Bagian yang panjang ini mengetengahkan salah satu Ego Eimi dari The Seven Great “I AM”, di sini penekanannya tentang Yesus yang adalah hidup dan adalah kebangkitan.
Kita melihat dalam kehidupan manusia, seberapa maju pun teknologi, manusia tetap tidak bisa melawan kematian. Kematian mengunjungi kehidupan manusia karena manusia memang sudah jatuh ke dalam dosa, tidak ada orang yang bisa keluar dari persoalan ini. Dan waktu kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, tetap saja kita tidak luput dari kematian (kematian fisik), kecuali kalau sebelum kita mati Tuhan Yesus sudah datang kembali (orang-orang percaya yang demikian, tidak akan mengalami kematian). Hal ini selalu menyisakan semacam pertanyaan, ‘Kalau Tuhan sudah membereskan dosa di dalam kehidupan manusia, mengapa manusia –khususnya yang percaya kepada Tuhan– masih harus mengalami kematian juga? Upah dosa adalah maut, dan kalau Yesus betul-betul sudah membayar semua persoalan kita tentang dosa, bukankah seharusnya tidak ada lagi kematian? Bukankah begitu logikanya?’ Tetapi, waktu kematian diizinkan tetap ada dalam kehidupan kita, sebetulnya ada hal yang bisa kita pelajari; kalau di dalam perikop ini, salah satu prinsip yang dikatakan adalah untuk menyatakan kemuliaan Tuhan. Menyatakan kemuliaan Tuhan bukan di dalam cara seperti yang Saudara dan saya mau, melainkan seperti yang Tuhan mau, menurut bijaksana Tuhan. Inilah bagian yang ingin kita pelajari dalam perikop ini.
Di bagian awal penggambarannya sederhana, yaitu Lazarus sedang sakit (ayat 1). Sebelum mati seseorang mengalami sakit penyakit, ini juga persoalan yang manusia terus menerus bergumul sampai sekarang.
Maria dan Marta adalah saudara Lazarus, mereka tinggal di Betania. Ayat 2 dikatakan, Maria ialah perempuan yang pernah meminyaki kaki Tuhan dengan minyak mur dan menyekanya dengan rambutnya. Sebenarnya kita belum sampai pada perikop yang menceritakan tentang Maria meminyaki kaki Yesus dengan minyak mur dan menyeka dengan rambutnya. Tetapi dari penjelasan di ayat 2 ini, kita bisa tahu, bagi pembaca Injil Yohanes ini Maria sudah cukup dikenal, sehingga diantisipasi di sini bahwa dia adalah yang pernah meminyaki kaki Tuhan dengan minyak mur dan menyeka dengan rambutnya.
Berbicara tentang meminyaki, ada sedikit perbedaan antara perspektifnya Yohanes dengan perspektif yang lain, yang bicara tentang perempuan yang mengurapi Yesus, mempersiapkan kematian-Nya, dsb. Di dalam perspektif Yohanes, meminyaki kaki Tuhan ini bicara tentang kerendahan hati, pelayanan, sebagaimana Yesus sendiri juga membasuh kaki murid-murid-Nya (pakai motif ‘kaki’ juga). Di Kitab Keluaran, waktu Musa menghadap Tuhan di gunung, dicatat bahwa mereka melihat Allah, tapi sebenarnya yang dilihat hanya jejak kaki-Nya saja. Di situ terjemahan bahasa Indonesia memakai istilah ‘jejak kaki-Nya’ –bahkan bukan ‘kaki-Nya’– menyatakan seberapa parsialnya pengenalan kita akan Tuhan, Tuhan jauh lebih besar daripada yang dapat kita bayangkan di dalam kehidupan ini. Dalam hal ini, waktu motif ‘kaki’ ditempatkan dalam beberapa bagian Firman Tuhan, mau menyatakan bahwa ini bagian bawah dari tubuh manusia; dan di sini dikatakan Maria meminyaki kaki Tuhan, menyatakan perasaan ketidaklayakan dalam perjumpaan dengan Tuhan ini, sekaligus juga kerendahan hatinya di hadapan Tuhan.
Maria meminyaki kaki-Nya dan menyeka dengan rambutnya; di sini rambut –bagian yang paling atas dari Maria– bertemu dengan bagian yang paling bawah, kaki Tuhan. Dan itu juga tetap tidak layak sebetulnya. Jadi Saudara bisa melihat, poin apa yang dimaksudkan di sini. Tetapi bukan hanya Maria yang melakukan ini, Yesus sendiri juga melakukan terhadap murid-murid-Nya, Dia membasuh kaki murid-murid-Nya. Kalau kita bisa hidup seperti ini, kita lebih bahagia, karena kita punya kerendahan hati seperti Yesus Kristus. Bagian yang kita anggap paling atas di dalam kehidupan kita, itu cuma cocok dengan bagian yang paling bawah dari diri Tuhan; bukan mata bertemu mata melainkan kepala bertemu kaki.
Ayat 3, Lazarus yang sakit itu adalah saudaranya (saudara Marta dan Maria). Kedua perempuan itu mengirim kabar kepada Yesus: "Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit." Perhatikan keindahan kalimat ini, tidak ada pemaksaan, tidak menyiratkan sesuatu yang seakan mengharuskan Yesus untuk segera datang dan menyembuhkan. Tidak ada kalimat seperti itu, yang ada cuma pemberitahuan, "Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit". Pengharapan untuk disembuhkan, menurut saya wajar. Tidak salah bahwa dalam kalimat ini ada pengharapan Tuhan Yesus akan menyembuhkan, dan itu juga sama sekali tidak keliru. Tetapi kalimat itu bukan sekedar kalimat yang sopan, melainkan kalimat yang memposisikan kerendahan hati yang benar di hadapan Tuhan.
Matthew Henry memberikan tafsiran yang menarik dalam bagian ini; dia mengatakan: “The message they sent was very short, not petitioning, much less prescribing or pressing, but barely relating the case with the tender insinuation of a powerful plea, Lord, behold, he whom thou lovest is sick. They do not say, he whom we love, but he whom thou lovest.” Jadi, dua perempuan ini tidak mengatakan “ini lho, saudara kita, yang kita kasihi, saya sayang banget lho pada Lazarus, ini saudara laki-laki saya” — seringkali Saudara dan saya pikir seperti ini. Kalau kita punya anggota keluarga yang sakit atau ada kesulitan, kita jadi seperti agak memaksa orang lain, alasannya karena saya cinta dia; “ini saudara saya, ayo dong ditolong karena ini saudara saya, karena kita cinta dia, jadi semua musti tolong saudara saya ini”. Yang seperti ini anak-anak. Tetapi perhatikan, dua perempuan ini waktu mengatakan kepada Tuhan Yesus, kalimatnya adalah “dia yang Engkau kasihi, sakit”, “he whom thou lovest” dan bukannya “he whom we love”.
Kembali meneruskan perkataan Matthew Henry: “Our greatest encouragements in prayer are fetched from God himself and from his grace”. Kita punya dorongan, kekuatan, penghiburan, itu datangnya dari Tuhan sendiri dan dari kasih karunia-Nya, bukan dari seberapa besar kita mencintai orang yang musti ditolong itu. Cinta kasih Saudara dan saya sangat tidak stabil, dan juga ‘gak penting-penting banget, di dalam hal ini, karena ini bukan urusan manusia, bukan teologi antroposentris, ini teologi teosentris.
Selanjutnya Matthew Henry mencoba melihat dengan berbagai perspektif, subyek dan obyeknya diganti-ganti; dia mengatakan: “They do not say, Lord, behold, he who loveth thee, but he whom thou lovest”. Apa bedanya kalau dua perempuan ini mengatakan ‘Tuhan, dia yang mengasihi Engkau, sakit’ dengan ‘Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit’? Kalau dua perempuan ini mengatakan ‘dia yang mengasihi Engkau, sakit’, maksudnya jadi Tuhan berkewajiban untuk membalas jasanya dia?? Karena ini adalah orang yang mengasihi Tuhan, jadi Tuhan harus balik mengasihi dia?? Gambaran seperti ini tidak cocok; ini bukan ‘dia yang mengasihi Engkau’ melainkan ‘dia yang Engkau kasihi’.
Matthew Henry lalu mengatakan: “for herein is love, not that we loved God, but that he loved us. Our love to him is not worth speaking of, but his to us can never be enough spoken of” –kita punya cinta kasih kepada Tuhan tidak usah dibicarakan, tidak layak untuk dibicarakan. Ini bukan karena kita benci, kritikal, sinis, atau sarkastis terhadap manusia, melainkan gol-nya adalah supaya kemuliaan Tuhan dinyatakan, sebagaimana dikatakan di bagian ini. Untuk kemuliaan Tuhan dinyatakan, berarti kontras dengan kemuliaan manusia. Ada ayat Firman Tuhan yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berbagi kemuliaan-Nya kepada siapapun, “Aku, TUHAN, Aku tidak memberi kemuliaan-Ku kepada siapa pun, tidak kepada ciptaan-ciptaan”. Pertama sekali kita musti mengerti prinsip ini sebelum kita mengerti kedalaman arti Tuhan melibatkan kita di dalam kemuliaan-Nya. Kalimat tadi belum selesai sebenarnya, tetapi untuk mengerti betapa besarnya cinta kasih Tuhan sehingga boleh melibatkan kita di dalam kemuliaan-Nya, kita musti mengerti kalimat ini terlebih dahulu bahwa Tuhan tidak share kemuliaan-Nya, kemuliaan Tuhan hanya untuk Tuhan. Jadi di sini Matthew Henry mengatakan, kita jangan bicara soal cinta kasih kita, jasa kita, pelayanan kita; kita jangan bicara telah membantu orang lain seberapa banyak, atau bahkan membantu Tuhan, dsb., itu semua tidak perlu dan tidak sepatutnya disinggung sama sekali. Sebaliknya, yang disinggung di sini adalah betapa besar kasih Tuhan itu kepada Lazarus. Dan hal ini tidak akan pernah habis dibicarakan. Kita tidak akan pernah cukup membicarakan kasih Tuhan.
Ayat 4, Ketika Yesus mendengar kabar itu, Ia berkata: "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan." Kita tahu, dalam cerita ini memang Lazarus akhirnya dibangkitkan, maka dikatakan "penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan". Tapi mungkin Saudara berpikir, ‘untuk Lazarus memang iya, karena dia mati tapi kemudian dibangkitkan, tapi bagaimana dengan kita, dengan anggota keluarga kita?? mereka mati dan sepertinya memang tidak dibangkitkan karena ‘kan Tuhan Yesus sekarang tidak berada di dunia; kalau Tuhan Yesus sedang di dunia, ya, kita mungkin bisa mengalami kebangkitan itu’. Di sini Saudara salah mengerti pesan yang mau dikatakan Yohanes 11; yang mau dikatakan di sini yaitu Yesus adalah kebangkitan dan hidup, “I Am the Ressurection and the Life”.
Perhatikan di sini, kalimatnya adalah “I Am”, bukan “I will be”. Bukan “Saya akan membangkitkan kamu pada saat yang akan datang”, melainkan bahwa Yesus adalah kehidupan itu sendiri, kebangkitan itu sendiri. Di perikop ini, kita melihat demonstrasi kebangkitan manusia yang seakan-akan pada waktu yang salah/ keliru; yang seharusnya terjadi pada akhir zaman, tetapi kemudian dinyatakan di sini dan sekarang. Mengapa? Karena Yesus adalah “I Am –bukan I will be– the Ressurection and the Life”, sebagaimana juga Yesus mengatakan “I Am –bukan I was atau I will be—the Bread of Life”. Oleh karena itu, waktu di dalam kehidupan ini kita bergumul dengan sakit penyakit, dan akhirnya dengan kematian—entah kita sendiri atau anggota keuarga yang kita cintai—prinsip yang sama juga berlaku, bahwa penyakit ini tidak akan membawa kematian tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah. Kalau ada seorang sakit yang bergumul di dalam ketaatan kepada Tuhan, lalu akhirnya dia mati, di situ tetap kita akan mengatakan kalimat yang sama, “penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah”. Kemuliaan Allah dinyatakan, termasuk juga melalui sakit-penyakit, termasuk juga melalui kematian, karena akhirnya akan terjadi kebangkitan; baik terjadinya di sini dan sekarang ataupun terjadinya nanti, yang pasti kematian bukanlah akhir dari segala sesuatu. Jadi ini kalimat yang sama, yang seharusnya juga menjadi kekuatan untuk kita, bukan hanya untuk Lazarus yang dibangkitkan di sini dan sekarang.
Kita juga bisa melihat di dalam ayat ini, bahwa gol/ tujuan akhir kita bukanlah kesehatan, bukan pula keadaan berkumpul bersama keluarga terus-menerus; gol sebenarnya adalah kemuliaan Allah –sebagaimana seringkali ditekankan dalam Teologi Reformed. Waktu kita atau orang-orang yang kita kasihi sakit, gol-nya adalah kemuliaan Allah, sebagaimana juga waktu kita sehat dan orang-orang itu sehat, gol-nya adalah kemuliaan Allah. Waktu orang masih hidup, gol-nya adalah kemuliaan Allah; waktu orang mati, gol-nya juga adalah kemuliaan Allah. Kita berharap dalam kehidupan ini, baik kita sakit atau sehat, baik kita mati atau hidup, semuanya itu boleh menyatakan kemuliaan Allah. Di dalam kasus Lazarus ini, kita melihat secara khusus memang Tuhan dengan cara tertentu menyatakan kemuliaan-Nya.
Tetapi waktu murid-murid-Nya mendengar perkataan ini, mereka tidak mengerti. Mereka pikir kalau penyakit itu tidak akan membawa kematian, maksudnya mungkin sakit biasa, mungkin cuma pilek. Dan kalau penyakit itu tidak akan membawa kematian, berarti tidak usah buru-buru ke sana, lain kali tidak apa-apa, lagipula banyak batu yang siap diangkat untuk dirajamkan kepada mereka, ada semacam trauma juga dalam diri mereka. Mereka mungkin berpikir, ‘siapa sih yang tidak pernah sakit, semua orang pernah sakit, lagipula Yesus bilang, penyakit itu tidak akan membawa kematian’. Saudara lihat, inilah pemahaman dalam diri orang-orang yang tidak ada pengertian tentang spiritual realm, selalu gak’ nyambung dengan perkataan yang mau disampaikan oleh Tuhan. Dalam menerima/ meresepsi perkataan Yesus, mereka sulit mengerti, mereka sering sekali tidak mengerti sampai Yesus menjelaskan lagi dan lagi; dan ini terjadi berkali-kali. Bagian ini sangat khas terbaca dalam Injil Yohanes dibandingkan injil-injil yang lain. Yesus membicarakan perkara-perkara rohani, mereka tidak mengerti, mereka menerjemahkannya dalam perkara-perkara dunia. Ini tipikal paham naturalistik; orang yang dalam kehidupannya tidak ada Tuhan, dia tidak bisa berpikir rohani.
Di dalam bagian sebelumnya, cerita tentang orang buta yang dicelikkan (pasal 9), di situ juga ada perkataan “bukan dosa orangtuanya atau dosanya dia, tetapi supaya pekerjaan Tuhan boleh dinyatakan” –ada kemiripan dengan perkataan Tuhan Yesus di pasal 11 ini. "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah”, maksudnya, kematian bukanlah tujuan dari penyakit; gol-nya penyakit bukanlah kematian. Kematian bukanlah akhirnya, dan juga bukan tujuannya dari penyakit; tujuan akhirnya adalah kemuliaan Allah, “oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan”.
Ayat 5, Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. Ini keterangan redaksional dari penulis, jadi tidak salah waktu mereka mengatakan “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit."
Ayat 6, Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada. Ada bijaksana Tuhan yang kita sulit mengerti di dalam kehidupan ini. Menurut kita, kalau kita ada persoalan, sebaiknya segera diselesaikan, karena toh Tuhan mahakuasa, mahamampu, dsb.; tetapi seringkali yang terjadi, kita tidak ketemu dalam urusan timing. Di dalam Alkitab, Tuhan pernah berhenti bicara ratusan tahun. Waktu bangsa Israel dijajah, mereka berteriak kepada Tuhan minta dibebaskan; berapa lama? Bukan 3 bulan, tapi panjang sekali waktunya mereka harus menanti, bahkan sampai mati belum dibebaskan juga. Kita sulit memahami kebijaksanaan Tuhan yang seperti itu, termasuk juga dengan kejadian-kejadian di sekitar kita yang mungkin dalam porsi jauh lebih kecil, atau juga di dalam sejarah waktu kita melihat ke belakang. Mengapa Tuhan tidak segera menjatuhkan kepemimpinan Hitler?? Mengapa Hitler tidak mati saja waktu bayi, bukankah itu akan menyelasaikan persoalan Auschwitz, sehingga hal itu mungkin tidak akan pernah ada?? Dalam bijaksana kita, kita bisa berpikir seperti itu, bahwa lebih baik tidak pernah dilahirkan, dsb. –mirip seperti perkataan Ayub. Saya baru saja nonton Bohemian Rhapsody, Queen; di situ ada teks yang menarik, mirip dengan perkataan Ayub, suatu wish supaya ‘saya tidak perlu dilahirkan’, dst. Tapi apakah akan menyelesaikan masalah seandainya tidak dilahirkan?
Di dalam bijaksana Tuhan, ada pengaturan yang berbeda. Termasuk juga waktu di sini dicatat oleh Yohanes, bahwa Yesus sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada. Ini menguji iman, menguji kesabaran, menguji keberanian, menguji cinta kasih, menguji pengharapan, dan seterusnya. Musa, waktu dia naik ke gunung, dia menunggu 6 hari lamanya, lalu di hari ke-7 baru Tuhan panggil dia untuk naik. Musa menunggu dengan sabar sampai dia dipanggil Tuhan di hari ketujuh, dan setelah itu dia masuk ke dalam hadirat Tuhan dan tinggal (abide) 40 hari 40 malam, menikmati persekutuan dengan Tuhan. Perhatikan di sini, ada masa 6 hari menanti; bayangkan kalau Musa gagal, misalnya hari ketiga sudah bosan luar biasa, apa yang terjadi? Dalam Alkitab ada cerita tentang Saul yang tidak sabar menunggu Samuel lalu akhirnya mempersembahkan sendiri; Saul tidak menghargai kehadiran Tuhan, jalan sendiri tanpa menanti Tuhan. Ada bijaksana Tuhan yang kita belum bisa mengerti, tapi Tuhan tidak pernah salah dalam bijaksana-Nya, di dalam kehidupan kita.
Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada; tetapi sesudah itu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Mari kita kembali lagi ke Yudea. " Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Rabi, baru-baru ini orang-orang Yahudi mencoba melempari Engkau, masih maukah Engkau kembali ke sana?" (ayat 6-8). Perkataan murid-murid ini tidak perlu dimengerti terlalu negatif, bahwa mereka ini oportunis, pengecut, dsb. Wajar sekali mereka berpikir seperti ini, ‘Lu ini bagaimana, di situ sudah terjadi penolakan; dan bukan cuma itu, orang-orang sudah mau melempari Engkau dengan batu, bahkan bukan cuma Kamu tapi kita semua juga, sebab kita ini murid-murid-Mu! Sekarang kita mau balik lagi ke sana?? Apa ‘gak ada tempat lain? Apa ‘gak ada masyarakat lain yang bisa kita layani?’ Bukan berarti mereka tidak mau melayani, dan bukan juga takut menderita, tapi setidaknya mereka tidak mau mati konyol juga tentunya. Jadi perkataan ini sebetulnya wajar-wajar saja kalau dinilai secara manusia, karena siapalah yang sengaja mau menantang kematian atau penderitaan atau sakit penyakit, dsb., orang waras tidak akan melakukan itu.
Tetapi yang menarik adalah jawaban Yesus: "Bukankah ada dua belas jam dalam satu hari?” (ayat 9a) –dua belas jam di sini dalam pengertian bahwa setelah matahari terbenam, orang tidak bisa bekerja lagi. Waktu dikatakan “ada dua belas jam dalam satu hari”, ini bermakna ganda (double meaning); pertama, bahwa hidup itu ada kesempatannya, ada waktu siangnya. Saudara ingat ayat yang mengatakan: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, Aku pun bekerja”. Kita bekerja selama hari masih siang, ada saatnya malam tiba dan kita tidak bisa bekerja lagi. "Bukankah ada dua belas jam dalam satu hari?” maksudnya jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ini adalah kesempatan, yang memang sulit, memang bisa dilempari batu –kalau tiba saatnya. Hidup itu ada kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
Tapi waktu bicara soal kairos, kesempatan itu selalu juga ada batasnya. Kesempatan bukan selalu ada pada kita. Kesempatan ada batasnya. Ada saat ketika tidak ada kesempatan lagi. Itu sebabnya di sini dikatakan dua belas jam. Kalimatnya mengatakan: "bukankah ada dua belas jam dalam satu hari”; bukannya “bukankah selalu ada ribuan jam untuk kamu” –tidak ada ribuan jam untuk kamu bekerja, cuma ada 12 jam, yaitu waktu hari masih siang. Kairos ini, kesempatan untuk melayani dan mengikut Tuhan ini, tidak selama-lamanya ada di dalam kehidupan kita.
Yesus menyambung dengan: “Siapa yang berjalan pada siang hari, kakinya tidak terantuk, karena ia melihat terang dunia ini” (ayat 9b). Selama masih siang, yaitu selama Yesus masih bersama dengan mereka, mereka bisa bekerja. Ini bukan bicara tentang 12 jam dalam pengertian yang kelihatan saja, melainkan dalam pengertian rohani, yaitu selama Yesus berada bersama dengan mereka; dan itu terbatas waktunya. Kalau Saudara lihat di negara-negara Barat, dulu Kekristenan sangat mempengaruhi, tapi sekarang begitu bermusuhan, amat sangat kasar dan penuh kekerasan terhadap Kekristenan, diskriminasi. Bahkan di negara-negara Barat yang katanya sangat menjunjung human rights, coba Saudara lihat kepercayaan apa yang paling banyak dilecehkan, kalau bukan Kekristenan. Mereka bisa melecehkan Yesus, melecehkan agama Kristen, tapi apa bisa mereka melecehkan seperti itu terhadap agama lain? Tidak berani. Kalau terhadap agama lain mendadak politically correct, tapi kalau terhadap Kekristenan menginjak-injak, toh orang Kristen juga tidak membalas. Jadi kalau Saudara lihat keadaan dunia ini, sebenarnya sudah cukup jelas arahnya ke mana, dan Alkitab juga sudah menubuatkan ke sana. Saya bukan mau menakut-nakuti, tapi hidup ini memang satu kesempatan, ada 12 jam, waktu terang itu, waktu masih siang dan orang bisa bekerja. Dalam pengertian rohani, siang yaitu waktu Yesus masih ada bersama dengan mereka.
Ayat 10, “Tetapi jikalau seorang berjalan pada malam hari, kakinya terantuk, karena terang tidak ada di dalam dirinya." Maksudnya apa? Yesus seakan mengatakan, ‘Saya mau ke Yudea, ke mana pun Saya pergi, di situ siang; berbahagialah mereka yang mengikut Kristus, karena mereka berjalan dan kakinya tidak terantuk. Tapi celakalah kamu, kalau meskipun tidak ada orang melempari kamu dengan batu, dan kamu kelihatan aman, namun Yesus tidak di sana sebetulnya; itu malam namanya.’ Kalau kehidupan kita mengikut Kristus, kita berjalan seperti pada siang hari –siang hari dalam pengertian rohani. Tetapi kalau Saudara dan saya menghindari Yesus yang jalan ke sana, cari aman di sini yang kelihatannya lebih nyaman, maka bagian yang ditinggal Yesus itu serta-merta jadi malam, karena tidak ada Terang Dunia di sana. Jadi lebih baik mana, mengikut Yesus berjalan dan kaki tidak akan terantuk –mungkin ada resiko dilempari batu tapi tetap bersama Terang—atau berjalan di dalam kegelapan yang Tuhan tidak tertarik berada di tempat itu?
Satu perkataan dari Stephen Hawking –saya belum cek asli atau tidak—dia mengatakan: “Heaven is a fairy story for people afraid of the dark” (surga itu cerita dongeng untuk orang-orang yang takut kegelapan). Kemudian dijawab oleh seorang pengkotbah Kristen: “Atheism is a fairy story for those afraid of light” (ateisme itu cerita dongeng yang dihidupi oleh orang-orang yang takut akan terang). Sebenarnya orang lebih takut kegelapan atau lebih takut terang? Mungkin Saudara jawab ‘pasti yang takut kegelapan’, tapi sebetulnya yang takut kegelapan itu anak kecil –mungkin ada juga orang dewasa yang masih takut kegelapan– sedangkan dalam pengertian rohani, jauh lebih tepat mengatakan “orang takut terang, bukan takut kegelapan”.
Alkitab jelas mengatakan bahwa orang menyukai kegelapan, bukan menyukai terang; orang lebih suka hidup dalam kegelapan. Waktu orang mengikut Terang, dirinya akan dinyatakan apa adanya; bukan cuma kelebihannya, tapi juga kekurangannya, kebobrokannya, dsb. Waktu orang berada di dalam terang, dia tidak ada kesanggupan lagi untuk banding-bandingkan dirinya dengan orang lain, karena hal itu sudah jadi relatif luar biasa dan sama sekali tidak penting; perbandingannya sekarang adalah tentang ‘saya’ dan ‘Terang’ ini. Kalau orang sudah berada dalam terang, dia tidak membicarakan lagi tentang dirinya dengan temannya, yang dibicarakan adalah dirinya dengan Terang ini; dan dalam hal ini tidak ada orang yang bisa memperbandingkan dirinya dengan Terang tersebut. Maka kalimat Yesus tadi, sebetulnya bisa kita terjemahkan bahwa Yesus mengatakan: “Ikutlah Aku, Terang Dunia”.
Ayat 11, Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu Ia berkata kepada mereka: "Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya." Dalam rabbinic literature, sebetulnya cukup umum pengertian ‘mati’ sebagai ‘tidur’, tapi tidur yang tidak bangun-bangun –suatu kalimat simbolis/ metaforis. Yesus memakai istilah ini, "Lazarus, saudara kita, telah tertidur”, maksudnya mati; dan seharusnya orang Yahudi –di dalam kepercayaan mereka yang belum terlalu jelas tentang kebangkitan orang mati, meski ada dalam kitab Daniel tapi masih samar-samar– mengerti istilah ini, bahwa orang mati itu tidur, dibaringkan, dan tidak bangun lagi. Bahkan Daud yang sangat mengerti Kristologi mengatakan, “Di dunia orang mati, bukankah orang tidak memuji Engkau?” Bagi Daud, manusia di dunia orang mati itu selesai, tidak ada puji-pujian –dan kita tahu ini salah; memang ada keterbatasan Daud untuk memahami kehidupan setelah kematian. Jadi dalam kepercayaan Yahudi, orang mati itu tertidur; namun Yesus mengatakan: “tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya." Maksudnya, Yesus mau mengatakan: ‘Lazarus sudah mati, tapi Aku pergi ke sana untuk membangkitkan dia dari kematiannya’.
Tetapi, meski literatur-literatur yang membicarakan ‘kematian sebagai tidur’ sudah cukup banyak, tetap saja mereka mengertinya dalam pengertian fisik/ pengertian dunia yang kelihatan –lagi-lagi ini tipikal Johannine. ‘O, tidur, lalu buat apa dibangunin?? Tidak usahlah. Masakan kita pergi ke sana cuma untuk bangunin Lazarus?? Yang bener aja, dua saudaranya itu apa ‘gak bisa bangunin dia?? Kalau cuma tidur, mengapa harus kita yang bangunin, memangnya ini anak manja atau bagaimana?? Yesus ini aneh, kita ini bisa mati dilempari batu kalau pergi ke sana; lalu datang ke sana tujuannya cuma untuk bangunin orang tidur?? Yang bener sajalah. Kacau kalau kayak begini, ada sesuatu yang salah’. Itulah kira-kira yang ada dalam pikiran mereka; dan sangat mungkin untuk berpikir seperti itu. Maka mereka menjawab di ayat 12: "Tuhan, jikalau ia tertidur, ia akan sembuh" –‘Sudahlah, kita tidak usah repot-repot bangunin dia, nanti dia juga bangun sendiri, ‘kan dia cuma tidur; memangnya sakitnya apa sih?? Panu? Pilek? Nanti juga ada pertolongannya sendiri, nanti dia juga bangun dari tidurnya’. Tetapi yang dimaksud Yesus dengan ‘tertidur’ sebetulnya dalam arti ‘mati’, sementara sangka mereka ‘tertidur’ dalam arti biasa. ‘Gak nyambung. Lagi-lagi Yesus bicara apa, mereka tidak mengerti.
Saya sangat kuatir kalau orang pergi ke gereja dengar kotbah tapi waktu pengkotbahnya bicara apa, dia tidak mengerti. Tidak mengertinya dalam arti seakan ada sesuatu yang menghalangi mata melihat kemuliaan Tuhan dan kemuliaan Firman. Orangnya mungkin selalu lihat ke depan, ke mimbar, bukan sebentar-sebentar lihat jam, kelihatan konsentrasi, tapi sebetulnya tidak mengerti. Yang seperti ini betul-betul menakutkan. Ada orang-orang yang mendengar Firman Tuhan, tapi matanya seperti dibutakan, entah apa yang dia lihat. [Memang dalam doktrin Reformed, kita menjelaskan bahwa orang bisa mengerti Firman, itu betul-betul anugerah Tuhan]. Ini bukan persoalan karena pengkotbahnya terlalu banyak pakai bahasa asing, atau terlalu rumit pembahasannya –itu persoalan yang lain lagi—melainkan tidak ada pemahaman rohani; mereka tidak menangkap apa yang dikatakan.
Dan hal ini di dalam Injil Yohanes sering diulang-ulang; Yesus bicara apa, ditanggapinya yang lain. Waktu Yesus bertemu Nikodemus, Dia bicara tentang ‘kelahiran baru’ tapi Nikodemus menanggapi: “bagaimana mungkin orang tua bisa lahir kembali, masuk lagi ke perut ibunya”, dst. Nikodemus tidak mengerti. Yesus bicara spiritual regeneration, Nikodemus bicara physical regeneration. Di pasal 4, Yesus bicara dengan perempuan Samaria tentang air hidup, lalu perempuan itu menanggapi: “Berilah air itu, Tuhan, supaya saya tidak usah ke sumur ini untuk menimba air lagi”. Yesus bicara tentang air yang tidak kelihatan, perempuan ini masih berpikir tentang air yang kelihatan –‘gak nyambung lagi. Termasuk juga dalam cerita orang buta, Yesus mau menjelaskan tentang orang yang berjalan dalam kegelapan adalah orang yang buta rohani, yang perlu pencelikan dari Tuhan supaya dia bisa melihat kemuliaan Tuhan; tapi lagi-lagi mereka tidak menangkap, malah mereka mengeraskan hati setelah Yesus memberikan tanda/ mujizat orang yang disembuhkan dari kebutaannya.
Kembali ke bagian ini; ayat 14-15a, Karena itu Yesus berkata dengan terus terang: "Lazarus sudah mati; tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Percaya apa yang dimaksud? Bukan percaya bahwa Yesus sanggup melakukan mujizat, melainkan percaya kepada Pribadi Yesus yang adalah kebangkitan dan hidup –memang kali ini melalui tanda/ mujizat.
Selanjutnya Yesus mengatakan: “Marilah kita pergi sekarang kepadanya" (ayat 15b). Yesus, sebagai kebangkitan dan hidup, Dia datang kepada kematian itu. Ini seperti suatu tindakan yang mengantisipasi kematian-Nya di atas kayu salib. Keberanian untuk datang kepada kematian/ kegelapan bisa ada karena orang itu ada bersama dengan Terang. Orang yang tidak mau berurusan dengan orang-orang berdosa, jangan-jangan tidak ada terang dalam kehidupannya. Kalau Saudara terus berkumpulnya dengan orang-orang kudus/ saleh, mungkin kita belum lahir baru, sehingga selalu merasa tidak nyaman dengan orang-orang yang berada dalam kegelapan itu. Kalau orang ada terang, dia berani mengunjungi kegelapan, bukan karena mau bersekutu dengan kegelapan. Yesus mengunjungi kegelapan karena Dia adalah terang; dan sekarang dia mengajak murid-murid mengunjungi kematian –yaitu Lazarus yang mati– karena Dia adalah kebangkitan dan hidup. Yang punya hidup, dia berani mendatangi kematian; yang cuma mau bergaul dengan orang-orang hidup, mungkin sendirinya mati, tidak ada kekuatan kehidupan.
Ayat 16, Lalu Tomas, yang disebut Didimus, berkata kepada teman-temannya, yaitu murid-murid yang lain: "Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia." Waktu membaca ini, mungkin dalam pikiran Saudara ‘Tomas ini sinis, sarkastis, atau apa ya??’ seakan-akan Tomas bilang ‘dasar Guru kita ini konyol juga, ya sudah, kita ikut-ikutan konyol; Dia mau mati, ya sudah, kita ikut mati’ –sikap nothing to loose, blind devotion. Tapi kalau Saudara baca di sini tidak ada keterangan semacam itu; dalam hal ini kita musti berhati-hati waktu membaca Firman Tuhan supaya kita tidak menafsir sesuai tafsiran impulsif atau spontan yang mungkin keliru. Di dalam Injil Yohanes ini tidak ada kalimat dari penulisnya yang misalnya seperti ini: ‘tetapi hal itu dikatakan Tomas dari kekesalan hatinya’ atau ‘tetapi Tomas mengatakan itu dari ketidakpercayaannya’. Kalimat seperti itu tidak ada, maka kita musti membaca perkataan Tomas tadi sebagai kalimat yang tulus darinya. Bukan bahwa dia mau mati konyol, bukan kalimat sinis/ sarkastis, melainkan satu kalimat yang mengantisipasi penderitaan yang akan dialami murid-murid, karena memang mereka juga akan pergi dan mati bersama dengan Yesus (maksudnya kematian martir yang akan dialami murid-murid Kristus, termasuk Tomas) –meski boleh dikatakan, Tomas belum betul-betul mengerti apa arti kalimatnya ini. Bagaimanapun, kalimat Tomas ini menjadi satu statement yang menyatakan apa artinya harga yang harus dibayar waktu orang mengikut Tuhan (cost of discipleship), yaitu kematian.
Tetapi kematian tidak harus jadi sesuatu yang menakutkan, karena kita ada bersama-sama dengan Yesus yang adalah terang, yang adalah kehidupan, yang adalah kebangkitan. Maka, bersama dengan Tomas, harusnya orang-orang percaya, murid-murid Kristus bisa mengatakan kalimat yang sama ini, "Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Yesus." Baik kita mati martir seperti murid-murid ini, ataupun kita tidak mengalami mati martir, tetap kita akan mati bersama dengan Yesus. Saudara dan saya dipanggil untuk menjalani kehidupan yang menuju kepada kematian, yang akhirnya mengalami kebangkitan bersama dengan Yesus. Suatu kematian yang indah, kematian yang mempermuliakan Tuhan, bukan kematian yang mempermalukan Tuhan.
Kembali ke film Bohemian Rhapsody, kita melihat Freddie Mercury begitu legendaris tapi matinya gara-gara AIDS; dan itupun baru diakuinya secara publik satu hari sebelum dia mati. Orang memperlakukan dia sebagai selebriti –memang dia selebriti—begitu banyak yang terkagum-kagum kepada dia. Satu lagunya, “We are The Champions”, mengatakan ‘We are the champions … we'll keep on fighting 'til the end … No time for losers …’. Ini ironi. Dia mengatakan ‘tidak ada waktu untuk pecundang’, tapi dia sendiri pecundang, dia sendiri tidak bisa mengalahkan. Kalimat-kalimat itu menyatakan struggle-nya manusia yang mau tampil sebagai juara, yang mau menaklukkan ini dan itu, tetapi yang paling kecil saja, yaitu self-control, tidak ada. Betapa miris. Kalau Saudara bandingkan dengan murid-murid Kristus, bandingkan dengan Kristus sendiri, Saudara mendapati bahwa Kekristenan betul-betul sangat layak untuk dihidupi. Yang lainnya itu, sekali konser ratusan ribu orang bayar begitu mahal, tapi cuma untuk dengar message kayak begitu, yang bahkan penyanyinya sendiri tidak bisa menghidupi; alangkah sia-sianya. Tapi bandingkan dengan Kristus, bandingkan dengan Alkitab, bandingkan dengan Tomas; Tomas saja di dalam ketidakmengertiannya bisa mengantisipasi kematian yang akan mempermuliakan Kristus itu.
"Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia", kalimat ini cuma mungkin dikatakan kalau kita percaya Yesus adalah kebangkitan dan hidup. Kalau kita percaya Yesus adalah kebangkitan dan hidup, kita berani menghadapi kematian. Kalau kita percaya Yesus adalah terang, kita berani menghampiri kegelapan; bukan untuk bersekutu di dalam kegelapan itu melainkan supaya kegelapan itu akhirnya diubah menjadi keadaan terang, karena Yesus ada di sana, dan kita ada bersama dengan Dia.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading