Bagian yang sudah kita baca ada pararel dengan Matius, Markus dan bahkan Yohanes, meskipun kalau kita bandingkan secara pembahasan Lukas berada diantara Matius Markus yang membahas lebih elaborate dan Yohanes yang omit bagian-bagian tertentu dari catatan ini, sehingga kalau kita melihat di dalam LAI tidak diberikan pararel dari injil Yohanes, tetapi hanya disertakan Matius dan Markus. Masing-masing penginjil mempunyai perspektifnya sendiri yang tidak dilihat atau ditekankan oleh penginjil yang lain sehingga kita bisa melihat gambaran keanekaragaman dari profile Yesus yang satu itu, termasuk pada bagian yang sudah kita baca. Kata sederhana seperti yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, istilah ‘biasa’ yang sesederhana itu pun sudah memberikan certain signal di dalam injil Lukas, di situ digambarkan lalu pergilah Yesus keluar kota sebagaimana ‘biasa’.
Istilah biasa itu adalah istilah yang bukan biasa-biasa saja, tetapi istilah yang penting untuk Lukas. Waktu Lukas membahas tentang spiritualitas, itu menekankan pentingnya pengulangan, repetisi, kalau kita boleh mengkaitkan dengan filsafat Yunani yang juga menekankan hal seperti ini, seperti Aristoteles waktu membahas tentang pendidikan sangat menekankan pentingnya ulangan-ulangan, repetisi, lalu kemudian itu menciptakan habitus dan habitus itu kemudian menciptakan karakter seseorang. Jadi ulangan, ulangan di dalam pengertian positif, bukan ulangan, ulangan rutinitas sampai orang akhirnya jadi mekanis, jadi tidak sadar lagi apa yang dia lakukan, bukan dalam pengertian ini, tapi dalam pengertian positif. Melalui pengulangan-pengulangan membentuk habitus lalu kemudian itulah yang menjadikan manusia memiliki karakter, karena sudah terbentuk dari pengulangan kebiasaan-kebiasaan itu. Nah ini ada di dalam wilayah respon terhadap anugerah umum, tidak harus dicurigai sebagai sesuatu pengajaran yang defective atau bahkan sinful, salah dsb., meskipun ditulis oleh Aristoteles tapi ada certain kebenaran di dalamnya.
Diantara injil yang sangat menekankan pengulangan-pengulangan ini adalah Lukas, seperti Thomas Kempis dalam bukunya imitation of Christ, dia menulis dalam bukunya bad habit, kalau kita memilik kebiasaan yang buruk, itu bisa dikalahkan dengan kebiasaan yang baik. Memang sih idealnya, saya berdoa satu malam setelah itu kebiasaannya berhenti semua, bukan tidak mungkin seperti itu, tetapi tidak mutlak harus seperti itu, mungkin nanti kita bisa kecewa, kalau kita sudah biasa melakukan kebiasaan yang kita tahu tidak sehat, tetapi kita minta dalam doa, sekali berdoa kita berharap kebiasaan itu menyingkir dari kehidupan kita selama-lamanya, lalu kita mengharapkan pengalaman Paulus, hitam putih. Sekali lagi, bukan tidak mungkin, tetapi Tuhan membentuk kita dengan cara yang rather natural itu, and yet bukan tanpa pertolongan supernatural, yaitu melalui wayout repetition, melalui pengulangan. Misalnya seperti sangkal diri memikul salib setiap hari, ini kan repetisi, bukan hanya memikul salib di dalam pengertian general seperti dalam injil yang lain, khas Lukas dia menulis setiap hari, Lukas juga menulis dalam doa Bapa kami tentang give us our daily bread, itu ada perbedaan antara Maitus dan Lukas. Kalau Matius menulis, berikanlah kami makanan kami pada hari ini, present time, sementara Lukas mengatakan, berilah kami roti hari demi hari, day by day, di situ kita melihat prinsip pengulangan.
Sehingga waktu kita membaca ayat 39, Yesus keluar kota sebagaimana biasa, ini habitus dari Yesus pergi ke bukit Zaitun, ini bukan satu pengalaman yang mendadak dia kena bencana lalu setelah itu mencari satu tempat yang luar biasa sunyi dan mulai berdoa dengan intens. Mirip seperti saudara dan saya, kalau ada persoalan kita mulai cari tempat sunyi untuk berdoa dengan intens padahal biasanya kurang berdoa dsb., tetapi itu sama sekali bukan gambaran dari Yesus Kristus dan itu sangat ditekankan oleh Lukas. Penting sekali bagi Lukas untuk menggambarkan profil dari Yesus yang sudah menjaga habitus ini, sebagaimana biasa, Dia biasa ke bukit Zaitun itu, sekali lagi bukan karena Dia sudah tahu akan ditangkap dan sudah mau mati lalu mendadak ada intensifikasi prayer. Demikian juga kalau kita membaca agaknya Lukas meng-omit bagian-bagian yang bisa berpotensi untuk mengganggu profil yang ingin disajikan oleh Lukas, seperti dalam ayat 41 Dia dikatakan duduk dan berdoa, tidak ada istilah Dia jatuh ketanah seperti yang digambarkan oleh penginjil yang lain (ini tidak ada kontradiksi), kita harus terima keduanya sebagai historis dan betul-betul terjadi seperti itu, tetapi Lukas tidak tertarik menuliskan jatuhnya Yesus ke tanah, simply digambarkan Dia berlutut sebagaimana biasanya Dia berlutut, sebagaimana biasanya Dia berdoa, tidak ada yang luar biasa di sini.
Sekali lagi dalam ayat 39 menggambarkan bagaimana Yesus biasa di dalam kebiasaanNya menuju bukit Zaitun, murid-muridNya juga mengikuti Dia dan kalimat yang penting di dalam ayat 40, berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan. Undangan untuk berdoa bukan hanya pada saat-saat waktu pencobaan hampir datang, bukan, kalau seperti itu sudah terlambat, dalam perspektif Lukas, Yesus sebagai sosok yang terus-menerus berdoa, gambaran Yesus sebagai Man of prayer sangat menonjol di dalam Lukas. Berdoa sebagai satu life style, ada satu kutipan bagus yang saya baca dalam facebook reformed injili, dituliskan, kalau kita berdoa waktu kita di dalam trouble kita itu ada di dalam trouble, maksudnya kita tidak seharusnya berdoa hanya waktu kita di dalam trouble, kalau berdoa pada waktu trouble itu telat dan orang seperti itu oportunistik, itu mirip seperti seseorang yang menelopon kita ketika dia butuh sesuatu, itu kan menjengkelkan. Waktu kita berdoa kepada Tuhan hanya waktu kita di dalam persoalan, sebenarnya kita sedang mengembangkan satu spiritualitas yang tidak sehat di dalam kehidupan kita sebagai orang percaya. Dan di sini Lukas menggambarkan profile Kristus sebagai sosok yang berdoa bukan karena sedang ada trouble, tetapi Yesus memang adalah Man of prayer dan bukan juga karena inilah saat pencobaan, sebelum-sebelumnya tidak ada pencobaan, jadi Yesus tidak berdoa, tidak seperti itu.
Kalau kita melihat gambaran Lukas, itu sangat menarik, ini bedanya Yesus yang visioner, ada orang yang bisa melihat ke depan dengan yang sekedar pengikut, sebagian orang kita tahu visioner, certain orang itu tidak punya penglihatan hanya following orang-orang yang visioner, begitu kan ya? Apa beda orang yang visioner dengan hanya pengikut? Salah satunya di dalam kehidupan doa, kalau kita melihat di dalam kehidupan doa Yesus, setiap kali Yesus berdoa lalu setelah itu menyusul event yang sangat penting, setelah Yesus berdoa kemudian Dia memilih murid-muridNya, dst., doa dari pada Yesus itu menciptakan event yang besar. Tetapi pengikut, orang yang bukan visioner selalu terbalik, ada event besar baru ramai-ramai berdoa, mari kita doakan untuk event ini, kita tidak tahu apa-apa, kita hanya diberitahu untuk mendoakan itu, ya memang hal seperti itu juga bagus dari pada tidak mendoakan sama sekali. Tapi bedanya orang yang visioner dan tidak visioner adalah orang yang tidak visioner itu ya hanya mengikut dari belakang, dia tidak ada gerakan dari doanya, Yesus mengajak kita untuk memiliki pengalaman seperti ini, saya bukan mau mengatakan setiap orang harus jadi entrepreneur, bukan itu point-nya, setiap orang harus menjadi bos rohani dan tidak boleh mengikut siapapun, karena pada dasarnya kita semua harus menjadi visioner, bukan itu pesannya. Tetapi di dalam arti bahwa ada sesuatu yang salah kalau kita tidak ada pengalaman doa yang menciptakan gerakan pekerjaan Tuhan yang Tuhan ingin nyatakan kepada kita dan Tuhan ingin kerjakan melalui kita. Sehingga kehidupan kita seperti anak kecil, selalu harus diberitahu oleh orang lain, harus begini ya, harus begitu ya, orang lain yang berdoa dan digerakkan Tuhan lalu orang lain itu memberitahu, harusnya begini dst., jadi seperti anak kecil.
Kita pasti selalu ada tempat-tempat yang kita perlu diberitahu oleh orang lain supaya kita tidak jatuh ke dalam dosa pride atau yang lain, tapi bukan itu yang ingin ditekankan, yang ingin ditekankan di sini adalah pengalaman rohani yang dalam dan kaya seperti Yesus yaitu kuasa doa yang menciptakan event yang penting, satu kejadian pekerjaan Tuhan. Waktu Tuhan ingin menyatakan karyaNya terlebih dahulu menggerakkan orang untuk berdoa, mempersiapkan karya itu terjadi dan yang berdoa di sini adalah Yesus Kristus. Sehingga Yesus betul-betul bisa menjadi model di dalam kehidupan kita, bukan hanya dalam kehidupan doa, tetapi juga bagaimana kehidupan yang terlibat di dalam pekerjaan Tuhan, bukan tanpa doa. Ada orang yang tidak berdoa tetapi masih bisa juga terlibat di dalam pekerjaan Tuhan itu sendiri, tetapi dia tidak menikmati keindahan dari pergumulan berdoa, sampai akhirnya Tuhan mendengar dan melibatkan, itu di dalam hal ini betul, memang tidak mengalami yang terbaik. Terbaik itu bukan barangnya, bukan apa yang kita terima, tetapi persiapan hati sendiri itu juga bisa menjadi kategori terbaik atau tidak terbaik. Kalau menerima, kita sih mungkin menerima, banyak hal yang kita terima di dalam kehidupan kita juga tidak terlalu berdoa kan ya? Kesehatan Tuhan perliharakan, kita tidak setiap hari juga berdoanya, tetapi Tuhan berikan kesehatan? Memang betul tidak tergantung doa kita kok, teologi reformed selalu menekankan seperti itu, Tuhan memberikan kalau Tuhan mau memberikan, Tuhan memberikan dengan atau tanpa doa, Tuhan akan tetap berikan, Dia sovereign, tetapi betul juga di dalam pengertian waktu seseorang tidak pernah meminta, waktu seseorang tidak pernah bergumul di dalam doa, waktu dia menerima pun, dia juga tidak akan terlalu menghargai, akan cenderung mungkin take it for granted dsb., dia sendiri mungkin unprepare untuk menerima, malah nantinya berkat itu jadi kecelakaan dst.
Kembali pada bagian ini, Yesus mengajak kita untuk berbagian di dalam kehidupan doa, yang merupakan bagian dari keterlibatan di dalam pekerjaan Tuhan selanjutnya, setelah Yesus berdoa lalu muncul sebuah peristiwa penting. Setelah Yesus berdoa terjadi penangkapan, terjadi penghianatan, kalau kita berdoa lalu setelah itu Tuhan gerakkan pimpin kebangunan rohani yang besar, wah itu gambaran positif, tetapi setelah kita berdoa lalu kemudian rumah ludes dimakan api, siapa yang mau seperti itu? Ini kira-kira comparable dengan apa yang terjadi di sini, Yesus berdoa setelah itu Dia akan menyelamatkan seluruh dunia, eh yang terjadi adalah Dia ditangkap dan dibunuh. Gambaran pekerjaan Tuhan itu tidak harus di dalam pengertian seperti yang kita mau, yang menyenangkan kita dsb., karena di sini konsisten, setelah berdoa betul-betul terjadi satu peristiwa penting yang merupakan bagian dari rencana keselamatan yang dikehendaki oleh Bapa, tetapi yang Yesus sendiri harus suffer di dalamnya, itu bagian dari persiapan doa ini. Doa menolong kita untuk tidak jatuh ke dalam pencobaan di dalam arti waktu kita dicobai kita tidak jatuh, ini bukan di dalam arti setelah kita berdoa pencobaan tidak akan datang, karena kalau kalimatnya dimengerti seperti itu, sebenarnya doa Yesus sendiri juga gagal, karena setelah Yesus berdoa kan datang pencobaan. Ini bukan berdoa yang kemudian pencobaan jadi tidak ada di dalam kehidupan kita, bukan, tetapi berdoa ketika pencobaan itu datang kita tidak jatuh ke dalamnya, maksudnya di dalam pengertian di dalam pencobaan itu akhirnya jatuh.
Lalu dikatakan, Yesus berlutut seperti biasanya, tidak ada sesuatu yang luar biasa di sini, intensifikasi berdoa seperti biasanya dan waktu kita membaca ayat 42, pergumulannya seperti juga tidak se-intens seperti yang digambarkan oleh penginjil yang lain, seperti “mudah” pergumulannya, ya Bapa jikalau Engkau mau ambillah cawan ini dari padaKu, tetapi bukan kehendakKu melainkan kehendakMu yang terjadi. Di dalam injil yang lain waktu Yesus berdoa dikatakan bolak balik sampai tiga kali, tetapi di sini tidak ada catatan itu, Yesus hanya datang sekali, Lukas tidak terlalu tertarik menggambarkan pergumulan itu dan waktu kita membaca sampai ayat 42, gambaran penyerahan diri dari Yesus itu seperti sederhana sekali. Ini profil yang mau digunakan oleh Lukas yaitu gambaran Yesus Man of prayer yang sudah biasa berdoa dan karena itu Dia sudah melatih diriNya di dalam saat-saat berat seperti ini, pergumulan yang paling berat Dia tetap juga bisa menyerahkan diriNya ke dalam kehendak Bapa, karena sudah ada habitus itu tadi, ada repetisi di dalam kehidupanNya. Kalau kita tidak melatih diri, ada banyak hal di dalam kehidupan ini bisa menjadi menjadi shock, di dalam banyak hal, orang yang sudah biasa hidup foya-foya, yang biasa hidup extravaganza, begitu keadaan ekonomi berubah dia shock, dia totally unprepared karena memang tidak melatih diri. Orang yang tidak berdoa, yang jarang berdoa, yang tidak tertarik untuk berdoa, waktu ada di dalam satu kehidupan pencobaan, pencobaan bisa sangat mengagetkan dia, karena dia tidak melatih dirinya. Persis seperti orang yang tidak pernah melatih badannya, lalu tiba-tiba disuruh angkat beban yang berat sekali, dia tidak mampu melakukan itu, karena tidak pernah melatih dirinya.
Di sini gambaran di dalam ayat 42 digambarkan setidaknya sebelumnya tidak ada pergumulan yang terlalu intens yang dibicarakan di sini oleh Lukas, meskipun kita harus segera menambahkan, kita akan mendapatkan di dalam ayat 43 dan 44, tetapi itu dalam agenda yang lain. Kalau kita mau tampung message-nya tidak kalah indahnya kalau dikatakan sebelum dan sesudah, sesudah di dalam arti bahkan setelah penyerahan diri, bukan berarti seseorang itu terus tidak ada pergumulan lagi. Ini gambaran yang paling kacau, orang yang tidak ada pergumulan sama sekali, tiba-tiba berserah diri, penuh dengan iman, ini unrealistik kan ya? Lalu ada orang menggambarkan sebetulnya bukan begitu, sebelum orang menyerahkan diri, pergumulannya itu panjang, sampai akhirnya dia bisa menyerahkan diri, ini gambaran yang lebih bagus kan? Tetapi coba perhatikan, setelah berserah biasanya apa? Orang expect sudah berserah yang berserah dong, jangan balik lagi, kan pergumulan sudah lewat? That not the case, itu bukan case-nya bahkan dengan diri Yesus sendiri.
Coba kita perhatikan ayat 44, Ia sangat ketakutan dan makin sungguh-sungguh berdoa, itu ditempatkan oleh Lukas setelah Yesus menyerahkan diri dalam ayat 42, tetapi bukan kehendakKu melainkan kehendakMu yang terjadi, apa maksudnya? Setelah penyerahan diri masih boleh tetap ada pergumulan. Salah kalau orang mengatakan, kamu sudah selesai berdoa, sudah amin, ya sudah lepaskan semua, beban sudah ditanggung Yesus, kenapa pikul lagi? Ya memang kalimat itu ada betulnya, kalau kita tidak betul-betul percaya di dalam doa, sebetulnya tidak ada pemnyerahan diri, tetapi bukan berarti setelah orang mengatakan kalimat iman, kalimat yang sudah betul, lalu tidak boleh lagi ada pergumulan, itu bukan di dalam alkitab, bukan versi yang kita baca pada hari ini. Karena itu kita juga tidak ada kesulitan waktu kita membaca kitab Ayub misalnya, pasal 1, pasal 2 sudah bagus lalu penulis Ayub menulis pasal 3, pasal 4 dst., dimulai dengan Ayub yang berserah pada Tuhan, tetapi mulai masuk pasal 3, 4, 5, 6, 7 dst, di situ terjadi perdebatan, bukan hanya dengan teman-temannya, tetapi bahkan dengan Tuhan sendiri, di situ Ayub seperti protes, ini apa-apaan? Tetapi itu justru pergumulan hidup manusia, bukan berarti setelah kita mengatakan kalimat kemenangan itu lalu setelah itu tidak boleh ada lagi pergumulan atau kita harus malu untuk menyembunyikan segala pergumulan, tidak, karena kalau teologi itu benar maka di sini Yesus tidak lulus terhadap teologi itu, kenapa Yesus mengatakan kalimat ini setelah Dia berserah? Hati-hati dengan gambaran spiritualitas yang menipu seperti ini, itu as bad as gambaran pertama yang mengatakan tidak perlu ada pergumulan sama sekali, gambaran yang mengatakan ada apapun kita harus haleluya, harus bilang Tuhan itu baik, dst., tidak perlu ada pergumulan, langsung keluarkan kalimat itu, tidak ada pertanyaan lagi, tidak.
Dalam bagian ini kita melihat Yesus sangat ketakutan dan makin sungguh-sungguh berdoa, lebih heran lagi ayat ini justru ditempatkan setelah seorang malaikat menampakkan diri kepadaNya dan memberikan kekuatan, tetapi setelah itu Yesus sangat ketakutan, ini lebih tidak make sense lagi kan? Penggarapan dari Lukas sangat menarik dan kita percaya semua dipimpin Roh Kudus, bukan kebetulan, mungkin kalau urutannya dibalik lebih enak, pertama Yesus sangat ketakutan, lalu malaikat datang memberi kekuatan, setelah itu baru kalimat ayat 41, ya Bapa bukan kehendakKu melainkan kehendakMu, kalau tahapnya seperti ini kan lebih enak? Tetapi tidak, Yesus mengatakan bukan kehendakKu melainkan kehendakMu, setelah itu malaikat datang memberi kekuatan, lalu Yesus ketakutan dan makin sungguh-sungguh berdoa. Bagaimana untuk mengerti kalimat seperti ini? Salah satu komentator mengatakan, ya inilah penggambaran real true humanity of Christ, ini adalah penggambaran kemanusiaan Yesus yang sesungguhnya, saudara dan saya mendapati diri kita di dalam gambaran seperti ini, hari ini bilang ya Tuhan aku mau menyerahkan diri, sampai keluar air matanya, besok bergumul lagi dan berkata, yang kemarin sepertinya sedang emosional, saya perlu koreksi sebentar, bagaimana ya uangnya tidak cukup, semuanya mahal, akhirnya pikir-pikir lagi, ya itulah saudara dan saya.
Jadi Yesus masuk ke dalam pergumulan seperti ini untuk menyatakan diri saudara dan saya, ya inilah kehidupan kita, tetapi Dia tidak jatuh ke dalam doa. Ya jangan kita judge gambaran ini sebagai satu kekalahan dan ketidaksanggupan untuk menyaksikan pemeliharan Tuhan dsb., tidak, itu kita bisa menjadi Farisi kalau men-judge seperti itu, kita men-judge Yesus tidak mungkin, tetapi seringkali kita men-judge orang lain dengan gambaran itu kan? Sudah tahu jawabannya kok tanya lagi, begitu kan ya? Minggu lalu sudah diberikan jawabannya kok tanya lagi, orang ini bebal kali ya? Hati-hati, kalau orang itu bebal, berarti Yesus juga bebal, kan Yesus sudah berserah kok baik lagi begini, berarti Yesus bebal, kalau kita tidak berani mengatakan Yesus bebal, kalau begitu orang lain juga tidak tentu bebal. Mungkin kesabaran kita sedang dilatih, compassion kita dalam menghadapi orang-orang dalam pergumulan, salah kalau kita men-judge. Orang-orang yang sepertinya mundur lagi, sudah pasti ini bagian dari pada dosa, ini kurang iman, kurang berserah dsb., Yesus bukan kurang berserah, di sini Yesus ketakutan dan Dia makin sungguh-sungguh berdoa, ini bukan gambaran kurang berserah, tetapi merelasikan ketakutanNya yang real itu, agony of soul di dalam sikap berdoa.
Setelah malaikat memberikan kekuatan Dia tetap di dalam keadaan berdoa dan digambarkan peluhNya seperti titik-titik darah yang bertetesan ketanah. Yesus share pergumulan kita yang paling berat, tekanan yang paling berat, Yesus ada di sana. Sehingga tidak ada sesuatu yang asing untuk Yesus yang Dia tidak kenal di dalam kehidupan saudara dan saya, Yesus pernah ada di situ, bahkan lebih dalam dari pada pergumulan kita. Tetapi sekali lagi bagaimanapun ayat 42 itu memang penting, pentingnya kuasa penyerahan diri, bukan kehendakKu melainkan kehendakMu yang terjadi, ya memang tidak harus dimengerti secara instant, begitu bicara kalimat ini semua langsung plong, tidak ada lagi, tidak harus, boleh juga seperti itu, bukan berarti selalu harus curiga kalau terjadi seperti itu, mungkin, tetapi juga tidak mutlak yang di sini pasti terjadi seoerti itu. Pergumulan untuk menyerahkan diri, kita teringat ayat yang penting itu, barangsiapa mempertahankan nyawanya, dia akan kehilangan nyawanya, barangsiapa menyerahkan nyawanya karena Tuhan, dia akan memperolehnya kembali. Yesus sendiri yang mengatakan kalimat itu, Dia sendiri sekarang ada di situ dan Dia mengatakan, bukan kehendakKu melainkan kehendakMu, jadi Yesus menyerahkan hidupNya tidak mempertahankan nyawaNya, Yesus menyerahkan nyawaNya unuk menjadi satu korban bau-bauan yang harum dihadapan Bapa dan kita tahu Dia memperolehnya kembali, kan ada cerita kebangkitan.
Orang yang hidup di dalam kuasa penyerahan diri akan diberkati Tuhan dengan lebih dari pada orang yang terus-menerus ketakutan, mau terlalu banyak kontrol di dalam kehidupannya, akhirnya hanya membuktikan bahwa hidup ini tidak bisa dikontrol. Kalau kita terus-menerus kontrol, paranoia kontrol seluruh kehidupan kita, akhirnya hanya membuktikan bahwa kita harus belajar, manusia itu sebetulnya tidak bisa kontrol kehidupannya. Ini ironi kan, seperti Immanuel Kant yang menulis tentang rasio murni, setelah dia terus menulis, mau membicarakan tentang bahwa Allah itu ada atau Allah itu tidak ada dan berakhir pada kesimpulan, kalau kikta bilang Allah ada, juga make sense ada dukungannya, tapi jangan lupa kalau bilang Allah tidak ada, juga make sense, ada dukungan logisnya juga menurut rasio murni. Terakhir kesimpulannya, menurut rasio murni kita tidak bisa mengatakan kepastian apakah Allah ada atau Allah itu tidak ada, jadi bagaimana? Kita tidak bisa mendekati Allah ada atau tidak ada dengan rasio murni, harus memakai rasio paraktis atau rasio critic of judgement dsb., persis seperti yang dikatakan teologi reformed, memang kita bukan mengerti keberadaan Allah bukan dari rasio murni, memang, dari penyataan alktab, waktu menulis kitab pertama langsung mengasumsikan bahwa Allah itu ada, pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, jadi Allah sudah diasumsikan sebagai Allah yang berada. Kreana kalau tidak berada, bagaimana bisa menciptakan, asumsi genesis, Allah yang berada dan yang menciptakan, bukan hanya berada.
Kuasa penyerahan diri, waktu kita membaca di dalam kehidupan orang-orang yang dipakai Tuhan di sepanjang sejarah gereja, kita akan selalu mendapati bagian kuasa penyerahan diri yang tidak mungkin absen dari kehidupan mereka. Ada orang-orang yang sangat berbakat, tetapi tetap tidak terlalu efektif, kenapa? Karena tidak ada kuasa penyerahan diri, Tuhan mau pakai juga tidak sanggup, karena orang itu tahan juga, kan Tuhan menghargai kebebasannya manusia, kita kan bukan robot, jadi Tuhan respek bagian itu, kalau kita menolak, Tuhan juga memberikan respek terhadap penolakan itu. Karena kita diciptakan sebagai human being yang memiliki free will, tapi orang-orang yang mempersembahkan dirinya betul-betul tidak ada reservation di dalam panggilan apa pun, Tuhan akan memakainya dan sekali lagi di sini Yesus menjadi model untuk saudara dan saya, tetapi bukan kehedakKu melainkan kehendakMu yang terjadi. Kalau kita perhatikan, di sini Yesus bukan tidak punya kehendak sendiri, karena dalam bagian pertama dikatakan, jikalau Engkau mau ambillah cawan ini dari padaKu, tetapi tetap ada submission, tapi Yesus punya kehendak sendiri, ini mau menyatakan bahwa Yesus adalah Pribadi yang utuh, tapi bukan kehendakKu melainkan kehendakMu yang terjadi. Nah di sini kita bisa melihat gambaran penyerahan diri yang sesungguhnya, melalui satu pergumulan atau bahkan setelahnya juga tetap diikuti dengan pergumulan, bukan satu gambaran sinkronisasi impersonal seperti yang sudah pernah kita singgung.
Sinkronisasi, seperti handphone yang disambungkan pakai kabel ke komputer, tinggal dicolok, langsung synchronize, ya memang perlu waktu juga, tetapi sinkron itu hampir tidak ada pergumulannya sih, hal seperti itu tidak berhubungan dengan penggambaran yang di alkitab, karena itu bisa membahayakan. Karena di situ kita punya desire, kehendak dan arah bisa dimatikan, bisa di suppressed, kalau semakin lama di suppressed akhirnya tidak menjadi pribadi yang seutuhnya, Yesus bukan sepert ini, lalu malaikat pasang kabel dilehernya seperti matrix, kemudian Dia bisa berkata, bukan kehendakKu melainkan kehendakMu yang terjadi, padahal sebelumnya Dia tidak tahu apa-apa, tidak ada gambaran seperti ini. Tetapi yang anehnya kita suka dengan gambaran yang seperti ini, waktu kita coba memperlakukan orang lain, dengan model sinkronisasi yang impersonal, highly mechanical itu, sepertinya kita tidak perlu ada diskusi lagi, saya tidak tertarik dengan kamu punya kehendak, kamu juga tidak usah bicara kehendakmu apa, just taat kehendak saya, ya sudah selesai, itu bukan gambaran Yesus dan Bapa.
Nah waktu kita membaca di dalam bagian ini, ada pergumulan, bahkan setelahnya tetap ada pergumulan, tetapi kita juga melihat real atau sincere penyerahan diriNya itu sungguh-sungguh, tapi di sini bukan tanpa kesulitan, sangat ketakutan, makin sungguh-sungguh berdoa, peluhNya menjadi seperti titik darah. Ini jelas bukan mechanical sinkronisasi, bukan, itu tidak mungkin terjadi dan juga tidak works, malahan bahaya seperti ini, kalau kita melihat pengikutnya Hitler, nah itu sinkronisasi mekanikal bukan sinkronisasi personal. Saya bukan against sinkronisasi, saya against sinkronisasi impersonal atau mechanical, dalam bagian yang sudah kita baca, kita tidak melihat sinkronisasi impersonal atau mechanical, sudah tidak usah bicara, saya ini bosnya, kamu tinggal ikut saja, pasang kabel, sudah tidak ada diskusi lagi, kamu tinggal ikut saya, selesai. Yesus ada pergumulan, nah ini yang kita mau belajar di dalam kehidupan kita, ada satu lagu hymn yang berjudul, take time to be holy, yang menarik ada satu tafsiran tentang lagu ini, take time to be holy betul-betul dimengerti sebagai pengertian take time. Take your time, take your time to struggle, take your time to be holy, take your time to synchronize yourself with the will of the Father, take your time, ada waktunya. Nah kita melihat di dalam cerita kehidupan Yesus Kristus yang akhirnya menyerahkan kehendakNya di dalam kehendak Bapa, kita melihat gambaran pergumulan seorang Pribadi dan bukan mesin.
Ada kementar yang menafsir ayat 45 ini, di sini Lukas sangat khusus waktu memberikan gambaran dukacita seperti lebih compassionate dari pada penginjil yang lain, tidur karena dukacita karena begitu sedihnya, mereka seperti kearah depresi, sorrowful dan akhirnya mereka tertidur dalam gambaran itu. Tapi saya ada pendapat yang lain di dalam hal ini, khususnya waktu kita melihat profil dari teologi Lukas secara keseluruhan, kita tahu penginjil yang sangat menekankan sukacita salah satunya adalah Lukas. Pengambaran dukacita tidak harus tidak negatif, meskipun betul juga di sini digambarkan seperti alasan yang lebih subtle, tidur karena dukacita, karena mereka terlalu sedih. Tapi ayat 46 kalimatnya tetap rebuke, tetap satu teguran, berarti sesuatu yang memang perlu dikoreksi, di sini Yesus tidak memaklumi lelapnya mereka karena dukacita, tapi tetap rebuke yang sama dengan yang ada di dalam penginjil yang lain. Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan, kalimat pertanyaan itu, mengapa kamu tidur? Kalau mau dijawab, kami tidur karena terlalu kecewa, karena sorrowful, tapi kalimat itu tidak dicatat oleh Lukas, yang ada adalah teguran Yesus. Tidak benar, waktu kita dukacita hidup tidak semangat lagi, melayani dengan patah seangat, lalu kita minta pengertian dari orang lain, akhirnya lama-lama kita minta simpati, belas kasihan dan pertolongan orang lain, sambil terus menikmati perasaan self pity dan mengasihani diri.
Yesus bertanya, mengapa kamu tidur? Kalau dukacita pun jangan tidur, kamu bukan tidak boleh dukacita, ini against stoicism, yang mengatakan kita harus selalu kuat, kita harus menyembunyikan dukacita kita, itu stoik bukan alkitab, tetapi Yesus mau mengatakan, kamu boleh dukacita tetapi silahkan mengekspresikannya di dalam doa bersama dengan saya. Yesus bukan tidak berdukacita, Dia berdukacita bahkan lebih dalam dari pada mereka, karena di sini yang sedang mengalami sebetulnya adalah Yesus, bukan murid-muridNya. Yang membedakan Yesus dengan murid-muridNya adalah waktu dukacita murid-muridNya tidur, itu bukan berespon dihadapan Tuhan, itu melarikan diri, orang yang dalam kesusahan, dalam kekecewaan lalu tidur itu namanya melarikan diri. Tapi orang yang dalam keadaan dukacita seperti Yesus, Dia mengekspresikannya di dalam doa, doa ratapan, doa lamentasi dihadapan Tuhan, itu tindakan beriman.
Waktu kita membaca ayat 47-53, dalam bagian ini kalau kita melihat ada certain ironi, waktu Yudas mendekati Yesus dengan ciuman, seorang musuh yang mendekati dengan ciuman, sementara Petrus yang menarik pedang. Fenomena itu bisa menipu, ada orang yang bawa pedang tetapi sebetulnya itu menyatakan true affection, cinta kasih yang sesungguhnya kepada Yesus Kristus, tapi ada orang yang datang dengan ciuman seperti mau menyatakan affection, tetapi di sini dipakai untuk mengelabui, bukan affection yang sejati, sebetulnya satu penghianatan melalui ciuman. Di sini ada fenomena yang tidak fit dengan substansi yang ada di dalamnya kalau kita melihat, satu bawa pedang, satu mencium, kalau secara tampak luar kita akan mengatakan, yang mencium yang mengasihi, yang bawa pedang itu yang mau tawuran. Tetapi kenyataannya Yudas yang menghianati dan sebetulnya Petrus yang betul-betul mengasihi Tuhan, meskipun betul juga, waktu kita membaca dalam bagian ini, Yesus stop baik ciuman Yudas dan pedangnya Petrus. Saya baca dalam satu commentary dari Fred Craddock, ada kalimat yang bagus sekali, dikatakan, Yesus menghentikan baik ciuman Yudas yang palsu itu, tapi juga sekaligus pedangnya Petrus yang mewakili jalan manusia untuk menyelesaikan konflilk atau pertikaian selalu dengan violence, Yesus menghentikan keduanya dan Yesus mengkonfrontasi penangkap-penangkapnya itu dengan kebenaran.
Kebenaran apa? Kebenaran yang tertulis dalam ayat 52-53, sebetulnya mereka yang penyamun, tapi mereka melihat Yesus sebagai penyamun, kebenaran apa? Kebenaran bahwa mereka tidak mengenal Yesus dengan tepat dan bahwa mereka juga tidak mengenal diri dengan tepat, itulah kebenarannya, mereka pikir Yesus itu penyamun, itu kalimat dan sangkaan yang salah. Ketika di bait Allah mereka tidak menangkap Yesus kenapa, ya karena belum saatnya Tuhan, mereka tidak punya cukup wibawa, mereka tidak punya kuasa untuk menangkap Yesus di luar saatnya Tuhan. Inilah kebenaan, di sini Yesus mau mengatakan, bukan akhirnya saya kalah dan kamu berhasil menangkap, tapi ini memang adalah saatnya diserahkan oleh Tuhan di dalam kedaulatanNya, makanya Yesus mengatakan, tetapi inilah saat kamu dan inilah kuasa kegelapan itu. The power of darkness, bukan kebetulan mereka menagkap Yesus dimalam hari, seperti dalam Yohanes dikatakan, anak-anak terang itu melakukan perbuatannya di dalam terang untuk mempermuliakan Allah, tapi anak-anak kegelapan melakukan kegiatan di dalam kegelapan, ini seperti bahasa simbolik. Kuasa kegepalan, the power of darkness, mereka sembunyi-sembunyi, termasuk juga Yudas, tidak bisa lebih menyembunyikan diri lagi, menyembunyikan diri dibalik kemunafikan ciuman, pakai topeng yang tebal sekali, seperti gambaran seseorang yang sangat mengasihi Yesus, tetapi sebetulnya tidak, seseorang yang menghianati Yesus, itu kuasa kegelapan.
Ini menjadi satu encouragement untuk kita watu kita hidup mengikut Yesus, kita hidup di dalam transparansi, kita hidup di dalam keterbukaan, bukan hidup di dalam topeng, bukan hidup di dalam kemunafikan, bukan hidup di dalam bungkusan-bungkusan yang akhirnya mengelabui orang lain untuk mengenal kita apa adanya dan juga keluar dari pikiran-pikiran negatif tentang orang lain yang tidak corresponds to reality seperti orang-orang ini yang akhirnya Yesus menegur mereka dalam ayat 52. Kiranya Tuhan terus menolong kita di dalam perenungan saat-saat waktu Yesus akan menyerahkan diriNya, menghembuskan nafasNya, menyerahkan nyawaNya kepada BapaNya. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Jemaat Kelapa Gading