Kita bersyukur boleh merayakan pimpinan Tuhan di tengah-tengah kita; ini hari ulang tahun yang ke-19, kita memberikan judul “Ecclesia Militans” (Militant Church). Dalam pergumulan kehidupan melayani Tuhan, saya percaya salah satu problem yang sangat besar dalam kehidupan Gereja (orang-orang Kristen) adalah spiritual lethargy (kelumpuhan rohani). Mirip seperti kematian, tapi juga belum benar-benar mati. Namun kalau dilihat apakah ada pekerjaan Tuhan, apakah ada kehidupan yang dari Tuhan, nyatanya tidak terlalu ada. Jangan salah, orang-orang seperti ini bisa jadi sangat baik moralnya, sangat menolong, mungkin bukan orang-orang bajingan melainkan orang-orang yang moralnya sangat tinggi, tapi tetap saja spiritually lethargic.
Kita di sini bicara militansi; istilah yang sepertinya sensitif. Tetapi, justru karena banyak pengertian yang keliru dalam hal ini, maka kita perlu membicarakannya di dalam konsep yang benar. Waktu Saudara mendengar istilah militan, Saudara punya bayangan apa? Mungkin yang pertama muncul dalam pikiran kita adalah pengertian yang negatif, misalnya radikalisme agama yang sempit, orang-orang yang secara buta mengikuti sesuatu dan mati-matian membaktikan diri tanpa mengerti, dsb. Atau juga ketidak-mampuan menerima perbedaan –pokoknya harus begini, yang lain daripada saya berarti tidak bisa diterima. Itulah istilah militan yang kita kira, dan masih banyak lagi konsep-konsep yang salah. Dan yang sedikit dekat dengan kehidupan kita –dan jangan-jangan Saudara juga mengerti seperti itu– yaitu bahwa militan sekedar berarti orang Kristen yang tahan banting, yang suka kerja keras. Maksudnya, militan dalam arti dia tidak tidur-tiduran, tidak malas, dia menggebu-gebu, tahan banting, kerja keras, bahkan menderita karena nama Tuhan; tadi kita sudah membaca surat yang ditujukan kepada jemaat di Efesus dalam kitab Wahyu, kalau dalam pengertian seperti ini, gereja Efesus ini gereja yang militan. Tapi itu militan dalam pengertian yang salah/ keliru, bukan dalam pengertian yang alkitabiah.
Militan itu apa? Apa arti militansi yang sesungguhnya? Saudara boleh saja menderita, makin lama makin sibuk pekerjaannya, makin lama makin kurang tidurnya, makin lama makin berat tanggung jawabnya –dan tetap saja itu bukan militan menurut Alkitab. Kalau Saudara baca surat kepada Jemaat di Efesus, yang membedakan hal itu adalah satu kata, yaitu kasih/ cinta. Militan itu orang yang mencintai. Kalau kita bisa mencintai lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi, meskipun dilukai, meskipun banyak discouragement, meskipun ada peperangan rohani, maka Saudara adalah orang yang militan. Kristus militan seperti ini. Dia tidak discourage selama Dia ada dalam dunia, Dia terus-menerus mencintai Bapa-Nya, Dia terus-menerus mencintai Saudara dan saya. Yesus bukan digambarkan militansinya sebagai seseorang yang sekedar tahan banting, yang sekedar kerjanya berat, yang tidurnya jarang, dsb.; di dalam Alkitab bukan bicara yang seperti itu. Mungkin saja itu termasuk, tetapi substansinya atau intinya bukanlah itu. Kalau kita membicarakan Gereja yang militan, dalam pengertian yang keliru, alangkah celakanya. Akhirnya kita bukan makin militan tapi makin tidak berkenan di hadapan Tuhan.
Militansi yang salah, itu gampang sekali membedakannya, yaitu di dalamnya ada cinta atau tidak. Sederhana saja. Saudara mau kritis terhadap model militansi yang cenderung jadi radikalisme keagamaan yang keliru, di dalam Kekristenan Saudara bisa cek apakah itu digerakkan oleh kasih (driven by love) atau oleh yang lain, misalnya ketakutan (driven by fear), atau bahkan kebencian (driven by hatred), kesempitan pikiran, kesempitan hati, belum lagi kebenaran diri sendiri (self-righteousness), dst. Itu semua bukan konsep yang dibicarakan Alkitab tentang militansi.
Secara sejarah, istilah Ecclesia Militans bukan orisinal dari Teologi Reformed, bahkan bukan orisinal dari reformasi. Baik Luther, Zwingli, maupun Calvin, bukanlah yang pertama memakai istilah ini. Sebenarnya ini istilah pinjaman dari teologi yang ada sejak abad pertengahan, dengan latar belakang zaman Medieval/ Middle Ages, sebelum ada reformasi. Dalam pengajaran Roma Katholik, mereka membagi 3 fase: Church Militant/ Ecclesia Militans (Gereja yang militan), Church Penitent/ Church Suffering (Gereja yang bertobat/ Gereja yang menderita), dan Church Triumphant. Di dalam pengertian Roma Katholik, Church Militant adalah di dalam dunia, lalu Church Penitent/ Church Suffering adalah di purgatory (pengudusan yang terjadi di purgatory/ api penyucian, setelah orang mati), kemudian nanti waktu masuk kepada glorification yaitu vision of God/ heavenly glory baru bicara tentang Church Triumphant. Di dalam pengertian Teologi Reformed –baik Luther maupun Calvin (bapa-bapa reformator)– karena tidak percaya doktrin purgatory maka bagi mereka Church militant itu sama dengan Church penitent/ Church suffering, yaitu di sini dan sekarang. Kita memang tidak pakai istilah purgatory (api penyucian), tapi seandainya mau tetap pakai istilah tersebut, maka “purgatory”-nya adalah di sini dan sekarang, bukan nanti, bukan di intermediate state. Di sinilah Gereja dimurnikan, di sinilah Gereja dikuduskan, di sinilah Gereja menderita bersama dengan Kristus. Itulah artinya Church militant.
Gereja yang militan adalah Gereja yang rela, yang bersedia menderita bersama dengan Kristus, karena cinta, karena Kristus; bukan sekedar tahan menderita seperti yang dibicarakan dalam surat kepada jemaat di Efesus dalam kitab Wahyu. Di dalam dunia ini orang yang menderita banyak sekali. Kita simpati dan berusaha untuk empati juga terhadap para korban gempa, mereka ini menderita. Saya bukan sedang menggampangkan arti penderitaan, tetapi apakah semua orang yang menderita itu otomatis jadi Church militant? Apakah semua orang yang menderita dalam kehidupannya lalu otomatis jadi Church penitent? Tidak tentu. Istilah penitent ini –dalam kaitan dengan menderita– adalah menderita yang kemudian bertobat, terjadi pengudusan. Waktu kita membicarakan Ecclesia Militans, seringkali memang Tuhan mengizinkan penderitaan terjadi dalam kehidupan kita, supaya kita terus-menerus diperbaharui, supaya kita terus-menerus dikoreksi oleh Tuhan, supaya kita boleh berbagian di dalam kekudusan-Nya.
Church militant adalah satu Gereja yang struggling, yang berjuang, ada kesusahan dan kesulitannya yang tidak habis-habis. Gereja yang berjuang melawan dosa, melawan kedagingan, melawan Iblis, dan juga melawan worldly rulers atau human powers terus-menerus, adalah Gereja yang diberkati Tuhan. Saya takut dengan keadaan yang aman yang bukan dari Tuhan. Itu satu keadaan yang menakutkan. Saya cerita sedikit mengenai pelayanan di Western Australia, negara yang sangat tenang, orang-orang hidup harmonis; dan kalau tidak hati-hati, Gereja juga seperti tenang, semua orang saling baik-baik. Pertanyannya, keadaan yang damai itu akan bisa bagaimana? Damai itu terjadi waktu kapan? Yaitu kalau tidak ada peperangan. Lalu kapan tidak ada peperangan? Bisa juga kalau memang tidak ada yang perang. Tapi saya ajak Saudara pikir secara cepat saja, tidak adanya peperangan, juga bisa karena satu kerajaan sudah kalah terhadap kerajaan yang lain. Kalau satu negara sudah jatuh, sudah dikalahkan kerajaan yang lain, itu pasti damai. Pertanyaannya, kerajaan mana yang menang? Yang paling celaka, kalau Gereja sudah kalah, dan yang menang kerajaan setan. Itu keadaan amat sangat damai yang paling menakutkan. Tambahan lagi, orang Kristen bisa gampang sekali tertipu dan mengatakan “terima kasih Tuhan untuk damai sejahtera ini”. Di situ Tuhan akan bilang: “Bukan terima kasih, kamu harusnya terlibat dalam spiritual war. Ini kamu sudah kalah sebetulnya, harus bangkit lagi! Tapi kamu tidak sadar kalau kamu kalah, kamu pikir kamu menikmati damai yang dari Tuhan”. Itu bukan Ecclesia Militans, itu Ecclesia tidur, Gereja yang tidur, Gereja yang tidak berkembang. Saudara perhatikan, waktu Gereja berkembang, waktu Tuhan bergerak, di situlah setan bekerja.
Gereja yang mati, Gereja yang tidak meninggikan Kristus, Gereja yang terus bicara tentang moral-lah, pembentukan karakter-lah, atau yang cuma bicara kalimat-kalimat motivasional-lah, dst., dst., mungkin aman-aman saja, tidak ada peperangan rohani. Tapi begitu bicara tentang Kristus, bicara tentang kekudusan, bicara tentang Alkitab yang seringkali menegur kita –bahkan kadang-kadang menegurnya juga bisa menyinggung– maka gambaran seperti ini bisa mendatangkan bala tentara setan. Hati-hati waktu kita persekutuan doa, waktu kita dengan awareness mau masuk di dalam peperangan rohani, di situ setan juga mulai bekerja. Di dalam persekutuan doa kita melihat Tuhan bekerja, dan di dalam persekutuan doa kita juga melihat di situ setan juga mulai bekerja. Saya harap bukan cuma hamba Tuhan, tapi juga penatua dan diaken, punya mata untuk melihat spiritual realm, bukan cuma mata untuk melihat dunia yang kelihatan. Saudara jangan cuma bisa melihat dunia yang kelihatan, tapi juga melihat dunia yang tidak kelihatan, punya kepekaan rohani; ini Ecclesia Militans. Waktu kita lapar, kita peka ‘perut saya lapar’; harap kita juga peka waktu kerohanian kita lapar dan haus. Jangan Saudara cuma punya physical appetite, tapi tidak ada spiritual appetite; itu bukan Ecclesia Militans.
Waktu kita membaca ayat-ayat tadi, berkali-kali dalam Alkitab dikatakan bahwa selama kita di dalam dunia, kita diundang Tuhan untuk masuk dalam cerita peperangan rohani. Semakin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, baik secara Gereja maupun individu atau keluarga, bahkan bangsa sekalipun, akan semakin terjadi peperangan dengan Iblis. Tapi kalau Saudara mau kehidupan damai yang palsu, adem ayem saja, maka Saudara berdamai dengan setan juga. Saudara berdamai dengan worldly rulers, Saudara baik-baik dengan human powers, Saudara baik-baik dengan mukanya manusia, tapi kabar buruknya adalah Saudara tidak mungkin in reconciliation dengan Tuhanmu. Kalau kita cuma memperhatikan dunia yang kelihatan, maka gambaran seperti ini yang lebih riil buat kita, yaitu rekonsiliasi yang horisontal seakan lebih penting. Saya bukan mengatakan bahwa rekonsiliasi horisontal tidak penting, tapi poin saya adalah Saudara cuma menjaga relasi horisontal, tapi relasi vertikal sebenarnya tidak ada.
Ada satu tulisan seorang puritan (kalau tidak Flavel) dalam satu buku renungan harian yang sangat baik berjudul “Voices from The Past”, dia mengatakan: “bahkan seorang baik pun, bisa spiritually lethargic di hadapan Tuhan –tidak ada kehidupan rohani, namun tetap seorang yang baik”. Orang baik di sini dalam pengertian mungkin dia itu jujur, mungkin dia bahkan berdiakonia, melayani, suka menolong orang lain, bukan orang yang egois. Itu semua memang mungkin. Orang ateis yang seperti ini pun ada, Saudara jangan heran. Dan di dalam diri orang Kristen pun bisa seperti ini. Lalu apa yang membedakan? Yaitu tidak ada passion, tidak ada api yang dari Tuhan. Yang ada adalah api asing, atau tidak ada api sama sekali hanya angin sepoi-sepoi yang tenang menidurkan.
Selanjutnya, orang puritan tersebut mengatakan bahwa orang tadi mungkin saja bukan seorang yang suka meghujat nama Tuhan, tapi juga tidak memuliakan Tuhan. Orang seperti ini kalau ditanya “apakah Alkitab ada salahnya?”, dia akan mejawab: “tidak, saya percaya inerrancy dan infallibility of the Bible”. Dia seperti memiliki high view terhadap Alkitab, namun dalam kehidupannya low view terhadap Alkitab, dia tidak pernah menggali Alkitab, kehidupannya tidak mencintai firman Tuhan. Memang dia a good man, dia tidak buang-buang Alkitab, dia menaruhnya dengan rapi di rak bahkan mungkin ada semacam rasa hormat terhadap tempat yang ada Alkitabnya. Di dalam diri seseorang yang baik, bahkan morally good, bisa menyatakan kehidupan yang sebetulnya spiritually lethargic, tidak ada passion dalam hal-hal rohani, lalu masuk ke dalam rutinitas yang sepertinya normal.
Kadang-kadang waktu kita melihat kehidupan orang-orang seperti Calvin, orang-orang Puritan, dsb., kita menganggap kehidupan mereka itu luar biasa; padahal itu kehidupan yang normal, sebaliknya kitalah yang tidak normal. Waktu kita melihat kehidupan orang-orang yang passionate, orang-orang yang berdoa berjam-jam, kita mengatakan mereka itu raksasa-raksasa iman. Tapi bukan mereka yang raksasa –tidak ada yang raksasa di sana– mereka itu orang biasa, semuanya orang normal, Saudara dan saya yang sebetulnya cebol, yang tidak bertumbuh. Waktu Saudara melihat Gereja yang berapi-api untuk Tuhan, Saudara mengatakan bahwa itu Gereja yang luar biasa. Bukan, itu Gereja yang normal; sedangkan Gereja yang dingin, yang suam-suam kuku, itu yang celaka. Waktu Tuhan bekerja, Dia akan menyoroti hal ini, dan ini satu peperangan rohani yang terus-menerus bukan KKR satu hari yang Saudara menangis terisak-isak lalu janji komitmen, karena setelah itu pun setan akan menyerang lagi. Kekristenan bicara tentang ketekunan, inilah militan. Ini bukan kerohanian ala satu hari yang semua seperti bertobat, bakar kertas dsb. tapi lalu masuk lagi ke keadaan yang dingin –satu gambaran yang sangat realistis.
Saya baru saja retreat di Phillip Island, Victoria. Suasana retreat sangat baik, sangat diberkati Tuhan. Tapi yang menentukan adalah setelah itu bagaimana. Bisa saja setelah itu masuk ke keadaan yang dingin lagi, lalu setelah retreat jadi naik lagi, lalu dingin lagi, lalu naik lagi, dst., jadi seperti handphone yang setiap kali harus di-charge terus karena habis baterai, lalu setelah itu baru naik lagi. Yesus bilang “Abide in Me”; abide itu tetap tinggal di situ, tidak ada keadaan baterai habis, bukan kehidupan yang re-charged. Kalau kehidupan yang re-charged, berarti saudara di re-charge tapi lalu habis lagi baterainya, lalu re-charge lagi, habis lagi –ini bukan Kekristenan. Yesus bilang “tinggalah di dalam-Ku”, ibaratnya handphone yang kabelnya nyantol terus –meski ini contoh yang tidak sempurna. Kehidupan Kristen bukan kehidupan yang naik turun seperti itu.
Lalu bagaimana menjaga kehidupan yang seperti ini? Saya mengundang Saudara untuk ikut di dalam persekutuan doa. Ikut PA itu bagus, tapi kerohanian sebuah Gereja terlihat dari persekutuan doa-nya. Ini bukan legalisme. Saya bukan sinis terhadap orang yang ikut PA, tapi –kalimat ini bisa dipakai setan kalau Saudara salah resepsi—datang PA mau apa? Mungkin dia orang yang memang senang berpikir, dan yang suka dipikirkan adalah teologi Kristen, dia suka mencari new insight, maka datanglah dia ke PA, lagipula ada diskusi, mengasah otak jadi lebih tajam. Datang PA, ada kehausan belajar firman Tuhan, itu bagus; lalu saya mau tanya lagi, setelah kita belajar, berapa banyak yang kita lakukan dalam kehidupan kita? Atau itu cuma jadi wawasan Reformed saja? Kalau kita membaca tulisan orang-orang yang biasa kita sebut “those spiritual giants” itu –meski ini istilah yang salah—kita mendapati kehidupan kita jauh sekali daripada kehidupan mereka.
John Wesley, dalam satu minggu berpuasa 2 kali; dan orang yang mau melayani di gereja Methodist yang dia pimpin, harus berpuasa paling sedikit satu kali dalam seminggu. Mereka berpuasa hari Kamis jam 6 sore (karena mengikuti kebiasaan Yahudi jam 6 sore mulai hari yang baru), sampai selesai di hari Jumat jam 3 (karena Yesus mati hari Jumat jam 3). Saudara bisa pilih berpuasa di hari yang lain, tidak harus Jumat (tapi kebiasaan orang Reformed tidak puasa hari Minggu karena hari Minggu adalah pesta). Berapa banyak kita menghidupi keseharian yang bergantung kepada Tuhan seperti itu? Bagaimana kehidupan doamu, kehidupan puasamu? Berapa kali Saudara berpuasa dalam setahun? Saya pernah mendengar seorang hamba Tuhan mengatakan: “Kita bukan puasa makanan, itu Perjanjian Lama; kita puasanya puasa hati.” Saya ingin menjawab dengan agak sinis, puasa makanan saja tidak bisa, lu bilang mau puasa hati?? Ini seperti kurang ajar, tapi Saudara silakan cek prinsip firman Tuhan. Alkitab mengatakan, kalau kita tidak bisa mengasihi manusia yang kelihatan, jangan bilang kita mengasihi Allah. Mengasihi manusia jauh lebih gampang daripada mengasihi Allah; yang tidak kelihatan itu dengan menjalankan yang kelihatan lebih dulu. Sekarang soal puasa yang kelihatan saja tidak bisa, bagaimana bilang puasa hati?? Itu omong kosong sebetulnya. Ini seperti kalau saya bilang “saya bukan orang yang pelit, saya tidak perlu memberi dengan uang saya tapi hati saya selalu memberi; saya bukan royal secara kelihatan, saya royalnya di dalam dunia yang tidak kelihatan” –maksudnya apa??
Ecclesia militans itu artinya apa? Yaitu militan dalam kepekaan, militan dalam empati, militan dalam sensitifitas waktu kita melihat ada orang yang menderita. Namun kalau Saudara bergeming, cuma lihat lurus terus ke depan, ‘anjing menggongggong kafilah berlalu’, itu kelihatan seperti militan tapi sebetulnya bukan militan melainkan orang yang tidak punya mata; kalaupun punya mata, seperti pakai kacamata kuda, tidak bisa lihat apa-apa, lalu cuma lihat surga?? Ecclesia militans bukan itu artinya.
Dalam Surat Efesus tadi –selain juga yang di dalam Surat Petrus– dikatakan bahwa kita ini ada di dalam peperangan rohani. Setan mencari kairos, mencari saat yang tepat, untuk menyerang; dan itu biasanya waktu kita lemah. Ketika kita sudah lemah, ya sudah, dibiarkan dalam keadaan itu, dikasih damai yang palsu dsb. Peperangan kita terutama adalah peperangan rohani, dan itu berarti melawan Iblis, bukan melawan manusia yang kelihatan. Fundamentalisme agama yang keliru, itu disebabkan karena melihat manusia yang jadi musuhnya, bukan Iblis, bukan setan, sehingga akhirnya bukan peperangan rohani melainkan peperangan dunia, peperangan kekerasan. Dalam hal ini Saudara lihat diri sendiri, Gereja, Kekristenan, jangan lihat yang di luar; kita lakukan self criticism di sini.
Kalau Saudara lebih melihat bahwa musuh kita adalah manusia, berarti Saudara tidak mengerti artinya Ecclesia militans. Ecclesia militans adalah orang yang bisa mengampuni musuhnya. Tapi musuh yang sesungguhnya adalah Iblis, setan; inilah yang menjadi pergumulan kita sehari-hari. Saudara dan saya diundang untuk masuk di dalam peperangan rohani ini. Waktu Calvin menulis tentang Christ Kingly Office, dia bicara tentang hal ini, yaitu peperangan rohani (spiritual war). Berbicara tentang Kristus sebagai Raja, berarti ada Kerajaan Kristus, dan ada pula kerajaan yang lain; ini in tension di dalam peperangan. Lalu Saudara dan saya diundang masuk dalam peperangan rohani ini, melalui doa, melalui disiplin rohani, melalui ibadah kita, bahkan melalui lagu-lagu yang kita nyanyikan. Lagu-lagu yang baik itu menyatakan dimensi peperangan dengan dunia; ada polemik dengan worldly power.
Nyanyian pujian Miriam waktu dia memuji Tuhan, di situ ada kalimat “pujilah Tuhan”, lalu kontrasnya “tidak bergantung kepada kuasa kereta kuda; kereta-kereta kuda itu ditenggelamkan”. Di situ ada polemik dengan worldly power. Ini bukan cuma menyatakan kebesaran Tuhan, tapi sekaligus men-deny ‘bukan itu’, bukan uang, bukan jabatan, bukan worldly power, bukan juga kereta kudanya Mesir –itu ditenggelamkan oleh Tuhan. Kalimat-kalimat polemik seperti ini harap masih muncul dalam teologi kita, dalam lagu-lagu kita, dalam kotbah-kotbah kita, dalam doa-doa kita, dalam kehidupan kita; suatu polemik yang suci, polemik melawan Iblis, polemik melawan dosa, bukan polemik melawan manusia. Polemik yang melawan manusia, itu mungkin ego, mungkin kedagingan, tidak bisa membedakan yang mana yang harusnya diserang, yang mana yang sebetulnya musuh, dsb., dan akhirnya ketika kita kehabisan energi di situ, kita tidak lagi ada kekuatan untuk masuk dalam peperangan rohani.
Orang yang kehidupannya banyak konflik dengan sesamanya, tidak mungkin ada kekuatan lagi untuk masuk dalam peperangan rohani. Orang yang masuk dalam peperangan rohani, hidupnya musti beres dengan semua orang; di situ baru dia bisa masuk dalam peperangan rohani. Kalau kita too many tensions with too many people –terlalu banyak orang yang dengannya kita berselsih—jadi habis tenaga lalu akhirnya kita jadi seakan berdamai dengan setan. Mari kita membalik, seperti yang diajarkan Alkitab, yaitu masuk dalam peperangan rohani, berdoa, membaca firman Tuhan, merenungkan/ spiritual meditation. Ini seperti mengajar Sekolah Minggu, tapi memang kita semua anak-anak. Ini bukan poin yang baru melainkan yang sudah kita dengar sejak Sekolah Minggu. Tapi alangkah cepatnya kita menjadi dingin, menjadi Gereja yang tidak lagi militan.
Kita umur 19, sudah makin dewasa, bukan remaja lagi tapi boleh disebut pemuda. Pemuda itu kekuatannya banyak, produktif, tapi masih dalam usia sekolah –mungkin “universitas”—belum lulus; tapi bukan kekuatan kita. Bukan kekuatan kita sebagai Gereja yang muda yang bekerja keras selagi masih muda –itu bukan reformed– tapi bagaimana berjalan di dalam kekuatan kuasa Tuhan, melalui bergantung kepada Tuhan, melalui doa, melalui puasa, melalui terus merenungkan firman Tuhan, melalui memberitakan Injil, melalui menjadi saksi Kristus, dan seterusnya, dan seterusnya. Kiranya Tuhan menolong kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading