Ini adalah pembahasan terakhir dari SERI LITURGI, yaitu “Baptisan”. Pembacaan ayat Firman Tuhan:
- Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka. Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu. Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:16-20)
- Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh. Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. (1 Kor. 12:12-14)
Waktu kita mengikuti liturgi di gereja, itu bukan sekedar urut-urutan tapi ada cerita di baliknya, sehingga kita musti mengerti apa artinya; demikian juga sesuai tema kita hari ini, apa artinya Baptisan di dalam kehidupan orang percaya. Baptisan dilakukan satu kali saja, bukan berulang-ulang, berbeda dari Perjamuan Kudus yang bisa berkali-kali.
Kita mau mengaitkan Baptisan ini dengan perkataan yang keluar dari mulut Tuhan Yesus di dalam Matius 28, sehingga kita lebih bisa mengerti apa artinya Baptisan dalam nama Tritunggal. Di dalam cerita ini, kita membaca bahwa Baptisan berkaitan dan tidak bisa dipisahkan dari otoritas Tuhan Yesus Kristus yang universal. Universal maksudnya: di bumi dan di surga; bukan cuma di Kelapa Gading, bukan cuma di rumahmu, di kamarmu, di Indonesia, tapi di seluruh bumi, bahkan di surga. Ada kuasa Yesus yang universal di dalam Baptisan; dan kita menyaksikannya. Tuhan yang kita percaya, lebih besar kuasanya daripada semua presiden mana pun, daripada kaisar mana pun; Tuhan Yesus Kristus lebih berkuasa daripada semua penguasa manapun sepanjang sejarah. Tapi waktu kita membaca dalam cerita Alkitab, Tuhan Yesus sendiri dibaptis oleh Yohanes Pembaptis; dan ternyata setelah Tuhan Yesus dibaptis, Dia dicobai oleh Iblis.
Biasanya setelah Baptisan, kita lalu makan-makan, kasih ucapan selamat, foto-foto –itu memang boleh– tapi kita melihat dalam kehidupan Yesus Kristus, setelah Dia dibaptis, Dia dicobai oleh Iblis. Kehidupan Kristen itu bukanlah suatu gambaran kehidupan yang sepertinya begitu ideal, waktu yang indah, yang He makes everything beautiful in its time; waktu Yesus dicobai oleh Iblis, itu pasti juga di dalam waktunya Bapa, tidak ada yang di luar waktunya Bapa. Dalam cerita ini, kita melihat bahwa yang dikatakan dalam Matius 28 kontras dengan pencobaan Iblis. Iblis menawarkan kepada Yesus untuk mendapatkan semua kerajaan-kerajaan di dunia, kalau Tuhan Yesus mau menyembah Iblis; tetapi di dalam Matius 28 ini kita membaca bahwa Yesus menerima segala kuasa di bumi dan di surga. Ini sesuatu yang tidak mungkin diberikan oleh Iblis.
Ada pencobaan dalam kehidupan kita untuk tertarik oleh kemuliaan dunia ini, tertarik oleh kerajaan dunia ini, gemilangnya dunia ini; untuk kepingin jadi kaya, jadi sukses seperti selebriti, bintang-bintang film, dsb. Yesus juga dicobai seperti ini; ini bukan hal yang Yesus tidak tahu apa-apa. Tetapi, kita membaca dalam Matius 28 tadi, dikatakan bahwa segala kuasa di surga dan di bumi –bukan cuma di bumi tanpa di surga, bukan cuma di surga tanpa di bumi, tapi di surga dan di bumi–segala kuasa itu diberikan oleh Bapa kepada Sang Anak. Di dalam Yesus Kristus, kita juga mendapatkan janji ini. Di dalam Yesus Kristus, kita juga mendapatkan kuasa ini. Tentu ini bukan suatu kuasa yang kita pakai untuk kepentingan kita sendiri, tapi kuasa yang diberikan oleh Bapa kepada Kristus, dan di dalam-Nya kita berbagian, supaya kita boleh memuridkan orang-orang lain.
Kita jangan berpikir ini kuasa untuk hal-hal lain, bisa kacau. Paling menyebalkan kalau di dalam Gereja ada perjuangan untuk mendapatkan kuasa, posisi, jabatan, jadi orang yang dihormati, jadi orang yang disegani, dsb.; itu orang yang tidak mengerti kuasa Kristus. Orang yang mengerti kuasa Kristus, tidak berpikir seperti itu. Orang yang mengerti kuasa Kristus, dia mengerti bahwa itu diberikan bukan untuk hal-hal tadi, tapi diberikan untuk bisa memuridkan yang lain.
Kita mendengar setiap kali di dalam Baptisan, ada nama Tritunggal disebutkan. R. T. France mengatakan, di dalam kehidupan Yesus Kristus, kita juga melihat Ketiga Prbadi hadir di sana. Yang membaptis memang Yohanes Pembaptis, tapi Yohanes Pembaptis yang paling tidak penting di sana. Ada Bapa yang suara-Nya terdengar dari surga, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”, ada Roh Kudus di dalam bentuk burung merpati, dan ada Yesus Kristus di sana. Mengapa Baptisan memakai nama Tritunggal? Karena di dalam kehidupan Yesus Kristus sendiri juga Tritunggal –Bapa, Anak, Roh Kudus– sehingga demikian juga cerita kehidupan Baptisan kita, dibangun di dalam pondasi nama Tritunggal ini, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Tadi kita mengatakan, kuasa diberikan kepada Yesus kristus; dan waktu kita percaya, kuasa itu juga diberikan kepada kita, karena Yesus bukan menahan untuk diri-Nya sendiri. Tapi sekali lagi, ini adalah kuasa yang seharusnya mendorong kita, memperlengkapi kita (empowering), supaya kita boleh membawa orang-orang menjadi murid-murid Kristus. Perhatikan, Amanat Agung (Great Commission) ini bukan sekedar menantang orang “terimalah Yesus di dalam hatimu”, lalu kalau sudah terima, berarti sudah masuk surga; pengertian Amanat Agung yang seperti itu amat sangat miskin (shortage). Itu bukan Amanat Agung yang asli. Bukan berarti tidak boleh menantang orang untuk percaya Tuhan Yesus, tapi kalau kita mengerti Amanat Agung hanya sekedar itu, lalu kita merasa kalau orang sudah angkat tangan, sudah terima Tuhan Yesus, berarti kita sudah menjalankan Amanat Agung, sebaiknya kita membaca lagi bagian ini. Itu bukan berarti kita sudah menjalankan Amanat Agung; itu sebenarnya belum.
Baca lagi, apa artinya mengikut Kristus, apa artinya percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Di sini Tuhan kita mengatakan: “… pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” Perhatikan, Tuhan Yesus mengatakan “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”, bukan “ajarlah mereka untuk menerima Aku di dalam hatinya, lalu mereka harus percaya bahwa mereka masuk surga”. Betul, bahwa itu termasuk di dalamnya; tetapi sekali lagi kita baca: ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Yesus.
Kita bersyukur ada baptisan anak, karena berarti bagi mereka ini waktunya panjang. Saya bukan mengatakan orang yang dibaptis umur 50, 60, tidak bisa diberkati Tuhan –Tuhan bisa memberkati juga– tapi alangkah indahnya menyaksikan anak-anak waktu kecil sudah dibaptis. Mengapa? Karena ini bicara tentang belajar seumur hidup (lifelong learning). Kalau waktu anak-anak sudah dibaptis, berarti waktunya panjang; dan memang perlu waktu yang panjang untuk mengerti apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Ketaatan (observance) adalah sesuatu yang panjang sekali, bukan seperti Saudara katekisasi 6 bulan selesai lalu “O, saya sudah tahu Kekristenan itu apa, saya sudah tahu doktrin Reformed itu apa”, melainkan pelajaran seumur hidup. Saya pun, sebagai pendeta, demikian juga semua hamba-hamba Tuhan yang lain, juga belum selesai belajar. Kita belum selesai belajar, kita masih sedang dimuridkan; dimuridkan dan memuridkan.
Waktu kita mengerti Baptisan, kita tidak bisa memisahkannya dari pemuridan yang panjang. Jadi jangan cepat puas dengan pengajaran. Jangan Saudara atau saya khotbah satu kali, atau mendengar khotbah satu kali, mendengar satu seminar, dsb., lalu merasa sudah dimuridkan. Itu belum. Masih panjang sekali. Kalau kita menolak pemuridan yang panjang, saya pikir, kita tidak mengerti Liturgi Baptisan. Ini memang agak paradoks; baptisannya memang satu kali, bukan ulang-ulang setiap Minggu, tapi setelah itu seumur hidup dimuridkan di dalam Kristus, dimuridkan oleh Kristus melalui orang-orang yang mengikut Kristus terlebih dahulu. Jadi ada kaitan tidak terpisahkan antara baptisan dengan pemuridan terus-menerus. Gereja yang tidak melaksanakan pemuridan terus-menerus, itu Gereja yang tidak mengerti Baptisan. Boleh saja Gereja menjalankan Baptisan, tapi kalau tidak dikaitkan dengan pemuridan seumur hidup, saya pikir Gereja itu sebenarnya tidak mengerti Baptisan, karena tidak mengerti apa yang diajarkan Yesus Kritus di dalam Matius 28 ini; “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.”
Kalau saya bisa menutup pelayanan di GRII Kelapa Gading ini, yang bulan November ini sudah 9 tahun, saya ingin bisa mengatakan seperti Paulus waktu dia berpisah dengan para penatua di Efesus, ‘segala sesuatu yang saya perlu katakan, saya sudah katakan kepadamu, tidak ada yang saya tahan’. Saya rindu sekali bisa mengatakan kalimat seperti itu, tapi saya tidak berani, karena masih begitu banyak Firman Tuhan yang masih harus dibahas. Takaran kita memang terbatas, maka kalau kita masih diberi kesempatan melayani, bicarakanlah terus Firman Tuhan, segala kelimpahannya jangan ditahan. Paulus mengatakan bahwa semua yang dia perlu katakan, sudah dia katakan, berarti Paulus tidak menutup-nutupi. Paulus tidak seperti orang yang belajar kungfu, yang mengerti 99 jurus tapi waktu mengajari muridnya, paling mentok dia cuma ajari 98 jurus, sementara jurus yang terakhir musti disimpan bagi dirinya sendiri sehingga bagaimanapun muridnya tidak bisa mengalahkan dirinya karena dia adalah the master yang tetap harus menang satu jurus. Ini kebudayaan yang jelek, kebudayaan orang yang insecure. Tapi hamba-hamba Tuhan yang dicatat di dalam Kitab Suci tidak demikian. Mereka tidak menyimpan rahasia teologi, supaya kelihatan ‘masih ada satu doktrin yang saya melampaui mereka semua, mereka semua tidak mengerti’ –karena ‘saya tidak pernah bagikan’. Yang seperti itu, bukan Paulus, juga bukan hamba-hamba Tuhan yang dicatat Alkitab; sebaliknya, mereka dengan tekun memberitakan Firman Tuhan di dalam segala kelimpahannya. Berharap ini juga menjadi cerita dari GRII Kelapa Gading; saya boleh pergi, Saudara pun boleh pergi, lagipula suatu saat kita pasti akan meninggal juga, tapi berharap Gereja ini menjadi satu Gereja yang diberkati Tuhan, dikasihi Tuhan, tempat Tuhan terus menyatakan kelimpahan Firman-Nya, siapapun yang mengkhotbahkannya karena ini tidak terlalu penting. Yang penting adalah kelimpahan Firman Tuhan itu, yang kita musti minta kepada Tuhan. Sekali lagi, pemuridan seumur hidup, belajar Firman Tuhan seumur hidup.
Selanjutnya, tentang otoritas universal atau kuasa yang universal, berarti bicara tentang misi yang universal juga. Tidak bisa bicara kuasa yang universal, lalu misinya misi lokal; itu tidak cocok. Dalam persiapan pelayanan di Eropa, saya mengatakan kepada pengurus di sana, bahwa kita ini memang orang Indonesia, tapi kalau hati kita juga cuma ingin menjangkau orang Indonesia, itu berarti kita tidak mengerti misi universalnya Yesus. Yesus mengatakan, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku”. Yesus bukan mengatakan, “Karena itu pergilah, jadikanlah orang-orang Galilea saja murid-Ku”, bukan ‘jadikanlah semua orang Indonesia saja, dan jangan keluar dari orang Indonesia’. Tidak demikian. Yang seperti itu, bukan misi universal.
Kalau kita mengerti otoritas universal, kuasa yang universal, maka misinya juga universal. Memang di Indonesia tidak terlalu banyak orang imigran, ya, tidak apa-apa juga, tapi hati kita musti terbuka untuk semua orang, tidak bisa cuma satu-dua jenis orang saja, melainkan orang dari ras apapun, orang dari suku apapun. Ini melawan rasisme, karena univeraslisme dan rasisme sangat ‘gak nyambung. Saudara mungkin mendengar berita-berita tentang Gereja di luar negeri yang masih saja bergumul dengan rasisme; yang seperti ini, Gereja yang mengenal Kristus atau tidak sebetulnya?? Ini Gereja yang di dalamnya ada Yesus Kristus, atau Yesus yang lain, Yesus kulit putih, Yesus kulit hitam, Yesus kulit kuning, atau kulit apa sebetulnya?? Tidak jelas sama sekali gambaran eklesiologi yang seperti ini; katanya percaya Yesus Kristus, tapi terlalu peka dengan urusan suku, warna kulit, ras, tingkat sosial –ini orang kaya, itu bukan orang kaya, ini orang penting, itu karyawan biasa, dsb. Kalau sungguh-sungguh mengenal Yesus Kristus, kita percaya kuasa-Nya universal, maka misinya pun harusnya universal; itu baru benar. Seandainya Yesus kuasanya cuma teritorial, misalnya cuma di Nazaret, atau Galilea, atau Yerusalem, atau Kelapa Gading misalnya, ya, sudah, kita penginjilannya di Kelapa Gading saja, karena kuasa-Nya juga cuma Kelapa Gading, lalu begitu keluar dari Kelapa Gading, sudah tidak ada lagi kuasa. Tetapi Yesus bukan itu. Kuasa-Nya universal di surga dan di bumi, maka jadikanlah semua bangsa murid Kristus. Ini melawan cerita misi yang sempit, yang pilih-pilih. Katanya misi, tapi orang yang dijangkau dipilih-pilih, kelompok tertentu saja, sedangkan kelompok yang lain, ‘O, saya tidak tertarik jangkau mereka ini’. Katanya percaya Yesus Kristus, tapi kalau seperti itu, Yesus Kristus yang mana??
Hati-hati kalau Gereja kita makin lama makin jadi homogen, itu bahaya. Homogen dalam hal apapun. Kalau di dalam satu kelompok kecil, kita sudah saking akrabnya sampai orang baru tidak bisa masuk lagi, karena kita jadi terganggu keintimannya seakan-akan ada alien yang masuk, hati-hati, jangan-jangan Saudara yang monster. Monster tidak bisa hidup bersama alien, memang betul; tapi bukankah kita sendiri pun sebenarnya alien, orang asing, yang diterima di dalam Kristus? Hati-hati dengan keintiman yang eksklusif, yang tidak ada di Alkitab. Hati-hati dengan perkumpulan orang-orang tertentu yang begitu nyambung sekali, sampai-sampai orang baru tidak bisa masuk lagi karena mereka helpless tidak tahu musti bicara sama siapa. Hati-hati. Itu bukan Liturgi Baptisan yang kita percaya, itu liturgi asing, entah dari mana.
Ayat ini juga menjanjikan motif Imanuel; Injil Matius dibuka dengan Imanuel, dan ditutup dengan Imanuel, “ketahuilah, Aku menyertai kamu”. Kristus adalah Allah yang sejati, Allah menyertai kita; ini motif Imanuel. R. T. France mengatakan, kita jangan salah mengerti istilah ini dengan menganggapnya semacam cozy reassurance, suatu jaminan yang bikin kita sepertinya ‘waahh… Tuhan beserta kita, oke, saya happy, saya bisa duduk-duduk, minum kopi’, lalumengatakan “Tuhan beserta kita”. Bukan itu. Orang yang disertai Tuhan, bisa saja dia dianiaya karena memberitakan Injil, bisa saja dia kehilangan posisinya karena mengkhotbahkan kebenaran. Jadi ‘Tuhan beserta kita’ di sini maksudnya bukan suatu kepastian/ jaminan yang terasa aman dan nyaman –apapun istilahnya– tapi penyertaan ini adalah perlengkapan/ pembekalan yang dilakukan oleh Tuhan supaya kita bisa bermisi. Tanpa ini, kita tidak ada kekuatan untuk bermisi. Orang yang ber-misi itulah yang boleh percaya bahwa Yesus menyertai mereka sanantiasa sampai akhir zaman.
Saya pikir, poin ini Saudara bukan pertama kali mendengarnya, bahwa janji penyertaan Tuhan ini, tidak bisa tidak kita musti mengaitkannya dengan Amanat Agung itu sendiri –dengan misi. Bukan untuk kepentingan kita sendiri, keamanan kita sendiri, bahwa kita akan diluputkan dari bahaya, tidak kena Covid, yang lain mati tapi saya tidak mati, dsb.; bukan itu. Itu tidak ada kaitannya dengan Matius 28. Matius 28 menjanjikan penyertaan senantiasa sampai akhir zaman, bagi orang yang memuridkan, bagi Gereja yang menjalankan pemuridan.
Dalam 1 Korintus 12:13, poinnya mirip sekali. Sebagaimana dikatakan dalam Matius 28, “jadikanlah semua bangsa murid-Ku”, demikianlah di dalam 1 Korintus 12 dikatakan “semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka” –dan kita bisa tambah daftarnya, misalnya kaya maupun miskin, terpelajar maupun sederhana, bahkan ras apapun, kita yang berbeda-beda dan beraneka ragam—“telah dibaptis menjadi satu tubuh”. Gereja ini adalah Gereja yang diberkati, bukan karena kita kehilangan perbedaan –itu sesuatu yang tidak mungkin—tapi kalau kita, meskipun berbeda, tapi bisa menghayati apa artinya “satu tubuh”. Gereja yang bisa menghidupi narasi “satu tubuh” meskipun berbeda-beda, itulah Gereja yang mengerti Liturgi Baptisan, karena baptisan di sini dikaitkan dengan kesatuan tubuh meskipun banyak anggota.
Peter Leithart mengatakan, Baptisan adalah seperti mendirikan suatu negara –negara surgawi–dan penciptaan seperti ini begitu menakjubkan, membuat kita harusnya kagum, karena Allah seperti membuang bangsa-bangsa, semaju apapun mereka, dan memulai bangsa yang baru, hanya dengan beberapa tetes air. Kutipan bahasa Inggrisnya demikian: “That God can throw down nations, and plan new one with a few drops of water”. Saudara, coba lihat bagaimana cara Tuhan bekerja; Tuhan bukan mendirikan bangsa dengan cara membawa 10.000 pasukan malaikat yang bajunya berkilau-kilauan lalu semua orang jadi buta karena tidak tahan cahayanya; bukan itu. Kita tidak melihat teologi triumphalism seperti itu, melainkan hanya dengan a few drops of water, yang apalah artinya. Tapi kenapa Tuhan justru pakai air di dalam hal ini? Memang air barang yang esensial, tapi agak “murahan” kalau dibandingkan misalnya pakai emas cair, atau bahan-bahan yang mahal. Mengapa pakai air?? Jelas sekali, di sini ada teologi salib. Sekali lagi dan sekali lagi, Tuhan tidak bekerja dengan cara kemuliaan manusia, dengan cara kemuliaan dunia ini. Kuasa-Nya yang besar itu di surga dan dibumi, jangan kita membayangkannya dengan cara membayangkan kuasa di dunia ini, karena kita bisa kecewa, “lho, koq cuma gitu, tok?”
Saudara bisa bayangkan, misalnya orang yang mau tukar paspor, prosesnya rumit sekali, musti nyanyi lagu kebangsaan, lalu ditanya ini dan itu, dan banyak lagi ritualnya. Tetapi Tuhan, Dia mendirikan bangsa/umat pilihan-Nya with just a few drops of water, sepertinya koq, kurang elegan, kurang keren, cuma pakai air doang, ‘gak ada apa-apanya, tidak keliatan mewah atau bagaimana. Memang demikian, karena Tuhan bukan Tuhan kemewahan, Tuhan adalah Tuhan orang-orang yang sederhana. Kalau kita kesulitan dengan cerita ini –meskipun ini bukan Alkitab, tapi Peter Leithart mengatakannya dengan baik–mungkin kita tidak mengerti apa artinya Liturgi Baptisan, lalu Gereja sibuk, bukan dengan a few drops of water, tapi dengan kemuliaan-kemuliaan duniawi, dengan emas cair, dengan perak cair, dst. Tidak cocok dengan Liturgi Baptisan; narasinya narasi asing untuk Alkitab.
Imamat yang rajani ini, terbuka bagi semua orang. James Smith mengatakan, ini terbuka, to a despised and rejected class, a marginalized people. Perhatikan klub-klub di dalam dunia ini, sangat elitis, komunitas yang elitis. Saya berdoa, GRII Kelapa Gading jangan sampai jadi komunitas yang elitis, itu tidak cocok dengan Liturgi Baptisan. Liturgi Baptisan itu dibuka to the despised, rejected, marginalized people, seperti Saudara dan saya. Tapi kalau Gereja ini makin lama jadi gereja yang elit, yang IQ orang-orangnya harus di atas 130 karena jika tidak, tidak akan bisa mengerti khotbah-khotbahnya, dan khotbahnya pun khotbah elit, sehingga orang yang bisa mengerti juga musti orang elit, lalu kita merasa terhibur karena ini Gereja Reformed isinya orang-orang pintar; itu bukanlah good news, tapi bad news namanya. Itu berarti kita gagal menjadi Gereja. Elitisme apapun, itu tidak cocok dengan Liturgi Baptisan. Liturgi Baptisan adalah terbuka untuk semua, terutama untuk the despised, rejected, marginalized people. Kita ini adalah orang-orang yang di dalam posisi ini, dan Yesus merangkul kita; kita ini adalah orang-orang kusta itu, yang dicari oleh Yesus. Koq, kita tidak sadar?? Lalu sekarang kita jijik terhadap orang kusta yang lain?? Sekarang kita jijik pada orang-orang yang dianggap “asing”; lupa, ya, kalau kita sendiri kusta dan asing?? Liturgi apa yang membentuk kehidupan Saudara? Liturgi Baptisan atau liturgi yang lain?
Katekismus Heidelberg mengatakan, “mengapa kita membaptis anak-anak kecil juga?” Memang, ini ada kaitan dengan kovenan, dengan perjanjian, bahwa mereka ini umat perjanjian. Kalimat di dalam Katekismus Heidelberg, dari pertanyaan ke-74, dan jawabannya adalah sbb.: “Infant, as well as adult, are included in God’s covenant and people”; bukan cuma orang dewasa, tapi anak-anak dan bahkan bayi-bayi juga termasuk di dalam perjanjian dengan Allah, termasuk di dalam umat Allah. Selanjutnya dikatakan: “and they, no less than adults, are promised deliverance from sin through Christ’s blood and the Holy Spirit who produces faith. Therefore, by baptism, the sign of the covenant, they too should be incorporated into the Christian church and distinguished from the children of unbelievers. This was done in the Old Testament by circumcision, which was replaced in the New Testament by baptism.” Heidelberg mengatakan, di dalam Perjanjian Lama ada sunat, dan sekarang dalam Perjanjian Baru digantikan dengan Baptisan, tapi sebetulnya liturginya sama, pesannya sama, yaitu untuk masuk ke dalam umat Allah (God’s people), perjanjian Allah (God’s covenant).
Ini adalah perjanjian dengan Allah; anugerah itu mendahului respons manusia. Dan perhatikan, anak-anak dari orang percaya, seharusnya dibedakan dari anak-anak orang yang tidak percaya. Bukan karena kita mau menghayati diri lebih suci dari mereka –bukan ke sana maksudnya– tapi menjadi suatu kesaksian bahwa anak-anak orang percaya diserahkan kepada Tuhan dan dibaptis dalam nama Allah Tritunggal, lalu kita, sebagai orangtua, berjanji mau mendidik mereka untuk mengenal jalan Tuhan. Bukan cuma orangtuanya, tapi sebetulnya seluruh jemaat. Bukan cuma orangtua mereka, Saudara juga ikut berbagian dalam pertumbuhan anak-anak yang telah kita saksikan dibaptis. Mengapa? Karena kita ini umat Allah yang satu, karena ini adalah perjanjian Allah (God’s covenant), umat Allah (God’s people). Kita tidak bisa bilang “yang dibaptis itu anaknya Pak Heru, jadi ya, urusan Pak Heru dong, apalagi dia pendeta”; kita semua, sebagai umat yang percaya, saling berbagian di dalam kehidupan anggota tubuh Kristus ini.
Calvin mengatakan, baptisan adalah tanda (sign) dari dipersatukan dengan Kristus (union with Christ). Kita bukan hanya dicangkokkan/ dipersatukan dengan kematian dan kehidupan Kristus –itu sudah pasti– tapi juga dipersatukan dengan Kristus supaya kita boleh menjadi pewaris atau orang-orang yang berbagian di dalam semua berkat/manfaat yang ada pada Kristus. Ketika anak-anak dibaptis, itu menyatakan/melambangkan Roh Kudus turun ke atas mereka dan juga melambangkan darah Kristus yang dipercikkan, sehingga ‘berbagian di dalam Kristus dan segala yang ada pada Kristus’ itu, diberikan juga bagi anak-anak ini. Alangkah indahnya janji ini.
Janji sudah diberikan oleh Tuhan; sekarang kita, sebagai jemaat dan orangtua, bagaimana menyatakan, menghidupi, mempercayai bahwa janji ini terjadi di dalam diri anak-anak yang dibaptis itu, sehingga Baptisan tadi bukan jadi ritual kosong? Tadi Pendeta Heru, mengatakan, supaya kita jangan salah mengerti, bahwa kalau dibaptis maka seolah-olah ada sesuatu yang secara ajaib terjadi, sehingga anak-anak itu pasti akan percaya, pasti akan ke surga, dsb.; kita jangan berpikir ceroboh seperti itu. Saya bukan mengatakan kalau begitu berarti tergantung kepada kita; memang bukan bergantung kepada kita melainkan kepada anugerah Tuhan, tapi Saudara dan saya bertanggung jawab dalam memperkenalkan jalan Tuhan kepada anak-anak yang dibaptis itu. Termasuk juga ketika mereka menyeleweng, termasuk kalau mereka keliru, Saudara berbagian untuk menegur. Orangtua-orangtua jangan over protective terhadap anak-anaknya. Kalau anak Saudara ditegur oleh guru Sekolah Minggu, dan Saudara marah, berarti Saudara tidak mengerti Liturgi Baptisan. Kita bisa saja sensitif, ‘ini ‘kan anak saya, koq dimarah-marahin sama orangtua lain, memang dia ini apa urusannya dengan anak saya?!’, lalu kita marah, tapi itu berarti kita orangtua yang memberhalakan anaknya, tidak sadar bahwa di dalam Liturgi Baptisan kita saling mendidik satu sama lain. Bukan cuma Saudara yang adalah orangtuanya, yang berhak mendidik anak-anak Saudara, tapi kalau kita bilang bahwa kita ini Satu Keluarga Besar, maka kita saling mendidik satu sama lain. Tentu saja kalau marahnya keterlaluan sampai memukul, bisa jadi salah, tapi kita bukan membicarakan yang demikian. Kita sedang membicarakan teguran yang wajar, tapi kadang-kadang sebagai orangtua, kita bisa terlalu sensitif; kalau begitu, cerita “Satu Keluarga Besar” ini benar atau cuma omong kosong sebetulnya? Kalau kita mengatakan benar, mari kita menghidupinya. Terhadap anak-anak yang dipercayakan dalam gereja lokal ini, mari kita berbagian di dalam pertumbuhan mereka.
Di dalam Baptisan kita juga percaya ada janji setia (pledge of allegiance), janji perjanjian (covenantal promise). Kita ini satu keluarga, maka di dalam Baptisan kita mengundang bukan cuma orangtuanya, bukan cuma orangtua rohaninya, tapi juga seluruh jemaat, untuk menerima anak-anak ini; mereka sekarang adalah anggota keuarga kita. Terimalah mereka; kita berbagian dalam hidup mereka, dan mereka juga masuk dalam kehidupan kita. Mereka yang dibaptis, adalah anggota keluarga kita.
Efesus 2:19 mengatakan, “bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah”. Apakah Saudara mengerti ayat-ayat ini? Dalam liturginya dunia, kalau ada orang yang berhasil masuk suatu klub elit, begitu diterima, ada perayaannya, mungkin dipeluk, mungkin ada acara pengguntingan pita, pidato, atau apapun, acara yang meriah sekali, karena dia bisa masuk klub elit ini; tadinya orang asing, orang luar, pas-pasan, tapi ternyata berhasil diterima, luar biasa. Itu di dunia. Tapi kalau kita di Gereja tidak bisa melakukan bahkan lebih daripada ini, kalau ada orang dibaptis lalu kita biasa-biasa saja, tidak ada welcoming, tidak ada pelukan, tidak ada hospitality, –tidak ada gestur menyambut ‘engkau sekarang bagian dari keluarga kami’– kalau tidak ada bagian ini, maka kita bahkan lebih buruk daripada klub-klub yang ada di dunia. Mari kita merenungkan, apa artinya Baptisan ini di dalam kehidupan orang percaya.
Terakhir, di dalam Baptisan ada janji yang diucapkan; kalau Baptisan dewasa memang diucapkan, sementara kalau baptisan anak-anak, yang belum bisa mengucapkan, ini diwakili oleh orangtua. Ada kaitan antara janji setia dengan penolakan (renunciation). Sebelum dibaptis, Pendeta menanyakan “Apakah Saudara berjanji untuk memegang teguh iman kepercayaan, dan menolak segala penyelewangan, baik kepada kepercayaan yang lain, ideologi- ideologi lain, agama yang lain atau segala kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran iman yang murni, seperti yang kita terima dari Kitab Suci?” Jadi, berjanji setia berarti ada dimensi penolakan. Kita tidak bisa setia kepada yang satu, tapi setia juga kepada yang lain. Saudara tidak bisa setia kepada Allah, dan sekaligus setia kepada Mamon. Itu tidak ada. Saudara tidak bisa terikat kepada Kristus, tapi terikat juga kepada pelacur, kepada uang, kepada popularitas, kepada cerita sukses dunia ini. Itu tidak bisa. Itu bukan pengikut Kristus, itu namanya pengkhianat-pengkhianat. Kalau Saudara sungguh-sungguh mengerti Liturgi Baptisan, ada janji setia (pledge of allegiance), maka Saudara menyangkal/ membuang (renounce) yang lain itu; “saya berjanji akan setia mengikuti Tuhan Yesus dan menaati firman-Nya”.
Dalam The Book of Common Prayer, ada pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan di dalam Liturgi kita. Pertanyaannya seperti ini: “Do you renounce Satan and all the spiritual forces of wickedness that rebelled against God?” (“Apakah engkau membuang/menyangkal setan dan semua kekuatan-kekuatan spiritual jahat yang melawan Allah?”); dan jawabannya: “I renounce them”. Jadi, di dalam jawaban “ya” itu ada “tidak” terhadap yang lain. Kita tidak bisa cuma bilang “ya” terhadap sesuatu secara positif, tapi tidak ada “tidak”-nya. Selanjutnya: “Do you renounce all sinful desires that draw you from the love of God?” (“Apakah engkau menyangkal/ membuang atau menyampahkan keinginan-keinginan berdosa yang berusaha menjauhkan engkau dari kasih kepada Allah?”); jawabannya: “I renounce them” (“Ya, aku membuang itu”). Apakah kita bisa mengatakan kalimat ini sebagai Gereja? Bukan cuma yang dibaptis –mereka sudah pasti, juga orangtuanya– tapi Saudara dan saya, bisakah kita meng-amin-kan kalimat ini, “Ya, saya mau membuang itu, karena saya sudah berjanji mau setia kepada Yesus Kristus, dan kepada Yesus Kristus saja”?
Kiranya Liturgi Baptisan ini hidup di dalam kehidupan kita, bukan cuma saat 6 bulan sekali kita mengadakan Baptisan seperti hari ini. Berharap cerita Baptisan ini boleh kita hidupi, dengan semua aspeknya, dengan semua dimensinya, sebagaimana yang kita sudah renungkan bersama-sama. Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading