Kita melanjutkan tema eksposisi kehidupan Daud, dan kita bukan hanya membahas sejarah mengenai Daud tapi juga melihat mazmur-mazmur yang Daud tulis. Ini penting, karena waktu melihat sejarahnya, mata kita melihat kehidupan Daud dari luar; sedangkan waktu melihat mazmur, berarti kita melihat dari dalam lubuk hati Daud sendiri.
Mazmur 63 ini bicara mengenai “mengalami Tuhan”. Topik ini sangat perlu kita bicarakan, khususnya karena dalam konteks kita sekarang ada semacam 2 pandangan/ ekstrim mengenai ‘mengalami Tuhan’. Di satu sisi, Kekristenan yang tidak ada pengalaman rohani yang dalam –kita mungkin ada di dalam Kekristenan yang lebih ke arah tradisi seperti ini—dan kita merasa sepertinya Kekristenan yang kita alami ini kurang sesuatu, kebanyakan cuma urusan keyakinan, konsep, doktrin, atau juga urusan sikap, perilaku, dsb. Di sisi lain, ada orang-orang Kristen yang justru selalu membicarakan pengalaman rohani yang mereka alami setiap hari, selalu merasa diberkati, selalu merasa ada tangan Tuhan, setiap hari mengalami Allah dan mengalami wahyu Allah. Waktu kita membandingkan keduanya, sebenarnya mana yang benar? Mana yang seharusnya kita miliki? Apa yang normal, yang Alkitabiah, dalam hal mengalami Allah?
Dalam Alkitab tentu saja banyak pengalaman-pengalaman rohani yang luar biasa; Saudara melihatnya dalam hidup Abraham, Yakub, Musa, Daud, Maria, dsb. Tapi kita tidak bisa melihat pengalaman mereka itu sebagai standar yang normal akan artinya pengalaman rohani dalam hidup orang Kristen, karena mereka itu mengalami hal-hal yang memang khusus, yang ada dalam inti sejarah keselamatan, dan pengalaman-pengalaman yang dicatat Alkitab tersebut banyak yang sama sekali tidak terulang lagi dalam hidup mereka. Itu sebabnya waktu kita membicarakan pengalaman rohani, kita kembali ke Mazmur, karena Mazmur bukan cuma diberikan bagi orang-orang besar itu –raksasa-raksasa iman itu—tapi untuk semua orang yang mengakui Alkitab sebagai standar hidupnya; dan juga karena Mazmur itu kacamata dari dalam lubuk hati seseorang, bukan sekedar pandangan dari luar. Saya memilih Mazmur 63 dalam pembahasan kita, karena inilah mazmur ketika Daud sedang dalam pelarian di padang belantara; dan dalam pembahasan cerita Daud, kita memang masih membahas kehidupannya seputar itu. Kita akan fokus pada empat ayat yang pertama.
Prinsip pertama yang bisa kita tarik dari bagian ini, mengenai pengalaman rohani yang sejati adalah orang-orang yang mengalaminya akan memiliki spiritual appetite. Istilah ini sulit diterjemahkan; biasa kita menerjemahkan appetite sebagai nafsu makan/ selera. Tapi yang mau ditekankan oleh istilah appetite di sini bukan cuma soal nafsunya atau seleranya, melainkan sisi kehausannya, perasaan laparnya, perasaan kekosongannya. Jadi kalau biasanya kita menerjemahkan appetite dalam arti memiliki sesuatu, di sini justru saya mau tarik ke sisi sebaliknya, yaitu perasaan tidak memiliki sesuatu. Kehausan atau kelaparan bukanlah suatu keinginan. Kalau kita “kepingin” sesuatu, itu berarti suatu keadaan netral lalu kita kepingin sesuatu itu dan kalau ada akan sangat baik. Sedangkan kalau kita “haus”, berarti ada sesuatu yang minus, yang kosong; ada hasrat/ dorongan yang datang bukan karena kita menginginkannya secara aktif, bahkan bisa jadi kita juga tidak mau. Contohnya orang yang kebelet, itu bukan karena dia menginginkannya, tapi dia harus, dia hanya tidak tahan, bukannya mau secara aktif, ada suatu kekosongan/ vakum yang harus diisi. Spiritual appetite yang saya katakan, adalah dalam pengertian seperti ini.
Tanda pertama seorang yang sungguh berada dekat Tuhan, yang sungguh-sungguh mengalami Tuhan secara genuine, adalah mereka merasa kurang dekat dengan Tuhan. Orang yang benar-benar dekat dengan Tuhan, dia merasa kurang dekat dengan Tuhan, dan tidak tahan akan jarak yang ada. Sifat paradoks seperti ini mungkin sudah cukup familiar di telinga kita, tapi coba kita pikirkan lebih lanjut, dan kita akan menemukan lagi beberapa kejutan. Di ayat 2, Daud tidak mengatakan ‘Allah, aku mencari-Mu; jika Kamu ada, aku sedang mencari-Mu sekarang, tidak tahu Kamu ada atau tidak’. Bukan itu. Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa kita mencari Allah maka kita menemukan Allah. Alkitab mengatakan bahwa kita bisa haus, lapar, mencari Allah, justru karena kita telah menemukan Allah. Ini satu hal yang lebih paradoks lagi.
Kita percaya, dalam Alkitab jelas sekali dikatakan bahwa manusia tidak akan mulai mencari Allah sebelum Allah mendapatkan dia; Roma 3: 11 mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang mencari Allah”, dan ini mengutip Mazmur 14 dan 53. Ini hanya berarti satu hal, bahwa jikalau seseorang mencari Allah, itu karena orang ini telah menemukan Allah, bukan karena dia belum menemukan Allah. Di ayat 2 Daud mengatakan, “aku mencari-Mu”, dan paradoksnya adalah bahwa dia mencari bukan karena dia tidak ketemu, tapi justru karena dia menemukan. Orang yang dekat dengan Allah justru merasa dirinya belum mendapatkan Allah. Ini prinsip spiritual appetite.
Coba kita kembali ke teksnya; di ayat 2, perhatikan sebelum kalimat “aku mencari-Mu”, kalimatnya adalah “Ya Allah, Engkaulah Allahku” (O Lord, O God, You are my God) –Allahku, aku menemukan Engkau, aku mendapatkan Engkau, maka aku mencari Engkau. Jadi mana yang penyebab, mana yang hasil? Bukankah biasanya terbalik? Tapi bahasa yang di pakai di sini sangat jelas; waktu Daud mengatakan “Engkaulah Allah-ku”, akhiran –ku ini sangat signifikan dalam bahasa Alkitab, karena ada beda antara mengatakan “Allah” dengan “Allah-ku”. Ini adalah bahasa kepemilikan, bahwa Daud berada dalam satu relasi dengan Allah yang sedemikian, yang jelas sekali dalam bahasa Inggrisnya, “O God, You are my God”. Berapa banyak orang dalam hidup kita yang bisa kita panggil seperti ini, yaitu dengan akhiran “–ku”? Saudara tidak akan menyebut orang dengan bahasa kepemilikan seperti ini kecuali ada relasi di baliknya sangat intim dan kuat, dan Saudara punya confidence yang tinggi akan relasi tersebut.
Daud menggunakan bahasa seperti ini terhadap Allah, “Engkaulah Allah-ku”. Itu berarti dia ada hubungan yang sangat erat dengan Allah ini, dia memiliki Allah ini, dan dimiliki oleh Allah ini. Lalu, kalimat selanjutnya, “Aku mencari Engkau”. Koq aneh ya? Tidak dikatakan “aku mencari Engkau, maka Engkau menjadi Allahku”, melainkan sangat jelas dikatakan: “karena Engkau Allahku, maka aku mencari Engkau”. Inilah satu prinsip yang kita lihat langsung sejak awal; tanda seseorang sudah memiliki pengalaman rohani yang sejati adalah bahwa orang ini justru kelaparan dan kehausan akan Dia. Tentu prinsip sebaliknya juga benar; jikalau seseorang mengalami Allahnya hanya secara tidak jelas, dia juga punya rasa lapar dan haus yang tidak jelas –harusnya sudah jam makan, tapi koq saya belum rasa lapar ya—semacam itu.
Kalau kita telusuri lebih lanjut lagi, prinsip ini bahkan bisa kita pakai untuk menjelaskan Kejadian 3. Dalam Kej 3, mengapa Adam dan Hawa kabur dari Tuhan? Karena mereka kehilangan Tuhan. Mengapa mereka tidak mencari Tuhan? Tentu saja karena mereka kehilangan Tuhan. Mereka jatuh, dan mereka kabur dari Tuhan, karena mereka kehilangan Tuhan, mereka tidak memiliki Tuhan; itu sebabnya mereka tidak mencari Tuhan. Sebaliknya, prinsip ini menjelaskan perilaku Tuhan Allah juga. Dalam Kej 3, Tuhan datang mencari Adam dan Hawa. Kita sering bingung dalam bagian ini; kita pikir Tuhan itu mahatahu, mahakuasa, mahaada, tapi mengapa bisa muncul kalimat dari Tuhan: “Adam, di mana kamu” ? Bagaimana mungkin Allah bisa tidak tahu di mana Adam? Banyak orang berusaha menjelaskan bagian ini, tapi saya rasa penjelasan yang paling bagus adalah prinsip tadi. Kalau kita bingung dalam hal ini, itu disebabkan karena kita terkunci dengan pikiran manusia, bahwa mencari itu karena belum memiliki. Allah mencari Adam dan Hawa, karena Adam dan Hawa adalah milik-Nya. Adam dan Hawa tidak mencari Tuhan, justru karena mereka kehilangan Tuhan. Kalau pakai logika dunia harusnya: Adam dan Hawa itu tidak memiliki Tuhan, maka mereka mencari Dia; tapi kita tidak melihat yang seperti itu. Jadi jelas sekali, di sini mengikuti pola yang Alkitabiah sebagaimana sedang kita bahas, bahwa Allah mencari, justru karena Allah telah menemukan mereka. Dalam Lukas 19 Tuhan Yesus mengatakan, “sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang”. Yang mencari, selalu adalah yang memiliki; gembala itu yang mencari domba, tapi domba tidak mencari gembala.
Kita bisa memberikan satu gambaran lagi yang lebih tajam, bahwa orang yang merasakan pengalaman absence of God, perasaan Allah yang mangkir, perasaan tidak puas dengan ketidak-hadiran Allah dalam hidupnya, itu justru adalah tanda bahwa Allah telah menyentuh orang tersebut. Kalau ada perasaan seakan-akan Allah tidak hadir dalam hidup, perasaan kepingin Allah hadir, perasaan ada yang kurang yaitu kehadiran Allah, itu semua justru tanda kehadiran Allah dalam hidup orang ini. Saya memakai istilah ‘perasaan’, karena hal ini bukan cuma dalam level pengetahuan intelektual, ini bukan seperti orang mengatakan, “Ya, saya tahu Allah tidak hadir dalam hidup saya”. Ini satu perasaan seakan Allah itu tidak ada, seakan tempat yang harusnya diisi Allah terasa kosong dan Allah tidak ada. Ketika Saudara punya pengalaman absence of God seperti ini, justru ini adalah bukti/ tanda dari presence of God. Ini paradoksnya, dan ini prinsip Alkitab.
Bagaimana Saudara bisa tahu bahwa Saudara sudah bertemu Allah yang sejati? Gampangnya begini, waktu Saudara mendengar kotbah seperti ini, Saudara merasa bagaimana? Bisa jadi Saudara merasa, ‘iya ya, hidup saya koq tidak seperti itu, hidup saya rasanya jauh dari itu, dulu saya pernah merasa Tuhan memegang tangan saya tapi sekarang koq tidak?’ Saudara-saudara, menurut Alkitab semakin dalam perasaan bolong di dalam hati Saudara, itu berarti semakin besar kehadiran Tuhan dalam hidup Saudara, karena –kalau kita kembali kepada metafor appetite/ metafor kehausan dan rasa lapar– appetite itu menurut definisi adalah merasakan ketiadaan, appetite bukanlah memiliki sesuatu melainkan tidak punya sesuatu. Nafsu makan itu bukan berarti merasakan makanan, melainkan merasakan ketiadaan makanan. Kalau orang tidak punya nafsu makan, berarti dia sakit, atau dia mungkin makan pil diet yang menahan rasa lapar sehingga tidak ingin makan. Orang yang tidak punya appetite ini, dia melihat makanan tapi tidak merasa kepingin, tidak merasa ada kekosongan yang perlu diisi. Alkitab mengatakan bahwa manusia tidak mampu untuk merasakan appetite [rohani] seperti ini pada dirinya sendiri; hanya mereka yang telah benar-benar bertemu Allah, yang baginya Allah adalah Allah-nya, yang bisa punya rasa kekosongan ini. Oleh sebab itu tanda pertama dari pengalaman rohani sejati justru adalah perasaan, kekosongan, kehausan, kelaparan akan Tuhan. Perasaan tersebut justru adalah tanda kehadiran Tuhan. Pengetahuan saja, bukanlah rasa lapar. Ada orang yang bisa mengatakan ‘ya, saya tahu Tuhan tidak hadir dalam hidup saya’ seperti dia mengatakan ‘ya, saya tahu sebenarnya sudah jam makan’ tapi dia tidak merasa kelaparan. Bukan itu yang kita bicarakan di sini. Yang kita bicarakan bukan dalam level intelektual tapi keseluruhan hidup.
Jadi pada dasarnya orang yang memiliki Allah adalah orang yang mencari Allah, orang yang mencari Allah adalah orang yang sudah memiliki Allah, dan tidak ada orang yang belum dimiliki Allah yang bisa mencari Dia. Dan ini sesuai dengan ayat Alkitab “tidak ada seorang pun yang mencari Allah”, yang maksudnya tidak ada seorang pun yang secara natural bisa mencari Allah.
Tapi keberatannya, bukankah teologi Reformed percaya bahwa semua manusia perlu Allah, bahwa semua manusia itu mencari Allah, bahwa semua manusia punya kehausan dan kelaparan akan Allah yang memang ada dengan sendirinya seperti yang Agustinus katakan sebagai suatu lubang di lubuk hati manusia yang tidak bisa diisi oleh apapun kecuali oleh Allah?? Bahkan bukankah Calvin sendiri punya pemikiran yang disebut ‘sensus divinitatis’, bahwa semua orang punya suatu rasa kehausan akan sosok ilahi dalam hidupnya?? Lagipula, masakan di dunia ini tidak ada orang yang mencari Allah?? Bahkan di zaman Paulus pun, ketika dia di Atena (Kis 17) dia melihat begitu banyak kuil, lalu ada satu bertuliskan “kepada allah yang tidak dikenal”, menunjukkan bahwa mereka mencari allah yang tidak dikenalnya, lalu Paulus menceritakan kepada warga Atena tentang “Allah yang tidak dikenal” ini; jadi bagaimana mungkin bisa mengatakan bahwa orang tidak mencari Allah kecuali dia sudah memiliki Allah?? Kalau kita ambil pengalaman sehari-hari saja, bahkan di zaman sekarang ketika dunia Barat sudah diprediksi akan makin lama makin sekuler, ternyata yang terjadi justru kebalikannya; kita melihat justru di dunia Barat makin bermunculan aliran-aliran spiritualitas, menunjukkan adanya satu keinginan untuk berhubungan dengan sosok ilahi itu. Bukankah jadinya aneh dan kontradiktif??
Penjelasannya sederhana. Kita bisa mengatakan bahwa di satu sisi tidak ada orang yang mencari Allah, tapi di sisi lain orang-orang memang mencari allah, karena yang satu secara umum dan yang satunya lagi secara spesifik. Memang benar di hati manusia ada kehausan spiritual secara umum untuk mendapatkan sebuah sosok ilahi, karena manusia memang tidak diciptakan stand-alone, kita diciptakan sebagai ciptaan yang karenanya pasti perlu Sang Pencipta. Sartre pernah mengatakan hal ini dengan ilustrasi pisau pembuka amplop; pisau tersebut adalah ciptaan, jadi bagaimanapun juga pisau itu sangat bergantung pada penciptanya dalam hal tujuan dia diciptakan, apa yang baik untuk dia kerjakan –yaitu memotong amplop– apa yang tidak baik dikerjakan –yaitu potong daging. Jadi adanya benar atau salah, adanya sesuatu yang positif atau negatif, itu tergantung dari sang penciptanya mau menciptakan dia untuk apa. Ini bukan soal nafas, tapi soal meaning of life, soal tujuan hidup, soal alasan saya hidup, yang semuanya sangat bergantung pada sosok ilahi tersebut. Oleh sebab itu kita tahu bahwa secara umum manusia ada kehausan untuk mendapatkan sosok ilahi itu. Tapi kita juga tahu, meskipun ada kehausan/ spiritual appetite secara umum, namun oleh karena dosa, hati manusia di saat yang sama juga tidak mau Allah yang sejati, Sosok Ilahi yang sejati itu. Dengan kata lain, di satu sisi memang ada semacam pencarian akan sebuah sosok ilahi dalam hati manusia, tapi karena dosa, semua usaha mencari sosok ilahi ini sebenarnya hanya untuk mengganti, kabur, lari dari Sosok Ilahi yang sejati. Alkitab benar dalam keduanya; di satu sisi mengatakan bahwa semua orang tahu Allah, di sisi yang lain tidak ada yang mencari Allah, karena mereka kepingin sosok ilahi dalam hidup mereka –entah berupa dewa-dewa atau dalam bentuk karir, pacar, seks, uang, dsb.—tapi tujuan sebenarnya supaya mereka bisa lari dari Sosok Ilahi yang sejati. Mencari Allah yang sejati sebagaimana Dia mewahyukan diri-Nya di Alkitab, bukanlah hal yang sanggup manusia lakukan.
Orang yang mengalami Allah, tandanya adalah dia punya kehausan akan Allah. Tapi lebih dalam lagi, kita melihat bukan sembarang kehausan, ada kehausan yang spesifik, yang sejati, dan ada juga kehausan-kehausan yang palsu. Apa bedanya? Kembali ke teksnya, ayat 3: “Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu”, dan kata kuncinya di ayat 4: “Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau.” Ada satu hal yang perlu kita akui, di masa-masa awal jadi orang Kristen, hampir selalu kita datang kepada Tuhan karena kita menginginkan sesuatu, dan kita berharap Tuhan yang ini cukup baik untuk memberikan hal itu kepada kita. Contohnya banyak orang yang datang ke gereja ini –datang kepada Tuhan—karena ingin kepastian secara intelektual; dan gereja Reformed sepertinya memberikan hal tersebut, dengan doktirn-doktrin dan pemikiran-pemikirannya, dengan prinsip-prinsip yang begitu logis dan koheren. Maka banyak di antara kita, yang oleh karena hal itulah kita datang ke gereja Reformed, mau menjadi orang Kristen yang lebih serius. Orang yang lain, bisa juga karena kesepian hanya kepingin Tuhan membawa orang-orang lain masuk ke dalam hidupnya; ada yang mencari damai sejahtera, atau ini dan itu. Semuanya wajar dan lumrah sebagai orang-orang Kristen yang masih awal, tapi tentu saja semua ini bukanlah tanda kita menemukan Allah yang sejati. Ada kehausan, ada kelaparan, itu jelas; tapi ini bukan tanda pengalaman rohani yang sejati, bukan pencarian yang seperti Daud mencari, bukan kehausan yang kita bicarakan. Mengapa? Karena pada awalnya hampir selalu kita semua mencari Tuhan bukan demi Tuhan sendiri, melainkan supaya melalui Tuhan kita bisa mendapatkan hal-hal lain yang kita rasa bisa membangun kita. Dan seringkali kita tidak bisa membedakan dua hal ini.
Mungkin kita malu mengakui, bahwa kita secara tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, di masa awalnya mengatakan dalam hati “saya ingin kenal Tuhan supaya …” ; tidak ada yang seperti Daud mengatakan, “saya ingin kenal Tuhan (titik).” Ini sebabnya dikatakan “tidak ada yang mencari Tuhan”. Dan kalimat ini benar, karena kalimatnya bukan mengatakan “tidak ada yang mencari kedamaian dari Tuhan”, bukan “tidak ada yang mencari berkat dari Tuhan”, bukan juga “tidak ada yang mencari janji-janji Tuhan”. Kalimatnya bukan itu. Kalimatnya adalah: “tidak ada yang mencari Tuhan”. Tidak ada yang mencari Tuhan demi Tuhan. Tidak ada yang lapar akan Tuhan demi Tuhan itu sendiri. Itu sebabnya Alkitab mengatakan di satu sisi ada kelaparan dan kehausan rohani yang umum; tapi di sisi lain tidak ada orang yang benar-benar mencari Tuhan, karena yang kelihatannya seperti mencari, sebenarnya justru lari. Semakin orang mencari sesuatu melalui Tuhan, justru akan membuat Saudara lari dan jauh dari Tuhan tersebut.
Yang kelihatannya seperti mencari, sesungguhnya adalah lari karena mencari allah yang bisa dikontrol; mencari allah yang bisa membuat hidup makin bebas, makin baik, menurut kacamata manusia. Itu bukan mencari Allah, karena mencari Allah pada dasarnya bukan mendapatkan hidup yang bebas melainkan mendapatkan hidup yang diserahkan. Mendapatkan hidup, yang diserahkan –ini paradoks. Mencari Allah yang sejati, berarti Allahnya akan mengatakan, “kamu itu sepenuhnya bergantung kepada Saya, tidak bisa gerak ke kiri kalau Saya tidak bilang ke kiri”. Mencari ilah-ilah, selalu adalah ilah yang bisa menolong kita mencapai satu tujuan yang bukan allah itu sendiri. Jadi kalau seseorang bisa memiliki appetite/ rasa lapar akan Allah yang sejati, yaitu Allah yang menuntut penyerahan diri, Allah yang menuntut kontrol total atas dirinya, itu memang tanda bahwa dia telah memiliki dan dimiliki Allah yang sejati tersebut. Itu bukan mencari untuk memiliki, tapi mencari karena dimiliki.
Kembali kepada Daud. Kapan Daud menuliskan Mazmur ini? Apakah waktu dia sedang santai-santai, ketika sudah kaya, sudah jadi raja? Tidak. Ini adalah tahun-tahun padang belantara dalam hidup Daud; tahun-tahun ketika Daud mengalami keterbalikan karena yang harusnya memerintah malah jadi buron, sementara yang harusnya buron masuk penjara malah memerintah. Lalu dalam situasi seperti ini, apa yang Daud tuliskan? Mungkin pada awalnya Daud juga sama dengan kita, berdoa minta kepada Tuhan, “Tuhan, kalau Engkau mengasihiku, tolong dong supaya musuh-musuhku itu mati semua, supaya aku menang di sini dan disana, lindungi aku dari Saul yang mengejar aku”. Tapi, saya rasa ada momen dalam hidupnya ketika Daud sungguh bertemu dengan Allah yang sejati, dan yang dikatakannya langsung terbalik. Di dalam penderitaan dan situasi dikejar-kejar, Daud justru mengatakan: “jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu”, lalu kalimat kuncinya: “sebab kasih setia-Mu itu lebih baik daripada hidup”; dan ini dikatakan orang yang hidupnya sedang terancam. Ini bukan sedang aman, santai, damai, lalu mengatakan ‘kasih setia-Mu lebih baik daripada kehidupan’, yang memang bisa mengatakan seperti itu dengan gampang. Tetapi Daud mencari Tuhan demi Tuhan, Daud mengatakan seperti ini di saat dia tidak ada semua hal yang lain itu, di saat semua yang lain itu terancam diambil. Itu sebabnya kita bisa mengatakan inilah pengalaman rohani Daud yang sejati dengan Tuhan.
Jonathan Edwards menulis satu buku yang sangat terkenal, “Religious Affection” (terjemahan bahasa Indonesia: “Pengalaman Rohani Sejati”). Dia adalah seorang hamba Tuhan yang hidup dalam konteks revival. Di zamannya ada banyak kebangunan rohani yang luar biasa besar, puluhan ribu orang bisa bertobat dalam satu pertemuan; dengan demikian Jonathan Edwards tahu ada yang asli, ada yang palsu. Oleh sebab itu dia menulis buku tersebut, mengenai bagaimana membedakan pengalaman rohani yang sejati dengan yang palsu. Dia mengatakan, bahwa tanda dari pengalaman rohani yang sejati adalah kamu dipuaskan oleh Allah, demi Allah sendiri, dan bukan karena hal-hal baik yang Dia berikan dalam hidupmu. Itu persis sama dengan yang Daud katakan dalam Mazmur ini, “kasih-Mu lebih baik daripada hidup itu sendiri”. Daud pada dasarnya mengatakan, ‘sejak saya mengalami Tuhan, saya tidak terlalu ada kehausan untuk hal-hal yang lain lagi, bahkan untuk hidup’, ini adalah karena ‘saya mengalami Tuhan’.
Apa tandanya orang mengalami hal seperti ini? Kita kembali ke ayat 3, “Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu”. Inilah karakter orang yang punya pengalaman rohani sejati, yaitu orang ini tahan, kepingin, tertarik, untuk hanya merenungkan diri Tuhan saja, memikirkan Dia, mempelajari Dia semata demi Dia. Orang ini jauh lebih tertarik akan hal ini daripada berdoa ‘Tuhan tolong berikan saya ini dan itu, dan ini dan itu’. Memang ada juga bagian seperti itu di Mazmur ini pada bagian akhirnya, tapi kalau Saudara lihat, di situ bukan meminta supaya orang fasik dan pendusta-pendusta dihukum, Daud hanya mengatakan “akan”, “pasti”. Maksudnya kapan? Tidak tahu. Apakah dalam zamannya Daud? Tidak tahu, dan tidak penting. Pokoknya Daud tahu, bahwa suatu hari itu akan terjadi, dan ini cukup bagi Daud. Daud tidak memenuhi doanya dengan minta-minta hal seperti itu, dia memenuhi doanya dengan: “aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, aku melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu”. Lalu di ayat-ayat berikutnya: “aku mengingat-Mu ketika aku tidur”, dst.
Saudara-saudara, setelah saya selesai memberikan bahan PA dan mengajak orang untuk melihat pribadi Tuhan, kemuliaan Tuhan, dan bukan hanya doktrin-doktrin atau prinsip-prinsip, seringkali kemudian orang datang dan mengatakan seperti ini: “Pak, yang dibicarakan tadi memang bagus, tapi bagaimana dengan hidup saya sekarang ini, anak saya bagaimana, bos saya bagaimana, karir saya bagaimana” atau yang paling sering: “perasaan saya bagaimana?” Saya jadi merasa seperti ditarik dari surga turun ke bumi. Kalau kita termasuk orang-orang yang seperti itu, mungkin kita belum memiliki Tuhan yang sejati itu. Saudara datang ke Tuhan itu untuk apa? Ini mengerikan, tapi inilah Kekristenan, inilah Alkitab. Kalau Saudara tidak mau, lebih baik jangan buang waktu di gereja.
Satu ilustrasi untuk menjelaskan hal ini, yaitu ketika saya belajar musik di Fakultas Musik, di Australia. Di situ kami diajar untuk bisa mengenali musik-musik terkenal sepanjang sejarah. Dalam 1 semester misalnya diberikan 20 musik, yang harus kami dengarkan dan mengenalinya; lalu nanti musik tersebut akan diputar sebagian dan kami harus tahu musiknya apa, komponisnya siapa. Hal itu dilakukan tiap semester selama 8 semester. Pertama-tamanya saya belajar semua itu bukan buat musiknya, melainkan buat sesuatu yang lain, yaitu supaya dapat nilai bagus, jadi supaya bisa kerja, dan ujung-ujungnya supaya dapat uang, sukses karir, dsb. Jadi itu berarti musik demi sesuatu yang lain, yang bukan musik. Tapi dengan berjalannya 8 semester mendengarkan musik-musik yang luar biasa keren itu, setelah lewat itu semua sekarang saya rela mengeluarkan uang demi mendengarkan musik. Tadinya mendengarkan musik demi dapat uang, sekarang rela mengeluarkan uang demi mendengarkan musik. Di masa awal, memang semua orang Kristen juga seperti itu, kita datang kepada Tuhan bukan demi Tuhan. Ini wajar dan lumrah, tapi harusnya berlanjut ke pengalaman rohani yang sejati, ketika ada sesuatu yang berubah –saya tidak lagi mencari Tuhan demi sesuatu yang lain, saya rela memberikan hal-hal yang lain ini demi mendapatkan Tuhan. Itu yang Daud lakukan.
Kita membicarakan prinsip ini bukan sekedar sebagai suatu tes tentang apa yang sejati dan apa yang palsu, tapi kita juga bisa memakai prinsip ini sebagai satu hal yang praktis, suatu disiplin/ latihan rohani bagi kita semua. Kalau Saudara mau mengerti bagaimana caranya untuk bisa sungguh-sungguh punya rasa lapar dan haus yang sejati akan Allah yang sejati, maka Saudara harus meng-identifikasi apa yang menjadi appetite suppressant Saudara selama ini. Kembali ke metafor ‘nafsu makan’, ada satu hal yang menarik mengenai appetite. Saudara yang punya anak, biasa ada pengalaman anak Saudara mulai lapar sebelum jam makan, sementara Saudara sedang memasak dan sebentar lagi makanannya akan siap. Tapi anak ini sudah kelaparan lalu mulai makan camilan, kue, biskuit, dsb., sehingga ketika makanan yang benar datang, dia sudah kenyang, sudah tidak ada nafsu makan. Oleh sebab itu, waktu anak kelaparan sebelum jam makan, orangtua selalu mengingatkan, “tidak boleh camilan dulu, makanan sebentar lagi siap, kamu tahan, karena kalau kamu ngemil pasti nafsu makan hilang, makanan sehat yang harusnya dimakan jadi tidak dimakan”. Hal ini bisa kita aplikasikan dalam hal spiritual appetite kita juga.
Hal-hal yang merusak spiritual appetite kita, sebenarnya karena apa? Yaitu karena kita menukar makanan yang proper dengan camilan. Itu yang terjadi, dan itu adalah dosa. Dosa bukan cuma melakukan kejahatan; esensi dosa lebih dalam dari itu. Sesuatu tidak perlu bersifat jahat atau negaif untuk menjadi camilan, bahkan camilan itu sangat positif dan harus lebih positif dibandingkan makanan yang proper, barulah bisa jadi camilan. Siapa yang tertarik dengan Pringles kalau Pringles tidak seasin itu? Rasa camilan selalu lebih ‘wah’, lebih kuat, daripada rasa nasi. Itu sudah pasti. Tidak mungkin orang jual camilan rasa nasi. Problem dari camilan bukan soal rasanya –karena rasanya positif–, problem dari camilan juga bukan soal nutrisinya, problem dari camilan adalah ketika camilan menggantikan makanan yang proper. Dosa bukan masalah jahat atau baik; hal-hal yang baik juga bisa menjadi dosa, menurut Alkitab. Intinya, dosa adalah menggantikan Tuhan.
Jikalau Saudara ingin sungguh-sungguh mengalami Tuhan dalam hidupmu, maka bagian kita adalah meng-identifikasi camilan-camilan dalam hidup kita selama ini, yang membuat kita akhirnya tidak lapar dan haus akan mengalami Tuhan. Archbishop William Temple pernah mengatakan kalimat yang bagus ini: “Your religion is what you do in your solitude” –agama Saudara yang sesungguhnya, dewa Saudara yang sesungguhnya, itu adalah apa yang Saudara lakukan dalam kesendirianmu. Apa maksud kesendirian di sini? Bukan cuma merasa sendiri, tapi benar-benar sendiri dalam arti Saudara ada dalam situasi yang bukan cuma tidak ada orang lain tapi juga tidak ada kerjaan, dalam situasi ketika Saudara tidak perlu melakukan apa-apa, tidak perlu memikirkan apapun, tidak perlu pergi ke mana pun. Dalam situasi ini, pikiran dan hati Saudara secara habitual langsung condong ke mana? Jawabannya bisa berupa seorang figur atau tokoh yang kita hormati dan kita ingin dapat pengakuan darinya, atau seorang figur romantik yang ingin kita cintai dan dicintai olehnya, atau suatu karir yang kita idam-idamkan sehingga setelah mencapainya kita bisa melakukan sesuatu yang menjadi penghiburan bagi kita, atau bisa juga sebuah rumah yang kita impikan, atau apapun juga lainnya. Intinya, Archbishop William Temple mengatakan bahwa semua hal tersebut adalah camilan-camilan yang menggantikan Tuhan. Kita mendapat penghiburan dari hal-hal tersebut, sehingga ketika saat teduh, atau ke gereja, atau PA (pemahaman alkitab), atau kita PD (persekutuan doa), kita sudah tidak lapar dan haus lagi karena kita sudah kenyang oleh hal-hal camilan tadi. Kita sudah mendapatkan penghiburan dari fantasi akan orang yang mau menikah dengan kita, atau dari pengakuan dari komunitas kita, dsb. –yang semuanya adalah camilan—sehingga tidak heran kalau disuruh mengganti itu semua dengan pengakuan dari Allah dan pengetahuan mengenai Allah, Saudara tidak tertarik. Pengetahuan mengenai Allah jadi cuma seperti nasi, sementara yang namanya camilan selalu lebih menarik. Oleh sebab itu tidak heran juga kalau Saudara merasa saat teduh itu harus ‘wow’, baru Saudara tertarik untuk saat teduh. Saat teduh itu nasi; dan Saudara perlu itu.
Saya bukan orang yang menganjurkan saat teduh harus pagi hari, tapi lewat perenungan ini saya juga jadi menyadari mengapa saat teduh memang harus dilakukannya pagi-pagi. Dalam hal ini, biasanya argumen kita karena kita mau memberikan waktu yang terbaik bagi Tuhan. Itu klise; dan juga dengan mengatakan seperti itu, seakan-akan kalau kita melakukan saat teduh pagi-pagi, benefitnya adalah bagi Tuhan. Padahal Tuhan tidak mendapat benefit apa-apa dari kita, kita tidak bisa menambah kemuliaan Dia setitik pun; yang benar, benefitnya adalah bagi kita. Kita perlu saat teduh pagi-pagi, karena melakukan saat teduh pagi-pagi berarti tidak memberi kesempatan camilan-camilan yang lain menekan nafsu makan kita akan nasi dan lauk. Disiplin melakukan saat teduh pagi-pagi, setiap pagi, itu menjadikan Tuhan nasi dan lauk yang akhirnya menekan nafsu kita akan camilan-camilan. Biasanya saya tidak terlalu peduli hal ini, yang penting intelektual, dapat sesuatu, dapat pengetahuan, dapat logika. Memang itu semua termasuk, tapi bukan cuma itu, bahkan mungkin bukan itu yang terbesar pengaruhnya, dan bukan itu tujuan yang terutama. Saat teduh pagi hari adalah agar Saudara kenyang dengan nasi dan lauk, sehingga camilan-camilan yang lain jadi redup di mata Saudara. Lakukanlah ini Saudara.
Terakhir, kembali kepada prinsip pertama tadi, Yohanes 6:44 mengatakan: “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku”. Prinsipnya adalah: tidak ada orang yang mau mencari Tuhan, tidak ada orang yang bisa lapar dan haus akan Tuhan, kalau dia bukan telah menemukan Tuhan, kalau dia bukan telah ditemui Tuhan terlebih dahulu. Tadi kita sudah membahas logikanya mengapa harus saat teduh pagi-pagi; ini suatu hal yang praktis, dan kita harus lakukan. Tapi tetap saja tidak bisa. Mengetahui apa yang benar, tidak langsung membuat Saudara jadi bisa mengubah hidup Saudara. Mengetahui langkah-langkah yang praktis, tidak tentu membuat Saudara jadi bisa mengubah hidup Saudara. Mengapa? Saudara bisa mencari Tuhan hanyalah karena Saudara memiliki Tuhan. Tidak ada orang yang bisa mencari Tuhan, lalu memiliki Tuhan. Saya ingin membuat Saudara merasakan kelaparan ini.
Apakah Saudara merasakan tidak puas akan keadaan seperti ini? Apakah Saudara mulai merasakan ada sesuatu absence dalam hatimu sekarang, bahwa ‘saya tahu doang, dan itu tidak menjadikan saya mau; ada sesuatu yang lain yang saya perlukan’? Apakah Saudara mulai merasakan ada satu lubang dalam hidupmu yang cuma Dia bisa mengisinya, sementara semua prinsip-prinsip dan disiplin-disiplin rohani yang baik itu tidak akan bisa mengisinya? Apakah Saudara mengatakan, ‘koq Tuhan tidak hadir dalam hidupku; tidak membuat aku kepingin memakan Dia setiap pagi’? Saudara merasakan itu atau tidak? Kalau Saudara merasakan absence itu, merasakan kelaparan dan kehausan akan Dia dan bukan akan hal-hal yang Dia bisa bawa bagi Saudara, merasakan ingin mencari Dia tapi sadar diri Saudara tidak mengkin bisa melakukannya, maka –kembali ke prinsip pertama—jikalau Saudara merasakannya, itu adalah tanda Dia hadir dalam hidupmu. Karena, pengalaman absence of God, pengalaman Allah yang mangkir, justru adalah tanda kehadiran Dia dalam hidup kita. Dan bukankah hanya mengerti dan merenungkan ini saja pun telah membuat Saudara naik sedikit dari pengalaman absence tersebut menjadi pengalaman presence? Saudara kini mulai menyadari dan diisi oleh kehadiran-Nya. Dan kehadiran-Nya ini pun bukan tanpa kekosongan, tapi kehadiran yang justru datang lewat kekosongan. Inilah pengalaman rohani yang sejati.
Hari ini hanya cicipannya, tapi saya harap cicipan ini adalah satu kekuatan yang bisa membuat Saudara mulai punya selera akan kehadiran Tuhan dalam hidup Saudara.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading