Bagian yang kita baca adalah doa para murid Tuhan Yesus dalam Gereja yang mula-mula; dan kita perlu membicarakan introduksi sedikit alasannya kita mau mempelajari bagian ini.
Kalau kita kembali ke kitab Kisah Para Rasul, biasanya langsung terbayang inilah kitab yang menceritakan asal-muasal Gereja; dan kalau kita kembali ke asal-muasal, biasanya adalah untuk mencari tahu mengenai apa yang asli, apa yang sejak awal, apa yang sejati; maka ini satu hal yang kita juga bisa telusuri waktu membuka pasal ini, mengenai apa tandanya seorang Kristen yang asli/sejati. Ini satu pertanyaan yang perlu kita bahas, karena orang bisa punya pengertian yang berbeda-beda mengenai hal ini. Mungkin ada yang mengatakan orang Kristen yang asli adalah yang percaya doktrin yang benar, yang mengaku iman yang tepat. Orang yang lain mungkin mengatakan itu tidak cukup; orang-orang Kristen yang asli tandanya adalah hidupnya lurus, hidupnya baik. Yang lain lagi mungkin mengatakan orang Kristen yang asli adalah ketika dia menjadi bagian dari gereja yang sejati. Dan seterusnya. Saudara jadi bisa melihat kenapa hal ini kita perlu bahas, karena waktu Saudara mengambil hal-hal seperti tadi sebagai tanda ‘orang Kristen’, cepat atau lambat Saudara akan menemukan ada orang-orang Kristen yang mungkin doktrinnya oke, beres, tapi ternyata ujungnya kayak bukan orang Kristen. Atau, bagaimana dengan orang-orang yang hidup lurus karena hidup lurus ternyata bukan cuma orang Kristen doang. Lalu mengenai menjadi bagian dari gereja, apakah itu menjamin dia anggota Tubuh Kristus yang sejati.
Dalam wawancara katekisasi, saya pernah bertemu seseorang yang ketika ditanya ‘kenapa kamu yakin kamu adalah umat Tuhan’, jawabannya menarik. “Saya ini hanya 90% yakin, Pak, akan keselamatan saya, akan keanggotaan saya sebagai umat Tuhan”. Lucu ya. Lalu dia mengatakan, “Di satu sisi saya tahu itu bukan tergantung karena saya, itu semua anugerah dari Tuhan, dsb. Tapi, di gereja saya yang lama, ada seorang hamba Tuhan yang saya kagumi, seseorang yang bisa jadi model orang Kristen, namun dia lama-lama menyimpang/menyeleweng dari Alkitab; dan saking menyelewengnya, sampai saya merasa harus pindah gereja.” Saudara, ini bukan cerita yang unik; cukup banyak orang mengalami seperti ini, melihat seseorang yang tadinya kita pikir dia pasti orang Kristen tapi ujungnya ternyata kayaknya tidak, lalu kita mulai jadi meragukan diri kita sendiri, ‘kalau orang itu saja, yang kelihatan kayak orang Kristen, atau pemimpin orang Kristen, ternyata akhirnya menyimpang dan melenceng, bagaimana saya bisa yakin akan diri saya sebagai umat Tuhan?’ Itu sebabnya orang yang saya wawancara tadi bilang 90% yakin. Lalu bagaimana menjawab hal ini?
Menjawab hal demikian, kita bisa seperti dalam pelajaran filsafat, yaitu kita perlu membedakan antara tanda yang bersifat ‘harus’ dan tanda yang bersifat ‘cukup’. Apa maksudnya? Contohnya, katakanlah dalam suatu negara ada hukum yang mengatakan “semua dokter medis harus memakai jas putih”; namun tentunya orang yang bukan dokter pun boleh juga pakai jas putih. Dalam hal ini, tanda yang bersifat ‘harus’ adalah seorang dokter harus memakai jas putih, tapi jas putih bukanlah tanda yang cukup untuk memastikan seseorang adalah dokter. Contoh lain, Saudara ikut ujian tertulis dan Saudara ingin mendapat nilai A, untuk itu Saudara harus mengumpulkan kertas ujian Saudara, karena kalau tidak mengumpulkan, bagaimana mungkin bisa dapat A. Tapi Saudara juga tahu, bahwa hanya mengumpulkan kertas ujian tok, itu tidak cukup untuk menjamin Saudara pasti dapat A. Jadi ada bedanya tanda yang ‘harus’ dan tanda yang ‘cukup’. Ada banyak tanda yang ‘harus’, tapi tidak semua tanda yang harus tersebut adalah tanda yang cukup.
Banyak orang mengatakan, “Dulu saya ketemu orang yang kayaknya Kristen, tapi ternyata tidak, sehingga saya jadi ragu akan keselamatan saya sendiri”; dan bagaimana Saudara menjawabnya? Dalam hal ini Saudara harus tanya, ‘apa yang membuat kamu merasa dia itu orang Kristen?’ Orang biasanya jawab, “Karena dia begini, karena dia begitu” –karena dia orang yang percaya doktrin yang benar, karena dia hidupnya lurus, karena dia bagian dari gereja, dst.Saudara, itu semua adalah tanda yang memang harus ada dalam Kekristenan. Seorang Kristen harus percaya doktrin yang benar, seorang Kristen harus hidupnya lurus dan baik, seorang Kristen harus menjadi bagian dari suatu gereja; tapi semua itu bukanlah tanda yang cukup untuk menjamin bahwa seseorang benar-benar orang Kristen. Urusan doktrin, kita harus percaya doktrin yang benar, tapi Yakobus dalam kitab Yakobus pasal 2 mengatakan: “Kamu percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja?—urusan doktrin– Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu” –dan mereka sudah pasti bukan orang Kristen ‘kan. Jadi, doktrin itu harus, tapi bukan hal yang cukup. Mengenai hidup baik dan hidup lurus, kita tahu ada banyak orang non-Kristen yang juga bisa hidup baik dan hidup lurus; dan sesungguhnya kita bersyukur ada anugerah umum, bahwa ada orang-orang non-Kristen yang bisa hidup baik dan hidup lurus, karena kita tidak bisa bayangkan seberapa ngerinya dunia ini jikalau orang-orang yang bisa berbuat baik hanyalah orang Kristen. Jadi, hidup baik dan hidup lurus adalah tanda yang harus ada, tapi juga bukan tanda yang cukup untuk menjamin kekristenan seseorang. Mengenai jadi bagian dari gereja, sama juga. Seorang Kristen harus menjadi bagian dari gereja, tapi toh mimbar, kursi, piano, juga bagian dari gereja, mereka bahkan tidak pernah pulang dari gereja, tapi jelas mereka ‘gak bakal masuk surga ‘kan. Dengan demikian Saudara lihat ada tanda-tanda yang perlu, ada tanda-tanda yang harus, tapi tidak semua dari tanda-tanda tersebut adalah tanda yang cukup; maka pertanyaanya: jadi apa tandanya?
Adakah tanda yang cukup, yang menjamin, yang pasti, yang kita bisa mengatakan, “Inilah orang Kristen”? Jawabannya: ada. Itulah yang kita akan coba lihat dari bagian yang kita baca hari ini. Itulah sebabnya kita kembali ke Kisah Para Rasul, untuk melihat apa yang ada pada mulanya, apa yang sejati yang seharusnya ada, yang bisa cukup menjamin bahwa seseorang adalah umat Tuhan yang baik. Tentu hari ini kita tidak bisa membahas semua tandanya, kita hanya bisa membahas dua hal saja, dan kita akan bertanya ‘tanda itu datang dari mana’.
Tanda pertama, yang kita bisa lihat dari bagian ini adalah bahwa seorang umat Tuhan yang sejati, dia melayani Tuhan secara konsisten, khususnya dalam penderitaan. Pasal 4 kitab Kisah Para Rasul adalah pasal yang cukup berbeda dari pasal-pasal sebelumnya, ini adalah pasal di mana situasi Gereja mulai berubah. Di pasal 1, 2, 3, Gereja-mula-mula hidupnya seakan lurus, tidak ada halangan. Khotbah pertama, 3000 orang langsung bertobat; besoknya khotbah kedua, 2000 orang bertobat. Jadi langsung 5000 orang diselamatkan dalam 3 pasal pertama kitab ini, tapi masuk pasal 4, mulai ada halangan. Petrus dan Yohanes ditangkap, mereka diancam dan dilarang oleh imam-imam mengabarkan nama Yesus. Ini bukan satu kali kejadian yang cuma sementara, karena belakangan setelah pasal 4, hal tersebut terus berlanjut dan makin lama makin parah, bukan cuma ancaman saja tapi juga penganiayaan dan pembunuhan, dst. Dalam hal ini, satu hal yang kita bisa lihat adalah bahwa ini sebabnya orang yang menjual ‘Kekristenan tanpa penderitaan’, atau menjual Kekristenan sebagai sesuatu hal yang akan meminimalisasi penderitaan, adalah penipu dan pembohong, karena jelas hidup Tuhan kita sendiri bukanlah hidup yang lepas dari penderitaan, tapi hidup yang senantiasa jadi saluran berkat melalui penderitaan. Sama juga yang kita lihat di bagian ini, pengikut-pengikut Kristus pun demikian, bahkan polanya mirip sekali dengan Kristus, bahwa penderitaan yang dialami oleh Gereja, itu datang hampir secepat Roh Kudus dicurahkan. Bukankah ini pola yang mirip sekali dengan kisah Yesus Kristus sendiri? Lukas sepertinya sengaja menarik paralel seperti ini. Waktu Yesus Kristus dibaptis, begitu Yesus dibaptis, begitu Roh Kudus turun akan Dia, langsung dikatakan Roh itu membawa Dia ke padang gurun untuk dicobai. Dan, Saudara lihat hal yang sama dalam Kisah Para Rasul, begitu Gereja lahir, Roh Kudus dicurahkan, penderitaan langsung mengikuti. Itu sebabnya dalam bagian pertama ini kita diingatkan, bahwa yang namanya berkat dalam Kekristenan tidak tentu berarti orang Kristen dilepaskan dari penderitaan; memang terkadang bisa saja, tapi janji dalam Kekristenan justru bahwa orang Kristen bisa diberkati melalui penderitaan. Mengapa? Karena memang hidup kita tidak bakal dilepas dari hal ini.
Saudara mungkin mengatakan, “Aduh, koq begitu, sih? Kalau kayak begitu, bagaimana bisa bilang kita sudah mengalahkan kuasa maut, kuasa dosa, dan segala macam? Kalau kayak begitu, ‘kan berarti itu semua masih ada; kalau kayak begini ceritanya, berarti menjadi orang Kristen itu penderitaan dan maut dan tragedi jadinya masih ada dong??” Salah Saudara. Terbalik. Jangan melihatnya seperti itu. Justru kalau tujuan hidup Saudara adalah dilepaskan dari penderitaan, itu berarti dalam hidupmu penderitaan masih sangat berkuasa; Saudara tidak mau dekat-dekat dengan penderitaan, maka berarti penderitaan masih ada kuasanya dong. Misalnya Saudara tidak mau dekat-dekat dengan seekor anjing, itu adalah karena ada taringnya, ada kuasanya. Saudara tidak mau dekat-dekat, Saudara maunya jauh-jauh, tujuan Saudara adalah sejauh mungkin dari kuasa tersebut; dan itu justru berarti anjing tersebut –atau ancaman tersebut, atau pendeitaan tersebut– masih ada kuasanya. Apa tandanya penderitaan justru tidak lagi berkuasa? Yaitu justru ketika kita tidak terlalu anti terhadap penderitaan. Jelas menjadi orang Kristen bukanlah mencari-cari penderitaan, kita bukan orang masokis, tapi kenapa orang Kristen tidak terlalu masalah dengan penderitaan, kenapa tujuan utama orang Kristen dalam hidup ini bukan untuk menghindari penderitaan, adalah justru karena penderitaan telah dipatahkan, karena Tuhan sekarang mengatakan, “Aku sanggup membuat penderitaan bisa menjadi saluran berkat bagimu; dan Aku sanggup membuat engkau yang menderita menjadi saluran berkat bagi orang lain.” Bukankah ini justru tandanya bahwa penderitaan sungguh-sungguh telah dipatahkan kuasanya?? Kalau Saudara terus saja lari dari penderitaan, bukankah itu hanya menandakan bahwa penderitaan masih ada kuasanya?? Jadi Saudara jangan melihatnya terbalik, Saudara harus melihatnya sesuai dengan apa yang Firman Tuhan berikan. Ini poin yang kita sudah pernah bicarakan dan kita hanya perlu mengulang sedikit; yang saya ingin tarik perhatian Saudara adalah untuk melihat bukan cuma cerita realitas orang Kristen akan menderita, tapi terutama mengenai apa respons orang Kristen yang mula-mula ini ketika mereka menderita, bagaimana mereka merespons penderitaan. Inilah yang penting; dan ini yang kita akan lihat. Apa respons para murid ketika Petrus dan Yohanes kembali kepada mereka, lalu menceritakan segala sesuatu yang dikatakan para imam kepala dan tua-tua kepada mereka? Respons mereka ketika mereka menderita adalah: mereka berdoa, mereka datang mendekat kepada Tuhan. Sama seperti tadi Lukas memperlihatkan adanya pola ‘penderitaan yang datang setelah Roh Kudus datang’, yang ternyata menggaungkan pola kehidupan Yesus, kita akan melihat sepanjang khotbah, bagaimana dalam Kisah Para Rasul ini ada terus-menerus gema dan gaung yang sengaja dituliskan dan dirajut dari cerita-cerita dalam Alkitab bagian sebelumnya.
Waktu Saudara lihat orang yang menderita lalu responsnya malah datang mendekat kepada Tuhan, Saudara ingat kisah siapa? Ada banyak, tapi salah satu yang paling jelas adalah kisah Ayub. Ketika Ayub kehilangan segala sesuatu –uangnya, hartanya, keluarganya, dan pada akhirnya kesehatannya– apa responsnya? Responsnya bukan sekadar, “Yah, ora popo; saya tahan” –bukan demikian. Itu ideal dari orang-orang pada hari ini, ‘orang Kristen itu hebat banget, ya, masuk rumah sakit tidak pernah mengeluh’, dsb.; Ayub bukan orang seperti itu, respons Ayub adalah dia protes kepada Tuhan. Kalau Saudara baca kitab Ayub, Saudara tidak akan melihat gambaran orang yang “tahan menghadapi penderitaan”, yang “tidak pernah mengeluh sakit”, yang Saudara lihat adalah orang yang makin lama makin protes tajam kepada Tuhan. Waktu baca pasal per pasalnya, Saudara akan mengatakan, “Ini orang sebentar lagi digamparlah sama Tuhan”, karena dia terus-menerus bertanya, “Kenapa Tuhan? Kenapa Tuhan? Jawab aku!” Dan, dia mengatakan hal-hal yang mulai mengerikan, dia mengatakan, “Allah tidak memberi keadilan kepadaku, Yang Mahakuasa itu memedihkan hatiku!” Namun yang menarik, di akhir ceritanya Allah muncul dan memulihkan Ayub; tapi lebih daripada itu, Allah membenarkan Ayub di hadapan sahabat-sahabatnya. Koq bisa? Ayub ini bukan orang yang tidak pernah mengeluh, ini orang yang ngomel-ngomel terus, bahkan menuduh Allah yang tidak-tidak, sehingga respons kita waktu Allah membenarkan Ayub di hadapan sahabat-sahabatnya itu, mungkin mengatakan, “Apa ‘gak salah??”
Kunci untuk mengerti ini, ada di bagian paling awal. Ketika Allah mengatakan, “Lihat, tidak ada yang seperti Ayub”, Iblis gatel dan mengatakan, “Apakah dengan tidak mendapat apa-apa, Ayub takut akan Allah??” Ini pertanyaan yang sangat tajam. Iblis sedang menuduh Ayub sebagai orang yang taat kepada Allah karena Ayub dapat untung. “Ayub itu bukan seorang hamba, Tuhan; Ayub adalah seorang pelanggan. Ayub mau berbisinis dengan-Mu, karena bagi dia, keuntungan yang dia dapat lebih besar daripada harga yang harus dia bayar, maka Tuhan, coba naikkan harganya, dan kita akan lihat dia bakal pindah toko”. Dengan kata lain, Iblis sedang menuduh Ayub bukan melayani Tuhan demi Tuhan, tapi melayani Tuhan demi dirinya; atau lebih tepatnya, Ayub sedang melayani dirinya dengan menggunakan Tuhan –“Makanya, Tuhan, izinkan saja penderitaan masuk dalam hidupnya, naikin harganya, dan Kamu akan lihat saya benar.” Saudara lihat sekarang, kenapa meskipun kita lihat Ayub ngomel dan bablas bibir terhadap Ayub tapi ujungnya Allah tetap membenarkan Ayub, yaitu karena sepanjang kitab tersebut, meskipun Ayub protes, ngomel, ngedumel, Ayub tidak pernah pindah toko. Dia ngomel dan ngedumel, tapi dia ngomel dan ngedumel kepada Tuhan. Kalau Saudara datang ke satu toko dan Saudara pelanggan di sana, lalu suatu hari harganya naik, Saudara ngomel, “Kenapa harganya naik?!”, tapi Saudara tidak pindah toko dan ujung-ujungnya Saudara beli juga, itu berarti Saudara datang ke sana bukan demi harga. Saudara datang ke sana bukan demi keuntungan, Saudara datang ke sana demi sesuatu yang lain, ‘kan. Saudara bisa lihat, ini berarti repons Ayub terhadap penderitaan adalah apa? Bukan menjauh dari Tuhan, tapi malah membuat dia mendekat kepada Allah. Penderitaan itu malah meng-intensifikasi kehidupan doanya, dia malah ngomel dan ngedumel kepada Tuhan, dia malah membawa semua itu kepada Tuhan. Ini satu hal yang menarik, kita sadar memang Iblis salah mengenai Ayub –itu terbukti jelas– tapi Iblis bagaimanapun juga mengatakan sesuatu yang benar-benar benar di sini, yaitu Iblis tahu satu hal, bahwa kalau seseorang adalah hamba Allah yang sungguhan, itu berarti orang ini harus takut akan Allah meskipun tidak mendapat apa-apa. Itulah tanda sejatinya umat Allah. Itulah tanda yang cukup untuk menjamin bahwa seseorang adalah umat Allah.
Di sini kita mungkin mulai agak nyesel kepingin tahu apa tandanya. Saudara, orang-orang seperti ini, melayani Allah demi Allah; dan berarti salah satu tandanya adalah: dalam masa-masa penderitaan, responsnya terhadap penderitaan akan menujukkan dengan jelas apakah mereka umat Allah yang sejati atau bukan. Saudara, ini mengerikan, dan kayaknya kita merasa lebih baik tidak tahu, karena ini berarti satu hal: kita ini tidak bisa kenal siapa diri kita kalau hidup kita aman damai sejahtera. Saudara tidak bisa tahu sungguh-sungguh apakah Saudara orang Kristen atau bukan, jikalau hidupmu di masa laut yang tenang-tenang saja. Masa penderitaan itulah yang justru akan memperlihatkan dengan jelas apakah Saudara melayani Allah, atau Saudara sedang menggunakan Allah; apakah Saudara sedang mencari Allah untuk melayani Dia karena mengasihi Dia apa adanya, atau karena Saudara mencari sesuatu dari Tuhan, yang bukan Tuhan. Tapi ini satu hal yang membuat kita harusnya juga bisa bersyukur atas penderitaan, karena tanpa penderitaan, bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sungguh-sungguh menginginkan Allah demi Allah dan bukan demi sesuatu yang lain.
Kembali ke Kisah Para Rasul, kita melihat respons dari Gereja-mula-mula. Dikatakan: Ketika teman-teman mereka mendengar hal itu, berserulah mereka bersama-sama kepada Allah, katanya: “Ya Tuhan, Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya” –respons seperti Ayub. Dengan kata lain, penderitaan yang datang ini tidak membuat mereka mengatakan, “Yah, jadi apa gunanya Roh Kudus turun?? Apa gunanya jadi orang Kristen kalau Allah tetap membiarkan hal-hal seperti ini terjadi dalam hidup kita??” –mereka tidak mengatakan seperti itu. Penderitaan tidak membuat mereka menjauhi Allah, tapi malah mendekat kepada Allah. Penderitaan malah meng-intensifikasi kehidupan doa mereka.
Hal berikutnya, kita bukan cuma melihat mereka berdoa, kita perlu juga menelaah apa isi doanya. Kalau kita melihat dari Alkitab doa-doa yang agung, yang penting untuk dilihat bukanlah cuma mengenai apa yang mereka doakan, tapi juga apa yang mereka tidak doakan. Saudara baca lagi doa mereka, dan Saudara tidak menemukan hal-hal yang biasanya kita taruh sebagai hal-hal yang paling utama dalam doa-doa kita; mereka tidak berdoa minta situasi kondisi mereka diubah, mereka bahkan tidak berdoa minta perlindungan. Lalu apa yang mereka doakan? Ayat 29: “Dan sekarang, ya Tuhan, lihatlah bagaimana mereka mengancam kami dan berikanlah kepada hamba-hamba-Mu pedang untuk melawan mereka“ ? Tidak; yang mereka doakan: “… berikanlah kepada hamba-hamba-Mu keberanian untuk memberitakan firman-Mu.“ Lho? Selanjutnya ayat 30: “Ulurkanlah tangan-Mu untuk menyembuhkan orang, dan adakanlah tanda-tanda dan mujizat-mujizat oleh nama Yesus, Hamba-Mu yang kudus.” Dengan kata lain, mereka mengatakan: “Tuhan, lihat bagaimana mereka mengancam kami, pokoknya berikan kepada kami keberanian untuk terus mengerjakan pekerjaan-Mu.” Atau, dengan kata lain mereka mengatakan: “Tuhan, jangan urusan ubah keadaan, itu ‘gak penting; ubahlah kami”. Sekarang situasi politik kita mulai keruh, dan mulai banyak orang yang mengajak doa untuk itu, juga di Persekutuan Doa. Tapi doa tok, itu tidak cukup; Saudara perlu tanya, doa yang kayak apa, doa yang isinya apa. Itulah yang penting. Seringkali waktu mendoakan hal-hal ini, orang Kristen berdoanya supaya situasi bisa di-handle, supaya situasi tetap aman damai, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jarang yang doanya bukan tertuju ke situasi tapi diri, “Tuhan, tolong dalam situasi politik yang keruh, supaya kami tetap berani mengabarkan Injil”.
Namun di sini mungkin Saudara bilang, “Tunggu, Pak, di ayat 30 itu mereka bukan cuma doa minta keberanian, mereka minta Tuhan ubah situasi, Pak; mereka minta mujizat, ‘ulurkan tangan-Mu menyembuhkan orang, adakanlah tanda-tanda dan mujizat’, ini ‘kan berarti minta ubah situasi dong?” Tidak, Saudara. Saudara jangan lupa pengertian mujizat yang alkitabiah, bahwa mujizat dalam Alkitab jarang sekali membuat situasi kehidupan sang pembuat mujizat dari jelek menjadi baik; yang ada, setiap kali sang pembuat mujizat melakukan mujizat, biasanya situasi menjadi jelek. Waktu Maria dan Yusuf mengalami mujizat ‘kelahiran dari anak dara’ –ini mujizat– apa yang terjadi? Mereka diberikan medali? Mereka dihargai orang? Tidak. Mereka digosipin, dihina, diejek. Mereka harus medapatkan stigma yang sampai waktu besar pun Yesus pernah dipanggil ‘anak Maria’, yaitu ketika orang mengatakan, “Bukankah ini anak Maria?” Orang zaman itu tidak pernah disebut anak ibunya siapa, selalu disebut anak bapaknya siapa, maka mengatakan ‘anak Maria’ itu suatu tusukan yang jelas sekali, ‘kita tahu ini anak dari siapa, ini anak MBA’. Itulah hasil mujizat. Saudara lihat juga yang terjadi ketika Tuhan Yesus membuat mujizat demi mujizat, Dia makin diancam nyawa-Nya oleh para imam kepala dan ahli Taurat, dst. Dan, apa yang membuat orang-orang itu ingin membunuh Dia? Mujizat ketika Dia membangkitkan Lazarus dari kubur –itulah mujizat yang membuat Dia harus masuk kubur. Dan, ketika Saudara lihat bagian Kisah Para Rasul ini, kenapa Petrus dan Yohanes sampai diancam, adalah karena mereka melakukan mujizat.
Saudara, mujizat di dalam Alkitab bukanlah sesuatu yang ketika terjadi lalu membuat situasi kita dari jelek jadi baik; kalau Saudara mengerti dalam konteks aslinya, seringkali mujizat itulah yang malah membuat orang-orang Kristen ditangkap dan diancam. Jika kita terjemahkan ke zaman sekarang, ini ibaratnya orang yang berani memberitakan kebenaran, mengungkap korupsi, dan akhirnya dia dibenci banyak orang, lalu dia berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, tolong terus ulurkan tangan-Mu demi kebenaran terus dinyatakan. Tuhan, tolong terus bekerja, tolong bikin mujizat sehingga kepalsuan-kepalsuan bisa selalu terbongkar.” Itulah yang mereka minta. Itulah artinya mujizat. Dan, ini bukan doa untuk mengubah situasi; ini doa yang cari perkara. Tapi itulah doa Gereja-mula-mula; dan yang berdoa bukan hanya segelintir orang, bukan hanya para rasul tok, tapi semua dari mereka, 5000 orang, berseru demikian.
Sekali lagi disclaimer, tidak ada yang salah dengan berdoa untuk kebutuhan kita. Memang doa Bapa Kami juga ada mengatakan ‘berikanlah kepada kami ini dan itu’, tapi Saudara juga tidak bisa menghindar dari fakta bahwa dalam kasus Kisah Para Rasul pasal 4, Gereja Tuhan dalam penderitaan tidak mendoakan hal tersebut. Kenapa? Karena itu memang bukan hal terutama yang kita kejar, jika kita ada dalam hubungan dengan Tuhan yang sejati. Itu sebabnya Saudara tidak bisa tahu apakah Saudara orang Kristen sejati, jikalau hidupmu terus nyaman. Memang hidup itu harus naik-turun, baik-buruk, baik-buruk; dan kalau dalam situasi-situasi seperti ini Saudara tetap melayani Tuhan, itulah tempatnya Saudara bisa tahu Saudara sungguh-sungguh orang Kristen, dan itulah sebabnya Saudara bisa bersyukur dalam segala situasi –termasuk dalam penderitaan.
Saudara, bukankah kita justru paling ter-encourage ketika orang yang selama ini kita lihat kayaknya orang Kristen yang biasa-biasa saja, yang kalau kita ajak ngobrol maka kita tidak mendapat kesan dia orang Kristen yang gimana-gimana amat, bahkan mungkin dia mengatakan, “Saya juga ‘gak yakin sampai seyakin-yakinnya, saya juga ‘gak pernah punya pengalaman pertobatan yang wah”, tapi kemudian ada penderitaan/tragedi dalam hidupnya, dan orang ini kaget karena dia menemukan dirinya tidak marah kepada Tuhan dalam penderitaan tersebut. “Koq, saya tidak ada kepahitan kepada Tuhan; koq, saya bahkan merasakan dalam penderitaan ini Tuhan jadi lebih nyata dibandingkan selama ini.” Saudara memang berduka oleh karena penderitaan, tapi Saudara juga bisa bersyukur, karena lewat momen-momen seperti inilah orang bisa lebih yakin akan siapa dirinya di hadapan Tuhan. Di sisi lain, tentu saja ada orang-orang yang mengatakan, “Dulu saya Kristen, dulu saya rajin pelayanan, dulu saya ‘gak pernah bolos kebaktian, dsb., tapi Tuhan lalu membiarkan hal ini dan hal itu terjadi dalam hidup saya sehingga saya dikecewakan oleh Gereja, saya kecewa melihat orang Kristen yang lain, saya dikecewakan oleh hamba Tuhan, maka akhirnya saya mengatakan, ’apa gunanya jadi orang Kristen??’” Ya, itulah tandanya orang yang tidak melayani Tuhan demi Tuhan, tapi demi keuntungan; dan ketika keuntungannya pergi, Tuhan juga silakan pergi.
Mungkin Saudara mengatakan, “Aduh, ini firman yang keras ya, kurang encouraging ya, masa’ sih penderitaan jadi tolok ukur kesejatian orang Kristen, Pak??” Tapi Saudara coba pikir sebentar; bagaimana kalau Saudara orang yang ada harta, yang ada kesehatan, yang punya koneksi banyak dan teman-teman juga banyak, lalu Saudara kehilangan hartamu, Saudara sakit keras, Saudara kehilangan koneksi-koneksimu, dan teman-teman mulai meninggalkan Saudara, apa yang akan Saudara katakan? Saudara akan mengatakan, “Ya, itu semua teman-teman palsu! Mereka bukan mau saya, mereka mau keuntungan yang mereka dapatkan dengan berteman kepada saya!” Saudara akan mengatakan seperti itu ‘kan? Saudara akan marah, Saudara akan protes; dan Saudara berhak untuk marah. Kalau demikian, kenapa kita tidak bisa terima ketika Allah punya standar yang sama? Kita baru tahu siapa diri kita yang sejati di hadapan Tuhan, justru ketika kita setop menerima berkat, ketika kita menerima tragedi dan penderitaan. Jadi, prinsip ini bukanlah prinsip yang kurang simpatik dengan perasan orang dsb.; prinsip ini justru lahir karena prinsip ini sangat mengerti dan sangat sinkron dengan perasaan manusia. Kita sendiri ‘gak mau digituin, bagaimana dengan Allah?? Itu sebabnya tanda yang pertama; tanda orang Kristen yang sungguhan adalah ketika Saudara melayani Tuhan secara konsisten dalam segala situasi, dalam kelimpahan maupun dalam kekurangan, dalam sehat maupun sakit.
Tanda yang kedua, yang kita lihat di Kisah Para Rasul ini, ada dalam kehidupan doa orang-orang tersebut. Saudara, punya kehidupan doa tok, itu bukan tanda yang cukup meskipun itu tanda yang harus ada. Apa tanda kehidupan doa yang cukup untuk menjamin bahwa seseorang sungguh adalah umat Tuhan? Yang kita lihat di bagian ini, dalam kehidupan doanya mereka berdoa untuk menjawab Tuhan, dan bukan hanya untuk dijawab Tuhan. Maksudnya apa? Kita akan melihat lebih lanjut isi doa mereka di bagian tengah, ayat 24-28: ‘… “Ya Tuhan, Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. Dan oleh Roh Kudus dengan perantaraan hamba-Mu Daud, bapa kami, Engkau telah berfirman: Mengapa rusuh bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia? Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar berkumpul untuk melawan Tuhan dan Yang Diurapi-Nya. Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.’
Ada dua hal dalam doa ini yang kita tidak sadar, dan sebenarnya cukup mengagetkan. Hal yang pertama, yang tidak heran kita ‘gak sadar karena urusannya dengan bahasa asli dan tidak jelas dalam bahasa Indonesia, yaitu ayat pertama doa ini: “Ya, Tuhan Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi”. Istilah ‘Tuhan’ dalam Perjanjian Baru biasanya adalah terjemahan dari kata Yunani, Kurios, istilah yang biasa dipakai untuk ‘kaisar’ (kurios, lord, master, penguasa, majikan, dst.). Tapi dalam ayat 24 mereka sengaja menggunakan istilah ‘Tuhan’ yang lain, yang lebih jarang dipakai, mereka memanggil Allah dengan istilah Despotes. Ini istilah yang menarik, karena dari istilah despotes ini Saudara terbayang istilah despot, seorang diktator –dan kita biasanya tahu istilah despot sebagai sesuatu yang negatif. Dalam terjemahan bahasa Inggris, ada edisi yang menerjemahkan istilah ini dengan ‘Sovereign Lord’. Kenapa pakai istilah Despotes? Karena mereka sedang mau menekankan bahwa Allah, yang kepada-Nya mereka sedang berdoa, adalah Allah yang kekuasaannya berdaulat mutlak layaknya seorang diktator –secara positif tentunya. Pertanyaannya, kenapa mereka merasa perlu menyebut Allah dengan istilah seperti itu? Inilah hal berikutnya yang akan kita lihat, yang seringkali kita lewatkan.
Kalau Saudara membaca ayat 25,26,27, lalu ayat 28, itu sebenarnya plot twist, atau bisa dibilang ‘gak nyambung. Perhatikan ayat 25-26, di situ mereka mengutip Mazmur 2, yang sudah menyatakan bangsa-bangsa rusuh, raja-raja dunia melawan Tuhan. Lalu di ayat 27 mereka membenarkan yang Mazmur katakan, bahwa memang benar sekarang ini Herodes, Pilatus, bangsa-bangsa, dan suku-suku bangsa Israel sendiri melawan Yesus. Namun yang menarik –perhatikan ayat 28– dikatakan bahwa bangsa-bangsa itu, Herodes, Pontius Pilatus, semuanya berkumpul melawan Yesus, untuk ngapain? Dikatakan di situ: ‘untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.’ Hahhh?? Saudara menangkap tidak kalau ayat ini begitu aneh? ‘Ini, Tuhan, musuh-musuh-Mu berkumpul sekarang ini, melawan orang yang Kau-urapi, melawan Anak-Mu; dan mereka melawan Anak-Mu untuk pada akhirnya mengikuti semua rencana-Mu’. Lho?? Saudara mengerti sekarang, kenapa pakai istilah Despotes? Karena memang inilah poin doanya. Saudara jangan salah baca; waktu dikatakan ‘untuk melaksanakan kehendak-Mu’, mungkin Saudara membacanya ‘suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, yang melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan’, dalam arti Yesus yang melaksanakan semua kehendak Bapa itu. Tapi tidak begitu maksudnya. Saudara lihat istilah ‘melaksanakan’ di sini adalah untuk sesuatu yang masih future –‘untuk/mau melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan’– sedangkan Yesus sudah melaksanakannya; jadi ini bukan bicara mengenai Yesus, ini bicara mengenai Herodes dan Pontius Pilatus, dan bangsa-bangsa yang rusuh itu serta suku-suku bangsa Israel yang melawan Yesus, bahwa mereka melawan Yesus untuk melaksanakan segala sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan. Apa maksudnya?? Saudara, itu sebabnya di sini pakai istilah Despotes, karena mereka sedang mau mengatakan, ‘Engkau adalah Allah yang berdaulat’, karena kalau kembali ke Mazmur 2, Saudara memang membaca hal itu. Mazmur 2 membicarakan mengenai bangsa-bangsa yang memberontak, tetapi pemberontakan mereka itu ujungnya memang ada di bawah kendali Allah, bahwa Allah itu berdaulat, dan tidak akan ada segala sesuatu yang terjadi kecuali segala sesuatu yang Allah telah tentukan dari semula, oleh karena kuasa dan kehendak-Nya.
Kalau Saudara melihat Alkitab, ketika Allah bekerja, Dia tidak cuma bekerja dengan cara melawan penderitaan, melawan pemberontakan manusia –meski kadang-kadang ada Dia bekerja seperti itu– tetapi seperti yang sudah banyak sekali kita khotbahkan, banyak sekali bagian-bagian Alkitab yang menceritakan bagaimana Allah bekerja justru melalui penderitaan, melalui pemberontakan manusia. Saudara ingat kisah Yusuf, dia diberikan mimpi suatu hari akan jadi pemimpin atas saudara-saudaranya, sehingga saudara-saudaranya marah akan mimpi tersebut, mereka menangkap dia, menjebloskan dia ke lubang, lalu dia dijual ke orang Mesir, dst. –untuk menggagalkan mimpi tersebut. Namun pada ujungnya, penjualan Yusuf ke Mesir malah adalah jalan untuk mimpi tersebut akhirnya terjadi. Inilah kedaulatan Allah. Kedaulatan yang konsepnya beda dengan kita. Kita selalu pikir, kedaulatan itu kontra –‘Lu mau ngelawan? Gua bisa matiin lu’, itu namanya kedaulatan. Tapi tidak; kedaulatan Allah sangat berbeda. ‘Kamu mau melawan? Silakan lawan, silakan keluarkan semua jurusmu, dan Saya akan pakai semua jurusmu dan pakai semua gerakanmu, untuk pada akhirnya mengalahkanmu’.
Kembali ke Kisah Para Rasul; kenapa mereka mendoakan dengan mengucapkan hal ini, apa tujuannya ada bagian ini dalam doa mereka? Untuk mengerti ini, kita perlu merenungkan sedikit mengenai natur doa. Sering kali kita punya konsep mengenai doa, bahwa yang namanya berdoa adalah untuk dijawab oleh Tuhan; kita berdoa, kita ngomong, lalu nanti Tuhan menjawab. Di sini saya perlu ingatkan, bahwa dalam Alkitab gambarannya tidak sesederhana itu. Seorang teolog, Eugene Peterson, mengatakan konsep tersebut agak terbalik; doa sering kali bukanlah untuk dijawab Tuhan, doa yang sejati malah sering kali sedang menjawab Tuhan. Peterson menjelaskan dengan mengajak kita merenungkan mengenai bahasa. Waktu Saudara kecil belajar bicara, bagaimana caranya? Saudara hanya bisa belajar bicara jikalau ada orang yang mengajak bicara; kalau Saudara tidak pernah diajak bicara, Saudara tidak mungkin bisa mengajak bicara. Anak yang sejak kecil tuli, biasanya tumbuh jadi anak yang juga bisu, karena kalau tidak ada yang masuk maka tidak ada yang bisa keluar. Tentu tidak semua, tapi sulit sekali untuk seorang anak yang tuli sejak lahir untuk kemudian bisa bicara, karena tidak ada input maka tidak ada output. Dengan logika yang sama, kita mengatakan kalau orang hari ini mau mengajar, maka orang tersebut harus bisa belajar. Peterson mengatakan, dalam dunia bahasa, semua orang tahu hal ini, bahwa ketika kita katakanlah memulai pembicaraan, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar memulai pembicaraan; pembicaraan yang kita mulai itu sebenarnya merespons/melanjutkan pembicaraan yang orang lain pernah mulai bagi kita. Tidak mungkin bisa keluar pembicaraan itu, kalau sebelumnya tidak pernah ada orang yang lebih dulu mengajak kita ngomong. Peterson lalu mengaplikasikan hal ini pada doa, bahwa demikianlah juga yang terjadi dalam hal doa. Doa, ketika Saudara berbicara kepada Tuhan, sering kali kita pikir ‘saya bicara, Tuhan jawab, dong’, tapi Peterson mengatakan bukan cuma itu. Doa-doa kita sebenarnya sedang menjawab/merespons apa yang Tuhan katakan lebih dulu; kalau tidak ada yang masuk, tidak ada yang bisa keluar. Allah sudah terlebih dulu bicara kepada kita lewat Firman-Nya, maka kita bisa menjawab/merespons apa yang Tuhan bicarakan. Jadi, Saudara bisa mengerti sekarang kenapa doa Gereja di Kisah Para Rasul 4 mengutip Firman Tuhan Mazmur 2, mereka sedang menjalankan pola tersebut.
Saudara coba bayangkan alternatifnya. Misalkan Saudara berbicara intim kepada seseorang mencurahkan isi hatimu, Saudara menceritakan kisah hidupmu yang indah dan yang jelek, yang bijaksana dan yang kadang-kadang sangat bodoh. Lalu setelah cerita selama 10-15 menit, giliran dia buka mulut, dan dia ngomong hal yang ‘gak nyambung, yang ‘gak ada respons sama sekali terhadap apa yang Saudara barusan ceritakan. Dia berbicara seakan-akan Saudara barusan tidak ngomong apa-apa. Dia tidak mengutip sama sekali apa yang Saudara katakan. Dia tidak mengacu sama sekali pada kisah yang tadi Saudara curahkan di hadapan dia. Dia cuma ngomong mengenai dirinya dan apa yang dia perlukan: “Eh, gua baru lihat ada mal baru buka, di situ jual garam ‘gak ya, garam di rumah gua habis.” Saudara baru saja mencurahkan isi hati, lalu direspons kayak begitu, kira-kira Saudara akan bilang apa? Dan, Saudara sadar tidak bahwa itulah caranya kebanyakan dari orang Kristen berdoa. Kalau ditanya, dari seluruh orang Kristen ada berapa banyak yang berdoa, pasti banyak. Katakanlah 80% orang Kristen berdoa, tapi pertanyaannya, isi doanya apa? Pokoknya ngomongin, ‘aku perlu ini, Tuhan, jawab aku’, ‘situasi hidupku seperti ini, Tuhan, jawab aku’, ‘sekarang lagi kayak begini, Tuhan, jawab aku’, begitukah? Kalau misalnya kita berhadapan dengan orang seperti tadi itu, yang kita baru saja cerita begitu banyak mengenai diri kita lalu dia hanya ngomong kebutuhannya sendiri, Saudara akan anggap ini orang sakit jiwa –tapi begitulah sering kali kita berdoa.
Itu sebabnya Eugene Peterson mengatakan, doa jadi salah kaprah kalau kita berpikirnya doa adalah untuk dijawab oleh Tuhan. Doa harusnya –sesungguhnya– adalah menjawab Tuhan, merespons pembicaraan yang Dia sudah mulai terlebih dahulu di dalam Firman Tuhan. Allah sudah memberitahukan kepadamu kisah-Nya di Alkitab, Dia telah membuka sedemikian banyak pengetahuan mengenai diri-Nya, Dia telah men-curhati kita habis-habisan, dan repons kita apa?? “Tuhan, garam di rumah saya habis euy, saya perlu gula nih”, begitukah? Saudara, inilah sebabnya kita mengatakan doa yang merespons Tuhan adalah tanda dari seorang Kristen sejati, yaitu karena inilah tandanya orang tersebut punya hubungan pribadi dengan Tuhan. Ada timbal balik. Ada dua arah. Tuhan bicara, kita merespons/menjawab. Tapi kalau isi doa kita cuma daftar belanjaan, soal gula habis, telur habis, memangnya Saudara punya hubungan pribadi dengan Hero dan Carrefour??
Itu sebabnya saya sekali lagi mengajak Saudara hadir Persekutuan Doa. Di dalam Persekutuan Doa kita diberikan Firman terlebih dulu, lalu Saudara diajak berdoa, diberikan giliran untuk angkat pokok doa, tujuannya supaya kita belajar berdoa merespons apa yang telah difirmankan. Memang tidak selalu seperti ini, kadang tetap banyak orang yang doanya ‘gak nyambung, yang tidak salah juga karena memang ada tempatnya untuk meminta. Dan jujur saja, adakalanya khotbahnya pun kurang bisa direspons; kita mengakui ada kelemahan seperti itu. Tetapi, dalam momen-momen Persekutuan Doa itu, ada satu dua jemaat mulai berdoa sesuatu, meminta sesuatu, yang merespons firman Tuhan yang telah diberitakan, maka di situlah kita melihat tanda bahwa ini Gereja yang sejati, bahwa jemaat ada hubungan pribadi dengan Tuhan. Kembali ke dalam doa di Kisah Para Rasul 4, itulah yang terjadi; mereka sedang menjawab Tuhan, mereka sedang merespos Firman-Nya –dan Saudara lihat apa efeknya.
Saudara jangan salah, ketika kita merespons Firman Tuhan, bukan berarti kita tidak boleh minta, bukan berarti tidak ada ruang untuk diri kita. Kita lihat di bagian ini, mereka takut, mereka kecut. Mereka tidak akan minta keberanian kalau mereka tidak takut, jadi artinya mereka ini sedang curhat. Mereka juga sedang membicarakan kebutuhan diri mereka, tapi perhatikan, mereka melakukanya dengan pergi ke Alkitab, mengutip Mazmur 2. Mereka bukan cuma ngomong dan menanti-nantikan apa yang Tuhan akan katakan di kemudian hari; mereka berdoa, melihat dan membaca dan mengulang apa yang Tuhan telah katakan di masa lampau, bahwa di Mazmur 2 dan di tempat-tempat lain dalam Alkitab, meskipun bangsa-bangsa rusuh, meskipun raja-raja melawan Tuhan, namun semua itu pada akhirnya hanyalah menggenapi apa yang Tuhan telah rencanakan sejak semula. Bukankah itu yang pada akhirnya mengisi kebutuhan mereka, yang memperkuat mereka? Mereka takut, mereka punya kebutuhan, tapi yang mereka lakukan bukan cuma memohon-mohon minta keberanian, bukan hanya minta dijawab dan diberikan kuasa, yang mereka lakukan adalah mengambil satu bagian kecil dari yang Tuhan telah firmankan kepada mereka, yaitu mengenai kedaulatan-Nya, mengenai kebijaksanaan-Nya, bagaimana Dia bisa mengatur semua ini termasuk kejahatan manusia, di dalam rencana-Nya –dan mereka merespons hal itu di dalam doa-doanya. Oleh karena mereka merespons Tuhan dan bukan hanya menuntut Tuhan merespons mereka, menjawab Tuhan dan bukan hanya minta dijawab Tuhan, hasilnya adalah mereka dikuatkan. Itulah kehidupan doa yang sejati. Itulah kehidupan doa di mana kita bisa dikatakan benar-benar mengenal Tuhan. Sekali lagi, bukankah ini sebenarnya alasannya Alkitab itu berharga, Alkitab itu berkuasa?
Satu contoh yang kita sudah ulang berkali-kali, ketika Saudara menghadapi tragedi dalam hidup, ada anggota keluarga yang meninggal, lalu Saudara mau dihibur; bagaimana cara dihiburnya? ‘Yah, pokoknya Tuhan menghibur kamu’, ‘tunggu penghiburan Tuhan di masa depan’, ‘tunggu jawaban Tuhan di masa depan’, dst.? Abstrak semuanya; dan yang seperti itu, tidak menguatkan, tidak menghibur sama sekali. Padahal, jelas-jelas ada solusinya jika kita kembali ke masa lampau, kembali ke Alkitab. Ketika Saudara kehilangan anggota keluarga dan Saudara membaca Alkitab, Saudara baru mulai sadar bahwa Allah Anak juga kehilangan Bapa-Nya, Allah Bapa pernah menguburtkan Anak-Nya yang Tunggal; demi siapa? Demi Saudara dan saya. Itu kata Alkitab, Firman Tuhan. Bukankah ini yang menguatkan kita, bukankah ini penghiburan yang riil?
Saudara sadar atau belum kenapa Alkitab berharga, kenapa Alkitab berkuasa? Seberapa banyak kuasa yang bisa mengubah hidup kita, yang menguatkan kita, itu ada di dalam Alkitab –tapi kita tidak pernah mau meng-akses. Lalu kita melolong pada Tuhan, “Tuhan, tolong aku, hidupku sangat menderita, aku perlu keberanian, aku perlu kekuatan”. Ironis. Ketika doa-doa kita doa yang God centered, doa yang membicarakan apa yang Tuhan sudah bicarakan, doa yang menjawab Tuhan, doa yang berpusat kepada Tuhan, maka malah justru kebutuhan kita akan dipenuhi. Tapi ketika doa kita me centered, “Aku perlu ini dan itu, garam habis, gula habis, jawab aku, Tuhan”, malah yang kita dapat adalah Tuhan koq diam, Tuhan koq ‘gak ngomong. Kenapa? Karena bukan Tuhan yang diam, tapi Saudaralah yang menutup mulut Tuhan. Jadi salah siapa kita hidup begitu lemah? Kadang-kadang memang salah kita sendiri. Saudara sadar sekarang, alasannya kita yang butuh Alkitab, dan bukan Alkitab yang butuh kita. Kenapa Gereja yang sejati mengabarkan Firman, dan anggota-anggotanya datang dan mendengar, bukan pilih-pilih? Karena kita yang butuh datang, hadir, dan belajar Firman.
Sekali lagi, tanda yang pertama: orang yang konsisten, dalam penderitaan bisa tetap setia kepada Tuhan. Yang kedua: orang yang kehidupan doanya bukan cuma untuk dijawab Tuhan, tapi kehidupan doa yang menjawab Tuhan. Setelah melihat dua tanda ini, sekarang kita ketakutan karena ‘dalam hidup saya kayaknya tidak ada tanda-tanda itu’? Tepat sekali, karena memang itulah pertobatan. Pertobatan bukan terjadi ketika Saudara tahu apa yang harus dilakukan, lalu Saudara melakukannya, dan Saudara diselamatkan. Itu bukanlah pertobatan Kristen. Pertobatan Kristen, langkah pertamanya justru menyadari bahwa kita tidak mampu. Dengan demikian, kalau Saudara merasa ‘mampus gua, semua tanda itu kayaknya ‘gak ada dalam hidup gua, dan kayaknya gua juga ‘gak akan mampu melakukannya’, justru mungkin Roh Kudus sedang bekerja dalam hatimu saat ini. Lalu tandanya dari mana? Bagaimana bisa datang? Apa yang harus dilakukan demi tanda tersebut bisa datang? Ini bukan mengenai apa yang Saudara harus lakukan, bukan mengenai dirimu, Saudara harus melihat apa yang Allah telah lakukan bagimu. Itulah Injil. Dan, apa yang telah Allah lakukan bagi kita, dapat kita lihat di bagian akhir bagian yang kita baca tadi. Ayat 31: ‘Dan ketika mereka sedang berdoa, goyanglah tempat mereka berkumpul itu dan mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman Allah dengan berani.’
Di bagian ini saya ajak Saudara merenungkan istilah ‘goyang’, karena ini bagian yang klimaks. Kita sering kali bingung dengan hal ini, maksudnya apa, apakah ada gempa, dsb. Saudara, waktu kita membaca Alkitab, salah satu prinsip yang paling dasar adalah: jangan membaca Alkitab dengan sudut pandang atau kebiasaan hari ini; misalnya waktu ada istilah ‘goyang’, kita pikir gempa bumi, dsb., yang adalah cara orang zaman sekarang pikir. Kata ‘tempat yang bergoyang/bergoncang’ dalam Alkitab, berarti sedang mengomunikasikan satu hal yang spesifik. Ini bukan sekadar membicarakan urusan geografi yang bergetar, tapi ini satu bahasa yang dipakai untuk menandakan Allah sedang hadir di tengah-tengah umat Tuhan, Allah sedang turun ke bumi. Di Perjanjian Lama, Keluaran 20, ketika Allah hadir di Gunung Sinai, seluruh tempat itu bergoncang. Di Yesaya 6, ketika Allah hadir di bait-Nya dan Yesaya melihat Allah tersebut, tempat itu dikatakan ‘goyang’. Dalam Hakim-hakim ketika Debora bernyanyi, dia mengatakan, “TUHAN, ketika Engkau bergerak dari Seir, ketika Engkau melangkah maju dari daerah Edom, bergoncanglah bumi”. Gambaran gempa bumi sebagai kehadiran Tuhan, punya maksud yang spesifik, karena waktu sesuatu bergoncang/bergoyang, biasanya terjadi ketika ada satu benda yang lebih berbobot/ber-energi yang bertemu/bersentuhan dengan benda lain yang kalah bobot/energinya. Kalau Saudara lompat ke kaca yang tipis, kaca itu akan goyang dan akan pecah, karena bobot/energi Saudara terlalu besar bagi kaca tersebut, kaca tersebut tidak sanggup menerima Saudara. Inilah artinya gambaran gempa bumi sebagai kehadiran Allah, di dalam Alkitab. Setiap kali Dia turun, Dia hadir, kemuliaan-Nya serta keagungan-Nya terlalu berbobot sehingga bumi hampir-hampir tidak bisa menanggungnya. Itu sebabnya waktu Dia hadir di Gunung Sinai, Musa mengatakan, “Jangan sentuh gunung itu; atau kamu akan mati.” Itu sebabnya waktu Musa sendiri minta kepada Tuhan untuk melihat kemuliaan-Nya, Allah mengatakan, “Tidak bisa, nanti kamu mati.” Itu sebabnya Yesaya waktu bertemu dengan Tuhan di bait Allah mengatakan, “Mati aku, aku ini najis bibir; melihat Allah, aku pasti mati.” Saudara, menerima kehadiran Allah adalah sesuatu yang akan menggoncang kita sampai kita jadi bubur –atau sampai jadi abon, kata Pendeta Jadi.
Saudara lihat yang terjadi di Kisah Para Rasul 4, tempat itu bergoncang. Ini berarti dalam doa mereka, Allah hadir, mereka dipenuhi Roh Kudus. Pertanyaannya, koq mereka tidak mati? Bahkan dikatakan setelah itu mereka dikuatkan, dikokohkan, dan mereka mengabarkan Injil dengan berani. Tempatnya goyang/goncang, tapi mereka malah tidak tergoncang. Tempat di mana mereka berdiri tergoncang, tapi mereka malah dikokohkan, mereka malah jadi orang-orang yang tahan goncang, tahan banting. Lucu ya. Koq bisa? Kenapa kehadiran Allah yang Musa pun tidak akan tahan itu, sekarang waktu hadir di tengah mereka, tidak menggoncang mereka sampai mati berkeping-keping?
Jawabannya kita lihat dari yang Lukas rujuk pada kisah sebelumnya. Dalam Matius 27-28, terjadi 2 kali gempa bumi. Gempa bumi yang pertama, ketika Yesus mati; Matius 27, ‘Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya. Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.’ Ada sesuatu yang turun dan bersentuhan; apa yang turun? Di dalam kematian Yesus, yang turun adalah keadilan Tuhan. Murka Allah turun, jatuh, kepada Tuhan Yesus. Penghakiman Ilahi ditimpakan kepada Yesus, sehingga Yesus diguncang sampai mati. Namun ceritanya tidak berakhir di situ; di Matius 28 ada lagi gempa bumi yang lain. Dalam gempa bumi kali ini, malah batu yang menutup kubur Yesus itu terguling keluar, tergoncang keluar. Apa yang diguncang kali ini? Maut. Maut itu diguncang, pecah berkeping-keping. Saudara ingat judul buku yang terkenal itu: “The Death of Death in the Death of Christ”; dan kalau kita mau bahasakan dengan bahasa pembahasan kita hari ini, maka dalam kebangkitan Yesus terjadilah ‘terguncangnya si pengguncang lewat terguncangnya Anak Allah’. Inilah berita Injil; “Aku telah diguncang bagimu, itu yang menjadikan engkau sekarang tahan guncangan”.
Saudara ingin tahu kenapa ada orang-orang Kristen–dan Saudara pun juga bisa–bertahan konsisten melayani Tuhan dalam penderitaan? Kenapa dalam guncangan ada orang-orang Kristen yang bisa tidak terguncang? Seperti cerita saya tadi, kadang-kadang dalam guncangan tersebut kita sendiri dikagetkan, ‘koq saya tidak marah pada Tuhan; koq saya tidak pahit kepada Tuhan meskipun ini begitu menyakitkan; koq dalam situasi seperti ini Tuhan malah jadi lebih riil bagi hidup saya?’ Itu semua tidak tergantung pada kita, itu adalah karunia Tuhan. Tapi kenapa bisa seperti itu? Karena Anak Allah telah diguncang bagimu. Itulah yang membuat hari ini Saudara dan saya bisa jadi orang-orang yang tahan guncangan.
Kembali ke Ayub, setelah ngomel-ngomel pada Tuhan, lalu Ayub mengatakan, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain.” Saudara, di tengah-tengah penderitaan, itulah yang mungkin membuat Ayub bisa konsisten melayani Tuhan, yaitu pengharapan akan Penebusnya yang hidup dan yang tidak mati, pengharapan bahwa dirinya akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Namun Ayub mati sebelum Yesus turun ke dunia –dan dia tetap bisa konsisten; bagaimana dengan Saudara dan saya yang telah melihat sendiri bagaimana Anak Allah telah mati bagi kita dan bangkit bagi kita, yang diberikan kesempatan untuk menghampiri meja Tuhan, yang memegang tubuh Tuhan dengan tangan kita sendiri, dan meminum darah Tuhan dengan tangan kita juga? Saudara, itulah yang menjadi kekuatan untuk kita bisa konsisten melayani Tuhan dalam penderitaan.
Mari kita memohon kekuatan dari Tuhan akan hidup kita, sehingga kita boleh dibentuk menjadi umat Tuhan yang sejati.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading