah membalik dia. Seseorang menjadi “seeker” bukan berarti dia harus dijangkau, tapi justru tanda bahwa dia telah terjangkau.
Saudara melihat ini juga dalam jemaat mula-mula. Jemaat mula-mula adalah orang-orang yang bertemu langsung dengan Tuhan, mereka mendapatkan Roh Kudus secara begitu spektakuler. Tapi yang terjadi selanjutnya, mereka itu sehari-hari devoting themselves / mengkhususkan diri/ berfokus kepada pengajaran para rasul. Inilah orang-orang yang mencari Tuhan karena mereka menemukan Tuhan. Tanda orang yang sungguh menemukan Tuhan adalah mereka haus dan lapar akan Tuhan, sebagaimana dikatakan Mazmur 63: 2 “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.” Ini juga muncul di Mazmur 143: 6 “Aku menadahkan tanganku kepada-Mu, jiwaku haus kepada-Mu seperti tanah yang tandus.”
Hari ini kita terbalik sama sekali dengan Alkitab, kita tidak senang dengan kehausan dan kelaparan. Kalau hati kita merasa seperti tanah yang tandus tidak berair, kita anggap ada sesuatu yang salah dalam hidup kita dan dalam kerohanian kita. Kita menganggap itu bukan pengalaman rohani yang sejati. Namun kalau Saudara kembali ke Alkitab, gambarannya terbalik; jikalau Saudara mempunyai pengalaman jiwa seperti tanah yang tandus, itu bukan berarti ada yang salah, tapi justru kebalikannya, bahwa ada sesuatu yang benar –something is right. Dan tentu saja kebalikannya juga benar; jikalau dalam hidup kita tidak ada kelaparan dan kehausan, kita merasa puas, kita merasa berkelimpahan sehingga bisa pilih-pilih mau dapat makanan kapan, yang mana, dari siapa, topiknya apa, dsb., mungkin itu justru tanda something is wrong.
Sebagai hamba Tuhan, kadang-kadang kami diundang berkotbah di tempat lain. Salah satu pengalaman yang paling sedih adalah kalau kita datang ke gereja yang cuma namanya doang. Gereja ini mungkin besar, banyak pengunjungnya, ibadahnya meriah, tapi waktu kami naik untuk berkotbah, majelisnya mengatakan, “Maaf Pak, kotbahnya 10 menit saja, mereka cuma tahan 10 menit.” Ini seperti seorang pemain piano yang hebat di suatu kota, begitu banyak yang datang ke konsernya, waktu masuk dia ditepuki tangan begitu meriah, tapi begitu dia duduk di piano, manajer membisikkan, “Maaf, mainnya 10 menit saja, mereka cuma tahan 10 menit.” Bagaimana dengan kita yang di sini? Kita mungkin tahan dengar kotbah 1 jam, tapi ini bukan cuma masalah durasi; bagaimana dengan kehausan dan kelaparan kita? Mungkin kita mengatakan, “Ya, kami tahan dengar kotbah 1 jam, tapi kami cuma tahan dengar kotbah yang menarik, yang praktis, yang mendarat, yang tidak pakai istilah-istilah asing, dsb.” Memang soal istilah asing, dari sisi pengkotbah harus ada gerakan ke bawah, tapi pertanyaannya, Saudara ada pergerakan ke atas atau tidak? Saudara ada pergerakan mencari dan mendekati kebenaran, atau hanya menunggu kebenaran datang kepada Saudara, dan ‘kalau kebenaran tidak datang kepada saya, itu bukan tanggung jawab saya, kalau ada istilah yang tidak mendarat saya tidak perlu cari artinya, saya tidak perlu ada pergerakan ke atas, saya cuma tunggu pergerakan ke saya saja’? Jika demikian, itu berarti Saudara bukan orang yang benar-benar mendekat kepada Allah, yang sudah didekati Allah. Ini mengerikan.
Saya pernah mendengar cerita tentang seorang hamba Tuhan yang berkotbah, dan seperti biasa setelah kebaktian selesai dia menyalami jemaat. Lalu satu jemaat mengatakan seperti ini: “Pak, terima kasih kotbahnya; nanti hari Selasa atau Rabu [karena ini hari Minggu] saya akan tahu apa aplikasi kotbah Bapak buat hidup saya.” Amazing! Orang ini tidak tunggu dikasih tahu apa aplikasinya, dia mencari, dia tahu hal itu tanggung jawabnya, dia tahu bahwa adalah bagiannya untuk mendekat kepada kebenaran. Inilah bukti orang tersebut adalah orang yang telah Allah cari, yang Allah telah raih, yang Allah telah ambil, yang Allah telah pegang. Tanda bahwa kita telah didapati Allah adalah kita bergerak mendapati Allah; ini poin yang pertama.
Kita juga telah membahas bahwa kita tidak punya rasa lapar seperti ini karena kita “makan camilan” untuk mengisi kelaparan itu. Dalam 1 Ptr 2: 1-2 dikatakan: “Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah. Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani” Bahasa Inggrisnya pakai istilah yang lebih kuat yaitu ‘craving the spiritual milk’, atau yang kita sebut ‘ngidam’ (rasa kepingin sekali); bayi yang baru lahir secara natural menginginkan air susu yang murni dan yang rohani. Tapi sebelumnya Petrus mengatakan “buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah”, karena inilah yang membuat kamu tidak seperti bayi yang baru lahir. Bayi rohani yang baru lahir –yaitu orang-orang Kristen—mampu untuk jahat, melakukan tipu muslihat, kemunafikan, kedengkian dan fitnah, dsb., dan semua ini menjadikan mereka tidak ngidam air susu yang murni dan yang rohani. Dosa bukan terutama perbuatan jahat, tapi sesuatu yang menekan dan menggantikan rasa lapar dan haus kita akan Tuhan. Itu sebabnya di gereja ada pertemuan-pertemuan Kristen, yang tujuan utamanya bukan supaya Saudara memuji Tuhan atau bertemu orang-orang Krsten lain, bahkan juga bukan terutama supaya Saudara mendengar kotbah atau memberi persembahan, melainkan supaya Saudara kembali dibikin lapar dan haus akan Tuhan. Orang yang ikut Pemahaman Alkitab, retreat NRETC, atau semua kegiatan-kegiatan untuk mengetahui tentang Tuhan, bukan tanda dia seorang Kristen yang elit melainkan tanda dia seorang Kristen yang normal. Itu bukan perilaku seorang Kristen yang elit melainkan perilaku seorang Kristen yang normal, yaitu senantiasa merasa lapar dan haus, senantiasa merasa seperti tanah yang tandus dan kering tidak berair.
Apa tanda yang kedua, yang adalah detak jantung normal seorang Kristen? Kita menemukannya di ayat 9, “Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku.” Kata ‘melekat’, kata aslinya adalah dabaq atau dâbheqâh, yang diambil dari Kej 2 ketika dikatakan: “a man shall leave his parents and shall cleave unto his wife” –seorang pria akan meninggalkan orangtuanya dan akan bersatu dengan istrinya. Kata ‘melekat’ kesannya agak pasif, hanya menempel, tetapi kata yang dipakai di sini punya arti berpaut, tidak bisa lepas, persatuan yang seperti seorang suami kepada istrinya.
Semua tanda-tanda yang kita bicarakan itu bukan tanda manusia secara naturalnya. Manusia natural tidak akan punya spiritual appetite terhadap Tuhan. Manusia natural juga tidak mau melekat/ berpaut/ bergantung kepada Tuhan; dia maunya jadi independen, berdiri di atas dua kakinya sendiri. Kekristenan bagi orang-orang natural hanyalah seperti sebuah crutch/ kruk –tongkat untuk menopang orang yang tidak mampu berdiri sendiri—bagi orang-orang lemah. Dosa di Taman Eden bukanlah pembunuhan, bukan perzinahan, bukan terorisme; dosa di Taman Eden adalah deklarasi sepihak akan kemerdekaan, yaitu kita mau independen, kita mau berdiri di atas dua kaki sendiri, kita mau menentukan apa yang baik bagi diri kita sendiri, kita mau jadi juruselamat dan allah bagi diri kita sendiri. Dosa inilah –bukannya dosa pembunuhan—yang membuat dunia hari ini penuh dengan kerusakan, penderitaan, pembunuhan, prostitusi, dan semua yang lain. Oleh sebab itu, jika Kristus datang untuk membalikkan kerusakan ini, untuk memutar balik dosa, maka logikanya berarti dengan cara menghancurkan kebebasan itu, menghancurkan kemerdekaan itu, dan merestorasi ketergantungan kita akan Tuhan. Dan tentu saja kita bisa mengatakan bahwa kemerdekaan yang sejati justru ada di dalam ketergantungan ini. Inilah satu pengertian yang dirangkum Daud dalam kalimatnya, "jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku.”
Apa maksudnya berpaut dengan Tuhan? Mungkin kita mengatakan, kalau orang dunia katanya tidak mau berpaut, berarti kita lumayan dong karena kita ini orang-orang yang selalu cari kehendak Tuhan. Waktu cari pacar, kita tanya ‘seperti apa pacar yang Tuhan mau’; kalau berbisnis, kita tanya ‘bisnis macam apa yang Tuhan mau’, bukankah itu berarti kita bergantung dengan Tuhan?? Sedangkan orang-orang natural itu memang amit-amit tanya kepada Tuhan kalau cari pacar, mereka itu bilang ‘no way! Ini hidupku, gua yang pacaran, gua yang tentukan aturannya; gua mau berbisnis menurut aturan gua juga’. Jadi kita ini sepertinya lumayan, paling tidak kita selalu ingin tahu Tuhan maunya apa dalam hidup kita, bahkan kita berpikiran bahwa kita tidak bisa menentukan apa yang benar bagi diri kita sendiri; bukankah itu menunjukkan kita lumayan positif??
Jawabannya: memang di satu sisi benar, tapi Saudara jangan lupa cerita “Anak yang Hilang”. Anak yang hilang itu 2 orang; yang bungsu maupun yang sulung, dua-duanya hilang. Anak bungsu hilang dengan cara kabur dari bapaknya, tidak mau ikut aturan bapaknya. Anak yang sulung hilang justru dengan cara ikut bapaknya, taat kepada bapaknya. Tapi dia terhilang, karena dia ikut bapaknya bukan demi bapaknya melainkan untuk dirinya; Kalimat terakhir yang dia ucapkan: “berpuluh-puluh tahun aku bekerja bagimu, aku ikut dengan engkau, aku taat semua perintahmu, tapi tidak satu kali pun engkau memberikan kepadaku kambing domba untuk aku rayakan bersama teman-temanku” –ujungnya untuk kambing domba, bukan untuk Allah. Oleh sebab itu, kalau Saudara merasa mencari kehendak Tuhan, hal tersebut tidak memastikan bahwa itu pengalaman rohani yang tepat, karena bisa saja Saudara ingin mencari pacar yang tepat supaya ‘keluarga saya harmonis’. Memang itu tidak salah, tapi kalau menjadi tujuan yang terakhir, itu jadi salah. Kalau ingin mencari bisnis yang tepat supaya ‘bisnis saya diberkati Tuhan’, itu bukan menginginkan Tuhan tapi ingin bisnis yang diberkati Tuhan. Ini bukan mencari Allah yang sesungguhnya, bukan melekat dan berpaut kepada Tuhan yang sesungguhnya. Ini adalah sifat orang Farisi, yang mau taat kepada Allah justru untuk mengontrol Allah, untuk suatu hari bisa mengatakan “Tuhan, aku ini orang Kristen yang baik lho, aku selama ini melakukan yang Kau suruh, mengapa hidupku seperti ini??” –seakan ada hak untuk mengatakan ‘bukankah Kamu utang pada saya?’ Inilah sifat orang yang terhilang dari hadapan Tuhan.
Bagaimana mengetahui pengalaman rohani yang sejati dalam berpaut dan melekat kepada Tuhan? Dengan melihat diri Saudara ada pergerakan ke mana, apakah Saudara hanya menunggu Allah bergerak kepada Saudara atau Saudara ada pergerakan untuk mencari Dia? David Martyn Llyod-Jones mengatakan bahwa mulanya dia bingung dengan Mazmur 119 yang mengatakan ‘aku cinta akan taurat-taurat-Mu’, koq, bisa ya?? Kalau ‘aku cinta dengan keindahan-keindahan-Mu’, itu masih oke. Kalau ‘aku cinta akan umat-Mu’, juga masih oke. Kalau ‘aku cinta akan kebaikan-Mu’, itu juga oke; tapi ‘aku cinta akan taurat-taurat-Mu’?? Taurat, perintah, duty, aturan, rules, itu sesuatu yang membebani dan bukan yang penuh dengan rasa cinta, jadi bagaimana bisa seperti itu??
elanjutnya dia menjelaskan ekuivalennya adalah seperti orang jatuh cinta. Waktu Saudara jatuh cinta pada seseorang, Saudara tidak menunggu dia bergerak ke Saudara tapi Saudara langsung bergerak ke dia. Kalau kita sedang naksir seseorang, kita tidak tunggu dikasih tahu dia mau makan di mana tapi kita mencari tahu, kita perhatikan dia habis-habisan, kita yang datang kepada dia, kita yang mencari dia, kita yang bergerak menuju kepada dia. Lalu waktu bawa dia ke tempat makan, kita tidak tunggu dia mengatakan “gua sukanya KFC, gua ‘gak suka Mc.D”, tidak tunggu dia mengatakan “gua sukanya teh, ‘gak suka kopi”, kita mencari tahu dengan sendirinya, bukan cuma cari tahu dari dia tapi juga dari teman-temannya, dsb. Kalau dengar temannya mengatakan “dia itu sukanya ini, ‘gak suka itu”, kuping Saudara langsung naik dan langsung catat, next time akan berikan yang dia suka tersebut. Apa arti semua itu? Itulah taurat, aturan. Taurat itu memberi tahu cara berelasi dengan Allah, Dia maunya seperti ini dan itu; demikian juga waktu kita pacaran kalau mau berelasi dengan dia, caranya begini begitu. Dan kita tidak seperti orang yang menjalankan ini semua sebagai suatu aturan, kewajiban, tanggung jawab. Inilah yang dinamakan berpaut, seperti seorang suami berpaut kepada istrinya. Jika kita tidak pernah punya pengalaman “Tuhan, Engkau mau saya kerjakan apa?”, saya jadi ragu apakah kita benar-benar orang Kristen.
Bagian ini bukan cuma mengatakan hal yang pertama yang menjadi bagian kita, yaitu berpaut dengan Tuhan, tapi ada kalimat kedua yang menjadi bagian Tuhan, yaitu tangan-Nya menopang kita. Kedengarannya positif, tapi ternyata tidak juga, karena waktu tangan Tuhan memegang kita, itu punya implikasi yang mengerikan. Kita melihat dari Yes 41: 13-14 “Sebab Aku ini, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu: "Janganlah takut, Akulah yang menolongengkau. Janganlah takut, hai si cacing Yakub, hai si ulat Israel! Akulah yang menolong engkau, demikianlah firman TUHAN, dan yang menebus engkau ialah Yang Mahakudus, Allah Israel." Di sini kata ‘si cacing Yakub, si ulat Israel’ tentunya sebuah panggilan komunal, bukan betul-betul bicara kepada Yakub yang di kitab Kejadian. Tapi perkataan ini tampaknya juga disengaja untuk mengingatkan kita kepada figur Yakub, karena Yakub itu orang yang independen. Dia bisa memanipulasi bapaknya, kakaknya, dan juga Laban, sampai-sampai Yakub ini bisa membuat domba-domba ada yang belang-belang dan ada yang tidak, dsb.; pendeknya, Yakub itu manipulator. Dan poin pertobatannya adalah ketika Allah menamai dia ulang, “engkau bukan lagi Yakub, tapi Israel”. Itu terjadi justru ketika Allah menghantam dia sehingga terpelecok, dan membuat dia lumpuh, membuat dia helpless, membuat dia tidak lagi independen. Betapa mengerikan. Kalau Saudara sungguh-sungguh menghayati Allah yang menopang, itu berarti Saudara tahu satu hal, bahwa diri Saudara adalah cacing dan ulat. Ini pemberian yang sulit diterima.
Satu contoh, waktu ulang tahun biasanya banyak orang memberikan hadiah. Tapi kadang ada hadiah-hadiah yang Saudara perlu kerendahan hati untuk menerimanya, misalnya dikasih parfum, lalu kita pikir ‘jadi maksudnya apa??’ Atau waktu orang kasih hadiah, tapi hadiahnya itu obat kumur, kita mungkin jadi merasa sesuatu yang tidak enak. Ada hadiah-hadiah tertentu yang Saudara hanya bisa menerimanya di dalam kerendahan hati, yang menuntut Saudara merendahkan diri dan mengakui ‘ya, saya perlu ini’. Topangan Tuhan juga seperti itu. Menerima topangan Tuhan itu tidak sebegitu gampangnya. Menerima topangan Tuhan berarti Saudara melihat diri sebagai ulat dan cacing. Kalau kita merasa ini satu hal yang ofensif ketika dikatakan ‘hai ulat, hai cacing’, mungkin kita harus bongkar diri kita, jangan-jangan kita adalah orang-orang yang bagaimanapun juga masih kafir, kita masih kepingin jadi orang yang self-sufficient, yang mandiri. Memang benar perkataan orang-orang sekuler, “Kekristenan itu tongkat buat orang pincang, sedangkan saya orang yang independen jadi saya tidak perlu itu”. Ini observasi orang sekuler, tapi observasinya tepat. Kekristenan memang tongkat buat orang pincang (kruk); dan kalau kita tidak mengakui dan sadar akan hal ini, berarti kita belum benar-benar mengerti realita, diri kita, dan Allah.
Hal kedua yang bisa kita lihat di bagian ini, bukan cuma tentang artinya berpaut dan Tuhan menopang, tapi juga urutannya. Dalam hal ini Alkitab bahasa Indonesia dan bahasa Inggris urutannya terbalik kalau dibandingkan Alkitab bahasa Ibrani. Urutan kalimat dalam Alkitab bahasa Ibrani bukan ‘kami berpaut kepada-Mu – Engkau menopang kami’, melainkan ‘Engkau menopang kami – kami berpaut kepada-Mu’. Saya tidak tahu alasannya dalam Alkitab kita dibalik, tapi urutan dalam bahasa Ibraninya ini kembali menggaungkan hal yang kita sudah bicarakan dalam poin pertama. Urutan yang tepat di dalam Alkitab, bukanlah kita berpaut kepada Tuhan maka Allah menopang kita, melainkan kita berpaut kepada Tuhan karena Allah telah terlebih dahulu menopang kita. Tanda bahwa Allah sungguh-sungguh menopang kita adalah kita berpaut kepada Dia. Kita aktif memegang Dia, itulah tanda bahwa Allah menopang kita. Pengalaman rohani ternyata paradoks, di bagian yang pertama, merasa kehilangan justru berarti punya, dan mencari berarti memiliki; demikian juga di bagian ini, ditopang berarti pegangan secara aktif dan bukannya santai-santai.
Kita seringkali berpikir, kalau Tuhan memegang kita, maka kita menyerah, berserah, pasif. Kalimat yang seringkali berseliweran di antara orang Kristen: “Let go and let God”, seakan-akan kalau Allah bekerja dalam hidup saya, memegang saya, berarti respon saya adalah saya melepaskan (let go). Tapi di bagian ini justru Allah menopang kita dan itu berarti kita secara aktif berpegangan, kita mendekati Dia seperti seorang suami mendekati istrinya. Ini sepertinya aneh bagi kita, dan di sinilah bahayanya, karena kita hari ini punya konsep yang sama sekali terbalik. Kesaksian hidup Kristen yang Saudara sering dengar pada dasarnya mengatakan ‘saya tidak ngapa-ngapain, dan Tuhan bekerja’, misalnya mobil mogok tengah malam dan kita tidak tahu sama sekali tentang mesin lalu kita berdoa dan tiba-tiba mesinnya jalan, lalu bagi kita itu pekerjaan Tuhan. Sedangkan ketika seorang petani rajin mengerjakan sawahnya dan memberi pupuk lalu tumbuh padi yang subur, ini tidak laku sebagai kesaksian pekerjaan Tuhan; kesaksian yang laku adalah kalau kita tidak ngapa-ngapain dan Tuhan bekerja, tapi ini bukan gambaran Alkitab.
Gambaran Alkitab adalah Allah bekerja, Allah menopang, dan buktinya/ tandanya kita ini berpegang mati-matian kepada Dia. Di situ kita juga bekerja, bahkan berusaha. Kol 1: 29 Paulus mengatakan: “Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku.” Saudara lihat pola yang sama di sini, pekerjaan Tuhan yang kuat dalam diri kita, tandanya justru adalah kita bergumul, bekerja, berusaha, dan bukannya lepas atau let go and let God. Ini sangat berlaku dalam kehidupan seorang pelayan. Kalau Saudara mengajar Sekolah Minggu atau mengajar Alkitab atau berkotbah, Saudara mungkin punya pengalaman penuh pergumulan dan usaha yang kadang-kadang seperti mentok ketika mempersiapkan hal itu, seperti tidak tahu mau bicara apa, sampai akhirnya tidur kecapaian dengan sebelumnya berdoa “Tuhan, tolong, tidak tahu besok mau omong apa”; kemudian besoknya bangun, mengajar/ berkotbah, dan entah bagaimana, Tuhan itu menyertai. Kalau kita melihat hal ini dengan kacamata Alkitab, memang inilah yang normal, bukan yang salah.
Saya sendiri suka mengajar, sedangkan berkotbah bagi saya mimpi buruk, ada sesuatu yang mengerikan di dalam berkotbah. Setiap Sabtu malam yang besoknya berkotbah, saya merasa ketakutan, sepertinya bahan-bahan yang sudah disiapkan tidak ada yang nyambung, sampai-sampai pagi-pagi sudah bangun, melihat lagi, dan membereskan lagi bahan kotbah. Lalu entah bagaimana, ketika berkotbah, Tuhan menyertai. Hal ini tadinya saya pikir tidak normal, tidak seharusnya begitu pengalaman orang Kristen, dan harusnya semakin sering berkotbah maka saya semakin bertumbuh, semakin santai, semakin nyaman –seperti waktu mengajar—begitu buka mulut langsung Tuhan kasih kata-kata. Tapi ternyata tidak. Menurut Alkitab, ternyata tanda dari pekerjaan Allah di dalam diri seseorang adalah dia itu berusaha, bergumul, habis tenaga untuk melakukan pekerjaan itu. Sementara pengkotbah yang tidak ada waktu untuk persiapan, tidak ada toil, labor, strive, yang katanya mengandalkan Tuhan taruh kata-kata dalam mulutnya, maka isi kotbahnya itu lagi itu lagi. Let go and let God, itu bukan Alkitab.
Alkitab mengatakan, ‘kamu mau memperlihatkan Allah yang bekerja, tandanya adalah: kamu bekerja; kamu mau memperlihatkan Allah yang sedang menopang, tandanya adalah: kamu berpegangan erat’. Kita bisa melihat hal ini pada Daud. Di mana Daud belajar prinsip ini? Di dalam pengalaman padang belantaranya. Inilah sebabnya Allah seringkali memberikan kepada kita pengalaman padang belantara, karena di situ kita baru mengenal siapa diri kita, yang adalah cacing dan ulat; kita baru tahu bahwa kita perlu berpegang sepenuhnya. Saya baru tahu bahwa kotbah yang normal, yang diberkati Tuhan, yang Tuhan bekerja, adalah kotbah yang bikin saya setengah mati mempersiapkannya. Saat di mana saya tidak lagi bergumul untuk berkotbah, itu justru kotbah yang di dalamnya Allah tidak bekerja. Inilah bukti bahwa Allah sungguh mengasihi kita, karena bagi Allah kenyamanan hidup kita tidak terlalu penting dibandingkan pengenalan yang sejati akan diri kita, akan Allah, dan akan realita. Oleh sebab itu Tuhan kita berani dan rela mengorbankan kenyamanan-kenyamanan dalam hidup kita demi kita belajar hal tersebut. Kalau Saudara tidak pernah ada pengalaman seperti ini, itu mengerikan. Masalahnya, ketika kita berada dalam pengalaman padang belantara, respon kita bingung, syok, merasa ada yang salah; kita mengatakan ‘harusnya ‘gak begini ‘kan?! mengapa saya selalu merasa hati saya seperti padang tandus tidak berair? mengapa saya tidak merasakan kehadiran Tuhan? ini pasti pengalaman rohani yang tidak sejati!’ Tapi jawabannya justru itu adalah pengalaman rohani yang sejati.
Poin berikutnya, kata dabaq atau dâbheqâh bukan cuma muncul di Kej 2 tapi juga dalam kisah Rut. Rut 1: 14-17, ‘Menangis pula mereka dengan suara keras, lalu Orpa mencium mertuanya itu minta diri, tetapi Rut tetap berpaut [dâbheqâh] padanya. … Tetapi kata Rut: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; … " Berpaut kepada Allah berarti berpaut kepada umat Allah; berpaut kepada Allah tanpa berpaut kepada umat Allah, itu tidak ada di Alkitab. Bukan cerita baru kalau ada orang yang bertobat lalu punya hubungan yang indah dengan Tuhan, mau belajar, haus mendengar kebenaran, dan semua berjalan baik sampai dia ketemu dan betul-betul tahu yang namanya umat Allah itu seperti apa; dan dari situ mulai ada penurunan, ada komplain, dan segala macam lainnya. Inilah tanda yang berikutnya, pengalaman berpaut dengan Allah yang sejati berarti berpaut dengan umat Allah, dan ini munculnya dari kelemahan, dari hati yang tandus tidak berair.
Kita tahu ada banyak kekurangan dalam gerakan kita, dan adakalanya orang tanya ‘jika kamu sudah tahu begitu, mengapa kamu tetap dalam gerakan ini?’ Saya inginnya menjawab seperti ini: ‘karena saya berpegang pada kebenaran, karena ada prinsip yang saya pegang, karena saya berpaut dengan hal itu’; tetapi pada akhirnya saya menemukan bahwa alasan utamanya adalah karena saya tidak sanggup hidup di luar sana, tanpa teman-teman atau sahabat-sahabat yang ada dalam gerakan ini. Memang ada seorang teman yang sudah keluar dan kembali ke pekerjaannya, dan dia stres; tapi gambarannya bukan dia yang di luar itu stres sementara kami yang di dalam tidak, melainkan dia stres di luar sana dan kami stres di dalam sini. Bedanya, kami stres bersama-sama, sementara dia stres sendirian. Persahabatan di antara kami bukan cuma pergi makan dan bicara basa-basi, tapi kami sudah mengalami susah senang bersama-sama, indah buruk bersama-sama, selama bertahun-tahun, dan ketika kami berkumpul ada semacam trust yang tidak tergantikan, yang jika suatu hari saya keluar maka saya kehilangan ini. Betapa ini gambaran kelemahan, yaitu saya tidak sanggup di luar sana sendirian. Dan lewat bagian ini saya dihiburkan, karena berpegang kepada Allah itu tidak lepas dari berpegang kepada umat-Nya. Orang Kristen sejati adalah mereka yang mengetahui dirinya lemah, bodoh, dan oleh sebab itu bergantung kepada Tuhan, karena mereka tahu dirinya cacing dan ulat.
Di dalam buku Tim Keller mengenai penderitaan, dia mengatakan bahwa orang Kristen seringkali menderita dari 2 sumber. Sumber pertama adalah penderitaan itu sendiri, misalnya kalau kita sakit kanker maka sakit kanker itulah penderitaannya, atau kalau kita ditipu orang maka jadi sakit hati. Tapi sumber kedua, yang lebih jadi faktor penderitaan kita, bukanlah penderitaan itu sendiri melainkan ketidak-siapan kita untuk menderita, kita syok, ‘koq bisa saya menderita seperti ini?’ Inilah yang membuat kesakitan menjadi kesengsaraan. Kalau Saudara membesuk orang yang sakit kanker, dia tidak tanya “mengapa ada kanker” melainkan “mengapa saya kena kanker”. Dia tidak menyangka dirinya bisa kena penderitaan, dan itu membuat dia lebih menderita dibandingkan penderitaan itu sendiri. Orang yang tahu dirinya bisa menderita, hal tersebut tidak akan jadi kesengsaraan baginya. Seorang ibu yang memberi dirinya ditabrak truk ganti anaknya karena dia mendorong anaknya, di ambang kematian dia tidak akan berpikiran ‘mengapa saya dapat nasib begini’, yang ada dalam pikirannya hanya ‘anak saya selamat, tidak masalah saya buang nyawa saya’. Penderitaan itu tidak jadi kesengsaraan buat dirinya. Inilah yang juga terjadi dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen. Banyak dari kita tidak menyangka, bahwa kehidupan Kristen itu penuh dengan pergumulan dan usaha, bahwa pengalamannya dipenuhi dengan rasa lapar dan haus. Hal paling indah yang Mazmur ini katakan kepada kita adalah bahwa ini semua adalah hal yang normal.
Bukankah tanda Saudara hidup adalah Saudara senantiasa akan merasa lapar dan haus lagi, dan lagi, dan lagi? Ada saatnya Saudara tidak lagi merasakan lapar dan haus, yaitu saat Saudara harus cari dokter, atau Saudara sudah meninggal. Tanda bahwa Saudara punya tenaga/ energi yang bekerja dalam tubuh Saudara adalah Saudara akan bekerja dan berusaha. Semua itu normal dalam hidup kita, lalu mengapa dalam kehidupan rohani kita mengharapkan yang beda?? Dan kembali lagi, bagaimana bisa mempunyai kekuatan untuk melakukan semua ini? Sekali lagi, jawabannya adalah Saudara menemukan hal ini dalam Kristus, atau tidak.
Kristus berpaut kepada Allah Bapa, Dia bergantung total kepada Allah Bapa, Dia mengatakan “semua yang Kukatakan, bukan dari diri-Ku tapi dari Allah Bapa. Semua yang Aku lakukan, bukan dari Aku, tapi dari Allah Bapa”. Bedanya dengan kita, Kristus berpaut bukan karena Dia cacing, Dia berpaut meskipun Dia setara dengan Allah Bapa. Kalau kita mau punya kekuatan untuk berpaut dengan Allah, kita harus melihat Kristus. Kristus itu terlebih dahulu berpaut kepada Allah, bukan karena Dia cacing, bukan karena Dia tidak mampu, bukan karena Dia harus berpaut dengan Allah. Dia berpaut kepada Allah meskipun Dia setara dengan Allah, Dia tidak melihat kesetaraannya itu sesuatu yang perlu Dia pegang erat (cling), Dia berpaut kepada Allah meskipun Dia tidak perlu berpaut. Inilah bukti Allah yang sejati. Allah sejati tidak merasa perlu setara dengan Allah, hanya manusia, yang sebenarnya bukan Allah, yang ingin setara dengan Allah.
Dan jangan lupa, Kristus bukan hanya berpaut kepada Bapa, Dia melepaskan kesetaraan dengan Bapa –Dia berhenti berpaut pada kesetaraannya dengan Allah Bapa—karena Dia mau berpaut kepada kita. Siapa kita? Cacing dan ulat. Sejauh Saudara melihat Dia telah berpaut kepadamu, sejauh itu juga Saudara bisa berpaut kepada Dia. Inilah sebabnya, kita berpaut kepada Dia, adalah tanda Dia terlebih dahulu menopang kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading