Hari ini kita akan merenungkan satu tema, suatu slogan yang cukup terkenal dalam tradisi Gereja Reformed, yaitu Semper Reformanda; kalimat lengkapnya: “Ecclesia reformata, semper reformanda est secundum verbum Dei”. Kita tidak akan membaca satu ayat firman Tuhan yang khusus melainkan akan melihat beberapa sesuai pembahasan tema ini.
Kalimat “Ecclesia reformata, semper reformanda est” pertama kali dipopulerkan oleh seorang teolog, dalam tulisan devosional, yang bernama Jodocus van Lodenstein (1620-1677). Waktu Lodenstein mengatakan kalimat ini, yang ada dalam pikirannya adalah: bahwa reformasi yang terjadi di zaman Luther, Calvin, Zwingli, dsb. — reformasi doktrin Gereja– seharusnya terus berjalan masuk ke kehidupan dan praktek nyata dalam diri umat Allah. Reformasi bukan cuma reformasi doktrin, bukan cuma reformasi dari ketidak-mengertian lalu jadi mengerti, tetapi bahwa mengerti artinya adalah kita melakukannya di dalam kehidupan, sehingga ada transformasi yang nyata yang terjadi dalam hidup orang percaya. Oleh sebab itulah memakai istilah semper reformanda, yang berarti reformasi belum selesai, reformasi berjalan terus.
Ada satu model yang sangat dipengaruhi filsafat Gerika, satu model pendekatan mengenal Tuhan yang dimulai dari knowing, kemudian being, lalu doing. Ini memang cocok sekali dengan model antropologi Gerika bahwa yang di atas adalah mind/ reason, kemudian hati/ affection/ emotion, lalu yang di bawah yaitu kehendak. Saya percaya ini memang ada tempatnya, tapi sangat disayangkan kalau kemudian dimutlakkan menjadi satu-satunya model yang juga dipakai dalam Christian mind. Akibatnya adalah orang Kristen banyak sekali tahu –karena mulai dari ‘knowing’ dulu–, kemudian nanti dari sebagian yang diketahui itu kita hayati pelan-pelan –mungkin hilang 50% sisa 50%– kemudian dari situ turun ke ‘doing’ –yang mungkin tinggal 50%-nya lagi– sehingga dari ‘knowing’ ke ‘doing’ tinggal seperempat, atau jangan-jangan tinggal seperdua puluh. Pendekatan seperti ini adalah pendekatan yang agak reduktif. Saya percaya ada tempatnya kita itu mempelajari sesuatu, belum mengalami, belum menghayati, tapi sepertinya kita mengerti lebih dahulu secara kognitif. Ini tidak harus jadi sesuatu yang salah, seperti orang yang belum menikah belajar buku tentang pernikahan boleh saja. Tapi, kalau semua kehidupan kita seperti ini, kalau semua yang kita tahu lebih “bengkak” daripada yang kita hayati di dalam hati, dan kemudian yang turun di dalam kelakuan lebih sedikit lagi –tinggal satu tetes– alangkah celakanya kehidupan Kristen seperti ini. Oleh sebab itu Jodocus van Lodenstein mengatakan untuk kita terus mereformasi diri, maksudnya bukan cuma tinggal dalam pengertian doktrinal tetapi semper reformanda, yaitu menjadi nyata di dalam kehidupan sehari-hari sehingga kehidupan kita mencerminkan yang kita ketahui, yang kita kenal, yang kita pelajari, dst.
Waktu Horton menulis satu artikel singkat tentang bagian ini, dia menekankan aspek pasifitas. Perhatikan, kalimat “Ecclesia reformata, semper reformanda est” bukan mengatakan bahwa Gereja Reformed me-reformasi dirinya sendiri melainkan di-reformasikan oleh Tuhan. Ini kelihatan seperti hal sederhana, tapi inilah esensi dari Protestant Christianity, bahwa yang mereformasi Gereja sebetulnya adalah Tuhan, bukan kita. Ini the Reformed way, teosentrik. Roh Kudus mereformasi Gereja melalui kekuatan kuasa firman, bukan Gereja punya keinginan untuk mereformasi dirinya sendiri. Ini hal yang pasif. Tulisan Luther selalu menekankan ‘pasif’ ini.
Beberapa bulan lalu saya submit artikel ekumenikal tentang Joint Declaration on the Doctrine of Justification. Seperti Saudara ketahui, ada satu deklarasi bersama antara kubu Lutheran dan kubu Roma Katholik yang dokumennya sudah mulai tahun 1989 dan mandek, lalu sekarang dalam peringatan 500 tahun Reformasi tema-tema seperti itu mulai digarap lagi. Di situ ada tanggapan dari orang Roma Katholik, kesulitan menerima konsep dari Lutheran yang menekankan merely passive. Di dalam Lutheran dan juga Calvinis, kita menekankan bahwa waktu seseorang percaya, itu bukan karena kesanggupannya untuk percaya melainkan iman itu pun diberikan oleh Tuhan. Luther mengatakan “anugerah Tuhan sepenuhnya”, Calvin menambahkan “predestinasi” (dalam hal ini Luther antara ya dan tidak), kalimat yang menunjukkan kita pasif. Ini sulit diterima orang-orang Katholik karena konsep mereka adalah cooperatio, kerjasama, sinergis bukan monergis. Soal ‘pasif’ ini memang batu sandungannya bagi denominasi lain dari perspektif Reformed bersama dengan orang Lutheran. Dunia kita menekankan soal aktif, menekankan produktifitas, menekankan the agency of human being yang musti signifikan, sehingga kita kesulitan sekali kalau harus menempatkan diri sebagai yang pasif hanya sekedar menerima, karena seakan kurang berharga. Waktu kita memakai istilah “Gereja Reformed”, artinya must always reformed atau reformanda est (harus direformasi), itu kalimat pasif, yang mereformasi bukan Gereja sendiri tapi Tuhan melalui firman-Nya.
Karl Barth juga salah satu yang mempopulerkan kalimat ‘Ecclesia reformata, semper reformanda est’ ini selain Lodenstein, yaitu di dalam Barmer Theologische Erklärung (Barmer thesis), di tengah-tengah konteks adanya Nazi, Hitler, dsb. menjadi Confessing Church. Penekanannya mirip sekali; Karl Barth mengatakan ‘the free grace of God (anugerah Tuhan yang bebas itu) selalu membawa fresh air di dalam Gereja’. Saya tertarik dengan kalimat yang pendek ini, bahwa Tuhan itu Tuhan yang bebas, dan dalam kebebasan-Nya, anugerah-Nya itu (gratia Dei) membawa angin segar di dalam Gereja. Apa maksudnya? Kalau kita terlalu banyak menekankan human achievement –yang versus/ kontra dengan free grace of God– itu membuat sesak di dalam Gereja, tidak membuat angin segar, karena setiap orang akan bersaing dan klaim bahwa dia punya bagian yang lebih banyak dari orang lain. Tapi kalau setiap orang bersaksi akan free grace of God, itu angin yang segar.
Spiritualitas Protestan sangat merayakan soal ‘given’ atau ‘diberi’ ini. Dalam Perjamuan Kudus, sementara konsep Roma Katholik adalah imam mengurbankan korban Kristus yang sempurna kepada Bapa yaitu roti dan anggur (tubuh dan darah Kristus) yang dipersembahkan dari bawah ke atas seperti dalam Perjanjian Lama, Protestan menekankan bahwa Perjamuan Kudus itu the gift of God, Tuhan yang memberi kepada kita. Saya percaya keduanya ada poinnya; ada waktunya kita mempersembahkan ke atas dan yang kita persembahkan itu juga kita terima dari Tuhan, sehingga ini tidak harus menjadi konsep yang keliru. Tetapi, agaknya menjadi keunikan iman Protestan, bahwa kita menekankan Tuhan yang memberikan kepada kita itu.
Dalam kehidupan sehari-hari kita belajar untuk mengakui hal ini juga, yaitu sola gratia, dalam arti sebenarnya. Ini betul-betul membebaskan, daripada kita terus-menerus memikirkan jasa-jasa kita, daripada kita terus-menerus memikirkan yang belum kita peroleh, yang kita belum achieve, dsb. yang semuanya perspektif dari bawah. Mind set kita akan berubah kalau kita berpikir bahwa ini semua pemberian Tuhan. Hidup Saudara itu pemberian Tuhan. Harta yang ada pada Saudara itu pemberian Tuhan. Kesempatan bisa berbagian dalam pekerjaan Tuhan juga pemberian Tuhan. Kesempatan melayani juga anugerah Tuhan; tidak take it for granted kalau saya mau pasti Tuhan mau. Beberapa minggu lalu saya dari Jayapura ke Perth untuk pelayanan, lalu pesawat delay di Makasar 3 jam, akhirnya tidak bisa ke Perth. Kalau Tuhan tidak kasih kita kesempatan, ya, sudah, tidak ada kesempatan. Sola gratia. Kadang-kadang bahkan seringkali dalam kehidupan kita, yang kita mimpikan, yang kita mau capai, itu justru yang kita tidak dapatkan, padahal kita sudah investasi mati-matian. Tapi giliran kita tidur, tenang, berserah, lalu Tuhan malah berikan. Greatest thing in life –karena biasanya yang kita ingat yang ini, sedangkan yang small things kita jarang ingat– seringkali bukan hal yang kita kejar atau rencanakan, tapi yang diberikan Tuhan tanpa campur tangan kita, untuk menyatakan Dia adalah Allah yang bebas dengan anugerah-Nya yang bebas.
Karl Barth mengatakan “the free grace of God selalu membawa fresh air di dalam Gereja”. Mari kita merayakan ini waktu kita mengatakan “semper reformanda”, untuk sekali lagi menghayati sola gratia, giveness dari Tuhan, bukan melihat achievement, karena memang tidak ada yang Saudara dan saya achieve, semua pemberian Tuhan. Kalau kita melihat dari perspektif achievement, kita jadi ada pergumulan seperti harus menekan ‘ini kan my achievement juga sebetulnya’ yang kita tekan dalam hati karena takut nanti jadi sombong dsb. Itu sudah salah pikir dari semula. Semua ini bukan ‘my achievement ‘ melainkan pemberian Tuhan, apapun itu, termasuk keluarga, kemungkinan bisa bersekutu, kesehatan bahkan kemungkinan mempermuliakan Tuhan dalam kesehatan yang minim.
Menarik bahwa dalam Lutheran scholarship ada pergeseran; sementara dalam tulisan orang-orang seperti Heiko Oberman (seorang sarjana Lutheran yang sangat dihormati) menyebut Luther sebagai The Reformer –seperti kita juga seringkali menyebut dia Sang Reformator–, tapi setelah diselidiki Luther sendiri tidak pernah merasa dirinya reformator. Yang ada yaitu satu tulisan, yang di dalam penjelasan agak negatif Luther mengatakan “kalau mereka bilang mereka adalah reformator Gereja, saya juga bisa sebut diri saya reformator”. Kalimat ini dikatakan dalam konteks pengertian perbandingan secara bermegah dalam kebodohan seperti Paulus pernah mengatakan “kalau mereka klaim ini, ini, ini, saya juga bisa bilang seperti itu”, tapi sebenarnya Luther tidak tertarik menyebut dirinya reformator. Luther bahkan tidak menyebut apapun tentang dirinya.
Dalam satu kutipan bahasa Jerman dari tesis tahun 1518 yang Luther kembangkan dari 95 tesisnya tentang indulgensia, dsb. , Luther mengatakan: “Gereja itu perlu reformasi, dan ini bukanlah karya satu orang, juga bukan karya Paus, atau kardinal-kardinal yang banyak itu sebagaimana ternyata di dalam konsili yang baru-baru ini, melainkan karya seluruh dunia, ya, karya Allah saja. Tetapi kapan reformasi seperti itu akan terjadi? Yang tahu hanya Dia yang menciptakan waktu (maksudnya Tuhan)”. Jadi bagaimana Luther melihat dirinya sendiri? Paling mentok, kita bisa mengatakan bahwa Luther melihat dirinya sebagai pre-reformer, orang yang mempersiapkan jalan seperti Yohanes Pembaptis. Kalau dalam sejarah reformasi, kita belajar bahwa John Wycliffe dan Jan Hus adalah the morning star of reformation (the pre-reformer); kemudian the reformers adalah Luther, Zwingli, Calvin; setelah itu ada the second layer yaitu orang-orang setelah mereka yang tidak se-terkenal ketiga raksasa tadi. Tapi waktu kita membaca tulisan Luther, dia sendiri tidak melihat seperti itu. Dia melihat dirinya lebih mirip seperti Yohanes Pembaptis yang mempersiapkan jalan, seperti Yohanes Pembaptis yang menujuk. Sedangkan yang bekerja, yang boleh diberikan julukan “Reformer/ Reformator” hanya satu, yaitu Tuhan. Tidak ada satu manusia pun yang adalah reformator; reformator itu Tuhan. Jadi dalam hal ini, istilah sola sehubungan dengan gelar Reformator, kita juga bisa mengatakan solus Deus; Martin Luther pun tidak ada di sana. Istilah Solus Christus bukan cuma melawan orang-orang suci yang dirayakan di dalam Roma Katholik, tapi juga solus Christus melawan Luther, Calvin, dan Zwingli. Solus Christus berarti menggeser semua orang besar yang lain, baik Abraham, Musa, atau Yakub, baik Wycliffe dan semua orang penting dalam reformasi. Semuanya turun takhta karena solus Christus. Itu yang dimengerti oleh Luther, tapi kita orang-orang yang kurang dewasa berpikir memuliakan Luther sebagai reformator padahal Luther sendiri tidak pernah melihat dirinya reformator. Dia penunjuk, seperti Yohanes Pembaptis, mengarahkan pandangan kita untuk melihat Kristus yang sedang bekerja. Jika kita bisa memelihara spirit seperti ini, Gereja pasti diberkati Tuhan. Gereja mulai tidak diberkati Tuhan waktu fokusnya geser, tidak lagi melihat Gottes allein, tidak melihat lagi solus Deus, tapi mulai bergeser entah ke mana.
Waktu kita memikirkan semper reformanda ini, apa yang bisa kita hayati dalam kehidupan kita? Kalau kita mengatakan Gereja Reformed harus terus-menerus direformasi, maka kita musti terus mengembangkan kritik yang sehat terutama terhadap kita sendiri (self-critic, auto-critic). Siapa yang paling perlu dikritik? Siapa yang paling perlu dikritik oleh Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading? PRII Harapan Indah-kah? Bukan. Yang paling perlu dikritik oleh Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading adalah Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading. Siapa yang paling perlu dikritik oleh GRII? Yaitu GRII; itu namanya auto-critic. Agama mana yang paling perlu dikritik oleh orang-orang Kristen? Agama Kristen; itu namanya auto-critic. Negara mana yang paling perlu banyak dikritik oleh orang Indonesia? Negara Indonesia; ini bukan berarti kehilangan nasionalisme tapi cinta. “Barangsiapa Kukasihi, dia Kutegor dan Kuhajar”, itu kalimat dari Tuhan. Kita mengasihi, maka kita mengkritik. Oleh karena itu ada kaitan tidak terpisahkan antara kritik dan kasih; kritik dari perspektif cinta, bukan kritik dari perspektif iri, atau orang yang kehilangan identitas ingin cari popularitas akhirnya kritik kanan kiri untuk menunjukkan dirinya eksis –“I criticize therefore I am”– semacam itu. Kalau Saudara punya anak, yang lebih banyak Saudara tegur apakah anak sendiri atau anak tetangga? Tentu tidak mungkin anak tetangga lebih banyak Saudara tegur daripada anak sendiri, karena jika begitu artinya Saudara tidak beres jiwanya, dan tetangga juga pasti keberatan. Seseorang yang mencintai akan memberikan kritik, teguran, bukan karena benci tapi justru karena cinta. Oleh karena itu waktu kita memikirkan semper reformanda ini, Saudara jangan lupa, jangan capek, jangan muak, jangan jenuh akan kritik pada diri sendiri. Orang yang tidak mengerti prinsip semper reformanda, dia selalu mengkritik yang lain, mirip seperti orang yang selalu kritik anak tetangga. Absurd, tidak tahu apa motivasinya. Kalau Saudara terus mengkritik anak tetangga, apa motivasinya; bahwa anak sendiri lebih hebat dari anak tetangga? Yang kita tahu, dalam Alkitab semper reformanda dihayati dengan auto-critic; itu salah satunya, seperti Yesus juga mengkritik Israel. Di antara semua bangsa, yang paling banyak dikritik yaitu Israel. Di antara Israel, antara Samaria dan Yahudi, yang lebih dikritik oleh Yesus adalah Yahudi karena Yesus orang Yahudi.
Selain ayat firmanTuhan, kita juga belajar dari orang seperti Karl Barth dengan konteksnya, Lodenstein dengan konteksnya. Di dalam konteks Karl Barth, ada yang disebut Confessing Church (Bekennende Kirche), maksudnya “Gereja yang mengaku”. Kita gampang sekali mengatakan ‘mengaku’, tapi mengaku jadi satu hal yang tidak terlalu mudah waktu kita harus berperang melawan ideologi yang sudah memegang kuasa. Di zaman Karl Barth, ada Nazi yang berkuasa –ideologi Nazi, Hitler– lalu bagaimana harusnya Gereja di dalam keadaan seperti ini? Kalau Gereja dikuasai oleh ketakutan, ya, sudah, diam saja, jangan banyak kritik, baik-baik jaga relasi dengan semua orang termasuk dengan orang-orang jahat supaya aman. Itulah para penakut. Dan dalam zaman itu memang betul ada banyak Gereja yang bersikap demikian; waktu Hitler berkuasa, mereka mendukung dan mereka aman. Mereka disebut sebagai Deutsche Christen (German Christian), tekanannya bukan di kata “Christian” (Kristen), tapi di kata “Deutsche” (Jerman), yaitu orang-orang yang bisa janji setia kepada Hitler sebagai führer. Sedangkan orang-orang yang terganggu hati nuraninya akan hal ini, bersama-sama mereka memberikan satu dokumen pernyataan –Barmer Theologische Erklärung– di dalamnya menyebut tesis-tesis. Mereka menyebutkan di situ “führer bukan Hitler, hanya satu Führer yaitu Yesus Kristus”. Itulah confessing church, berani mengutarakan pernyataan yang melawan. Kalau Saudara membaca Perjanjian Baru, sementara Kaisar menyebut dirinya sebagai sōtēr / saviour/ juruselamat, orang Kristen mengatakan “Juruselamat adalah Yesus Kristus”. Sementara di dalam kultus kekaisaran mereka mengatakan bahwa Kaisar yang adalah juruselamat datang membawa kabar baik, maka Markus, Matius, Lukas, Yohanes mengatakan the true good news adalah yang dari Yesus Kristus, ini Injil yang sesungguhnya, bukan yang dari Kaisar. Itulah confessing Church, confessing Christianity; bukan kumpulan orang-orang penakut yang tidak berani mengaku, bukan kumpulan orang-orang penakut yang cuma berani mengaku ketika tidak ada persoalan –waktu Hitler masih bayi misalnya. Hanya sedikit orang-orang yang berani seperti Bonhoeffer, Müller, Karl barth, dsb.
Kalau kita mengatakan “semper reformanda” (keep being/ always be reformed) itu juga berarti always confessing, confessing against worldly ideologies. Sekarang di Indonesia ada ekstremisme agama di sebelah kanan, dan sekularisme di sebelah kiri; dua-duanya jalan. Lalu kita bagaimana? Kalau Saudara jawab “kita middle way”, apa itu maksudnya? Bukan ekstrim kanan, bukan ekstrim kiri, maksudnya bisa bersahabat dengan kanan dan kiri? Istilah ‘middle way’ ini bisa rumit sekali tafsirannya. Apa maksudnya being in the middle way/ via moderativa? Kalau menurut perspektif confessing church, itu maksudnya bahwa Saudara berani melawan, menyatakan iman Saudara “kita bukan itu, kita mengerti kehidupan secara berbeda, bukan seperti yang diajarkan ekstrim kanan atau ekstrim kiri, kita ada konteks sendiri”.
Di mana pun kita berada, entah di negara Barat, Timur, Utara, selatan , dsb. Saudara akan berhadapan dengan ideologi-ideologi dunia yang kita ada ketegangan dengan itu waktu kita mengaku orang percaya, karena ini memang dunia bukan surga. Kalau Saudara mau cari tempat yang paling aman, di mana pun itu entah padang gurun atau padang rumput hijau, air yang tenang, di situ pun ada worldly ideologies, mungkin bentuknya orang tidur-tiduran, santai, tenang. Kita di mana pun dipanggil untuk confessing. Saudara tidak harus hidup di zamannya Hitler baru bisa menghayati artinya confessing Church. Saudara juga tidak harus berada di Irak Utara atau Siria atau Libanon baru bisa jadi confessing Christians. Saudara tidak harus hidup di zamannya para rasul yang satu per satu mati martir baru bisa jadi confessing Christians. Tapi di sini dan sekarang, always confessing.
Saya coba mencari ayat apa saja yang ada kata “semper” dalam Alkitab Vulgata; ada banyak sekali, tapi saya pilih beberapa saja. YANG PERTAMA, Lukas 18:1 ‘Yesus mengatakan suatu perumpamaan kepada mereka untuk menegaskan, bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu’. Semper reformanda est –selalu direformasi– adalah selalu berdoa (always praying). Tadi kita mengatakan kalimat ‘semper reformanda est’ itu pasif, tapi ini bukan berarti kita kemudian jadi boneka tidak ada peran sama sekali, melainkan untuk menekankan bahwa ini adalah anugerah Tuhan, ini sesuatu yang diberikan dari atas, bukan inisiatif kita, kita hanya menerima seperti pengemis; dan juga setelah kita menerima, ada tanggung jawab. Inilah artinya kalau kita mau mengerti istilah sinergis dalam pengertian yang sesugguhnya –pengertian Reformed. Istilah synergism keliru waktu kita mengerti sebagai 50% – 50%. Synergism tidak keliru kalau pengertiannya adalah Tuhan memberikan 100% dan kita bertanggung-jawab 100%, itulah true synergism yang tidak ada benturan sama sekali dengan monergism. Dari sisi Tuhan, Dia memberikan 100%, semuanya sola gratia. Dari sisi kita, kita bertanggung-jawab juga 100%, soli our responsibility. Ini seperti dua natur Kristus yang 100% Ilahi, 100% manusia. Jadi, poinnya adalah waktu kita mengatakan “semper reformanda est” –kita direformasi– dari sisi Tuhan, Tuhan yang mereformasi; dari sisi kita, Yesus mengajarkan supaya kita harus selalu berdoa. Harus selalu direformasi – harus selalu berdoa. Ini aktif.
Mengapa berdoa penting? Berdoa penting untuk menghayati giveness tadi, secara sederhana. Kalau kita tidak berdoa, kita mulai tertukar; yang pemberian Tuhan kita anggap achievement kita. Yang sebetulnya diberikan oleh Tuhan dan kita cuma sarana/ saluran yang menerima, lalu mulai tertukar, kita menganggap ini hasil kerja keras kita sendiri. Kemudian kita ketakutan waktu berhadapan dengan frasa “sola gratia”, maka kita mencoba untuk menekan, melupakan, padahal di dalam hati tetap mengatakan “sebetulnya itu my achievement”. Alangkah sulitnya kehidupan seperti itu; salah mind set dari awal. Calvinisme bukan penyangkalan terhadap Armenianisme, bukan mulai dengan “my effort” lalu musti ditekan dan ganti dengan “sola gratia”, tapi memang sejak pertama sudah sola gratia. Yang ada adalah sola gratia yang ditekan,diganti dengan human achievement; jadi yang mana yang menekan?? Bukan konsep ‘the grace of God’ yang menekan, melainkan kesombongan manusia-lah yang menekan konsep ‘the grace of God’, konsep ini yang sebetulnya sedang ditentang.
Waktu kita berdoa, lalu kita diberkati Tuhan, kita tahu pekerjaan yang mengalir dalam kehidupan kita itu karena kuasa Tuhan. Berdoa itu ada confession of sin –mengakui keterbatasan kita–, ada thanksgiving yang berarti pengakuan akan anugerah Tuhan, ada permohonan saya ini helpless, yang bisa mengerjakan adalah Tuhan, dst., dst., itulah doa. Waktu kita ada elemen-eleman ini di dalam kehidupan kita –di dalam doa kita– maka ketika Tuhan memberkati kita, kita tahu persis itu adalah sola gratia. Kita sulit menghayati sola gratia karena kita kurang berdoa. Waktu orang kurang berdoa, dia gampang sekali bermegah. Orang yang jarang mengaku dosanya di hadapan Tuhan, dia gampang tersinggung, karena dia punya high-view of self; orang punya high-view of self karena jarang mengaku dosa di dalam kehidupan sehari-hari, selalu merasa diri di atas, tidak bisa dikritik, gampang tersinggung. Banyak sekali aspek doa, tapi inilah satu kaitan antara doa dan penghayatan sola gratia.
YANG KEDUA, Yohanes 8:29 “Dan Ia, yang telah mengutus Aku, Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya." Ini perkataan Yesus, Tuhan kita. Semper reformanda est –selalu direformasi adalah selalu memperkenan hati Tuhan (always pleasing God). Inilah rahasia kestabilan hidup, rahasia kehidupan yang totally secure, bebas dari segala rasa tidak aman, yaitu waktu kita terus -menerus menyenangkan Tuhan. Begitu kita berhenti menyenangkan Tuhan, atau kurang menyenangkan Tuhan, akibatnya kita masuk ke dalam berbagai macam insecurity, gelisah, lalu mulai cari muka, cari keamanan dari ini dan itu, karena kita kehilangan fokus. Yesus mengatakan, “Bapa tidak membiarkan Anak sendiri sebab Anak senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada Bapa”. Kita ini juga anak Allah, seperti Kristus, maka cerita yang sama juga berlaku dalam kehidupan kita: ‘dan Bapa yang telah mengutus kita, Bapa itu menyertai kita, tidak membiarkan kita sendiri, sebab kita senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada Bapa’. Penyertaan Tuhan yang tidak membiarkan kita sendiri, Imanuel –Tuhan yang ada bersama dengan kita– , itu disambung dengan kalimat ‘sebab kita senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada Bapa’.
YANG KETIGA, 1 Korintus 15:58 perkataan dari Paulus: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” Semper reformanda est –selalu direformasi– berarti selalu giat di dalam pekerjaan Tuhan (always abounding in the work of The Lord, selalu melimpah-limpah di dalam pekerjaan Tuhan). Mengapa bisa melimpah-limpah? Karena orang itu setia. Orang yang setia, Tuhan akan terus mempercayakan pekerjaan-Nya kepada orang itu. Orang yang tidak setia, makin lama makin tidak ada pekerjaan Tuhan untuk dia. Alkitab mengatakan ‘barangsiapa punya banyak, akan ditambah banyak; barangsiapa punya sedikit, makin sedikit’. Ini menakutkan. Alkitab bukan bicara keseimbangan. Barangsiapa berkorban banyak dalam kehidupannya untuk pekerjaan Tuhan, dia semakin diberkati Tuhan dengan diberikan kesempatan untuk terus berbagian dalam pekerjaan Tuhan. Barangsiapa pelit dalam kehidupannya, dia semakin disingkirkan oleh Tuhan, tidak usah ada pekerjaan Tuhan sama sekali dalam dirinya, tidak usah terlibat. Oleh karena itu di dalam gereja ada fenomena “4L –lu lagi, lu lagi” atau “DLDL –dia lagi, dia lagi”. Kita tidak suka dengan fenomena ini, kita maunya pembagian rata, balance, equality, tapi itu tidak Alkitabiah (dalam konteks ini maksudnya). Dalam Alkitab tidak ada equality antara orang yang setia dan tidak setia, antara orang yang berkorban dan tidak berkorban. Yang ada adalah yang setia ditambahkan lebih banyak, yang tidak setia makin dibuang oleh Tuhan.
Waktu kita bicara ‘semper reformanda est’, Paulus mengundang kita untuk selalu giat atau selalu melimpah-limpah di dalam pekerjaan Tuhan. Di surga nanti, kita bukan tidur 2 milyar tahun tapi dipercayakan lagi lebih banyak talenta. Itu yang kita baca di dalam Alkitab, “masuklah di dalam kebahagiaan tuanmu, engkau telah setia dalam perkara kecil, terimalah perkara yang lebih besar”, diberikan talenta yang lebih banyak, kita bekerja di surga sana. Jangan berpikir dualis, ‘susah-susah di sini, nanti di sana enak’; itu berarti waktu di sini Saudara tidak rela kerja untuk Tuhan, berharap nanti di sana tidur selama-lamanya sampai dicium prince charming. Ini cerita Snow White yang dibawa-bawa ke dalam visi tentang surga yang tidak ada hubungannya dengan kitab Wahyu. Yang benar adalah, pekerjaan di sana nanti yang sangat berbahagia itu, kita bisa cicipi di sini dan sekarang, yaitu waktu kita terlibat di dalam pekerjaan Tuhan dengan sukarela, dengan sukacita, dengan bebas bukan sungut-sungut, dengan bersyukur. Memang kebahagiaan kita di sini tidak sempurna, tapi menjadi cicipan kebahagiaan kita bekerja tidak habis-habis nanti di sana. Jangan bikin konsep ‘di sini kerja mati-matian tidak apa, nanti di sana enak’, karena kalau begitu yang di sini berarti neraka dong, berarti waktu Saudara ikut Tuhan pikul salib itu neraka semua. Hati-hati, karena biasanya yang dipikir akan kontinuitasnya ke sana. Orang yang ikut Tuhan, ciri-cirinya dia mencicipi surga di sini dan sekarang.
TERAKHIR, 2 Korintus 4:10 perkataan Paulus: “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami”. Semper reformanda est –selalu direformasi– berarti selalu membawa kuasa kematian Kristus di dalam tubuh kita (always bearing the death of Jesus in the body). Sederhananya, selalu hidup di dalam pengorbanan, always bearing the death of Jesus in the body; bukan in the soul, bukan in the plan, bukan in the aspiration apalagi in the imagination, tapi in the body. Yesus itu logos yang menjadi manusia, menjadi daging, body. Waktu Dia tersalib di atas kayu salib, itu di dalam tubuh, bukan tanpa tubuh. Orang Kristen yang merencanakan berkorban, itu banyak, tapi cuma rencana tok, aspirasi tok. Ayat ini tidak bicara begitu, ayat ini mengatakan “selalu membawa kematian Kristus di dalam tubuh”. Konkret. Bukan in the mind, bukan in the planning, tapi in the body. Ini spirit inkarnasi. Bukan karena kita mencintai kematian, tapi karena jalan salib adalah satu-satunya jalan untuk mengalami kuasa kebangkitan Kristus.
Untuk mengerti kehidupan Kristus, kita musti membawa senantiasa kematian Kristus. Apa artinya? Yaitu kehidupan yang berkorban. Waktu kita berkorban, kita menikmati kuasa kehidupan Kristus. Orang yang kehidupannya tidak berkorban, dia tidak ada kuasa kehidupan Kristus. Saudara jangan mengatakan ‘saya sudah angkat tangan di KKR menyerahkan diri, undang Yesusmasuk ke dalam hati’; kalau Saudara tidak hidup menyangkal diri, pikul salib, tidak ada pengorbanan, maka kuasa kebangkitan Kristus tidak bekerja, menurut ayat ini. Jangan ditipu dengan evangelical theology yang sangat reduktif, yang bukan ajaran evangelical theology yang benar, yang tidak setia dengan Alkitab. Itu ajaran cheap grace, ajaran murahan yang tidak menekankan tentang ‘membawa kematian Kristus’. Lalu kalau kita tetap yakin dan menyanyi-nyanyi ‘Yesus hidup di dalam aku; bukan aku melainkan Kristus’, maka makin nyanyi makin omong kosong di hadapan Tuhan.
Kita semua tidak sempurna di dalam hal ini, tapi Tuhan mengundang kita sekali lagi waktu kita merenungkan tema ini –“Semper Reformanda est”– selalu direformasi. Dari sisi Tuhan, Dia siap mereformasi kita, dan Dia sudah mereformasi Gereja-Nya, dan masih akan terus merefromasi. Di dalam hal ini kita tetap merely passive, kita tidak ada kemegahan apa-apa, tapi juga bukan tanpa human responsibility, bukan tanpa respon. Responnya adalah semper –always praying, always pleasing God, always abounding in the work of the Lord, always carrying the death of Jesus in the body.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading