Bagian awal dari ayat 15, “sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa”, sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari ayat 14, bahwa Yesus mengenal domba-domba-Nya dan domba-domba-Nya mengenal Dia. Ini adalah gambaran satu persekutuan yang tidak bisa lebih intim lagi, antara gembala-dan-domba dengan Bapa-dan-Anak. Tetapi pengenalan antara Bapa-terhadap-Anak dan Anak-terhadap-Bapa itu, langsung disambung dengan “dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku” (ayat 15b). Ini prinsip yang penting; di dalam pengenalan yang intim antara Bapa-dan-Anak dan Anak-dan-Bapa, itu bukan satu pengenalan yang eksklusif tapi pengenalan yang bersifat terbuka. Bukan berarti waktu Bapa mengenal Anak dan Anak mengenal Bapa, itu suatu persekutuan yang tidak bisa ditembus oleh siapapun; itu bukan natur Trinitas dalam Alkitab.
Dan bukan kebetulan kalau sambungannya adalah “dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku”. Perhatikan di sini, Yesus mengatakan bahwa Dia memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba, bukan menyerahkan nyawa-Nya bagi Bapa –meski bisa dikatakan seperti itu karena bagaimanapun juga itu persembahan di hadapan Bapa. Seandainya sambungan ayat tersebut “dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi Bapa”, maka jadi balik eksklusif lagi –Bapa mengenal Aku, Aku mengenal Bapa, Aku menyerahkan nyawa-Ku kepada Bapa– tidak ada orang lain, cuma Bapa dan Anak. Tetapi yang kita baca di bagian ini, kedekatan Bapa-dan-Anak dan kedekatan Anak-dan-Bapa segera disambung dengan the sacrificial act of The Son, yaitu menyerahkan nyawa-Nya bagi yang lain –dalam hal ini bagi domba-domba-Nya, Saudara dan saya. Kalau kita betul-betul mempunyai satu hubungan yang intim, suatu persekutuan yang sungguh-sungguh diberkati Tuhan, kita juga akan mengorbankan diri bagi yang lain. Kalau Saudara punya persekutuan yang intim dengan Allah, Saudara akan berkorban bagi yang lain juga. Kalau kita punya persekutuan yang intim dengan seseorang –katakanlah dengan saudara seiman—itu bukan ditandai dengan ekslusifitas, melainkan ditandai dengan Saudara mencari domba-domba yang lain. Inilah natur Trinitas.
Maka di ayat 16 Yesus segera melanjutkan dengan kalimat yang sangat nyambung: “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Saya percaya, salah satu kegagalan di dalam Kekristenan –dan mungkin juga dalam gereja ini—yaitu: bahaya eksklusifisme; kita menikmati persekutuan, merasa sudah nyaman, senang dengan orang-orangnya, kemudian kita tidak sadar bahwa di luar masih ada domba-domba yang lain. Tadi kita menyinggung soal natur dari Trinitas. Seandainya Trinitas tidak menciptakan Saudara dan saya, sebenarnya tidak masalah; Tiga Pribadi itu sudah bahagia dari kekal sampai kekal, sempurna di dalam kasih. Tetapi ketika Pribadi-pribadi Tritunggal itu menciptakan manusia, Saudara dan saya dimasukkan dalam Trinitas itu, bukan untuk jadi pribadi ke 4, 5, 6, dst., melainkan untuk berbagian di dalam kehidupan Ilahi. Apakah kehidupan Ilahi itu? Yaitu kalau persekutuan yang erat dan intim itu adalah persekutuan yang terbuka, bukan persekutuan yang tertutup, karena yang tertutup bukanlah natur Trinitas.
Dan di dalam konteks Yohanes, tentu saja yang dimaksud adalah domba-domba lain, yaitu gentiles; bahwa bukan cuma orang-orang Yahudi tapi juga bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi. Mereka adalah “domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga”. Ini mengantisipasi gentile mission, penginjilan kepada bangsa-bangsa non Yahudi, termasuk Saudara dan saya. Kita musti ingat, adanya agama Kristen di Indonesia, juga karena ada orang-orang Eropa dan Amerika yang pergi ke sini memberitakan Injil. Kalau kita menjadi dewasa, maka kita juga mempunyai visi Kerajaan Allah seperti mereka, pergi kepada domba-domba yang lain; tidak usah jauh-jauh ke benua lain, mungkin orang yang paling dekat dengan kita –tetangga, partner bisnis, orang yang bekerja pada kita—siapa tahu adalah domba-domba yang lain itu.
Kegagalan Gereja adalah ketika gereja mulai jadi eksklusif, puas dengan keadaannya, kita sudah bagus begini, jangan masuk orang asing lagi, nanti jadi rumit musti menyesuaikan lagi, dsb., dsb. Kita ada semacam KTB, namanya Organic Small Group (OSG), karena kita berharap sel-selnya organik, kalau terjadi pertumbuhan, akan pecah. Waktu pecah, memang menyakitkan karena orang biasanya tidak mau pecah. Itu sebabnya ada grup yang makin lama makin besar, sampai 15-20 orang, jadi bengkak seperti sel kanker karena tidak bisa dipecah, karena sudah nyaman, karena ini orang-orang yang saya sudah percaya dan dia percaya kepada saya, saya senang dengan orang-orang ini. Grup yang sehat, waktu berkembang, harusnya dipecah; waktu pecah, berarti penyesuaian lagi, masuk kepada relasi yang baru, dan tidak harus takut untuk diganggu karena sekarang ada orang yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba masuk, karena memang bukan grup yang eksklusif. Sebaliknya kalau kita berpikir secara eksklusif, inilah yang jadi persoalan dalam gereja.
Paulus pernah mengatakan kepada jemaat Korintus: “di antara kamu tidak banyak orang terpandang, tidak banyak orang terhormat; Allah memilih apa yang lemah bagi dunia untuk mempermalukan mereka yang kuat”; jadi kalau Gereja isinya orang-orang yang kuat, itu Gereja yang gagal. Kalau Gereja isinya orang-orang tertentu, elit –dalam pengertian apapun, misalnya elit dalam cara berpikir, elit dalam status sosial—itu Gereja yang gagal. Gereja yang tidak bisa merangkul domba-domba yang lain, berkumpulnya hanya dengan orang-orang tertentu saja, lalu kita heran mengapa gereja tersebut tidak berkembang, tidak bertumbuh? Itu karena memang tidak ada hati Kerajaan Allah; yang ada hanyalah menikmati persekutuan antara sesama yang sudah merasa dekat, dsb., akhirnya tidak cocok dengan natur Trinitas, tidak cocok dengan Tritunggal yang kita percaya. Persekutuan di dalam Tritunggal –Bapa, Anak, Roh Kudus– adalah yang paling intim, tidak bisa lebih intim lagi; dan di dalam persekutuan yang paling intim seperti itu, Sang Anak memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba, Saudara dan saya.
Kekristenan itu apa? Kekristenan itu seperti waktu kita Perjamuan Kudus, ada berbagai macam orang –orang kaya, orang miskin, laki-laki, perempuan, tua, muda, dst.—dan segala macam orang itu dipersatukan di dalam Kristus, itulah Kekristenan. Kekristenan merayakan perbedaan; perbedaan yang kemudian direlativisasi di dalam Kristus. Kalau hal ini tidak terjadi di dalam Gereja, maka Gereja gagal dalam kesaksiannya. Kalau Perjamuan Kudus kita hanya tetap tinggal ritual yang tidak jelas penghayatannya –yang penting sudah makan roti dan minum anggur– itu berarti ritual kosong yang tidak ada manfaatnya. Paulus serius waktu mengatakan tentang Perjamuan Kudus, “Barangsiapa tidak mengakui tubuh Tuhan, jangan ikut Perjamuan Kudus, karena akan mendatangkan hukuman bagi dirinya”. Tidak mengakui tubuh Tuhan, artinya luas, bukan “cuma” soal saya percaya Yesus mati di atas kayu salib, dosa-dosa saya dilempar kepada Kristus, kebenaran Kristus dilempar kepada saya, tapi juga dalam pengertian sebagaimana dikatakan dalam Yohanes 10, tentang “ada domba-domba lain”. Seandainya orang Israel bersikeras bahwa domba-domba hanyalah orang Yahudi, itu artinya tidak mengakui tubuh Tuhan. Kalau kita berpikir bahwa domba-domba adalah kita, dan bukan yang lain lagi, berarti kita tidak mengakui tubuh Tuhan. Yang mengakui tubuh Tuhan, melihat orang-orang yang masih di luar. Seperti ditekankan dalam visi Reformed Injili, kita ini Gereja yang terus-menerus memberitakan Injil, dalam pengertian mengajak orang lain untuk mengenal Kristus –bukan mengajak orang lain untuk mengisi bangku-bangku kosong– termasuk juga Saudara dan saya tidak boleh berhenti di dalam mengenal Kristus.
Saya belakangan membaca tafsiran klasik dari Matthew Henry; tentang bagian ini dia mengatakan: To take off the contempt that was put upon him, as having few followers, as having but a little flock, and therefore, if a good shepherd, yet a poor shepherd: "But,’’ saith he, "I have more sheep than you see.’’ Saudara jangan berpikir Kristus adalah gembala yang miskin; dalam Yoh. 10:10 Dia yang hidup dalam segala kelimpahan itu menawarkan hidup dalam segala kelimpahan. Kita sudah membahas hidup dalam segala kelimpahan adalah kehidupan yang memberi, berkorban, menyerahkan nyawa. Tetapi di sini, dari sudut yang berbeda, Saudara bisa sekali lagi melihat hidup dalam segala kelimpahan yang ada pada Yesus Kristus, yaitu bahwa Yesus mempunyai domba-domba, lebih daripada yang Saudara dan saya lihat –di dalam hal ini Dia hidup di dalam segala kelimpahan. Lalu di mana domba-domba itu? Inilah yang dimaksud dengan visi Kerajaan Allah; kalau kita memiliki visi Kerajaan Allah, seperti Kristus, kita akan melihat bahwa domba-domba bukan cuma yang di sini, ada domba-domba lain yang di luar, domba-domba itu tersesat. Bagaimana hati Saudara dan saya melihat domba-domba yang tersesat? Yesus membedakan, ada gembala yang betul-betul gembala, ada gembala yang upahan. Gembala upahan tidak peduli domba-dombanya, tersesat atau tidak, bukan urusan saya. Sedangkan gembala yang betul-betul diutus Allah, dia memiliki sense of belonging yang sehat seperti Kristus, bukan dalam pengertian mau menguasai melainkan mau mengorbankan diri bagi domba-domba itu. Yesus mengajak Saudara dan saya untuk melihat domba-domba yang masih di luar. Jadi yang pertama, supaya kita punya visi Kerajaan Allah, bahwa ada domba-domba yang di luar sana.
Selanjutnya Matthew Henry dia mengatakan: Secondly, To take down the pride and vain-glory of the Jews, who thought the Messiah must gather all his sheep from among them. "No,’’ saith Christ, "I have others whom I will set with the lambs of my flock, though you disdain to set them with the dogs of your flock.’’ Jadi yang kedua, supaya kita belajar menurunkan kecongkakan dan puji-pujian yang sia-sia. Di dalam konteks historis, ini maksudnya yaitu orang-orang Yahudi; di dalam konteks kita sekarang, yaitu Saudara dan saya, yang bisa punya pride, vainglory, di dalam eksklusifisme – eksklusifisme komunitas, eksklusifisme teologis, eksklusifisme golongan orang-orang tertentu. Itu semua dikikis oleh Tuhan dengan Yesus mengatakan “ada lagi pada-Ku domba-domba lain”, maksudnya kamu bukan segala-galanya, di dalam pengertian cuma kamu tok, di luar masih banyak domba-domba yang juga Kristus mati untuk mereka. Inilah gambaran yang keep relativising ourselves and our community, yang diberkati Tuhan. Waktu kita gagal merelativisasi hal ini, merasa komunitas kita sangat signifikan dan semakin signifikan, maka akhirnya cuma menyalakan dosa pride dan vain-glory, dan Tuhan meninggalkan; Tuhan tidak memberkati karena hatinya sempit, tidak ada visi Kerajaan Allah.
Ayat 17, “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali.” Variasi lain dalam bahasa Inggris, dari ESV: “For this reason the Father loves me, because I lay down my life that I may take it up again”. Kalimat ini tidak boleh Saudara baca sebagai conditional love, seakan-akan diri kita harus ada kondisi tertentu dulu baru Allah mengasihi kita; kita tahu Allah mengasihi kita bahkan sebelum kita sanggup mengasihi Dia. Maksudnya begini: kehidupan orang yang berkorban, seperti Yesus, Sang Anak, tidak mungkin tidak dikasihi oleh Bapa, karena ini adalah natur Ilahi, natur Allah sendiri. Maka di bagian ini kita membaca Yesus menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya, lalu dikatakan “for this reason” –karena alasan itu– Bapa mengasihi Anak.
Bapa mengasihi Anak karena Anak menyerahkan nyawa-Nya. Demikian juga Gereja –Saudara dan saya– adalah Gereja yang dikasihi Allah kalau Gereja kita ini Gereja yang berkorban. Kita adalah komunitas yang dikasihi Tuhan kalau komunitas ini komunitas yang berkorban. Kalau ini bukan komunitas yang berkorban, ya, sulit; bukan mempertanyakan unconditional love –Allah tetap kasih-Nya unconditional—tapi karena yang dibicarakan di sini bukan dalam konteks unconditional love melainkan dalam pengertian bahwa Allah mencintai orang-orang yang hidupnya penuh dengan pengorbanan, seperti yang ada pada Sang Anak, baik secara individu maupun secara komunitas, keluarga, atau negara.
Berbicara mengenai negara Jerman yang menerima banyak sekali pengungsi, itu pro dan kontra, karena memang kompleks, tidak bisa dijawab dengan benar atau salah. Tapi, kendati ini dikatakan tindakan naif, bodoh, tidak mikir, atau mungkin karena rasa bersalah urusan tahun 1933, 1945, NSDAP, dsb., saya percaya prinsip sederhana: bangsa yang berkorban, diberkati Tuhan; bangsa yang egois cuma memikirkan kepentingannya sendiri, tidak diberkati Tuhan. Ini prinsip Alkitab. Memang orang bisa berkorban karena salah, misalnya karena guilty feeling, atau bisa juga berkorbannya out of balance, tidak proporsional, tapi secara prinsip saya percaya, komunitas –Gereja, bangsa, keluarga—maupun pribadi yang berkorban, dicintai oleh Bapa. Inilah jalan salib. Yang percaya kepada Kristus, yang mengenal Kristus, akan menjalani jalan ini; yang tidak percaya kepada Kristus, tidak tertarik sama sekali, mereka tidak mau dipecah-pecahkan, terus mau utuh, utuh di dalam talentanya, utuh di dalam perasaannya, utuh di dalam uangnya, dan semua lainnya. Waktu Yesus mengenyangkan ribuan orang, roti itu dipecah-pecah –kalau tidak dipecah-pecah, bagaimana mungkin bisa dibagikan—seperti Yesus sendiri memecah-mecahkan tubuh-Nya di atas kayu salib, lalu hal itu memberkati banyak orang.
Ayat 18, “Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali.” Perhatikan di sini, Yesus mempunyai exousia, otoritas, kuasa, yaitu kuasa untuk menyerahkan diri-Nya. Maksudnya, ini bukan sesuatu yang terjadi karena Dia kalah, terdesak, dikalahkan oleh pemerintah Romawi atau dibuang oleh orang Israel; orang Israel-lah yang dibuang oleh Tuhan sebetulnya.
Kalau cuma melihat dari fenomena, kita bisa melihatnya Yesus kalah, teriak-teriak “Kerajaan Allah, Kerajaan Allah” tapi lalu sendirinya terseret naik ke atas kayu salib. Demikian juga orang-orang Kristen yang dianiaya, mereka seperti orang-orang yang kalah, dan yang menang adalah orang-orang yang menganiaya itu; lalu kita jadi bilang ‘katanya Kerajaan Allah, tapi koq kalah??’ –itu karena kita melihatnya dari fenomena. Waktu Yesus naik ke atas kayu salib, di situ Iblis sedang dikalahkan, bukan Yesus yang sedang dikalahkan oleh pemerintah Romawi. Secara pandangan manusia, Dia diarak berjalan dari kota ke luar; maksudnya bahwa dari perspektif Romawi mengatakan: “inilah orang yang berpotensi menimbulkan huru-hara, dan sudah menimbulkan huru-hara, musti diusir keluar dari Yerusalem.” Tetapi Yesus tidak berpikir “Saya diusir Romawi”; Dia memikul salib sebagai ketaatan kepada Bapa, bukan kepada pemerintah Romawi. Saudara dan saya juga musti memiliki gambaran kehidupan yang seperti ini, bukan di-victimize oleh dunia. Ada perbedaan antara seseorang jadi korban karena dia dijahati, dengan gambaran kehidupan yang berkorban. Yesus di atas kayu salib kelihatannya seperti dijahati, tetapi sesungguhnya Dia ada kedaulatan yang sangat mulia (glorious and gracious sovereignty), “tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku”. Secara manusia, bisa saja orang melihat Yesus diusir, Yesus ditendang keluar dari Yerusalem, Yesus dibunuh, dsb., tetapi dari perspektif Ilahi, sebetulnya Yesus sedang mengikuti pimpinan Bapa-Nya, menggenapkan kehendak Bapa-Nya.
Sebagai Gereja, kita musti mempunyai dignitas seperti Kristus. Waktu Gereja menderita, itu bukan karena akibat dosa-dosa Gereja –tidak seharusnya begitu—melainkan karena Gereja menyerahkan dirinya sebagai sacrifice, bukan karena tidak bisa melawan lalu diinjak-injak, dsb. Statement yang dibuat oleh Wang Yi atas aniaya orang-orang di China, sangat dignified; bukan statement orang yang ketakutan, juga bukan statement orang yang karena ditangkap jadi menjilat-jilat, melainkan tetap ada kuasa menegur pemerintah, tetapi waktu menegur, bukan karena kebencian, sebaliknya karena mau menyadarkan pemerintah supaya kembali kepada kebenaran. Orang-orang yang dianiaya adalah orang-orang yang mengikut Kristus; mereka dianiaya bukan karena powerless, tidak bisa melawan, tidak ada pilihan, melainkan seperti Kristus, mereka dengan aktif mengorbankan dirinya, memberikan nyawanya.
Pilihan untuk tidak berkorban, selalu ada. Untuk Yesus pun ada pilihan itu; Dia tidak usah ribut-ribut dengan orang-orang Farisi, baik-baik saja menjaga hubungan, maka pasti beres, tidak ada persoalan. Apalagi kalau ikut-ikut memaki-maki pelacur dan pemungut cukai, bakal lebih beres lagi, bahkan kemudian masuk dalam grup eksklusif pemimpin-pemimpin agama. Tetapi Yesus datang bukan untuk itu. Yesus datang untuk memberitakan kebenaran; dan ternyata orang-orang Farisi juga perlu dikoreksi oleh kebenaran. Karena itulah, Yesus akhirnya mati di atas kayu salib. Dia menimbulkan kebencian di dalam diri orang-orang yang tidak mau bertobat. Sebaliknya Yesus tidak menimbulkan kebencian di dalam diri pemungut cukai dan pelacur itu, bahkan justru memberkati mereka. Sedangkan orang-orang seperti pemimpin-pemimpin agama yang dipenuhi vainglory and pride, akhirnya satu per satu dipenuhi dengan kebencian dan amarah kepada Yesus. Di sini, kalau melihat secara fenomena manusia, seperti Yesus yang dijahati, yang dikalahkan mereka, tetapi di bagian ini Yesus berkata “Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali.” Dalam hal ini, memang pertama kita harus mengertinya secara eksklusif karena Saudara dan saya tidak punya kuasa untuk menyerahkan nyawa dan mengambilnya kembali –itu cuma Yesus yang punya. Tetapi waktu kita menyerahkan kehidupan kita bagi Tuhan, kita akan menerimanya kembali –ini juga prinsip Alkitab– bahwa Bapa yang akan memelihara.
Dalam perdebatan antara ‘keselamatan bisa hilang’ dan ‘keselamatan tidak bisa hilang’, ada jawaban yang menarik dari Teologi Reformed. Profesor Herman Selderhuis pernah menjelaskan: kita musti menjaga sampai pada akhirnya supaya kita tidak kehilangan keselamatan (memang ada ayat Alkitab yang mengatakan untuk kita tetap setia sampai mati –resposibilitas kita), tetapi orang-orang Reformed mengatakan bahwa keselamatan itu kekal. Pertama, karena keselamatan diberikan oleh Tuhan, yang memberi adalah Tuhan, dan yang memelihara juga Tuhan; dan yang dipelihara Tuhan pasti lebih aman daripada dipelihara Saudara dan saya. Sesuatu yang dipelihara Tuhan pasti lebih aman daripada kalau kita sendiri yang memeliharanya. Kalau kita yang memelihara, jangan-jangan bisa hilang. Kalau Tuhan yang memelihara, Dia akan memelihara baik-baik, tidak mungkin hilang, tidak ada yang bisa merampas dari tangan-Nya, karena Dia itu Tuhan. Maka keselamatan kita pun dipelihara oleh Tuhan, ada di dalam tangan Tuhan, bukan di tangan Saudara dan saya seakan kita musti genggam erat-erat lalu kalau lepas jadi hilang, dsb. –yang seperti itu, terlalu memberikan penekanan pada manusia dan akhirnya melupakan pemeliharaan Tuhan.
Kembali ke ayat ini; Yesus berkuasa, memiliki otoritas, memiliki exousia untuk memberikan nyawa-Nya dan mengambilnya kembali. Kalau Saudara membaca dalam kaitan dengan Mazmur, ini tema “vindication of the righteous”, Tuhan akan membela orang-orang yang benar pada waktunya. Yesus waktu mati di atas kayu salib, kelihatan seperti Dia bukan orang benar karena Alkitab mengatakan “terkutuklah orang yang mati di atas kayu salib”, sehingga orang berpikir Yesus terkutuk, bukan orang benar. Padahal, Yesus terkutuk bukan karena dosa-Nya sendiri; Yesus dikutuk karena menanggung dosa Saudara dan saya, menanggung dosa manusia. Tetapi itu tidak bisa berhenti hanya pada kematian, karena nanti orang salah mengerti bahwa Yesus memang orang berdosa yang menghujat Allah, jadi harus ada kebangkitan. Kebangkitan menyatakan Yesus bukan orang berdosa, Yesus adalah orang benar; ini di dalam motif “vindication of the righteous”, Tuhan yang pada akhirnya memuliakan orang-orang benar. Kapan? Di dalam waktu Tuhan, kita tidak tahu. Gereja-gereja yang dianiaya, kapan dipermuliakan Tuhan? Tidak tahu; dan saya percaya ada yang menunggu hal itu sampai di dalam kekekalan. Calvin pernah mengatakan, selama kita masih ada di dalam dunia, kita adalah church militant, belum church triumphant. Selama kita masih di dalam dunia, kita ini Gereja yang militan, yang terus berperang melawan Iblis, dan belum menuai kemenangan secara penuh; church triumphant adalah nanti di surga. Kalau saya tambahkan sedikit pakai perspektifnya Luther, yaitu theology of the cross, kita bisa mengatakan: justru di dalam keadaan yang militan itulah, sebetulnya Gereja triumphant, tetapi triumphant di dalam perspektif Kerajaan Allah, perspektif Ilahi, bukan perspektif dunia ini. Kalau dalam perspektif dunia, kelihatan seperti kalah, tidak berhasil, gagal total seperti Yesus yang di atas kayu salib. Tetapi di dalam kemuliaan yang tersembunyi itulah, Gereja –Saudara dan saya—dipanggil untuk masuk di dalam cerita kehidupan yang seperti ini.
Sekali lagi kutipan dari Matthew Henry: By a divine stratagem (like that before Ai, Jos. 8:15 ) he [Kristus] yielded to death, as if he were smitten before it, that he might the more gloriously conquer death, and triumph over the grave. Dia memberi diri diremukkan tumit-Nya, mati di atas kayu salib, supaya Dia boleh menyatakan dengan lebih mulia lagi, bahwa Dia mengalahkan kematian itu. Dengan masuk ke dalam kematian, Dia mau menyatakan bahwa Dia mengalahkan kematian, supaya Dia boleh menyatakan pada akhirnya bahwa Dia menang terhadap kuasa kematian. John Owen secara indah memakai kalimat ini: “The death of death in the death of Christ” –kematian kematian di dalam kematian Kristus, kematian itu mati di dalam kematiannya Kristus.
“Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku." Yesus bukan terpaksa, waktu Dia berkorban; bahkan juga bukan karena dipaksa oleh Bapa-Nya. Gambaran keagamaan yang dipaksa, selalu menghasilkan orang-orang yang tidak normal di dalam Kekristenan, melakukan segala sesuatu bukan sukarela dari dirinya sendiri melainkan karena ada teror. Ada certain powerful being –siapapun itu—yang memaksa dia untuk melakukannya. Hati-hati dengan gambaran seperti ini, baik kita sebagai orangtua maupun juga sebagai anak, bahkan juga sebagai jemaat. Di dalam Alkitab, yang melakukan segala sesuatu secara terpaksa, itu budak, bukan anak. Anak melakukan dari hati, karena mencintai, sedangkan budak melakukannya karena ketakutan, takut dihakimi. Ini tipikal kehidupan agama yang tidak betul-betul ada hubungan dengan Allah, menghayati diri sebagai budak, bukan sebagai anak. Waktu berdoa, waktu beribadah, waktu membaca Firman Tuhan, semuanya digerakkan oleh ketakutannya, perasaan takut dihakimi, dsb. –itu karena bukan anak. Seorang anak, kalau dikoreksi maka dia bersyukur, karena dia melihat ini ekspresi cinta kasih orangtua.
Kalau Saudara dan saya ada hubungan anak-dan-orangtua dengan Bapa, kita tidak akan paranoia waktu mendapatkan koreksi dari Tuhan. Tetap setiap kali Firman Tuhan mengoreksi lalu kita merasa ‘koq, saya dikoreksi’, jangan-jangan kita belum lahir baru, karena yang sudah lahir baru –seorang anak—tidak akan membaca Firman Tuhan dengan pandangan seperti itu. Dia akan mengerti artinya prinsip “barangsiapa Kukasihi, dia Kutegur dan Kuhajar”; justru bersyukur kalau Tuhan masih menegur dan menghajar, karena berarti kita adalah anak. Alkitab mengatakan, kalau pada kita tidak ada teguran, tidak ada koreksi, itu berarti Tuhan sudah angkat tangan, sudah melepaskan kita, tidak mau bicara lagi kepada kita –itu menakutkan.
Maka dalam bagian ini, waktu kita membaca bahwa Yesus melakukan menurut kehendak-Nya sendiri, itu kalimat yang penting. Yesus mempunyai 2 natur, natur Ilahi dan natur manusia; waktu Dia mengatakan “Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri”, ini harus ditafsir menurut kehendak manusia-Nya, menurut natur manusia-Nya, karena kita percaya Divine nature, Divine substance, Divine will cuma ada satu. Hanya ada satu kehendak Ilahi yang sama dalam Tiga Pribadi Tritunggal, tetapi Yesus di sini mengatakan “Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri”, berarti hal ini cuma bisa kita baca dari perspektif human will of Christ. Waktu di sini bicara tentang human will of Christ, maka berarti Saudara dan saya dimasukkan di dalam cerita ini. Kita seharusnya sama seperti Kristus, mempunyai kehendak manusia waktu Dia taat kepada Bapa, bukan karena dipaksa melainkan dari kehendak-Nya sendiri.
Di dalam pembicaraan tentang TULIP, ada istilah yang sangat membingungkan, yang baru muncul agak belakangan sekitar abad 19 akhir dari Amerika, sedangkan dalam Canons of Dort yang asli tidak ada, yaitu istilah “irresistible grace”. Istilah ini harus kita mengerti secara beres, jangan salah mengerti seolah-olah Tuhan memberikan dengan paksa lalu kita diperlakukan seperti robot atau boneka yang tidak bisa menolak. Itu bukan pengertian “irresistible grace” yang ada dalam Canons of Dort. Apalagi kalau dimengerti dalam paradigma kolonialisme, seakan Tuhan datang dengan puluhan ribu laskar kereta kuda-Nya memberikan irresistible grace –kacau luar biasa gambaran seperti ini. “Irresistible grace” yang benar bukan dalam pengertian tadi. Maka beberapa pakar Calvinis lebih suka memakai istilah “efficacious grace”, yaitu suatu grace yang efektif, yang tidak bisa ditolak, dalam pengertian khasiatnya akan berhasil membuat hati yang keras akhirnya menjadi hati yang dilunakkan. Itulah pengertian irresistible grace yang tepat; sedangkan kalau bicara ‘irresistible’ dalam pengertian colonial power, ya, celaka, dan juga tidak cocok dengan ayat ini. Bahkan Bapa pun tidak melakukan itu terhadap Anak, sebaliknya Anak mengatakan “Aku memberikan menurut kehendak-Ku sendiri”. Saya harap waktu Saudara datang ke Persekutuan Doa, Saudara datang karena kehendak Saudara, bukan karena saya teror dari sini; harap waktu Saudara menginjili dan bersaksi, itu karena Saudara menghendakinya, karena memang Saudara suka melakukan itu. Kembali mengutip Matthew Henry, dia mengatakan: This commandment have I received from my Father; not such a commandment as made what he did necessary, prior to his own voluntary undertaking; but this was the law of meditation, which he was willing to have written in his heart, so as to delight in doing the will of God, according to it, Psalm 40:8 –karena Sang Anak itu suka untuk melakukan melakukan kehendak Allah.
Terakhir, ayat 19, 20, 21; Maka timbullah pula pertentangan di antara orang-orang Yahudi karena perkataan itu (ayat 19). Waktu Injil diberitakan, waktu Kristus ditinggikan, maka akan mengkutubkan manusia menjadi dua –meminjam istilah Pendeta Stephen Tong– di situ akan terjadi polarisasi, kelompok orang yang percaya kepada Kristus dan mengoreksi dirinya, dan kelompok orang yang terus mengeraskan hatinya. Selalu seperti ini sejak dulu, dan akan terus terjadi sampai Yesus datang kembali. Dalam doktrin Reformed, kita percaya ada election dan reprobation, ada yang dipilih dan ada yang dibuang, ada yang diberikan anugerah dan ada yang dibutakan. Tetapi mereka yang dibutakan itu sebetulnya membutakan dirinya sendiri, bukan Allah yang secara aktif menghalang-halangi orang untuk percaya kepada Dia. Mereka, dari kehendaknya sendiri secara sukarela memilih untuk hidup di dalam kegelapan, di dalam kebutaan, terus-menerus menolak Firman Tuhan. Ini menakutkan.
Maka kita membaca di bagian pertentangan ini, pasti ada pemisahan, yaitu antara orang yang mengikut Kristus dan orang yang tidak tertarik mengikut Kristus. Ada yang percaya, mau mengikut Kristus, berjalan di jalan salib, dan ada yang tidak suka dengan jalan salib, ‘kalau bisa hidup saya utuh, saya tidak mau dipecah-pecahkan’, tidak suka dengan jalan salib. Inilah penolakan, penolakan, dan penolakan.
Kutipan dari Matthew Henry waktu berbicara tentang pemisahan/ pertentangan ini: But it is better that men [human being –laki-laki dan perempuan] should be divided about the doctrine of Christ than united in the service of sin –lebih baik ada pemisahan antara terang dan gelap, antara orang yang mengikut Kristus dan yang tidak mau mengikut Kristus, daripada bersatu tapi bersatunya di dalam dosa. Apa gunanya bersatu di dalam dosa?? Itu cuma persatuan sementara. Misalnya persatuan dalam dunia politik, itu persatuan yang tidak pernah kekal karena sangat oportunistis, yang dulu musuh sekarang bisa jadi kawan, dan yang kawan bisa jadi musuh, semua tergantung kebutuhan saya, sesama manusia cuma dijadikan alat; apakah itu kesatuan? Bukan; itu kesatuan yang tidak ada dasar Kristus.
Tetapi, waktu kita bersatu karena kita mencintai Kristus, mau mengikut Kristus, menjadikan Kristus gembala kita, di sinilah kita bicara persekutuan yang sejati, true unity. Yesus bilang, “Aku datang ke dalam dunia, bukan membawa damai tapi membawa pedang.” Di bagian lain kita tahu, Yesus juga datang membawa damai. Kedua kalimat itu betul. Yesus datang membawa damai, karena tanpa Yesus, dunia tidak mungkin ada damai; damai dengan Bapa tidak mungkin terjadi kalau Yesus tidak datang. Tapi Yesus yang sama juga mengatakan, Dia datang bukan membawa damai, Dia membawa pedang; maksudnya Dia akan memisahkan antara orang-orang yang mau menyembah dan beribadah kepada Kristus, dengan orang-orang yang terus melayani dirinya sendiri. Pasti harus terjadi pemisahan, karena ini tidak bisa dipersatukan di dalam Kristus. Perhatikan kehidupan orang-orang Farisi itu, apakah bisa mereka bersatu dengan kawanan domba?? Kecuali mereka bertobat, tidak mungkin ada persekutuan, tidak mungkin ada persatuan, karena motivasinya –tuhan mereka—itu bukan Kristus, dan juga bukan Yahweh. Mereka menyebut “Abraham bapa kami, Allah juga Bapa kami”, tapi Yesus bilang “bukan, bapamu Iblis; kalau Allah adalah Bapamu, kamu akan datang kepada-Ku”.
Kalau Saudara menyebut Allah adalah Bapa, Saudara akan datang kepada Kristus. Gereja ini jadi Gereja yang diberkati Tuhan, kalau terus membawa orang kepada Kristus. Kalau Gereja ini mulai membawa orang kepada yang bukan Kristus, melainkan kepada Gereja ini sendiri, atau kepada pendetanya, kepada diri Saudara sendiri –itu semua bukan Kristus, jadi meleset—maka ini bukan Gereja yang diberkati. Maka kalimat di ayat 19 ini, ‘Maka timbullah pula pertentangan di antara orang-orang Yahudi karena perkataan itu’, bukan cuma wajar tapi harus terjadi. Pemisahan ini harus terjadi.
Ayat 20, malah dituduhkan kepada Yesus, "Ia kerasukan setan dan gila”. Sekali lagi mengutip Matthew Henry: They said, He has a devil, and is mad, why do you hear him? 1. They reproach him as a demoniac. The worst of characters is put upon the best of men. Gereja yang benar, yang mengikuti Kristus, harus siap mendapatkan profil seperti ini. Gereja yang ada Roh Kudus, musti siap dikatakan orang “Gereja yang dikuasai setan”. Orang-orang yang hidup mengikuti Kristus, harus siap diprofil “ini orang-orang yang kepenuhan setan”. Ini sudah terjadi sejak dulu; Yesus sendiri mengalaminya. Tidak ada yang mengherankan. Justru waktu kita tidak mengalami ini, agak aneh; dan ini yang bahaya.
Kalau orang terus-menerus memuji kita, meninggikan kita, ini bahaya. Sebaliknya kalau kita dituduh berasal dari setan, dsb., inilah yang ada pengharapan, mungkin kita adalah orang-orang yang memiliki karakter siap mengikut Krstus. Namun waktu bagian ini hilang, dan dunia menyukai kita, kita mendapatkan penerimaan dunia, kita tidak dibenci oleh dunia, berarti kita sudah mirip dengan dunia. Di dalam Alkitab, Yesus mengatakan “kamu dibenci oleh dunia” –kita dibenci oleh dunia. Memang kita tidak boleh mengasihi dunia (dalam pengertian worldly spirit), tetapi dari kita, kita mengasihi orang-orang yang di dunia, yang hidupnya duniawi. Yesus tidak pernah mengatakan “bencilah orang-orang dunia”, Yesus mengatakan, “dunia akan membenci kamu”.
Dari pihak kita, kita mengasihi; tetapi ketika kita mengasihi, dalam kebenaran, kita akan mendapatkan tuduhan-tuduhan seperti ini –“orang ini dari setan”. Di dalam Alkitab, ini adalah dosa penghujatan Roh Kudus yang tidak ada pengampunannya, karena Yesus berkotbah memperkenalkan Bapa di dalam kepenuhan Roh Kudus tapi dibilang ‘kerasukan setan’. Pembalikan 180º. Mengapa ini bisa terjadi? Karena orang itu buta, tidak bisa melihat terang, oleh karena itu dia tidak bisa membedakan yang mana dari Allah dan yang mana dari setan. Inilah gambaran yang paling menakutkan di dalam kehidupan Saudara dan saya, kalau sampai terjadi. Terang, kita pikir gelap; gelap, kita pikir terang. Yang mulia, kita bilang hina, kita tidak tertarik; yang hina, yang sampah, kita tinggi-tinggikan. Kalau Gereja sampai kehilangan spiritual discernment seperti ini, tidak bisa membedakan mana yang dari Tuhan, mana yang dari setan, luar biasa bahaya. Lalu apa argumentasinya?
Argumentasinya sebagaimana di ayat 21, Yang lain berkata: "Itu bukan perkataan orang yang kerasukan setan; dapatkah setan memelekkan mata orang-orang buta?” Saudara perhatikan, ini menyambung dengan perikop-perikop sebelumnya; yang dilakukan Yesus adalah orang yang berjalan dalam kegelapan dibawa kepada terang. Yang seperti ini, apakah pekerjaan setan?? Orang dibawa untuk mempermuliakan Kristus; pekerjaan setankah gambaran seperti ini?? Setan mana yang membawa orang datang kepada Kristus?? Orang-orang itu sampai tidak bisa membedakan; mereka ini buta. Kita sudah membahas hal ini, bukan cuma buta secara fisik, tapi sebenarnya yang mau diajarkan di situ adalah buta rohani. Mereka tidak bisa melihat, mereka berjalan dalam kegelapan, lalu Yesus membawa mereka dari kegelapan menuju terang, supaya mereka boleh melihat kemuliaan Kristus, kemuliaan Bapa di surga. Apakah ini pekerjaan setan?? Kalau ini bukan pekerjaan setan, jadi pekerjaan siapa? Pekerjaan Roh Kudus.
Tapi orang-orang itu mengatakan “Dia kerasukan setan”. Jadi di mana persoalannya? Yaitu inilah orang-orang yang mencintai kegelapan. Mereka suka berada di dalam kegelapan, maka mereka tidak mau diterangi; karena kalau diterangi, dosa mereka terbongkar, kejahatan mereka terlihat di hadapan Tuhan. Dan mereka menolak, karena mereka selalu mau tampil righteous. Orang-orang Farisi ini, pergi ke tempat ibadah pun selalu melihatnya orang lain yang berdosa; mereka selalu mau dirinya dilihat righteous. Tetapi mereka tidak bisa menipu Tuhan. Waktu Tuhan datang, Dia akan mengobrak-abrik kehidupan Saudara dan merapikannya. Bagian dari pekerjaan pembangunan adalah pembongkaran; kita musti dibongkar terlebih dahulu, supaya Tuhan bisa mengatur kita. Kita musti dihancurkan terlebih dahulu, supaya Tuhan bisa kembali membentuk kita.
Berbahagialah, waktu di dalam kehidupan ini kita boleh melihat pekerjaan Tuhan sebagai pekerjaan Tuhan, bahwa Tuhan sedang datang mengunjungi kita, keluarga kita, di rumah kita, di gereja kita, dan mungkin ada banyak hal yang musti dibongkar, yang harus diubah oleh Tuhan sendiri. Waktu Tuhan masuk ke dalam kehidupan kita, Dia tidak akan jadi tamu, kita tidak akan pernah hosting Dia, Dia yang akan langsung ambil alih jadi pemilik di situ. Berbahagia kehidupan kita kalau Yesus masuk ke dalam kehidupan kita, lalu kita handover kepemimpinan itu kepada Kristus. Kalau Gereja ini seperti itu, Gereja yang dipimpin Kristus, ini adalah Gereja yang diberkati Tuhan. Kiranya Tuhan menolong kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading