Joseph Stalin, suatu ketika ditanya orang, kenapa pasukan dia, Red Army, begitu berani. Red Army ini kadang-kadang disuruh maju ke medan pertempuran yang mereka pasti kalah –karena kalah jumlah ataupun senjata– namun mereka maju dengan gagah berani, menyambut kematian. Bagaimana bisa mereka punya keberanian yang sedemikian? Joseph Stalin lalu menjawab begini: kamu tidak tahu saja, semenakut-nakutkannya yang di depan mereka, mereka lebih takut kepada yang di belakang mereka. Maksudnya, maju ke depan menuruti perintah komandan, itu memang menakutkan, karena mereka akan berjumpa dengan meriam, dengan pasukan musuh, dengan kematian; tapi kalau mereka mundur, mereka akan beetemu dengan sesuatu yang lebih mengerikan dari kematian, yaitu komandan mereka. Jadi mereka ini berani, soalnya mereka takut. Kemudian beberapa orang mengatakan, orang Kristen juga begitu, mereka orang-orang yang tidak kenal takut karena mereka orang-orang yang takut. Dalam hal ini lalu kita membenar-benarkan sikap yang membuat seolah-olah Tuhan kita seperti Joseph Stalin yang menakutkan, dan menakut-nakuti, dan membuat Red Army jadi pasukan yang tak kenal takut malah menerbitkan rasa takut yang besar dalam benak musuh-musuhnya. Tetapi saya kira ini pemikiran yang keliru, sebab Tuhan kita bukan Tuhan yang memakai takut kita untuk mengendalikan kita. Tuhan kita tidak memerlukan itu, soalnya Tuhan kita tidak memerlukan kita, Tuhan bisa tanpa kita, sementara kita tidak bisa tanpa Tuhan. Tuhan itu, tidak ada kita pun bisa hidup –Dia sudah hidup sebelum kita ada. Tuhan ada sebelum ada sebelum, yaitu sebelum ada waktu; dan mengatakan ‘sebelum ada waktu’ pun suatu oksimoron, suatu contradictio in terminis, istilah yang berkontradiksi dengan dirinya sendiri, karena kalau kita bisa mengatakan ‘sebelum, ‘sesudah’, ‘sekarang’, itu berarti sudah ada waktu, sedangkan Tuhan ada ketika waktu tidak ada, ketika ketika tidak ada, Tuhan adalah itu sendiri.
Tuhan tidak butuh manusia, manusia yang butuh Tuhan. Jadi, kalau Tuhan tidak butuh manusia, ngapain juga Dia sebegitu insecure, kepingin mengendalikan manusia, kepingin memastikan manusia melakukan kehedak-Nya dengan cara intimudasi dan menakut-nakuti. Tidak perlu itu, karena Tuhan tidak perlu kita. Tetapi Tuhan itu menakutkan –ini kenyataan. Kenapa Tuhan menakutkan? Karena Dia adalah pencipta langit dan bumi, laut dan segala isinya; karena Tuhan menopang kehidupan, dan tidak perlu Tuhan membunuh pun, kita akan mati kalau Dia menarik topangan-Nya. Dalam hal ini Tuhan tidak bisa dibilang ‘Dia membunuh’ ketika Dia membiarkan seseorang atau sekelompok orang masuk dalam kematian, karena membunuh berarti merampas apa yang bukan milik –dalam hal ini, kehidupan– dari seseorang yang bukan dirinya, sedangkan Tuhan tidak perlu merampas kehidupan dari kita supaya kita tidak hidup lagi, Dia cukup tidak memberikan hidup, menyetop suplai hidup, maka kita tidak hidup lagi, sebab hidup itu sumbernya dari Tuhan. Dengan demikian, Tuhan tentu saja menakutkan, karena Dia adalah the Almighty, Yang Mahakuasa, yang tidak ada apapun lebih berkuasa daripada Dia. Bodohlah orang yang tidak takut akan Tuhan, sama seperti anak-anak kecil bodoh dengan tidak takut akan listrik. Saya sendiri waktu kira-kira umur lima tahun, tidak tahu apa itu listrik, lalu saya mencolokkan steker listrik pakai pinset, yang tentu saja berakhir dengan listriknya jebret dan saya pun jebret juga, tersetrum, untungnya tidak mati. Jadi, anak kecil itu fearless, karena bodoh, tidak tahu; maka orang yang tidak takut akan Tuhan tentu saja bodoh, karena dia tidak takut bukan oleh sebab dia pemberani, melainkan karena dia tidak tahu kepada Siapa dia berhadapan.
Tetapi sebaliknya yang terjadi dalam diri Petrus dan Yohanes; dalam pasal 4:1-22, Petrus dan Yohanes ditakut-takuti oleh orang-orang yang takut. Siapakah orang-orang yang takut itu? Yaitu para penguasa Bait Suci –imam-imam kepala dan antek-anteknya. Mereka takut, mereka hidupnya dihantui ketakutan. Kenapa? Karena mereka takut jabatannya dirampas. Mereka takut Romawi akan menghabisi Bait Suci. Mereka takut karena mereka tahu hari-hari mereka sedang berakhir; Yesus mengatakan, “Runtuhkan Bait Suci ini, Aku akan membangunnya dalam tiga hari”, dan orang banyak mengikut Yesus, mengelu-elukan Yesus. Dikatakan oleh para penulis Injil, orang banyak ini mengatakan Yesus berkhotbah dan berkarya di tengah-tengah mereka tidak seperti imam-imam, orang-orang Farisi, dan ahli-ahli Taurat, Yesus mengajar dengan otoritas. Mereka itu seharusnya memerintah dengan otoritas, karena mereka yang duduk di kursi Musa –demikian kata Yesus– mereka yang duduk di takhta kepemimpinan tradisional Israel, tetapi mereka tidak punya wibawa. Pemimpin Bait Suci, Kayafas dan Ananias, tidak punya wibawa. Herodes, raja Israel, tidak punya wibawa itu di hadapan rakyat. Bahkan Pontius Pilatus dan Kaisar di Roma juga tidak punya wibawa itu. Mereka adalah orang-orang yang menakutkan karena bisa membunuh tubuh, tapi mereka tidak punya otorotasnya, tidak punya wibawanya, karena mereka hanya bisa membunuh tubuh, sementara mereka itu menghidupi sejenis kehidupan yang menjijikkan bagi umat. Umat Tuhan melihat otoritas-otoritas yang ada di sekeliling mereka, baik itu Herodes, otoritas Romawi, ataupun otoritas yang berkuasa di Bait Suci Tuhan –satu-satunya pengharapan mereka bahwa di sini ada Tuhan– adalah orang-orang yang menjijikkan, orang-orang yang munafik, kuburan yang dilabur putih, tetapi mereka menakutkan karena mereka bisa membunuh tubuh, karena mereka bisa mengancam. Namun Petrus dan Yohanes bukan orang yang takut. Mereka tidak takut kepada orang-orang yang dipenuhi ketakutkan sehingga menakutkan itu sebagaimana para prajurit Red Army Uni Soviet pada perang Dunia II.
Orang-orang yang sendirinya dipenuhi ketakutan, sering kali menakutkan karena mereka memakai ketakutan sebagai senjata; tetapi orang-orang yang tahu siapa dirinya, dan tahu Siapakah yang sungguh-sungguh menakutkan, yakni Tuhan yang tidak memakai ketakutan sebagai senjata, yang tidak menakut-nakuti orang, mereka adalah orang-orang yang tidak dikendalikan hidupnya oleh ketakutan. Mereka adalah orang-orang yang tahu diri, sehingga mereka tahu Tuhan itu siapa, dan mereka takut akan Allah, tetapi mereka tidak takut pada apapun yang lain. Mereka tidak membiarkan ketakutan mengendalikan hidup mereka. Mereka adalah orang-orang yang courageous. Mereka berani bukan dalam arti nekat; nekat itu seperti saya nekat mencolokkan pinset ke stop kontak listrik waktu umur lima, berani karena bodoh. Mereka bukan berani karena bodoh, mereka berani karena tahu diri. Mereka berani karena mereka kenal Tuhan. Mereka berani karena mereka tahu kebenaran dalam hidup ini, apa yang sungguh-sungguh menakutkan dan apa yang hanya bisa menakut-nakuti.
Mereka ditakut-takuti dua kali oleh para penguasa Bait Suci. Dalam kali pertama mereka ditakut-takuti dan mereka tidak takut. Para penguasa Bait Suci yang hidupnya dipenuhi ketakutan itu, cuma mencoba cara yang sama lagi, yang sudah gagal di kali pertama, dengan lebih keras pada kali kedua. Dan kita bisa menebak apa hasil dari cara yang membosankan itu, yakni: intimidasi tidak sukses lagi, Petrus dan Yohanes menjawab mereka: “Apakah kami harus lebih takut kepada kamu atau lebih takut kepada Allah; silakan kalian sendiri pikir.” Lalu mereka dilepaskan, karena ketakutan memang tidak bisa menahan mereka yang tidak takut kepada orang-orang yang hanya bisa membunuh tubuh saja tapi tidak berkuasa atas jiwa manusia.
Petrus dan Yohanes kemudian menjumpai teman-temannya, menceritakan segala sesuatu yang dikatakan imam-imam dan tua-tua, yakni ancaman-ancaman dari orang-orang otoritas yang palsu itu, otoritas yang Yesus katakan ‘hari-harinya sudah terhitung’. Ketika teman-teman mereka mendengar hal itu, mereka berseru bersama-sama kepada Tuhan. Seruan itu merupakan kutipan dari dua mazmur. Yang pertama, Mazmur 146:6, yang mengatakan Tuhan adalah Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. (Dalam hal ini tentu saja kita mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli mengenai paruh yang pertama, “aku percaya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi”, sementara bagian yang kedua, “laut dan segala isinya”, kita hilangkan). Kenapa bagian ini dikutip oleh kawan-kawan Petrus dan Yohanes, bahwa Tuhan adalah Tuhan yang menjadikan laut dan segala isinya? Karena dalam kehidupan orang-orang peternak yang hampir tidak pernah melihat laut itu, laut mewakili kekacauan yang menakutkan –kekacauan yang menakutkan yang ada di awal penciptaan. Ketika Tuhan menciptakan dunia ini, bumi itu tohu wa-bohu –bumi tidak berbentuk dan kosong dalam terjemahan bahasa Indonesia (namun dalam hal ini lebih dekat ke tidak berbentuk daripada kosong dalam arti nihilo, jadi lebih ke arah kacau). Tetapi atas kekacauan itu, Roh Allah melayang-layang untuk mendirikan tatanan, mendirikan keteraturan. Tuhan mengisi laut itu dengan ciptaan, dengan kehidupan; dan Tuhan yang bukan hanya berkuasa atas langit dan bumi, Tuhan yang juga berkuasa atas kekacauan (chaos), adalah Tuhan yang juga bisa berkuasa atas situasi yang disebutkan oleh Petrus dan Yohanes kepada kawan-kawannya. Itu sebabnya mereka mengutip Mazmur 146:6 dengan menekankan juga bahwa Allah yang menciptakan laut dengan segala isinya.
Kemudian mereka mengatakan kepada Tuhan itu, Mazmur 2:1-2. Ini adalah mazmur penahbisan raja; kalau raja-raja Israel ditahbiskan, mereka membacakan Mazmur ini pada waktu sang raja diurapi. Jadi, Allah Yahweh mewakilkan pemerintahan-Nya di bumi kepada yang Dia urapi. Istilah yang Dia urapi dalam bahasa Yunani Khristós, atau dalam bahasa Ibrani Māšîah, artinya adalah raja, Hamasiah. Ini mungkin mirip seperti kalau kita bilang “Paduka, Yang Mulia”. Yang diurapi berarti yang mendapatkan mandat; tetapi mandatnya bukan dari rakyat –karena mereka bukan demokrasi– melainkan mandat dari Tuhan, karena mereka theokrasi. Dalam hal mandat dari Tuhan dititipkan kepada kristus-Nya, kita tahu bahwa tidak ada yang diurapi di bumi ini selain Yesus yang benar-benar menjalankan mandat Tuhan. Sudah jelas Omri, yang namanya diakui sejarah bangsa-bangsa sebagai raja Israel, adalah jahat di mata Tuhan, dan melakukan yang jahat di mata Tuhan. Demikian pula dengan anak Omri, yakni Ahab, yang lebih jahat daripada ayahnya; dan demikian juga seluruh dari tiap-tiap raja Israel melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Mereka yang diurapi sebagai yang mendapatkan mandat dari Yahweh, namun mereka mengisi dunia ini dengan kekacauan, dan bukan dengan kehidupan. Mereka bukan kristus yang sejati; Tuhan belum mengangkat kristus yang sejati. Omri bukan kristus yang sejati walaupun dia yang diurapi, apalagi Ahab, dia bukan kristus yang sejati walaupun dia diurapi juga; bahkan Daud pun bukan kristus yang sejati walaupun Daud diurapi juga. Yesus adalah kristus yang sejati itu, yang ditunjuk oleh Daud; dan bangsa-bangsa, suku-suku bangsa, raja-raja dunia, pembesar-pembesar, berkumpul untuk melawan Yahweh dan Kristus-Nya —The Lord and His Christ, sebagaimana Handel katakan.
Dalam Kekristenan kita tidak mengenal separasi antara domain spiritual dan sisanya, kita tidak mengenal separasi antara urusan rohani dengan urusan sisanya. Demikian juga kita tidak mengenal dikotomi antara politik kekuasaan –atau politik praktis– dengan politik moral atau dengan Injil. Kita tidak mengenal dikotomi itu, karena Yesus, Kerajaan-Nya walaupun memang bukan dari sini, tapi Kerajaan-Nya ada di sini. Kita suka memelesetkan perkataan Yesus di hadapan Pilatus “Kerajaan-Ku bukan dari sini” menjadi “Kerajaan-Ku bukan di sini”. Tapi itu keliru. Yesus itu Kerajaan-Nya di sini; Kerajaan-Nya memang bukan dari sini, artinya otoritas Yesus bukan dari sini. Otoritas raja-raja adalah dari sini, entah dari bapaknya, entah dari rakyat. Otoritas kerajaan-kerajaan dan penguasa-penguasa dunia, yang melawan Yesus, memang dari sini dan di sini; tetapi Yesus, otoritas-Nya bukan dari sini namun di sini, dalam dunia ini, dalam rumah Tuhan ini, sebab Tuhan menghendaki dalam Kejadian pasal 1 untuk menjadikan dunia ini rumah-Nya.
Gambaran Kejadian 1 di mana Tuhan menciptakan langit dan bumi, itu menggema lagi dalam perintah Tuhan ketika Dia memerintahkan Musa untuk mendirikan Kemah Pertemuan, dan bergema lagi dalam bagaimana Tuhan memerintahkan Salomo mendirikan Bait Suci. Bait Suci dan Kemah Pertemuan adalah mini cosmos, menjadi satu tatanan dari jagat raya. Kita melihat dalam bagian mengenai perintah untuk membuat Kemah Pertemuan/Kemah Perjanjian, di situ ada mini matahari, bulan, bintang, laut dan segala isinya, serta segala tatanan alam semesta ini. Artinya apa? Yaitu bahwa Tuhan memang menghendaki dari semula, sebelum kejatuhan manusia, untuk Dia berdiam di sini. Dan memang benar, dalam Wahyu dikatakan Yerusalem yang baru itu turun dari surga, di mana Allah berkemah di tengah umat-Nya –ada Imanuel, Allah berkemah di tengah umat-Nya. Demikian juga dalam theologi Yohanes, dikatakan dalam Injil Yohanes pasal pertama: “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di tengah kita”; kata ‘diam di tengah kita’ (tabernacled among us) ini artinya berkemah di tengah kita. Ini istilah yang sama dalam Septuaginta (Septuaginta adalah terjemahan Yunani dari Tanakh, Alkitab Ibrani), yang dipakai untuk menyatakan bagaimana kemahnya Tuhan ada di tengah perkemahan umat-Nya. Adalah kehendak Tuhan untuk berkemah di sini, di tengah-tengah umat-Nya, di tengah-tengah jagat raya ini. Jadi, Kerajaan Kristus memang di sini, namun kuasa-Nya bukan dari sini. Kuasa Yesus bukan dari Pontius Pilatus, bukan dari Herodes, bukan dari popularitas-Nya di antara orang banyak, melainkan dari Tuhan sendiri.
Ini persis seperti kuasanya Daud seharusnya, bahkan kuasanya Ahab; namun baik Daud, apalagi Ahab, tidak memakai kuasanya sepenuhnya bagi Tuhan. Memang Daud orang yang berkenan di hati Tuhan, memang Daud lebih sering menggunakan kuasanya untuk menyelenggarakan shalom di tengah umat-Nya, sedangkan Ahab dalam masa kekuasannya tidak pernah melakukan kehendak Tuhan, yang dilakukannya semata-mata jahat saja. Daud kadang-kadang baik, namun kadang-kadang jahat juga; dia memakai kuasanya bukan hanya untuk menghadirkan sukacita, kehidupan, keadilan, di tengah umatnya, tapi juga menghadirkan perampasan sebagaimana dialami Uria, orang Het itu, yang setia kepadanya. Kita juga melihat bagaimana Daud mengelola kerajaannya itu tidak sepenuhnya berkenan kepada Tuhan. Namun Yesus, adalah Raja yang itu, Kristus yang itu, yang akan menghadirkan pemerintahan Tuhan sepenuhnya di sini. Dan di dalam pemerintahan Tuhan itu, bukan tidak ada perlawanan –ada perlawanan. Kuasa lawan kuasa; politik kekuasaan dari Kristus melawan politik kekuasaan dari para menguasa dunia ini.
Dikatakan oleh mereka, “Di kota ini sudah berkumpul Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa (artinya gentiles) dan suku-suku bangsa Israel.” Ini menarik, karena mereka menyandingkan gentiles dengan Jews, orang-orang yang tidak bersunat dengan orang-orang yang sering disebut umat Tuhan, orang-orang Yahudi sendiri, kerajaan Israel. Sesuatu yang di benak Imam Besar Bait Suci –dan di benak Herodes juga barangkali– bahwa kerajaan Israel tentu berseteru dengan kerajaan bangsa-bangsa, di mulut Petrus dan Yohanes beserta kawan-kawan, mereka itu sebetulnya satu golongan saja, yaitu orang-orang yang melawan Kristus, karena memang betul yang melawan Kristus bukan hanya Pontius Pilatus –penguasa Romawi, tidak bersunat, bukan orang Yahudi, bukan Israel– tapi juga Herodes. Bukan hanya suku-suku bangsa di luar Yahudi yang melawan Yesus, tapi juga orang-orang Yahudi sendiri, sebagaimana mereka katakan, “…bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang Kau urapi”.
Yesus diurapi, “… untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan terlebih dahulu oleh kuasa dan kehendak-Mu, tapi sekarang, ya Tuhan, lihat ancaman mereka”, maka mereka memohon kepada Tuhan untuk memberikan keberanian (courage). Courage tidak sama dengan kenekatan. Sampai di sini saya akan pakai ilustrasi perkataan dari Frank Schaeffer mengenai observasi dia atas anak-anak di tempat dia menjemput cucu-cucunya.Frank Schaeffer adalah anak dari Francis Schaeffer, seorang yang bisa dikatakan theolog juga, budayawan juga, mungkin filsuf juga. Frank ini ketika sudah tua, pekerjaannya adalah menjemput cucu. Ketika dia menjemput cucunya di sekolah, dia bilang bahwa dia mengamati anak-anak itu ada yang matanya, sikapnya, kelihatan sekali dipenuhi ketakutan, khususnya takut kepada papanya, kalau papanya datang, si anak langsung kelihatan takut. Lalu Frank bilang, “Saya kira itu bukan sesuatu yang baik.” Kalau anak kamu takut kepadamu sampai ngompol-ngompol, itu bukan tanda bahwa kamu bapak yang berwibawa, itu tanda kamu adalah bapak yang mungkin controlling, guilt tripping, shaming, fear mongering, kamu bapak yang intimidating –dan itu adalah cara-cara dunia ini.Tapi di sisi lain, saya kira saya perlu mengimbangi komentar dari Frank, bahwa bapak-bapak yang anaknya kurang ajar, kalau bicara kepada bapaknya merendahkan –sikap tidak takut dalam pengertian kurang ajar– saya kira itu juga menandai cara membesarkan anak yang tidak baik. Dan, bukankah kita melihat kedua-duanya terjadi sering kali pada orang yang sama? Anak kecil yang penuh dengan ketakutan karena di-intimidasi, dikontrol oleh orangtuanya, maka ketika suatu hari dia lepas, dia menjadi anak yang dipenuhi dengan kemarahan, kepahitan, dan kadang-kadang pada akhirnya jadi orang yang kurang ajar, orang yang tidak tahu menghargai orang lain, orang yang sering kali juga sulit mengendalikan dirinya sendiri. Jadi saya kira ini bukan praktik yang baik, ini praktik yang duniawi, yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang percaya pada Joseph Stalin. Joseph Stalin mengatakan, “Prajurit-prajurit saya berani karena dia takut kepada saya, itu sebabnya dia berani, karena mundur lebih menakutkan”, tidak mungkinlah mundur karena bisa dihabisi/disiksa sebelum dibunuh oleh komandan, jadi hanya bisa maju meski artinya mati, lebih baik mati daripada mundur. Ini bukan sikap pemberani yang Kristiani, saya kira. Petrus dan Yohanes bukan berani karena lebih takut terhadap Tuhan, ‘nanti dihabisi oleh Tuhan, dibikin sengsara hidupnya, bisa lebih celaka, jadi mendingan saya berhadapan dengan imam-imam kepala, tua-tua Yerusalem, bahkan Herodes dan Pilatus sekalipun karena saya lebih takut pada Tuhan’; berani dalam pengertian demikian, saya kira keliru. Saya kira keduanya, baik orang yang dipenuhi ketakutan dalam arti kepengecutan, maupun orang yang dipenuhi keberanian dalam arti kenekatan, sama-sama dikuasai oleh ketakutan yang dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah deilos.
Supaya lebih jelas, kita lihat komparasinya dalam Markus 4:40-41. Dalam sebuah insiden di mana Yesus meredakan angin ribut di suatu danau, dikatakan oleh Markus demikian: Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu ketakutan? Belumkah kamu percaya?” (ayat 40) Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa sebenarnya orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?” (ayat 41). Dalam ayat 40, istilah ‘ketakutan’ini Markus memakai istilah dalam bahasa Yunani deilos (deiloi);sementara ‘sangat takut’ dalam ayat 41 dipakai istilah phobos. Istilah phobos muncul dalam Kis. 5:11, yaitu ketika mereka melihat Ananias dan Safira mati karena menipu Roh Kudus, lalu mereka hatinya dipenuhi dengan phobos. Lukas mencatat juga dalam Kis. 2:43, ketika rasul-rasul membuat banyak mukjizat dan tanda, hati orang-orang yang menyaksikan juga dipenuhi dengan phobos. Apa bedanya phobos dengan deilos? Phobos adalah sikap merasa tahu diri, merasa tidak cukup, merasa kecil, di hadapan sesuatu yang menakjubkan, yang besar, yang jauh melampaui kita; jadi terjemahan yang lebih baik adalah ‘takjub’, atau dalam bahasa Inggris awe. Sedangkan deilos adalah ketakutan yang cowardly, kecil hati, kecut hati, nge-pér; deilos mungkin lebih tepat diterjemahkan dengan nge-pér. Ini menerbitkan dua sikap yang berbeda; kita bisa padankan dengan orang yang takut pada perampok, orang yang takut terhadap hantu, orang yang takut terhadap suatu kejahatan, dengan orang yang takut dalam pengertian takut akan Tuhan.
Takut akan Tuhan, lebih tepat disebut dengan phobos. Dan perhatikan, objek dari phobos tidak sama dengan objek dari ketakutan yang atasnya Petrus dan Yohanes berdoa supaya mereka dijauhkan dari ketakutan tersebut. Petrus dan Yohanes tidak berdoa supaya Tuhan menghapuskan perasaan kagum/takjub kepada Tuhan dari hati mereka; Petrus dan Yohanes menginginkan supaya Tuhan menjauhkan dari mereka sikap cowardly terhadap ancaman para pemimpin Bait Suci, raja Herodes, Pontius Pilatus, beserta segenap kuasa-kuasa politik dalam dunia ini yang melawan Tuhan dan Kristus-Nya. Itulah yang diminta olehPetrus dan Yohanes, bukan meminta Tuhan melenyapkan rasa tahu diri mereka bahwa mereka hanya manusia saja di hadapan Tuhan. Mereka menginginkan agar yang dihapuskan adalah sikap pengecut di hadapan manusia, bukan sikap tahu diri yang sehat di hadapan Allah. Jadi apa bedanya? Bedanya nanti adalah –ini sangat penting– Petrus dan Yohanes dan semua rasul, dan juga semua pemimpin-pemimpin Kristen, seharusnya tidak disembah, seharusnya umat tidak takut kepada mereka, karena manusia itu kepadanya kita tidak bisa memiliki takut dalam pengertian phobos, kita hanya bisa memiliki rasa takut dalam pengertian deilos.
Kita bisa nge-pér terhadap orang, karena beberapa orang memang bikin nge-pér. Bikin nge-pér karena sepér-nya (maksudnya sepir/berotot), bikin takut secara fisik, saya kira means something juga. Kalau Saudara berdebat dengan orang yang tingginya dua meter, yang melihatnya saja kita musti mendongak, lalu tampangnya juga serem, seperti misalnya kalau kamu bertemu dengan Martyn Ford (seorang youtuber, bodybuilder, yang suka gebuk-gebukan itu; pernah akan satu ring dengan Iranian hulk untuk dijual tiketnya dan dapat uang, tapi perkelahiannya tidak jadi) wajarlah kalau kamu nge-pér, karena itu mirip seperti digonggongin anjing yang tingginya dua meter lalu kamu nge-pér. Mendengar singa mengaum lalu kamu nge-pér di hadapan singa yang lagi ngeliatin kamu, itu wajar. Melihat babi hutan lari ke arah kamu saja kamu nge-pér, itu wajar, secara fisik ter-intimidasi. Kita punya reaksi natural ter-intimidasi, baik secara fisik maupun juga secara intelektual, kadang-kadang juga secara kapital, kadang-kadang secara sosial, kadang-kadang secara politis –karena orang nge-pér bukan cuma terhadap orang yang badannya gede, orang nge-pér juga terhadap orang yang pintar. Kadang-kadang kalau kita tahu kita ini di hadapan orang yang mengerti benget, jadi agak minder presentasinya, seperti dialami oleh mahasiswa yang sedang sidang tesis; kalau presentasi di depan teman-temannya, seakan-akan ‘gua paling hebatlah, lu ‘gak tahu apa-apa, sini gua ajarin’, tapi begitu di depan profesor-profesor, langsung gemetaran. Ini semacam perasaan ter-intimidasi, karena berada di hadapan manusia lain yang lebih superior –dan itu wajar saja. Tetapi, kalau kita membiarkan hal itu menguasai kita –menguasai bisa dua bentuk: secara positif, membuat kita berbuat sesuatu; atau secara negatif, mencegah kita berbuat sesuatu yang lain– saya kira itu tidak sehat, karena itulah permainan dunia ini.
Dalam dunia ini kita melakukan apa yang anjing-anjing lakukan, yaitu saling menggertak untuk mendirikan hierarki dominasi kita, menegaskan hierarki dominasi kita, “Lu tahu ‘gak, gua siapa; lu harusnya tahu diri”. Kita melakukan itu setiap kali. Kita lakukan itu secara intelektual, kita lakukan itu secara kapital, secara politis, secara kultural, dan seribu satu cara yang manusia kembangkan dalam sejarah peradaban yang sudah hampir 200.000 tahun ini untuk mendirikan hierarki dominasi kita, seperti monyet-monyet, anjing-anjing, dan serigala-serigala, dan segala mamalia yang lain mendirikan hierarki dominasinya, hanya bedanya karena kita manusia maka lebih canggih. Itulah cara dunia ini. Kita flexing. Kalau kingkong, dia flexing dengan memukul-mukul dadanya, kalau manusia memang tidak seperti itu; flexing-nya dengan unggah foto di media sosial “Menikmati makan bareng dengan teman lama”, dan waktu diperhatikan ternyata teman lamanya adalah Barak Obama –dan segala macam lainnya. Ini untuk apa? Jawabannya sederhana: mengendalikan orang lain dengan instill fear, atau mungkin instill shame, instill perasaan inferioritas/minder, atau juga instill guilt lewat guilt tripping. Itulah cara manusia satu mengendalikan manusia lain, tetapi apakah Tuhan menginginkan kita memakai cara ini?
Apakah cara ini dimaksudkan Tuhan untuk Kerajaan-Nya diperluas dalam dunia ini? Beberapa dari kita mungkin akan mengatakan, “Iya dong, yang penting jiwa-jiwa makin banyak dimenangkan bagi Kristus” —yang penting Kekristenan makin dihormati, yang penting Gereja tidak dihina oleh dunia ini, apapun caranya kemuliaan adalah bagi Tuhan. Dalam hal ini saya akan bilang, itu ada asumsinya. Apa asumsinya? Asumsinya: Tuhan butuh kamu; asumsinya: Tuhan tidak mulia kalau kita tidak bekerja dan sukses. Kenyataannya: siapa yang butuh elu, siapa yang butuh saya, siapa yang butuh kita semua?? Tidak ada. Tuhan itu bermilyar-bermilyar dan bertriliun-triliun tahun sebelum manusia ada, Dia sudah ada, sudah mulia, jadi siapa yang butuh kita? Tidak ada. Kita ini jangan ge-er. Kita ini eksistensinya baru kira-kira 200.000 tahun spesies kita ada di planet ini yang cuma kerikil kecil banget di jagat raya. Kalau dilihat dari orbit yang tidak terlalu jauh, mendekati Mars, planet kita ini cuma –dalam istilah seorang wartawan sains– “a little pale blue dot”. Voyager, benda luar angkasa yang manusia kirim sejauh-jauhnya ke luar angkasa –yang para ilmuwan NASA cuma punya waktu beberapa bulan untuk mematangkan rencana, menghitungnya, meluncurkannya, dan akhirnya kita punya Voyager, dan sekarang sudah ada bahkan di luar orbit Pluto, di luar tatasurya –pada suatu ketika menengok ke belakang, mengarahkan kameranya ke bumi, mencoba untuk terakhir kalinya selfi bumi kita dalam jarak yang bumi masih kelihatan, dan kemudian hasilnya dikirim ke bumi. Hasilnya apa? Satu dot pixel kecil berwarna biru pucat. Itulah kita. Dua ratus ribu tahun berperang, kawin dan cerai, saling menuntut di pengadilan, bunuh-bunuhan, penuh tipu daya, dan itu cuma debu sedemikian kecil lho, lalu kita kita bilang, “Saya orang paling penting sejagat raya; oleh karena kehebatan saya, Tuhan dimuliakan”. Oke, good luck. Siapa yang butuh elu?? “‘Gak apa-apa kompromi begini-begitu, karena kemuliaan adalah bagi Tuhan”, really man?? Siapa yang butuh elu? Saya kira ini ge-er-nya kita sendiri saja, kalau kita mengatakan bahwa kita memperluas Kerajaan Allah, kita memuliakan Tuhan, dengan segala cara-cara dunia ini. Namun Tuhan, dalam hal ini tidak menginginkan kita saling menakut-nakuti, saling mengintimidasi, dan memakai cara-cara dunia ini untuk flexing dan segala macam guilt tripping dan shaming dan fear mongering demi membuat seolah-olah Kerajaan Allah jadi maju. Ya, tidak jadi majulah, tapi yang jelas jadi tidak Kristen. Itu saja. Tidak peduli apapun labelnya, mungkin labelnya “Kristen”, “Gereja”, tapi bisa jadi seperti Bait Suci di zaman Yesus. Bait Suci itu labelnya “menyembah Yahweh”, tapi cara-caranya ya samalah dengan yang terjadi baik di Kaisarea maupun di Yerusalem, sama saja, beda label saja –dan saya kira itu mendukakan Roh Kudus. Kita melihat di sini, salah satu kesalahan yang mungkin, adalah karena kita berpikir bahwa dengan menakut-nakuti satu sama lain, kita bisa memuliakan Tuhan, karena toh takut akan Tuhan adalah awal dari pengetahuan –dan takut adalah takut, tidak ada jenis-jenisnya. Tapi saya kira tentu kita perlu memperhatikan dengan lebih rinci, apa yang dimaksud dengan takut akan Tuhan.
Umat Tuhan, sebagai hasil dari Tuhan menghadirkan segala tanda dan mukjizat-Nya melalui para rasul (Kis. 2:43 dan Kis. 5:11), dipenuhi ketakutan. Tetapi bukan takut kepada Petrus, bukan takut kepada Yohanes, melainkan takjub kepada Tuhan. Ini beda. Takjub kepada Tuhan, dan takut kepada manusia, adalah berbeda. Sementara kalau kita melihat orang flexing-flexing, misalnya Kim Jong Un flexing petasan dia yang katanya bom nuklir, apa yang memenuhi hati kita? Ketakjuban? Jelas bukan; tapi merasa terancam, merasa takut, itu saja. Lalu apakah orang jadi menurut kepada Kim Jong Un? Tentu saja jutaan orang rakyat dia, ya nurutlah, karena juga tidak tahu alternatifnya. Dan, apakah itu hal yang sama yang Tuhan inginkan umat-Nya miliki kepada Kristus, kepada Allah, kepada hamba-hamba-Nya? I don’t think so, karena orang-orang yang dicengkeram oleh ketakutan, mereka jadi mati, mereka berhenti jadi dirinya sendiri. Lho, ‘kan bagus berhenti jadi diri sendiri, ‘kan diri kita dipenuhi dengan dosa?? Memang iya, tetapi orang yang menakutkan tersebut ‘kan dipenuhi dengan dosa juga, sama saja, jadi saya kira kita tidak boleh mencampuradukkan cara-cara dunia ini dengan cara-cara datangnya Kerajaan Allah. Yesus itu tidak pernah menakut-nakuti orang lho, Dia tidak pernah fear mongering orang, tidak pernah mengintimidasi orang. Orang itu sendiri, melihat pekerjaan Tuhan dalam Yesus, jadi takjub, jadi dipenuhi kegentaran kepada Allah, memang iya; tetapi jadi takut kepada Yesus tentu saja tidak, Yesus tidak jadi momok, tidak jadi mimpi buruk, tidak jadi Pak Guru dengan kumis melintang di hadapan murid-muridnya. Jadi kita perlu dengan sangat-sangat jelas membedakan hal ini. Ketakutan, melumpuhkan; ketakjuban, menghidupkan dan membebaskan.
Takjubnya kita kepada Tuhan, itu tidak sama dengan takutnya kita akan figur-figur tertentu. Takutnya kita akan figur-figur tertentu, saya kira merupakan ciri dari idolatry, ketimbang memperlakukan mereka sebagai icon. Kita tahu, ciptaan ini adalah icon. Di sini kita perlu jelas membedakan antara dua konsep ini, icon dan idol. Icon adalah wakil sesuatu yang merujuk/menunjuk kepada. Contoh icon adalah manusia, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, yang kalau kamu melihat manusia baik relasinya maupun manusianya, kamu jadi sedikit punya gambaran Tuhan itu kayak apa. Tapi manusia sendiri bukan Tuhan. Melihat pernikahan, kamu akan sedikit punya gambaran seperti apa relasi Kristus dengan Jemaat; tapi tentu saja Kristus bukan mengawini Jemaat, perkawinanmu ya bukan Gereja. Namun kita tahu bahwa icon sering kali merosot jadi idol. Apa bedanya icon dengan idol? Idol menarik perhatian kepada dirinya sendiri, sehingga yang tadinya cuma icon (merujuk kepada), sekarang sendirinya menjadi realitasnya. Ini terjadi dalam realitas yang kita sebut fetisisme. Orang yang fetis, dia berhenti pada sarananya, dan tidak sampai kepada sasaran yang dirujuk oleh sarana tersebut. Misalnya, orang yang hobi fotografi; waktu para fotografer atau hobiis fotografi ngumpul-ngumpul, yang sering kali saya jumpai adalah: sibuknya bukan sibuk motret melainkan sibuk membanding-bandingkan alat motret (mudah-mudahan ini tidak terjadi pada orang-orang yang kumpul-kumpul dalam rangka belajar Alkitab; mungkin kita membanding-bandingkan theolog kita, tafsiran kita, dst.). Ketika ini terjadi, maka orang teralihkan fokusnya dari fokus yang sebenarnya; fokus sebenarnya adalah visi forografi yaitu mengekspresikan pandangan kita soal realitas ke atas media dua dimensi, lalu teralihkan menjadi kehebatan kita dalam teknik, hebatnya alat kita sementara alat kamu cupu banget, dst., dst. Dan, saya kira itu menjadi distraksi (pengalihan perhatian) dari fokus yang sebenarnya. Demikian juga dengan Kerajaan Allah, dalam Kerajaan Allah ini sering kali kita terdistraksi dari sasaran akhir yang sebenarnya, yaitu Tuhan dan Kristus-Nya, dengan sarananya. Kita sering kali mem-banding-bandingkan, membangga-banggakan, memfokuskan perhatian kepada sarananya; itulah saat di mana icon merosot jadi idol.
Pada masa kita, istilah ‘idol’ kita pakai dalam menyebutkan seperti American Idols, K-pop Idols, dan idol-idol lainnya; dan dalam hal K-pop idols, kita tentu tahu hal-hal yang menyedihkan bisa terjadi, tidak selalu terjadi tapi bisa terjadi. Yaitu apa? Ketika kita meng-idolize seseorang, kita menjelmakan dia dari yang tadinya cuma icon saja atas bentuk-bentuk yang indah yang dihasrati manusia, menjadi seolah-olah dia adalah embodiment dari bentuk-bentuk itu dan dia adalah realitas itu sendiri; dan apa hasilnya? Hailnya adalah: K-pop idols yang di-idolize itu toh bukan idea yang ideal, mereka toh daging dan darah, tulang dan otot, mereka menua, mereka menggendut, mereka kadang-kadang menyanyinya fals, mereka kentut juga, mereka kadang-kadang jerawatan, mereka tidak ideal; dan hasilnya mereka depresi. Mereka teralienasi dari diri mereka sendiri darah dan daging, dari diri mereka yang riil, karena mereka diharapkan menjadi ideal, yang bukan manusia itu. Dan kamu tahu, mengorbankan anak-anak Allah (anak-anak manusia) di altar ide, sementara ide bukanlah manusia tapi juga bukan Allah, maka mengorbankan manusia bagi sesuatu yang bukan Allah, itu adalah idolatry. Hasilnya apa? Hasilnya adalah objektifikasi manusia; manusia dijadikan objek, dan pada akhirnya manusia itu break down karena manusia hanyalah icon saja yang merujuk pada sesuatu di luar dirinya, yang menakjubkan. Yang dirujuk oleh eksistensi kita itu menakjubkan, namun kalau kita fokus pada manusianya, kita takjub pada manusianya –pada icon-nya– dan kita berhenti di situ, yang terjadi adalah idolatry; dan idolatry sama sekali tidak menakjubkan, idolatry itu menyedihkan.
Dan sering kali itu yang kita lihat dan kita alami kadang-kadang dipraktekkan juga dalam Gereja, yaitu kita menjadikan figur-figur yang seharusnya sekadar menjadi icon –yaitu orang-orang Kristen– menjadi idol. Lalu apa hasilnya? Hasilnya, orang tersebut menyembunyikan jerawatnya, menyembunyi-kan kentutnya, menyembunyikan kemanusiaan-nya yang tidak klop dengan ide ideal tersebut, sehingga terjadi hipokrisi. Itu sebabnya idol harus selalu bersembunyi di balik tirai lalu hanya tampil ketika siap. Idol, tekanannya memang di situ, karena dia harus membikin perbedaan antara kehidupan pribadi dan panggung, oleh sebab di panggung itu orang hanya menerima sesuatu yang ideal, sementara dalam kenyataan daging dan darah dan tulang dan otot, tidak ada manusia yang ideal; manusia yang ideal itu bukan manusia. Mereka harus menjaga separasi itu, maka wajarlah mereka selalu jaim, pencitraan, dsb., karena itu bagian yang inheren; tetapi itu bukanlah hidup yang patut dihidupi. Itu sama sekali bukan life worth living –dan kita sering menimpakan itu kepada orang-orang yang kita puja. Betapa kasihan mereka, menjadi korban dari pemujaan kita, yang harusnya ditujukan hanya kepada Tuhan.
Saya akan mengakhiri dengan suatu observasi dari Anthony Hoekema dalam “Man Created in the Image of God”. Dia mengatakan dalam bab keenam ketika bicara mengenai self-esteem (tahun 80-90an), ada orang-orang tertentu yang begitu penuh dengan dirinya sendiri sampai tidak tahu diri, dia kira dirinya sehebat apa, padahal orang-orang lain tertawa di belakang dia. Ini satu sisi, dan orang bilang ini self-esteem ketinggian. Di sisi lain, ada orang yang melihat dirinya kayak sampah, rendah banget; dan orang bilang ini self-esteem kerendahan. Lalu Hoekema bilang begini: sebenarnya keduanya ini, orang-orang yang self-esteem-nya kelewat tinggi maupun kelewat rendah, tidak bisa diselesaikan sekadar dengan self-esteem-nya diregulasi, yang ketinggian direndahkan dan yang kerendahan ditinggikan. Kita sering kali pikirnya secara simplistik begitu saja, maka orang yang terlalu percaya diri lalu dibikin tidak percaya diri dengan cara diperlihatkan seperti ini: ‘Lu kira lu nyanyinya sudah hebat?? Lihat nih, penyanyi kelas dunia, sepuluh level lebih tinggi dari elu. Lu minder ‘kan sekarang??’ –maka self-esteem-nya turun sedikit jadi sehat. Lalu kepada yang minder, dikatakan: ‘Lu minder ya? Dulu juga Maria Callas nyanyinya kayak lu waktu masih umur satu tahun’ –supaya dia ada harapan sedikit. Kita berpikirnya seperti garis bilangan, satu dimensi. Itu terlalu simplistik. Hoekema bilang, cara untuk kita punya self-esteem yang sehat adalah dengan mengalihkan perhatian kita, dari diri kita sendiri, yang kita fokus ‘diri saya setinggi ini, atau serendah ini, atau sudah pas di tengah-tengah’ –dan itu keliru sama sekali; lalu yang perlu kita lakukan adalah kita bukan melihat pada diri sendiri lalu memuja diri, juga bukan menghina diri sendiri, melainkan dengan melihat kepada sesuatu yang di luar dirimu. Dan yang di luar dirimu itu bukan orang-orang hebat, itu jalan Romawi yang melihat kepada jalan para pahlawan; jalan Kristen adalah dengan melihat kepada Yang Menakjubkan itu, yang bikin kita jadi ekstasis. Apa artinya ekstase? Orang yang minum pil ekstasi, adalah untuk mencapai ekstasis, yaitu keluar dari dirinya tapi ini secara chemical, dan ada efek-efek tidak bagus buat tubuh; namun kita bisa melakukannya secara theological. Apakah pil ekstasi theological kita? Yaitu melihat kepada Yesus.
Yesus adalah Icon dari Allah, Dia adalah Anak Allah. Dan, ketika kita melihat kepada Yesus, kita akan dibebaskan dari incurvatus in se kita, dari merunduk untuk melihat ke pusar kita sendiri itu, membengkok kepada diri sendiri itu –alias dosa, karena dosa esensinya adalah incurvatus in se– dengan kita memandang kepada Tuhan yang menakjubkan itu. Ketika kita memandang kepada Tuhan yang menakjubkan itu, hati kita akan dipenuhi dengan phobos, wonder, dan di situ kita akan bisa melihat diri kita sebagai sesuatu yang relatif –dan yang relatif itu bukan sesuatu yang buruk. Melihat dirimu sebagai setitik debu di galaksi ini, itu bukanlah sesuatu yang buruk. Melihat dirimu sebagai sesuatu yang tidak diperlukan, itu bukanlah sesuatu yang buruk. Menerima kenyatan bahwa setelah kamu mati, dunia ini masih akan baik-baik saja, tidak merindukan kamu dan kamu akan dilupakan dalam tempo satu generasi, itu tidaklah buruk, pertama-tama karena itulah kenyataan hidup, dan kedua karena itu membebaskan. Mengetahui dan menerima kenyataan bahwa bukan kamu yang paling berarti dalam sejarah melainkan Yesus, itu sama sekali tidak buruk. Dan, itu akan membebaskan kita untuk apa? Yaitu ketika kita melihat diri kita dan kita dipenuhi ketakjuban akan Allah, yang terjadi adalah kita justru bisa tidak dikendalikan oleh ketakutan dipermalukan, ketakutan dikecil-kecilkan atau dipuja-puja, atau apapun.Kita dibebaskan dari itu semua.
Ini sama seperti kalau dalam wilayah yang saya akrab yaitu wilayah akademia; sering kali terjadi kalau kita memperdebatkan teori kita –karya kita seumur hidup– kita suka menaruh ego kita di sana, sehingga kalau teori saya dikritik berarti saya dikritik, kalau saya ditolak berarti saya ditolak. Sekarang bayangkan kalau akademisi bekerja seperti itu, mengirim naskah ke jurnal ilmiah lalu reviewer menyatakan ketidaksetujuan, kritik, memberi masukan, dan kita menerimanya sebagai dibantai. Padahal ini bukan dibantai, ini dinyatakan kekurangannya, kelebihannya, kesalahannya, kebenarannya. Kritik itu kata dasarnya crito, artinya ‘aku menghakimi’ atau ‘aku menyatakan penilaian/pertimbanganku; dan pertimbangan memang bisa posoitif, bisa negatif. Tapi, kalau orang menaruh egonya di sana, begitu reviewer mengatakan, ”Naskahnya buaagusss bener nih, kirim saja ke Stockholm, nanti menang Nobel”, langsung kita rasa di surga; kalau reviewer bilang, “Ini naskah sampah apa, idiot mana yang tulis ini”, kita langsung rasa kayak di neraka. Saya kira, yang seperti itu tidak ada masa depan, itu orang yang nanti akan diperbudak dengan ketakutan, dengan rasa malu. Seharusnya, jalan yang lebih baik adalah ini: ketika reviewer bilang, “Teori goblok macam mana ini, idiot banget, mustinya tidak begini, buktinya ini salah itu salah”, kita akan bilang, “Lho iya ya, koq gua ‘gak lihat semua ini ya, terima kasih banget kamu menunjukkan ini semua, sekarang saya jadi tahu, memang teori saya tolol betul”, dan saya tinggal ganti, itu saja. Kalau reviewer bilang, “Yang kamu temukan ini penting banget, bagus banget, saya tidak pernah baca sebelumnya”, maka kita menanggapinya dengan: “O, kamu tidak pernah baca, jangan-jangan kamu bacanya kurang luas ya”, atau: “Kamu bilang ini penting banget, mungkin juga ya, coba beritahu saya pentingnya apa”, “O, benar juga ya, penting ya”, dan seterusnya. Jadi, kita melihat karya kita dengan tidak menaruhnya di dalam diri sebagai bagian dari diri kita, melainkan kita taruh di luar diri kita sebagai bagian yang kita amati juga. Dan, bukankah akademisi yang seperti itu menghidupi karya-karya penelitiannya secara bebas? Dia bebas berkarya, bebas berpikir, bebas menjadi. Dia orang yang merdeka.
Sebaliknya, bayangkan orang yang mau release filmnya, bukunya, atau apapun karyanya, lalu dia begitu deg-degan, ‘kalau nanti orang menertawakan, bagaimana ya; kalau orang menolak, bagaimana, ya’. Di sini saya akan bilang memang wajar kamu deg-degan, itu natural, tapi kamu harus menyadari bahwa itu adalah karena kamu hidup dalam perbudakan –perbudakan ketakutan. Dan, Tuhan bisa membebaskan kita dari perbudakan ketakutan terhadap manusia, bukan dengan menjadi kurang ajar, melainkan dengan kita dibebaskan dari diri kita sendiri yang ingin mendirikan dan menerima diri kita atas penerimaan orang lain, kekaguman orang lain, atau jangan-jangan atas penghinaan terhadap orang lain, ‘saya bisa menghina orang, maka saya terhormat’. Kita dibebaskan dari itu. Dengan cara apa? Dengan cara ini: kita dibebaskan untuk menyembah, kita dibebaskan untuk menjadi takjub. Kepada apa? Kepada sesuatu yang bukan saya, bukan kamu, bukan kita, melainkan sesuatu yang lebih tinggi dari manusia, yakni kalau dalam hal akademia adalah kebenaran, pengetahuan, hikmat, keindahan, kebaikan, keadilan; atau sebagai orang Kristen, yakni: Tuhan.
Kita dibebaskan untuk takjub kepada Tuhan, maka kita bisa dibebaskan juga untuk menjadi manusia –manusia yang punya Allah yang tidak menakut-nakuti walaupun menakutkan, manusia yang punya Allah yang mengatakan, “Jangan Takut”, manusia yang punya rasul-rasul yang berdoa kepada Tuhan agar diberikan courage. Istilah courage (ada kata cor di dalamnya), artinya hatiku bisa kutampilkan di luar –kamu boleh melihat isi hatiku. Kamu boleh suka, kamu boleh tidak suka, kamu boleh benci, kamu boleh cinta, itu tidak masalah terlalu besar; ini boleh kamu nilai sebagai benar atau salah atau apapun, silakan, tidak apa-apa, dan itu pun jadi masukan untuk saya pertimbangkan, karena saya adalah orang yang mengalami ditebus oleh Tuhan di dalam Yesus. Saya kira itulah sikap yang benar, yang kita bisa pelajari dari catatan Lukas pasal 4 ayat-ayat yang terakhir ini; dan itu semua membebaskan kita. Kita tahu, Yusuf Barnabas di bagian ini menjadi anak penghiburan yang murah hati. Jadi, orang-orang yang menghidupi ketakjuban itu, orang-orang yang hidup dalam ketakjuban kepada Allah dan dibebaskan dari ketakutan kepada manusia, mereka menjadi orang yang murah hati. Kita jarang mengaitkan kemurahan hati dengan ketakjuban; kita biasa mengaitkan ketakjuban atau tidak takut, dengan berani –misalnya berani melawan Romawi. Memang mereka berani untuk mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan Bait Suci atau Romawi, tapi Lukas mencatat sesuatu yang menarik di sini, yaitu mereka jadi murah hati. Untuk menjadi murah hati, butuh keberanian; dan keberanian muncul karena kita adalah orang-orang yang takjub kepada keindahan dan kebaikan Allah.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading