Saudara sekalian, ini semua bermula dari keyakinan Ishak bahwa dirinya akan segera mati. Keyakinan Ishak yang beresonansi dengan keyakinan anaknya, Esau. Keyakinan bahwa dia akan segera mengakhiri hidupnya dengan cantik. Kalau orang sudah mau mati, biasanya dia memikirkan suatu exit plan yang baik, bagaimana meng-konklusikan cerita itu supaya ending-nya tidak mengecewakan, karena seringkali intro begitu menjanjikan, lalu bagian tengahnya membosankan, dan ending-nya mengecewakan. Ishak tidak ingin seperti itu, dia ingin ending ceritanya cantik –tapi cantik menurut caranya sendiri. Kehidupan Ishak yang pasif itu, yang kita lihat dalam Alkitab ceritanya tidak se-“seru” cerita Abraham atau Yakub, dia ingin teruskan melalui Esau, anaknya itu.
Kehidupan Ishak seperti bagian-bagian sepi (pause) dari suatu musik, dan itu sesuatu yang diperlukan juga dalam suatu cerita yang bagus, yang hendak dihadirkan Tuhan di dalam kehidupan anak-anak manusia, di dalam kehidupan umat-Nya. Kita tahu, Ishak kesulitan mendapatkan anak karena kandungan Ribka tertutup, dan mereka menunggu sampai lama sekali. Reaksi Ishak ketika dia tidak mempunyai anak, sudah sangat bagus, dicatat oleh penulis kitab Kejadian bahwa dia berdoa bagi istrinya. Abraham juga tidak punya anak, lalu diberikan janji oleh Tuhan bahwa satu hari dia akan punya anak. Abraham menagih janji Tuhan itu berkali-kali, dan Tuhan selalu bilang “tarsok, tarsok” [entar-besok], lalu Abraham dan Sara punya rencana sendiri. Abraham dan Sara ingin mewujudkan rencana Tuhan dengan cara mereka sendiri, mereka mengambil Hagar menjadi gundik Abraham, kemudian lahirlah Ismael. Tidak demikian halnya dengan Ishak; Ishak berdoa kepada Tuhan. Ini respon yang bagus. Dan Tuhan memberikan kepada mereka anak, bukan hanya satu tapi dua kembar, yaitu Esau dan Yakub.
Selanjutnya, ketika Ishak merasa hidupnya sudah akan berakhir, dia mau mengakhirinya dengan cantik. Tapi cantik dengan caranya dia sendiri, yaitu ending-nya adalah: Esau melanjutkan, Esau menjadi pewaris janji Abraham, Esau yang meneruskan aspirasinya di muka bumi. Ishak tidak mau kalau ending-nya adalah Yakub yang melanjutkan, bahkan mungkin dia tidak pernah mempertimbangkan karena Yakub tidak pernah ada dalam benaknya. Yang ada dalam benak Ishak adalah ‘bagaimana supaya Esau melanjutkan kehidupan saya di atas muka bumi’. Ishak bahkan tidak mengajak Ribka berunding, juga tidak memanggil Yakub dan mengatakan ‘relakan ya, kamu ‘kan memang anak nomor 2; memang kamu lebih sering di rumah, sih, nanti kalau saya mati, yang tersisa adalah ibu dan ibu menyayangi kamu lebih daripada kakakmu Esau, sih, tapi relakanlah sebab sudah tradisi bahwa yang lahir duluan yang jadi pemimpin’. Ishak tidak melakukan itu, tapi dia langsung memutuskan bersama dengan anak favoritnya –atau lebih tepat anak-nya itu, anak satu-satunya dalam benaknya—yaitu Esau. Nantinya kita akan melihat bahwa tradisi pilih kasih ini berlanjut dalam generasi berikutnya, dalam diri orang yang kita tidak sangka-sangka.
Ishak sudah mau mengakhiri hidupnya, dia memilih Esau, dan tidak ada yang menghalangi. Dia mengatakan kepada Esau, persis seperti yang sudah direncanakan: “Burulah bagiku binatang buruan, olahlah itu, bikinkan makanan yang enak seperti yang aku gemari, lalu bawalah kepadaku agar kumakan.” Jadi supaya dibikin seperti yang dia suka, disajikan dengan tidak sembarangan, sikap waktu membawakannya juga harus bagus. Tapi Ribka memotong rencana itu, dan kita tahu akhirnya Yakub yang diberkati, seperti dijanjikan Tuhan kepada Ribka yang menderita waktu anak-anak itu dalam kandungannya bertolak-tolakan. Sementara Esau kebagian sisanya, berkat yang seperti kebalikan dari berkat, yaitu dia akan hidup di tanah yang tidak gemuk, dan dia akan menjadi hamba dari adiknya seperti yang Tuhan sudah katakan kepada Ribka; hanya saja terjadi dengan cara yang salah, namun tetap terjadi. Jadi rencana Ishak tidak terjadi, sementara rencana Ribka sepertinya terjadi. Di dalam bagian ini kita akan melihat apa yang terjadi setelahnya.
Setelah rencana Ribka yang cerdas itu terjadi, muncullah kerusakan kolateral, yaitu Esau berniat membunuh adiknya. Ini barangkali sudah sempat diperhitungkan Ribka, sehingga dia dengan cepat juga mengeluarkan rencana untuk tambalan dalam menangani masalah itu. Ribka bukanlah Ribka kalau dia tidak punya jawaban atas semua persoalan. Tetapi barangkali yang mereka tidak antisipasi adalah bahwa Ishak ternyata tidak mati-mati. Ishak sendiri tidak pernah menyangka dirinya akan hidup selama itu. Dua puluh tahun kemudian, dia masih hidup. Ribka juga tidak menyangka hal itu akan terjadi. Kalau saja dia tahu itu akan terjadi, apakah mungkin dia akan menipu suaminya, yang walaupun sudah buta tapi tidak bisu, lalu setiap hari nyap-nyap, “Lu nipu gua waktu itu, gara-gara elu nih”, selama dua puluh tahun! Ribka pasti tidak sebodoh itu, tapi ini di luar perhitungannya bahwa umur Ishak ternyata bukan sisa 1-2 tahun lagi, tapi masih sisa 20 tahun lebih. Dan itu juga tidak di-antisipasi oleh Esau. Esau bahkan lebih antisipatif daripada ayahnya; ayahnya mengatakan “umurku tidak akan panjang”, Esau mengatakan “masa berkabung setelah ayah mati tidak akan lama, saya akan bunuh si Yakub”. Tetapi, yang mereka antisipasi itu tidak terjadi, Ishak tidak kunjung mati.
Apa yang terjadi dalam 20 tahun lebih itu, ketika mereka masih harus melanjutkan cerita hidup setelah recana mereka tidak berhasil –atau setelah rencana mereka itu terlaksana? Yang terjadi adalah Ishak tetap harus hidup bersama Ribka, dan mereka juga masih hidup bersama dengan Esau. Esau tadi mengatakan “saya akan bunuh si Yakub!”; dia mengatakan itu di depan Ribka –dan Yakub itu anak mama– bisa dibayangkan bagaimana kemudian relasinya dengan mamanya itu, dan juga dengan papanya. Hal itu harus mereka tanggung selama 20 tahun. Selama 20 tahun lebih mereka harus hidup menanggung konsekuensi dari hal yang tadinya Ishak pikir satu langkah yang sangat logis –memberkati Esau, selesai. Dan sebelum memberkati Esau, ya, tentu saja Esau harus menjadi Esau; ‘Esau itu anak saya yang bisa masak enak buat saya, supaya saya makan. Esau adalah cara Tuhan supaya saya boleh makan, makan, dan makan. Dan ending-nya, ya, begitulah, saya makan’. Sementara bagi Ribka, Esau hanya penghalang, ‘saya mau anak saya yang melanjutkan kehidupan ini; yaitu Yakub, yang saya kasihi’. Tapi kita tahu, bahwa bagi Ribka juga tidak terjadi seperti itu. Selama 20 tahun dia harus menanggung kehilangan Yakub. Dia mau hidup dilanjutkan dengan cara Yakub menjadi kepala keluarga, tapi berakhir harus menghidupi 20 tahun dengan Ishak menjadi kepala. Ishak yang sudah tua, hidup dipenuhi rasa marah, kecewa, malu, mungkin juga kehilangan harga diri karena dia memang egois cuma pikir soal makan dan akhirnya tertipu dalam soal makan sehingga memberkati anak yang dia tidak sukai itu yang sekarang juga tidak tahu di mana, yang katanya cari istri. Barangkali dia dengar kabar sedikit-sedikit bahwa anaknya jadi jongosnya Laban, tidak dibayar, cuma dikasih 2 istri dan 2 gundik; dan dia tetap di sana, tidak punya harga diri si Yakub itu, ‘orang yang kamu percayakan mewarisi janji Abraham, walaupun secara tidak sengaja karena kamu tertipu saking bodohmu, saking rakusmu.’ Ishak harus menanggung itu. Ribka harus menanggung itu. Dan Esau juga harus menanggung itu. Dia harus menanggung tidak bisa melampiaskan amarahnya selama 20 tahun lebih, sampai akhirnya amarahnya juga sudah menguap.
Mereka berempat –Yakub di tempat terpisah—menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka, konsekuensi dari pilihan mereka, konsekuensi dari rencana-rencana mereka. Hal-hal yang mereka ingin lakukan dalam dunia ini, seolah-olah hidup itu milik mereka sendiri, seolah-olah keadaan sebagai umat Tuhan adalah milik mereka sendiri yang mereka boleh apakan saja. Dan mereka harus menanggung itu, malu, kecewa, marah –menanggung diri mereka. Ishak harus menanggung dirinya sendiri, menghidupi hal itu 20 tahun lagi, dan 20 tahun kemudian dia baru mati. Bagi Ribka juga sama; Yakub cari istri dan sudah lewat 20 tahun lebih tidak pulang-pulang, dan Ribka harus puas bahwa yang memimpin keluarga itu adalah Esau. Esau juga dengan frustrasi ingin diperkenan oleh orangtuanya; dalam pasal 28: 28 Esau baru ‘ngeh bahwa papa mamanya tidak suka terhadap kedua istri pilihannya yang dia ambil dari antara perempuan Kanaan. Esau orang yang kurang peka, dia tidak bisa membaca tanda-tanda, dia orang yang ndablek, atau dangkal, yang pikirannya cuma hal-hal yang tidak signifikan; dan orang seperti ini barangkali adalah orang yang paling berkuasa di rumah itu.
Si ayah yang sudah buta, dalam 20 tahun itu mungkin juga telinganya makin tidak terang, juga mentalnya, buktinya ketika setelah 20 tahun mereka bertemu lagi (Yakub pulang ke rumah), yang ketika itu ibu sudah mati, sepertinya ayah ini sudah bisu karena tidak dicatat Ishak mengatakan apa-apa lagi. Ketika Yakub sampai ke rumah ayahnya, tentang Ishak cuma dicatat satu hal: dia mati. Kelihatannya dia menunggu Yakub sebelum mati. Saya tidak yakin bahwa dalam 20 tahun itu Ishak yang pasif jadi lebih aktif, lebih signifikan, lebih bisa jadi pemimpin dalam keluarga tersebut setelah penipuan itu, jadi dalam 20 tahun itu berlangsunglah masa-masa yang sangat tidak nyaman bagi semua orang di rumah itu. Tapi itulah masa-masa yang –saya kira– paling mengubah juga, karena kita melihat perubahan yang sangat drastis dalam diri Esau.
Kembali ke ceritanya. Solusi Ribka sangat cerdik, yaitu jangan sampai dirinya yang terlihat di muka umum memimpin dan mengusulkan sesuatu yang kemudian dia lakukan, maka dia cuma gelitik-gelitik Ishak sehingga Ishak yang buka mulut. Dengan cara apa? Dengan cara ngambek; dia mengatakan, “Aku bosan hidup”. Bosan hidup yang dikatakan Ribka itu sangat dimengerti Ishak, karena dia juga pedih hatinya berhubung dengan pilihan jodoh Esau, anak kesayangannya. Dalam pasal 26:35 dikatakan ‘Kedua perempuan itu menimbulkan kepedihan hati bagi Ishak dan bagi Ribka’, yaitu Yudit anak Beeri, orang Het, dan Basmat, anak Elon orang Het. Jadi di sini Ribka yang cerdas, memakai senjata tersebut, sesuatu yang Ishak sudah setuju, sudah mengalaminya. Dia mengatakan: “Lihat, Esau itu sudah mengambil bini, si Basmat dan si Yudit, sekarang lu bayangin kalau Yakub juga mengambil bini dari cewek-cewek itu”. Maka akhirnya Ishak memberkati Yakub untuk kedua kali –seperti Abraham memberkati Eliezer, orang Damsyik– melepas dia pergi ke Padan-Aram, ke rumah Betuel, untuk mengambil istri dari anak-anak Laban. Yakub pergi dan melakukan hampir sama dengan yang dilakukan Eliezer, orang Damsyik, ketika menemukan Ribka; Yakub pergi ke sumur, mengamat-amati, dan seterusnya. Jadi Yakub ini pergi kabur, dengan judul ‘bukan kabur’; dia pergi kabur dengan judul ‘cari jodoh’. Satu alasan yang sangat legitimate, karena memang sesuai tradisi bahwa keluarga Abraham tidak mencari istri di Kanaan tapi di Padan-Aram.
Selanjutnya kita akan melihat apa yang terjadi pada Yakub di luar rumah, di tempat jauh itu. Di rumah Laban, Yakub ketemu dengan orang yang seperti dirinya sendiri; Laban itu seperti Yakub, hanya bedanya dia 10 kali lebih culas daripada Yakub. Jadi Yakub kena batunya; dia bertemu dengan cermin. Dia bercermin pada Laban. Dia bercermin pada Lea. Dia bercermin pada orang-orang yang lain. Dia adalah orang yang kemudian berjumpa dengan dirinya sendiri. Dan itu memang adalah cara Tuhan untuk mengubah seseorang, melalui bertemu dengan saudaranya.
Orang yang paling membentuk kehidupan Yakub, pertama-tama adalah Esau. Dia sudah dibentuk oleh Esau sejak dalam kandungan ibunya; dibentuk oleh iri hati, dibentuk oleh hal yang buruk dan rendah yaitu dia menolak jadi dirinya sendiri. Dia menolak jadi diri yang ditetapkan oleh Tuhan, yaitu ‘anak yang lahir kemudian’ –anak kedua, adik. Dia ingin menjadi yang sulung. Dia sudah memegang tumit kakaknya sejak dari dalam kandungan, dia tidak sudi lahir nomor 2. Tetapi kehendak Tuhan tidak bisa diubah, dia lahir nomor 2, dan dia benci itu. Esau membentuk Yakub dengan cara mengatakan di depan Yakub, bahwa menjadi sulung itu gampang, menjadi sulung itu ‘gak hebat-hebat amat, tapi ‘lu kelihatannya kepingin’. Itu membentuk sesuatu dalam kehidupan Yakub.
Bagaimana pembentukan Tuhan? Dalam kaitan dengan saudara, kita ini selalu ditanya oleh Tuhan; bukan pertama-tama ‘apa teologimu?’, juga jarang-jarang Tuhan tanya ‘kamu mempersembahkan apa?’, tapi seringkali yang pertama ditanya oleh Tuhan adalah: ‘di mana saudaramu?’, seperti yang ditanya Tuhan kepada Kain. Seperti juga kita tahu, ditanya oleh Tuhan Yesus kepada seseorang yang mempersembahkan sesuatu tapi masih ada persoalan dalam hatinya dengan saudaranya. Seperti juga ditanya Tuhan Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, ‘bagaimana dengan Samaria? bagaimana dengan saudaramu?’ Bagaimana dengan saudaramu, ‘where is your brother’; dan “bagaimana dengan saudaramu, Yakub?” itu yang pertama-tama membentuk dia. Yang kedua, bagaimana dengan Tuhanmu? –“siapa Tuhanmu, Yakub?” Dan yang ketiga yang paling puncak, “siapa kamu?” Itulah yang membentuk dia. Satu per satu kita akan telusuri hal ini.
Kita bisa melihat kontras antara Yakub yang lama dengan Yakub yang baru. Yakub yang lama, ketika dia kabur dari rumah, kalau ditanya oleh Tuhan ‘di mana saudaramu, Esau; apa kabar dengan Esau?’, kira-kira akan mengatakan apa? Saya mengambil bagian ini dari perjumpaan Yakub yang penuh pergumulan dengan Tuhan, dalam penyeberangannya di Sungai Yabok. Pada malam itu, malam ketika Yakub kembali ke titik semula, yang tadinya dia menyeberang kabur dari Esau dan sekarang mau menyeberang ke arah balik untuk pulang menemui Esau (sebenarnya Yakub mau menemui ayahnya, tapi mau tidak mau dia juga harus menemui Esau karena Esau ada di tengah-tengah mereka), Yakub tidak mimpi mengenai Papa, dia mimpi buruk mengenai kakaknya. Dia akan bertemu Esau, lalu harus bagaimana? Tapi seperti Mama Ribka, Yakub selalu punya banyak rencana, punya banyak pilihan, selalu punya jawaban. Dan untuk pertanyaan “di mana saudaramu; bagaimana dengan Esau”, jawaban Yakub adalah: uang. Kasih saja semuanya, ‘kan masalahnya memang ini. Aku menyeberang hanya dengan tongkat di tanganku, sekarang aku sudah menjadi 2 pasukan; dan persoalanku adalah kakakku masih mau membunuh aku. Jadi ya, sudah, kasih duit saja. Dan Yakub memberikan itu semua, 20 tahun hidupnya yang penuh penderitaan yang dia katakan “mataku jauh dari tidur, aku dimakan panasnya siang dan dinginnya malam”.
Yakub akan memberikan itu semua secara cuma-cuma, dalam 1 hari, kepada Esau, untuk menjadi tanda permintaan maaf agar dirinya boleh diberikan kehidupan, agar dirinya boleh menjadi hamba yang diperkenankan hidup di hadapan kakaknya. Padahal dia itu diberkati oleh ayahnya, dia mencuri berkat itu, dia mempertaruhkan dengan melanggar hukum ke-3 dan ke-5. Hukum ‘Jangan memakai nama Allahmu dengan sembarangan’ dia langgar dengan mengatakan: “Tuhan yang membuat aku berhasil” –bisa berburu dengan cepat dan dapat hasil. Dia juga melanggar perintah ‘Hormatilah orangtuamu’, dengan membohongi ayahnya. Dia melanggar 2 perintah besar itu untuk mendapatkan berkat itu. Sekarang dia akan bertemu dengan kakaknya kembali, dan dia mengatakan: “aku akan bertemu dengan kakakku sebagai hamba”. Dia tadinya mencuri berkat itu dari kakaknya supaya dia tidak menjadi hamba melainkan jadi tuan atas kakaknya, tapi sekarang dia rela-relanya menjadi hamba. Artinya, Yakub sangat ingin kalau bisa kembali ke masa lampau, dia akan batalkan sesuatu.
Beberapa waktu lalu saya melihat di internet beredar gambar berupa 2 pintu; pintu yang pertama, artinya kamu dikasih power yang besar, uang 10 juta dolar, tapi umurmu dikurangi 10 tahun; pintu yang kedua, kamu boleh mengubah sesuatu yang kamu menyesal sudah melakukannya di masa lampau, entah 10 atau 20 tahun yang lalu. Pertanyaannya, kamu pilih yang mana? Di sini Yakub memilih kehilangan 20 tahun itu, masa produktifnya yang bekerja berat siang malam, “asal aku boleh selamat, asal umurku diperpanjang, agar aku pulang melihat ayahku dan Esau tidak membunuh aku; aku menjadi hamba Esau tidak apa-apa”. Yakub pergi karena takut dibunuh Esau, lalu 20 tahun kemudian pulang dan masih takut dibunuh Esau. Jadi kalau ditanya: “di manakah saudaramu”, jawabannya: “saudaraku datang dengan 400 orang bersenjata, ingin melenyapkan aku seperti 20 tahun yang lalu; dan jawabku adalah: uang menyelesaikan segalanya”. Itulah jawaban Yakub yang lama. Yakub yang berdiri di belakang barisan, sementara membiarkan semua resources yang dia dapatkan di rumah Laban itu ada di depan. Dia korbankan semua, kambing, domba, lembu, sapi, unta, hamba-hamba, istri yang tidak dicintai, dan terakhir istri yang dicintai. Jadi Yakub sangat kalkulatif. Dari urutan tersebut, kita tahu cintanya Yakub yang paling utama, yaitu yang ada di barisan paling belakang. Siapakah itu? Bukan Rahel, masih ada yang lebih dia cintai, yaitu dirinya sendiri.
Yakub itu paling mencintai dirinya sendiri; dan itu yang mau diambil oleh kakaknya. Maka kalau dia ditanya “apa kabarnya Esau?”, jawabannya: “Esau mau bunuh saya” –saya lho yang mau dilenyapkan dari dunia; kalau orang lain ‘gak apa-apa, tapi ini saya. Itulah Yakub yang lama.
Bagaimana Yakub yang baru? Yakub yang baru, kita melihatnya setelah dia bergumul dengan Malaikat Tuhan dan Malaikat Tuhan memukul dia di pangkal pahanya –tempat yang sangat riskan, kalau meleset 1 mm mungkin dia tidak bisa meneruskan keturunan Abraham; jadi kovenan itu dipertaruhkan Tuhan dalam akurasi tendangan khas Krav Maga –dan Yakub berakhir pincang. Yakub keluar dari pertempuran itu dengan pincang, tapi juga dengan berubah. Dan kemudian Yakub yang baru ini, berjalan paling muka menemui Esau, berjumpa dengan ketakutannya yang nomor satu, dengan mimpi buruknya yang nomor satu. Kita tahu, kalau orang berhadapan mata dengan yang ditakutinya, menyongsong ketakutannya, berarti dia berhasil mengatasi dirinya. Yakub dalam hal itu, dikuatkan oleh Tuhan setelah namanya diganti.
Dia menyongsong Esau mata dengan mata. Dia sujud ke bumi 7 kali. Dia merendahkan diri di hadapan Esau. Dia menerima keadaan, bahwa dirinya adalah adiknya Esau. Dia mempercayakan nubuatan ketika dia masih di rahim Ribka bahwa dia akan menjadi pemimpin Esau, kepada Tuhan; lalu dia berjumpa dengan Esau. ‘Kalau aku harus mati, biarlah aku mati’, barangkali seperti itu yang dia pikir—seperti juga yang dikatakan oleh Ester. Dan dia tidak mati. Esau mengampuni dia. Dengan satu gestur yang seperti dalam cerita Tuhan Yesus mengenai seorang ayah yang dengan berlari –dengan melupakan dignitasnya sebagai orang tua– menyambut seorang anak yang pernah hilang, yang mengkhianatinya dan yang berharap dirinya mati lebih cepat, lalu memeluknya dan bertangis-tangisan; demikianlah Esau menyambut Yakub. Esau melihat Yakub lebih dulu, dia memeluk Yakub, dia menangisi Yakub, dia terharu. Setelah semua itu, barulah dia mengarahkan pandangannya kepada apa yang dibawa oleh Yakub –relasi dulu, baru melihat apa yang Yakub tawarkan. Dan setelah Yakub menawarkan, reaksi Esau adalah: “Simpanlah buatmu, aku punya banyak”. Esau menolak itu.
Jadi itulah yang pertama: temuilah saudaramu. Yakub yang baru, berani bertemu dengan Esau; dan Tuhan mengejutkan Yakub atas Esau yang ternyata sudah lupa. Ternyata perhitungan Mama Ribka tepat juga; Ribka kenal anaknya yang bahkan tidak dia sayangi, bahwa Esau itu bakal sudah lupa karena orangnya memang begitu. Dulu hak kesulungannya dia jual hanya dengan semangkuk sop kacang merah, dan dia dengan cepat menghabiskannya –dia cuma duduk, makan, berdiri, dan pergi; itu saja. Sebagaimana dia begitu cepat lupa, demikian Esau ini sudah lupa setelah 20 tahun, dia mengampuni Yakub begitu saja sehingga tidak ada persoalan.
Tapi Yakub bukan orang yang gampang percaya. Dia tidak gampang percaya bahwa persoalannya akan selesai dengan begitu mudah. Dia tidak percaya pada kebaikan orang lain. Kalau kebaikan diri sendiri, mungkin dia percaya; tapi kebaikan orang lain, dia tidak percaya. Itu seperti juga kesepuluh anaknya di kemudian hari (Kejadian 50); setelah ayah mereka mati, 10 anak Yakub itu merancang tipu muslihat, mengatakan kepada Yusuf: “Papa itu pesan supaya kita jangan diapa-apain, musti diampuni, jangan diingat-ingat dulu kita bikin dosa”, padahal papanya tidak pernah mengatakan itu sebetulnya. Mereka mengatakan itu saking tidak percayanya bahwa Yusuf mengampuni. Mereka pikir tidak mungkin ada orang sebaik itu, sehingga mereka merasa harus menipu lagi si Yusuf supaya dia mengampuni mereka. Kita tidak diberitahu apakah Yusuf tahu atau tidak, tapi dia mengampuni mereka bahkan menanggung makan mereka beserta anak-anaknya. Jadi, di sini waktu Esau menawarkan untuk mengawal Yakub, Yakub menolak, Yakub menipu Esau lagi dengan mengatakan: “Di sini masih ada anak-anak kecil, juga lembu-lembu yang masih kecil; kalau mereka diburu-buru nanti bisa ada yang mati. Lagipula aku tidak mau merepotkan Koko; Koko orang penting pasti banyak urusan. Jadi silakan jalan sendirilah, nanti aku menyusul pelan-pelan” –tapi itu tidak pernah kejadian.
Mereka baru bertemu lagi setelah Ishak mati. Mereka bertemu lagi untuk mengubur ayahnya, mengubur masa lalu mereka. “Where is your brother, Jacob?” –dan Tuhan menyelesaikan itu dengan indah. Yakub ini dengan segala liku-likunya, dengan segala lapis demi lapis penipuannya, pada akhirnya Tuhan menggiring dia untuk berdamai dengan kakaknya, setidaknya dalam rangka mengubur ayah mereka yang sudah tua dan pada akhirnya mati. Perhatikan ending dalam brotherhood mereka; di awal, 20 tahun sebelumnya, ayah mereka mempertaruhkan sesuatu, yaitu Yakub akan membenci Esau seumur hidupnya. Tapi ‘gak apa-apalah, dia cuma Yakub, orang yang suka tinggal di rumah’, ‘gak bakal dia bisa bunuh Esau; kalaupun mau juga ‘gak mampulah, ya udahlah, biarin aja –Ishak mempertaruhkan itu. Ishak merasa ‘that’s okay’. Tetapi Tuhan punya rencana lain, rencana yang lebih indah. Dua puluh tahun kemudian, ketika Tuhan mengizinkan Ishak betul-betul mati, dia mati dalam keadaan Esau dan Yakub permasalahannya beres, Esau dan Yakub cukup mapan, mereka punya power arrangement. Esau berkuasa atas suatu daerah yang terpisah dari Yakub, dan mereka sama-sama punya kuasa, mereka sama-sama menjadi orang yang memenuhi dunia ini.
Yang kedua, bagaimana dengan Tuhanmu? Tuhan Yakub yang pertama adalah Tuhan yang dia terima secara bersyarat. Yakub itu “mempekerjakan” Tuhan, Tuhan itu “pegawai”-nya Yakub. Yakub meng-interview Tuhan, “lu bisa kasih gua benefit apa, lu becus apa nanti gua akan menjadikan elu, tuhan gua, kalau elu memenuhi syarat ini dan itu”. Syarat Yakub adalah kalau Tuhan menyertai dia, membuat dia makmur, melindungi dia, dan membawa dia pulang kembali ke rumah ayahnya dengan aman. Kalau Tuhan becus mengurusi hal itu, maka Yakub akan mempersembahkan sepersepuluh dari miliknya, Yakub akan mendirikan altar untuk menghormati Tuhan. Itulah Yakub dulu. Yakub yang masih di ambang pintu politeisme, dan dia oke saja menjalin perjanjian dengan Laban yang menyembah dua-duanya, yaitu Allah Abraham dan allah Nahor (ini dua yang berbeda). Bagi dia, Tuhan itu tidak tentu yang ini yang benar atau yang itu yang salah, jadi ya, sudahlah, kita pegang separo-separo karena ‘kan beragama juga musti open minded, baik-baik sama semua orang. Ini seperti yang dikatakan Voltaire ketika dia mau mati dan seorang pastor Katholik datang mau memberikan minyak pengurapan terakhir. Pastor itu mengatakan kepada Voltaire: “Maukah engkau memuliakan Tuhan, mengakui Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, yang mengirim Yesus Kristus, dst. dst. “ Voltaire tidak menolak, oke-oke saja, toh sudah mau mati. Tapi ketika Pastor sampai kepada kalimat “dan membenci dosa, mengutuki Iblis dan semua antek-anteknya”, Voltaire mulai menjawab: “Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk cari musuh, deh” –Saudara tentu bisa menangkap maksudnya. Itulah yang terjadi pada Yakub dahulu, Yakub yang dulu. Dia punya Allah, dan dia memberikan syarat kepada Allahnya, karena Allahnya itu bukan Tuan melainkan hambanya sebetulnya.
Yakub berubah menjadi seperti apa? Dia menyadari, bahwa dia bisa berhadapan muka dengan Tuhan dan selamat, itupun sesuatu yang harus disyukuri. Setelah Yakub bergumul dengan Tuhan apa yang terjadi? Yakub menamai tempat dia bergumul itu Pniel, karena "Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!" (Kej 32:30), dan dia keluar dengan pincang. Kita pincang di hadapan Tuhan; itu adalah pengenalan diri yang benar, sekaligus pengenalan akan Allah, yang benar. Calvin dalam “duplex cognitio Dei” mengatakan bahwa mengenal Allah secara benar, itu adalah juga berarti mengenal diri secara benar. Mengenal Allah yang besar, berarti mengenal diri yang kecil. Mengenal Allah yang suci, berarti mengenal diri yang najis. Mengenal Allah yang tidak terbatas dan absolut, berarti mengenal diri yang relatif, yang bergantung, yang bersandar. Jadi sikap ini yang juga berubah, setelah Yakub bertemu dengan Tuhan dalam 20 tahun itu, khususnya pada akhir perjalanannya, ketika dia mengenal Allah secara berbeda. Dan yang terakhir, dia mengenal dirinya juga secara berbeda.
Pada akhir perjumpaan Yakub dengan Malaikat Tuhan itu, ketika Malaikat Tuhan tersebut tidak juga bisa mengalahkannya karena Yakub terus ingin menahannya untuk diberkati, Malaikat Tuhan berkata: “Time is out, saya mau pergi karena hari sudah pagi, matahari sudah terbit.” Dan Yakub mengatakan: “Tidak, sampai engkau memberkati aku, aku tidak akan melepaskan engkau.” Malaikat Tuhan bertanya kepada Yakub: “Siapa namamu?” Kita tahu, ketika Yakub ditanya “siapa namamu?” pada pasal 27 ayat 18-19, dia menjawab kepada ayahnya: “Aku Esau, Papa; berkati aku.” Supaya diberkati, dia menyamar menjadi Esau, dia menolak jadi dirinya sendiri, dia kepingin jadi Esau. Dan ketika dia melihat Rahel di tepi sumur, dia mengatakan: “Aku ini adalah anak Ribka, aku ini saudara ayahmu.” Jadi Yakub pertama-tama ingin jadi Esau –itu penipuan. Kemudian yang kedua dia mengatakan “aku saudara ayahmu, Rahel” –ini tidak salah. Tetapi apakah Yakub menghidupi dirinya sendiri, identitasnya yang sejati? Itulah yang ditanya oleh Malaikat Tuhan pada pagi hari tersebut –“siapa namamu?” Dan Yakub mengatakan: “Namaku Yakub.”
Yakub itu artinya sesuatu yang tidak bagus. Yakub artinya berlapis-lapis, akalnya banyak; dia orang yang ambisius. Nama Yakub adalah nama yang menandakan bahwa orang tersebut bukan orang yang simpel, tapi orang yang rumit, orang yang banyak “ornamen”-nya, banyak lapisan-lapisan dan ilusinya. Itulah Yakub. Dan Tuhan kemudian mengatakan: “Namamu bukan lagi Yakub, namamu Israel.” Kata ‘isra’ di bagian depan ‘Israel’ tidak begitu jelas artinya; ‘el’ artinya Tuhan. Jadi ‘Israel’ artinya bisa ‘Tuhan yang menang’, atau ‘Tuhan yang mengalahkan’, atau ‘Tuhan yang berperang, atau ‘yang berperang melawan Tuhan’, atau ‘yang berperang bersama dengan Tuhan’. Gagasan yang bisa kita tangkap di situ adalah bahwa Yakub bukan hanya bergumul dengan manusia, karena dalam pergumulannya dengan manusia, pada akhirnya dia sedang bergumul dengan Tuhan.
Seumur hidup Yakub, dia merasa bahwa hidup akan baik-baik, kalau saja saya lahir sebagai anak sulung; ini semua gara-gara Esau lahir duluan. Tapi itu bukan gara-gara Esau, melainkan gara-gara Tuhan, karena Tuhanlah yang menetapkan Yakub lahir sebagai yang nomor 2; dan Tuhan ingin memberkati yang nomor 2 ini. Tapi Yakub tidak menerima itu, maka waktu Yakub menunjukkan kekesalannya, sebetulnya itu ditujukan kepada Tuhan, bukan kepada Esau. Fenomenanya kepada Esau, kenyataannya –yang tidak diakui—adalah kepada Tuhan; dan memang kebenarannya adalah kepada dua-duanya. Bukankah ini seperti dikatakan oleh Katekismus Heidelberg dalam pertanyaan nomor 2-4, bahwa kita, manusia, tidak bisa melakukan hal yang dituntut oleh Tuhan dalam hukum-hukum-Nya, karena kita bukannya mengasihi Allah dan sesama, melainkan pada kodrat kita yang paling dalam, kita membencinya. Saya kira ini adalah bagian yang sangat terus terang dikatakan oleh Casper Olivianus dan Zacharias Ursinus sebagai diagnosa dari kemanusiaan kita; inilah pengenalan diri kita yang mendalam –aku membenci Allah, aku membenci sesamaku.
Kita perlu menelan pil pahit itu, hasil diagnosa itu, bahwa ‘aku membenci engkau’. Kita sangat sering dalam dunia ini melakukan lip service, mengatakan “I love you, I like you”, atau setidaknya “saya suka pemikiranmu, saya suka desain yang kamu bikin, saya suka lagumu”, atau juga hanya diam saja. Kita agak jarang bilang “I hate you”, karena kalau kita bilang “I hate you”, langsung kita jadi orang yang lebih rendah moralitasnya, bukan orang Kristen; apalagi kalau kita orang ‘gereja-an’, masakan masih benci-benci?? Tapi Katekismus Heidelberg mengatakan bahwa pada kodrat kita yang terdalam, kita bukan hanya tidak mampu mengasihi Allah, kita membenci Allah; kita bukan hanya tidak mampu mengasihi orang lain, kita membenci orang lain. Hal ini perlu kita akui. Yakub mengakui hal itu ketika dia ditanya lalu menjawab: “Aku ini Yakub”. Aku ini yang berlapis-lapis, aku ini kehilangan diriku, aku ini kehilangan identitasku, aku tidak tahu lagi aku ini siapa. Untuk diberkati, aku ngaku-ngaku jadi Esau; untuk dapat istri, aku ngaku-ngaku anak mamaku –yang memang benar juga, sebagaimana benar juga waktu Abraham mengatakan Sara itu adiknya tapi untuk menipu juga.
Yakub berlapis-lapis, dan dia kehilangan dirinya dalam lautan identitas yang oportunis itu. Kemudian Tuhan menegur dia dan mengganti namanya. Tuhan menegur dia untuk mengakui siapa dirinya sebenarnya. Yakub mengakui itu –aku berlapis-lapis, karena pada dasarnya aku tidak mengasihi Allah di atas sana, malahan dalam kodratku aku membenci kalian, aku membenci dunia ini, aku membenci kehidupan. Lalu Tuhan mengatakan: “Engkau bergumul dengan Allah, Allah yang adalah komandan perang” –too bad. Bukan bergumul dengan Allah yang adalah gembala yang penuh kasih, tapi Allah komandan perang yang spesialisasinya adalah berperang. Kalau Saudara mau cari musuh, yah, carilah tukang balon begitu; tapi ini cari musuh yang adalah petinju, minta ampun deh, bonyok lu. Lalu cari musuh sama Tuhan?? Masih mending kalau Tuhan yang lembut, tapi ini carinya Tuhan yang adalah pejuang. Dan Tuhan mengingatkan hal itu dalam namanya; Dia mengatakan, “engkau adalah Israel, yang berperang melawan Allah, yang berperang bersama Allah; engkau adalah yang berperang dengan Allah yang adalah Raja, yang tugasnya memimpin ke dalam medan perang. Itulah engkau. Dan Aku memberkati engkau.”
Waktu Tuhan memberkati kita, tidak selalu kemudian berarti tidak ada tension. Waktu Tuhan memberkati kita, seringkali kita harus menelan pil pahit. Ada tension di sana, tapi resolution-nya adalah di dalam hari-hari mendatang. Kita melihat, setidak-tidaknya ada semi-resolution di akhir kitab Kejadian; dan tentu saja resolusi yang paling terang-benderang adalah di dalam Kristus, yaitu resolusi peperangan antara Allah dan manusia. Di permukaan kita melihat peperangan itu terjadi antara manusia dengan manusia –peperangan antara laki-laki dengan perempuan, antara anak dengan orangtua, antara generasi milenial dengan generasi X, antara orang yang punya modal dengan orang yang tidak punya kapital (kata Karl Marx), antara negara Utara denga negara Selatan, antara manusia dengan alam ini, dan apapun lainnya—tetapi paling dasarnya adalah peperangan antara engkau dengan Tuhan; “aku membenci Allah”. Dan Tuhan mengatakan, “Aku memberkati engkau”, di dalam Kristus.
Di kayu salib itu kita melihat apa yang akan manusia lakukan kepada Tuhan, kalau Dia tidak berdaya. Saudara mau tahu manusia itu bisa seberapa jahatnya, atau manusia itu sebenarnya seperti apa, maka jangan melihatnya waktu dia di atas panggung, waktu dia dalam perjamuan makan dengan pejabat-pejabat negara dan para menteri. Bukan di situ. Itu bukan yang asli, itu biasanya palsunya. Yang aslinya adalah ketika kamu menyerahkan musuh dia di tangannya, dan tidak ada CCTV, dan dia bakal lolos dari hukum, dan tidak ada orang yang tahu, dan orang yang diserahkan kepadanya itu sudah dilucuti dari segala kemanusiaan. Dan lihatlah di situ, akan jadi apa orang itu. Itulah yang terjadi di penjara-penjara, di Perang Dunia I dan Perang Dunia II dan seterusnya; itulah kita. Bayangkan, kalau Tuhan diserahkan di tangan kita, kita apain itu Tuhan?? Nasib Tuhan itu seperti apa, kalau di tangan kita?? Hal itu pernah terjadi, 2000 tahun yang lalu, seperti apa nasib-Nya? Seperti yang kita lihat pada Yesus. Itulah yang kita lakukan kepada Tuhan, kalau kita punya kesempatan, kalau kita boleh melakukannya.
Di kayu salib itu kita melihat diri kita, seperti Yakub. Siapakah engkau? Akulah Yakub, aku adalah orang yang menyalibkan Kristus. Siapakah Tuhan? Dia adalah Tuhan yang tersalib, tetapi dunia kematian tidak dapat menahan Tuhan. Dia adalah Tuhan yang memberkati kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading