Minggu lalu kita sudah masuk dalam bagian permintaan, “berikanlah kami makanan kami yang secukupnya”, ada kaitan permohonan datanglah KerajaanMu dengan kebutuhan sehari-hari. KerajaamMu bukan melulu urusan spiritualitas, yang kita anggap hal-hal rohani, lalu kemudian meninggalkan keseharian kita, tidak seperti itu. Tetapi hal-hal yang seringkali dianggap oleh orang-orang kristen yang berpandangan sangat sempit, urusan tentang makanan, uang, kesehatan, pekerjaan, mendidik anak dst., ini seperti hal yang tidak terlalu penting, sekuler dsb. tetapi bagi versi Lukas ini termasuk bagian daripada realita Kerajaan Allah. Maksud dari orang yang mengharapkan datanglah Kerajaan Allah adalah adanya relasi kebergantungan kepada Allah hari demi hari dan itu menjadi gaya hidup, bagian karakter dari kehidupan kita. Seringkali di dalam kehidupan kita, waktu tersedia banyak resources (tidak selalu harus finansial atau makanan), bisa juga resources dalam pengertian lain seperti pengalaman-pengalaman sekuritas. Waktu kita mulai merasa cukup, di situ kita mudah sekali menjadi lengah, lalu berhenti bergantung kepada Tuhan, berhenti meminta kepada Tuhan, berhenti memohon, berhenti mengetok, berhenti mencari atau mungkin juga mencari, mengetok, meminta, tetapi meminta yang agak basa-basi.
Misalnya seperti kita bersyukur pada waktu ada makanan dihadapan kita, itu begitu otomatis, saya percaya seseorang akan memiliki penghayatan yang berbeda pada waktu dia keluar dari sakit penyakit atau pengalaman orang yang di infus berminggu-minggu, setelah itu dokter katakan sudah boleh makan, wah boleh makan hari pertama, ucapan syukurnya akan berbeda dengan orang yang setiap hari bisa makan normal. Kita seringkali tanpa sadar akhirnya masuk bukan dari penghayatan yang keluar dari dalam hati, tetapi agak basa-basi, seperti mesin, yang keluar terucapkan begitu saja ucapan syukur itu. Waktu kita di dalam keadaan secure, terjamin di dalam banyak hal, alangkah sulitnya untuk bergantung kepada Tuhan, jadi bukan hanya bersyukur, bergantung juga. Jadi baik kita secure atau tidak secure, kita harus bersyukur dan bergantung kepada Tuhan, kita tidak bisa menggantikan kebergantungan dengan ucapan syukur, karena ucapan syukur ya ucapan syukur, bergantung ya bergantung, meminta. Seorang pengemis, waktu dia mendapatkan, dia bisa bersyukur, tetapi natur seorang pengemis kan dia harus minta lagi, karena memang pengemis, saudara dan saya adalah pengemis dihadapan Tuhan, karena kita setiap hari membutuhkan anugerah Tuhan yang senantiasa baru dan segar setiap pagi.
Lalu dari repetisi itu, setiap hari, day by day menurut versi Lukas itu tercipta satu habitus, kebiasaan dan habitus itu membentuk karakter, lalu karakter itu tidak mungkin terjadi tanpa pengulangan. Thomas Kempis dalam bukunya “imitation of Christ“ mengatakan, bad habit itu ditaklukkan, diturunkan dari tahta dengan good habit juga, bad habit dikalahkan oleh good habit, jadi Tuhan membentuk kita untuk mengalahkan kebiasaan yang buruk dengan kebiasaan yang baik, lalu disitu membentuk satu karakter. Lukas sangat mementingkan prinsip pengulangan, repetisi, each day, day by day, meminta lagi, memohon lagi dan meminta yang secukupnya, dalam bahasa Inggris dikatakan, give us day by day atau each day our daily bread, tapi bahasa Indonesis menghindari kata yang sama lalu memakai istilah secukupnya, tapi intinya adalah membicarakan porsi yang betul-betul kita butuhkan pada hari itu. Tuhan memberikan kepada kita kecukupan karena manusia seringkali bisa take care keadaan kelimpahan, saya tertarik dengan perkataan Agustinus yang persepsinya sangat radikal (harusnya diterima dengan baik), “sebetulnya harta yang berkelimpahan adalah miliknya orang lain”. Kalau kita berkelimpahan di dalam kehidupan ini, itu sebetulnya bukan barang kita, itu miliknya orang lain, kenapa tidak disalurkan ya? Ini kalimat yang radikal, lalu kita berkata, yaaah… saya salurkan juga lo… bukan tidak saya salurkan, tapi kan saya sedang mempersiapkan hari depan, hari paceklik dst., ini bukan mau mengatakan tidak boleh menabung.
Tetapi sekali lagi, kalau boleh berbicara tentang spirit, tentang sikap hati, ini bukan masalah fenomena menabung atau tidak, itu tidak penting bagi alkitab, alkitab tertarik membicarakan kedalam hati manusia, spiritnya apa? Jangan-jagan ketika saya menabung adalah supaya saya lebih secure, supaya saya itu tidak usah bergantung lagi kepada Tuhan, tidak usah bicara kalimat ini lagi, tentu saja unconciously, kita tidak berani bicara kalimat seperti ini, itu against the bible. Unconciously maksudnya waktu saya menabung, nanti saya ada security, setelah itu saya tidak usah minta tolong orang lain, tidak usah minta tolong siapa pun karena saya self sufficient. Kalau kita secara horizontal tidak bisa bergantung kepada orang disekitar kita, tidak menciptakan suatu suasana kebergantungan, dari unit yang paling kecil sampai di dalam keluarga pun, tidak perlu bicara soal tetangga, kejauhan…. kalau kita tidak bisa menciptakan suasana kebergantungan di dalam keluarga, bagaimana orang tersebut bisa bergantung kepada Tuhan, itu tidak masuk akal, tidak bisa diterima? Orang seringkali mengatakan, saya mengasihi Tuhan dengan segenap hati, tetapi tetanggaku itu begitu menjengkelkan, banyak dosanya, lalu Yohanes mengatakan, omong kosong orang yang bicara seperti itu, “Barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang kelihatan, dia sebenarnya tidak mengasihi Allah”.
Jadi prinsip kaitan antara aspek urusan horizontal yang dikaitkan dengan urusan vertikal, di dalam prinsip yang mirip, meskipun memang Yohanes tidak mengatakan kalimat ini, tetapi kita percaya di dalam prinsip yang mirip, kita bisa perluas: Barang siapa yang gagal menciptakan suasana kebergantungan secara horizontal, setiap orang kalau bisa self sufficient, setiap orang berjuang, kita tidak perlu menolong orang lain dan orang lain juga tidak perlu menolong kita, pokoknya masing-masing berjuang sendiri, lalu bagaimana orang seperti ini bisa bergantung kepada Tuhan? Jangan-jangan dia juga akan berkata kepada Tuhan, saya akan berjuang Tuhan, just give me time, I will try harder, try harder spirituality, contoh: satu film tentang perlombaan lari, ada satu orang yang kakinya terkilir, harusnya dia kan keluar saja, tetapi ternyata tidak, dia membuat orang sampai tergerak, lalu dia mencoba berlari dengan satu kaki, kemudian ayahnya juga turun menopang dst., dari perspektif sang ayah ya kelihatan indah, seperti Tuhan yang menopang kita. Tapi kalau dilihat dari perspektif orang yang sedang berjuang berlari dengan satu kaki, virtue yang bisa kita pelajari adalah perseverance, ketekunan, dia tidak mau kalah, dia tidak mau menyerah, saya percaya ada nilai positif nya. Tetapi juga ada gambaran negatif yang saya kuatir justru bentur dengan gambaran kekristenan, kenapa? Sudah jatuh, masih tidak mau mengakui bahwa dia jatuh, sudah tidak berdaya, tidak mau mengakui bahwa dia sudah tidak berdaya, tidak mau meminta tolong. Itu kan dia tidak teriak minta tolong sama ayahnya, tapi dia coba, coba sampai ada orang yang kasihan lalu menopang dia, ini bukan kekristenan. Cerita seperti diatas jauh sekali dengan ayat 3, berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya, ini berbenturan 180 derajat.
Nietzsche juga keliru dalam mengamati bagian-bagian seperti ini, waktu dia katakan bahwa kekristenan itu mentalitas budak, pengemis, orang lemah, mentalitas orang-orang yang tidak mau try harder. Memang batu sandungan orang beragama adalah di situ, orang sudah berdosa, masih merasa tidak perlu Juruselamat, just try harder dengan perbuatan baikmu, dengan doa puasamu, dengan sedekahmu, just try harder, sampai Tuhan itu tergerak mengampuni dosamu. Tetapi kekristenan kan tidak membicarakan itu, kekristenan membicarakan bahwa saya berdosa, saya tidak bisa keluar lagi dari sini, lalu kita terus berteriak minta, Tuhan berikanlah kami……. semuanya intinya adalah berikanlah kami….., berikanlah kami……….., perlu satu kerendahan hati untuk menghidupi kalimat ini. Sekali lagi, entah dikulkas kita banyak persediaan, entah beras kita ada 3 ton atau hanya 3 sendok, saya percaya ayat 3 yang sudah kita baca adalah ayat yang bisa kita jalani hari ini, karena alkitab sedang membicarakan sikap hati bukan membicarakan fenomena. Ada orang yang miskin secara finansial, tetapi sombong, itu menurut alkitab bukan orang miskin, bukan, dia orang yang merasa dirinya kaya, tetapi ada juga orang kaya yang tidak bermegah di dalam kekayaannya, ada orang yang kaya tahu bahwa sekuritas hidupanya bukan ada di situ, tetapi ada di dalam Tuhan, nah orang seperti ini bukan yang di dalam kategori kaya yang kepada mereka diucapkan sabda celaka, bukan. Alkitab bukan membicarakan fenomena, fenomena bisa menyesatkan, kita seringkali melihat seseorang secara fenomena, tetapi akitab mau melihat kedalaman hati orang, orang ini spiritnya seperti apa dan Tuhan mengenal kedalaman hati kita, sampai membedakannya itu antara tulang dan sumsum.
Lalu bagaimana kalau Tuhan memberikan kepada kita lebih? Ya kembali lagi kepada sikap hati kita, ini kan permohonan, seperti kalimat, jangan membawa kami kepada pencobaan, kita tahu di dalam kenyataannya kita seringkali dipimpin ke dalam pencobaan, ya kan? Jadi harus dibedakan antara permohonan sikap hati kita, bagaimana kita melihat diri ada kaitan sangat erat bagaimana kita menilai diri dengan akhirnya yang Tuhan sendiri hadirkan di dalam kehidupan kita di dalam kedaulatanNya, itu differenting, kita tidak mengurusi bagiannya Tuhan. Bagiannya kita adalah kita meminta makanan yang secukupnya, necessary saja, kalau Tuhan memberikan kepada kita lebih banyak dari yang necessary, itu urusannya Tuhan, mungkin Tuhan ingin membentuk kita di dalam hal yang lain lagi. Tuhan menguji kita, bagaimana orang ini, kalau Saya beri lebih dari pada yang necessary, bagamana sikapnya? Dari diri kita menurut doa ini, kita berdoa untuk kebutuhan yang necessary di dalam limited portion, porsi untuk hari ini, porsi yang lain nanti Tuhan yang akan mencukupkan, kita berdoa lagi dan Tuhan cukupkan lagi. Sehingga setiap hari kita boleh menyaksikan bagaimana Tuhan boleh mencukupkan kehidupan kita, setiap hari menjadi satu pengalaman baru, seperti yang dikatakan oleh penulis kitab Ratapan, kasih setiaMu baru setiap pagi, new every morning, great is Thy faithfulness. Kheset, kesetiaan Allah itu baru setiap pagi, setiap pagi saya ditopang lagi, lagi dan lagi. Orang bisa memiliki perspektif seperti itu kalau belajar, berharap, belajar memohon untuk kebutuhan yang secukupnya.
Tetapi waktu bagian ini hilang, waktu dia mengejar yang bukan secukupnya, tetapi yang lebih daripada secukupnya, maka yang terjadi adalah seringkali akhirnya kita tidak bisa jelas lagi melihat pemeliharaan dan penopangan Tuhan setiap hari. Akhirnya Tuhan yang memelihara dan menopang kita setiap hari menjadi satu gambaran yang abstrak, seperti jadi basa-basi. Kita tahu ada banyak kesaksian yang hanya basa-basi, hari ini saya bersyukur, kalau saya ingat-ingat lagi, saya hitung jari saya masih tetap lima, saya bersyukur, saya agak skeptis terhadap kesaksian yang seperti itu, apakah orang ini benar, jujur dalam memberikan kesaksian itu atau hanya mengada-ngada? Kalau kemarin dia bertemu seorang penjambret dan jarinya hampir dipotong, dia bersyukur jarinya masih ada lima, ya itu mungkin baru real, tetapi kalau tidak, itu kan jadi sulit di dalam kehidupan kita untuk mengucap syukur dalam hal-hal seperti itu. Tapi waktu kita belajar untuk mencukupkan diri kita dengan kebutuhan yang betul-betul kita butuhkan, bisa ada perspektif itu lalu kita menjadi peka lagi bagaimana dulu Tuhan memelihara kehidupan kita setiap hari. Makanan hanya wakil saja, alkitab bukan hanya berbicara tentang makanan, makanan ini adalah salah satu representative untuk kebutuhan kita secara fisik, masih bisa yang lain, bisa kesehatan, finansial dsb. Tetapi waktu kita belajar untuk menggantungkan diri pada Tuhan di dalam hal seperti ini, “secukupnya”, lalu belajar juga untuk melihat Tuhan bagaimana mencukupkan di dalam kehidupan kita setiap hari atau hari demi hari, maka kita akan melihat keindahan kesetiaan Tuhan.
“Dan ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami”, kata sambung “sebab” ini seperti agak sulit diterima menurut iman reformatoris. Dalam bagian ini yang mana lebih dahulu, mana yang penyebab, mana yang akibat? Jadi yang dikatakan sebabnya adalah kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami, lalu akibatnya Tuhan mengampuni dosa kita, ini kan agak terbalik, betul kan? Memang dalam bahasa aslinya dan bahasa Inggris memakai kata sebab. Kita tahu di dalam pemahaman sistematika teologi klasik, kita bisa mengampuni orang lain karena kita terlebih dahulu diampuni oleh Tuhan, sebab Tuhan mengampuni saya, maka saya mengampuni orang lain, betul kan? Tuhan mengasihi saya terlebih dahulu, inilah kasih itu, Allah terlebih dahulu mengasihi kita, lalu kita bisa mengasihi orang lain, juga mengampuni. Tetapi ayat ini membicarakan, tentang ampunilah kami akan dosa kami sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami. Tafsiran yang salah akan mengatakan, oh kalau begitu Tuhan itu sangat conditional ya? Dia baru mau mengampuni kalau kita sendiri juga mengampuni, kalau kita tidak mengampuni, Tuhan tidak mengampuni, ya memang ada ayat seperti itu juga. Ini bagian yang agak sulit untuk ditafsir, especially karena kita sudah seringkali membahas dari perspektif sistematik teologi historikal yang sangat klasik, sehingga kita hampir tidak bisa menerima lagi, akhirnya jangan-jangan terjemahannya yang akan kita koreksi.
Kenapa di sini dikatakan “sebab”? Sekali lagi ayat ini bukan mengatakan bahwa Tuhan itu responsif, kita mengampuni orang terlebih dahulu baru Tuhan tergerak, tertarik mengampuni kita, tentu saja hal ini akan berbenturan dengan begitu banyak ayat yang lain. Konsep God as the initiator itu tidak mungkin diganggu gugat, Tuhan selalu yang memulai terlebih dahulu, Allah terlebih dahulu mengasihi kita sebelum kita mengasihi Dia, bahkan sebelum kita bisa mengampuni, itu clear, jelas tidak usah diperdebatkan lagi bagian itu. Lalu tetap pertanyaannya, kenapa di sini memakai kata sebab? Sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami, ya kita coba mencerna sebaliknya.
Orang yang tidak bisa mengampuni orang yang bersalah kepada dia, orang yang hidupnya banyak dendam tidak bisa mengampuni. Sebetulnya problemnya dimana sih? Kita kan ada pengalaman seperti itu, kita tidak selalu bisa mengampuni orang lain? Ada saat-saat kita perlu waktu untuk bisa mengampuni, mungkin bertahun-tahun baru bisa mengampuni, apa yang terjadi waktu seseorang itu tidak bisa mengampuni orang lain yang bersalah kepada dia? Yang terjadi sebetulnya adalah kita merasa diri kita itu lebih baik dari orang lain, self righteousness, kebenaran diri sendiri, ini orang keterlaluan dosanya, saya tidak bilang saya tidak berdosa loh, saya juga tahu bahwa saya bukan orang suci, saya juga orang berdosa, tetapi orang ini keterlaluan dosanya, keterlaluan kejahatannya, saya tidak sudi untuk mengampuni dia. Artinya saya lebih baik dari pada dia, nah kalau seseorang sudah masuk dalam pemahaman seperti ini, self righteousness, holier than others, lebih kudus dari pada yang lain, bagaimana dia bisa memiliki kepekaan tentang dosanya sendiri? Orang yang self righteousness itu tidak akan melihat dirinya itu perlu pengampunan dosa dari Tuhan, karena dia sudah menempatkan secara rangking hubungan horizontal, sekali lagi horizontal vertikal selalu ada kaitannya, ini yang dimaksud.
Secara horizontal dia sudah menempatkan, ini orang di bawah saya, tidak layak dapat pengampunan, saya memang berdosa tetapi tidak seburuk dia. Nah di dalam penghayatan self righteousness seperti ini, mana mungkin orang seperti ini masih bisa punya kesadaran akan dosanya, lalu minta kepada Tuhan, ampunilah dosa kami, tidak akan. Justru dia akan berdoa, oh Tuhan ampunilah dosanya dia, bukan dosanya saya atau Tuhan tidak usah mengampuni dia sama sekali. Jadi dosa itu tidak akan ditujukan pada dirinya sendiri, karena dia merasa tidak terlalu berdosa, sehingga waktu di sini dikatakan, ampunilah kami akan dosa kami sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami. Mengapa memakai katak gandeng sebab? Karena hanya orang yang tidak punya dendam yang bisa mengampuni kesalahan orang lain, yang bisa punya kesadaran bahwa dia adalah orang berdosa yang membutuhkan pengampunan Tuhan. Ini compatible, ini satu paket, tidak bisa dicabut, tidak ada orang yang memiliki kepekaan akan dosa pribadi tetapi kemudian dia tidak siap untuk mengampuni dosa orang lain, itu tidak compatible, itu sistemnya tidak ketemu.
Yang lebih masuk akal adalah orang bisa memiliki kepekaan akan dosanya dan karena itu dia memohon pengampunan dari Tuhan, karena dia sendiri juga bisa menanggung, melihat waktu orang lain berdosa, dia sendiri juga berdosa, dia tidak lebih baik dari orang lain dan karena itu dia bisa mengampuni, bisa accept, bisa toleransi, bukan dalam pengertian merestui dosa orang lain, bukan. Toleransi itu di dalam pengertian, dia bisa menahan, menggendong, tahu bahwa orang ini memang memiliki kelemahan, tetapi saya sanggup untuk menerima dia apa adanya, sanggup untuk menanggung keadaan, ya termasuk juga dengan kelemahannya dsb. Kepekaan seperti ini, interestingly menurut doa Bapa kami juga dibangkitkan Tuhan melalui kita menyaksikan kesalahan orang lain, ini pendewasaan, kalau kita tidak bisa tahan waktu melihat kelemahan orang lain, ya ini proses pendewasaan kan seperti itu, melihat kelemahan orang lain. Apalagi kalau kelemahan itu adalah orang yang menurut ekspektasi saya harusnya lebih baik dari pada saya, kita kan pernah punya pergumulan seperti ini, kalau orang baru bertobat, apalagi kalau kita yang menginjili lalu dia bertobat, terus dia memiliki kelemahan, pasti kita punya kesabaran kan terhadap dia? Karena dia kan orang baru, apalagi saya yang membawa dia percaya kepada Yesus Kristus, ya kita harus sabarlah, tetapi coba kalau pemimpin rohani kita yang mempunyai kelemahan, wah… repot, kita bisa punya judgemental yang lebih berat, kok dia bisa ya seperti ini, saya tidak habis pikir loh? Dia ini sudah lama loh jadi kristen, bahkan saya dibawa oleh dia untuk percaya Kristus, malahan sekarang dia memiliki dosa seperti ini, wah… sulit untuk mengampuni orang seperti itu.
Tetapi hal seperti ini adalah satu moment pendewasaan dan juga termasuk kesalahan-kesalahan orang lain, witness yang kita lihat itu mengajak kita sebetulnya bukan untuk menyaksikan witness-nya dia, nah ini ujian, waktu kita melihat kelemahan orang lain, dosa orang lain, apakah kita melihat dosa kita sendiri? Apakah kita sadar, ini sebetulnya cermin, tetapi ada orang yang melihat tidak seperti cermin, lalu waktu melihat orang lain berdosa, dia kecewa, disappointed, meninggalkan gereja dsb., ini kan problem klasik. Kenapa tidak mau ke gereja, kenapa tidak mau percaya sama Yesus? Oh… itu loh.. orang kristen itu ngomongnya begini, begitu, tetapi lihat kehidupannya…. wah.. orang seperti ini immature, belum dewasa, itu childish, ini tidak berbicara dari perspektif kristen saja, tapi perspektif lumrah, perspektif hidup sehari-hari, apa sih orang yang dewasa itu? Orang yang dewasa waktu melihat ada anak kecil buang air besar, ya itu kan wajar, dia anak kecil, buang air lalu dibersihkan oleh yang dewasa, ya itu wajar karena dia dewasa. Tapi kalau ada anak kecil buang air besar, dia marah-marah, dia kecewa, kenapa kamu buang air, kenapa kamu ngompol, loh… kalau begini siapa yang anak-anak? Bukankah kamu orang tua, bukankah kamu yang lebih dewasa harusnya mengerti bahwa anak kecil itu akan buang air, mengotori dsb., itu namanya sikap yang dewasa kan?
Ternyata banyak orang yang tidak dewasa, waktu melihat orang lain memiliki kelemahan, memiliki kekotoran seperti metafora anak kecil tadi, dia menjadi kecewa, dia meninggalkan gereja, meninggalkan Tuhan dst., karena dia menolak untuk dibentuk Tuhan menjadi dewasa. Waktu dia melihat kelemahan orang lain, waktu dia witness dari orang lain bukan bercermin, saya ini juga orang yang memiliki dosa dan kelemahan, dan saya menerima dia, saya berdoa juga kepada Tuhan, ampunilah dosa kami sebab kami juga mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami. Hal ini menciptakan satu komunitas, istilah disini kan memakai kata “kami”, termasuk yang sebelumnnya juga, berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya, itu kan komunal dan bukan pribadi. Kalau di versi Matius dari pertama sudah berbicara tentang Bapa kami, our father in heaven, Lukas dalam bagian pertamanya tidak bicara “kami”, tetapi dalam bagian ini permohonan tentang makanan, tentang pengampunan dosa, itu memakai kata “kami”. Artinya ini bukan cuma sekedar personal individual saja, individual, included, saya percaya ada termasuk di dalamnya, tetapi ini mau menciptakan satu komunitas yang mempunyai belas kasihan, lawan katanya adalah komunitas yang judgemental yaitu komunitas yang melihat kelemahan orang lain, langsung menghakimi, langsung kecewa, apa itu, sudah lama jadi kristen kok seperti itu, judgemental community.
Tuhan yang kita percaya ingin menciptakan satu komunitas yang full of compassion, bukan judgemental community, ini adalah satu kesaksian kehidupan kristen yang sangat mempermuliakan Tuhan, kalau kita boleh menyaksikan hidup di dalam komunitas yang compassionate, bukan judgemental community. Sebetulnya ini berbicara sikap hati bukan content yang keluar dari mulut, tetapi sikap hati kita apa, waktu mengeluarkan kalimat seperti itu? Ada mimbar-mimbar yang dipakai untuk menusuk orang dari atas, melampiaskan, karena emosi dari atas lalu memakai otoritas mimbar, judgemental, mungkin content-nya tidak salah, tetapi sikap hatinya jadi tidak karu-karuan. Elisa pernah bergumul di dalam hal ini waktu dia melihat raja Yoram, dia tahu punya kelemahan itu, akhirnya dia memanggil satu orang untuk main kecapi supaya dia bebas dari emosi negatif, lalu setelah itu dia bisa memberitakan firman Tuhan, bisa bernubuat. Bukan berarti semuanya lalu jadi abu-abu, tidak tahu mana yang benar, tidak ada theological decision, ya semuanya somehow ada benarnya-lah, you have your point, I have my point, wah hal seperti ini kacau sekali bukan? Tidak seperti itu, kita tahu ada bagian-bagian pengertian yang memang harus di exclude, bagian-bagian yang salah, bagian-bagian yang keliru, tetapi yang kita maksudkan di sini adalah sikap hati waktu seseorang termasuk memberitakan hal yang benar, yang salah, bukan di dalam sikap hati bahwa saya lebih baik dari pada orang lain.
Hal seperti ini bukan terjadi hanya secara pribadi saja, hal ini bisa juga terjadi secara gereja, secara komunal, kalau secara pribadi, saya lebih baik dari pada orang lain, kalau secara gereja, gereja kita lebih baik dari gereja orang lain, jadi gereja yang judgemental juga, judgemental church, bukan church yang full of compassion. Jangan-jangan waktu kita gagal menghayati bagian ini, sekali lagi, hanya untuk mengkonfirmasi satu hal yaitu kita sangat tertarik dengan spiritualitas yang self righteousness itu. Semua yang lain sudah menyeleweng, semua yang lain tidak ada yang menyembah kepada Yahwe tinggal gereja saya satu-satunya yang menyembah kepada Yahwe, persis seperti perkataan Elia, lalu Tuhan bilang, masih ada 7000 orang yang lain, itu jumlah yang tidak sedikit. Bagaimana mungkin Elia, seorang nabi bisa buta seperti itu, dia tidak bisa melihat pekerjaan Tuhan di dalam diri orang lain yang bukan dia. Dia adalah orang yang dipakai Tuhan, definitely, tetapi bukan berarti lalu seluruh dunia tidak ada yang diberkati oleh Tuhan dan tidak punya hati yang beres dsb., tidak, ini adalah pemahaman Kingdom of God yang kacau, akhirnya membuat kita sulit untuk mengatakan kalimat ini, “ampunilah kami akan dosa kami”.
Tadi saya mengatakan, kita bisa bersyukur secara basa-basi, kita juga bisa mengetok, mencari dan meminta secara basa-basi, kita juga bisa minta pengampunan dosa secara basa-basi, Tuhan ampunilah kami akan dosa kami, kalau dikejar, ditanya, apa sih maksudnya? Dijawab, siapa sih di dunia ini yang sempurna? Itu kan general sekali, ya kan? Ya pastilah saya minta pengampunan dosa kepada Tuhan, kenapa? Ya siapa sih di dunia ini yang tidak berdosa, ya pastilah, ya saya juga pasti berdosa? Kamu berdosa, saya bedosa, ya sudah kita minta pengampunan, ini jawaban yang sangat general sekali, tidak ada sesuatu yang betul-betul mendukakan kita, seperti orang minta sesuatu kebutuhan, tetapi tidak ada betul-betul yang dia butuhkan, just lips service, karena somehow sepertinya saya harus memohonkan kepada Tuhan, Dia yang empunya langit dan bumi, Dia yang menopang alam semesta, ya harus bergantunglah kepada Tuhan, jangan tidak minta? Waktu makan, makan pagi, siang dan malam, harus bersyukurlah, somehow karena ini berasal dari Tuhan, makanya kita harus say grace, acknowledge grace, ya tapi basa-basi. Kita tidak tertarik dengan sikap hati yang basa-basi seperti itu, maka bagaimana mempelajari spirit ini?
Ya ini kan termasuk ekses dari doa Bapa kami, karena sudah ditulis seperti ini, kita tahu ada spiritualitas yang mengajarkan doa Bapa kami diucapkan beberapa kali, saya tidak mengatakan pasti penghayatannya salah semua, kita tidak tahu, itu bukan urusan kita. Tetapi betapa rentannya waktu kita mengatakan kalimat yang sudah ditulis seperti ini apakah penghayatannya ikut atau tidak? Hati kita ada resonansi atau tidak? Berapa dalam waktu saya mengatakan ampunilah kami akan dosa kami? Self knowledge kita tentang dosa itu apa? Atau pengetahuan hanya secara general saja, ya siapa sih yang tidak berdosa? Siapa yang tidak tahu hal ini, tetapi bagaimana penghayatannya? By the way, dosa apa ya, lalu kita pikir-pikir, ya dosa apa ya, apakah dosa terlambat ibadah atau dosa apa ya? Tidak akan tahu juga ada dosa apa kalau permohonannya hanya permohonan yang tidak keluar dari dalam hati yang terdalam.
Dalam Lukas, Tuhan tertarik untuk mencipatakan satu komunitas yang full of compassion, mercy full berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kelemahan. Kalaupun boleh mengatakan gereja yang sempurna atau mendekati gereja yang sempurna, yang berjalan ke arah kesempurnaan, sudah pasti definisinya bukan isinya adalah orang-orang yang nyaris tidak memiliki kelemahan, bukan, itu bukan gereja yang realistis kan ya? Apa sih gereja yang berjalan ke arah sempurna itu? Gereja yang di dalamnya ada orang-orang yang punya kelemahan, masih bergumul dengan kelemahan, tetapi yang di dalamnya juga bersamaan dengan itu ada orang-orang yang bersedia menanggung dengan hati yang luas, itu gereja yang bergerak ke arah kesempurnaan. Jadi bukan gereja yang sama sekali tidak ada kelemahan, itu tidak masuk akal, tidak liveable konsep gereja seperti itu.
Satu lagi masih dalam spirit yang sama, “jangan membawa kami ke dalam pencobaan”, di atas tadi sudah kita pelajari, waktu kita berdoa “berikanlah kepada kami setiap hari makanan kami yang secukupnya”, dari sisi kita, kita meminta secukupnya, mungkin Tuhan akan memberikan lebih, itu urusan Tuhan. Tetapi saya tidak minta yang lebih, saya meminta yang secukupnya saja, waktu Tuhan berikan lebih, Tuhan menganggap kita mungkin atau sekaligus juga menguji, mungkin kita bisa manage stewardship, lalu kita disitu dilihat oleh Tuhan, bagaimana dia akan mengelola yang lebih itu. Saya tertarik dengan tafsiran Calvin tentang bagian yang lebih 12 bakul dari roti yang untuk lima ribu orang, betul memang lebih, semua juga sudah kenyang, semuanya juga sudah tidak perlu lagi, lalu bagaimana? Yang lebih tetap harus dikumpulkan, karena Tuhan tidak mau yang kelebihan itu lalu kita tidak menghargai, akhirnya kita buang, makanya Tuhan katakan, kumpulkan, lalu baru bisa dihitung 12 bakul kelimpahan berkat Tuhan, bukan untuk kita sia-siakan, bukan untuk kita boroskan, tetapi sekaligus menjadi satu pengujian bagi kita.
Kembali ke ayat “jangan membawa kami ke dalam pencobaan”, kita tahu di dalam kenyataan ada saat dimana Tuhan sendiri dalam kedaulatanNya memimpin, membawa kita ke dalam pencobaan. Saya pikir ayat ini bukan di dalam pengertian bahwa karena kita sudah berdoa seperti ini maka Tuhan tidak akan pernah membawa kita ke dalam pencobaan, memang ada ayat di dalam kitab Yakobus yang mengatakan, Tuhan tidak mencobai. Tuhan tidak mencobai itu jangan ditafsir dalam pengertian Tuhan tidak mungkin memimpin kita masuk ke dalam pencobaan, bukan, tetapi di dalam arti, Tuhan tidak mencobai maksudnya adalah Tuhan tidak punya motivasi membawa kita ke dalam situasi pencobaan, lalu dengan punya motivasi supaya akhirnya kita jatuh ke dalam dosa, karena kita dimasukkan ke dalam pencobaan, bukan. Kita tahu dari mana? Karena Yesus sendiri mengalami itu, Roh Kudus memimpin Yesus masuk ke wilderness, ke padang gurun untuk dicobai, maka apa artinya Allah tidak mencobai, bukan dalam pengertian Allah tidak memimpin kita ke dalam pencobaan dalam pengertian itu, bukan.
Jadi apa maksudnya “jangan membawa kami ke dalam pencobaan”? Toh akhirnya mungkin Tuhan juga akan membawa kita ke dalam setting itu, tetapi ini berkaitan sekali lagi dengan spirit kebergantungan tadi, dari pihak saya, saya bukan challenge, bukan menantang pencobaan, menantang penderitaan lebih berat lagi, lebih berat lagi dst., hati-hati dengan spiritualitas seperti itu. Spiritualitas sok kuat alkhirnya nanti jatuh, kita tidak diminta untuk menantang pencobaan, tidak, karena kita tahu keberdosaan kita, ini kan ada kaitannya, karena barusan berbicara tentang ampunilah akan dosa kami. Seolah-olah mau mengatakan, Tuhan, kalau saya mengukur kekuatan saya sendiri, pasti saya jatuh di dalam pencobaan, karena itu kalau boleh, jangan membawa kami ke dalam pencobaan, karena saya tahu siapa saya, waktu diletakkan dalam setting seperti itu saya pasti jatuh, maka jangan membawa saya ke sana. Saya bukan orang yang sombong, yang sok kuat, yang merasa kuat, kirimkanlah kepada saya pencobaan apapun, kalau perlu berlipat-lipat ganda, supaya aku boleh mempermuliakan Engkau Tuhan, wah.. ini gila, kelihatan seperti kalimat yang beriman, tetapi sebaliknya kalimat yang sombong luar biasa.
Kita harus hati-hati dengan kalimat-kalimat seperti itu, kelihatan seperti menyatakan iman yang tinggi, padahal sebetulnya ingin menyatakan pengenalan diri yang sama sekali salah, kalau Tuhan betul-betul menghadirkan kepada kita utusan-utusan iblis, duri seperti itu, kita baru tahu betapa beratnya struggle di dalamnya. Meskipun kita tahu ada saat-saat Tuhan memberikan juga kepada kita seperti itu, tetapi coba perhatikan Paulus waktu dia berdoa, duri dalam daging, tolong Tuhan cabut, Paulus tidak pernah mengatakan, tambah lagi Tuhan, Paulus tidak pernah menantang seperti itu. Paulus tahu betapa sulitnya struggle dengan duri itu, utusan iblis yang datang menggocoh aku, tolong tarik Tuhan, tapi Tuhan katakan, tidak, cukup kasih karuniaKu untuk engkau, itu kedaulatan Tuhan, tapi dari sisi Paulus, dia ingin Tuhan menarik duri itu karena dia sudah tidak kuat. Tetapi Tuhan menghibur, justru di dalam kelemahanmu kuasaKu menjadi sempurna. Puji Tuhan kalau Tuhan masih punya bijaksana seperti ini, di luar bijaksana kita, lalu kita tetap belajar percaya.
Tetapi sekali lagi, dari sisi kita, kita bukan minta penderitaan, pencobaan, kalau boleh bebaskan kami dari pencobaan, Yesus di taman Getsemani pun berdoa, kalau boleh cawan ini lalu dari padaKu, tetapi kehendakMu yang terjadi, bukan kehendakKu. Acknowledgement itu di dahului dengan pengenalan diri yang sangat tepat, mengenal diri, kalau boleh cawan ini lalu daripadaKu, Yesus tidak menantang, kalau boleh cawannya tambahkan supaya lebih mulia lagi, Saya pasti akan kuat, karena Saya Tuhan kok, tidak ada doa seperti itu di dalam kekristenan. Kalau ada doa-doa seperti itu keluar dari mulut orang kristen, hati-hati model spiritualitas yang seperti itu, nanti kalau Tuhan betul-betul utus iblis di dalam kehidupan kita, kita baru tahu, betapa babak belur kita di dalam keadaan seperti itu. Maka jangan menantang, ini bagian dari pada spiritualitas kebergantungan, kerendahan hati, “jangan membawa kami ke dalam pencobaan”, saya lemah Tuhan, saya penuh dengan dosa, ampunilah saya, jangan membawa saya ke dalam pencobaan. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS)