Hari ini kita mau membahas forgiveness dalam Kekristenan. Saya pikir salah satu hal yang menarik untuk kita bahas adalah mengenai dosa yang katanya tidak bisa diampuni, yaitu dosa menghujat Roh Kudus, tentang apa pengertian di baliknya. Waktu kita mau mengerti mengenai dosa menghujat Roh Kudus yang tidak bisa diampuni, tentu kita tidak bisa hanya fokus pada kalimatnya saja, kita perlu membaca kalimat tersebut dalam keutuhan konteks yang lebih besar. Kita akan mengambil versi dari Matius, pasal 12:22-32.
Bapak/Ibu kalau pernah nonton film dokumenter mengenai piramid di Giza atau bangunan-bangunan besar yang sudah tua, misalnya katedral-katedral besar di Eropa dsb., biasanya apa yang jadi topik utamanya? Kalau kita mengunjungi situs-situs tersebut dan melihat sendiri bangunan-bangunan itu, biasanya apa yang keluar sebagai kalimat pertama kita? Secara umum kita akan bertanya, “Koq, bisa sih??”, bagaimana bikinnya sampai bisa kayak begitu, gedung-gedung yang dalam keadaan kita sekarang dengan kemajuan teknologinya pun tidak gampang bikinnya, apalagi mereka yang membangunnya ribuan tahun lalu. Atau misalnya Saudara nonton seorang anak jenius main biola atau sejenisnya, dia main satu piece yang terkenal sangat sulit, dan anak ini bukan cuma bisa memainkannya, dia bahkan membuat permainan musiknya itu kelihatan effortless, maka itu membuat kita jadi tanya, “Koq, bisa sih??” Pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang natural ketika kita melihat sesuatu yang melampaui kapasitas manusia secara normal; dan di bagian Alkitab yang kita baca ini, pada zaman Tuhan Yesus, orang melihat Yesus pun akan bertanya pertanyaan yang sama. Dalam hal ini hanya ada 2 macam jawaban yang bisa diberikan; beberapa orang ketika melihat Yesus melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib, khususnya mengusir setan-setan, mereka mengatakan, “Dia ini agaknya Anak Daud”. Namun, karena karya mujizat ini satu hal yang sulit diterima, bukan cuma urusan sesuatu yang bisa dicapai dengan teknik konstruksi beton mutakhir, bukan juga urusan latihan berjam-jam sampai bisa main musik dengan begitu effortless, tapi pada dasarnya ada sebuah kuasa yang besar, kuasa yang datang dari sesuatu tempat, dan kuasa ini bikin malu semua kuasa yang lain, maka dalam hal ini musuh-musuh Yesus punya jawaban yang lain. Mereka punya teori mengenai sumber asalnya; mereka mengatakan, sumbernya adalah Beelzebul (Beelzebul adalah nama slank pada waktu itu untuk Iblis senior, penghulu setan).
Kenapa mereka menuduh Yesus kongkalikong dengan Iblis senior? Karena mereka tidak mau menerima alternatifnya –sebagaimana Tuhan Yesus katakan di sini–tidak mau menerima bahwa kuasa yang mengalir dari Tuhan Yesus sungguh-sungguh kuasa dari Allah Israel. Ini berarti urusannya bukan cuma urusan penyembuhan orang sakit atau pengusiran setan, tapi bahwa Yesus menerima orang-orang luar, menerima pemungut cukai dan orang-orang berdosa, makan dengan mereka, memutar balik hirarki dalam keagamaan orang Yahudi pada waktu itu, menolak pasang ‘kuda’ dalam urusan pembebasan tanah Israel dari Romawi, dan seterusnya itu, juga harus mereka terima satu paket, sebagai bagian dari program Kerajaan Allah –dan orang-orang Farisi serta ahli-ahli Taurat tidak bisa menerima hal ini. Bagi orang-orang Farisi, semua itu berlawanan dengan apa yang mereka pikir sebagai kehendak Tuhan; bagi ahli-ahli Taurat, Yesus itu tidak ter-akreditasi. Itu sebabnya ada satu hal yang mereka pikir harus lakukan, yaitu menempelkan label “kongkalikong dengan setan” kepada Yesus.
Saudara, labelling itu gunanya apa sih? Labelling adalah suatu hal yang sebenarnya sangat powerful. Kalau Saudara perhatikan kerusuhan, bentrok antara para demonstran dan polisi, biasanya mereka bukan bentrok dari awal, bukan seperti tentara yang datang dan langsung perang, mereka biasanya ada saling hina dulu di awalnya. Para demonstran mulai menyebut polisi-polisi itu dengan kata-kata kebon binatang, para polisi juga mulai menganggap para demonstran sebagai bajingan-bajingan, dst. Ketika Saudara melabelkan manusia dengan label-label sedemikian, ini penting, karena setelah itu Saudara tidak perlu lagi menganggap dirimu sedang berurusan dengan manusia, tapi berurusan dengan binatang, bahkan binatang yang kotor, sehingga Saudara tidak perlu lagi memikirkan siapa yang Saudara gebukin, yang Saudara sakiti, dst. Jadi, waktu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat melabelkan Yesus “kongkalikong dengan Beelzebul”, ini bukan sekadar suatu tuduhan serius, ini adalah satu usaha untuk menghitamkan nama Yesus, mendiskreditkan bukan cuma Yesus saja tapi juga semua program-Nya dan semua proyek Kerajaan Allah yang Dia bawa. Ini kira-kira seperti menuduh Yesus sebagai ahli sihir, pada zaman itu.
Sebelum kita lanjutkan ceritanya, satu hal menarik yang mungkin bisa kita tarik dulu adalah bahwa tuduhan sepeti ini ada positifnya, karena ini menggemakan apa yang kita bicarakan pada Paskah yang lalu, bahwa iman kita adalah iman yang historis, iman yang mengimani apa yang benar-benar terjadi. Ketika ada yang melihat Yesus mengusir setan, membuat mujizat ini dan itu, lalu mereka meragukan apakah Yesus benar-benar melakukan mujizat-mujizat tersebut, sampai-sampai Yesus kemudian dilabelkan seperti tadi, maka di sini Saudara bisa melihat Dia memang melakukannya. Logikanya seperti ini: waktu orang mengatakan ‘koq, bisa sih??”, mereka tidak akan mengatakannya kalau mereka melihat bangunan yang biasa-biasa saja, kalau mereka nonton musikus amatiran; orang hanya akan mengatakan kalimat seperti itu ketika mereka melihat ada sesuatu yang luar biasa. Jadi, pada dasarnya kita bisa melihat salah satu hal positifnya Yesus dituduh seperti ini –dan dicatat seperti ini– adalah karena Dia benar-benar melakukan tanda mujizat tersebut.
Kita melanjutkan certitanya. Yesus kemudian menjawab mereka dengan jawaban yang sangat tajam; Dia mengatakan, ‘teorimu itu konyol, teorimu ‘gak masuk akal’. Dia bukan menyangkal bahwa setan punya kuasa, tapi kalau setan memberi kuasa pada seseorang, ya mbok memberi kuasanya kuasa untuk terbang, kuasa untuk bisa menembus tembok, kuasa untuk bisa dapat harta, itu yang masuk akal; sedangkan memberi kuasa pada orang untuk kemudian orang itu mengalahkan pekerjaan setan sendiri, itu tidak masuk akal! Tujuan setan adalah mengendalikan lebih banyak orang, jadi bagaimana mungkin dia bisa mengendalikan lebih banyak orang kalau dia memberikan kuasa kepada Yesus untuk justru membebaskan orang dari kuasanya?? Tidak masuk akal sama sekali. Lebih dari itu, Tuhan Yesus pada dasarnya mengatakan, ‘kamu harus tahu ya, kalau sebuah kerajaan terjadi perang saudara di dalamnya, biasanya sih itu menandakan umur kerajaan tersebut sudah tidak lama’. Dan di sini Yesus memberikan alternatif lainnya, yaitu: memang benar setan berkuasa, tapi sudah diikat, oleh karena itu Orang yang lebih berkuasa mengikatnya, sekarang sedang merampoki rumahnya. Kalau kita ambil bagian ini dalam keseluruhan kisah Injil, ini sepertinya merujuk pada peristiwa masa sebalumnya ketika Yesus mengalahkan kuasa setan dalam urusan pencobaan; Dia sudah mengikat kuasa setan pada waktu itu, maka sekarang Dia sedang merampoki rumahnya, Dia sedang membebaskan orang-orang yang tadinya di bawah kuasa setan, untuk kembali bebas.
Saudara, waktu kita mengerti kalimat berikutnya mengenai dosa menghujat Roh Kudus, Saudara perlu mengertinya dalam keseluruhan konteks cerita tersebut. Kalau Saudara mengetahui bahwa urusan dosa menghujat Roh Kudus itu bukan keluar dalam suatu daftar ‘inilah dosa-dosa yang dapat diampuni; dan ada satu dosa yang tidak dapat diampuni’, melainkan keluar sebagai bagian terakhir dari kisah tadi, maka berarti ini bukan urusan dosa tertentu yang lebih spesial di mata Allah dibandingkan dosa-dosa lain. Ini hanyalah tentang Yesus mengungkapkan apa yang merupakan dosa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat di kisah tersebut, yaitu mereka menghujat Roh Kudus, mereka menentang Roh Kudus. Apa artinya menentang dan menghujat Roh Kudus; dan kenapa ini tidak bisa diampuni? Mereka melihat pekerjaan Roh Kudus, lewat diri Yesus Kristus, lalu mereka melabelkan sebagai pekerjaan setan; itu namanya menghujat Roh Kudus. Dengan demikian Saudara bisa mengerti kenapa dosa ini tidak bisa diampuni, bukan karena dosa-nya itu tidak terampuni, tapi karena dosa seperti ini memotong putus saluran untuk pengampunan itu datang —yaitu pekerjaan Roh Kudus– karena bagaimana mungkin bisa diampuni lewat pekerjaan Roh Kudus kalau Saudara menolak pekerjaan Roh Kudus tersebut. Dengan kata lain, dosanya itu bukan tidak dapat diampuni, dosanya itu tidak ingin diampuni, sehingga bagaimana mungkin bisa dapat pengampunan.
Satu contoh, kalau Saudara ngobrol dengan orang yang percaya teori konspirasi. Teori konspirasi ada banyak macam, tapi satu hal yang menyatukan mereka adalah: orang yang percaya teori konspirasi biasanya bukan cuma percaya satu teori atau satu prinsip doang, tapi mereka menganggap dan melabel semua omongan orang, semua media, semua buku-buku –selain teori konspirasi yang mereka percaya– sebagai penipuan, tidak bisa dipercaya. Itulah problemnya orang yang percaya teori konspirasi. Kita sering kali pikir itu orang yang skeptis –skeptis terhadap media, skeptis terhadap omongan orang– tidak gampang percaya, tapi sebenarnya tidak. Kalau diselidiki psikologinya, menurut artikel yang saya pernah baca, orang yang percaya teori konspirasi itu justru terlalu gampang beriman, terlalu gampang percaya. Terlalu gampang percaya bahwa segala sesuatu tidak bisa dipercaya, bahwa segala sesuatu adalah bohong, bahwa segala sesuatu adalah bagian dari konspirasi. Bicara dengan orang seperti ini, tidak ada satu cara pun yang bisa tembus, karena semua bukti dan semua argumen yang Saudara katakan akan dilabel oleh orang ini sebagai bagian dari konspirasi itu sendiri. Tidak ada yang bisa tembus, semua jembatan sudah dibakar, mau lewat mana lagi?? Akhirnya orang seperti ini buta terhadap kebenaran.
Saudara jadi bisa lihat sekarang, dosa yang disebut dalam perikop ini adalah dosa seperti itu, dosa yang bukan lebih spesial bagi Tuhan, tapi dosa yang urusannya dalam hal kita beresponsnya, sehingga tidak ada pengampunan yang bisa datang. Ini sama seperti kalau Saudara harus dioperasi oleh seorang dokter –dan di seluruh dunia hanya ada satu dokter ini yang bisa melakukannya– lalu di meja operasi Saudara memutuskan bahwa si dokter ini seorang pembunuh, maka ya sudah, tidak ada jalan lain, Saudara tidak mungkin memberi dirimu dioperasi oleh dokter tersebut. Atau misalnya Saudara sedang di padang gurun, kehausan, hampir mati, lalu ada seseorang memberikan sebotol air, namun entah bagaimana Saudara memutuskan untuk melabel botol air tersebut racun, maka ya sudah, tidak ada jalan lain, Saudara akan mati kehausan. Inilah dosa menghujat Roh Kudus.
Jadi, salah satu hal yang kita bisa pelajari dari sini adalah: kalau Saudara sebegitu kuatirnya ‘apakah saya ada dosa seperti itu atau tidak’, maka sepertinya itu tanda-tanda bagus bahwa Saudara belum melakukan ke arah sana. Itu satu hal yang bisa kita ambil positifnya meski bukan akhir dari diskusi ini, karena saya percaya di antara kita pasti ada orang-orang yang bukan hanya dengar khotbah demi memuaskan keingintahuan intelektual ‘O, kayak begitu’ lalu selesai. Tentu tidak. Kita bisa membicarakan apa implikasi ini semua bagi relasi kita dengan Tuhan. Ini sebabnya dalam setiap khotbah, kita berusaha menarik Saudara untuk tidak berhenti di prinsip-prinsip tok, tapi untuk lewat prinsip-prinsip tersebut Saudara makin mengenal dan melihat Sang Pribadi yang ada di balik prinsip-prinsip tersebut, untuk lewat mempelajari dosa menghujat Roh Kudus ini kita bisa lebih mengenal dan berelasi dengan Dia, dengan lebih baik. Ada dua hal yang saya tarik sebagai implikasi dalam hal ini; yang pertama: pentingnya pengakuan, yang kedua: bobot dari pengampunan.
Yang pertama, pentingnya pengakuan. Saudara, lewat hal ini kita belajar betapa pentingnya pengakuan dosa dalam relasi Saudara dengan Tuhan, bahkan juga dalam relasi Saudara dengan semua manusia; Calvin mengatakan ‘kenal Tuhan, kenal diri, kenal sesama’. Satu hal, kenapa menolak pekerjaan Roh Kudus berarti memutus saluran di mana Tuhan memberikan pengampunan-Nya? Karena tugas/peran Roh Kudus yang paling penting bukanlah memberikan Saudara sebuah Ferrari, menyembuhkan penyakit, dan segala macam lainnya, tapi sebagaimana kita baca dalam Yohanes 16:8 salah satu tugas/peran Roh Kudus yang paling sentral adalah “Ia akan menginsyafkan dunia akan dosa”.
Peran Roh Kudus adalah membuat kita menyadari dan mengakui dosa kita. Peran Roh Kudus bukan cuma menunjukkan di mana kesalahanmu, tapi menggerakkanmu untuk menerima bahwa engkau salah, menggerakkanmu untuk mengakui kesalahan tersebut. Ini aspek yang sering kali kurang dibicarakan dalam iman kita, karena kita sering kali pikir dosa hanyalah kapasitas hati manusia untuk berdosa, bahwa manusia hatinya sangat bisa berdosa. Namun problem manusia bukan cuma hatinya bisa berdosa dengan besar, tapi juga bahwa hati manusia pun punya kapasitas yang besar juga untuk menghindar dari tanggung jawab, menyangkal keberdosaan terserbut. Ini juga satu problem yang besar dalam diri manusia. Pendeta Billy pernah beberapa kali mengatakan bahwa di dalam Alkitab jangan pikir bisa ada pengampunan tanpa ada pengakuan dosa; selalu ada pengakuan dosa, dan tanpa itu tidak ada pengampunan. Ayat yang biasa dibacakan ketika kita berdoa pengakuan dosa, yaitu dari 1 Yohanes 1:9, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan”. Jika kita mengaku dosa kita, baru ada pengampunan.
“Lho, Pak, jadinya kita pasif di hadapan Tuhan?” Tidak, Saudara; jangan salah. Seorang mentor pernah memberikan satu kalimat yang sangat bagus: “Di dalam Kekristenan, berita Injil itu meniadakan jasa, bukan meniadakan usaha.” Ini penting, Injil itu meniadakan jasa, bukan meniadakan usaha; bukan berarti kalau percaya Injil lalu Saudara tidak ada usahanya, tapi usahamu itu bukan jasamu, usahamu itu hasil pekerjaan Roh Kudus. Waktu Saudara insyaf akan dosa, memang Saudara yang insyaf, Saudara yang mengaku; tapi jangan sekali-kali pikir hal ini datang karena engkau hebat, karena engkau adalah orang yang lebih bisa mengakui dibandingkan orang lain. Tidak demikian, Saudara; itu adalah karena Roh Kudus bekerja di dalam hatimu. Dalam Kekristenan jangan hal-hal seperti ini ditabrakkan; kalau Saudara tabrakkan hal-hal seperti ini, maka bukan cuma urusan teologi tapi hal-hal biasa dalam kehidupan pun Saudara jadi susah untuk menangkapnya. Misalnya, saya mendidik anak-anak di sekolah, itu saya yang mendidik, bukan mereka mendidik dirinya sendiri, saya yang jadi guru, saya yang mendidik mereka. Sekarang, saya memberikan mereka ujian, mereka mengerjakan ujian tersebut; siapa yang mengerjakan ujiannya? Saya? Bukan. Mereka yang mengerjakan ujiannya. Tapi saya yang mendidik mereka ‘kan, bukan mereka mendidik diri mereka sendiri. Jadi saya yang mendidik mereka, mereka yang mengerjakan ujiannya; tidak perlu ditabrakkan.
Sama halnya dengan pekerjaan Roh Kudus; kita menginsyafi dosa kita, kita mengakui dosa kita, itu usaha kita tapi bukan jasa kita, itu pekerjaan Roh Kudus. Dan itu salah satu pekerjaan yang paling penting, karena tanpa pengakuan dosa, tanpa confession, tanpa mengakui dosa, tanpa menerima keberdosaan –tanpa ini semua– tidak ada perbaikan, tidak ada pengampunan. Sekarang Saudara bisa melihat urusan menghujat Roh Kudus tidak perlu kontradiktif lagi. Saudara mungkin pikir ‘katanya semua dosa bisa diampuni, tapi koq ada dosa yang tidak bisa diampuni, bagaimana caranya??’ Saudara, ini tidak kontradiktif; memang semua perbuatan dosa –perbuatannya– bisa diampuni, tapi tanpa pertobatan, tanpa pengakuan dosa, tidak ada dosa yang bisa diampuni. Bukan cuma dosa menghujat yang tidak bisa diampuni, tapi semua dosa tidak ada yang bisa diampuni tanpa pertobatan, tanpa pengakuan dosa; maka kalau Saudara tidak bertobat, kalau Saudara tidak mengaku dosa, kalau Saudara tidak menerima pekerjaan Roh Kudus dalam hidupmu, itulah yang namanya menghujat Roh Kudus, menentang karya Roh Kudus, karena karya Roh Kudus salah satunya adalah membuat Saudara mengaku tanpa mencari kambing hitam, tanpa main korting, mengaku keberdosaan Saudara sepenuhnya “saya salah, dan saya benar-benar salah”. Itulah pekerjaan Roh Kudus.
Saudara coba pikir, dengan pertobatan, dengan pengakuan dosa, maka semua dosa ada titik terang, termasuk juga dosa yang paling hancur. Tapi tanpa pengakuan dosa, dosa yang terkecil pun akan menghancurkan hidup seseorang. Kita bisa pakai analogi misalnya dalam hidup pernikahan. Hidup pernikahan pasti ada berantem dengan pasangan; dan yang salah pasti dua pihak, tidak mungkin salah satu doang, jarang sekali salah satu doang. Lalu mungkin kita merasa ‘ini sudah saatnya baikan, tapi saya ‘gak mau langsung buka diri kayak begitu dong, saya musti ada dasar berpijak supaya saya kuat posisinya’, jadi kita lalu mengatakan, “Oke, gua salah, tap salah gua cuma 10%, 90% salahnya lu!” Yang seperti itu, bukan mengaku; dan ketika ini terjadi, meskipun seandainya dosamu benar-benar cuma 10%, tidak akan bisa ada titik terang, karena pihak sebelah sana sudah pasti hitungan persentasenya lain. Tapi, seandainya ada pengakuan, dan ini pengakuan yang sepenuhnya meskipun cuma 10% –“Saya minta maaf, bagaimana pun juga terlepas dari apa yang kamu lakukan atau tidak lakukan, saya ada andil dalam kesalahan ini; dan untuk kesalahan saya ini saya minta maaf sepenuh-penuhnya”– maka kalaupun kesalahan Saudara cuma 10%, ada titik terang. Benang kusut itu bisa mulai teruntai sedikit.
Saudara lihat, pengakuan dosa itu penting. Pengakuan dosa membuat segala sesuatu jadi ada titik terang, gelap gulita yang paling gelap akan jadi siang, atau setidaknya pagi, ada secercah sinar matahari; tetapi tanpa ada pengakuan dosa, siang bolong pun jadi gelap gulita. Ini sebabnya kita menekankan tradisi confession dalam Liturgi Ibadah. Waktu kita mengaku dosa dalam Ibadah, itu bukan mendaftarkan dosa-dosamu seminggu ini apa saja, tidak pernah itu poinnya, melainkan mengakui ketidakberdayaan kita, mengakui sepenuhnya bahwa saya tidak berdaya di hadapan Tuhan, bahwa saya salah, dan saya perlu pengampunan. Kalau hal itu tidak ada, tidak ada pengampunan, tidak ada jalan berikutnya, tidak ada harapan. Saudara, kalau tidak ada pengampunan dosa, apa Saudara pikir itu tidak mempengaruhi bagaimana Saudara menerima Firman Tuhan?? Itu sebabnya saya sampai sekarang tidak terlalu kepingin menyebar-nyebar khotbah online, karena orang dengar khotbah di gereja, itu ada urutannya, tidak bisa datang lalu langsung dengar khotbah. Saudara harus datang, lalu ada penerimaan dan pengakuan bahwa Saudara butuh pengampunan di hadapan Tuhan, bahwa Saudara tidak berdaya menentukan bagi dirimu sendiri apa yang benar dan apa yang salah, barulah Saudara bisa menerima Firman Tuhan dengan beres. Tapi kalau sekarang dengan online orang maunya pokoknya bisa dapat khotbah dan tidak usah ada lainya itu semua, Saudara pikir itu membuat orang lebih rohani di hadapan Tuhan?? Coba pikir lagi.
Kita melanjutkan. Waktu kita mengaku, maka ada satu hal terjadi yang sangat penting dalam kerohanian kita. Kata confession itu sendiri, yang dalam bahasa Yunaninya homologeo, yang berarti mengatakan hal yang sama/sinkron dengan logos, dengan kebenaran –dengan Firman (homologeo dari kata homo dan logos). Ketika kita sedang merasa pahit, kecewa, lalu kita menolak untuk meng-kata-kannya, mengakuinya, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah: Saudara tidak bisa melakukan sesuatu terhadap hal tersebut, dan orang lain pun tidak bisa melakukan apa-apa terhadap hal tersebut –karena tidak ter-kata-kan, tidak sesuai dengan aslinya, tidak sesuai dengan kebenaran. Contoh: sepasang suami istri; suami mau pergi, dia mengatakan, “Say, aku pergi ya”, lalu istrinya jawab, “O, ya, pergi aja!” Itulah, ada sesuatu yang tidak ter-kata-kan di sini. Si suami jadi bingung, kayaknya ada something wrong, lalu dia bilang, “Kamu ‘gak ingin aku pergi ya? Ada sesuatu ya?”, dan istrinya bilang, “Enggak, siapa yang mau lu tetap tinggal?? ‘Gak ada yang mau lu tetap tinggal; ‘kan gua ‘gak pernah minta”. Saudara lihat apa yang terjadi di sini? Yang terjadi adalah: ketidakjujuran, ketidaksinkronan antara kata-kata dengan kebenaran; perasaan yang muncul itu tidak menjadi kata-kata. Lalu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah: si suami tidak bisa melakukan apa-apa atas hal ini, dan si istri pun tidak bisa melakukan apa-apa terhadap hal tersebut, karena apa yang mau diurus?? Tidak ada. Saudara lihat, kata-kata itu membuat riil apa yang tadinya hanya perasaan, memberi bentuk sehingga hal tersebut bisa diatur dan diurus. Itu sebabnya pengakuan penting, karena pengakuan bukan cuma memaksa Saudara menghadapi dosamu; pengakuan, itu memampukanmu untuk menghadapi dosamu, untuk mengurus dosamu, untuk menyelesaikan dosamu. Kata-kata, membuat dosa yang tersembunyi menjadi terlihat. Kalau Saudara tidak terbiasa mengakui dosamu, sebenarnya itu hidup yang frustrasi, sama frustrasinya ketika seorang seniman tidak bisa mengekspresikan apa yang jadi perasaan jiwanya; misalnya dia punya suatu gambaran keindahan, dia mau tuangkan dalam kanvas atau pahatan atau musik, tapi dia tidak bisa; coba melukis satu kali, tidak bagus, tidak sesuai dengan yang ada di otaknya. Orang yang tidak bisa mengaku, frustrasinya seperti itu. Namun kalau hal itu bisa keluar, itu jadi sesuatu yang benar-benar riil sekarang, dan ini satu hal yang sangat membantu karena sekarang jadi bertumbuh, sahabat kita bisa melihat, pendeta kita bisa melihat, dan mengevaluasi apakah ini benar atau bohong. Tapi sebelum kita meng-kata-kannya, ini semua tidak mungkin. Itu sebabnya rasanya mampus menggembalakan orang Indonesia, karena seperti Pendeta Edward mengatakan, “Orang bule lebih pilih ketahuan bodoh dibandingkan benar-benar bodoh; sedangkan orang Indonesia lebih pilih bodoh beneran dibanding ketahuan bodoh.” Maksudnya apa?
Waktu saya kuliah di Melbourne, pada kelas pertama yang saya ikut, saya kaget akan satu hal, yaitu setiap kali si dosen beri kesempatan bertanya, banyak sekali orang-orang bule yang bertanya, dan pertanyaannya bodoh-bodoh, pertanyaan klarifikasi semua; “Pak, bagian yang tadi saya ada missed, tolong Bapak jelaskan lagi”. Mereka tidak takut kelihatan bodoh; sedangkan kita kalau mau tanya, kita rasa musti keluarin pertanyaan yang hebat, yang keren, yang tidak terpikirkan semua orang, yang tidak tersentuh si dosen dalam pembahasannya, yang jadi materi pengayaan, dsb. Orang bule tidak seperti itu, mereka tanya klarifikasi, “Tolong, Pak, ulang sekali lagi, tadi saya ‘gak nangkep”, dan dosennya pun menjelaskan lagi dengan sabar. Itulah yang bikin mereka pintar, karena mereka oke ketahuan bodoh dan tidak mau bodoh beneran, sementara orang Indonesia lebih pilih bodoh beneran daripada ketahuan bodoh. Inilah orang Indonesia. Kita sudah sangat terbiasa untuk tidak jujur dengan perasaan kita, dan kita juga sangat ketakutan mengakuinya di depan orang lain. Pengalaman mengkonseling orang Indonesia, 90% waktunya untuk membuat mereka sadar bahwa problem mereka yang terutama bukanlah apa yang mereka lihat, melainkan bahwa mereka sedang menyangkali problem yang sesungguhnya –dan itulah problem sesungguhnya. Kalau yang ini sudah berhasil beres, biasanya sisa konselingnya sudah sangat gampang; karena apa? Karena kebohongan paling berbahaya yang Saudara lakukan adalah kebohongan yang Saudara lakukan terhadap dirimu sendiri. Jadi, menghujat Roh Kudus adalah menolak untuk bertobat, menolak untuk insyaf akan dosa kita, menolak untuk mengaku akan keberdosaan kita; dan tanpa itu, tidak akan ada dosa yang bisa diampuni. Masuk akal. Ini satu hal yang jelas. Itu sebabnya Pendeta Stephen Tong mengatakan, dosa menghujat Roh Kudus adalah tidak menerima Yesus sampai mati, karena itu artinya menolak untuk mengaku dosa sampai akhir hidup; dan tidak heran, dosa seperti itu tidak ada harapannya.
“Oke, bagus juga ya. Jadi seperti yang Bapak ngomong tadi, memang benar kalau dosanya seperti ini, kita yang khawatir banget mungkin pernah melakukan dosa ini dan kita bertanya-tanya, sepertinya kemungkinannya kecil ya, bahwa kita melakukan dosa ini atau berada di dalamnya.” Ya, benar, memang ada sisi itu; tapi di sisi lain, saya ingin membuat ini jadi satu warning juga buat kita; yaitu apa? Yaitu: Saudara jangan pikir bahwa karena Saudara orang Kristen, Saudara datang ke gereja, maka otomatis Saudara adalah orang-orang yang sudah mengaku dosa. Kenapa saya mengatakan seperti ini? Karena Saudara lihat, kepada siapa Tuhan Yesus mengatakan/memperingatkan kalimat ini? Dalam Matius 12 tadi, Dia memperingatkan orang-orang Farisi; dalam paralelnya di Markus pasal 3, Dia memperingatkan para pemuka agama, para ahli Taurat. Yang menarik, dalam paralel lainnya lagi, yaitu Lukas 12, Dia sedang berbicara kepada murid-murid-Nya sendiri. Jadi, sebenarnya yang Yesus rasa butuh diperingatkan akan hal ini adalah orang-orang beragama, orang-orang yang pada dasarnya insider, yaitu para orang Farisi, para ahli Taurat, bahkan para murid-Nya sendiri.
Kalau Saudara melihat Perjanjian Baru, ini pola yang muncul terus-menerus. Misalnya di Ibrani 6:4,6 dikatakan: “Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya, yang pernah mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, … namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian, hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghina-Nya di muka umum”. Siapa yang perlu peringatan seperti ini? Orang-orang yang di dalam, bukan yang di luar. Atau di Matius 7:22-23 dikatakan: Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu (bernubuat demi nama-Mu, pada waktu itu bukan cuma urusan memprediksi masa depan, tapi mengajar, artinya doktrinnya beres), dan mengusir setan demi nama-Mu (berarti aktif pelayanan), dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” –yang diperingatkan seperti ini adalah orang-orang dalam.
Saudara, tentunya semua manusia bisa menolak dan menentang pekerjaan Roh Kudus, tapi Alkitab menunjukkan hampir selalu orang-orang beragama, orang-orang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus, yang lebih bahaya dalam hal ini. Saudara lihat berkali-kali dalam Perjanjian Baru ketika ada kontras antara dua jenis orang, kontrasnya tidak pernah antara orang percaya dengan orang ateis, tapi hampir selalu antara orang yang beragama dengan orang yang begajulan. Simon, orang Farisi, dikontraskan dengan perempuan bekas pezinah. Kisah “Anak yang Hilang”, si kakak yang taat pada bapanya, dikontraskan dengan adiknya yang pergi berfoya-foya. Dan, ketika Allah memanggil keduanya, dalam hampir setiap kasus yang berespons lebih cepat –dan sering kali satu-satunya yang berespons– tidak pernah orang yang beragama, yang baik-baik, yang bermoral, yang ikut pelayanan, yang percaya Alkitab, tapi hampir selalu orang-orang yang rusak, sampah masyarakat, yang hidupnya kacau. Kenapa kayak begini? Sederhana saja, karena sebagaimana dalam bahasa Inggris dikatakan “you cannot teach an old dog new tricks.” Kalau Saudara mau belajar, itu berarti ada proses membuang pelajaran yang lama juga; waktu Saudara mau belajar habit-habit yang baru, biasanya Saudara harus membuang habit-habit yang lama. Dalam setiap learning, ada unlearning. Misalnya dalam dunia musik, kita kadang mendengar cerita tentang orang yang belajar musik pada seorang guru sudah cukup lama, cukup advanced, lalu pindah ke guru lain yang lebih maju; dan begitu guru tersebut melihat dia pertama kali main, guru itu bilang, “Mulai hari ini sampai setengah tahun ke depan kamu main tangga nada saja, karena kamu sudah pakai teknik yang salah bertahun-tahun, ini perlu dibuang, jadi sekarang belajar main tangga nada dengan biasakan pakai habit yang baru’ –dalam setiap learning, ada unlearning. Saudara bayangkan, kalau Saudara sudah sebegitu advanced-nya, maukah Saudara menerima proses unlearning ini? Inilah sebabnya anak-anak lebih gampang diajar dibandingkan orang tua, karena orang-orang tua sudah merasa tahu. Saudara, siapa tipe orang di gereja yang paling sulit diajak kerja sama? Ini bukan Saudara temukan pada orang-orang yang baru, tapi pada para pengurus, diaken, penatua, pendeta, vikaris. Kenapa? Karena mereka merrasa sudah tahu sistem gereja yang benar harus kayak begini harus kayak begitu, tapi setelah diajak bicara ternyata tidak ada argumen alkitabiahnya, mungkin cuma bawaan dari gereja sebelumnya atau cara berpikir yang sebelumnya, dan ketika diberikan sistem yang baru dan argumen Alkitabnya, lalu menolak, menentang. Kecenderungan untuk merasa tahu seperti ini, adalah problemnya orang-orang yang sudah lama di gereja, bukan mereka yang baru jadi Kristen. Tidak heran dalam hal ini yang lebih berpotensi untuk menolak karya Roh Kudus, menolak mengaku dosa, menolak berbalik arah, adalah mereka yang justru beragama, yang katanya sudah menjadi pengikut Kristus –Saudara dan saya.
Dick Lucas, seorang pengkhotbah Inggris yang sangat terkenal, mengatakan bahwa dalam cerita Anak yang Hilang, di ujungnya kita tahu si kakak hatinya terhadap bapaknya lebih jauh dibandingkan adiknya; mengapa? Yaitu karena badannya tidak pernah pergi jauh dari bapaknya. Dua-duanya terhilang secara rohani; tapi karena yang satu tidak pernah terhilang secara jasmani juga, maka sulit untuk dia menyadari keterhilangan secara rohaninya itu. Itu sebabnya dosa penghujatan Roh Kudus adalah urusan orang-orang religius, orang-orang yang datang ke dalam Kekristenan, orang-orang yang dibaptis, orang-orang yang naik ke dalam kepemimpinan, orang-orang yang mempelajari Alkitab, orang-orang yang aktif dalam gereja, orang-orang yang merasa dirinya mengerti Injil tapi sebenarnya tidak mengerti Injil.
“Waduh, bagaimana ini?? Sudahlah, memang benar makin beragama makin munafik, jadi lebih baik datang ke gereja sedikit-sedikit sajalah, lebih baik jadi orang di luar Gereja.” Ya, tentu tidak demikian, Saudara. Kenapa tidak? Karena di dalam Gereja, Saudara memang bukan diajak jadi orang-orang beragama; Saudara diajak untuk menjadi orang-orang yang mengenal Injil, mengenal Kabar Baik. Itu sebabnya di dalam Gereja kita tidak berhenti pada prinsip, tetapi selalu mengarah kepada Sang Pribadi di balik itu semua.
Lalu apa kabar baiknya? Apa Injilnya? Coba Saudara menahan diri sebentar dari bertanya tentang yang bagian ini katakan sebagai dosa yang tidak bisa diampuni, dan coba Saudara justru bertanya apa yang bagian ini beritahu kepada kita mengenai pengampunan. Ini penting. Kalau Saudara lihat kembali ayat 32 tadi, kita selalu lompat ke bagian yang kita curious, bagian yang mengatakan kalau seseorang menghujat Roh Kudus ia tidak dapat diampuni, akhirnya kita lupa kalimat klusa yang datang sebelumnya; yaitu apa? Ayat 32a: “Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia –bukan Roh Kudus, tapi Anak Manusia– ia akan diampuni.” Kalau seorang menentang Anak Manusia, ia akan diampuni; orang menentang Roh Kudus, tidak akan diampuni. Yang bagian depan ini jangan dilupakan, klausa ini penting sekali, betapa amazing-nya kalimat ini. Istilah ‘Anak Manusia’ ini jangan Saudara pikir istilah rendahan; ini bukan seperti kalau ‘Anak Allah’ itu tinggi, lalu ‘Anak Manusia’ itu rendah. Istlah ‘Anak Manusia’ (Son of Man) adalah istilah yang tinggi, istilah rajawi, istilah kerajaan. Ini istilah yang diambil dari Daniel 7, dan penggambaran figur Anak Manusia di situ adalah seorang figur yang datang dengan awan-awan dari langit, lalu orang-orang dari segala bangsa, bahasa, dan suku bangsa mengabdi kepada-Nya, kekuasaan-Nya kekal, tidak akan lenyap, kerajaan-Nya tidak akan musnah. Itulah figur Anak Manusia, figur yang tidak main-main, figur Raja. Dan kita tahu, raja-raja pada zaman itu yang paling dijaga adalah dignitasnya, harkat martabatnya. Saudara ingat kasus Ester, tidak boleh datang kalau tidak dipanggil, dan hukumannya hukuman mati, kecuali diulurkan tongkat yang berarti diampuni. Kepada raja pada zaman itu, Saudara tidak boleh perlihatkan punggung, setidaknya tidak langsung; kalau Saudara selesai bicara dengan raja, Saudara harus jalan mundur, setelah sekian langkah baru Saudara boleh balik badan pelan-pelan, membungkuk, dan kabur cepat-cepat. Berbicara kepada sang raja, Saudara tidak boleh menatap mata; kalimat-kalimatnya harus dipenuhi segala macam pujian, “Hidup selama-lamanya ya, Raja” baru kemudian bicara urusan sebenarnya, tidak boleh langsung to the point. Yesus, dalam kalimat itu pada dasarnya mengatakan, “Saya ini Raja; kalau kamu bicara sesuatu yang menentang Saya, yang kuasanya bukan atas satu dua kelompok manusia tapi seluruh suku bangsa dan bahasa, kalau kamu bicara sesuatu yang menentang Saya, Saya akan mengampunimu”. Lho? Aneh ya. Saudara baru sadar sekarang bobot dari pengampunan Tuhan yang adalah Raja, tapi bukan seperti raja-raja manusia.
Saudara, ini bukan cuma omong doang, karena dari hidup-Nya kita bisa melihatnya. Di satu sisi, Dia mengatakan Dialah yang akan menghakimi langit dan bumi, Dia ada sebelum Abraham ada; tapi kita juga melihat Dia mendekati anak-anak, Dia menyentuh orang-orang kusta, Dia makan bersama orang-orang yang terbuang dari masyarakat. Dan tentunya di atas kayu salib, di hadapan banyak orang yang benar-benar mengucapkan hal-hal yang menentang Dia, bahkan menghina Dia, dan tidak usah lagi kita sebut paku yang menancapkan tangan dan kaki-Nya, di tengah-tengah semua itu respons-Nya adalah, “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Apa yang bisa kita tarik dari bagian ini, Saudara? Sering kali kita terlalu cemas dengan bagian kedua ayat tadi, soal dosa yang tidak bisa diampuni dan segala macamlah, maka kita lompat, kita lewatkan bagian pertama yang sangat penting, bahkan lebih penting ini; bagian pertama yang mengatakan, dalam diri Yesus ada keluasan hati luar biasa, ada keinginan yang begitu limpah untuk mengampuni. Tidak ada yang tidak akan Dia ampuni, termasuk mengnjak-injak Dia, memaku Dia, menombak Dia, mengkhianati Dia, bahkan membunuh Dia. Masih kurang apa?? Semua itu akan Dia ampuni. Amazing! Bagian pertama ini penting, karena ini membuat Saudara jadi bisa menerima kalimat yang kedua tadi dengan mata yang lain, bahwa ketika ada dosa yang tidak bisa diampuni, itu bukan karena Allah tidak mau mengampuni, itu bukan urusan Allah benci banget dengan dosa tersebut sehingga untuk dosa tersebut Dia tidak mau memberi pengampunan. Ini bukan urusan Allah-nya; Allah-nya sangat ingin mengampuni, dan punya keluasan hati tidak terbatas untuk mengampuni, tapi masalahnya adalah kamu, bahwa kamu bisa menaruh diri di luar kuasa pengampunan itu!
“Lho, tunggu dulu, Pak; kita bisa menaruh diri kita di luar kuasa pengampunan?? Bukankah Allah kuasanya tidak terbatas, mahakuasa, bisa melakukan apa saja dong; jadi ini kayaknya aneh, kontradiktif.” Tidak, Saudara jangan berpikir ‘mahakuasa’ dalam hal seperti itu, Saudara harus kembali ke bagaimana Alkitab mendefinisikan kemaha-kuasaan Allah. Alkitab sesungguhnya mengatakan ada hal-hal yang Allah tidak bisa lakukan, misalnya Allah tidak mungkin berdusta (Ibr. 6:18), Allah tidak mungkin ingkar janji, Allah tidak mungkin menyangkal diri-Nya (2 Tim. 2:13). Jadi Saudara lihat, Allah memberikan di dalam alam semesta ini suatu struktur dasar ciptaan, yaitu adanya struktur keadilan, struktur kebenaran, yang tidak bisa dihapus begitu saja. Itu adalah kehendak Allah; Allah tidak akan melanggar hal tersebut. Analoginya seperti ini: katakanlah Saudara digebukin orang, dianiaya, lalu masuk rumah sakit. Di rumah sakit, Saudara didatangi polisi, dia bertanya, “Boleh tahu siapa yang gebukin? Kami mau cari orangnya dan membawa dia ke pengadilan. “Lalu Saudara mengatakan, O, tidak apa-apa Pak Polisi; saya orang Krsiten, saya disuruh mengampuni, jadi saya mengampuni dia. Orangnya tidak usah dicari, Pak, tidak usah diusut.” Apa yang akan polisi itu katakan? Kalau polisi yang beres, dia akan mengatakan, “Ya, bagus Bapak tidak dendam, itu satu hal, tapi mereka tetap harus dicari dan diusut sampai tuntas secara hukum, karena ini bukan masalah perasaanmu pribadi tok, ini masalah ketertiban masyarakat, ini masalah struktur masyarakat. Kita tidak bisa punya masyarakat kalau kita membiarkan orang seperti ini tidak mendapat hukuman.” Dalam arti tertentu, Saudara bisa memikirkan Allah seperti itu; Allah tidak ada masalah dengan dosa apapun, “Saya siap mengampuni semuanya, menginjak-injak-Ku pun akan Aku ampuni, tapi ada struktur kebenaran/keadilan yang tidak bisa dihapus begitu saja”. Kenapa Allah harus ikut aturan? Karena ini aturan yang Dia ciptakan sendiri; ini tidak menyalahi kemahakuasaan Allah.
Dengan kata lain, pengampunan itu bukan cuma amazing karena yang mengampuni adalah Seorang Raja, tapi bahkan juga bahwa pengampunan bukanlah satu hal yang semudah membalik telapak tangan bagi Raja tersebut! Inilah bobot dari pengampunan. Saudara jangan kaget mendengar ini seakan-akan ini teologi yang menyeleweng atau apa. Tidak, Saudara. Seorang doktor teologi yang sangat konservatif, Dr. David Martyn Lloyd-Jones, mengatakan: “I say it with reverence; but forgiveness is a problem, even for God!” (saya katakan ini tetap dengan rasa takut dan hormat, tapi pengampunan adalah sesuatu yang problematik, bahkan bagi Allah). Kenapa dia berani sekali mengatakan ini? Karena ada dasar Alkitabnya. Lloyd-Jones mengatakan, di Kejadian 1 Allah mengatakan, “Jadilah terang”, dan dalam kalimat berikutnya terang langsung jadi. Tapi di Kejadian 3, Allah mengatakan ‘jadilah pengampunan, jadilah keselamatan’, lalu harrus tunggu berabad-abad sampai keselamatan benar-benar terjadi! Bahkan Allah pun tidak bisa mengampuni begitu saja, Dia harus mengirim Anak-Nya yang tunggal mati di kayu salib bagi kita! Pengampunan, itu masalah besar!
Ngaruhnya apa buat kita? Sangat besar, saya harap. Bertahun-tahun kita jadi orang Kristen, mungkin kita orang Kristen yang sudah dengar Injil tapi Injil tidak pernah mengubah hidup kita. Kenapa ada orang-orang yang bisa mendengar kisah pengampunan Yesus lalu merespons dengan reaksi yang begitu berbeda? Kenapa ada orang-orang yang mendengar Yesus datang, menderita, mati, dan bangkit, lalu responsnya hanyalah, “ya, sudah, saya sudah tahu; selama ini saya percaya koq semua itu, amin, haleluya, puji Tuhan”, tapi hidup mereka tetap begitu-begitu saja? Mereka masih tetap cemas, tetap insecure, tetap didorong oleh hal ini dan itu, tidak ada perubahan. Lalu ada juga orang-orang yang mendengar kisah Yesus, dan seperti ada gempa bumi dalam hidup mereka, seperti ada sesuatu yang menjungkir balik, dan kita bisa melihatnya dari hidup mereka. Kenapa bisa berbeda? Apa yang membedakan? Mungkin salah satunya ini: orang-orang yang mengenal kisah Yesus dan hidup mereka tidak berubah, mungkin adalah karena mereka pikir pengampunan itu tidak sulit, pengampunan itu sudah sepatutnya. Sekali lagi, inilah lucunya budaya Indonesia, kalau kita minta maaf maka harus dimaafkan. Saudara ingat pada zaman Ahok, beliau minta maaf, lalu Maaruf Amin merespons dengan mengatakan, “Kalau orang sudah minta maaf, ya harus dimaafkan.” Itulah orang Indonesia. Pengampunan itu biasa.
Saya pernah dulu di pesawat sedang memasukkan bagasi di kabin, lalu tas saya yang agak lebih kecil terjatuh menimpa kepala seorang ibu bule. Saya langsung bilang,, “Oh, Maam, I’m very sorry, I’m very sorry”, sambil buru-buru ambil tas tersebut. Tapi ibu bule itu melihat saya dengan jutek, tidak mau bicara kepada saya, boro-boro memaafkan. Dan, saya ingat ketika itu dalam hati saya mengatakan, ‘ya sudah, gua juga sudah minta maaf, gua juga ‘gak sengaja, lu mau apa lagi??’ Itulah budaya kita, minta maaf ya harus dimaafkan; budaya Indonesia pada dasarnya anti konflik. Tetapi Miroslave Volve mengatakan mengenai pengampunan, bahwa sebenarnya forgiveness selalu bersifat kejutan. Kalau Saudara pernah benar-benar bergumul untuk mengampuni orang, atau memohon pengampunan dari orang, Saudara akan tahu ada sesuatu yang tidak natural dalam pengampunan. Semua orang tahu, yang logis adalah lebih baik mengampuni, dunia akan jadi tempat yang lebih baik kalau kita saling mengampuni. Tetapi, tetap saja ketika pengampunan tersebut terjadi, Volf mengatakan, itu mujizat; ada sesuatu yang aneh, yang asing, yang ajaib, dalam pengampunan; yaitu ada unsur apa? Ada unsur “koq bisa, sih??”
Pengampunan bukanlah sesuatu yang seharusnya; kejahatan tidak bisa begitu saja dihapuskan. Dan, ketika pengampunan itu terjadi, sebenarnya selalu ada nuansa keajaiban. Jika Saudara merasa pengampunan adalah sesuatu yang mudah, maka itulah sebabnya kisah Yesus tidak mengubah hidupmu. Hari ini kita bersyukur kita dapat pengertian, kita diingatkan dan disegarkan kembali mengenai apa artinya dosa menghujat Roh Kudus. Ini bukan urusan Allah begitu marah dengan satu jenis dosa tertentu, ini adalah urusan bagaimana kita merespons Dia. Tapi saya tidak mau kita berhenti di sini, saya mau mengajak kita untuk melihat ada yang lebih utama dari hal itu, untuk kita menyadari bukan cuma pentingnya pengakuan dosa dalam hidup kita, tapi juga menyadari bobot dari pengampunan yang Tuhan berikan. Dan harapannya adalah bahwa lewat semua ini, setiap kali kita menyaksikan kembali pengampunan yang Tuhan berikan, kita juga bergumam, “Koq, bisa sih?? Koq, bisa?”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading