Pada waktu kita membaca bagian ini secara konteks, Yesus Kristus mengutus 70 murid-muridNya, kita bisa terjemahkan pada konteks hari ini yaitu kehidupan para misionari, kita sudah membahas di dalam bagian sebelumnya, pengajaran yang sepertinya ekstrim, yang hanya bisa dihidupi oleh para misionari dan bukan untuk kita pelayan Tuhan yang biasa-biasa ini, orang yang di tengah-tengah. Secara konteks memang ada yang sangat khusus yaitu misionari, murid-murid Yesus, tetapi saudara dan saya bisa belajar tentang prinsip-prinsip pelayanan dari kata-kata Yesus Kristus kepada para murid, dimanapun kita berada, apapun bidang pekerjaan kita, kita bisa belajar dari ayat 5-12 bagian yang sudah kita baca.
Kita akan masuk dalam ayat 5 tentang memberi salam di dalam keadaan yang urgent, berita Kerajaan Allah yang harus segera disampaikan, ada hal-hal yang perlu kita tahan termasuk hal-hal yang wajar, bahkan ramah seperti memberi salam. Tetapi kalau kita melihat di dalam ayat 5, jelas bukan berarti Yesus mengajarkan bahwa kita tidak memberi salam sama sekali, waktu kita membaca dikatakan, waktu orang masuk ke dalam rumah, dia sebaiknya mengatakan lebih dahulu damai sejahtera, itu kan juga salam. Yesus mengatakan dalam ayat 4 akhir, jangan memberi salam selama di dalam perjalanan, tetapi bukan jangan memberi salam sama sekali, memberi salam waktu masuk ke satu rumah, lalu mengatakan, damai sejahtera bagi rumah ini. Yesus tidak mengajarkan orang-orang kristen yang dekat kepada Allah dan sangat mencintai Kerajaan Sorga di dalam segala pelayanan yang dikerjakan, lalu menjadi orang yang makin lama kurang ramah, kurang friendly dsb., kemudian memakai alasan religius, itu karena saya terlalu cinta Tuhan, ini absurd teaching, satu pengajaran yang luar biasa absurd, bukan yang diajarkan oleh Yesus Kristus.
Kita akan coba mempelajari kalimat pembukaan pertama yaitu damai sejahtera, kita tidak mendekati orang dengan spirit konflik, tidak. Apologia mengalami satu perkembangan di dalam gereja Tuhan, kalau kita membaca apologia modern (pembelaan iman kristen) dengan apologia yang ditulis oleh Agustinus, memang gap-nya besar sekali. Apologia yang ditulis oleh Agustinus terutama adalah untuk menguatkan jemaat yang di dalam pergumulan, di dalam keragu-raguan dsb., audience yang paling penting adalah mereka, bukan dengan orang yang sedang berpolemik, bukan. Tetapi apologia modern sepertinya bergeser ke arah lain, bergeser sedikit dan kehilangan fokus, bahwa yang perlu dikuatkan itu adalah jemaat yang ragu-ragu, fokusnya berubah menjadi orang yang dengannya kita fight, dengan orang itu kita berpolemik. Jelas kita melihat di dalam firman Tuhan, bahwa Yesus pun berpolemik, nabi-nabi dalam PL juga berpolemik, tapi waku kita membaca bagain ini, Yesus mengajarkan kepada para murid waktu mereka menginjili, pembukaan kalimat pertama adalah damai sejahtrera bagi rumah ini, satu pendekatan yang merangkul, bukan satu pendekatan yang frontal. Sekali lagi, bahwa di dalam pelayanan kita bukan berarti tidak ada waktunya frontal untuk orang lain, tentu saja ada, karena Yesus sendiri juga ada waktu-waktunya Dia berpolemik.
Tetapi kalau kita membaca firman Tuhan secara teliti, dengan siapa Yesus atau para nabi dipakai Tuhan itu berpolemik? Mereka bukan dengan siapa saja berpolemik dan mereka juga bukan mempunyai satu kesenangan tersendiri akan polemik atau konflik, makin konflik, makin berantem, maka semakin seru, sama sekali prinsip seperti itu tidak ada dalam firman Tuhan. Seperti Yesus misalnya, Dia berpolemik dengan orang Farisi, tapi apakah Yesus dengan orang Farisi selalu berpolemik? Ternyata dengan Nikodemus kan tidak, ada waktunya Yesus menegur dengan keras, tetapi Yesus mengetahui hatinya, kekerasan hatinya, orang yang hatinya terus berliku-liku, yang tidak ada ketulusan di dalam hidupnya, dengan orang seperti itu Yesus berpolemik. Tapi Yesus tidak mengajarkan prinsip ini sebagai satu pendekatan yang universal, pokoknya semua orang berdosa itu harus didekati dengan frontal karena dosa harus ditegur. Ya memang dosa harus ditegur, tetapi pendekatan yang diajarkan oleh Yesus Kristus adalah dengan approach rangkul dan memang tidak semuanya bisa dirangkul, dan kalau itu tergantung dari kita, hendaklah kita berdamai dengan semua orang.
Tetapi kalau ada orang yang menolak damai sejahtrera tersebut, ayat 6 sudah mengantisipasi, Yesus mengatakan, salam itu akan kembali kepadamu. Sangat menarik Lukas 10 dalam bagian yang sudah kita baca ini, kalau toh ada orang yang tidak menerima, menolak, kita sudah merangkul, lalu tangan kita ditepis, maka di sini dikatakan, salam itu akan kembali kepadamu. Jangan kita salah mengerti bagian ini, sepertinya berkat itu kembali lagi kepada kita (karena ada kelompok kristen yang berpikir seperti itu), kalau begitu kita cari saja orang yang menolak, semakin banyak yang menolak semakin kita diberkati, kalau kita sampaikan berkat kepada orang yang layak menerima, terus dia menerima, lalu kita katakan, yah… dia menerima, waktu orang itu menolak, kita berkata, wah.. puji Tuhan, dia menolak, jadi berkatnya balik lagi ke saya, pendekatan seperti ini sangat narsisistik. Maksud bagian ini sangat sederhana, artinya adalah orang yang tidak layak menerima salam itu, ya … dia tidak akan menerimanya, salam itu seperti dikembalikan kepada yang menyampaikan, itu maksudnya.
Jadi salam yang kudus itu tidak akan jatuh kepada babi, di dalam firman Tuhan kan ada kalimat yang mengatakan, kita jangan membuang mutiara kepada babi, ini bukan berarti lalu kita tidak mengatakan kalimat damai sejahtera bagi orang-orang yang kita layani, tidak seperti itu. Jika itu tergantung kepada saudara dan saya, kita diajar untuk menyampaikan salam damai sejahtera, apakah orang tersebut akhirnya menerima atau menolak, itu urusan dia dihadapan Tuhan, bukan urusan kita, urusan kita adalah menabur salam damai sejahtera. Saya percaya kekristenan akan diberkati Tuhan kalau kita setia pada prinsip firman Tuhan, kalau kita memperhatikan dengan serius apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus di dalam bagian-bagian seperti ini, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan pelayanan kita. Salam itu akan kembali kepadamu, berarti ada dignitas di dalam kehidupan seorang pelayan Tuhan, Tuhan tidak akan membiarkan dia mengumbar kalimat-kalimat berkat itu, lalu akan sia-sia begitu saja, dilontarkan diudara, sementara orang menolak, lalu akhirnya mulai menghina, itu akan menjadi penghakiman bagi mereka sendiri. Tapi bagi saudara dan saya, kita diminta untuk menyampaikan kalimat damai sejahtera ini, orang yang menolak, yang tidak menghargai, salam itu akan kembali.
Dalam ayat 7, waktu kita membaca bagian ini, sekali lagi berkaitan dengan dignitas seorang pelayan Tuhan dalam pengertian yang luas, satu prinsip yang kita juga harus belajar, waktu kita diterima, waktu orang itu membuka pintunya, mempersilahkan seseorang masuk ke dalam rumahnya, maka seorang pelayan Tuhan, dia makan dan minum apa yang diberikan orang kepadamu. Ada beberapa tafsiran untuk bagian ini, ada yang menafsir, maksudnya jangan choosy, kalau di berikan vegetables ya makan saja, artinya diberikan apa pun silahkan makan, jangan choosy, kurang sambal lah dsb., tafsiran itu sepertinya terlalu modern. Kalau kita melihat di dalam ayat ini sebetulnya cukup jelas arahnya kemana dan saya cenderung kearah tafsiran yang maksudnya bukan orang itu jangan pilih-pilih di dalam makanan, tetapi tanpa guilty feeling dan tanpa merasa dia seseorang yang rendah. Dia menerima makanan dan minuman yang dihidangkan orang kepada mereka, karena seorang pekerja patut menerima upahnya, ini kalimat yang penting sekali. Seorang pekerja patut mendapatkan upahnya, kita harus hati-hati dengan jenis spiritualitas yang kelihatan seperti dewasa sekali, sangat matang, yang tidak mau dilayani orang lain, ada sesuatu yang salah di situ.
Memang alkitab mengatakan, yang memberi lebih berbahagia dari yang menerima, lalu Yesus Krisus sendiri juga mengatakan, Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani, bagian ini sangat jelas sekali, perfectly clear. Tetapi bukan berarti Yesus di dalam seluruh kehidupanNya tidak membiarkan diriNya untuk dilayani sama sekali, tidak seperti itu, Dia membirakan perempuan itu melayani Dia, waktu memecahkan botol narwastu itu untuk menyambut hari kematianNya, bahkan menegur Yudas yang pura-pura mau melayani, padahal hatinya tidak. Yesus memberikan diriNya untuk dilayani, saudara dan saya juga ada waktunya kita dilayani, bukan hanya melayani. Orang yang tidak mau dilayani, itu satu kecongkakan di dalam kehidupannya, karena waktu kita dilayani, kita harus rendah hati. Kalau kita memberikan uang kepada seseorang di dalam kesulitannya, kita pasti ada dignitas, pikiran itu wajar, karena kita yang memberi, bagaimanapun posisi kita ada di atas dan somehow yang menerima posisinya ada di bawah. Maka negara dunia ke 3 luar biasa sensitif terhadap negara dunia pertama, di dalam keadaan seperti struggling berkata, meskipun kita negara dunia ketiga, kita tidak boleh dihina dsb., karena memang ada kecenderungan memperlakukan seperti itu kan? Dari si pemberi dengan jiwa kolonialisme, memberi dari atas, terus orang yang diberi sepertinya jauh sekali di bawah.
Untuk seseorang bisa memberi, melayani dan mengasihi orang lain itu adalah satu pembentukan yang Tuhan kerjakan, tapi pembentukan yang lain yang juga Tuhan kerjakan waktu kita belajar dilayani, waktu kita belajar diri kita diketahui, saya tidak mampu dan orang lain membantu saya. Saya tidak selfsufficient, karena hanya Tuhan yang selfsufficient, saya berada di dalam keadaan yang orang lain perlu mengulurkan tangan kepada saya, itu perlu kerendahan hati, kalau tidak ada kerendahan hati, kita tidak mungkin bisa pernah masuk ke dalam posisi seperti itu, jadi ada kepekaan, somehow dengan orang-orang di dalam keadaan waktu dia dilayani, itu cukup jelas. Tapi Yesus sendiri mengatakan, waktu kita menerima pelayanan, jangan kita lalu menempatkan diri di dalam posisi, karena dilayani seperti posisi pengemis, bukan seperti itu, tetap ada dignitas di dalamnya, karena seorang pekerja patut mendapatkan upahnya. Di sini Yesus memakai kategori upah, jadi waktu seseorang melayani, lalu kemudian ada seseorang memberikan sesuatu, dalam hal ini makanan dan minuman di dalam kehidupannya, itu bukan karena dia ditolong, bukan karena dikasihani, bukan, karena memang itu adalah upahnya, seorang pekerja patut mendapatkan upahnya. Saya percaya di dalam bagian ini, alkitab ada banyak hal yang asimetris, misalnya, kalau kita ditolong orang lain, kita lebih baik mengingat orang yang menolong, tapi waktu kita menolong orang lain, kita jangan mengingat kebaikan kita, jadi ini namanya asimetris.
Waktu kita membaca ayat 7, seorang pekerja memang patut mendapatkan upahnya, waktu dilayani oleh orang yang menerima dia di dalam rumahnya, ini adalah sesuatu yang wajar, yang biasa, bukan kategori plus untuk orang yang menghidangkan makanan dan minuman. Yesus begitu protek di dalam pengertian positif, bukan dalam pengertian memanjakan, protek dignitas daripada pekerja-pekerjaNya. Waktu kita membicarakan pekerja di sini, kita tidak membicarakan dalam pengertian sempit, pelayan hamba Tuhan secara fulltime seperti pendeta atau penginjil, tetapi dalam pengertian luas yaitu saudara dan saya, semua orang percaya yang memang seharusnya, sudah selayaknya menjadi pekerja, dia mendapatkan upahnya karena dia melayani. Waktu orang menghidangkan makanan dan minuman, terima saja, justru kalau kita tidak terima, malahan ada sesuatu yang salah di situ, ada sesuatu yang tidak beres di dalam pikiran kita. Sekal lagi, orang yang hanya mau melayani tetapi tidak mau dilayani, dia akan kehilangan kenikmatan, kepenuhan relasi di dalam Kerajaan Allah, karena hanya bisa keluar, tidak ada sesuatu yang bisa diterima. Tentu saja sebaliknya juga benar, mungkin bahkan lebih benar, orang yang hanya menerima, menerima, menerima, terus menerus dilayani, tetapi tidak pernah memberikan, tidak pernah peduli kepada orang lain, juga mengalami kepincangan di dalam kehidupannya.
Seseorang yang melayani, yang lain juga mencukupkan dsb., karena mereka di dalam bagian ini memang tidak membawa pundi-pundi, tidak membawa bekal dan tidak membawa kasut. Alangkah sulitnya waktu kita menerima pemberian orang lain, tetapi kita harus merenungkan, memikirkan bahwa ini sebetulnya adalah pemberian dari Tuhan, melalui orang lain. Jadi tidak perlu ada guilty feeling, tidak ada perasaan harus hutang budi secara manusia, perasaan hutang budi sih harus, tetapi hutang budi kepada Tuhan. Kita sudah pernah membahas ini, di dalam relasi kristen itu sangat lincah, kita dibantu oleh si A, kita tidak harus mengembalikan kepada si A, kita bisa mengembalikan kepada si B dan si B bisa mengembalikan kepada si C dst., sangat indah kompleksitas hubungan yang seperti itu. Yang membosankan adalah A ke B, B ke A, bolak balik itu terus dan culture kita dipenuhi dengan pikiran seperti itu, pikiran tanam jasa balas jasa, hutang budi balas budi, dan sangat sempit hubungan bilateral seperti itu, dua orang saja mondar mandir. Tapi waktu kita melihat di dalam bagian ini, mereka tidak perlu memikirkan bagian itu, karena memang seorang pekerja patut mendapatkan upahnya, apakah ini berarti dia tidak punya perasaan terima kasih atau tidak mengerti apa artinya balas budi? Bukan seperti itu, ini bicara tentang dignitas seorang pelayan Tuhan, satu perasaan dibebaskan, christian freedom, termasuk freedom of conscience, satu kebebasan hati nurani yang tidak merasa harus balas budi kepada siapapun, tidak berhutang kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan dan in the same time, Paulus mengatakan, kita berhutang kepada siapapun, ini kan paradoksnya.
Sekali lagi, Tidak berhutang kepada siapapun, karena yang menyelamatkan kita bukan manusia, tetapi Yesus Kristus, tapi sisi yang lain juga Paulus mengatakan, kita ini hamba dari pada semua orang, berhutang kepada siapapun, seharusnya melayani siapapun dan di dalam paradoks ini, penekanan disatu sisi yaitu kebebasan seorang pelayan Tuhan waktu dia dilayani oleh Tuhan sendiri melalui orang lain, dia menerimanya dengan bahagia, menerimanya dengan luas hati, dengan sukacita, tanpa merasa satu beban. Jadi waktu dihidangkan makanan, minuman, ya sudah terima saja, tidak usah berpikir, waduh… hutang lagi, balas apa lagi ya? Balas apa lagi, waktu dibalas, orang itu juga berpikir, waduh…. sekarang saya yang hutang, harus balas lagi dong? Balas apa lagi, mau kasih apa lagi, sudah kenyang…… jadi tidak ada habis-habisnya…saling membalas. Akhirnya masuk ke dalam reduksi relationship yang sangat tidak lincah dan yang juga membosankan, dan akhirnya pelan-pelan masuk ke dalam relasi yang sangat eksklusif, mungkin tanpa disadari, unconciously. Tetapi di sini Yesus mengajarkan, sekali lagi, waktu kita dihidangkan makanan, minuman, diberikan orang kepadamu, terima saja, tinggallah di dalam rumah itu.
Tapi kemudian ada peringatan yang lain, jangan pindah-pindah rumah, Yesus concern sekali dengan dignitas pelayan-pelayanNya, murid-muridNya, waktu memberitakan injil, waktu melayani orang lain. Silahkan terima makanan dan minuman yang diberikan orang kepadamu, tetapi jangan pindah-pindah rumah. Pindah-pindah rumah itu akan memberi kesan, ini orang pelahap atau apa? Sudah bosan dengan menu rumah ini, pindah ke rumah yang lain, lalu akhirnya memberikan seperti bayangan kepada orang itu satu sandungan bahwa dia ini betul-betul akhirnya pengemis, betul-betul seseorang yang bukan lagi memiliki dignitas pelayan Tuhan, tetapi benar-benar pengemis. Yang mengemis dari rumah ke rumah, hari ini ke rumah ini, besok ke rumah itu dst., terus pindah-pindah. Jadi harus tinggal di rumah itu, rumah yang satu itu, menerima hidangan yang dihidangkan, jangan berpindah-pindah rumah, jangan memberikan kesan oportunistik, jangan memberikan kesan bahwa kita itu terus mau menikmati pelayanan tidak habis-habis, daripada banyak orang yang berpindah-pindah terus. Berpindah-pindah itu selalu menyenangkan, di dalam pengertian orang tidak akan tahu siapa kita, seperti maling juga berpindah-pindah, tidak mungkin dia maling di rumah itu terus, itu berbahaya.
Waktu ada satu relasi terus menerus, tinggal di dalam satu rumah, lalu orang itu juga mulai melihat, mengenal, masuk ke dalam kedalaman orang itu, tetapi yang tinggal juga melihat kedalaman orang yang ditinggali dsb., di situ terjadi relasi yang intens. Kalau boleh kita lebih suka dengan relasi yang permukaan, salah satu yang menyenangkan dari relasi permukaan adalah orang tidak sempat melihat kelemahan saya dan saya juga tidak sempat melihat kelemahan orang lain, dua-dua itu menyenangkan, maksudnya menyenangkan secara daging. Kalau kita melihat kelemahan orang lain, kan kita bisa kesal, waktu pertama kali kita menerima orang, kita senang, kita sambut, begitu dia tinggal 7 hari, 14 hari dst., wah…. kenapa orang ini buang tissue di situ, kotor lagi? Wah…. mulai kelihatan semua kelemahannya dan kita juga, waktu kita tinggal di rumah orang lain, akhirnya kelihatan semua kelemahan kita, di dalam keadaan seperti ini, alangkah indahnya kalau pindah-pindah rumah. Belum sempat orang mengenal kelemahan kita, belum sempat orang masuk ke dalam kehidupan kita lebih dalam, saya sudah pindah dulu, jadi saya selalu tampil sebagai the good guy untuk everybody, karena relasi yang sangat superficial dengan setiap orang.
Memang ada resiko sih tinggal di dalam satu rumah, rumah yang itu, tetapi ya inilah yang disebut dengan persekutuan, saya percaya, saudara yang mengambil kepurtusan untuk menikah juga harusnya berpikir seperti ini kan ya? Pernikahan yang paling absurd itu adalah pernikahan yang saya tidak mau diketahui kelemahan saya oleh pasangan saya dan saya tidak mau bahwa pasangan saya itu punya kelemahan, absurd sekali pengharapan seperti itu. Pernikahan itu kan intens sekali, masuk sampai tidak ada batasnya, waktu Adam bersetubuh dengan Hawa, dalam PL memakai istilah mengenal, maka Adam mengenal Hawa di dalam persetubuhan itu. Pernikahan itu adalah pengenalan, baik harafiah di dalam pengertian secara fisik, tetapi juga di dalam pengertian secara jiwa, rohani. Yesus memberikan satu larangan kepada muridNya untuk berpindah-pindah rumah, relasi yang superficial, yang mungkin, waktu kita hadir akan selalu menyegarkan orang lain, tetapi tidak ada relasi yang terlalu dalam di dalamnya.
Kalau masuk ke dalam satu kota, diterima, makan apa saja yang dihidangkan dan ayat 9 mengatakan, menyembuhkan orang-orang yang sakit, lalu dikaitkan dengan berita Kerajaan Allah yang sudah dekat padamu. Ini isu yang sensitif, kalau kita berhenti dalam bagian ini, ini mau berbicara tentang karunia penyembuhan sudah berhenti atau belum berhenti, ini bisa panjang sekali, tetapi saya percaya itu juga bukan bagian yang dimaksudkan di dalam bagian ini, untuk kita memperdebatkan apakah sudah berhenti atau belum. Tapi memang ada kaitan sangat erat antara Kerajaan Allah dengan pelayanan menyembuhkan orang-orang sakit, pelayanan yang melenyapkan kelemahan, orang-orang sakit itu membebani, menguras tenaga dari orang yang tidak sakit, orang sakit itu bahkan membosankan. Saya tidak tahu, kita punya pengalaman menemani orang sakit sampai berapa lama? Ada orang yang menemani orang sakit di rumah sakit sampai berhari-hari, wah… itu sangat menguras tenaga, sangat menguras sukacita dst., Yesus mengatakan menyembuhkan orang-orang sakit. Tapi kalau boleh ditafsir dalam pengertian yang lebih luas, bahwa dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang membebani, dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang waktu kita berjumpa dengan mereka kita bukan mengalami sukacita, tetapi kita akan merasa ada beban ditambahkan di dalam kehidupan kita.
Jadi pengumuman berita Kerajaan Allah berkaitan dengan pengusiran atau pelenyapan dari pada kelemahan-kelemahan ini, satu pelayanan yang konstruktif, bukan yang destruktif, ini integrated dengan kalimat pertama yang dikatakan damai sejahtera bagi rumah ini. Mungkin kita masih ingat waktu kita membahas tentang Yohanes dan Yakobus, waktu mereka meminta, kita mendatangkan api saja dari langit, menghanguskan seluruh daerah Samaria ini, karena mereka menolak Engkau, sebenarnya menolak para murid sih, bukan menolak Yesus, mereka cepat tersinggung, tetapi Yesus tidak. Tapi Yesus berkali-kali menekankan, sekali lagi, bukan penghancuran, Yesus datang bukan untuk membinasakan, bahkan juga bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menyelamatkan, menyembuhkan, melenyapkan kelemahan. Bahkan untuk kota-kota yang menolak sekalipun, tetap ada dignitas bagi pelayan Tuhan, di sini dengan satu tindakan simbolik mengebaskan debu, tetapi tetap dengan mengatakan kalimat Kerajaan Allah sudah dekat.
Ada komentator sangat menarik yang membahas bagian ini kalau kita perhatikan dalam ayat 9, dikatakan, Kerajaan Allah sudah dekat padamu, waktu menyembuhkan orang-orang yang menerima, receptive, orang-orang yang dengan terbuka menerima pelayanan itu, orang-orang yang rendah hati, tetapi orang-orang yang menolak di dalam kesombongan mereka, indifferent, tetap ada berita Kerajaan Allah, tapi tidak ada padamu, maksudanya berita Kerajaan Allah di sini sudah dekat, menjadi berita penghakiman, bukan lagi satu berita yang menyejukkan dan untuk Yesus kalimat seperti ini sudah cukup, tidak perlu mendatangkan api dari langit. Mereka akan dihakimi, tetapi kapan mereka akan dihakimi? Yesus mengatakan pada hari itu, hari itu hari apa, ya hari penghakiman, ditahan sampai kepada peristiwa eskatologis, sampai kepada akhir zaman waktu Yesus akan menyelesaikan semuanya. Nah kita di dalam dunia, kecenderungan kita di dalam kedagingan, di dalam kelemahan kita adalah mau menyelesaikan semua isu keadilan di sini dan sekarang, dan bersamaan dengan itu kita memakai power dengan membabi buta. Makanya kalau tidak salah, kutipan dari Abraham Lincoln mengatakan, nearly all people itu bisa menahan, bisa menanggung, bisa sabar terhadap apa yang disebut adversity, kesulitan, kemiskinan, semua orang pada dasarnya bisa melewati, tidak ada yang tidak bisa, dia begitu optimis. Tapi kemudian dia melanjutkan, kalau mau menguji karakter seseorang, bukan adversity, tapi berikan dia power, berikan kepada dia kuasa, baru kita tahu sebetulnya dia siapa, menurut Abraham Lincoln, terlalu mudah adversity, karena semua orang bisa mengalahkan kesulitan (saya sih berpikir tidak semua orang bisa). Menurut dia, semua orang bisa mengalahkan kesulitan, tetapi tidak semua orang bisa overcome power di dalam kehidupannya.
Termasuk juga di dalam kehidupan para murid Yesus, Yesus menahan, bukan tidak ada power, bukan powerless selama-lamanya, tidak, akan ada hari itu, lalang itu suatu saat akan dicabut, tapi kapan dicabut, ditahan sampai pada hari yang terakhir, bukan di sini dan sekarang. Lalu apakah artinya selama dalam dunia kita tidak membicarakan tentang keadilan sama sekali? Kalau begitu keadilan itu adalah non issue bagi orang kristen, nanti terakhir saja, itu urusan Tuhan, ya pasti tidak seperti itu. Tapi pointnya dimana? Issue-nya dimana? Issue-nya adalah kita seringkali berusaha ingin menegakkan keadilan dengan power kita, dengan power yang merasa kita ada akses, yang ada pada manusia, seperti Yohanes dan Yakobus, merasa punya akses terhadap Yesus Kristus yang powerful, lalu berkata, hanguskan saja semuanya. Tetapi Yesus katakan di dalam bagian ini, Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari kota-kota sekitarnya, itu kalimat yang sangat keras luar biasa.
Kita rindu di dalam kehidupan pelayanan saudara dan saya, kita belajar dignitas di dalam pengertian seperti yang diajarkan oleh Yesus Kristus, karena kita seringkali mengerti dignitas dalam pengertian yang sangat duniawi dan kedagingan, kalau ada orang yang powerful, malah disakiti, kalau ada orang yang dalam posisi atas tidak disenangi, dislike, dsb., menjadi luar biasa sensitif dan temptation akan segera memakai power yang memang juga available, yang ada pada dia atau at least, setidaknya dia punya akses di situ. Tetapi Yesus tidak menggunakan akses itu, kalau Yesus menggunakan akses itu, Dia bukan Yesus lagi, bukan Yesus yang dicatat di dalam alkitab dan Yesus juga tidak mengatakan, indifferent, ya sudahlah seperti itu relativisasi, sebenarnya tidak penting, bukan tidak penting, itu penting. Yesus juga mengatakan kalimat yang keras, kalimat penghakiman, tetapi waktunya adalah di dalam waktu Tuhan, itu nanti diselesaikan oleh Yesus sendiri, Bapa yang menyerahkan penghakiman kepada Yesus di dalam akhir zaman. Dan bukan diselesaikan para murid pada saat itu, waktu kita membaca sampai akhir daripada perikop ini, sekali lagi, kita melihat ada penegasan, bagaimana mereka harus bersikap waktu mengalami penolakan, waktu menghadapi orang-orang yang tidak sependapat, yang salah mengerti dst., Yesus sudah mempersiapkan bagian itu.
Seringkali kita bisa katakan dengan begitu mudahnya kalimat, saya sih pelayanan bukan cari pujian manusia, saya pelayanan bukan cari recognition dari manusia, memang seharusnya seperti itu, tetapi bagian itu betul-betul diuji waktu kita juga mati terhadap dislike manusia, mati terhadap pujian kalau kita sudah menyalibkan diri kita bersama dengan Kristus terhadap kuasa pujian, recognition manusia, than pararel dengan itu sebetulnya kita juga sudah menyalibkan diri kita dari kuasa penolakan manusia, itu pararel. Kalau kita katakan, saya sudah mati terhadap pujian, tetapi ketika ada orang yang tidak setuju, saya jadi emosi, jadi berang, itu berarti belum mati terhadap pujian, karena itu pararel. Kalau kita belum mati terhadap kritikan (maksudnya kritikan yang salah, kalau kritikan yang benar, ya harus didengarkan), jadi kita bicara kritikan yang salah mengerti, penolakan dsb., kalau kita belum mati terhadap urusan-urusan seperti itu, itu simply membuktikan bahwa kehidupan kita sangat membutuhkan human acknowledgment, human recognition bukan God recognition, belum integritas seperti yang dikehendaki oleh Yesus Kristus.
Dalam pasal 9 kita sudah membahas tentang kegagalan demi kegagalan, maka dalam pasal 10 tidak terlalu membicarakan hal itu lagi, tetapi kita tidak pernah tahu, apakah para murid sudah belajar atau tidak, yang kita tahu pasti adalah bahwa Yesus Kristus tidak berhenti mengajar mereka. Dan mari kita juga minta kepada Tuhan, supaya Tuhan mengaruniakan kepada kita kehidupan pelayanan bekerja di dalam Kerajaan Allah seperti yang Tuhan kehendaki. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS